Anda di halaman 1dari 4

Galang Adhi P / 1906367806

I. Proses Penciptaan Karya Budaya


Kebudayaan adalah kumpulan dari ide dan tindakan manusia dalam menghadapi
kehidupan, dengan menghasilkan suatu karya yang dijadikan pembelajaran
(Koentjaraningrat 2009:144). Dalam penciptaan kebudayaan berdasarkan proses
belajar manusia saat berhadapan dengan masalah kehidupan yang rumit, dan
menghasilkan sesuatu untuk menghadapi masalah tersebut. Dalam penghadapan
masalah tersebut manusia menghasilkan ide dan gagasan yang merujuk pada sebuah
hasil karya atau representasi kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, kebudayaan
digunakan sebagai pegangan dan ilmu pengetahuan. Manusia menggunakan hal itu
sebagai pembelajaran dalam mengamati alam. Kemudian timbullah pengetahuan baru
dari hasil pembelajaran kebudayaan. Pada kebudayaan jawa, pembelajaran dari
mengamati alam menghasilkan hasil kebudayaan yang adiluhung. Masyarakat jawa
mengamati bagaimana perputaran matahari dan bulan, mengamati waktu siang dan
malam. Sehingga menghasilkan sebuah penanggalan jawa. Masyarakat jawa yang
sudah dikenal sebagai penghasil karya sastra kemudian mengembangkan hasi
penanggalan tersebut dalam suatu bentuk karya sastra. Sengkalan merupakan sebuah
karya adiluhung masyarakat Jawa. Sengkalan adalah kata-kata, gambar, atau bentuk
material lain yang mewakili suatu angka untuk mengingat waktu, khususnya
mengartikan tahun (Padmosoekotjo 1953:99).
Sengkalan diceritakan mulai dikenal pada jaman Ajisaka dalam Serat Witoradyo
karangan Raden Ngabehi Ronggawarsita. Sengkalan tersebut ialah nir wuk tanpa jalu
yang menunjukkan angka 0001 yang kemudian dibaca dari belakang dan berbunyi
tahun 1000 Saka. Pujangga Jawa pada tahun dahulu kala dikenal sebagai sosok yang
pintar,cerdas dan cakap dalam menggubah naskah dalam bentuk
lontar,kakawin,kidung atau menggubah kata-kata dalam suatu bentuk peninggalan
prasasti. Dalam karya sastra Jawa, tidak memakai bahasa sehari-hari, namun bahasa
indah atau basa endah/basa rinengga dalam bahasa Jawa. Pada jaman dahulu,
peninggalan kerajaan yang ditulis para pujangga Jawa menceritkan kedigdayaan
rajanya. Dan dalam penyebutan tahun kurang indah apabila hanya ditulis dalam
bentuk angka. Kemudian cerdasnya pujangga Jawa, mereka memberi makna pada
setiap angka dari angka 0 sampai dengan 9.
II. Data Kebudayaan
Sengkalan merupakan suatu bentuk sumber pengetahuan. Sengkalan sebagai
representasi kebudayaan Jawa yang digunakan dalam mengingat angka tahun.
Sengkalan ialah wujud kecerdasan pemikiran masyarakat jawa. Karena tahun yang
hanya berbentuk angka dapat dijadikan sebuah kalimat indah yang memiliki makna.
Selain kalimat, manusia jawa juga merepresentasikannya dalam bentuk gambar atau
material lain untuk memaknai tahun. Sengkalan dalam bentuk tulis atau lisan disebut
sengkalan lamba, sedangkan yang berbentuk gambar atau material lain disebut
sengkalan memet (Padmosoekotjo 1953:99). Hal ini merupakan bentuk kecerdasan
tingkat tinggi yang hanya ditemui di Jawa. Dalam memilih kata untuk mewakili suatu
angka dari 0-9 manusia jawa juga tidak sembarangan, mereka benar-benar memilih
makna yang pas seperti Gusti yang hanya satu tidak ada duannya sebagai lambang
angka satu, kemudian hal-hal yang berpasangan mewakili angka dua, dan masih
banyak lagi. Para pujangga jawa pada saat itu menggunakan sengkalan sebagai
bentuk penanda tahun dengan kalimat yang mewakili tahun tersebut, contoh Satriya
Nitih Turangga Awani , yang mewakili angka 1,7,7,1 yaitu tahun 1771 Masehi.
Tahun ini adalah tahun saat Kerajaan Blambangan diserang pasukan VOC yang
sering disebut sebagai pertempuran Puputan Bayu. Tahun 1771 kemudian dijadikan
identitas oleh masyarakat Blambangan sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Arti dari
sengkalan tersebut juga berarti ksatria menunggang kuda yang gagah berani, yang
berarti para pahlawan Blambangan saat bertempur melawan VOC menunggangi kuda
dengan gagah berani. Kemudian di banyuwangi sendiri tahun 1771 juga tidak hanya
diwakili dengan kata Satriya Nitih Turangga Awani namun juga pada patung ikonik
Banyuwangi yang berbentuk seperti naga dan berkepala wayang Antasena. Sengkalan
memang bukan hanya merujuk pada pengganti angka tahun, namun juga mewakili
