Anda di halaman 1dari 5

Yayak Priasmara dan Nasib Seni Teater

Tutur Kentrung
10 Agustus 2017 gelaranid 0 Komentar kentrung, seniman, sutradara, teater tradisional
oleh : Y.E. Marstyanto*

Antonin Artaud mengatakan bahwa teater harus memberi kita segala sesuatu seperti yang ada
dalam kejahatan, cinta, perang, atau kegilaan lain, jika teater masih ingin terus hadir bagi
publik. Semangat itu sebenarnya juga penting dipeluk oleh seni sastra lisan atau teater tutur
tardisional semacam kentrung.

Seni kentrung pernah berjaya di sepanjang pantai utara Jawa, dari Jawa Tengah sampai Jawa
Timur pada abad ke-19. Bahkan seni kentrung juga masuk ke pedalaman seperti Grobogan,
Kudus dan Blora di Jawa Tengah dan Kediri dan Ponorogo di Jawa Timur. Tetapi
sebagaimana bentuk seni tradisional lain, maka kehadiran televisi perlahan tetapi pasti
mengalihkan perhatian penonton dari kentrung. Di sisi lain, pelaku seni kentrung tidak
berhasil melakukan inovasi dan regenerasi sehingga mereka semakin tenggelam oleh jaman.
Yayak Priasmara (jas hitam) bersama Komunitas Kentrung Kluntrang-Kluntrung Malang,
Jawa Timur

Daerah-daerah Pantai Utara lain di mana menjadi tempat penyebaran kentrung mengalami
nasib sama. Baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur, Jika masih ada seni kentrung di
daerah-daerah, seperti Demak, Blora, Kudus, Blitar, Tulungagung, maka dipastikan para
pendukungnya rata-rata sudah sepuh. Tetapi beruntung ada sedikit anak-anak muda (mungkin
generasi millennial yang didukung generasi X hehehe) masih mencoba setia ngentrung dan
mereka juga bikin acara untuk itu bulan Agustus 2017 ini.

Ya. Seni kentrung belum mati. Ada seorang anak muda masih tertarik menggeluti kesenian
tradisional ini. Mereka bukan hasil pola nyantrik sebagaimana para senior seni kentrung
melakukan alih kemampuan dan pengetahuan di jaman dulu.  Dia bernama Yayak Priasmara.
Alumnus Universitas Negeri Malang ini memang jatuh cinta pada kentrung sejak masa
kuliah. Ia bahkan menjadi salah satu pendiri UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Blero di
kampusnya. UKM Blero ini khusus melestarikan seni kentrung. Selain itu lelaki kelahiran 21
Mei 1987 ini juga membentuk Komunitas Kentrung Kluntrang Kluntrung di Malang.
Sedangkan di kota kelahirannya, Tulungagung, Yayak mendirikan Sanggar Seni Gedhang
Godhog yang juga mengembangkan seni kentrung.

Yayak baru saja sukses mengadakan kegiatan bertajuk Kampung Seni Ngingas 1 pada 5
Agustus 2017 kemarin di Tulungagung. Dalam acara tersebut, Yayak menghadirkan
kelompok kentrung remaja asuhannya, yaitu Sanggar Seni Gedhang Godhog dan juga
penampilan Kentrung Sedya Rukun dari Tulungagung. Hal menarik adalah Sedya Rukun
yang dipimpin dalang kentrung sepuh mbok Gimah tampil berkolaborasi dengan Orkes
Keroncong Mahkota Buana Tulungagung.

