Anda di halaman 1dari 40

SENI DALAM PANDANGAN ISLAM

MUQADDIMAH
Masyarakat kaum Muslimn dewasa ini umumnya menghadapi kesenian sebagai suatu masalah hingga timbul
berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang yang satu ini, boleh, makrh atau harm? Di samping itu
dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak, mereka juga telah terlibat dengan masalah seni. Bahkan
sekarang ini bidang tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka dan bukan hanya bagi yang
berdomisilli (bertempat kediaman tetap; bertempat kediaman resmi) di kota. Umat kita yang berada di desa dan
di kampung pun telah terasuki.(penetrate, possess).
Media elektronika seperti radio, radiokaset, televisi, dan video telah menyerbu pedesaan. Media ini telah lama
mempengaruhi kehidupan anak-anak mudanya. Kehidupan di kota bahkan lebih buruk lagi. Tempat-tempat
hiburan (mashiat) seperti "night club", bioskop dan panggung pertunjukkan jumlahnya sangat banyak dan telah
mewarnai kehidupan pemuda-pemudanya.
Sering kita melihat anak-anak muda berkumpul di rumah teman-temannya. Mereka mencari kesenangan dengan
bernyanyi, menari bersama sambil berjoget tanpa mempedulikan lagi hukum hall-harm. Banyak di antara
mereka yang berpikir bahwa hidup itu hanya untuk bersenang-senang, jatuh cinta, pacaran, dan lain-lain.
Semua keadaan yang kami tuturkan di atas terjadi dan berawal dari kejatuhan seni budaya dan peradaban Islam.
Kita dapat menyaksikan sendiri, seni dan budaya kita telah digantikan dan tergeser (shifted, moved, removed)
oleh seni budaya dan peradaban produk Barat yang nota-benenya (perhatiannya) menekankan kehidupan yang
bebas tanpa ikatan agama apapun.
Cabang seni yang paling dipermasalahkan adalah nyanyian, musik dan tarian. Ketiga bidang itu telah menjadi
bagian yang penting dalam kehidupan modern sekarang ini karena semua cabang seni ini dirasakan langsung
telah merusak akhlaq dan nilai-nilai keislman.
Adanya dampak negatif dari bidang kesenian menyebabkan banyak orang bertanya-tanya, khususnya dari
kalangan pemuda yang masih memiliki ghirah (cemburu terhadap musuh agama) Islam. Mereka bertanya:
bagaimana pandangan Islam terhadap seni budaya? Bolehkah kita bermain gitar, piano, organ, drum band,
seruling, bermain musik blues, klasik, keroncong (popular Indineisan music originating from Portuguese
songs), musik lembut, musik rock, dan lain-lain? Bagaimana pula dengan lirik lagu bernada asmara, porno,
perjuangan, qashdah, kritik sosial, dan sejenisnya? Di samping itu, bagaimana pandangan hukum Islam dalam
seni tari. Apakah tarian Barat seperti Twist, Togo, Soul, Disko dan sebagainya? Kalau tidak boleh dengan tarian
Barat, bagaimana dengan tari tradisional? Juga, bolehkan wanita atau lelaki menari di kalangan mereka masingmasing?
Dalam buku ini akan dipaparkan pembahasan semua permasalahan para fuqah, khususnya dari kalangan
empat madzhab. Harapan penulis semoga karya ini dapat menutupi kekurangan buku-buku bacaan tentang
hukum di bidang seni. Dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa menghargai setiap kritik dan saran
dari semua pihak demi menyempurnakan rislah kecil ini.
BB I
PENGARUH POLITIK DAN PERADABAN TERHADAP SENI UMAT ISLAM
Sejak kejatuhan politik dan peradaban Islam yang terjadi pada abad XIX Masehi, politik Barat telah
mempengaruhi dan menguasai umat Islam. Banyak negeri-negeri Islam yang tadinya dijajah menjadi bekas
jajahan kekuasaan Barat. Melalui pola dominasi Barat di kalangan umat Islam tersebut maka tidak
mengherankan bila pengaruh sosio budaya Barat mulai menyusup ke tengah-tengah kaum Muslimn, terutama
pada masyarakat Islam yang dijajah secara langsung oleh negara-negara adikuasa.
Sebagaimana kita ketahui, ciri khas peradaban Barat adalah sekulerrisme. Mereka memisahkan kebudayaan dan
adat istiadat bangsa dengan agama. Walaupun sekulerisme ini sangat bertentangan dengan aqdah, kebudayaan

dan peradaban Islam namun nyatanya sistem ini telah tumbuh dan berkembang di kalangan kaum Muslimn.
Pertumbuhan ini terjadi melalui akulturasi kebudayaan Barat dengan kebudayaan Islam. Negara-negara penjajah
memang telah berhasil diusir oleh kaum Muslimn dengan gemilang namun kebudayaan dan peradabannya
mereka tinggalkan. Proses sekulerisme pun masih berlanjut di kalangan umat Islam sampai sepuluh tahun
terakhir dari abad ke XX ini disebabkan oleh adalahnya media massa dan lembaga-lembaga pendidikan yang
berasaskan sekulerisme.
1. AKULTURASI KEBUDAYAAN BARAT - ISLAM.
Jatuhnya peradaban dan kebudayaan Islam setelah diakulturasikan antara kebudayaan Barat dengan kebudayaan
umat Islam membuahkan sekulerisme dunia Islam. Karenanya tidak mengherankan bila sekarang ini kita dapat
menemukan dengan amat mudah akibat-akibat yang ditimbulkannya, antara lain sebagai berikut:
A. Kebudayaan yang diterapkan di dunia Islam sekarang ini telah tercemar dalam kondisi cukup parah oleh
kebudayaan Barat, dan lebih parahnya lagi kebudayaan itu dijadikan sebagai konsepsi kebudayaan umat Islam.
B. Masyarakat kaum Muslimn telah menjauhi konsepsi masyarakat Islam yang dulu berdasarkan aqdah, ideide, jiwa dan peraturan Islam. Sekarang ini mereka lebih mirip dengan masyarakat Eropa, Amerika, Rusia dan
Cina daripada masyarakat Islam.
C. Prinsip-prinsip sosio budaya yang dipratekkan oleh umat Islam telah jauh dari prinsip-prinsip sosio budaya
Islam, baik dari segi hubungan antara qaum pria maupun wanitanya. Demikian pula halnya dengan segi-segi
hiburan, kesenian, peragaan, busana ataupun bentuk-bentuk bangunan (arsitektur).
D. Dengan semakin giatnya akulturasi dalam bidang kesenian, seni umat Islam telah diwarnai oleh kesenian
Barat yang sekularistik. Dengan demikian semakin banyaklah karya seni kaum Muslimn sat ini yang
berlawanan dengan konsepsi seni Islam.
2. PENGERTIAN MASYARAKAT DUNIA TERHADAP SENI.
Dalam perjalanan sejarah, boleh dikatakan pada setiap masa orang selalu bertanya tentang apa dan bagaimana
bentuk seni itu. Para filsuf sejak masa peradaban Yunani sampai sekarang telah memberikan beragam definisi.
Dalam kesempatan ini kami paparkan salah satu definisi yang dapat dianggap global dan menyeluruh.
Dari ENSIKLOPEDI INDONESIA (lihat "Ensiklopedi Indonesia" PT. Ikhtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta. Jilid
V halaman 3080 dan 3081). dipetik bahwa definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam
jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera
pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).
Dalam pembahasan "Seri Buku Seni I" ini kami hanya akan memaparkan secara terbatas beberapa jenis seni
estetika (Seni estetika adalah seni halus (fine art) yang meliputi seni lukis, pahat, bina tari, musik, pentas, film,
dan kesusasteraan. Pengertian halus di sini karena ia mewujdkan melalui perasaan) yaitu seni musik, seni
suara, dan seni tari (Seri buku berikutnya Insy Allh akan dibahas masalah seni panggung yang berupa
sandiwara, tonil, opera, pantom, teather, selain juga akan dibahas pada seri-seri berikutnya berupa seni pahat,
seni halus, dan seterusnya).
1. SENI MUSIK.
Seni musik (instrumental art) adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang
keluar dari alat musik tersebut. Bidang ini membahas cara menggunakan instrumen musik. Masing-masing alat
musik memiliki nada tertentu. Di samping itu seni musik, misalnya musik vokal dan musik instrumentalia.

Seni musik dapat disatukan dengan seni instrumental atau seni vokal. Seni instrumentalia adalah seni suara yang
diperdengarkan melalui media alat-alat musik, sedangkan seni vokal adalah melagukan syair yang hanya
dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan intrusmen musik.
2. SENI PENDENGARAN.
Seni pendengaran (auditory art) adalah bidang seni yang menggunakan suara (vokal maupun instrumental)
sebagai medium pengutaraan, baik dengan alat-alat tunggal (biola, piano dll) maupun dengan alat majemuk
seperti orkes simponi, band, juga lirik puisi berirama atau prosa yang tidak berirama, serta perpaduan nada dan
kata seperti lagu asmara, qashdah dan tembang (jawa). Seni inilah yang menjadi topik bahasan.
3. SENI TARI.
Seni tari adalah seni menggerakkan tubuh secara berirama dengan iringan musik. Gerakannya dapat sekadar
dinikmati sendiri, merupakan ekspresi suatu gagasan atau emosi, dan cerita (kisah). Seni tari juga digunakan
untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri) bagi yang melakukannya.
Dari zaman dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara kerajaan, di kalangan masyarakat
maupun individu. Seni tari merupakan akar tari Barat yang populer pada masa kini. Bangsa-bangsa primitif
bahkan percaya pada daya magis tari, seperti tampak pada tari KESUBURAN dan HUJAN, tari EKSORSISME
(JAWA: RUWATAN), tari Perburuan dan Perang. Begitu pula halnya tarian tradisional Asia Timur yang hampir
seluruhnya bersumber dari keagamaan walaupun ada juga yang bersifat sosial. Selain itu ada pula tarian
komunal (folk dance) yang umumnya berbentuk tarian rayat (atau kreasi baru). Biasanya tarian seperti ini
dijadikan sebagai perlambang kekuatan kerjasama secara kelompok dan sebagai perwujdan saling hormatmenghormati. Semua itu didasari oleh tradisi-tradisi masyarakat.
Seni tari modern lebih mengutamakan keindahan dan irama gerak dengan fokus hiburan. Seni sekarang berbeda
halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya, seperti balet, tapdans, ketoprak atau sendra tari. Gaya tarian abad
XX kini berkembang dengan irama-irama musik POP SINGKOPIK, misalnya dansa CHA-CHA-CHA, TOGO,
SOUL, TWIST dan yang akhir-akhir ini menggejala adalah BREAKDANCE, dan DISKO. Kedua tarian ini
mempunyai gerakan yang "menggila" dan banyak digandrungi kawula muda.

BAB II
PRAKTEK SENI SUARA DAN SENI TARI DALAM SEJARAH ISLAM
Pada umumnya orang Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka
semenjak zamn jhilliyah. Di Hijz kita dapati orang menggunakan musik mensural (?????) yang mereka
namakan dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm). Mereka menggunakan
berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Setelah bangsa Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru.
Pada masa Raslullh, ketika Hijz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.
Dalam buku-buku Hadts terdapat nash-nash yang membolehkan seseorang menyanyi, menari, dan memainkan
alat-alat musik. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara pesta-pesta
perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahd
dalam peperangan, atau pula menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.

Dalam tulisan ini kami kutipkan beberapa riwyat saja, antara lain riwyat Bukhr dan Muslim dari isyah
r.a. ia berkata (Lihat SHAHH BUKHR, Hadts No. 949, 925. Lihat juga SHAHH MUSLIM, Hadts No. 829
dengan tambahan lafazh:((
" Kedua-duanya (perempuan itu) bukanlah penyannyi"):


"Pada suatu hari Raslullh masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang
mendendangkan nyanyian (tentang hari) Buats (Buats adalah nama salah satu benteng untuk Al-AWS yang
jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madnah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah
Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah).(di dalam riwyat Muslim ditambah dengan menggunakan
rebana). (Kulihat) Raslullh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada sat itulah Ab
Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya: "Di tempat Nabi ada seruling setan?" Mendengar seruan itu,
Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Ab Bakar seraya bersabda: "Biarkanlah keduanya, hai Ab Bakar!".
Tatkala Ab Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu
adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata
perangnya (di dalam masjid)....."
Dalam riwyat lain Imm Bukhr menambahkan lafazh (Lihat SHAHH BUKHR, Hadts No. 509, 511):
()
"Wahai Ab Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita (umat Islam)."
Hadts Imm Ahmad dan Bukhr dari isyah r.a. (Lihat SHAHH BUKHR Hadts No. 5162, TARTB
MUSNAD IMM AHMAD, Jilid XVI, hlm. 213. Lihat juga: Asy-Syaukn, NAIL-UL-AUTHR Jilid VI, hlm.
187):




(

:( )















)
"Bahwa dia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshr. Maka Nabi
s.a.w. bersabda: "Hai 'isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang
Anshr senang dengan hiburan (nyanyian)."
Juga ada lafaz Hadts riwyat Imm Ahamd berbunyi (Lihat Asy-Syaukn, ibidem jilid VI, hlm. 187):
:)
(

"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (oran-orang) wanita untuk bernayanyi sambil berkata dengan
senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshr
senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."
Abd-ul-Hayy Al-Kaththn (Lihat Abd-ul-Hayy Al-Kaththi, AT-TARTIB-UL-IDRIYYAH, Jilid II, hlm. 121126). mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Raslullh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup
(rumah) kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hammah (Lihat
juga Ibnu Al-Asqalany, AN-NIS, AL-'ASHBAH F TAMYZ ASH-SHAHBAH, Jilid IV, hlm. 274 dan 275)
dan Arnab (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalany, ibidem, hlm. 226).
Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawr) ke rumah mereka jika
ada pesta pernikahan. Buktinya Amir bin Saad (seorang dari Tbin) pernah meriwayatkan tentang apa yang
terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASI, Jilid VI, hlm. 135):
)
)(
:

(
:

"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Kaab dan Ab Masd Al-Anshr. Ketika itu sedang berlangsung pesta
perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawr) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya:
:Kalian berdua adalah sahabat Raslullh s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian
lakukan pula? Quraizhah menjawb: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak,
silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada
pesta perkawinan." (H.R. An-Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan).
Imm An-Nasi meriwayatkan dalam bb Mengumumkan Pernikahan Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana
yang diriwayatkannya dari M. bin Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN AN-NASI, Jilid VI, hlm.
127):

(
:
)
"Tanda pemisah (pembeda) antara yang hall dengan yang harm (dalam suatu pernikahan) adalah
(mengumumkanmua dengan) memainkan rebana dan menyanyi."
1. KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM PADA MASA RASLULLH S.A.W.
Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam di masa Raslullh s.a.w. ditandai
oleh dua karakteristik, yaitu (1). sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihd f sablillh.
Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan usaha sehingga tidak ada sisa waktu
lagi untuk bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik, lagu) apalagi menikmatinya.
Orang-orang Islam dengan lagu dan musik. Ini membuktikan bahwa masyarakat Islam di masa Raslullh
bukan tanah yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum Muslimn berbaur dengan
berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka
kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.
2. PENGARANG TEORI MUSIK DARI KALANGAN KAUM MUSLIMN.
Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum
Muslimin banyak yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia.
Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan
pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.Di antara pengarang teori
musik Islam yang terkenal ialah:
1. Yunus bin Sulaimn Al-Khatb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah pengarang musik pertama dalam Islam.
Kitb-kitb karangannya dalam musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik Eropa
banyak yang merujuk ke ahli musik ini.
2. Khall bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama.
3. Ishk bin Ibrhm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil memperbaiki musik Arab jhilliyah
dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah KITB-UL-ALHAN WAL-ANGHM (Buku Not
dan Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan IMM-UL-MUGHANNIYN
(Raja Penyanyi).
3. PENDIDIKAN MUSIK DI NEGERI-NEGERI ISLAM.
Selain dari penyusunan kitb musik yang dicurahkan pada akhir masa Daulah Umayyah. Pada masa itu para
khalfah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan
musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm. 320-321).

Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah
maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh
Said Abd-ul-Mumn (wafat tahun 1294 M.).
Salah satu sebab mengapa dalam Daulah Abbsiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian
menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan
di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah
menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. (Lihat Prof. A. Hasjmy ,
ibidem, hlm. 322).
Di antara pelayan (jawr) atau biduan dan biduanita yang menjadi penyannyi di istana negara tercatat namanamanya sebagai berikut (Lihat Prof. A. Hasjmy, ibidem, hlm. 324-326):
Yang menjadi biduan antara lain:
1. Mabad.
2. Al-Khard.
3. Dua bersaudara Hakam dan Umar Al-Wady.
4. Fulaih bin Ab Aur,
5. Siyth.
6. Nasyth.
7. Ibrhm al-Mausully dan puteranya Ishk al-Mausully.
Adapun biduanitanya anatara lain:
1. Neam (biduanita istana Khalfah Makmun).
2. Bazel dan Zat-ul-Khal (biduanita istana di masa Khalfah Hrn Ar-Rasyd).
3. Basbas (biduanita istana di masa Khalfah Al-Mahdi).
4. Habhabah (biduanita kesenangan Khalfah Yazd I), dan
5. Sallamah (biduanita istana Khlfah Yazd II).

BB III
SENI DALAM PANDANGAN ULAM ISLAM
Sebelum kita membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqah, khususnya para imm madzhab yang empat
terlebih dahulu kami kutipkan pendapat mereka tentang seni suara beserta dall-dallnya, baik dari golongan
yang mengharmkan maupun yang membolehkannya.