makna dari tahun tersebut. Sebagai pewaris kebudayaan Jawa, manusia jawa modern
harus dapat memaknai sengkalan bukan hanya sebagai pengganti angka tahun.
Sengkalan juga dapat digunakan untuk memberi nama anak dengan menggubah tahun
kelahirannya dengan kata-kata yang merujuk pada harapan tingkah laku atau masa
depannya kelak. Atau juga dapat digunakan dalam memaknai setiap pergantian tahun
dengan menggubah sengkalan dengan makna yang mewakili tahun tersebut.
Kemudian membuat slogan, logo, atau identitas lain dengan menggunakan sengkalan
lamba maupun memet, hal ini dapat menjadikan sengkalan tetap lestari sampai
kapanpun, dan pengolahannya juga dapat membantu para pewaris kebudayaan pada
masa kini.
III. Religi, Relasi antara Manusia dan Alam Semesta
Sengkalan mewakili penanggalan dalam kehidupan manusia jawa. Manusia jawa
sendiri mengenal adanya dua penanggalan dari hasil pengamatan alam semesta,
terutama perputaran bumi dan bulan. Dan terbentuklah dua penanggalan yaitu Surya
Sengkala dan Candra Sengkala. Dalam prosesnya pembelajaran manusia terhadap
alam semesta mengandung unsur religi yang sangat dalam. Manusia menyadari
bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan tubuh manusia sebagai jagad cilik dan
alam semesta ini sebagai jagad gedhe. Dan keduanya harus berjalan sesuai dan
berkesinambungan. Hal ini yang kemudian membentuk aspek religi manusia jawa
dalam bentuk rasa dan menghasilkan penerapan memayu hayuning bawana sebagai
bentuk keseimbangan jagad gedhe dan jagad cilik. Matahari dan Bulan berperan
besar dalam kehidupan masyarakat Jawa. Matahari yang bersinar membantu petani
dalam menjemur padi, membantu nelayan memanen garam, dan Bulan yang
membantu kehidupan nelayan pada malam hari. Manusia jawa menganggap matahari
dan bulan sebagai ciptaan Tuhan yang agung, itulah mengapa dalam hal religi orang
jawa Matahari dan Bulan direpresentasikan sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha
Esa yaitu Bathara Surya dan Bathara Candra. Dari hal itu muncullah sifat-sifat yang
mewakili Bathara Surya dan Bathara Candra sebagai hasil pengamatan manusia
jawa terhadap pergerakan matahari dan bulan, yang kemudian dua sifat tersebut
masuk dalam delapan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin yang dikenal
sebagai Asta Brata.
IV. Pola Pemikiran Jawa
Sengkalan tidak dibuat dengan asal-asalan, namun dengan dasar pengetahuan.
Sengkalan dihasilkan dari gagasan untuk mengingat suatu waktu tertentu dengan
memaknai apa yang terjadi pada jangka waktu yang diingat tersebut. Sengkalan
dibuat tidak hanya untuk menggubah angka tahun menjadi bahasa yang indah dalam
suatu karya sastra, namun juga memiliki makna. Makna yang tersirat maupun tersurat
dalam suatu sengkalan digunakan untuk mengingat apa yang terjadi dalam waktu
tersebut, dan digunakan sebagai pembelajaran untuk tahun yang akan datang.
Manusia jawa memang sangatlah cerdas, berawal dari ilmu titen yang menandai dan
mengamati semua yang terjadi pada kehidupannya dan digunakannya dalam
menghadapi kehidupan generasi selanjutnya. Merepresentasikan kalimat pada
sengkalan dalam sebuah patung, gambar atau material lain juga merupakan sebuah
kecerdasan dan bentuk hasil kebudayaan adiluhung yang dimiliki oleh masyarakat
Jawa. Mereka memaknai dari suatu waktu, menjadikannya bekal pengetahuan dalam
proses yang berkelanjutan, dan mengingat waktu tersebut dalam bentuk patung atau
gambar yang memiliki makna tersirat. Sengkalan diciptakan memang tinemu ing
nalar dilihat dari alasan untuk mengingat waktu dan dijadikan bekal pengetahuan.
Masyarakat jawa memang sangatlah hebat, mampu mengothak-athik suatu angka
biasa menjadi kalimat yang gathuk dan memiliki makna yang dalam. Pemikiran orang
jawa dalam mengamati, menandai, mengothak-athik, dan digathukke harus tetap
dipegang para pewaris kebudayaan jawa. Semua kebudayaan jawa sebenarnya dapat
dimaknai secara logis, tetapi karena para pewarisnya yang kurang mempelajarinya
membuat beberapa hasil kebudayaan jawa menjadi tidak logis. Sengkalan merupakan
salah satu bentuk hasil kebudayaan jawa dalam bentuk karya sastra adiluhung yang
tak tertandingi hingga saat ini.
V. Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Penerbit &
Toko Buku Hien Hoo Sing.

Anda mungkin juga menyukai