Kebudayaan adalah kumpulan dari ide dan tindakan manusia dalam menghadapi kehidupan, dengan menghasilkan suatu karya yang dijadikan pembelajaran (Koentjaraningrat 2009:144). Dalam penciptaan kebudayaan berdasarkan proses belajar manusia saat berhadapan dengan masalah kehidupan yang rumit, dan menghasilkan sesuatu untuk menghadapi masalah tersebut. Dalam penghadapan masalah tersebut manusia menghasilkan ide dan gagasan yang merujuk pada sebuah hasil karya atau representasi kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, kebudayaan digunakan sebagai pegangan dan ilmu pengetahuan. Manusia menggunakan hal itu sebagai pembelajaran dalam mengamati alam. Kemudian timbullah pengetahuan baru dari hasil pembelajaran kebudayaan. Pada kebudayaan jawa, pembelajaran dari mengamati alam menghasilkan hasil kebudayaan yang adiluhung. Masyarakat jawa mengamati bagaimana perputaran matahari dan bulan, mengamati waktu siang dan malam. Sehingga menghasilkan sebuah penanggalan jawa. Masyarakat jawa yang sudah dikenal sebagai penghasil karya sastra kemudian mengembangkan hasi penanggalan tersebut dalam suatu bentuk karya sastra. Sengkalan merupakan sebuah karya adiluhung masyarakat Jawa. Sengkalan adalah kata-kata, gambar, atau bentuk material lain yang mewakili suatu angka untuk mengingat waktu, khususnya mengartikan tahun (Padmosoekotjo 1953:99). Sengkalan diceritakan mulai dikenal pada jaman Ajisaka dalam Serat Witoradyo karangan Raden Ngabehi Ronggawarsita. Sengkalan tersebut ialah nir wuk tanpa jalu yang menunjukkan angka 0001 yang kemudian dibaca dari belakang dan berbunyi tahun 1000 Saka. Pujangga Jawa pada tahun dahulu kala dikenal sebagai sosok yang pintar,cerdas dan cakap dalam menggubah naskah dalam bentuk lontar,kakawin,kidung atau menggubah kata-kata dalam suatu bentuk peninggalan prasasti. Dalam karya sastra Jawa, tidak memakai bahasa sehari-hari, namun bahasa indah atau basa endah/basa rinengga dalam bahasa Jawa. Pada jaman dahulu, peninggalan kerajaan yang ditulis para pujangga Jawa menceritkan kedigdayaan rajanya. Dan dalam penyebutan tahun kurang indah apabila hanya ditulis dalam bentuk angka. Kemudian cerdasnya pujangga Jawa, mereka memberi makna pada setiap angka dari angka 0 sampai dengan 9. II. Data Kebudayaan Sengkalan merupakan suatu bentuk sumber pengetahuan. Sengkalan sebagai representasi kebudayaan Jawa yang digunakan dalam mengingat angka tahun. Sengkalan ialah wujud kecerdasan pemikiran masyarakat jawa. Karena tahun yang hanya berbentuk angka dapat dijadikan sebuah kalimat indah yang memiliki makna. Selain kalimat, manusia jawa juga merepresentasikannya dalam bentuk gambar atau material lain untuk memaknai tahun. Sengkalan dalam bentuk tulis atau lisan disebut sengkalan lamba, sedangkan yang berbentuk gambar atau material lain disebut sengkalan memet (Padmosoekotjo 1953:99). Hal ini merupakan bentuk kecerdasan tingkat tinggi yang hanya ditemui di Jawa. Dalam memilih kata untuk mewakili suatu angka dari 0-9 manusia jawa juga tidak sembarangan, mereka benar-benar memilih makna yang pas seperti Gusti yang hanya satu tidak ada duannya sebagai lambang angka satu, kemudian hal-hal yang berpasangan mewakili angka dua, dan masih banyak lagi. Para pujangga jawa pada saat itu menggunakan sengkalan sebagai bentuk penanda tahun dengan kalimat yang mewakili tahun tersebut, contoh Satriya Nitih Turangga Awani , yang mewakili angka 1,7,7,1 yaitu tahun 1771 Masehi. Tahun ini adalah tahun saat Kerajaan Blambangan diserang pasukan VOC yang sering disebut sebagai pertempuran Puputan Bayu. Tahun 1771 kemudian dijadikan identitas oleh masyarakat Blambangan sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Arti dari sengkalan tersebut juga berarti ksatria menunggang kuda yang gagah berani, yang berarti para pahlawan Blambangan saat bertempur melawan VOC menunggangi kuda dengan gagah berani. Kemudian di banyuwangi sendiri tahun 1771 juga tidak hanya diwakili dengan kata Satriya Nitih Turangga Awani namun juga pada patung ikonik Banyuwangi yang berbentuk seperti naga dan berkepala wayang Antasena. Sengkalan memang bukan hanya merujuk pada pengganti angka tahun, namun juga mewakili makna dari tahun tersebut. Sebagai pewaris kebudayaan