Anda di halaman 1dari 11

Pesan Moral Dan Nilai Kebudayaan Jawa Dalam Cerkak

Dandang Kyai Dhudha Karya Adda

Galang Adhi Pradipta1, Turita Indah Setyarini2

Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

E-mail: galangadhipradipta@gmail.com

ABSTRAK

Cerkak berjudul Dandang Kyai Dhudha adalah sebuah cerkak berlatar


belakang acara sakral yang berada di kraton Surakarta Hadiningrat. Acara tersebut
ialah acara ngliwet, yaitu mengukus nasi dengan menggunakan priuk besar atau
dandang, yang bernama Dandang Kyai Dhudha. Dandang tersebut merupakan alat
masak milik keraton Surakarta yang sudah ada sejak jaman geger pecinan.
Informasi ini digunakan pengarang untuk menceritakan kehidupan romansa
sepasang wartawan dengan konteks acara pengukusan nasi di kraton Surakarta.
Romansa yang tidak hanya sekadar tentang cinta, namun mengandung banyak nilai-
nilai kebudayaan yang perlu ditelaah lebih jauh dan representasinya terhadap
masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Kata kunci : ngeningake cipta; abdi dalem; madhep mantep; pasrah sumarah; rasa;
gugon tuhon

1. PENDAHULUAN
Masyarakat jawa merupakan salah satu masyarakat yang memiliki kebudayaan
adiluhung. Kebudayaan jawa tak hanya direpresentasikan secara material, namun
juga direpresentasikan dalam nilai-nilai yang hanya bisa kita temukan pada
masyarakat jawa. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan pesan moral dalam kehidupan
orang jawa. Menurut Koentjaraningrat, nilai menjadi representasi budaya yang
menjadi pegangan setiap individu dalam suatu populasi atau masyarakat.
Masyarakat jawa memang sangat menjunjung nilai-nilai yang menjadi kepribadian
manusia jawa itu sendiri. Salah satu nilai yang sangat dijunjung ialah nilai
kesopanan dan tata kesusilaan yang hadir dalam unggah-ungguh. Dari nilai-nilai itu
masyarakat jawa menggubahnya menjadi beberapa pesan yang terkandung secara
lisan maupun tulis. Seperti memayu hayuning bawana yang menjadi pegangan
hidup orang jawa untuk menyeimbangkan alam, dan manunggaling kawula klawan
gusti dalam konsep religi manusia jawa.
Cerkak Dandang Kyai Dhudha sebagai sebuah bentuk karya sastra juga
membahas tentang nilai-nilai kebudayaan jawa. Cerkak ini dapat menjadi sebuah
cerminan masyarakat jawa yang menjunjung nilai-nilai jawa. Salah satunya nilai
kesopanan yang ditunjukkan pada tokoh-tokoh seperti Mas Iwan, Abdi Dalem, dan
tokoh-tokoh pembantu yang lain. Kemudian dalam cerkak tersebut juga terkandung
nilai religi yang ditunjukkan oleh tokoh Kanjeng Winarno, yang melakukan
tindakan ngeningke cipta atau mengheningkan cipta sebagai cara berkomunikasi
dengan tuhan dalam konsep religi jawa. Kemudian sikap pasrah sumarah yang
ditunjukkan tokoh Angel, dan Mas Iwan. Dan muncul istilah madhep mantep yang
merupakan representasi dari pikiran tokoh Mas Iwan yang menyimpulkan pada
dirinya bahwa madhep mantep dan pasrah sumarah marang gusti akan
menunjukkan jalan yang tepat bagi dirinya. Dalam cerkak ini dalam
pengaplikasiannya pada kehidupan orang jawa, bahwa keyakinan orang jawa yang
berujung dalam nilai kesantunan dan kesopanan, memulai sesuatu dengan niat yang
mantap, serta selalu berdoa pada yang kuasa bahwasanya hidup ini adalah
pemberian darinya maka selalu berusaha dan diniati dengan ikhlas hati, maka yang
kuasa pasti akan menunjukkan jalan yang tepat. Pengaplikasian tersebut digunakan
oleh orang jawa sendiri sebagai bentuk penyelarasan dunia. Keyakinan manusia
jawa itu sendiri selalu berkaitan dengan hubungan yang terikat antara jagad gedhe
dan jagad cilik (Koentjaraningrat, 1984:411). Itulah yang menjadi sebab mengapa
masyarakat jawa menanamkan nilai-nilai kebudayaan jawa sebagai proses
penyelarasan antara dirinya dan alam semesta. Nilai tersebut ditanamkan dimanapun
bahkan pada karya sastra seperti cerkak Dandang Kyai Dhudha ini.
Pesan moral dan nilai kebudayaan jawa adalah sebuah representasi kebudayaan
jawa yang secara tidak langsung dipegang oleh masyarakat jawa. Dandang Kyai
Dhudha sebagai sebuah karya sastra jawa berwujud cerkak yang memiliki aspek
sosial, memiliki ajaran-ajaran jawa dalam bentuk nilai maupun pesan moral yang
disampaikan pengarang terhadap pembaca. Pengarang menyampaikan cerkak
tersebut menggunakan sudut pandang orang pertama, dan membahas romansa yang
diselingi kemistisan orang jawa, dan nilai kebudayaan jawa yang kental. Hal ini
menjadi sebuah rumusan masalah, bagaimana mengaplikasikan ajaran, nilai, pesan
moral kebudayaan jawa yang ada dalam cerkak tersebut dalam kehidupan manusia
jawa. Dan akan membahas bahwa nilai-nilai kebudayaan jawa yang berkaitan
dengan aspek religi, spiritual, lingkungan sosial, dan individu itu sendiri.
Nilai kebudayaan jawa sangat erat kaitannya dengan masyarakat jawa. Nilai-
nilai, ajaran, dan pesan moral kebudayaan jawa merupakan hasil kebudayaan yang
adiluhung. Dengan beberapa rumusan masalah yang telah ditelusuri, nilai-nilai,
ajaran dan pesan moral digunakan untuk mengetahui bagaimana cerminan sikap
tokoh, pikiran pengarang, ataupun alur cerita dalam cerkak Dandang Kyai Dhudha
dan pengaplikasiannya dalam kehidupan orang jawa, serta untuk menemukan
konsep nilai kebudayaan jawa dalam tindakan, pikiran, atau latar cerita pada cerkak
tersebut.

2. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN


Dandang Kyai Dhudha merupakan sebuah karya sastra cerkak yang
membicarakan tentang kebudayaan orang jawa.. Dalam pembahasan ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis wacana yang ada dalam
cerkak. Dalam cerkak tersebut merepresentasikan kebudayaan dan kehidupan orang
jawa melalui penggambaran tempat, acara, dan nama-nama benda yang
berhubungan dengan acara pada kraton yang dijabarkan pengarang pada cerita.
Acara tersebut ialah acara pengukusan nasi yang telah dibahas diawal, yang
bilamana pengukusan atau ngliwet merupakan kebiasaan ibu rumah tangga pada
sehari-hari menjadi suatu yang sakral. Kemudian dikatakan terdapat hal janggal di
saat pengukusan berlangsung. Nasi tersebut tidak matang dalam rentang waktu lebih
dari 1,5 jam pemasakan. Kanjeng Winarno, seorang tokoh yang disebutkan
pemimpin acara tersebut ngeningke cipta dan mengatakan bahwa hal tersebut terjadi
karena adanya orang keturunan tionghoa yang hadir dalam acara tersebut.
Kanjeng Winarno katon anteng. Nanging kawistara yen lagi ngeningake
cipta. Panjenengane banjur mbisiki abdi dalem kasebut. Sing tampa
dhawuh manggut-manggut. Dheweke banjur sesorah ana sangarepe
wartawan, “Nyuwun pangapunten saderengipun, kagem sinten kemawon
ingkang rumaos taksih keturunan tionghoa, kula aturi supados medal saking
ruwangan menika.
‘Kanjeng Winarno terlihat tenang. Tetapi terlihat sedang mengheningkan
cipta. Beliau kemudian berbicara kepada abdi dalem. Abdi dalem tersebut
mengangguk. Dia berbicara di depan semua wartawan, “Minta maaf
sebelumnya, bagi siapapun yang merasa masih memiliki keturunan darah
Tionghoa, saya harapkan untuk keluar dari ruangan ini.
1. Ngeningke Cipta dan Rasa

Kanjeng Winarno, layaknya meminta petunjuk mengapa nasi tersebut tak


segera matang. Ngeningke cipta sendiri berasal dari kata ening yang berarti bening,
jernih dan cipta yang berarti angan-angan, gagasan, dan pikiran (Poerwadarminta,
1939:638). Ngeningake cipta berarti menjernihkan pikiran, yang dalam pikiran
masyarakat jawa menjernihkan pikiran dan memusatkannya pada Tuhan Yang
Maha Esa. Hal ini menjadi contoh bukti religi orang jawa dengan konsep ngeningke
cipta yang berkaitan dengan manekung. Kanjeng Winarno merepresentasikan nilai
religi orang jawa dalam ngeningke cipta itu sendiri. Manusia jawa memang erat
kaitannya dengan hal seperti manekung, ngeningke cipta, dan tapa brata. Hal itu
semua berkaitan walaupun berbeda dalam hal arti. Semua hal itu mengerucut pada
menenangkan pikiran, fokus, konsentrasi, dan memusatkan pikiran. Orang jawa
sendiri juga selalu mengkaitkan sesuatu dengan rasa, sehingga konsep religi jawa
maupun nilai-nilai kebudayaan jawa secara umum selalu berhubungan dengan rasa.
Tuhan sendiri dalam konsep jawa berada dalam jiwa setiap manusia, sehingga aspek
rasa berperan penting dalam nilai religi kebudayaan jawa.

Nilai-nilai kebudayaan jawa dimunculkan oleh pengarang dari


penggambaran tokoh Mas Iwan dan Angel, yang dihadapkan permasalahan saat nasi
yang dinanak dalam Dandang tak segera matang dikarenakan adanya keturunan
Tionghoa.

Kanjeng Win banjur mbacutake katrangane lamun rumuhun mbeneri


Surakarta timbul dahuru kang kawentar kanthi aran Geger Pecinan,
sanjeroning kraton kober dijegi dening pendhekar-pendhekar Cina. Wong-
wong kuwi ngrusak sawatara isen-isening kraton, klebu prabotan mangsak
ing pawon.

Dandang Kyai Dhudha klebu sing ditendhang-tendhang nganti penyok


perangan ngisore. Nanging senajan penyok, dandang kuwi seprene isih bisa
dianggo ngliwet. Sok ngonowa, ngendikane Kanjeng Win, kumara sing
manjing jroning dandang tetep ora narimakake pakartine pendhekar-
pendhekar Cina sing degsiya. Mula banjur ipat-ipat ora mateng pangliwete
sauger tinunggon dening anak turune wadya kraman Geger Pecinan.

Kanjeng Win banjur ngajak mbuktekake. Pancen aneh, salebare Angel lan
reporter televisi mau metu saka ruwangan ngliwet, mawa areng sing
sekawit mota-mati, urube dadi lancar. Lan ora nganti 15 menit sega liwet
iku mateng. Kabeh abdi dalem katon lega.

