Anda di halaman 1dari 4

Nama : REZA S.

LA ARIFU

Kelas : VI ( enam)

Tugas : Seni Budaya dan Keterampilan

KLIPING

Nama : Tari Linda


Asal : Muna, Sulawesi Tengggara
Deskripsi : Tari Linda adalah tari tradisional masyarakat Muna. Tari ini telah ditampilkan
sejak masa Wa Ode Kamomo Kamba. Ia adalah putri dari La Ode Husein yang menjadi
raja Kerajaan Muna pada abad ke-16 Masehi. Tari ini dilakukan oleh para gadis remaja dalam
rangkaian acara kedewasaan masyarakat Muna yang disebut Karia. Tari Linda diciptakan oleh
permaisuri raja La Ode Ngkadiri yang bernama Wa Ode Wakelu. La Ode Ngkadiri adalah raja
Kerajaan Muna yang ke-12. Oleh karenanya, Tari Linda disajikan oleh perempuan Muna yang
sudah berkeluarga. Sumber : Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

Tari Linda diciptakan pada masa kekuasaan Kerajaan Muna di Pulau Muna pada abad
ke-16 Masehi. Tarian ini tepatnya dipertunjukkan pada masa pemerintahan raja Kerajaan Muna
yang bernama Lapsasu atau Kobang Kuduno. Nama Tari Linda berasal dari Bahasa Muna,
yang berarti “menari sambil berkeliling”. Penamaan ini didasari oleh gerakan para penari yang
berkeliling seperti burung yang terbang berkeliling dengan sayap yang indah. Dalam
perkembangannya, Tari Linda mulai dikenal juga oleh masyarakat di Pulau Buton. [3]

Tari Linda berasal dari kisah mitologi tentang seorang bidadari yang tidak dapat kembali
ke kahyangan. Dalam cerita rakyat Muna, ada delapan bidadari yang turun ke bumi untuk
mandi di sebuah sungai. Kecantikan mereka menarik perhatian seorang pemuda yang berada
di dekat sungai itu. Ia mengintip para bidadari yang sedang mandi, kemudian mencuri salah
satu selendang bidadari tersebut. Salah satu bidadari tersebut kemudian tidak dapat kembali ke
kahyangan. Sang pemuda kemudian mendatangi bidadari tersebut dan mengajaknya menikah.
Bidadari tersebut bersedia dinikahi oleh sang pemuda. Syarat yang diajukannya hanya satu,
yaitu setelah hidup bersama sang pemuda tidak boleh membuka periuk penanak nasi saat ia
sedang memasak. Setelah menikah, bidadari itu memperol nama yaitu Waode Fari. Pasangan
suami-istri ini dikaruniai seorang anak perempuan.

Pada suatu ketika, desa tempat tinggal mereka mengalami kemarau panjang dan
kekeringan. Para warga mengalami kelaparan tetapi keluarga Waode Fari justru tidak pernah
mengalami kekurangan beras. Keanehan ini membuat suaminya penasaran, sehingga ia
membuka periuk penanak nasi saat istrinya sedang mencuci pakaian di sungai. Ia terkejut
ketika melihat di dalam penanak nasi hanya terdapat sebutir beras. Setelah airnya mendidih,
tiba-tiba periuk tersebut telah penuh oleh nasi. Keesokan harinya, Waode Fari memasak nasi
seperti biasa tetapi periuknya tidak menghasilkan nasi. Ia pun sadar bahwa suaminya telah
melanggar janji untuk tidak membuka periuk nasi. Sejak saat itu, Waode Fari harus menanak
nasi seperti warga desa lainnya. Persediaan padi di dalam lumbung berasnya semakin
berkurang. Suatu pagi, tanpa sengaja ia menemukan selendangnya yang hilang di bawah
tumbukan padi. Ia pun sadar, suaminyalah yang telah mencuri selendangnya dahulu. Ia pun
menemui suami dan anaknya untuk berpamitan dan kembali ke kahyangan. Sebagai tanda
perpisahan, Waode Fari menari sambil mendendangkan lagu. Anak perempuannya pun
kemudian meliuk-liukkan tubuh dengan mempesona dan mengikuti gerakan ibunya. Sejak saat
itu gerakan tubuh sang anak menjadi cikal bakal tari Linda.

Nama : Tari Jaipong


Asal : Jawa Barat
Deskripsi : Tari Jaipong merupakan sebuah tarian tradisional yang berasal dari daerah
Karawang, Jawa Barat. Tarian ini berkembang di era tahun 1960 an. Awalnya tari ini dikenal
masyarakat dengan nama Tari Banjet. Sebuah pertunjukan kesenian tari yang ditampilkan
dengan gerakan tari dan diiringi alunan musik berupa instrumen gamelan. Dulu tarian ini
dijadikan sebagai hiburan bagi masyarakat. Tarian jaipong adalah sebuah inovasi yang dibuat
oleh seorang seniman yang berasal dari daerah Karawang bernama H. Suanda.

Pola gerak tari terdiri dari gerak bukaan, pencugan, nibakeun, dan sejumlah variasi
gerak mincid. Dari beberapa gerak pada kesenian tari ketuk tilu tersebutlah, memberikan
Suanda dan Gugum inspirasi guna mengembangkan kesenian tari yang saat ini dikenal dengan
nama Tari Jaipong. Sampai sekarang ini, meskipun mulai banyaknya hiburan modern yang
muncul, kesenian tari Jaipong akan selalu digemari dan menjadi salah satu hiburan yang
menarik bagi warga. Tarian Jaipong ini mengalami perkembangan yang cukup pesat di tahun
1979. Perkembangan itu, diantaranya adalah pementasan, dan properti yang dipakai oleh penari
yang memainkan tarian ini. Dari situlah, membuat tari jaipong dikenal oleh seluruh masyarakat
yang berada di wilayah Jawa Barat. Contohnya yaitu daerah Sukabumi, Cianjur, sampai dengan
Bogor. Bahkan masyarakat yang berasal dari luar Jawa Barat juga mulai mengenalnya.

Nama : Tari Balumpa

Asal : Wakatobi, Sulawesi Tenggara

Deskripsi : Tari Balumpa adalah tari tradisional yang berasal dari Wakatobi, Sulawesi
Tenggara. Tarian tersebut khususnya berasal dari daerah Binongko dan Buton. Tari Balumpa
termasuk jenis tari pergaulan yang ditampilkan oleh penari wanita untuk menyambut tamu
termornat. Selain itu, tari Balumpa juga ditampilkan dalam acara festival budaya dan
pertunjukan seni. Hingga saat ini tari Balumpa terus dilestarikan. Konon tari Balumpa
menceritakan mengenai sekelompok gadis yang sedang berdendang diiringi dengan lagu
daerah dan musik gambus. Para gadis berdendang dengan penuh keceriaan sambil menari
dengan hati gembira dan tulus.

Nama : Tari Kecak

Asal : Bali

Deskripsi : Kecak (pelafalan: /'ke.tʃak/, secara kasar "KEH-chahk", pengejaan


alternatif: Ketjak, Ketjack) adalah dramatari seni khas Bali yang lebih utama menceritakan
mengenai Ramayana dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh
banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan irama
tertentu menyerukan "cak" dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan
kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Namun, Kecak
berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak
sadar,[1] melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian
menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.

Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti papan
catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para penari lain yang
memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa.
Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Selain itu, tidak digunakan alat musik.
Hanya digunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh
Ramayana. Sekitar tahun 1930-an Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter
Spies menciptakan tari Kecak berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah
Ramayana. Wayan Limbak mempopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan
penari Bali-nya.

Anda mungkin juga menyukai