Tulungagung memang salah satu kota di Jawa Timur di mana seni kentrung pernah singgah
dan memiliki publik pendukung. Bentuk seni kentrung Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak
jauh berbeda. Peralatan musik perkusi, seperti terbang berbagai ukuran dan kendang menjadi
ciri khas kesenian ini. Baik seni kentrung perorangan maupun kelompok menggunakan
terbang (rebana). Tetapi khusus bagi bentuk perorangan tidak menggunaka kendang. Dalang
kentrung adalah seorang aktor dengan kemampuan seni peran dan seni suara. Demikian pula
para panjang atau penyenggak, yaitu pendamping Dalang sekaligus pemusik pendukung.
Mbok Gimah (kebaya hijau, berkacamata) pimpinan Kelompok Kentrung Sedyo Rukun,
Tulungagung, Jawa Timur. Ia adalah satu diantara segelintir dalang kentrung sepuh yang
masih bertahan.

Seni kentrung pernah memiliki pasar atau ruang pertunjukan luas dan beragam. Dalang
kentrung dan personilnya bisa hadir di banyak acara, seperti sunatan, pernikahan, upacara
tujuh bulanan wanita hamil, ruwatan dan sebagainya. Jika melihat jenis peralatan musiknya,
orang bisa mengkaitkan pada seni yang berhubungan dengan Islam. Tidak mengherankan
para dalang kentrung sering membawakan kisah-kisah nabi-nabi dan siar Islam. Tetapi
kemudian seni kentrung menjadi milik semua kalangan. Kisah-kisah seni kentrung juga
menyajikan cerita Panji, Babad atau legenda. Demikian pula alat musik kendang (Jawa)
mulai menjadi salah satu perlengkapan. Seni Kentrung menjadi seni teater tutur atau sastra
lisan Jawa.

Yayak menamakan komunitas kentrungnya di Malang dengan Kluntrang Kluntrung. Nama


ini memang dianggap sebagian orang sebagai asal-usul istilah kentrung. Kluntrang-kluntrung
artinya mengembara. Hal ini dikarenakan ada dalang kentrung melakukan pengembaraan
dalam menjajakan ceritanya dahulu kala. Tetapi di Grobogan, Jawa Tengah, istilah kentrung
konon bermula dari lek-lekan jentrung (begadang dengan sungguh-sungguh memperhatikan –
Jawa). Selain itu masih banyak lagi asal-usul arti nama kentrung.

Yayak memiliki keyakinan bahwa kentrung akan terus hidup. Meskipun ayah satu anak ini
melihat kenyataan bahwa kentrung semakin redup seiring berkembangnya jaman. Oleh
karena itu, ia menjadikan Kampung Seni Ngingas 1 sebagai penegas bahwa kesenian-
kesenian lawas harus terus dipertahankan. Ia hendak menebalkan atmosfer kentrung di
Tulungagung. Kreatifitas menjadi jalan bagi Yayak membuat tegak seni kentrung.

“Bagi saya penting mengenalkan kentrung pada anak muda. Mereka dikenalkan indahnya
cerita-cerita lama, bagaimana asyiknya mendongeng, asyiknya bermain tanpa sekat dengan
penonton, asyiknya spontanitas, asyiknya ber-parikan, dan lain-lain,” imbuh Yayak.

Ia juga mengharap dukungan semua pihak untuk kerja kebudayaannya ini. Ia mengingatkan
tentang tugas semua pihak dalam hal ini. Tugas masyarakat untuk menjadi penikmat dan
sesekali menanggap, tugas pemerintah harus lebih dari menanggap. Pemerintah sebaiknya
menggali lagi mengapa kentrung harus dipertahankan dan setelah itu mereka mengambil
sikap. “Eman-eman kalo pemerintah hanya pada level nanggap, itupun jarang (ndak mesti
tiap tahun),” imbuhnya..

Saat ini, masyarakat memang sudah sedikit bisa melihat kentrung, bahkan lewat media sosial
semacam youtube. Banyak komunitas-komunitas mencoba menyajikan kentrung dengan
gayanya masing-masing. Informasi dalam bentuk buku tentang kentrung memang terbatas
dan tidak mudah dicari. Salah satu atau mungkin satu-satunya buku yang mengulas tentang
seni kentrung adalah Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban karya Suripan Sadi Hutomo,
terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1993.(ye)

*Y.E. Marstyanto. penulis lepas dan seniman teater dari Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai