Anda di halaman 1dari 19

“KAPATA”

SASTRA LISAN DI SERAM BAGIAN BARAT DAN EKSISTENSINYA


BAGI PENGEMBAGAN BUDAYA DAERAH DAN SUMBER
SEJARAH LOKAL

Universitas Pattimura
Jalan Ir. Putuhena Poka Ambon
Telepon (09113825216/HP 085244767679
Email: drs.semt@yahoo.com

Abstrak
Kapata adalah sastra lisan yang biasanya dilantungkan oleh kelompok ataupun individu dalam
bentuk nyanyian tanpa menggunakan melodi. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan: (1)
Pengertian kapata dan kesamaan bentuknya dengan sastra lisan dibeberapa daerah di Nusantara.
(2) Kapata sebagai sumber historiografi tradisional. (3) Strategi pelestarian dan pengembangan
kapata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif diskriftif dengan
pendekatan hermeunetik. Sumber data dalam penelitian ini ialah tokoh masayarakat dan tetua
adat di Seram Barat yang mengetahui Kapata. Data dalam penelitian ini berupa Kapata yang
sudah diterjemahkan. Hasil dalam penelitian menunjukan bahwa: (1) Realitas kekinian kapata
sebagai prodak budaya masyarakat di Seram Bagian Barat mulai tereduksi. (2) Kapata terbagi
atas tiga periodisasi yaitu masa klasik masa Islam, dan masa kolonial. (3) Isi kapata di Seram
Bagian Barat merupakan ungkapan peristiwa masa lalu yang dialami baik oleh individu maupun
suatu kominitas yang diturunkan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. (4) Kapata
merupakan karya budaya dan sumber sejarah untuk mengungkapkan nilai budaya maupun nilai
historis yang terkandung dalam kapata pada masyarakat di Seram Bagian Barat. Hasil penelitian
ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam melestarikan budaya daerah melalui keunikan dalam
ranah kapata.

Kata Kunci: Realitas kapata, periodisasi, nilai budaya, sumber sejarah


1
1

A. PENDAHULUAN

Wilayah kepulauan Maluku bukan saja terkenal karena hasil rempah-rempahnya saja,
namun kekayaan budaya masyarakatnya yang sangat beragam dan memiliki nilai tinggi, setarap
budaya dan peradaban lain baik yang ada di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Maluku
memiliki sejarah yang panjang mengingat daerah ini tergodok dalam lintasan jalur sutra dan jalur
rempah beratus-ratus tahun, dan selama itu pula masyarakatnya telah berinteraksi dengan
berbagai budaya baru yang pada gilirannya diadopsi secara langsung tanpa mengabaikan
kemampuan local genius yang mereka miliki. Itu berarti bahwa masayarakat di Nusantara
khususnya di Maluku tidak begitu saja menerima budaya baru yang datang dari luar, namun
dengan kemampuan atau pengetahuan lokal yang dimiliki, mereka mampu untuk menyerap dan
menyaring unsur-unsur budaya baru untuk dipadukan dengan budaya asli mereka. Local genius,
yang sering juga disebutkan sebagai pencipta kebudayaan pribumi dengan demikian merupakan
konsep budaya suatu sistem yang mencakup berbagai dimensi kehidupan masyarakat bangsa
Indonesia. Salah satu faktor penggeraknya adalah ethos, yang dipandang sebagai suatu faktor
yang meresap dalam kompleksitas kebudayaan sehingga dapat menciptakan suatu koherensi
antar berbagai unsur, yang selanjutnya menjiwai kebudayaan tersebut dan menimbulkan struktur
tersendiri dengan membentuk identitas tersendiri pula (Wahyu Lestari, 2020:30).
Unsur budaya yang sekarang ada di dalam kebudayaan daerah secara potensial dapat
dianggap sebagai ciptaan tokoh local genius, yang telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sampai masa kini. Tinggal dipilih budaya local genius mana yang dapat dijadikan ukuran dalam
pembangunan budaya bangsa. Menurut Muhardjito, hakekat dari makna lokal genius, antara lain:
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar 2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur
budaya luar 3. Mempunyai kemampuan menginterogasi unsur-unsur budaya luar ke dalam
kebudayaan asli 4. Memiliki kemampuan mengendalikan 5. Mampu memberikan arah pada
perkembangan budaya. (Muhardjito, 1980: 40).
Memperkuat pandangan Mohardjito di atas, perlu pula ditambahkan hal-hal yang dialami
oleh suatu komunitas menurut (Tonynbee, 1978), bahwa kemajuan masyarakat melalui
modernisasi, ditentukan oleh dua kriteria, yaitu penguasaan terhadap dunia lingkungannya
melalui ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (lahiriah), dan melalui perkembangan kemampuan
masyarakat untuk menentukan sendiri (self determination). Masyarakat di Seram Bagian Barat
pada masa lalu misalnya, telah mampu menciptakan berbagai karya budaya monumental dan
2

diantara sekian banyak karya budaya yang dihasilkan untuk dibahas dalam tulisan ini adalah
Kapata. Kapata adalah sastra lisan yang berasal dari Maluku Tengah dan kandungan isi sastra
lisan jenis ini pada umumnya mengenai latar belakang sejarah dari komunitas-komunitas atau
suku-suku bangsa tertentu baik di pulau Seram, Buru, Haruku, Nusalaut, Saparua, Ambon, dan
pulau-pulau lain di Maluku Tengah. Karya sastra ini pada masa lampau biasanya dilantungkan
oleh beberapa orang tua yang secara turun temurun terekam dalam memori kolektif masyarakat
pendukungnya. Kapata dilantungkan dengan irama tertentu, tersusun dalam lirik-lirik dan
disampaikan pada malam hari ketika masyarakat negeri mengadakan sebuah upacara adat atau
kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan sosial, ekonomi maupun aktivitas budaya yang
sifatnya sakral.
Kapata juga dikategorikan kedalam karya sastra sejarah lisan yang memiliki kisah menarik
mengenai sejarah masyarakat di Masa lalu. Kandungan ceritera yang terrekam dalam kapata
lebih banyak mengenai kisah-kisah perjalanan masyarakat dalam mencari tempat pemukiman
baru, kisah-kisah perpisahan antara satu marga, baik karena perang saudara maupun peperangan
antara suku-suku yang serinng terjadi di pulau Seram pada masa lalu. Pada umumnya kapat
mengkisahkan tentang puji-pujian terhadap seorang pemuka masyarakat atau tokoh yang
diangungkan karena banyak berjasa bagi rakyat atau komunitasnya. Selain itu kapat berisi puja-
puji terhadap para “kapitan” (panglima perang) maupun pasukannya yang baru pulang dari
medan pertempuran. Kapata atau satra lisan sering dipentas/dipertunjukan oleh masyarakat
disetiap negeri-negeri yang dihuni oleh penduduk asli di setiap pulau yang ada di Maluku
Tengah.
Selain itu kapata juga dilaksanakan pada setiap hajatan atapun acara ritual tertentu disuatu
negeri. Nyanyian-nyanyian adat yang dinyanyikan biasanya menceritakan peristiwa sejarah,
peperangan, dan pemujaan-pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melalui nyanyian-
nyanyian adat yang dilantunkan tersebut, masyarakat akan mengetahui sejarah terbentuknya
suatu negeri atau desa dan adat istiadat yang harus terus dilestarikan (Hasan, 2016: 6).
Beberapa karya local genius yang mirip dengan Kapata di Seram Bagian Barat juga terdapat
dibeberapa daerah di Nusantara seperti nyayian rakyat Kili yang biasanya dinyanyikan dalam
bentuk tuturan oleh penyanyinya. Melalui tuturan tersebut mereka mengekspresikan kreativitas
dengan memanfaatkan bahasa sebagai wahana tuturnya dan disaat seperti itu telah terjadi proses
komunikasi dengan menggunakan Bahasa sebagaimana dikatakan Cook, (1986) yang dikutif
3

oleh (Gazali, 2016: 190). Dengan demikian dalam konteks ini, kapata lebih tepat dikatakan
sebagai sastra lisan karena keberadaan kapata sebagai tardisi lisan tersebut berada pada kerangka
budaya lisan. Semua kapata yang dilantungkan ataupun dipentaskan semuanya berasal dari
kerangka budaya lisan yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi
berikutnya. Hulu dari kapata sebagai tradisi lisan ini ada pada komunitas pendukungnya.
Secara teoritis dan praktis, komunitas pendukung kapata merupakan pemilik dari tradisi
lisan tersebut yang dihasilkan oleh para penyair atau pengarang, dan disosialisasikan kepada
masyarakat pendukungnya lewat tuturan. Proses tuturan tidak selalu dilaksanakan oleh orang tua
yang mengetahui kapata sehingga terkadang proses pembelajaranya tidak kontinyu bahkan
hampir tidak pernah diajarkan. Disisi lain genersi muda pemilik kapata atau sastra lisan yang
berharga itu tidak berminat untuk mempelajarinya sehingga lambat laun karya monumental
leluhur tersebut bisa hilang sama sekali apabila tidak ada proses pewarisan.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap sastra lisan yang disebut Kapata, yang ada di
Seram Bagian Barat, menunjukan bahwa Kapata yang lahir dari para penyair umuumnya
mengenai peristiwa yang dialami, baik pada masa klasik maupun pada saman masuknya Islam
dan masa-masa penjajahan Eropa, terutama Portugis-Spanyol dan Belanda. Menariknya para
pengarang sastra lisan ini memiliki kemampuan yang tidak diragukan bahkan hampir sama
dengan para penyair yang ada dikeraton atau pusat-pusat kerajaan Hindu dan Budah baik di Jawa
maupun di Sumatera. Sayangnya tidak seorang sastrawan yang menghasilkan karya sastra lisan
tersebut diketahui, sehngga dunia sastra terutama kapata di Seram Bagian Barat pada umumnya
tidak bertuan. Bukan saja kapata namun sastra lisan yang lain seperti Alamana.. Alamana adalah
tradisi lisan, berupa bahasa lokal yang secara khusus digunakan oleh masyarakat dalam upacara
adat, dan disampaikan dalam bentuk monoloh dan sifatnya tegas dan bermakna supra natural.
Bentuk tersebut hanya digunakan pada upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat
penganutnya, seperti pada upacara pelantikan raja, upacara perkawinan, upacara bersih negeri,
upacara tolak bala dan upacara-upacara lainnya yang sejenis, dan diucapkan oleh orang-orang
tertentu, seperti tua adat Mauweng (orang yang memiliki kemampuan supranatural tinggi).
Pada masa lalu alamana biasanya diucapkan oleh pemimpin agama suku. Saat ini
Alamana bisa saja diucapkan oleh tua-tua adat yang dianggap masih menguasai bahasa daerah).
Selain Alamnane ada juga Lani di Maluku Tengah beruapa syair-syair trdisional yang berisi
kisah-kisa peperangan dimasa lalu antara masyarakat negeri dengan penjajah. Lani pada
dasarnya dilantungkan dengan irama lambat dan penuh kesedihan. Lani hanya ada pada
masyarakat muslim pesisir Leihitu pulau Ambon dan penduduk asli pesisir Huamul dipulau
Seram. Sastra lisan seperti ini banyak dijumpai pada masyarakat di Maluku seperti Foruk di
Maluku Tenggara Barat, Tiarka di Maluku Barat Daya) Tom tat di kepulauan Kei dan Ono Tan
kepulauan Banda. Sastra lisan di Maluku umumnya tidak ada yang ditulis oleh para
pengarangnya. Pada titik inilah letak kelemahan karya sastra lisan di Maluku tengah bahkan
4

seluruh sastra lisan yang tersebar di Maluku, karena tidak pernah diketahui kapan karya tersebut
diciptakan dan siapa pengarangnya. Namun yang menarik adalah dari isi kapata dapat dianalisa
kapan atau saman dimana kapata tersebut diciptakan.
Mendasari semua pemikiran dan keraguan di atas, saya mencoba membagi Kapata atau
karya sastra lisan di Maluku tengah ini kedalam tiga pase besar yaitu: pertama, kapata saman
klasik, ke-dua Kapat saman pertengahan (masa peralihan masuknya Islam) dan ke tiga Kapata
disaman Penjajahan Belanda. Yang membedakan karya sastra lisan di Maluku Tengah dengan
yang ada di Sumatera, dan Jawa, adalah tidak adanya saman Hindu dan Budah yang
melatarbelakangi pikiran para pengarangnya. Tegasnya sastra lisan yang dikenal dengan istilah
“kapata”, di Maluku Tengah, atau karya sastra lisan yang tersebar diberbagai daerah di
kepulauan Maluku tidak mengandung unsur-unsur Hindu dan Budah. Banyak teks kapata yang
telah didiskripsikan sejak jaman penjajahan bangsa Eropa dan hingga kini masih tersimpan
dalam bentuk manuskrip, naskah dan buku-buku cetakan, baik pada perpustakaan Eropa maupun
beredar di wilayah-wilayah lain, termasuk di Indonesia. Namun ada beberepa kapata yang tidak
pernah direkam oleh penulis barat karena dianggap sebagai barang yang tabu dan sakral. Tradisi
lisan kapata, yaitu bentuk bahasa yang secara khusus digunakan oleh masyarakat dalam upacara
adat, dengan irama tertentu, tersusun dalam lirik-lirik dan disampaikan dalam bentuk monolog.
Bentuk tersebut hanya digunakan pada upacara-upacara adat pada masyarakat pemakai,
seperti pada upacara panas pela, upacara pelantikan raja, upacara perkawinan dan upacara-
upacara lainnya yang sejenis, dan digunakan oleh orang-orang tertentu, seperti tua adat (sesepuh
negeri) yang menguasai adat. Namun, persoalan lain yang dihadapi dewasa ini berkaitan dengan
daya sastra lisan sebagai tradisi di dalam kelompok kebudayaan tertentu adalah sinergi antara
revatilisasi tradisi lisan tersebut dengan wacana endangered tradition yang tanpa disadari telah
begitu menggelisahkan kita. Di Maluku realitas tersebut menjadi amat relevan karena persoalan
kelisanan yang kental, faktor geografis yang terdiri dari wilayah kepulauan, serta karakteristik
masyarakat dengan identitas budaya (termasuk bahasa) yang sangat plural. Karakteristik
demikian di satu sisi merupakan keuntungan karena keragaman tradisi lisan menjadi sesuatu
yang istimewa. Sementara itu di lain pihak, hal itu justru menjadi ancaman terhadap daya hidup
tradisi lisan tersebut, karena kemampuan masyarakat untuk mempertahankannya sering melemah
akibat perkembangan teknologi modern, mulai hilangnya bahasa-bahasa lokal, dan perubahan-
perubahan sosial lainnya. Makala ini mencoba memberikan gambaran mengenai: Pengertian
kapata, Bagaimana keberadaan kapata dewasa ini, kapata sebagai sumber historiaografi
5

tradisional dan eksistensiny dalam ilmu sejarah. Tak ketinggalan pula paparan contoh-contoh
kapata dari tiga saman yang mewarnai tiga saman yaitu saman klasik, saman pertengahan
(masukny Islam) dan saman kedatangan bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis Spanyol dan
Belanda.

2. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan
menggunakan pendekatan Hermeunetik. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deksriptif
kualitatif. Deskriptif kualitatif mengutamakan penggambaran data melalui kata-kata. Kata-
kata memuat ribuan makna, dan setiap kata mendukung jutaan makna (Endraswara, 2013:176).
Dengan menggunakan metode ini, peneliti akan memaparkan data yang ada kemudian
menganalisis data tersebut.Data yang menjadi fokus penelitian berupa kata yang
membentuk lirik dalam lagu Jarjinjindan largula. Sumber data meliputi dua buah lagu yang
berjudul Jarjinjindan largulayang berasal dari Desa Longgar, Kabupaten Kepulauan Aru,
Maluku. Kedua lagu tersebut diperoleh ketika peneliti melakukan penelitian diDesa
Longgar.Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu inventarisasi, baca simak, dan
pencatatan. Untuk menganalisis data yang ada, pada awalnya penulis mengidentifikasi
lagu-laguyang dijadikan data dalam penelitian. Setelah mengidentifikasidata, penulis
mengklasifikasidata. Data-datayang ada diseleksi dan diklasifikasikan sesuai hasil
pemahaman. Tahap berikutnya penulis menganalisis data. Data dianalisis dan diinterpretasikan
maknanya per bagian kemudian secara keseluruhan. Tahapan analisis menggunakanpendekatan
hermeneutika. Setelah dianalisis, penulis mendeskripsikan seluruh hasil analisis data
sesuaipendekatan hermeneutika. Pendekatan hermeneutika merujuk kepada proses interpretasi
atau penafsiran teks-teks. Salah satu aspek yang memengaruhi pembaca sehingga
mereka tidak dapat atau kurang dapat menikmati dan mengerti tentang isi suatu lirik
lagu adalah karena rumitnya konteks lirik lagu tersebut. Pada bagian inilahperanan
hermeneutika yang memperjelas makna simbol sebuah teks dalam suatu karya sastra
(Herianah, 2013:88). Penelitian ini berusaha mendeskripsikan relativitas budaya dan bahasa
dalam Kapata masyarakat Alifuru di Maluku tengah dan struktur puitika dalam Kapata
masyarakat suku Alifuru di Maluku Tengah.
6

B. Hasil dan Pembahasan

Sastra lisan tersebar hampir diseluruh wilayah Nusantara termasuk Maluku karena
masyarakat Maluku tidak mengenal adanya aksara sebelum masuknya budaya dari daerah
lain, baik dari Nusantara sendiri maupun Eropa dan Arab. Karya sastra di Maluku
tersebar dari mulut ke mulut secara lisan. Salah satu karya sastra yang masih hidup
hingga saat ini adalah dalam bentuk nyanyian-nyanyian tradisional. Terdapat nyanyian
tradisional yang menggunakan alat musik dan diringi tarian namun terdapat pula
nyanyian tradisional tanpa diiringi musik dan tarian. Nyanyian tradisional tanpa alat
musik biasanya terdapat dalam upacara-upacara adat kematian karena berbentuk
ratapan/elegi. Waropen sebagai salah satu daerah di Papua yang menyimpan kekayaan
karya sastra berbentuk nyanyian. Hampir sebagian besar karya sastra waropen
menggunakan nyanyian baik itu cerita tentang kehidupan maupun kematian dikemas
dalam bentuk nyanyian. Salah satu nyanyian yang masih tersimpan dan masih terus ada
hingga saat ini adalah nyanyian tradisional kematian yang selalu akan dikumandangkan
ketika terjadi peristiwa kematian. Nyanyian tradisional kematian dalam bahasa waropen
disebut dengan munaba. Munaba sebagai nyanyian kematian berisikan nilai-nilai
kehidupan seseorang selama ia hidup. Selain berisi tentang kehidupannya, nyanyian ini
juga berisi tentang perjalanan yang akan ditempuh oleh roh seseorang ketika ia
meninggal. Didalam proses perjalanannya, akan disebutkan pula tentang nenek moyang
dari orang tersebut yang akan menjemput, dan menghantarkan roh orang tersebut hingga
tiba ditujuan akhir perjalanannya. Ungkapan kesedihan dari pihak keluarga juga
tergambar didalam nyanyian munaba. Ungkapan kesedihan berisi kenangan akan jasa,
dan perbuatan-perbuatan baik yang telah dilakukan oleh orang tersebut.
b. 1. Pengertian Kapata dan Kesamaannya Dengan Sastra Lisan di Daerah Lain
Menurut Suprapti (1977/1978:62) bahwa di Maluku terdapat kesusasteraan suci yang
mempergunakan bahasa asli (disebut bahasa tana). Disebut kesusateraan suci karena tidak
boleh digunakan atau diucapkan secara sembarangan. Menurut saya yang dimaksudkan
kesusateraan suci oleh Suprapti tidak lain adalah Kapata, Alamana, Foruk, dan Tiarka
7

atau nama lain sesui pesebaran di wilayah budaya tertentu. Menurut Sahusilawane
Kapata, adalah tradisi lisan dengan bentuk bahasa yang secara khusus digunakan oleh
masyarakat dalam upacara adat, dengan irama tertentu, tersusun dalam lirik-lirik dan
disampaikan dalam bentuk monolog. Kapata hanya digunakan pada upacara-upacara adat
pada masyarakat pemakai, seperti pada upacara panas pela, upacara pelantikan raja,
upacara perkawinan dan upacara-upacara lainya yang sejenis, dan digunakan oleh orang-
orang tertentu, seperti kepala desa atau tua adat (sesepuh desa) yang menguasai adat.
Menurut Ne Menurut Danandjaja, Kapata merupakan jenis nyanyian rakyat lirisnaratif
yaitu nyanyian rakyat yang bercerita tentang suatu peristiwa. Mungkin akomodasi
Suprapti tersebut di atas masih kurang meyakinkan maka perlu ditambahkan pandangan
dari Lisse Pattipeiluhu, Setia Yuanda dan Muhsyanur, (2018: 35-45) bahwa suku Alifuru
adalah kelompok masyarakat yang berada di Maluku Tengah. Masyarakat Alifuru
memiliki kekayaan sangat besar dan menggambarkan keharmonisan dalam kehidupan
masyarakat serta, menjunjung tinggi nilai-nilai budaya. Kekayaan masyarakat lokal
berupa sastra lisan masyarakat Alifuru banyak tersimpan dalam memori orang tua usia
lanjut yang kian hari semakin berkurang. Yang dijelaskan oleh Patipeiluhu, Setia Yunda
dn Muhsyanur adalah “kapata” yang dikategorikan kedalam nyanyian atau folksong
yaitu salah satu genre atau bentuk foklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu-lagu yang
beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional serta banyak
mempunyai varian. Sejalan dengan penjelasan di atas, menurut Palentono Lattupapua
bahwa “kapata” merupakan sastra lisan pada masyarakat Alifuru yang diucapkan dalam
puisi atau dinyanyikan dengan menggunakan melodi atau tanpa melodi (Latupapua
2013;4).
Menurut Leirissa, Kapata atau Lani adalah dua bentuk sajak yang berisi peristiwa sejarah
yang dialami oleh penduduk Maluku dan diungkapkan dalam bentuk syair yang menggunakan
bahasa-bahasa lokal. Kapata lebih banyak menonjolkan peristiwa peperangan, sementara Lania
lebih banyak menyangkut soal-soal yang menyedihkan, seperti penghianatan, pengasinngan,
perpisahan dan lain-lain (Leirisa.R.Z, dkk 1999: 77). Pengertian kapata yang di kemukakan di
atas memiliki makna yang hamper mirip dengan pendapat yang dikemukakan oleh Dandjaja
(2002), yaitu: nyanyian rakyat yang tergolong liris atau nyanyian rakyat yang berceritera tentang
suatu peristiwa. Kapata juga diartikan sebagai lagu-lagu rakyat Maluku yang dinyanyikan dalam
8

Bahasa daerah dan menceriterakan suatu peristiwa yang bersifat informatif informatif
(Sahusilawane, 1993:3) Dari berbagai pendapat mengenai pengertian kapata yang telah
dijelaskan sebelumnya maka menurut penulis kapata adalah sastra sejarah lisan yang berasal dari
Maluku Tengah dan kandungan isi sastra lisan jenis ini pada umumnya mengenai latar belakang
sejarah dari komunitas-komunitas atau suku-suku bangsa tertentu baik di pulau Seram, Buru,
Haruku, Nusalaut, Saparua, Ambon, dan pulau-pulau lain di Maluku Tengah. Kapata sebagai
sebuah karya sastra biasanya dilantungkan oleh beberapa orang tua yang secara turun temurun
terekam dalam memori atau ingatan mereka. Kapata dilantungkan dengan irama tertentu,
tersusun dalam lirik-lirik dan disampaikan pada malam hari ketika masyarakat negeri
mengadakan sebuah upacara adat atau kegiatan yang berhubungan dengan kehidupan sosial,
ekonomi maupun aktivitas budaya lainnya. Jarang sekali kapata dilantungkan pada siang hari
karena dianggap memiliki makna religius yang tinggi dalam kaitannya dengan para leluhur
sehingga lebih tepat dilaksanakan pada malam hari sesuai kosmologi masyarakat Maluku tengah.

b.2. Kapata Sebagai Sumber Historiografi Tradisional


Sebagai sastra lisan, kapata memiliki fungsi yang sangat bermanfaat untuk kepentingan
penulisan sejarah mengingat konten dari kapata tersebut pada dasarnya mengandung kisah-kisah
sejarah yang berkaitan dengan memori kolektif masyarakat negeri yang ada di Maluku tengah.
Dalam ilmu sejarah kita mengenal adanya sumber sejarah baik tertulis maupun sumber lisan atau
oral histori yang dapat digunakan untuk merekonstruksi sebuah kisah atau peristiwa masa lalu
yang pernah dialami baik kolektifitas maupun individu. Analisis sejarah melalui media Kapata
memang membutuhkan penguasaan bahasa daerah dimana Kapata itu diperoleh. Penguasaan
Bahasa daerah yang dimaksudkan bertujuan untuk menghindari kekeliruan dalam menganalisis
kapata atau menginterpretasi Kapata sebagai sumber sejarah. Kapata sebagai sumber sejarah
lisan di Maluku tengah dapat dikategorikan kedalam dua jenis yaitu:
Kapata Perang yaitu syair yang mengandung kisah sejarah atau peristiwa masalalu
dari pengalaman kolektif yang dimiliki oleh suatu masyarakat dan kandungan
kapata/sastra lisan jenis ini berisi perjalanan para leluhur suatu masyarakat dari suatu
tempat ketempat lain untuk mencari pemukiman yang nyaman dan damai. Contoh
Kapata/sastra lisan jenis ini adalah peristiwa pembunuhan putri Muahainiwele (putri
kepala Suku) di Sabaing Latale sehingga mengakibatkan peperangan, dan pada akhirnya
9

masyarakat bersama para pimpinan suku yang bergelar Ina Ama mengambil keputusan
untuk mengosongkan tempat tersebut. Sabaing Latale adalah salah satu pusat peradaban
di pulau Seram yang pada gilirannya menjadi pusat pertumbuhan kerajaan Sahulau. Syair
“kapata” tersebut adalah sebagai berikut:

Hee…. Lasai-lasai niliaaa,…menaibaele….heee Hau ooo


Hau teha amai teha…nilii……
Hee……lasai-lasai niliaaa… menaibaele .. heeee Kima ooo
Kima teha amai teha…nilii…..
Hee…. Lasai-lasai niliaaa….. menaibaele …heeee Nui ooo
Nui hoa.. amai teha nilii….
Soramu- Sorayooo. Kosongkan Sahulau
Pertemuan atau rapat saniri petama di Hulu Sungau Hau namun,
tidak berhasil mecapai mufakat untuk mengeluarkan masyarakat
dari sabaing latale. Rapat saniri berikutnya untuk memutuskan
pembagian wilayah hukum adat bertempat di Hulu sungai
Kiama/Ima batai. Pertemuan/rapat saniri yang ketiga berlokasi di
Hulu sungai Nui. Setelah itu mereka semua sepakat kosongkan
Sahulau yang ditandai dengan teriakan bersama Soramu-Sorayooo,
kosongkan Sahulau
Terjemahan bebas oleh penulis setelah melalui tahap analisis sumber

(2) Kapata Puja-Puji yaitu Kapata yang isinya mengandung puja-puji kepada tanah leluhur,
kepada seorang pemimpin yang diagungkan, kepada para kapitan atau pendekar yang baru
pulang dari meden pertempuran dan lain-lain. Contoh Kapata/satra lisan jenis ini adalah kapata
penguburan Kapitan Patinama yang terbunuh dalam peristiwa peperang anatar rakyar di
Huamual pulau Seram menentang penjajah Belanda. Kapata tersebut adalah sebagai berikut:
Sial suli panunya lana lete literuwa rimbalulu
Husa posi nahuwaru…Hutu rimba loa…..
Nlahamba elarita….awe mua hinia Hitu….
Wage mugaguru lun hiti kaule manelatu
10

Hita kaule koro bangu lau Nusa Jela…


Malahamba elarita…..
Sio…..sio Patinama
Patinama too Jela
Lounala Lumajea nasilele kadir…
Nalahatu rimba lea posihala…
Nasisule kubur… lou nala mulu yea…
Solatania resi-resi…. Solatania ke Bacan
Solatania ke Tidore… Solatania ke Jailolo
Solatania ke Ternate… Solatania Paimuli…
Sioa-siao Patiinama
Patinama too Jela..
Nalahamba elarita wawe nuru nena Hitu..
Pase tuu manesia… wawe sunggi tesaloso
Nlahatu rimba mai..cuci kuburesia..
Nasi baca talakine….Nasi kane telesio
Nalalea natau soo… nale matau weli…
Nalalea matau koko… Nalahamba elarita
Sio…Sio Patnama…
Patiinama too Jela…

Terjemahan bebas dari kapata di atas adalah sebagai


berikut:

Tanjung Sial sudah ditinggalkan sendiri tetapi ia masih mengatakan


siap dirimu disaat suatu perjalanan jenasah dilakukan……
Perahu-perahu didorong oleh 50 orng laki-laki….
Demikian ceriteranya tujuh orang kekasihnya mengiringi
kepergiannya
Juga Ayah dan Ibunya dan mereka mempersembahkan seekor
ayam putih
11

Dan mempersembahkan kambing di pulau kelang


Begitulah kisahnya…
Patinama yang telah tiada…..
Namanya telah hilang…..
Pengusung jenazahnya dilengkapi dengan kelambu ….
Ada lima puluh orang untuk mengusungnya dan menggali
kuburnya..
Namanya telah hilang…. Wahai para sultan yang perkasa….
Sepeti Sultan Bacan… Sama derajat dengan Sulatan Tidore…
Sama tinggi dengan sultan Jailolo…
Setinggi sultan Ternate adalah dia Sulatan Paimuli….
Wahai..wahai patinama…
Patinama yang telah tiada
Begitulah ceriteranya disana..
Tujuah buah soa yang ada disana
Mereka membalut jenazahnya dengan kain-kain bernilai tinggi
Lima puluh lelaki menggali kuburnya…dan mereka membacakan
Nyayian perkabungannya dan mengangkatnya…mulai dari
matahari terbit
Sampai matahari terbenam…
Wahai… wahai Patinama
Patinama yang sudah tiada..
Kapata perkabungan bagi Patinama (F. J. P Sachse 1907: 205)

Contoh lain mengenai kapat puji-pijian kepada tanah leluhur adalah mengenai
pulau Nusalaut yang diindentikan dengan pulau emas. Lirik kapata ini hanya terdiri dari
satu bait yang pendek namun isinya mengandung makna pujian dan pengungkapan fakta
sejarah yang ada dipulau tersebut. Lirik kapata pujian yang dimaksud adalah sebagai
berikut:

Nusalo elau ooo Pulau yang di laut itu


12

Kuma mau elo oo yang bayangannya samar-samar


Tase nusa sane bukanlah pulau yang lain
Konusa Halawane ooo melainkan pulau Nusahulawanno (pulau Nusalaut)
Ale tase di pulau yang indah itu
Tase nusa sane ooooo terdapat
E…Wahipotulo dua raja dan
Latu Rua Ripatia Rima ooo lima pattinya
Sumber: Wawancara dengan Bapak Candi Siahainenia kamis 22 Februari 2019
Dalam penyajian data sebelumnya, baik kapata yang berisi peristiwa peperangan
atau perpisahan dan kapata puji-pujian terhadap seorang kapitan (panglima perang) yang
dapat diidentifikasi secara eksplisit serta fakta tentang penyajian teks-teks Kapata dalam
berbagai peristiwa yang terjadi pada saman lampau di Maluku tengah. Teks-teks kapata
yang telah disajikan pada bagian sebelumnya secara tersirat telah menunjukan peran serta
kedudukan Kapata sebagai sebuah sumber historiografi tradisional dan lebih pada sebuah
produk budaya di tengah-tengah kehidupan masyarakat pemilik dan pemangkuhnya.
Peran Kapata sebagai media penutur sejarah merupakan peran vital dalam hal
menyediakan referensi sejarah suatu masyarakat.
Teks-teks kapata dapat dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah untuk
mengenal atau menelusuri sejarah masyarakat yang tidak tertulis. Selain itu teks-teks
Kapata memiliki kemungkinan untuk dikembangkan menjadi salah satu sumber bahan
ajar sastra lisan maupun materi pembelajaran sejarah dan budaya daerah. Dengan
demikian, kesadaran tentang historitas masyarakat dapat digerakan untuk
mempertahankan identitas dan membangun ketahanan budaya masyarakat itu sendiri.
Peran harmonisasi dan kontrol sosial memiliki relevansi dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam teks-teks Kapata. Banyak teks Kapata yang menarasikan penghargaan
terhadap sejarah dan tradisi turun temurun, terutama mengenai relasi-relasi sosial dan
tradisi antar masyarakat yang berbeda wilayah dan agama. Kapata mengkisahkan
pengalaman masa lalu mengenai praktek masyarakat terhadap hukum-hukum adat yang
menjadi pengikat dan pengayom masyarakat adat. Dengan kata lain, harmonisasi
masyarakat dan kontrol sosial yang efektif dapat dibangun melalui kesadaran terhadap
tradisi budaya atau adat istiadat yang dimiliki.
13

Selanjutnya, Kapata memiliki peran sebagai wahana pengayaan bahasa dan budaya
dari masyarakat yang hidup dalam wilayah budaya tertentu. Peran ini tidak kalah
pentingnya dengan peran-peran yang telah disebutkan di atas, karena berkaitan dengan
kemampuan teks untuk merefleksikan kebudayaan masyarakat, yang kemudian dinikmati
oleh masyarakat itu sendiri sebagai alat untuk menciptakan kesdaran budaya. Lebih
lanjut, teks-teks Kapata yang menggunakan bahasa rakyat atau Bahasa daerah yang
penuturnya semakin berkurang dapat dimungkinkan terjadinya proses pengayaan bahasa
dan pengayaan budaya. Oleh sebab itu, pada praktiknya masyarakat dapat mengenal dan
mempelajari bahasa daerah mereka, serta mengenal dan mempelajari kebudayaan melalui
teks-teks Kapata yang ditampilkan dalam resitasi. Generasi muda misalnya dapat
mengenal seluk-beluk hubungan kekerabatan diantara kelompok-kelompok suku tertentu
seperti Suku Wemale di pulau Seram dengan falsafah hidupnya “Wari Waa” yang
mengandung pengertian adik dan kakak (S. Touwe 2019: 46-47). Selain itu suku Alune
di pulau Seram dengan palsafa lokalnya “Kwali Betaya” (adik dan kakak) yang dilandasi
dengan nilai-nilai humanis yang terkandung didalamnya. Palsafah-palsafa tersebut
merupakan dasar untuk menciptakan pribadi-pribadi yang sadar budaya dan
meningkatkan kesadaran sejarah sehingga dapat didilestarikan sebagai budaya bangsa
yang unggul.

b.4 Kapata Sebagai Media Sosial Dalam Membagun Ketahana Budaya


Dalam penyajian data sebelumnya, baik ekspresi formula yang dapat diidentifikasi
secara eksplisit serta fakta tentang penyajian teks-teks Kapata dalam berbagai ritual adat
di Maluku. Teks di atas secara tersirat telah menunjukan peran serta kedudukan Kapata
sebagai sebuah produk budaya di tengah masyarakat pemiliknya. Peran Kapata sebagai
media penutur sejarah merupakan peran vital dalam hal menyediakan referensi sejarah
masyarakat. Teks-teks Kapata dapat dijadikan sebagai salah satu sumber untuk mengenal
atau menelusuri sejarah masyarakat. Lebih lanjut, teks-teks Kapata memiliki
kemungkinan untuk dikembangkan menjadi salah satu sumber bahan ajar sastra lisan
maupun sejarah dan budaya daerah. Dengan demikian, kesadaran tentang historitas
masyarakat dapat digerakan untuk mempertahankan identitas dan membangun ketahanan
budaya masyarakat itu sendiri. Peran harmonisasi dan kontrol sosial memiliki relevansi
14

dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks. Banyak teks Kapata yang menarasikan
penghargaan terhadap sejarah dan tradisi turun temurun, terutama mengenai relasi-relasi
sosial dan tradisional antar masyarakat yang berbeda wilayah dan agama, sekaligus
pengalaman terhadap hukum-hukum adat yang menjadi pengikat masyarakat adat.
Dengan kata lain, harmonisasi masyarakat dan kontrol sosial yang efektif dapat dibangun
melalui kesadaran terhadap tradisi budaya atau adat istiadat yang dimiliki.
Selanjutnya, Kapata turut mengemban peran sebagai wahana pengayaan bahasa dan
budaya. Peran ini tidak kalah pentingnya dengan peran-peran yang telah disebutkan di
atas, karena berkaitan dengan kemampuan teks untuk merefleksikan kebudayaan
masyarakat, yang kemudian dinikmati oleh masyarakat itu sendiri sebagai alat untuk
menciptakan kesdaran budaya. Lebih lanjut, teks-teks Kapata yang menggunakan bahasa
rakyat atau bahasa adat yang penuturnya semakin berkurang dapat memungkinkan
terjadinya proses pengayaan bahasa dan pengayaan budaya. Oleh sebab itu, pada
praktiknya masyarakat dapat mengenal dan mempelajari bahasa daerah mereka,
mengenal dan mempelajari kebudayaan mereka melalui teks-teks Kapata yang
ditampilkan dalam resitasi. Generasi muda misalnya dapat mengenal seluk-beluk
hubungan pela gandong dan nilai-nilai humanis yang terkandung didalamnya,
mengetahui legenda Nunusaku, mengenal dan mempelajari bahasa-bahasa rakyat yang
selama ini hanya dikuasai oleh generasi tua dalam tataran-tataran yang terbatas, melalui
penampilan suatu tradisi lisan tertentu termasuk Kapata. Pengetahuan tersebut merupakan
dasar untuk menciptakan pribadi-pribadi yang sadar budaya sehingga kekuatiran bahwa
tradisi lisan akan dengan sangat mudah digeser fungsi dan peranannya oleh kemajuan
teknologi komunikasi global dapat sedikit berkurang.
Selain peran di atas, Kapata turut menjalankan peran sebagai pemelihara sejarah
atau sebagai wahana tutur sejarah kolektif. Hal tersebut terbaca dalam beberapa teks
Kapata di negeri-negeri pedalaman pulau Seram. Sejarah yang dituturkan, baik secara
implisit maupun eksplisit meliputi; sejarah migrasi masyarakat dari Sabaing Latale
(Sebagian tanah/wilayah yang rata, ucapan suku Alune) atau Sapulau Latale (Sahulau
yang Rata, ucapan suku Wemale). Sejarah terbentuknya hubungan pela dan gandong
antar negeri, sejarah terbentuknya sebuah negeri, sejarah peperangan antar negeri dan lain
sebagainya.
15

b.4 Strategi Pelestarian


Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka strategi yang dilakukan untuk melestarikan
warisan budaya Kapata, yaitu dengan beberapa cara: pertama strategi langsung yang dilakukan
oleh pemerintah untuk: (1) memeliharae eksistensi kapata, meliputi: a. Inpentarisasi dan
dokumentasi, b Dijadikan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah terutama SMP, SMA, atau
sederajat, dan c. Dijadikan sebagai hiburan pada acara-acara resmi pemerintah daerah dan
sebagainya. (2) Melalui pembinaan dengan cara perlombaan yang dilakukan setiap hari besar
nasional dan hari jadi kabupaten/kota, (3) Melalui pengembangan, yaitu diteliti dan
dikembangkan oleh ilmuwan dan budayawan Maluku. (4) Strategi tidaklangsung yang dilakukan
oleh masyarakat dalam upaya pelestarian kapata, meliputi: a. Menggunakan kapata sebagai
hiburan masyarakat pada acara keluarga. B. Pembentukan grup kapata.

Daftar Pustaka
Amaluddin. 2010. Nyanyian Rakyat Bugis Kajian Bentuk, Fungsi, Nilai dan Strategi
Pelestariannya. Makasar: Jurnal Bahasa dan Seni FKIP Universitas Muhammadiyah
Parepare. Vol.38, no 1.
Creswell, J. W. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset (memilih di antara lima
pendekatan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gossip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Endraswara, Suwardi. (2013). Metodologi Kritik Sastra. Yogyakarta: Ombak.
Gazali. 2009. Nyanyian Rakyat Kaili: Struktur, Fungsi dan Nilai. Universitas Negeri Malang.
Tedlocok,
Dannis. 1992. Ethnopoetics. In Bauman, Richard (ed). Folklore, Cultural Performances, And
Popular Entertainments, pp. 81-85. New York/Oxford University Press.
Hasan, Nita. (2016). Nyanyian Adat Tambarorodan Ekonomi Kreatif. DalamSeminar
Nasional
16

Bahasa dan Sastra. Tidak terbit.


Herianah. (2013). Analisis Lagu Bugis Tana Ogi’WanuakkuCiptaan Jauzi Saleh
Melalui
Pendekatan Hermeneutika. Totobuang, 1(1), 87-94
Hutomo, S. S. 1993. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Spradley, J. P. 2007. Metode Etnografi. Yokjakarta: Tiara Wacana. 42 Elite Journal:
International
Journal of Education, Language, and Literature Vol. 1, No. 1, Oktober 2018, pp.35-41
Lisse Pattipeiluhu, Setya Yuwana Sudikan and Muhsyanu Ekspresi Etnik Dalam Kapata
Masyarakat Alifuru di Maluku Tengah (kajian etonpuitika). Elite Jurnal: International
Jurnal of Education, Languange,en Literature Vol. I. No.I. 2018, pp.35-42
Lokollo, J. E. 1996. Seri Budaya Pela - Gandong Dari Pulau Ambon. Maluku: Lembaga
Kebudayaan Daerah Maluku. Latupapua, dkk. 2013. Kapata.Yogjakarta: Penerbit madah.
Nazir. 2016. Nyanyian Masyarakat Muna: Nilai pendidikan dalam nyanyian rakyat Kau-Kaudara
. Jurnal Humanika vol 16. Sudikan,
Setya Yuwana (2001a). Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.
Taum,Y. Y. 2011. Studi Sastra Lisan. Yogyakarta: Lamalera.
Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.
17

Anda mungkin juga menyukai