1. Imm Asy-Syaukn, dalam kitabnya NAIL-UL-AUTHR menyatakan sebagai berikut (Lihat Imm AsySyaukn, NAIL-UL-AUTHR, Jilid VIII, hlm. 100-103):
a. Para ulam berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab Jumhur adalah
harm, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madnah, Azh-Zhhiriyah dan jamah Sfiyah memperbolehkannya.
b. Ab Mansyr Al-Baghdd (dari mazhab Asy-Syfi) menyatakan: "ABDULLH BIN JAFAR
berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah menciptakan sebuah
lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita (jawr) dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada
masa Amr-ul-Muminn Al bin Ab Thlib r.a.
c. Imm Al-Haramain di dalam kitbnya AN-NIHYAH menukil dari para ahli sejarah bahwa Abdullh bin
Az-Zubair memiliki beberapa jriyah (wanita budak) yang biasa memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu
Umar datang kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu Umar bertanya: "Apa
ini wahai shahbat Raslullh? " Setelah diamati sejenak, lalu ia berkata: "Oh ini barangkali timbangan buatan
negeri Sym," ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata: "Digunakan untuk menimbang akal manusia."
d. Ar-Ruyn meriwayatkan dari Al-Qaffl bahwa mazhab Maliki membolehkan menyanyi dengan mazif
(alat-alat musik yang berdawai).
e. Ab Al-Fadl bin Thhir mengatakan: "Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli Madnah tentang,
menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja."
Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya AL-UMDAH mengatakan bahwa para shahbat Raslullh yang
membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain Umar bin Khattb, Utsmn bin Affn, Abd-urRahmn bin Auf, Saad bin Ab Waqqs dan lain-lain. Sedangkan dari tbin antara lain Sad bin Musayyab,
Salm bin Umar, Ibnu Hibbn, Khrijah bin Zaid, dan lain-lain.
2. Ab Ishk Asy-Syirz dalam kitbnya AL-MUHAZZAB (Lihat Ab Ishk Asy-Syirz, AL-MUHAZZAB,
Jilid II, hlm. 237) berpendapat:
a. Diharmkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu seperti alat musik gambus,
tambur (lute), mizah (sejenis piano), drum dan seruling.
b. Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara tersebut tidak boleh.
c. Dibolehkan menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.
3. Al-Als dalam tafsrnya RH-UL-MAN (Lihat Al-Als dalam tafsrnya RH-UL-MAN, Jilid XXI,
hlm. 67-74).
a. Al-Muhsibi di dalam kitbnya AR-RISLAH berpendapat bahwa menyanyi itu harm seperti harmnya
bangkai.
b. Ath-Thursusi menukil dari kitb ADAB-UL-QADHA bahwa Imm Syf berpendapat menyannyi itu adalah
permainan makrh yang menyerupai pekerjaan bthil (yang tidak benar). Orang yang banyak mengerjakannya
adalah orang yang tidak beres pikirannya dan ia tidak boleh menjadi saksi.
c. Al-Manawi mengatakan dalam kitbnya: ASY-SYARH-UL-KABR bahwa menurut mazhab Syfi
menyanyi adalah makrh tanzh yakni lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan agar dirinya lebih terpelihara
dan suci. Tetapi perbuatan itu boleh dikerjakan dengan syarat ia tidak khawatir akan terlibat dalam fitnah.
d. Dari murd-murd Al-Baghw ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu harm dikerjakan dan didengar.
e. Ibnu Hajar menukil pendapat Imm Nawaw dan Imm Syfi yang mengatakan bahwa harmnya
(menyanyi dan main musik) hendaklah dapat dimengerti karena hl demikian biasanya disertai dengan minum
arak, bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada

saat bekerja, seperti mengangkut suatu yang berat, nyanyian orang Arab untuk memberikan semangat
berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang, maka menurut
Imm Awz adalah sunat.
f. Jamah Sfiah berpendapat boleh menyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat musik.
g. Sebagian ulam berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya pada perayaan-perayaan
yang memang dibolehkan Islam, seperti pada pesta pernikahan, khitanan, hari raya dan hari-hari lainnya.
h. Al-Izzu bin Abd-us-Salm berpendapat, tarian-tarian itu bidah. Tidak ada laki-laki yang mengerjakannya
selain orang yang kurang waras dan tidak pantas, kecuali bagi wanita. Adapun nyanyian yang baik dan dapat
mengingatkan orang kepada khirat tidak mengapa bahkan sunat dinyanyikan.
i. Imm Balqin berpendapat tari-tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak tidak harm dan tidak pula
makrh karena tarian itu hanya merupakan gerakan-gerakan dan belitan serta geliat anggota badan. Ini telah
dibolehkan Nabi s.a.w. kepada orang-orang Habsyah di dalam masjid pada hari raya.
j. Imm Al-Maward berkata: "Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian alat-alat permainan itu
maka maksud kami adalah dosa kecil bukan dosa besar."
4. ABD-UR-RAHMN AL-JAZAR di dalam kitabnya AL-FIQH AL AL-MADZHIB-IL ARBAA (Lihat
Abd-ur-Rahmn Al-Jazar, AL-FIQH AL AL-MADZHIB-IL ARBAA, Jilid II, hlm. 42-44) mengatakan:
a. Ulam-ulam Syfiiyah seperti yang diterangkan oleh Al-Ghazali di dalam kitab IHYA ULUMIDDIN.
Beliau berkata: "Nash nash syara' telah menunjukkan bahwa menyanyi, menari, memukul rebana sambil
bermain dengan perisai dan senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu
adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari-hari lain, seperti khitanan
dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan syara'.
b. Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada
seorangpun dari para ulama Hijaz yang benci mendengarkan nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di
dalamnya mengandung hal-hal yang tidak baik. Maksud ucapan tersebut adalah bahwa macam-macam nyanyian
tersebut tidak lain nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang telah dilarang oleh syara'.
c. Para ulama Hanfiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah nyanyian yang mengandung
kata-kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti menyebutkan sifat-sifat jejaka (lelaki bujang dan perempuan
dara), atau sifat-sifat wanita yang masih hidup ("menjurus" point, lead in certain direction, etc.). Adapun
nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung, dan pemandangan alam lainya maka tidak ada
larangan sama sekali. Memang ada orang orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah yang
mengatakan bahwa ia benci terhadap nyanyian dan tidak suka mendengarkannya. Baginya orang-orang yang
mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus dipahami bahwa nyanyian
yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara'.
d. Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untuk memeriahkan pesta
pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk momen seperti itu misalnya gendang, rebana yang tidak
memakai genta, seruling dan terompet.
e. Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik, seperti gambus,
seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya
boleh. Bahkan sunat melagukannya ketika membacakan ayat-ayat Al-Quran asal tidak sampai mengubah aturanaturan bacaannya.

BB IV
GOLONGAN YANG MENGHARAMKAN MENYANYI DAN MAIN MUSIK
Imam Ibnu Al-Jauzi (Lihat Talbis Iblis, hlm. 2321-?), Imam Qurthubi (Lihat Tafsir Qurtuhbi, Jilid XIV, hlm. 5154), Asy-Syaukani (Lihat Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 442) telah mencantumkan berbagai dalil tentang
haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik, antara lain sebagai berikut:
1. Firman Allah s.w.t.:
(6: ( )
)
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahw-ul-hadis) untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka
itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (31:6).
Sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan tabi'in seperti Mujahid, Hasan Al-Basri, Ikrimah, Said
bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim An-Nakha'i menafsirkan lahw-al-hadis dengan arti nyanyian atau
menjualbelikan (menyewakan) biduanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442). Begitu juga pendapat
sebagian ahli tafsir, antara lain Imam Ibnu Katsir yang berkata (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442):
"Orang-orang celaka itu telah berpaling dari mendengarkan Kalamullah dan mengambil manfaatnya. Mereka
cenderung mendengarkan suara seruling nyanyian dengan irama alat-alat musik yang melenakan."
2. Firman Allah s.w.t.:


(61 - 59: ( )
)
"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?.
Sedang kamu melengahkan(nya)?" (53:59-61).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud SAAMIDUUN ialah AL-GHINA (nyanyian) ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid III, hlm.261). Kata tersebut diambil dari bahasa Kabilah Himyar. Kabilah ini sering berkata: SAMADA
LANAA GHANNA LANAA" (mereka bernyanyi untuk kita). Pendapat Ibnu Abbas ini didukung oleh pendapat
yang sama dari Mujahid dan Ikrimah (Lihat Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 231; dan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV,
hlm.261).
3. Firman Allah s.w.t.:
(64:( ) ....
)
"Dan asunglah (kobarkanlah, bujuklah, incite, stir up) siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan
suaramu (shautika)...." (17:64).
Perkataan Shautika (suaramu) yang ditujukan kepada Iblis serta digunakan untuk membujuk manusia.
Maksudnya tidak lain adalah agar melakukan perbuatan maksiat, menurut Mujahid ia tidak lain adalah nyanyian
dan hiburan. ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 50; Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 232).
4. Hadis Bukhari yang diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy'ari (Lihat SHAHIH BUKHARI, Hadis No. 5590):
)
(
:
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak dan alat
permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu
para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh
seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari."

Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang
tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat."
5. Hadis riwayat Imam Ahmad dari Abu Umamah.(Lihat Tartib Musnad Imam Ahmad, Jilid V, hlm. 259; dan
Imam Asy-Syaukani, Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 98):

)

(

"Sekumpulan umatku melewati malam dengan makan, minum, hiburan, dan permainan. Esok harinya mereka
ditukar dengan (rupa) monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih hidup di kalangan mereka diutus angin
untuk memusnahkan mereka sebagaimana telah memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan karena sikap
mereka menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil biduanita (untuk menyanyi) bagi mereka."
6. Hadis riwayat Abu Dawud (Lihat SUNAN ABU DAWUD, Jilid IV, hlm. 282, Hadis No. 4927):
Hadis ini datang melalui Sallam bin Miskin yang didengarnya dari seorang tua yang melihat Abi Wail hadir di
suatu pesta pernikahan. Di pesta itu orang-orang asyik bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira.
Waktu itu timbul hasrat Abu Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban Abu Wail berkata: "Kudengar
dari Abdullah bin Mas'ud bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
()
"Lagu atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati."
7. Hadis Imam Tirmidzi yang diriwayatkan dengan sanadnya dari Imran bin Husain bahwa Rasulullah s.a.w.
telah bersabda (Lihat SUNAN TIRMIDZI, Hadis No. 2309; Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII,
hlm.98):
)
( : :
"Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan." Bertanya salah seorang di antara kaum
Muslimin: " Kapankah yang demikian itu akan terjadi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Apabila telah
muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum Muslimin."
8. Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Jabir bin Addillah dengan sanad Hasan Shahih (Lihat SUNAN TIRMIDZI.
Hadis No. 1011; juga "Musannaf Ibnu Abi Syaibah. Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Ishaq bin Rahwi, Sunan
Al-Baihaqi, Musnad Al-Bazzar, dan Al-Mushalli; Lihat Abdullah bin Yusuf Az-Zailai, NASHB-UR-RAYAH LI
AHADITH-Il-HIDAYAH, Jilid IV, hlm. 84; dan Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 233).
Pada suatu ketika Rasulullah s.a.w. memegang tangan Abd-ur-Rahman bin Auf. Beliau mengajaknya bersamasama untuk membesuk (pay visit to patient) Ibrahim (anak beliau) yang sedang sakit. Ketika itu beliau melihat
anaknya dalam keadaan sakaratul maut. Lalu Rasulullah s.a.w. mengangkat anaknya dan memangkunya sambil
menangis. Melihat hal ini Abd-ur-Rahman bin Auf berkata: Adakah engkau, ya Rasulullah menangis? Padahal
engkau melarang kaum Muslimin melakukannya."
Mendengar perkataan tersebut Rasulullah s.a.w. bersabda:
)
(

:

"Tidak, aku tidak pernah melaramg orang menangis. Tetapi yang aku larang adalah mengenai dua macam suara
dari orang tolol: suara ratapan orang yang ditimpa musibah yang disertai dengan mencakar muka dan merobek
baju, dan teriakan Setan. (yakni suara suruhan dari setan yang mendorong orang untuk berteriak histeris)."
9. Hadis riwayat Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Umamah Al-Baahily. Katanya : "Aku
mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda (Lihat TAFSIR ATH-THABARI, Jilid XXI, hlm. 39; Ibnu Jauzi, TALBIS
IBLIS, hlm. 232):



)
(
"Tidak boleh mengajari wanita-wanita (untuk menyanyi), tidak halal memperjualbelikan mereka. Harga jual
belinya juga haram."
Imam Ath-Thabari kemudian berkata lagi: "Terhadap merekalah ayat enam surat Luqman diturunkan."
10. Hadis riwayat Ibnu Ghailan Al-Bazzaz (dari ???) Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w.
bersabda (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 100; 'Ala'uddin Al-Burhanfuri, KANZUL-UMMAL, Jilid XV, hlm. 226, Hadis No. 40689):
()
"Aku diutus untuk menghancurkan seruling-seruling."
Ibnu Ghailan juga meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
()
"Penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram."

BB V
GOLONGAN YANG MEMBOLEHKAN NYANYIAN DAN MAIN MUSIK
Imam Malik, Imam Ja'far, Imam Al-Ghazali, dan Imam Abu Daud Azh-Zhahiri telah mencantumkan berbagai
dalil tentang bolehnya nyanyian dan menggunakan alat-alat musik. Alasan-alasan mereka antara lain:
1. Firman Allah Ta'ala:


...)
.(19: ( )

"....dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi kelaedai." (31:19).
Imam Al-Ghazali mengambil pengertian ayat ini dari mafhum mukhalafah. Allah s.w.t. memuji suara yang
baik. Dengan demikian dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik. (Lihat Imam AL-Ghazali, IHYA
ULUM-ID-DIN, Juz VI, Jilid II, hlm. 141).
2. Hadis Buhkari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Rubayyi' binti Mu'awwiz 'Afra.
Rubayyi' berkata bahwa Rasulullah s.a.w. datang ke rumah pada pesta pernikahannya (Pesta yang dimaksud di
sini adalah pesta pernikahan yang didalamnya ada lelaki dan perempuan, tetapi dipisahkan jaraknya. Di dalam
Islam ada tiga pesta, yakni (1) pesta pertunangan, (2) pesta pernikahan, (3) pesta percampuran). Lalu Nabi
s.a.w. duduk di atas.tikar. Tak lama kemudian beberapa orang dari jariah (wanita budak)nya segera memukul
rebana sambil memuji-muji (dengan menyenandungkan) untuk orang tuanya yang syahid di medan perang
Badar. Tiba-tiba salah seorang dari jariah itu berkata: "Di antara kita ini ada Nabi s.a.w. yang dapat mengetahui
apa yang akan terjadi pada esok hari." Tetapi Rasulullah s.a.w. segera bersabda (Lihat SEJARAH AL-KARMANI,
Jilid IX, hlm. 108-109; SUNAN AT-TIRMIDZI, Jilid III, hlm. 398-399; dan SUNAN AL-MUSTAFA, hlm. 586):
)
(

"Tinggalkanlah omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.

3. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya (Lihat SHAHIH BUKHARI, Hadis No. 949,
952; lihat juga SHAHIH MUSLIM, Hadis No. 892 dengan lafazh lain):
"Pada suatu hari Rasulullah masuk ke tempatku. Ketika itu disampingku ada dua gadis perempuan budak yang
sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari Bu'ats) (Bu'ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-Aws
yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madinah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara
kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah.) Kulihat Rasulullah s.a.w. berbaring tetapi dengan
memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abu Bakar masuk dan ia marah kepadaku. Katanya: "Di tempat / rumah
Nabi ada seruling setan?". Mendengar seruan itu Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar seraya
berkata:
()
"Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar."
Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu
adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata
perangnya (di dalam masjid)."
4. Hadis riwayat Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya: "Aku pernah mengawinkan
seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Maka Nabi s.a.w. bersabda:
)
(

"Hai 'Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang
dengan hiburan (nyanyian)."
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad terdapat lafaz (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-ULAUTHAR, Jilid VI, hlm. 187):
:)
(

"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan
senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshar
senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."
5. Hadis riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi dari Buraidah yang berkata:
"Suatu hari Rasulullah s.a.w. pergi untuk menghadapi suatu peperangan. Setelah beliau pulang dari medan
perang, datanglah seorang jariah kulit hitam seraya berkata: "Ya Rasulallah, aku telah bernazar, yaitu kalau tuan
dipulangkan Allah dengan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan." Mendengar hal
itu Rasulullah s.a.w. bersabda:


)
(
"Jika demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan lakukan."
Maka jadilah ia menabuh rebana.Ketika tengah menabuh masklah Abu Bakar. Tapi jariah itu masih terus
menabuh rebananya. Tak lama kemudian Utsman juga masuk, dan si penabuh masih asyik dengan rebana.
Begitu pula halnya ketika Ali masuk. Namun tatkala Umar masuk, jariah itu cepat-cepat menyembunyikan
rebananya di bawah pinggulnya setelah dilemparkan, lalu didudukinya rebana itu. Melihat peristiwa itu
Rasulullah s.a.w. berkata:


)


(

"Sesungguhnya syaitan pun takut kepadamu, hai Umar. Tadi ketika aku duduk di sini, jariah ini masih memukul
rebananya. Begitu pula ketika Abu Bakar, Ali, Utsman masuk, dia masih memukulnya. Tetapi ketika engkau
yang masuk hai Umar, dia buru-buru melemparkannya." (Tirmidzi menyebutkan bahwa Hadis ini SHAHIH
tingkatannya. Lihat Imam Asy-Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VII, hlm. 119).
6. Hadis riwayat An-Nasai (dari???) Qurazhah bin Sa'ad (seorang tabi'i) yang pernah meriwayatkan tentang apa
yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASAI, Jilid VI, hlm. 135):
"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka'ab dan Mas'ud Al-Anshari. Tiba-tiba beberapa perempuan budak
(jawari) mulai bernyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya:

: )(
)
(
"Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian
lakukan?" Qurazhah menjawab: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silahkan
pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta
perkawinan." (Lihat SUNAN AN-NASAI, Jilid VI, hlm.127):
7. Hadis Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini dari datuknya, Abu Hasan yang
mengatakan bahwa hadis ini menceritakan kebencian Rasulullah s.a.w. terhadap pernikahan sirri (yang rahasia).
Karena Itulah rebana ditabuh seraya didendangkan.(Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VI,
hlm. 187):
)
( :
"Kami datang kepadamu, kami datang kapadamu, (karenanya) hormatilah kami. (Sebagai gantinya) kami akan
menghormatimu."
8. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Anas bin Malik.
Anas bin Malik berkata: "Sesungguhnya Nabi s.a.w. melewati beberapa tempat di Madinah. Tiba-tiba beliau
berjumpa dengan beberapa jariah yang sedang memukul rebana sambil menyanyikan: "Kami jariah bani Najjar.
Alangkah bahagianya bertetangga dengan Nabi besar." Mendengar dendang mereka, Nabi s.a.w. bersabda (Lihat
SUNAN MUSTAFA, hlm. 586):
)
(

"Allah mengetahui bahwa aku benar-benar sayang kepada kalian."

BB VI
SANGGAHAN (rebuttal, protest) TERHADAP YANG MENGHARAMKAN NYANYIAN DAN MAIN
MUSIK
Apabila diteliti mendalam dalil-dalil syara' maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan manusia seperti
melihat, mendengar, bersuara, berjalan, tidur dan menggunakan tangan adalah mubah bila dilihat dari
kerumuman pengertian dalil. Sebagai contoh, perhatikanlah firman Allah s.w.t.:
(8,9:) ( )

"Bukankah Kami telah berikan kepadamu dua buah mata (untuk melihat), lidah dan dua buah bibir (untuk
bersuara, mengecap makanan dan minuman).' (90:8,9).


(15 :( ) ...


"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka, berjalanlah di segala penjurunya...."(67:15).
(9 :) ( )
"Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat." (78:9).
(35 :( ).....
"Supaya mereka dapat makan dari buahnya dan dari apa yang diushakan oelh tangan mereka....." (36:35).
Dalil-dalil diatas mengajarkan keapda kita bahwa manusia boleh melihat dan mendengar apa saja. Manusia
boleh melihat pemandangan, mendengarkan suara wanita dan nyanyiannya kecuali terhadap apa-apa yang telah
dilarang syara' dalam perbuatan itu (Lihat Sauf-ud-Din al-Aamidi, AL-IHKAM FI USHUL-IL-AHKAM, Jilid I,
hlm. 130).
Seseorang juga dibolehkan mengeluarkan suara dengan cara apapun, misalnya berbicara, berpidato, berdiskusi,
dan bernyanyi, kecuali bila ada suatu dalil syara' yang memang melarangnya. Begitu pula tentang gerakangerakan lainnya. Sebagai salah satu contoh adalah sabda Rasulullah s.a.w. (H.R. Muslim, dari Abu Hurairah :
Hadis No.2657):




)

(

"Bani Adam (manusia) tidak dapat menghindar dari perbuatan (yang menghantarkannya kepada) zina, yang
pasti akan menimpanya, yaitu zina mata adalah dengan melihat (aurat wanita), zina telinga adalah dengan
mendengar (kata-kata porno, cinta asmara dari wanita/lelaki yang bukan suami/istri), zina tangan adalah dengan
rayuan dan kata-kata kotor dan porno), zina tangan adalah dengan bertindak kasar (memperkosa, menjawil
wanita), zina kaki adalah dengan berjalan (ke tempat maksiat, misalnya ke kompleks WTS). (Dalam hal ini),
hatilah yang punya hajat dan cenderung (kepada perbuatan-perbuatan tersebut), dan farji (kelamin) yang
menerima dan menolaknya."
Menurut riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa'labi melalui Ibnu 'Abbas, ada tambahan lafadz pada hadis
tersebut,yakni:
()
"Zina bibir adalah mencium (wanita yang bukan istrinya). (Lihat TAFSIR QURTHBI, Jilid XVII, hal. 106-107).
Bertolak dari dasar hukum inilah maka mendengar atau memainkan alat-alat musik atau menyanyi mubah
selama tidak terdapat suatu dalil syar'i yang menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut haram atau makruh.
Mengenai menyanyi atau memainkan alat musik dengan atau tanpa nyanyian, tidak terdapat satupun nash, baik
dari Al-Quran maupun sunnah rasul yang mengharamkannya dengan tegas. Memang ada sebagian dari para
sahabat, tabi'in dan ulama yang mengharamkan sebagian atau seluruhnya karena mengartikannya dari beberapa
nash tertentu. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hal tersebut makruh, sedangkan yang lain
mengatakan hukumnya mubah.
Adapun nash-nash (dalil-dalil) yang dijadikan alasan oleh mereka yang mengharamkan seni suara dan musik
bukanlah dalil-dalil yang kuat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak ada satu dalil pun yang berbicara
secara tegas dalam hal ini. Dengan demikian, tidak seorang manusia pun yang wajib diikuti selain daripada
Rasulullah s.a.w. Beliau sendiri tidak mengharamkannya. Seluruh riwayat hadis yang dipakai oleh golongan
yang mengharamkan alat musik dan nyanyian adalah dha'if atau maudhu' (palsu dan lemah). Oleh karena itu,
Imam Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi berkata: "Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul

yang mengharamkan nyanyian. Bahkan hadis Shahih (banyak yang) menunjukkan kebolehan nyanyian itu.
Setiap hadis yang diriwayatkan maupun ayat yang dipergunakan untuk menunjukkan keharamannya maka ia
adalah bathil dari segi sanad, bathil juga dari segi i'tiqad, baik ia bertolak dari nash maupun dari satu
penakwilan." (Lihat Imam Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054).
Walaupun ada beberapa riwayat yang benar dan bisa diterima tetapi ia tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itu,
patut kita bertanya, siapa yang patut diikuti, Rasulullah s.a.w. atau ulama?!
Tentang siapa yang harus diikuti, seorang Muslim telah memahami bahwa hanya Rasulullah s.a.w. yang patut
dijadikan rujukan atas setiap tindakannya. Bahkan pendapat ini telah diperkuat oleh sikap para sahabat dan
tabi'in. Di kalangan mereka tidak terdapat perbedaan pendapat di antara penduduk Madinah yang ketika itu
merupakan tempat tinggal para sahabat yang sebelumnya mereka bergaul rapat dengan Rasulullah s.a.w.
Misalnya, seperti apa yang dikutip oleh Imam Ibnu An-Nahawi dalam bukunya AL-'UMDAH bahwa (Lihat
Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115). telah diriwayatkan tentang halalnya
nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in.
Kemudian Ibnu An-Nahawi mencantumkan nama-nama para sahabat dan tabi'in yang membolehkan
menyanyikan nyanyian dan mendengarkannya.
Misalnya, di antara para sahabat adalah 'Umar, 'Utsman, 'Abd-ur-Rahman bin 'Auf, Abu 'Ubaidah Al-Jarrah,
Saad bin Abi Waqqash, Bilal bin Rabbah, Al-Bura' bin Malik, Abdullah bin Al-Arqam, Usamah bin Zaid,
Hamzah bin 'Umar, Abdullah bin 'Umar, Qurrazhah bin Bakkar, Khawwat bin Jubair, Rabah Al-Mu'tarif, AlMughirah bin Syu'bah, 'Amru bin Al-Ash, Aisyah binti Abu Bakar, Ar-Rabi', dan masih banyak lagi dari
kalangan sahabat.
Sedangkan dikalangan tabi'in terdapat nama-nama seperti Said bin Al-Musayyab, Salim bin 'Umar, Ibnu Hassan,
Kharizah bin Zaid, Syuraih Al-Qadli, Said bin Jubair, 'Amir Asy-Sya'bi, 'Abdullah bin Abi 'Athiq, 'Atha bin Abi
Rabah, Muhammad bin Shahab Az-Zuhri, 'Umar bin Abd-ul-'Aziz, Saad bin Ibrahim Az-Zuhri.
Adapun dari kalangan tabi'it tabi'in jumlahnya sangat banyak, di antaranya Imam yang empat, Ibnu 'Uyainah,
dan jumhur Syafi'iyah. (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 114-115).
Agar tidak timbul keraguan lagi maka di sini akan dibahas seluruh dalil yang dipakai oleh golongan yang
mengharamkan penggunaan alat-alat musik dan nyanyian.
1. SURAT LUQMAN, AYAT 6.
Ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan nyanyian. Tetapi ayat tersebut berkaitan erat dengan sikap dan
perbuatan orang-orang kafir yang berusaha menjadikan ayat-ayat Allah s.w.t. sebagai senda-gurau. Tujuan
mereka adalah untuk menghina, merendahkan dan berusaha menyesatkan orang-orang dari jalanNya. Mereka
bermaksud menjauhkan orang-orang agar tidak mengikuti agama Islam. Sikap dan perbuatan ayat tersebut di
atas terang dan jelas.
Dengan demikian, setiap usaha menakwilkan ayat tersebut dengan arti nyanyian adalah penyimpangan dari
makna yang telah ditunjukkan oleh ayat itu sendiri.
Dalam menanggapi pengertian pada ayat tersebut di atas, Imam Ibnu Hazm telah membantah penggunaan dalil
tersebut. Beliau berkata: (Lihat Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm, AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60):
"Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-orang yang bertindak demikian,
sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut, adalah orang-orang yang bila mengerjakannya telah
termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah menjadikan sabil (agama Allah s.w.t.) sebagai
senda gurau.
Andaikan Al-Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari Jalan Allah s.w.t. dan dijadikannya sebagai
bahan ejekan, maka tentu orang-orang yang melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang dicela oleh
Allah s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukanlah ditujukan kepada orang-orang yang menyibukkan

dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan Allah s.w.t.
Dengan demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang yang sengaja menyibukkan diri
dengan maksud tidak melakukan solat walaupun apa yang dilakukannya itu adalah dengan membaca Al-Quran,
buku-buku hadis, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang banyaknya uang, atau menyibukkan diri
dengan nyanyian dan yang serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah berbuat maksiat.
Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang
telah diwajibkan walaupun ia sibuk dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah muhsin
(orang yang tidak salah melangkah).
2. SURAT AN-NAJM, AYAT 59-61.
Ayat ini sama sekali tidal ada kaitannya dengan nyanyian. Ia hanya menjelaskan tentang sikap kafir Quraisy
yang merasa heran akan Hari Kebangkitan nanti yang sampai kepada kepada mereka. Karenanya, mereka
menganggap hal tersebut merupakan kejadian yang mustahil terjadi. Walaupun ayat Al-Quran yang disampaikan
Rasulullah s.a.w. kepada mereka telah memberitahukan tentang adanya Hari Kebangkitan itu, akan tetapi
mereka mentertawakan dan merendahkannya. Padahal seharusnya mereka beriman dan menangisi dosa-dosa
yang telah mereka perbuat.
Bertolak dari ayat ini, dari manakah para ulama tersebut mengambil pengertian tentang haramnya nyanyian?
Kalau mereka bersandarkan kepada kata "SAAMIDUN" yang mempunyai arti "nyanyian" untuk ayat ini, maka
samdaran tersebut tidak tepat sama sekali dan tidak sesuai untuk susunan ayat. Oleh karena itu, sebagian besar
ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud dengan kata "SAAMIDUN" adalah "MU'RIDHUN" (menghindari
daripadanya), dan atau "GHAFILUN" (mengabaikan, melupakan). (Lihat TAFSIR IBNU KATSIR, Jilid IV, hlm.
261; lihat juga TAFSIR ATH-THABARI, Juz XXVII, hlm. 48-49; TAFSIR QURTHUBI, Juz XVII, hlm. 123124).
3. AYAT 64 SURAT-UL-ISRAA.
Seperti ayat terdahulu, ayat ini juga tidak ada kaitannya dengan nyanyian. Tetapi ayat tersebut ada kaitannya
dengan perbuatan Iblis yang dibiarkan (hidup dan berbuat apa saja) oleh Allah s.w.t. untuk menggoda dan
menyelewengkan manusia dari jalanNya, Iblis dibiarkan leluasa mengajak manusia ke jalan maksiat. Oleh
karena itu, kata "SHAUTIKA" pada ayat tersebut tidak dapat ditakwilkan dengan arti "nyanyian".
Walaupun arti "SHAUTIKA" secara lughawi adalah "suaramu", tetapi arti tersebut berbentuk kiasan. Tidak ada
seorang manusia pun yang dapat mendengar suara Iblis. Manusia hanya dapat merasakan bisikan dari Iblis (rasa
was-was) yang berbentuk seruan atau ajakan kepada maksiat. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Qatadah, dan
Ibnu Jarir Ath-Thabari, serta pendapat ahli tafsir secara umum. (Lihat TAFSIR IBNU KATSIR, Jilid III, ayat
50).
Pengertian inilah yang sesuai dengan susunan ayat tersebut di atas. Sedangkan hukum penggunaan alat-alat
musik dan nyanyian, tidak bisa diambil dari ayat ini walaupun terdapat pendapat dari sebagian ulama tabi'in
seperti Mujahid, Adh-Dhahaak, dan lain-lain, yang menafsirkan ayat tersebut dengan arti "nyanyian" dan "alat
musik". Tetapi ajakan atau seruan Iblis untuk mengajak kepada maksiat kadang-kadang memang dapat saja
dikaitkan dengan berbagai jenis hiburan yang kadarnya melebihi takaran (keterlaluan), atau melampaui batasbatas yang dibenarkan syara' seperti main musik dan beryanyi pada waktu solat Juma'at, atau tatkala kaum
Muslimin hendak berangkat ke medan jihad. Pada jenis pesta yang bercampur antara kaum lelaki dan
perempuan adalah suatu peristiwa yang disenangi syetan, apalagi kalau disertai dengan minuman keras, judi,
main perempuan, joget bersama, dan lain-lain. Dengan demikian ayat ini dapat dikaitkan dengan bentuk-bentuk
ajakan Iblis yang sarananya berupa nyanyian atau hiburan lain yang tegas keharamannya.
4. HADIS IMAM BUKHARI, No. 5590.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian lima di atas, Hadis ini tidak dapat dipakai sebagai dalil untuk
mengharamkan nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Di dalam Hadis ini terdapat "QARINAH" (tanda
penunjukan) bahwa mereka telah berani menghalalkan perzinaan, memakai sutera, menenggak (swallow, gulp
down) khamr, dan memainkan alat-alat musik. Mengenai perzinaan dan minum khamr, sudah jelas hukumnya.
Adapun mengenai pemakaian sutera dan memainkan alat-alat musik maka syara' telah mengaturnya sebagai
sebagai berikut:

Mengenai sutera, syara' telah menghalalkannya bagi kaum wanita tetapi haram bagi kaum lelaki kecuali apabila
ada alasan yang membolehkannya. Misalnya, bila seseorang menderita penyakit kulit (semisal eksim), maka ia
mendapat "rukhshah" (keringanan) dan ia boleh memakainya. Semua keterangan tersebut menunjukkan bahwa
yang dimaksud pemakai sutera dalam Hadis tersebut adalah orang-orang yang menghalalkan pemakaian sutera
bagi kaum lelaki secara mutlak tanpa kecuali.
Begitu pula tentang penggunaan alat-alat musik, syara' telah membolehkannya dalam acara pesta pernikahan
atau pada hari raya dan hari-hari gembira lainnya. Tetapi dalam hal ini, syara' telah mengharamkan menjadikan
nyanyian dan memainkan orkes sebagai profesi kaum wanita. Artinya, mereka tidak dibolehkan menerima
imbalan dari profesi (pekerjaan) tersebut.
Rasulullah s.a.w. bersabda:


(

"Penghasilan penyanyi wanita (bayaran) adalah tidak halal, begitu juga memperjualkan dan mendengarkan suara
(nyanyian) nya."
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan, maksud Hadis Imam Bukhari tersebut jatuh kepada segolongan
orang-orang dari kaum Muslimin yang berani menghalalkan penggunaan alat-alat musik di luar batas-batas yang
telah digariskan syara'. Misalnya memainkannya di tempat umum (televisi, stadion, atau panggung-panggung
pertunjukkan terbuka lainnya), bukan di tempat dan acara khusus, seperti pada acara pesta pernikahan di rumahrumah. Dengan kata lain, syara' membolehkan biduanita budak menyanyi untuk pemilikinya, dan atau untuk
para wanita lainnya dalam acara pernikahan. Boleh saja salah seorang di antara anggota keluarga pengantin ikut
bernyanyi, tetapi syara' tidak membolehkan ada penyanyi wanita bayaran sebagaimana yang umum terjadi
sekarang ini.
5. HADIS MUSNAD IMAM AHMAD, JILID V, HLM. 259.
Hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan karena dari segi sanadnya dha'if. Imam Ahmad telah meriwayatkan
dari Sa'id bin Mansur dari Al-Harits bin Nabhan, dari Farqad As-Sabakhi, dari Ashim bin Amru, dari Abu
Umamah.
Dalam menanggapi Hadis tersebut, Imam Ibnu Hazm telah menolak sanad Hadis tersebut. Beliau mengatakan
bahwa Al-Harits bin Nabhan Hadisnya tidak boleh ditulis, dan Farqad As-Sabakhi Hadisnya lemah. Bahkan
Imam Ahmad sendiri mengatakan bahwa Farqad As-Sabakhi riwayat Hadisnya tidak kuat. (Lihat Ibnu Hazm,
AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59). Tetapi Ibnu Mu'in mengatakan bahwa orang ini "tsiqah" (dapat dipercaya).
(Lihat Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 111).
Imam Az-Zahabi mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan riwayatnya menurut Imam Bukhari adalah "munkarul-hadits" (Hadis cacat yang diriwayatkan oleh satu riwayat saja dan orang tersebut belum dapat dipercaya).
Tetapi menurut Imam An-Nasai, Hadisnya "matruk" (Hadisnya harus ditinggalkan). Sedangkan Ibnu Mu'in
berpendapat, Hadis Al-Harits bin Nabhan "Laisa bi syai" (Hadisnya tidak perlu diperhatikan atau tidak perlu
ditulis). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDALI FI NAQD-IR-RIJAL, Jilid I,
hlm.444, No.perawi Hadis 1649).
Adapun Farqad As-Sabakhi walaupun menurut Ibnu Mu'in orang tersebut dapat dipercaya, namun menurut Abu
Hatim sanadnya tidak kuat. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa di dalam Hadisnya banyak Hadis
yang "munkar". Kemudian menurut Imam An-Nasai, Hadisnya dha'if dan orangnya tidak dapat dipercaya. (Lihat
Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi, ibidem, Jilid III, hlm. 346, No perawi Hadis 6699).
6. HADITSNYA ABU DAWUD No. 4927.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanadnya adalah dari Muslim bin Ibrahim, dari
Sallam bin Miskin melalui seorang kakek yang tidak disebutkan namanya. Si kakek itu pernah berjumpa dengan
Abu Wail yang mendengar sebuah Hadits Rasulullah s.a.w. dari Ibnu Mas'ud yang berbunyi:

()
"Lagu atau nyanyian adalah sesuatu yang dapat menumbuhkan sifat nifaq di dalam hati manusia."
Pada sanad Hadits tersebut terdapat seseorang yang "majhul" (tidak dikenal), yaitu seorang kakek tua. Menurut
kaidah ilmu Hadits bila sanadnya majhul, maka Hadits tersebut harus ditolak. Tetapi di dalam sanad Hadits ini
terdapat seseorang yang dapat dipercaya, yaitu Sallam bin Miskin. Namun Imam Abu Dawud mengatakan
bahwa perawi tersebut cenderung kepada pendapat golongan Qadariyah (golongan yang menolak adanya
takdir). Karena itu sudah cukup bagi kita untuk meolak riwayatnya karena berarti ia telah tergolong ke dalam
golongan (Qadariyah) yang berbuat bid'ah. Sedangkan ahli bid'ah tidak boleh diterima riwayatnya.
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya, juga dari Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Adi, dan Ad-Dailami
dengan sanad yang dha'if. Menurut Ibn-ul-Qathan, ia menukilkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan
bahwa Hadits ini tidak shahih. Pendapat ini juga didukung oleh Imam As-Sarkhasi dan Imam Al-'Iraqi yang
menolak Hadits tersebut karena ada seseorang yang tidak tercatat namanya.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya juga dalam kitab SYUAB-UL-IMAN dari Jarir dengan sanad yang di
dalamnya ada seseorang yang bernama Ali bin Hammad. Orang ini menurut Imam Daruquthni adalah "matruk"
(harus ditinggalkan).
Selain itu pada sanadnya ada Abdullah bin Abd-ul-'Aziz bin Ruwat yang menurut Imam Abu Hatim Haditsnya
munkar seluruhnya. Akan halnya Ibn-ul-Junaid, beliau berpendapat orang ini "tidak bernilai sesenpun" (Lihat
Abd-ur-Rauf Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 413-414).
7. HADITS IMAM TIRMIDZI, NO. 1011.
Hadits ini walaupun dari segi sanadnya mursal, yang umumnya ditolak oleh sebagian ahli Hadits, tetapi oleh
sebagian lainnya dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum dan pendapat. Cara seperti inilah yang dapat
diterima. Tetapi dari segi matannya (isi Hadits), ia tidak menunjukkan bahwa telah diturunkan azab atas mereka
yang berupa tanah longsor (landslide), pertukaran rupa dari manusia ke wajah hewan, terjadinya kerusuhan
adalah karena mereka telah menggunakan alat-alat musik atau karena mereka telah mendengar nyanyian seorang
biduanita dan menenggak (swallow, gulp down) minuman keras. Tetapi semua malapetaka yang menimpa
mereka disebabkan oleh karena mereka telah menghalalkan khamr, perzinaan, memakai sutera (bagi lelaki), dan
membolehkan wanita tampil sebagai penyanyi dalam forum yang bercampur antara lelaki dan perempuan.
Selain itu mereka menghalalkan menggunakan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah ditentukan oleh
syara', sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadits riwayat lainnya. Salah satu di antara Hadits tersebut
adalah riwayat Bukhari Hadits No. 5590 yang berbunyi:
)
(
:
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak dan alat
permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu
para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh
seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari."
Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang
tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat."
Juga riwayat Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dalam buku TARIKHnya melalui Abi Malik AlAsy'ari dari Rasulullah s.a.w. yang bersabda (Lihat Imam Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, FATH-ULBARI, Jilid X, hlm. 55):
(
)
"Segolongan dari umatku akan minum khamr tetapi dengan menyebutkan dengan nama lain, dan mereka akan
didatangi oleh para penyannyi wanita keliling beserta pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya."

8. HADITS DI DALAM TAFSIR ATH-THABARI, JUZ XXI, HLM. 39.


Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari Al-Waqi', dari Khallaf Ash-Shaffar, dari 'Ubaidillah bin
Zahhar, dari Ali bin Yazid, dari Al-Kasim bin Abd-ur-Rahman, dengan sanad yang lemah. Di dalam Hadits
tersebut terdapat sanadnya yang bernama Ali bin Yazid yang menurut Imam Bukhari adalah perawi Hadits yang
munkar (Haditsnya harus ditolak). Kemudian Imam An-Nasai juga menilai bahwa orang tersebut tidak dapat
dipercaya. Abu Zur'ah berkata bahwa Haditsnya tidak kuat riwayatnya, sedangkan Ad-Daruquthni berkata
bahwa orang tersebut "matruk" (Haditsnya harus ditinggalkan). (Lihat Muhammad bin Ahmad Az-Zahabi,
MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid III, hlm. 161; No. perawi Hadits 5966).
Walaupun sanad hadits tersebut lemah tetapi dari segi matannya Hadits ini tidak menunjukkan haramnya
nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Focus Hadits ini hanya terbatas pada larangan mengajarkan teori
musik dan mengarang lagu untuk dinyanyikan kaum wanita. Selain itu, Hadits ini juga melarang melakukan
praktek jual-beli penyanyi wanita atau memberikan imbalan kepada mereka atas jasa menyanyi.
Semua larangan tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih layak diajarkan ilmu atau kepandaian
yang selain itu, seperti menjahit, merenda, menenun, mengajarkan ilmu fiqih, tafsir, dan ilmu syariat lainnya,
atau ilmu-ilmu yang dibutuhkan bagi kaum wanita seperti ilmu kebidanan, dan sebagainya. Hadits ini juga
menegaskan bahwa wanita mempunyai kehormatan. Bahkan andaikan ia berstatus wanita budak, tetapi ia tidak
boleh diperjualbelikan, khususnya bagi penyanyi budak wanita. Larangan tersebut berlaku pula untuk praktek
memberikan imbalan kepada penyanyi wanita yang menjadikan pekerjaan tersebut sebagai profesinya.
9. HADITS RIWAYAT IBNU GHAILAN AL-BAZZAZ.
Hadits ini dari segi sanadnya lemah sebab di dalamnya terdapat dua orang perawi yang tak bisa diterima
riwayatnya.
PERTAMA: 'Abbad bin Ya'kub. Mengenai orang ini, Imam Az-Zahabi berkata bahawa orang tersebut adalah
salah seorang anggota kelompok ghulat (ekstrimis) dari kalangan kaum Syi'ah dan disebutkan sebagai orang
yang terkemuka di antara golongan yang membuat bid'ah, walaupun, kata Imam Az-Zahabi, orang ini jujur
dalam meriwayatkan Hadits. Kemudian Imam Ibnu Hibban menilai orang ini sebagai pendakwah untuk
kalangan golongan Rafidhah (Syi'ah). Selanjutnya Ibnu Hibban mengatakan bahwa orang ini meriwayatkan
Hadits-Hadits munkar dari orang-orang (perawi) terkemuka. Oleh karena itu, kata Ibnu Hibban, riwayatnya
harus ditinggalkan. (Lihat Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid II, hlm. 379, No. perawi 4149).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Abbad bin Ya'kub termasuk salah seorang yang aktif dalam
mengembangkan madzhab Syi'ah Rafidhah. Orang ini selalu mencela 'Utsman bin 'Affan dan para sahabat
lainnya. Perbuatannya itu menjadi alasan yang kuat untuk menolak semua riwayatnya. Selain itu ia juga seorang
ahli bid'ah yang menurut kaidah ilmu musthalah Hadits, tidak bisa diterima riwayatnya.
KEDUA: perawi pada sanad Hadits ini adalah Ja'far bin Muhammad bin 'Abbad Al-Makhzumi. Mengomentari
orang tersebut, Imam An-Nasai berkata: "Dia tidak kuat riwayatnya ". Sedangkan Ibnu 'Uyainah mengatakan
bahwa orang ini bukan ahli Hadits (tidak bisa diterima riwayatnya). (Lihat Imam Az-Zahabi, MIZAN-ULI'TIDAL. Jilid I, hlm. 414, No perawi 1518).
Mengenai isi Hadits, dari segi matannya, Hadits tersebut menjelaskan bahwa penghasilan penyanyi lelaki
maupun perempuan adalah haram. Yang dimaksud dengan penyanyi di sini adalah biduan dan biduanita yang
bernyanyi di tempat-tempat maksiat. Tempat maksiat yang dimaksud adalah tempat yang di dalamnya orangorang tidak merasa takut menenggak minuman keras. Penjelasan seperti ini diterangkan oleh Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dari 'Umar bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda (Lihat Al-Hafizh AdDailami, FIRDAUS-UL-AKHBAR, Jilid II, hlm. 164, No. perawi 2371).
()
"Penghasilan wanita budak (Qayinah; yang bernyanyi di arena maksiat) adalah suhtun (haram), dan begitu pula
nyanyiannya. Juga melihatnya (wanita itu) adalah haram. Penghasilannya sama dengan hasil dari penjualan
anjing. (karenanya) hartanya adalah suhtun (haram) pula. Siapa saja yang daging tubuhnya tumbuh dari yang
suhtun itu, maka tempat yang layak baginya adalah nereka jahanam."

Walaupun pada Hadits tersebut ada perawi yang bernama Yazid bin Abd-ul-Malik An-Naufali yang menurut
Imam Al-Haitsami telah didha'ifkan oleh jumhur ahli Hadits, namun Imam Al-Haitsami telah menukilkan
pendapat Ibnu Mu'in yang mengatakan bahwa riwayatnya tidak ada masalah (bisa diterima). Selain itu, Imam
Al-Haitsami mengutip perkataan 'Utsman bin Sa'id: "Aku pernah menanyakan kepada Yahya tentang orang
tersebut. Lalu Yahya menyebutkan bahwa riwayat orang tersebut tidak ada masalah (bisa diterima)." Namun
dalam riwayat Hadits yang lain, Yahya berkata bahwa orang tersebut tidak bisa diterima riwayatnya. (Lihat AlHaitsami, MAJMA'-UL-FAWAID, Jilid IV, hlm. 91: Imam Az-Zahabi, MIZAN-UL-I'TIDAL, Jilid IV, hlm.
433).
Berdasarkan Hadits di atas, maka yang dimaksud dengan penyanyi adalah wanita yang menyanyi di hadapan
kaum lelaki dalam suatu ruangan tempat bercampur-baurnya lelaki dan perempuan, serta di dalamnya banyak
orang bermabuk-mabukan. (Lihat Imam Al-Ghazali, IHYA 'ULUMIDDIN, Juz VI, Jilid II, hlm. 164).
Hadits ini juga tidak ada kaitannya dengan hukum nyanyian, apakah boleh atau tidak. Namun Hadits tersebut
ada kaitannya dengan wanita yang menyanyi untuk kaum lelaki yang fasiq, baik di tempat-tempat umum
maupun tempat-tempat khusus. Begitu juga penghasilan para pemain musik adalah haram bila pekerjaan
tersebut dijadikan sebagai profesi, sebagaimana bunyi Hadits Abu Ya'la Ad-Dailami (Lihat Imam Al-Manawi,
FAIDH-UL-QADIR, Jilid IV, hlm. 550):
()
"Penghasilan para penyanyi dan pemusik adalah haram."
Oleh karena itu Hadits tersebut di atas tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang mengharamkan nyanyian.

BAB VII
HALAL ATAU HARAM NYANYIAN DAN MEMAINKAN ALAT MUSIK?
Nyanyian yang bersifat vokal (suara manusia tanpa instrumen musik) tidak diperselisihkan oleh para fuqaha.
Mereka mengatakan bahwa nyanyian semacam ini halal atau dibolehkan, sebagaimana yang dikutip oleh Imam
Asy-Syaukani dari berbagai kalangan ulama (Lihat Asy-Syaukani , NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII,hlm. 114115):
"Nyanyian tanpa instrumen musik, Al-Adhfawi dalam kitabnya AL-IMTA menyebutkan bahwa Imam AlGhazali dalam berbagai karangan fiqihnya menegaskan kesepakatan ulama tentang halalnya nyanyian jenis ini.
Begitu juga Ibnu Thahir berpendapat ada ijma' sahabat dan tabi'in tentang halalnya nyanyian vokal ini. At-Tajul-Fazari dan Ibnu Qutaibah menyebutkan adanya ijma' penduduk Mekah dan Madinah. Ibnu Thahir dan Ibnu
Qutaibah juga menyebutkan adanya ijma' penduduk Madinah dalam hal tersebut. Sedangkan Imam Al-Mawardi
mengatakan bahwa penduduk Hijaz sejak dulu sampai sekarang (abad 5 H) membolehkan nyanyian jenis ini
pada hari-hari yang mulia dalam setahun yang (kaum Muslimin) diperintahkan untuk melakukan nazam-nazam
zikir dan ibadah."
Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Umdah berkata:
"Telah diriwayatkan tentang halalnya nyanyian dan mendengarkannya dari sekelompok sahabat dan tabi'in, di
antaranya adalah Imam yang empat, Ibnu "Uyainah, dan jumhur Syafi'yah."
Ini mengenai nyanyian vokal tanpa instrumen musik. Adapun nyanyian yang disertai dengan alat musik maka
ulama yang menghalalkannya mengatakan bahwa semua Hadits yang membahas masalah ini nilainya tidak

sampai ke tingkat shahih maupun hasan. Inilah yang dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi (Lihat
Abu Bakar Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm. 1053-1054):
"Tidak terdapat satu dalil pun di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasul yang mengharamkan nyanyian. Bahkan
ada Hadits yang menunjukkan bolehnya nyanyian. Hadits shahih itu mengatakan bahwa Abu Bakar pernah
masuk ke tempat Aisyah yang disampingnya ada dua jariyah penyanyi dari kalangan Anshar yang sedang
menyanyikan tentang hari Bu'ats. Kemudian Abu Bakar berkata: "Di rumah Nabi s.a.w. ada seruling syaitan?"
Mendengar perkataan itu, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Biarkanlah keduanya, wahai Abu Bakar, sebab sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
Ibn-ul-'Arabi berkata: "Jika nyanyian itu haram, tentu di rumah Rasulullah s.a.w. tidak akan ada sama sekali hal
tersebut. Tetapi alasan yang diberikan beliau (Nabi s.a.w.) untuk membolehkannya adalah karena nyanyian itu
dilakukan pada hari raya, yang hal tersebut menunjukkan bahwa bila nyanyian itu dilakukan secara terusmenerus, maka hukumnya makruh. Sedangkan rukhshah (keringanan) untuk melakukannya terbatas pada saatsaat tertentu seperti hari raya, perkawinan, pulangnya seseorang kekampung halamannya, dan sebagainya.
Berkumpulnya orang-orang (dalam acara tersebut) biasanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang sejak
lama tidak bertemu atau berkumpul, baik berkumpulnya kalangan kaum wanita maupun pria. Jadi, setiap Hadits
yang diriwayatkan maupun ayat dipergunakan untuk menunjukkan keharaman nyanyian merupakan pendapat
yang bathil atau tidak benar dari segi sanad dan ijtihad, baik bertolak dari nash maupun suatu takwilan."
Imam Ibnu Hazm juga memberikan komentar yang melemahkan semua Hadits riwayat tentang nyanyian.
Bahkan menurut beliau, sebagian di antaranya adalah maudhu' (palsu). Inilah komentarnya. (Lihat Ibnu Hazm,
AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 59):
"Jika belum ada perincian dari Allah s.w.t. maupun RasulNya tentang haramnya sesuatu yang kita bincangkan di
sini (dalam hal ini adalah nyanyian dan menggunakan alat-alat musik), maka telah terbukti bahwa ia adalah
halal atau boleh secara mutlak."
Adapun orang yang bertolak dari pendapat Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas tentang firman Allah s.w.t. surat
Luqman, ayat 6 tentang arti Lahw-ul-hadits dalam ayat tersebut adalah 'nyanyian". Begitu juga pendapat Ibnu
'Abbas yang mengatakan bahwa memainkan alat musik rebana dan setiap alat musik termasuk seruling, tambur,
adalah haram. Maka Ibnu Hazm membantah pendapat ini dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm, ALMUHALLA, Jilid VI, hlm. 60). bahwa semua pendapat yang semacam ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah
atau bukti dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1. Tidak ada hujjah dalam ucapan manusia manapun selain ucapan Rasulullah s.a.w.
2. Pendapat Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud, Ibrahim, Mujahid, dan Ikrimah tentang firman Allah s.w.t. dalam
surat Luqman, ayat 6 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian, maka pendapat
ini bertentangan senga pendapat yang lainnya dari kalangan sahabat dan tabi'in.
3. Teks ayat tersebut cukup untuk membatalkan hujjah mereka. Orang-orang yang bertindak demikian,
sebagaimana yang diterangkan dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang bila mengajarkannya telah
termasuk kafir tanpa ada selisih pendapat (khilaf). Mereka telah menjadikan Sabil (Agama Allah s.w.t.) sebagai
senda gurau. Andaikan Al-Quran dibeli untuk menyesatkan orang-orang dari jalan Allah s.w.t. dan dijadikannya
sebagai bahan ejekan maka tentu orang-orang yang melakukan hal tersebut telah menjadi kafir. Inilah yang
dicela oleh Allah s.w.t. melalui ayat tersebut. Arti ayat itu bukan ditujukan kepada orang-orang yang
menyibukkan dirinya dengan sesuatu untuk menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan orang lain dari jalan
Allah s.w.t. Dengan demikian, hujjah mereka telah gugur. Begitu pula dengan orang-orang yang sengaja
menyibukkan diri dengan maksud tidak melakukan solat walaupun apa yang dilakukannya adalah dengan
membaca Al-Quran, buku-buku Hadits, mencari bahan untuk pengajian, sibuk memandang banyaknya uang,
atau menyibukkan diri dengan nyanyian dan yang serupa dengannya, maka orang tersebut adalah fasiq dan telah
berbuat maksiat. Adapun yang tidak meninggalkan sesuatu dari apa yang telah diwajibkan walaupun ia sibuk
dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka orang tersebut adalah muhsin (orang yang tidak salah
melangkah).

Kemudian beliau melanjutkan bantahannya terhadap pendapat dari pihak yang menanyakan, apakah nyanyian
itu tergolong dalam Al-Haq (sesuatu yang dibenarkan oleh agama) atau tidak? Ini disebabkan karena Allah s.w.t.
telah berfirman:
)


(
"...maka tidak ada sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan." (10:32), dengan mengatakan (Lihat Ibnu Hazm,
AL-MUHALLA, Jilid VI, hlm. 60).
Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
)
( ( )

"Sesungguhnya amal perbuatan (manusia) itu tergantung niatnya. Bahwasanya apa yang diperoleh oleh
seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya...."
Oleh karena itu siapa saja yang niatnya mendengar nyanyian untuk melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah,
maka ia adalah seorang fasiq. Begitu pula halnya tiap sesuatu (hiburan) selain nyanyian. Sedangkan orang yang
berekreasi di kebun atau duduk-duduk di depan pintu rumah sambil melihat orang-orang yang sedang berjalan,
mencelup bajunya dengan warna biru atau hijau, dan warna lainnya, atau ingin meluruskan kaki atau
menekuknya (fold s.t., bend s.t. over), begitu pula dengan seluruh perbuatan yang serupa dengannya.
Bertolak dari keterangan di atas maka terbukti dengan pasti bathilnya pendapat orang-orang yang meributkan
masalah tersebut (yang mengharamkan nyanyian).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, ditambah dengan berbagai keterangan sebelumnya maka dapat kita simpulkan
bahwa para ulama memang telah berselisih pendapat terhadap masalah nyanyian. Sebagian dari mereka tidak
menganggap Hadits-Hadits yang mengharamkan nyanyian adalah shahih. Sedangkan yang lain telah menjadikan
Hadits-Hadits tersebut sebagai hujjah atau bukti untuk mengharamkan nyanyian. Masing-masing mengikuti apa
yang mereka tentukan sebagai dasar pengambilan hukum sesuai dengan ijtihadnya. Karenanya, siapa saja yang
ijtihadnya telah menghasilkan suatu dugaan yang kuat bahwa bernyanyi dan mendengarkannya adalah haram,
maka itulah hukum Allah terhadapnya, juga terhadap setiap orang yang mengikutinya.
Sedangkan bagi orang-orang yang belum terbukti baginya keshahihan Hadits-Hadits yang mengharamkan
nyanyian yang disertai dengan dugaan kuat dan dengan ijtihad yang benar, maka itulah hukum Allah
terhadapnya. Juga terhadap setiap orang yang mengikutinya sebab masalah ini adalah masalah khilafiyah
sebagaimana yang telah kami uraikan pada bab-bab sebelumnya.

BAB VIII
MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN
Barangkali ada yang bertanya, apa mungkin mengambil salah satu pendapat di antara berbagai pendapat pro dan
kontra, lalu menguatkannya agar nash-nash syara' tidak kelihatan kontroversial?
Pertanyaan tersebut memang perlu dijawab untuk menentukan sikap dan pendirian. Hadits yang paling shahih
yang mengharamkan nyanyian adalah Hadits Imam Bukhari dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam yang mendengar
dari Abu Malik Al-'Asya'ari bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
()

"Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera, arak,
dan alat-alat musik..." (HR. IMAM BUKHARI, No. Hadits 5590).
Juga Hadits Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dalam kitab AT-TARIKH-UL-KABIR.dari Malik bin
Abi Maryam yang meriwayatkan dari Abd-ur-Rahman bin Ghunam dari Abi Malik Al-'Asy'ari dari Rasulullah
s.a.w. (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BARI, Jilid X, hlm. 55):
(
)
"Sekelompok umatku akan minum khamr (minuman keras) dan menyebutkannya dengan
nama (baru) selain nama khamr. Para penyanyi wanita akan mendatangi mereka, lalu
para pemain musik akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka."
TIDAK ADA DUA BENTUK HADITS KONTROVERSIAL.
Memperhatikan nash-nash di atas maupun nash lainnya yang mengharamkan nyanyian menyebabkan seseorang
tiba kepada sebuah kesimpulan bahwa ada kontroversial antara nash-nash yang membolehkan dengan nash-nash
yang mengharamkan nyanyian. Karena itulah kita perlu kembali kepada suatu kaidah ushul fiqih yang sudah
masyhur di kalangan ulama, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Syafi'i dalam kasus seperti ini. (Lihat Imam
Asy-Syaukani, IRSYAD-UL-FUHUL ILA TAHQIQ-IL-HAQ MIN-ILM-IL-USHUL, hlm. 375; Imam Syafi'i,
AR-RISALAH, hlm. 352, No. Hadits 925).
Imam Syafi'i berpendapat, tidak dapat dibenarkan ada dua Hadits shahih saling kontroversial yang salah satunya
tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Hadits lainnya, bukan karena adanya kekhususan-keumuman
lafazhnya, karena ada sesuatu yang tidak jelas maksudnya (mujmal), atau adanya penjelasan (dalam nash lain).
Tetapi sifat kontroversial itu hanya boleh terjadi dalam hal penasakhan (penghapusan hukum lama dengan yang
baru), walaupun seorang mujtahid tidak menemukan nasakh tersebut."
Imam Al-Khaththabi juga mengemukakan hal serupa, (Imam Al-Khaththabi, MA'ALIM-US-SUNANI, Jilid III,
hlm.80). Katanya: "Apabila ada dua Hadits dari segi zhahir lafaznya berbeda, dapat diperkuat oleh salah satu di
antara keduanya setelah ditentukan nilainya masing-masing Hadits tersebut. Setelah itu, maka tidak boleh
ditolak sama sekali atau dianggap antara keduanya saling bertentangan. Tetapi keduanya dipakai dan
ditempatkan pada posisinya masing-masing. Begitulah sikap para ulama terhadap banyak Hadits."
Berdasarkan keterangan di atas maka sikap yang lebih tepat adalah mengambil kedua Hadits tersebut yang
kelihatannya saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Bahkan sesungguhnya antara kedua
Hadits tersebut dapat dikatakan tidak berlawanan satu dengan lainnya sebab setiap Hadits telah disampaikan
pada suatu peristiwa atau di tempat-tempat yang saling berbeda, walaupun obyek pembahasannya sama.
1. BAGAIMANA MENENTUKAN NYANYIAN HALAL DAN HARAM.
Hadits yang melarang nyanyian berkaitan dengan nyanyian secara umum. Sedangkan Hadits-Hadits yang
membolehkannya bersifat khusus, yakni terbatas pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertantu. Misalnya, hari
raya, pesta pernikahan, pulang kampungnya seseorang ke negeri kelahirannya, dan sebagainya.Kekhususan
tersebut ditunjukkan oleh sabda Rasulullah s.a.w. dalam Hadits-Hadits yang membolehkan nyanyian, antara lain
sikap beliau terhadap Abu Bakar yang ketika itu menegur dua wanita yang sedang bernyanyi di rumah
Rasulullah s.a.w. Nabi s.a.w. berkata kepada Abu Bakar:
"Biarkanlah mereka (melanjutkan nyanyiannya), wahai Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari raya." (HR.
MUSLIM, Hadits no. 17; dan BUKHARI, Hadits no. 987).
Juga sabda beliau kepada 'Aisyah r.a. yang ketika itu menikahkan seorang perempuan kerabatnya, dengan katakata (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 119):

"Apakah engkau sudah membawa seseorang bersamanya untuk bernyanyi?....(HR. IBNU MAJAH, Hadits no.
1900).
Begitu pula halnya dengan sabda Rasulullah s.a.w. kepada seorang wanita yang telah bernazar untuk memukul
rebana di hadapan beliau sambil bernyanyi. Rasulullah s.a.w. berkata wanita itu:
"Jika engkau sudah menetapkan nazarmu, maka lakukanlah (sesuai dengan nazar itu)." (HR. AHMAD,
TIRMIDZI, IBNU HIBBAN, dan AL-BAIHAQI).
Semua Hadits tersebut di atas mengkhususkan umumnya nash-nash yang mengharamkan nyanyian serta
membatasinya, yakni membolehkannya dalam kondisi dan keadaan tertentu. Kekhususan ini menunjukkan
posisi hukumnya, yaitu makruh melakukan nyanyian apabila dilakukan secara terus-menerus. Syaratnya adalah
tidak bercampur-baur dengan bentuk kemungkaran. Apabila telah bercampur maka tentu hukumnya haram.
Adapun Hadits yang mengharamkan nyanyian pada awal bab ini adalah sabda Rasulullah s.a.w.:
"Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, (memakai) kain sutera (pada
kaum lelaki), arak, dan alat-alat musik...." (HR. IMAM BUKHARI).
Dalam lafaz yang lain disebutkan tambahan (" ) para penyanyi wanita". Riwayat ini tercantum dalam kitab
Imam Bukhari AT-TARIKH-UL-KABIR.
Hadits tersebut dapat ditafsirkan oleh Hadits lainnya yang menjelaskan bagaimana mereka akan menghalalkan
minuman khamr, alat-alat musik, dan para penyanyi, yaitu sabda Rusullah s.a.w.(Lihat Imam Asy-Syaukani,
NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 106):
)

(
"Sekelompok dari umatku akan minum khamr dan menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para
pemusik bersama penyanyi wanita akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan
dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam bentuk kera dan babi." (HR. IBNU
MAJAH, ABU DAWUD, dan dishahihkan oleh IBNU HIBBAN).
Dari seluruh Hadits di atas yang membolehkan dan mengharamkan nyanyian dapat diambil suatu pengertian
bahwa nyanyian itu hukumnya mubah, asal sya'irnya mencantumkan hanya makna-makna yang mubah saja.
Kecuali apabila disertai dengan hal-hal lain yang haram, misalnya ada khamr atau bercampurnya lelaki dan
perempuan.
Dengan demikian nash Hadits tersebut di atas telah menjelaskan bentuk permainan alat musik dan nyanyian
yang dicela oleh syara' yang disebutkan di dalam Hadits yang mengharamkan nyanyian. Bila ia melanggar
ketentuan syara' (memainkan musik dan bernyanyi dengan cara ini), maka haram hukumnya karena disertai
dengan hal-hal yang haram. Dalam hal ini kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat
pertunjukkan seperti itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya. Itulah maksud sabda Rasulullah s.a.w.:
Sekelompok dari umatku akan menghalalkan permainan alat-alat musik dan penyanyi wanita (bersama
mereka)."
Dengan keterangan di atas maka tidak bisa kita menyamaratakan semua nyanyian itu haram atau mubah karena
dalil-dalil syara' telah membolehkan nyanyian dalam pesta pernikahan atau pada hari raya. Dalil-dalil tersebut
mengkhususkan umumnya nash-nash yang mengharamkan nyanyian. Sedangkan yang mengharamkannya telah
membatasi keharamannya dalam keadaan dan kondisi tertentu. Dari sini dapat ditarik dua macam hal:

1. NYANYIAN YANG HARAM.


Jenis nyanyian ini terbatas pada nyanyian yang disertai dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal
minuman khamr, menampilkan aurat wanita, atau nyanyiannya berisi sya'ir yang bertentangan dengan aqidah
atau melanggar etika kesopanan Islam. Contoh untuk ini adalah sya'ir lagu kerohanian agama selain Islam, lagu
asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor, dan porno. Tak peduli apakah nyanyian itu
berbentuk vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dinyanyikan oleh lelaki maupun wanita.
2.NYANYIAN YANG MUBAH.
Kriteria jenis nyanyian ini adalah tidak boleh bercampur dengan sesuatu yang telah disebutkan dalam jenis
nyanyian yang haram di atas. Ia tidak disertai dengan kata-kata yang memuji kecantikan wanita, tidak disertai
mabuk-mabukan, tidak ada kata-kata yang mengajak pacaran, main cinta, atau senandung asmara. Tidak juga
diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita
dan lelaki bebas bercampur-baur menari bersama. Kecuali bila diadakan di rumah-rumah dan semua orang yang
terlibat baik maupun wanitanya adalah dari keluarga dan kerabat sendiri (muhrim bagi yang lain). Misalnya
seorang ibu bernyanyi untuk anaknya di depan suaminya; seorang bibi bernyanyi di depan keponakannya;
seorang perempuan bernyanyi untuk saudaranya; seorang istri bernyanyi untuk suaminya dan sebaliknya, baik
itu hanya lagu semata (vokal) maupun diiringi dengan instrumen musik.
Status nyanyian seperti di atas sama halnya dengan nyanyian yang membangkitkan semangat perjuangan
(jihad), atau nyanyian yang sya'irnya menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan keistimewaan mereka, atau
juga nyanyian yang memuji saudara-saudara maupun sesama teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia
yang mereka miliki, atau juga nyanyian yang melunakkan hati kaum Muslimin terhadap agama, atau yang
mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang
yang melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang keindahan alam atau
yang membicarakan tentang persoalan ilmu (pandai) menunggang kuda, dan sebagainya.
2. BAGAIMANA SESUNGGUHNYA HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN.
Di atas telah dijelaskan status hukum nyanyian dan menyanyikannya. Adapun hukum mendengarkan nyanyian
yang mubah maupun yang haram, jawabnya wallahu a'lam!
Mendengarkan sesuatu hukumnya mubah bila orang tersebut hanya sekadar mendengarkan. Tetapi bila ia ikut
duduk di tempat-tempat hiburan sambil mendengarkan suara penyanyi lelaki maupun wanita, maka mendengar
dalam keadaan demikian hukumnya juga haram karena kita telah dilarang duduk bersama orang-orang yang
melakukan maksiat. Ini sesuai dengan firman Allah s.w.t.:
)

(140 : ) ( )
"Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka beralih kepada pembicaraan yang lain. (Karena
sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan mereka)...." (4:140).
)
(68 : ( )
"....maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah (mereka) diberi peringatan."
(6:68).
Imam Al-Qurthubi dalam menafsirkan surat An-Nisa 140 menjelaskan (Lihat TAFSIR AL-QURTHUBI, Jilid V,
hlm. 418) bahwa ayat tersebut menunjukan wajibnya menjauhi orang-orang yang melakukan maksiat apabila
mereka melakukan suatu kemungkaran. Oleh karena itu, setiap orang yang duduk di tempat maksiat dan tidak
mengingkari (mengutuk dan mencegahnya), maka ia telah ikut serta bersama mereka dan akan memikul dusa

yang sama. Itulah sebabnya seseorang harus mengingkari perbuatan maksiat itu bila mereka membicarakan atau
melakukannya. Tetapi bila ia tidak mampu mencegah perbuatan mereka, maka ia harus segera meninggalkan
tempat tersebut agar tidak tergolong ke dalam golongan yangdisebutkan pada ayat d atas."
Adapun mengenai surat AL-AN'AM 68, beliau berkata (Lihat TAFSIR AL-QURTHUBI, Jilid VIII, hlm. 12-13):
"Ayat ini menunjukkan apabila seseorang mengetahui atau menyaksikan orang lain sedang melakukan suatu
kemungkaran, maka hendaklah ia menjauhinya sekaligus menolaknya dan tidak ingin mendatanginya lagi."
Berkata pula Ibn-ul-'Arabi: "Ini merupakan dalil bahwa hidup bersama orang-orang yang mengerjakan dosa
besar hukumnya tidak boleh."
Dengan demikian, seseorang yang berada atau duduk di tempat-tempat hiburan untuk mendengarkan nyanyian
berarti mereka telah mengakui kemungkaran atau membiarkannya. Inilah jenis mendengar yang diharamkan
syara'
Adapun nyanyian yang boleh (mubah) beserta syarat-syarat yang harus dipenuhi dan telah disebutkan di atas
berbeda hukumnya. Kita boleh duduk di tempat-tempat pertunjukan (misalnya panggung-panggung terbuka)
untuk mendengarkan nyanyian yang mendorong umat untuk berjihad fisabilillah, memupuk perasaan halus
kaum Muslimin agar lebih bertaqwa kepada Allah s.w.t., atau membicarakan sifat-sifat orang mukmin dan nilainilai keislaman. Juga, nyanyian yang menggambarkan tentang keindahan alam serta nyanyian yang melunakkan
hati seseorang fakir miskin dan yatim, nyanyian memuji kebaktian kepada ibu dan bapak, serta kepada
keluarganya, atau juga nyanyian yang tujuannya mendidik anak-anak dan sebagainya. Dengan kata lain,
nyanyian yang mubah tidak ada kaitannya dengan persoalan cinta dan asmara, kecuali nyanyian dari suami
kepada istri dan sebaliknya. Ia tidak disampaikan dengan cara mengeluh yang hal tersebut membangkitkan
birahi seksual.
Adapun tentang masalah sya'ir nyanyian, maka sya'ir itu harus sebatas kata-kata yang sopan santun, bukan katakata yang berupa romantisme atau membicarakan kisah-kisah tentang malam minggu, malam pertama, dan
sejenisnya. Dalam hal ini Ibn-ul-'Arabi berkata (Lihat Imam Ibn-ul-'Arabi, AHKAM-UL-QURAN, Jilid III, hlm.
1494): "Hukum mendengarkan nyanyian seorang biduanita telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang lelaki
boleh saja mendengarkan nyanyian wanita budaknya. Ini disebabkan karena tidak satu bagian pun yang haram
padanya, baik bagian luar maupun dalam. Dengan demikian, bagaimana mungkin ia dicegah untuk menikmati
suaranya (nyanyiannya)."
3. SUARA WANITA, AURAT ATAUKAH BUKAN?
Ada yang mengatakan bahwa yang boleh didengar adalah nyanyian dari lelaki, sedangkan nyanyian wanita
haram untuk didengar. Alasannya, suara wanita itu aurat (hal yang tidak boleh ditampilkan). Jawabannya
wallahu a'lam.
Walaupun nyanyian yang memalukan itu haram dikerjakan bila disertai dengan perbuatan haram atau mungkar
namun mendengarkannya tidaklah haram. Keharamannya itu terbatas pada mendengarkannya secara langsung
dari penyanyinya di tempat maksiat, bukan karena suara penyanyi wanita itu aurat. Keharaman itu terletak pada
sikap berdiam diri terhadap nyanyian yang berisi kata-kata mungkar dan si penyanyi wanita menampilkan
kecantikannya dengan membuka auratnya, misalnya rambut, leher, dada, betis, paha dan bagian aurat lainnya.
Inilah yang diharamkan oleh syara', bukan karena masalah mendengarkan nyanyian wanita itu.
Suara wanita bukan aurat karena jika disebut demikian, ,mengapa Rasulullah s.a.w. mengijinkan dua wanita
budak bernyanyi di rumahnya? Salain itu, beliau tidak keberatan berbicara dengan kaum wanita, sebagaimana
yang terjadi ketika menerima bai'at dari kaum ibu sebelum dan sesudah hijrah. Bahkan beliau pernah mendengar
nyanyian seorang wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah s.a.w.
Semua keterangan tersebut dan keterangan serupa lainnya menunjukkan bahwa suara wanita bukan aurat.

Selain itu, syara' telah memberikan hak dan wewenang kepada kaum wanita untuk melakukan aktifitas jual beli,
berdagang, menyampaikan ceramah atau mengajar, mengaji Al-Quran di rumah sendiri, membaca kasidah atau
sya'ir, dan sebagainya. Jika suara mereka dianggap aurat atau haram maka tentu syara' akan mencegah mereka
melakukan semua aktivitas tersebut. Inilah hujjah yang kuat. Hanya memang syara' telah melarang wanita
menampilkan perhiasannya dihadapan kaum lelaki yang bukan muhrimnya, melenggak-lenggok, atau manja
dalam berbicara, sebagaimana firman Allah s.w.t.:

)

(31 : ( )
"dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita...." (24:31).
Syara' tidak melarang wanita berbicara dengan pria dengan syarat ia tidak menampilkan kecantikan atau
perhiasannya kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, mendengar suara wanita tidaklah haram sebab bukan
aurat. "Tidak ada larangan wanita berbicara dengan kaum lelaki kecuali dengan suara manja, merayu, atau
keluhan yang dapat menimbulkan keinginan kaum lelaki untuk berbuat jahat, serong, dan perbuatan dosa besar
lainnya terhadap wanita tersebut. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah s.w.t. dalam firmanNya:

)

(32 : ( )

"...maka, janganlah kamu tunduk ketika berbicara (dengan manja, merayu, dan sebagainya). (Sebab), nanti akan
timbul keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (keinginan nafsu birahinya). Dia ucapkanlah perkataan
yang baik (sopan santun)." (33:32).
Apabila wanita sudah melanggar perintah tersebut maka tidak hanya dirinya yang terlibat dalam perbuatan dosa
atau haram, tapi juga setiap orang yang membiarkan hal tersebut karena mereka tidak menyeru kepada yang
ma'ruf (wajib, sunnah) terhadap wanita itu, dan tidak pula mencegahnya melakukan yang mungkar (haram).
Rasulullah s.a.w.bersabda mengenai hal ini: (Lihat SHAHIH MUSLIM, Hadits No. 49,78; SUNAN ABU
DAWUD, Hadits No. 1140; SUNAN TIRMIDZI, Hadits No. 2173; SUNAN AN-NASAI, Jilid VIII, Hadits 111;
dan SUNAN IBNU MAJAH, Hadits No. 4013):
)
(

"Siapa saja di antara kalian yang melihat adanya kemungkaran maka hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika
ia tidak mampu melakukannya, maka hendaklah dengan lisannya. Kalau inipun tidak mampu dilakukannya,
maka hendaklah dengan menolaknya di dalam hatinya. Tetapi itulah iman yang selemah-lemahnya." (HR.
MUSLIM, ABU DAWUD, TIRMIDZI, AN-NASAI, dan IBNU MAJAH).

BAB IX.
HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN DI RADIO DAN RADIO KASET.
Bentuk nyanyian masa kini tidak berubah dari yang sudah pernah ada pada masa lampau, ratusan tahun silam.
Yang berubah hanyalah suasana dan tempatnya sekarang. Kini nyanyian digelar di panggung-panggung terbuka,
misalnya teater, gedung pertunjukan sandiwara, klub malam, panggung pertunjukkan, dan sebagainya. Pada
abad ini orang-orang mulai mendengar nyanyian melalui radio, radio kaset, video, dan audiovisual lainnya.
Sekarang hanya sedikit saja yang suka mendengar dan menyaksikan pertunjukkan dan show langsung dari
pemain panggung dan penyanyi laki-laki dan wanita. Orang-orang lebih memilih radio dan kaset rekaman,
video, film, televisi, dan lain-lain.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah jenis hiburan tersebut boleh didengar atau tidak? Jawabnya: Wallahu a'lam
adalah demikian:
Nyanyian yang sajikan demikian status hukumnya sama saja dengan nyanyian-nyanyian lainnya. Tidak peduli
apakah penyanyi dapat dilihat di arena pertunjukan atau hanya suaranya saja yang terdengar. Apa yang kami
paparkan sebelumnya kini lebih dipertegas lagi. Apabila nyanyian itu bercampur-baur dengan kata-kata atau
perbuatan yang ditolak oleh Islam, maka pelaku dan jenis nyanyian itu haram. Selain itu, maka ia halal dan
boleh.
Lain halnya dengan mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset, piring hitam, dan sejenisnya. Jenis
nyanyian yang disajikan demikian mubah dan tidak apa-apa. ????? Tidak peduli apakah nyanyian itu bersifat
merayu/menggoda, tak tahu malu, atau melampaui batas etika nyanyian di dalam Islam, misalnyamenyebutkan
kata-kata porno, jorok dan kotor. Tidak peduli apakah nyanyian itu disampaikan dengan cara memelas,
dibumbui dengan sya'ir jatuh cinta asmara, cerita tentan kecantikan perempuan yang disenangi, rasa rindu dan
kasih sayang, dan seterusnya.????? Nyanyian yang sama sekali tidak mengandung hal-hal tersebut di atas
hukumnya mubah (boleh).
Untuk menjelaskan perihal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini, yaitu:
1. ANTARA SUARA ASLI DENGAN REKAMAN.
Suara yang didengar itu adalah rekaman suara di kaset melalui radio dan audiovisual lainnya, bukan suara asli
dan langsung dari penyanyinya (lelaki maupun wanita). Dari segi hukum syara', ada perbedaan antara fakta
dengan imajinasi. Ada perbedaan antara bentuk asli dengan gambar, rekaman dan sejenisnya. Melihat aurat
wanita di telivisi tidak sama hukumnya dengan melihat aurat wanita di hadapan mata kepala sendiri dalam
bentuk aslinya. Ia tidak sama dengan bentuk imajinasi yang kita buat atau dibuat orang.
2. SUARA DARI BENDA MATI (TIDAK BERNYAWA).
Lagu di radio dan kaset rekaman bukan suara milik seseorang yang memiliki nyawa. Bukan pula mukallaf agar
mampu menerima seruan yang ma'ruf dan dicegah melakukan yang mungkar jika ia menyeleweng dari Islam.
Tetapi ia hanya merupakan suara yang keluar dari suatu alat atau benda yang tidak berakal. Alat tersebut juga
bukan aurat. Dengan demikian, lagu atau nyanyian melalui televisi, film, video, atau bentuk audiovisual lainnya
tentu saja bukan aurat dalam bentuk aslinya. Ia hanya gambar semata.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang berkaitan dengan yang mungkar dan ia harus dicegah dengan tangan atau
lisan,tidak bisa diterapkan di sini ketika kita mendengarkan lagu di radio, televisi, dan sebagainya. Terkadang
kita mendengar suara lagu dari seorang penyanyi lelaki maupun wanita yang sudah lama meninggal dunia. Dari
keadaan yang demikian, maka bagaimana mungkin kita bisa menyerukan kepadanya agar berbuat yang ma'ruf
(baik dan sesuai dengan ajaran Islam) serta mencegahnya melakukan yang mungkar (buruk menurut hukum
Islam)?
Barangkali ada yang membantah hal tersebut dan mengatakan bahwa kita bisa melakukan amar ma'ruf dan nahi
mungkar dengan cara mengganti gelombang radio, canel televisi, atau memilih kaset yang sesuai dengan etika
hukum Islam. Tetapi kita bisa balik bertanya, apakah dengan begitu selesai masalahnya?

Tentu masalahnya tidak sederhana dan segampang itu. Mengganti gelombang radio atau canel televisi tetap
tidak dapat mengubah hal mungkar (sya'ir porno, jorok dan kotor). Paling-paling yang bisa kita lakukan hanya
sebatas menghindari diri agar kita tidak mendengar nyanyian dan kata-kata mungkar yang terdapat pada lagu
tersebut. Ini sama halnya dengan seseorang yang menutup telinganya sementara ia tetap membiarkan penyanyi
itu terus berdendang dengan kemungkaranya. Apakah dengan demikian, perbuatan yang demikian dapat
diketegorikan sebagai perbuatan amar ma'ruf nahi mungkar? Tentu tidak. Bahkan ia hanya berupa penolakan
mendengarkan bagi dirinya sendiri, dan tidak lebih dari itu. Sedangkan kemungkaran itu tetap ada dan
bekembang di tengah-tengah masyarakat. Lalu, untuk mengubah keadaan tersebut, bagaimana caranya?
Perubahan menyeluruh dan mendasar hanyalah melalui suatu kekuasaan dan kekuatan dari suatu negara yang
menerapkan Islam secara totalitas. Syariat Islam telah membebankan tugas mencegah kemungkaran dengan
kekuatan fisik yang dimilikinya untuk membersihkan masyarakat dari noda-noda dosa dan kemaksiatan yang
telah merajalela dan mendarah-daging di dalam tubuh umat.
Oleh karena itu dari keterangan di atas kita mengtahui bahwa mendengarkan nyanyian melalui radio, radiokaset,
televisi, dan media audiovisual lainnya, hukumnya tetap mubah. Dasarnya adalah dengan mengambil kaidah
syara' yang berbunyi (Lihat Zain-ul-'Abidin Ibrahim Al-Misri, AL-ASYBAH WAN-NAZHAIR, Jilid I, hlm. 97;
Mahmud Al-Hamzawi, AL-FAWAID-UL-BAHIYAH FIL-QAWAIDI WAl-FAWAID-IL-FIQHIYYAH, hlm.
284; Ibnu 'Abidin, HASYIYAT-UR RADD-UL-MUKHTAR, Jilid I, hlm 71, Jilid III, hlm. 244,dan Jilid IV, hlm.
176):

)

(

"Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh dipakai dan dimanfaatkan), kecuali bila ada dalil yang
mengharamkannya."
Hadits Rasulullah s.a.w. tentang kewajiban mencegah kemungkaran dengan tangan, lisan dan hati tidak dapat
diterapkan di sini. Begitu juga dengan firman Allah s.w.t. tentang orang-orang zalim, fasik, fasik, kafir, dan
orang-orang yang mengucapkan atau melakukan kekufuran dan kemaksiatan:
)
(68 : ( )
"Maka, janganlah kamu duduk bersama dengan orang-orang zalim itu sesudah (mereka) diberi peringatan."
(6:68).
Atau firmanNya:
)

(140 : ) ( )
"Maka janganlah kamu duduk bersama mereka sampai mereka beralih kepada pembicaraan yang lain. (Karena
sesungguhnya kalau kamu berbuat demikian, tentulah kamu serupa dengan mereka)...." (4:140).
Dua ayat tersebut di atas tidak bisa diterapkan terhadap si pendengar lagu melalui radio,radio kaset, televisi dan
yang sejenisnya karena penyanyinya tidak bersama si pendengar. Pendengar tidak ikut serta bersamanya di
tempat-tempat pertunjukan (langsung).
3. BUKAN SUARA YANG BERHADAPAN LANGSUNG.
Mendengarkan nyanyian itu bukanlah mendengarkan suara penyanyi asli yang langsung dan berhadapan. Ia
hanya berupa suara rekaman. Ia adalah bentuk mendengarkan yang tidak langsung. Dengan kata lain, suara itu
bukan kepunyaan si penyannyi secara langsung berhadapan. Suara itu hanya milik dari suatu alat audio atau
visual semisal televisi, radio, film, video, radiokaset, dan lain-lain. Karena kita tidak dapat menerapkan sabda
Rasulullah s.a.w. (Lihat SHAHIH MUSLIM, Hadits No. 2654; SUNAN ABU DAWUD, Hadits No. 2154; dan
MUSNAD IMAM AHMAD, Jilid II, hlm. 276, 317 dan 329):

)
(

"Telinga akan ikut berzina pula. Zinanya adalah mendengarkan (sesuatu yang telah diharamkan untuk
mendengarkannya)." (HR. AHMAD, ABU DAWUD dan AHMAD).
Sebab, tidak mungkin menimbulkan dampak (positif maupun negetif), sebagaimana penjelasan Rasulullah
s.a.w. berikut ini:
(
)
"Faraj (kemaluan) akan mengakui (apa yang didengarnya); atau menolaknya (sama sekali tidak terpengaruh)."
Bagaimana mungkin bisa terjadi pada seorang pendengar lagu di radio, televisi, video, radiokaset, dan jenisnya,
kemudian ia bertindak langsung terhadap penyanyinya, misalnya dengan menodainya? Suatu hal yang mustahil
untuk dilakukan!
Barangkali ada yang memberikan komentar sebagai bantahan. Bukankah bisa jadi nyanyian yang didengar
melalui alat-alat audiovisual itu tetap saja mampu membangkitkan birahi dan naluri seksual?
Jika komentar itu dijadikan sebab untuk mengharamkan nyanyian tersebut, maka bagaimana kalau ia tidak
membangkitkan birahi? Apakah ia berarti mubah (boleh didengar)? Lagi pula, siapa yang berhak menentukan
sebab ('illat) untuk mengharamkan sesuatu? Apakah 'illat itu boleh dengan akal?
Sudah diketahui, 'illat tidak boleh berdasarkan aqliyah (berdasarkan akal). Ia hanya semata-mata berdasarkan
suatu dalil syar'i sebab masalah halal dan haramnya sesuatu adalah masalah yang haq dan itu otoritas Allah s.w.t.
semata. Dalam hal ini tidak terdapat adanya suatu 'illat tentang halal dan haramnya nyanyian. Karenanya,
nyanyian tidak bisa diharamkan hanya karena alasan membangkitkan syahwat (nafsu birahi). Bahkan alasan
tersebut tidak boleh dijadikan sebagai tolok ukur dalam masalah "tahrim" (menentukan haramnya sesuatu). Cara
tersebut bertolak dari pertimbangan akal, bukan syara'. Selain itu, syara' tidak mengharamkan usaha individu
manusia untuk membangkitkan syahwatnya karena usaha yang demikian tidak secara otomatis mendorongnya
melakukan perzinaan, berpacaran, atau perbuatan haram lainnya.
Ada alasan yang mengatakan bahwa mendengar lagu dapat mengalihkan perhatian seseorang dari zikrullah
ketika mendengarkanya melalui alat-alat audiovisual. Alasan tersebut dapat disanggah. Setiap sesuatu yang
mengalihkan perhatian orang dari zikrullah adalah bathil, maka kita lantas bertanya, apa itu zikrullah? Apakah ia
hanya ucapan dua kalimat syahadat atau melaksanakan ibadah dan perbuatan-perbuatan wajib? Bila yang
dimaksud adalah mengucapkan dua kalimat syahadat atau mengucapkan "LAA ILAAHA ILLALLAAH" secara
berulang-ulang maka mendengarkan nyanyian dalam hal ini tidak sampai mengalihkan perhatian seorang dari
zikrullah tadi.
Namun bila yang dimaksud adalah melakukan solat atau mengerjakan ibadah-ibadah lainnya dan melaksanakan
hal-hal yang fardhu, maka harus dipertimbangkan apakah betul nyanyian dari alat-alat audiovisual itu dapat
mengalihkan perhatian seseorang dari pelaksanaan fardhu dan kewajiban yang serupa lainnya. Jika "ya", maka
mendengar nyanyian atau musik seperti itu adalah haram. Setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang
sehingga menjauhkannya dari pelaksanaan ibadah-ibadah yang wajib atau fardhu, maka hukumnya haram, tanpa
melihat bagaimana bentuk kesibukannya. Tidak peduli apakah ia penting atau tidak. Tidak peduli apakah
kesibukannya itu mencari nafkah yang wajib atau mubah, atau sibuk menghibur diri sehingga lupa kepada
kewajiban ibadah wajib tadi.
Jual-beli, misalnya, dapat menyibukkan seseorang dan mengalihkan perhatiannya, walaupun dari segi hukum
asalnya adalah mubah. Begitu pula pekerjaan kantoran atau pabrik juga dapat menyibukkan dan mengalihkan
perhatian seseorang, walaupun hukum mencari nafkah bagi seorang fakir miskin atau mencari uang adalah
fardhu. Tetapi semua kegiatan tersebut baik yang fardhu maupun mubah, jika sampai melengahkan atau
mengalihkan seseorang dari pelaksanaan solat atau setiap perbuatan yang wajib, maka perbuatan tersebut tidak
boleh dikerjakan sampai kewajiban ibadah terlaksana.

Misalnya solat Juma'at. Allah s.w.t. telah melarang kaum Muslimin berjual-beli pada waktu solat Juma'at setelah
dikumandangkannya adzan yang kedua atau setelah khatib naik mimbar, sebagaimana firmanNya:

(9 :( ) ...
)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila ada panggilan (adzan) untuk mengerjakan solat pada hari Juma'at,
maka bersegeralah kamu mendatangi (majid) untuk melakukan zikrullah (solat Juma'at) dan tinggalkanlah jualbeli....." (62:9).
Munculnya larangan jual-beli pada waktu mendengar adzan Juma'at adalah karena kegiatan tersebut dapat
menyibukkan orang dan mengalihkan perhatiannya dari melaksanakan solat Juma'at. Tetapi di luar waktu itu,
setiap sesuatu yang dapat menyibukkan seseorang sehingga solatnya tertinggal adalah haram apabila aktivitas
itu dilakukan pada saat pelaksanaan yang fardhu. Dalam hal ini telah ditetapkan dan dibatasi waktu pelaksanaan
solat itu. Tetapi sesudah waktu solat lewat dan fardhu sudah dilaksanakan, maka apa yang dilakukan
sebelumnya, baik pekerjaan itu wajib maupun mubah, ia boleh dilanjutkan kembali dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan di atas.
Islam membolehkan kaum Muslimin menghibur diri pada waktu-waktu tertentu. Juga dibolehkan menampakkan
rasa gembira dengan berbagai cara, dalam hal ini termasuk aktivitas bernyanyi, memainkan alat musik,
mendengarkan lagu, dan sebagainya. Kehidupan ini tidak semata-mata digolongkan dalam bentuk aktivitas
ibadah secara terus-menerus. Kehidupan juga bukan hanya berusaha mencari rezki dan bekerja dari pagi sampai
malam setiap hari tanpa ada waktu sedikit pun untuk menghibur diri, beristirahat, dan menjalankan berbagai
kewajiban lain. Sama halnya dengan menuntut ilmu (belajar) dari pagi sampai sore di sekolah, kemudian
dilanjutkan di rumah sampai tengah malam dan dilakukan rutin setiap hari. Karena itulah, Islam mengijinkan
pemeluknya menghibur diri dengan berbagai cara, di samping juga beribadah, beramal, menuntut ilmu, berjuang
untuk Islam, berusaha mencari rezeki, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Tentang hal ini, Rasulullah s.a.w.
bersabda: (Lihat FATH-UL-KABIR, Jilid III, hlm.297).


( :
)
"Demi Allah yang jiwaku ada pada gengamanNya , jika kalian di rumahmu masing-masing berzikir dan berada
dalam keadaan yang sama seperti kamu berada di sisiKu, maka tentu para malaikat akan berjabatan tangan
dengan kalian dan akan melindungi kalian dengan sayapnya. Tetapi, hai Hanzhalah (kehidupan ini) kadangkadang begini dan begitu (Rasulullah s.a.w. mengulangi-ulangi kata-kata tersebut sebanyak tiga kali)
(HR.IMAM AHMAD, TIRMIDZI, dan IBNU MAJAH, dari Hanzhalah Al-Asdi).
Maksud sabda Rasulullah s.a.w. di atas diterangkan pada bagian awal dari Hadits tersebut, yaitu ucapan
Hanzhalah:

) )( )(


(
"Jika kita berada di sisi Rasulullah s.a.w., beliau mengingatkan kita tentang jannah dan jahannam, sampaisampai kita seakan-akan melihatnya. Tetapi apabila kita meninggalkan Rasulullah s.a.w., lantas kita sibuk denga
istri, anak-anak dan usaha-usaha kita dalam mencari nafkah sampai kita banyak yang lupa diri."
Dalam riwayat lain disebutkan:

(
)

"Jika aku pulang ke rumah, aku tertawa bersama anak-anak dan bergurau dengan istri."
Sehubungan dengan perbuatan yang disebutkan oleh Hanzalah tadi, di antara para sahabat ada yang
melakukannya dan ada yang tidak. Tetapi Abu Bakar menganggap Hanzalah telah berbuat nifaq, namun

Rasulullah tidak menganggap demikian. Bahkan beliau menjelaskan bahwa kehidupan ini tidak bisa berjalan
apabila tidak dinikmati, baik dengan cara bermain bersama anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja bersama
anak-anak, istri, teman-teman, atau bekerja untuk menambah kekayaan, menghibur teman atau menghibur diri
dengan berekreasi, termasuk di sini bernyanyi, mendengar musik, dan sebagainya.
Rasulullah s.a.w. bersabda:
()
"Legakanlah hatimu sekali-kali." (HR. ABU DAWUD dari Ibnu Syihak Az-Zuhri dengan sanad mursal dan
hasan).
Imam Al-Manawi menjelaskan perihal Hadits ini sebagai berikut (Lihat Imam Al-Manawi, FAIDH-UL-QADIR,
Jilid IV, hlm. 40-41):
"Legakanlah hatimu sekali-kali dari kesibukan melaksanakan ibadah dengan cara mengerjakan suatu perbuatan
mubah yang tidak beresiko siksaan dan pahala (Allah s.w.t.)."
Imam Al-Manawi melanjutkan. Katanya, pernah dibacakan Al-Quran dan puisi di hadapan Rasulullah s.a.w.
Lalu Abu Bakar datang dan menolak perbuatan ini. Ia berkata: "Bagaimana bisa disatukan bacaan Al-Quran
dengan puisi di hadapan Rasulullah!" Namun Rasulullah s.a.w. menjawab:
()
"Ya, bisa, Sekali-sekali untuk ini dan sekali-sekali untuk yang itu."
Semua keterangan di atas menunjukkan bahwa kita boleh melegakan hati dan menghibur diri sesekali dengan
musik, lagu atau bentuk kesibukan ringan lainnya, misalnya olahraga, berbagai perlombaan, dan sebagainya.
Tetapi bila perbuatan mubah itu menyebabkan ibadah kita tertinggal dan hal-hal fardhu diabaikan, maka yang
menjadi haram bukanlah aktivitas menghibur diri dengan nyanyian dan musik. Jika kesibukan mubah itu
dianggap sesuatu yang penting dan mengalihkan perhatian kita dari kewajiban-kewajiban hidup yang wajib
dilaksanakan maka haram hukumnya.
Terkadang pelaksanaan kewajiban seperti mencari nafkah yang wajib dapat mengalihkan perhatian seseorang
dari pelaksanaan solat. Dalam hal ini yang haram bukan menyibukkan diri dalam mencari nafkah tapi bila
mencari nafkahnya dilakukan pada waktu solat Juma'at, atau terus-menerus bekerja dari pagi sampai larut
malam sehingga tidak sempat menunaikan solat. Begitu juga halnya dengan musik dan nyanyian mubah yang
didengar melalui radio, kaset dan sejenisnya. Juga nyanyian yang keluar dari senandang budak perempuan, dari
istri, teman, saudara dan kerabat dekat lainnya. Nyanyian ini boleh didengar asalkan tidak sampai kelewat batas
yang ditetapkan syara' sehingga sampai menyibukkan diri dan mengalihkan perhatian kita dari melaksanakan
solat serta kewajiban-kewajiban hidup lainnya. Jika demikian, maka hukumnya haram. Keharamannya bukan
karena nyanyian tetapi akibatnya yang melalaikan. Hanya itu! Kecuali, bila nyanyian itu disertai dengan hal-hal
yang haram sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya.
Mendengarkan nyanyian yang mubah, hukumnya mudah sebab termasuk jenis hiburan yang mubah pula.
Statusnya sama dengan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan manusia, seperti naik kuda, berenang, memanah,
duduk, berdiri, berjalan, bertamasya, dan sebagainya.
Semua orang boleh melakukanya. Oleh karena itu, jika kita ingin melakukan suatu kegiatan yang mubah untuk
menghibur diri maka sebenarnya kita melakukannya bukan untuk menyesatkan diri atau menjauhkan kita dari
jalan Allah s.w.t., bahkan sebaliknya. Hal itu dilakukan hanya untuk menghilangkan kejenuhan dengan suatu
macam hiburan yang mubah, atau kita melakukannya untuk memperkuat diri agar mampu melaksanakan ibadah
dan setiap ketaatan lainnya terhadap Allah s.w.t. Tidak mungkin (sedikit sekali) orang melakukannya untuk
menjauhi diri dari ketaatan semacam itu.
Apabila hati kita telah merasa lelah, bosan, dan jemu, untuk mengatasinya maka Abu Darda' (salah seorang
sahabat Rasulullah s.a.w.) berkata: "Aku suka melegakan hatiku dengan sebagian dari hal-hal yang tidak

bermanfaat, yakni dengan bermacam-hiburan yang mubah agar aku kembali bersemangat untuk mengerjakan
yang haq (kewajiban hidup)."
Imam Ali bin Abi Thalib juga berkata (Lihat Yusuf Qardhawi, HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM, hlm.
283): "Sesungguhnya hati manusia bisa bosan dan lelah seperti layaknya badan manusia. Oleh karena itu,
carilah berbagai kegiatan yang tepat untuknya (yang melegakan)."
[Mungkin berasal dari ucapan ini:
)
(91 :. ( )

"Hati ini menjadi muak ketika tubuh menjadi muak; maka carikan ucapan-ucapan bijaksana yang indah
untuknya." (Dari kitab PUNCAK KEFASIHAN, Oleh Penerbit Lantera, No.91, hlm. 753).]
Pengaruh musik dan nyanyian memang berakibat baik terhadap manusia jika nyanyian itu diwarnai dengan
nilai-nilai keislaman. Tentang hal ini, Prof. Sidi Gazalba berpendapat: "Musik dapat menimbulkan emosi
gejolak di dalam batin pendengarnya. Merangsang mereka kepada gerakan-gerakan liar. Tetapi nada musik
dapat pula menimbulkan ketenangan, kerukunan, damai, dan kenikmatan hati. Nada musik yang melahirkan
kesan seperti itu selaras dengan kesan yang dikehendaki Islam." (Lihat Prof. Madya Drs. Sidi Gazalba, ISLAM
DAN KESENIAN, hlm. 195).

BAB X.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP SENI TARI.

Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan diiringi dengan musik. Gerakannya bisa
dinikmati sendiri, merupakan ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish), gerakan dipakai
untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).
Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara kerajaan dan masyarakat maupun
pribadi. Seni tari adalah akar tarian Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis
dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme, dan Kebangkitan, tari Perburuan dan
Perang. Tarian Asia Timur hampir seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain itu
ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan lambang kekuatan kerjasama kelompok dan
perwujdan saling menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat.
Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian menjadi tarian kreasi baru. Kita
lantas mengenal adanya seni tari modern yang umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih
mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.
Seni sekarang berada halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya. Orang mengenal ada tari balet, tapdans,
ketoprak atau sendratari Gaya tarian abad XX berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik, misalnya
dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya
menggila dan digandrungi anak muda.
1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM.
Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari
pada permulaan Islam berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazrah
Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira,
seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya.
Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Ab Dwd dari Anas r.a. yang berkata
(Lihat SUNAN AB DWD, Jilid IV, hlm. 281):

() )(
"Tatkala Raslullh datang ke Madnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia sekarang) menari dengan gembira
menyambut kedatangan beliau sambil memainkan senjata mereka."
Imm Ahmad dan Ibnu Hibbn juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Anas r.a. Beliau berkata
(Lihat MUSNAD IMM AHMAD, Jilid III, hlm. 152; lihat juga Al-Qastallan, IRSYD-US-SARI, SYARHSHAHH BUKHR, Jilid II, hlm. 204-205):
(
) )(
:
"Orang-orang Habsyah (pada hari raya d-ul-Adhh) menari (dengan memainkan senjata mereka) di hadapan
Raslullh s.a.w. Banyak anak-anak berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka. Orangorang Habsyah bernyanyi (dengan syair): "MUHAMMAD ADALAH HAMBA YANG SHALEH...." (secara
berulang-ulang).
Sesudah jaman Raslullh s.a.w., khususnya di jaman Daulah Abbsiyyah, seni tari berkembang dengan pesat.
Kehidupan mewah yang dicapai kaum Muslimn pada waktu itu telah mengantarkan mereka kedalam suatu
dunia hiburan yang seakan-akan telah menjadi keharusan dalam masyarakat yang mamr (Hukum
mendengarkan alunan lagu adalah mubah, tetapi ketika itu orang-orang telah melakukannya). Namun banyak
ulam yang tidak setuju dengan tarian semacam itu, tercatat di antaranya ialah Imm Syaikh-ul-Islam, Ahmad
Ibnu Taimiyah (wafat tahun 1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul Rislah f
Simi war-Raqs was-Surkh (Rislah tentang Mendengar Musik, Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada
juga kalangan ulam yang membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang
berpendapat begini di antaranya Ibrhm Muhammad Al-Halab (wafat tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitb
yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs Limustahill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan
Tari-Tarian).
Pengarang kitb ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah Al-Farb (wafat tahun 950 M.), yang
mengarang kitb AR-RAQSU WAZ-ZAFNU (Kitb tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat Prof. A. Hasjmy,
Ibidem, hlm. 326). Pengaruh kitb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat kerajaan Melayu dan pernah
memperoleh masa kejayaannya di sana. Berbagai guru serta pelatih tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana.
Begitu juga dengan perkembangan syair. Bentuk seni inipun berkembang dengan baik dan mendapatkan
perhatian sultan. Tari Zapin sampai sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak
tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan
mulai dari lingkup istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah tarian populer
peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini masih menggunakan bahasa Arab yang bercampur
dengan bahasa Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).
Dahulu, pada jaman khilafah Abbsiyah, seni tari telah mendapatkan tempat yang istimewa di tengah
masyarakat, baik di kalangan istana, gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di tempattempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir masa khilafah Abbsiyah, kesenian tari mulai
mundur ketika tentara bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di Baghdd. Semua hasil karya seni
dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah
Utsmniah berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi yang biasa dilakukan oleh
kaum pria saja. Sedangkan penari wanita menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini
adalah penari "berkaliber tinggi".
Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang, tari-tarian itu tidak pernah dilakukan
di tempat-tempat terbuka yang penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda halnya
dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah Abbsiyah, para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi
sambil menari di jalanan atau di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les privat
menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah orang kaya maupun miskin. (Lihat Ab AlFarj Al-Ishfahn, AL-AGHN, Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan
di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya anak-anak muda), misalnya di night
club, panggung pertunjukan, dan sebagainya.
Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-wanita budak saja yang bekerja di istana,
di rumah para pejabat, atau di rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria, misalnya

Ibrhm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari kawakan yang tercatat di dalam kitb Al-Aghn.
(Lihat Ab Al-Farj Al-Ishfahn, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrhm Al-Maushili)).
Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam tidak pernah dilakukan dalam keadaan
kaum lelaki menari bercampur dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai dan
mempengaruhi kebudayaan Islam. Sesudah itu baru muncul kebiasaan menari dengan mengikuti para penari
Barat dengan gaya merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa, joget, dangdut,
atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan break dance.
2. TANGGAPAN UTAMA ISLAM TERHADAP TARIAN.
Imm Al-Ghazl dalam kitb IHY-ULULM-ID-DN, (Lihat Imam Al-Ghazali, IHY-UL-ULM-IDDN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187) beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari
hukumnya mubh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Raslullh s.a.w. pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada
saat mereka merasa bahagia. Imm Al-Ghazl kemudian menyebutkan bahwa Al bin Ab Thlib pernah
berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Raslullh s.a.w. bersabda:
()
"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam golonganmu."
Begitu juga Jafar bin Ab Thlib. Kata Imm Al-Ghazl, dia pernah melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika
mendengar sabda Raslullh s.a.w. :
()
"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku".
Juga Zaid bin Hritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda Raslullh s.a.w.:

(
)
"Engkau adalah saudara dan penolong kami."
Dalam kesempatan lain isyah diijinkan Raslullh s.a.w. untuk menyaksikan penari-penari Habsyah.
Kemudian Imm Al-Ghazl menyimpulkan bahwa menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada saat-saat
bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya seseorang ke kampung halamannya, saat walmahan
pernikhan, aqqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah seseorang hafal Al-Qurn.
Semua ini hukumnya mubh yang tujuannya untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun
jenis-jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin yang menjadi panutan masyarakat.
Ini bertujuan agar mereka tidak dikecilkan rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh
rakyatnya.
Tentang riwyat Imm Bukhr dan Imm Ahmad yang berkaitan dengan menarinya orang-orang Habsyah di
hadapan Raslullh s.a.w., Al-Qdh Iydh berkata: "Ini merupakan dall yang paling kuat tentang bolehnya
tarian sebab Raslullh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan mendorong mereka untuk
melanjutkan tariannya."
Akan tetapi Imm Ibnu Hajar menentang pengertian Hadts yang membolehkan tarian. Beliau berkata:
"Sekelompok sufi telah berdall kepada Hadts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan mendengarkan alatalat musik. Padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan
orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak merupakan bagian dari latihan yang biasa
mereka lakukan untuk berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk
membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri." (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-ULBRI, Jilid VI, hlm. 553).