Jawa, manusia jawa modern harus dapat memaknai sengkalan bukan hanya sebagai pengganti angka tahun. Sengkalan juga dapat digunakan untuk memberi nama anak dengan menggubah tahun kelahirannya dengan kata-kata yang merujuk pada harapan tingkah laku atau masa depannya kelak. Atau juga dapat digunakan dalam memaknai setiap pergantian tahun dengan menggubah sengkalan dengan makna yang mewakili tahun tersebut. Kemudian membuat slogan, logo, atau identitas lain dengan menggunakan sengkalan lamba maupun memet, hal ini dapat menjadikan sengkalan tetap lestari sampai kapanpun, dan pengolahannya juga dapat membantu para pewaris kebudayaan pada masa kini. III. Religi, Relasi antara Manusia dan Alam Semesta Sengkalan mewakili penanggalan dalam kehidupan manusia jawa. Manusia jawa sendiri mengenal adanya dua penanggalan dari hasil pengamatan alam semesta, terutama perputaran bumi dan bulan. Dan terbentuklah dua penanggalan yaitu Surya Sengkala dan Candra Sengkala. Dalam prosesnya pembelajaran manusia terhadap alam semesta mengandung unsur religi yang sangat dalam. Manusia menyadari bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan tubuh manusia sebagai jagad cilik dan alam semesta ini sebagai jagad gedhe. Dan keduanya harus berjalan sesuai dan berkesinambungan. Hal ini yang kemudian membentuk aspek religi manusia jawa dalam bentuk rasa dan menghasilkan penerapan memayu hayuning bawana sebagai bentuk keseimbangan jagad gedhe dan jagad cilik. Matahari dan Bulan berperan besar dalam kehidupan masyarakat Jawa. Matahari yang bersinar membantu petani dalam menjemur padi, membantu nelayan memanen garam, dan Bulan yang membantu kehidupan nelayan pada malam hari. Manusia jawa menganggap matahari dan bulan sebagai ciptaan Tuhan yang agung, itulah mengapa dalam hal religi orang jawa Matahari dan Bulan direpresentasikan sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yaitu Bathara Surya dan Bathara Candra. Dari hal itu muncullah sifat-sifat yang mewakili Bathara Surya dan Bathara Candra sebagai hasil pengamatan manusia jawa terhadap pergerakan matahari dan bulan, yang kemudian dua sifat tersebut masuk dalam delapan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin yang dikenal sebagai Asta Brata. IV. Pola Pemikiran Jawa Sengkalan tidak dibuat dengan asal-asalan, namun dengan dasar pengetahuan. Sengkalan dihasilkan dari gagasan untuk mengingat suatu waktu tertentu dengan memaknai apa yang terjadi pada jangka waktu yang diingat tersebut. Sengkalan dibuat tidak hanya untuk menggubah angka tahun menjadi bahasa yang indah dalam suatu karya sastra, namun juga memiliki makna. Makna yang tersirat maupun tersurat dalam suatu sengkalan digunakan untuk mengingat apa yang terjadi dalam waktu tersebut, dan digunakan sebagai pembelajaran untuk tahun yang akan datang. Manusia jawa memang sangatlah cerdas, berawal dari ilmu titen yang menandai dan mengamati semua yang terjadi pada kehidupannya dan digunakannya dalam menghadapi kehidupan generasi selanjutnya. Merepresentasikan kalimat pada sengkalan dalam sebuah patung, gambar atau material lain juga merupakan sebuah kecerdasan dan bentuk hasil kebudayaan adiluhung yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Mereka memaknai dari suatu waktu, menjadikannya bekal pengetahuan dalam proses yang berkelanjutan, dan mengingat waktu tersebut dalam bentuk patung atau gambar yang memiliki makna tersirat. Sengkalan diciptakan memang tinemu ing nalar dilihat dari alasan untuk mengingat waktu dan dijadikan bekal pengetahuan. Masyarakat jawa memang sangatlah hebat, mampu mengothak-athik suatu angka biasa menjadi kalimat yang gathuk dan memiliki makna yang dalam. Pemikiran orang jawa dalam mengamati, menandai, mengothak-athik, dan digathukke harus tetap dipegang para pewaris kebudayaan jawa. Semua kebudayaan jawa sebenarnya dapat dimaknai secara logis, tetapi karena para pewarisnya yang kurang mempelajarinya membuat beberapa hasil kebudayaan jawa menjadi tidak logis. Sengkalan merupakan salah satu bentuk hasil kebudayaan jawa dalam bentuk karya sastra adiluhung yang tak tertandingi hingga saat ini. V. Daftar Pustaka Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Penerbit & Toko Buku Hien Hoo Sing.