‘Kanjeng Win kemudian melanjutkan keterangan jika dahulu Surakarta


terjadi huru-hara yang kemudian hari lebih dikenal dengan Geger Pecinan,
di dalam kraton diduduki oleh tentara Cina. Orang-orang tersebut merusak
semua isi kraton, termasuk alat-alat masak yang berada di dapur.
Dandang Kyai Dhudha termasuk alat yang ditendang hingga penyok bagian
bawahnya. Walaupun penyok, dandang tersebut masih dapat dipakai untuk
menanak/mengukus nasi. Tak ayal, kata Kanjeng Win, penunggu yang
berada dalam dandang tetap tidak menerima tindakan tentara Cina yang
jahat. Maka dari itu tidak segera matang saat dirasa ada anak keturunan
tentara dalam Geger Pecinan.

Kanjeng Win kemudian membuktikan. Memang aneh, sejak Angel dan


reporter televisi keluar dari tempat penanakan nasi, bara api yang
sebelumnya menyala tidak menentu, mulai lancar. Dan tidak sampai 15
menit nasi tersebut matang. Semua abdi dalem terlihat lega.

Kepercayaan masyarakat terhadap sesuatu memang cukup kuat. Dalam


pandangan orang selain jawa, hal tersebut bisa dikatakan mitos yang belum dapat
terbukti faktanya. Lagi-lagi membicarakan aspek rasa dan nilai kebudayaan Jawa
yang kental dalam hal ini. Orang Jawa kebanyakan menilai suatu hal dengan istilah
othak-athik gathuk yang berarti mengaitkan sesuatu dengan lainnya dengan bukti
yang kuat. Hal ini kemudian muncul dengan nama gugon tuhon.

2. Gugon Tuhon

Gugon Tuhon berarti suatu hal yang mudah dipercaya dengan perkataan atau
cerita yang dianggap memiliki kekuatan, apabila tidak dipercaya akan terjadi sesuatu
yang buruk (Padmosoekotjo, 1953:92). Gugon tuhon sendiri dianggap menjadi suatu
yang mistis dan cukup terkenal dalam kehidupan orang Jawa. Dalam Dandang Kyai
Dhudha terjadi peristiwa nasi yang tidak dapat matang karena adanya keturunan
tionghoa yang berada di ruangan tersebut. Dikarenakan dahulu pernah terjadi huru-hara
yang ditindakkan oleh orang Tionghoa saat Geger Pecinan. Hal ini terlanjur dipercaya
oleh semua abdi dalem kraton. Dalam konsep ini gugon tuhon merupakan salah satu
nilai kebudayaan jawa. Dikarenakan gugon tuhon menjadi prinsip kehidupan orang
jawa dengan mempercayai sesuatu yang di othak-athik dengan tujuan yang baik.
Konsep gugon tuhon sendiri digunakan sebagai pengatur nilai kesusilaan dan nilai
kesopanan masyarakat Jawa. Contoh yang sering kita dengar seperti tidak boleh
menyapu di waktu malam, dan lain lain. Gugon tuhon sendiri terbagi menjadi tiga yaitu,
gugon tuhon kang salugu, gugon tuhon kang isi wasita sinandi, dan gugon tuhon kang
kalebu pepali. Dalam cerkak tersebut masuk dalam gugon tuhon kang isi wasita sinandi
yang berarti gugon tuhon yang berarti nasehat dikatakan dengan tidak dikatakan hal
yang sebenarnya, namun memiliki tujuan tertentu dan memiliki alasan yang agak tidak
berterima dan tetap dipercaya (Padmosoekotjo, 1953:94). Dandang tersebut tidak
menanak nasi dengan benar dan bisa lancar ketika orang Tionghoa diharapkan untuk
keluar ruangan. Dengan alasan dahulu saat Geger Pecinan tentara Tiongkok menyerang
dan merusak peralatan kraton termasuk alat masak. Dalam hal ini nasi tersebut tak
matang karena api yang cepat mati, dan maksudnya karena terlalu ramai maka udara
dalam ruangan pengap maka api tak bisa menyala dengan lancar. Maka di saat beberapa
keturunan Tionghoa keluar api dapat menyala dengan lancar, karena jumlah orang yang
berada dalam ruangan berkurang.