Adapun mengenai nukilan Imm Al-Ghazl tentang "hajal" (berjinjitnya) Al, Jafar, dan Zaid, maka ditentang
keras oleh Imm Ibn-ul-Jauzi (Lihat Imm Ibn-ul-Jauzi TALBS IBLS, hlm. 258-260). Katanya, hajal tidak
lebih dari semacam cara dalam gerak kaki berjalan yang dilakukan pada saat seseorang merasa gembira.
Sedangkan tarian tidak demikian! Gerakan Zafarnya orang-orang Habsyah adalah mendorong keras dan
menyepak dengan kaki. Maka inipun merupakan salah satu cara dalam berjalan pada saat berhadapan dalam
peperangan.
Kemudian Imm Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Ab Al Waf Ibn-ul-Aql, Al-Qurn telah mencantumkan
keharaman tarian dengan nash yang tegas seperti firman Allah s.w.t.:

)
(18: ( )

"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18)
Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:
)
(18:( )

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri." (31:18).
Karena itulah menurut Ab Waf Ibnul Aql, menari merupakan cara berjalan paling angkuh dan penuh dengan
kesombongan. Kemudian Imam Ibn-ul-Jauzi melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya,
dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi
seseorang serta menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti yang dilakukan oleh
seorang (sufi yang ) berjanggot. Apalagi yang melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk
tangan dan mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang belum tumbuh
jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan diri dengan menari seperti binatang dan menepuk
dada seperti wanita (sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang nantinya akan
diminta pertanggungjawabannya di Padang Mahsyar?
3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN.
Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan, bermain, dan seterusnya. Semua
merupakan perbuatan yang biasa dilakukan secara alami (fitri) dalam rangka menghibur diri atau mencari
kesenangan dan kebahagiaan. Syara tidak mengharmkan seseorang untuk menggerakkan badan, tangan, kaki,
perut, dan sebagainya. Bahkan senua perbuatan itu akan muncul secara alami. Hukum asal untuk menari adalah
mubh selama dall-dall syara tidak mengharmkan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang tidak
diiringi musik.
Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini. Ada tarian dari masyarakat primitif
yang berbentuk tarian upacara ritual. Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya. Ada tarian modern (daerah)
yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara perayaan atau ketika menyambut tamu luar
negeri. Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian khas serta ciptaamn daerah
tertentu.
Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari terlepas dari promosi negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah
untuk menarik wisata mancanegara yang berkunjung ke negeri-negeri tertentu. Bahkan terkadang, tarian dari
negara tertentu dapat kita temukan di negeri lain karena perwakilan konsulat bidang kebudayaan negara tersebut
dangan sukacita menggelarkannya. Sekarang kita dapat mengenal adanya tarian Fandago dari Spanyol, Polka
dari Bohemia, Czardas dari Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia.
Di kepulauan-kepulauan sekitar Pasifik dan negeri-negeri Timur lainnya, terdapat tarian-tarian yang seluruhnya
dilakukan dengan sikap duduk. Ada tari perut di Timur Tengah, yang biasanya dilakukan dengan penekanan
gerak pada bagian perut, berputar atau menggelepar. Tarian ini adalah jenis tarian hiburan semata. Ada juga
tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita.

Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan tarian drama tunggal yang diiringi musik.
Tarian ini biasanya dilakukan oleh sepasang manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa Agogo,
cha-cha-cha, twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita.
Lalu, bagaimana status hukum syara terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di bawah ini akan di
rinci pandangan syara terhadap tarian sebagai berikut:
1. Syara melarang kaum Muslimn menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menyangkut urusan agama.
Dalam hal ini termasuk semua jenis tarian upacara keagamaan dan primitif.
Raslullh s.a.w. bersabda (Lihat SHAHH BUKHR, Hadts No. 7319):
: :
)
(
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku menerima (mengambil) apa-apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa
terdahulu (abad-abad silam) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka
masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat bertanya: "Ya Raslullh, apakah yang (engkau)
maksudkan di sini adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Raslullh menjawab: "Siapa lagi kalau
bukan mereka." (HR. BUKHR).
Dalam riwyat lain disebutkan bahwa yang diakui oleh kaun Muslimn adalah orang-orang Nasrn dan Yahd.
(Lihat SHAHH BUKHR, Hadts No. 7320).
2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang bercampur-baur dan diiringi dengan instrumen musik,
maka harm hukumnya, karena Raslullh s.a.w. bersabda (Lihat Abd-ur-Raf Al-Manw, FAIDH-ULQDIR, Hadts No. 5824):

(
)
"Ghrah (cemburu) itu adalah bagian dari mn, sedangkan Miz adalah bagian dari nifq." (HR AL-BAZZR,
BAIHAQ, dari Ab Sad Al-Khudr).
Imm Ibnu Atsr menafsirkan Miz dengan makna sebagai berikut:
a. Lelaki yang membawa sejumlah pria ke rumahnya untuk mencampuri istrinya;
b. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari "AMDZAIT-UL-FARAS" yang artinya: "Aku telah
melepaskan kudaku untuk merumput."(Lihat Ibnul Atsr, AN-NIHYAH, Jilid IV, hlm. 312-313).
Dalam kitb MUKHTASHAR-USY-SYUAB-IL-MN, Imm Al-Qazwn menukil pendapat Imm Al-Halm
tentang arti Hadts tersebut, yaitu (Lihat Imm Al-Halm, MUKHTASHAR-USY-SYUAB-IL-MN, hlm.
238). mengumpulkan lelaki-perempuan agar masing-masing pasangan mencampuri pasangan lainnya, atau
membiarkan lelaki pergi bersama kaum wanita.
Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki dengan wanita yang bukan muhrim dalam
bentuk apapun adalah harm, baik mereka pergi bertamasya bersama-sama maupun barmain-main seperti
layaknya suami-istri. Ternasuk dalam hal ini adalah menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti
irama musik pop Barat, dangdut, disko, dan lain-lain. Menurut ketentuan syara', setiap sesuatu yang
menghantarkan kepada perbuatan harm maka ia harm pula, sebagaimana kaidah syara yang berbunyi:
()
"Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harm maka ia harm pula (dikerjakan)."
Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita. Bahkan acara tersebut tidak terlepas
dari perbuatan-perbuatan harm lainnya. Misalnya, berpegangan tangan, berangkulan, badan berdempetan,

saling menggeserkan bagian-bagian tubuh tertentu, berrangkulan dan berpelukan, dan perbuatan yang lebih jauh
dari itu. Di samping itu, mereka juga menenggak minuman keras sampai teler. Tidak jarang acara sejenis itu
menghantarkan mereka kepada perbuatan dosa besar, yaitu bersetubuh dengan pasangannya. Lantas kita
mendengar banyak di antara remaja yang berbadan dua.
Ada dall lain yang mengharmkan semua jenis tarian dari semua bangsa-bangsa, yaitu (Lihat Abd-ur-Raf AlManw, FAIDH-UL-QDIR, Hadts No. 8593):
()
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat istiadat), maka ia (telah) tergolong ke
dalam golongan mereka." (HR. AB DWD, THABRAN, dari Ibnu Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).
Kata "menyerupai" di dalam Hadts tersebut adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata "suatu
kaum". Inilah adalah larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam urusan
aqdah, ibdah, nikh, adat kebiasaan, hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut
masalah tari-tarian.
3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya sendiri untuk anggota keluarga atau
kerabat yang muhrim. Seorang istri boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya pada
hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari raya, dan sebagainya.
4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan kaki, seperti :
(15 : ( )
)
"Berjalanlah di segala penjuru (bumi)...." (67:15).
atau:
)
(42: ( )
"Hentakkanlah kakimu...." (38:42).
atau Hadts-Hadts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan tombak dan perisai dan senjata tajam
lainnya sambil menarikannya sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Maka, hukum asal
menari adalah mubh selama tidak melampaui batas-batas syara yang telah disebutkan pada butir-butir
sebelumnya. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim atau suami menari dengan tarian yang
biasanya dilakukan oleh kaum wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak boleh
menarikan tarian lelaki, sebab Raslullh s.a.w. melarang kaum lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:
)
(
"Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki yang menyerupai wanita." (HR. IMM
AHMAD, dari Ibnu Amru bin Al-sh).

BB XI.
SENI MUSIK, SUARA DAN TARI PADA MASA KHILAFAH ISLAM.

Khilafah Islam terdahulu tidak pernah melarang rakyatnya mempelajari seni suara dan musik, Mereka dibiarkan
mendirikan sekolah-sekolah musik dan membangun pabrik alat-alat musik. Mereka diberikan ghairah untuk
mengarang buku-buku tentang seni suara, musik dan tari. Negara khilafah juga tidak pernah mengambil
tindakan hukum terhadap biduan dan biduanita yang bernyanyi di rumah-rumah individu. Bahkan mereka diberi
ijin untuk bernyanyi di istana dan di rumah penguasa.
Perhatian ke arah pendidikan musik telah dicurahkan sejak akhir masa Daulah Umawiyah, yang kemudian
dilanjutkan pada masa kekhilafahan Abbsiyah sehingga di berbagai kota banyak berdiri sekolah musik dengan
berbagai tingakat pendidikan, mulai dari tingkat menengah sampai ke perguruan tinngi. Pabrik alat-alat musik di
bangun di berbagai negeri Islam. Sejarah telah mencatat bahwa pusat pabrik pembuatan alat-alat musik yang
sangat terkenal ada di kota Sevilla (Andalusia atau Spanyol).
Catatan tentang kesenian umat Islam begitu banyak disebut orang. Para penemu dan pencipta alat musik Islam
juga cukup banyak jumlahnya, yang muncul sejak pertengahan abad kedua hijrah, misalnya Yunus Al-Khatb
yang meninggal tahun 135 H, Khall bin Ahmad (170 H.), Ibnu An-Nadm Al-Maushilli (235 H.), Hunaian Ibnu
Ishq (264 H.), dan lain-lain.
Pada masa itu cakrawala umat Islam juga diramaikan oleh biduan dan biduanita yang status umumnya adalah
pelayan. Mereka ini bukan penyanyi bayaran yang disewa untuk setiap pertunjukannya. Merekalah yang
bernyanyi untuk menghibur khalfah dan para penguasa lainnya di istana dan rumah mereka masing-masing.
Setiap pelayan menghibur tuannya sendiri-sendiri.
Seni tari berkembang luas pada masa Daulah Abbsiyah. Berkembangnya seni ini karena ketika itu perbudakan
masih berlaku. Para budak wanita bernyanyi untuk menghibur para pejabat maupun rakyat. Tetapi biduanitabiduanita istana pada umumnya adalah dari kalangan sendiri. (Lihat A. Hasjmi, SEJARAH KEBUDAYAAN
ISLAM, Cet. 2, hlm. 321, 326; Lihat juga Oemar Amin Hoesein KULTUR ISLAM, hlm. 427-445).
Berkembangnya kesenian di seluruh negeri Islam tidak menyebabkan berkembangannya seni yang dicampuri
oleh maksiat dan hal-hal yang dilarang syara Kalau ada hal-hal tersebut maka biasanya khilafah Islam akan
mengambil tindakan keras dengan menangkap pelakunya, sekaligus menutup tempat-tempat hiburan yang
berselubung kemaksiatan. Tindakan seperti itu dilakukan melalui para hakim Al-Hisbah. Bahkan khalfah
memerintahkan dan membiarkan qdh (hakim) memusnahkan alat-alat musik apabila negara berpendapat
bahwa memainkan alat-alat musik dan bernyanyi dengan diiringi musik adalah harm (Lihat Imm Al-mid,
AL-AHKM-US-SULTHNIYAH, hlm. 294-296). Namun Qdh Al-Hisbah tidak akan bertindak langsung bila
suara musik dan nyanyian tersebut muncul dari rumah-rumah penduduk. Ia hanya melarang tanpa mendobrak
pintu rumah, apalagi sampai merusak bagian lainnya. (Lihat Imm Al-midi, ibidem, hlm. 297).
Namun setelah khilafah Islam diruntuhkan oleh Barat (gabungan negara Eropa), mulailah muncul kembali
tempat-tempat hiburan yang terbuka untuk umum. Kita lantas mengenal ada yang namanya klub malam, bar,
diskotik, dan panggung-panggung terbuka. Muncul pula nyanyian cabul yang sesungguhnya tidak pantas
dinyanyikan. Bahkan kita sudah amat mudah menemukan nyanyian yang disertai dengan acara joget, ajojing,
dan dansa yang disertai dengan jeritan histeris. Penyanyi wanitanya pun telah banyak yang tidak punya rasa
malu lagi. Mereka lebih suka memamerkan auratnya dengan mengenakan pakaian ketat, tipis dan mini.
Tentu saja semua keadaan itu bukan cermin kebudayaan Islam. Seni yang demikian bertentangan dengan
ketentuan Islam. Ia tidak lebih dari jiplakan kebudayaan Barat. Secara pasti ia telah merusak jiwa pemuda Islam.
Bahkan di hadapan kepala kita telah tampak nyata bukti kerusakan itu di seluruh negeri Islam.
Keadaan tersebut tentu saja menjadi kewajiban negara khilafah masa depan untuk mengatasi kerusakan yang
terjadi di masyarakat pada setiap negeri Islam yang dikuasainya. Dengan kekuatan dan kekuasaannya, negara
khilafah pasti mampu membersihkan bentuk seni musik, suara, dan tari dari noda-noda kebudayaan Barat.
Khilafah akan dengan mudah melakukan berbagai tindakan dalam hal tersebut. Tindakan-tindakan yang dapat
dilakukan antara lain:
1. Melarang setiap nyanyian, rekaman dan tarian yang mengajak orang untuk minum arak, bergaul bebas,
berpacaran, bermain cinta, atau bunuh diri karena putus cinta.
2. Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan omongan kotor dan cabul yang mengarah kepada
perbuatan-perbuatan dosa atau membangkitkan birahi seksual.

3. Melarang setiap nyanyian dan tarian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan harm, seperti minum khamr,
percampuran antara lelaki dengan wanita.
4. Lagu-lagu dan kaset-kaset Barat dilarang beredar dan para penyanyinya tidak diijinkan melakukan
pertunjukkan (show) di negeri-negeri Islam.
5. Setiap tempat pertunjukan untuk menyanyi dan menari, seperti klub malam, bar dan diskotik harus ditutup
dan tidak diberi ijin membukanya oleh pemerintah. Begitu pula halnya dengan panggung-panggung terbuka.
6. Para penyanyi wanita tidak diperbolehkan tampil di televisi, film, panggung-panggung umum atau di studio
untuk menari atau merekam lagu kaset, video, film dan sebagainya. Untuk nyanyian, hanya di radio yang
diperbolehkan.
7. Tidak dilarang beredarnya kaset nyanyian wanita maupun pria asal berupa nyanyian yang mudah dan tidak
bertentangan dengan aqdah Islam.
8. Hanya lagu-lagu atau rekaman yang mengandung nilai-nilai keislaman dan sesuai dengan aqdah dan
akhlak Islam yang boleh beredar di negeri-negeri Islam.
9. Setiap keluarga diijinkan bernyanyi atau mendengarkan rekaman lagu dan menari dalam suasana gembira
guna melahirkan perasaan riang dan menghibur hati pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari raya, pesta
perkawinan, aqiqahan, pulang kampungnya salah seorang anggota keluarga, pada waktu lahirnya seorang bayi,
dan sebagainya, dengan syarat tidak melampaui batas-batas syara'.
10. Tidak dibolehkan memberi bayaran kepada penyanyi wanita. Tetapi bagi kaum lelaki boleh. Penyanyi
wanita hanya boleh bernyanyi di rumah saja.
11. Menarikan tarian hanya diperkenankan di tempat tertutup dan terbatas pada anggota keluarga serta kerabat
yang muhrim.
Demikian kira-kira yang akan dilakukan oleh khilafah Islam pada masa mendatang dengan berpedoman kepada
keadaan kaum Muslimn sekarang ini. Namun demikian, tindakan-tindakan di atas hendaklah merupakan sebuah
keputusan pasti yang tidak bisa diubah-ubah lagi sebab khilafah diberikan wewenang untuk bertindak dan
menentukan sikap dalam menentukan hukum dan peraturan berdasarkan ijithadnya. Oleh karena itu, bisa jadi
khilafah pada periode tertentu membolehkan orang bermain musik dan menyanyikan lagu. Pada periode
berikutnya bahkan khilafah mengharmkan semua jenis lagu dan alat musik, juga mengharamkan menggunakan
alat-alat musik dan melagukan nyanyian tertentu yang menurutnya tidak sesuai dengan etika hukum Islam.
Perbedaan sikap seperti itu karena para fuqaha telah memperselisihkan masalah seni ini, Tidak ada kesepakatan
pendapat di antara mereka. Namun apapun yang terjadi nanti dan selama masih bertolak dari pandangan hukum
Islam, maka kaum Muslimn wjib menthati semua ketentuan yang ditetapkan oleh khalifah.
TAMMAT. WAL-HAMDULILLH.

Anda mungkin juga menyukai