3. Abdi Dalem
Abdi dalem ialah seseorang yang mau dan mampu menjadi bagian dari
kraton, yang mengurusi kraton dan mengembangkan budaya Kraton dan telah
menerima ketetapan atau kekancingan dari pihak Kraton (Sudaryanto, 2008).
Saka posisiku ngadeg iki bisa tak sawang para abdi dalem padha ibut
nindhakake ayahane dhewe-dhewe.
‘Dari posisiku berdiri saat ini dapat terlihat para abdi dalem mengerjakan
pekerjaannya masing masing.’

Para abdi dalem miwiti pakaryane. Ing ruwangan kono ana dandang telu,
sing paling gedhe mapan ana tengah. Yakuwi sing kawentar kanthi aran
Dandang Kyai Dhudha.

‘Para abdi dalem memulai pekerjaannya. Di ruangan itu ada tiga dandang
(priuk), yang paling besar berada di tengah. Itulah yang sering dikenal
dengan Dandang Kyai Dhudha.
Dalam cerkak tersebut abdi dalem tidak terlalu dijelaskan secara rinci,
namun dapat dilihat dari beberapa kalimat yang menjelaskan mereka yang
mengerjakan hampir semua pekerjaan kraton. Abdi dalem merupakan salah satu
tokoh yang menjunjung tinggi nilai kebudayaan Jawa. Mereka berperan besar
dalam semua seluk-beluk kraton. Abdi dalem adalah representasi manusia jawa
yang sesungguhnya, mereka sangat mengedepankan aspek rasa dalam setiap hal
yang mereka lakukan. Jati diri manusia Jawa terlihat dari tindakan dan sikap yang
ditunjukkan oleh para Abdi dalem.

4. Madhep Mantep dan Pasrah Sumarah


Dalam konsep kebudayaan jawa, ada istilah Madhep Mantep dari kata madhep
yang berarti menghadap dan Mantep yang berarti mantap atau teguh
(Poerwadarminta, 1939:285-291). Madhep mantep berarti mengahadapi satu tujuan
dengan mantap dan teguh. Masyarakat Jawa mengaplikasikan hal ini saat memiliki
tujuan yang harus ditindak secara mantap atau madhep mantep agar tujuan tersebut
tercapai bahkan terlampaui.
Aku sing ngrungokake critane Angel dadi trenyuh. Sanajan ngono bab sapa
Angel lan saka ngendi asal-usul, kuwi dudu masalah gedhe tumrapku. Sing
baku rasa tresnaku marang dheweke wis tumanjem ing telenging ati. Aku
janji marang atiku dhewe bakal ngancani dheweke selawase. Mbuh
mengone Gusti marengake aku jejodhowan klawan Angel, utawa mung dadi
kanca raket wae.
‘Aku yang mendengarkan cerita angel jadi terharu. Walaupun begitu tentang
siapa Angel dan dari mana asal usul nya, itu bukan masalah besar bagiku.
Yang baku rasa cintaku pada dirinya sudah tertanam dalam hati. Aku janji
pada diriku sendiri akan menemaninya selamanya. Tak tahu apakah Tuhan
(Gusti) memperbolehkan aku berjodoh dengan Angel, atau cuma jadi teman
saja.’

Tokoh Iwan yang digambarkan dengan aku menurut sudut pandang pertama,
menerapkan nilai kebudayaan jawa madhep mantep dengan tujuannya dalam
mendekati tokoh Angel. Dia madhep mantep dengan tujuannya dengan harapan
dapat tercapai. Namun, kemudian tokoh Mas Iwan memasrahkan semuanya pada
kehendak tuhan. Yang disebut pasrah sumarah.

Pasrah sumarah tidak hanya berarti pasrah dengan semua keadaan. Pasrah
sumarah berarti bebas memberikan tindakan sebagai wujud menyeimbangkan alam
semesta yang menjadi dasar semua tindakan bahwa semuanya sudah ditakdirkan
oleh Tuhan Yang Maha Esa (Dr. Paul Stange, 2009:330). Pasrah sumarah sendiri
dalam masyarakat jawa menjadi landasan sikap bahwa kita sebagai makhluk-Nya
yang telah diberikan sukma untuk bernafas di dunia ini, dan pasrah dengan
takdirnya. Hal itu menjadikan masyarakat jawa untuk madhep manteping tekad dan
hasilnya pasrah sumarah mring gusti. Berusaha dan niat secara mantap dengan apa
yang dituju dan hasilnya tergantung Tuhan, jika ia merestui. Pada cerkak tokoh Mas
Iwan niat secara mantap terhadap tujuannya agar dapat berjodoh dengan tokoh
Angel, dan tentang hasil dari tujuan tersebut, ia pasrahkan hasilnya pada Tuhan.

Keyakinan manusia jawa terhadap Yang Maha Esa sangatlah dalam


(Koentjaraningrat, 1984:322). Nilai-nilai orang jawa memang tak terlalu jauh dari
aspek religi dan lingkungan sosialnya. Karena orang jawa selalu mengutamakan
aspek rasa dan ngrumangsani yang berlanjut pada nilai yang tertanam dalam
masyarakat jawa dan menjadi pesan moral dalam menghadapi kehidupan.

3. KESIMPULAN
Nilai kebudayaan Jawa sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat
Jawa. Dalam cerkak ini membawa pesan-pesan yang dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari orang jawa. Mulai dengan nilai kebudayaan jawa yang
bersifat religi, yaitu ngeningke cipta. Madhep mantep dan pasrah sumarah ketika
menghadapi keadaan. Mengedepankan aspek rasa dan mengambil contoh
kehidupan seorang abdi dalem yang nriman dan berperan besar dalam kehidupan
Kraton. Mengambil pesan moral dan nilai kebudayaan jawa dalam konsep gugon
tuhon dengan penafsiran yang tepat. Masyarakat Jawa ialah salah satu contoh
masyarakat dengan kebudayaan yang sangat kental, mereka menerapkan istilah-
istilah dan penanaman nilai dalam menghadapi masalah dalam kehidupan.
Kebudayaan masyarakat Jawa sangatlah adiluhung, dengan pesan moral yang
tertanam dalam nilai-nilai sosial budaya Jawa. Dalam penerapannya di kehidupan
masa kini, nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan. Menghadapi kehidupan modern ini
dengan perkembangan globalisasi dan masyarakat jawa yang mulai kehilangan jati
diri mereka, nilai-nilai ini akan menjadi suatu pegangan. Sikap-sikap ngeningke
cipta saat buntu dalam menghadapi sesuatu. Ngeningke cipta tidak hanya dalam
konsep religi, sesuai pembahasan di atas ngeningke cipta berarti menjernihkan
pikiran dan memikirkan sesuatu sebelum menjalankannya. Dan mengambil pesan-
pesan moral madhep mantep, pasrah sumarah dalam meraih sesuatu. Selalu
mengedepankan aspek rasa dalam kehidupannya akan membuat masyarakat Jawa
akan tetap Jawa dan akan tetap terkenal dengan gugon tuhonnya walaupun jaman
berganti sampai kapanpun.
4. DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Jawa Jilid I. Yogyakarta:
Penerbit & Toko Buku Hien Hoo Sing.
Poerwadarminta, W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters’
Uitgevers Maatschappij.
Stange, Dr. Paul. 2009. Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah.
Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang.
Sudaryanto, A. 2008. Hak dan Kewajiban Abdi Dalem Pemerintahan Kraton
Yogyakarta. Mimbar Hukum, Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai