Anda di halaman 1dari 9

SENGKALAN, MAKNA PENANDA DALAM BENTUK

KALIMAT ATAU GAMBAR INDAH SEBAGAI BAHASA


KOMUNIKASI SENI
Febrian Wisnu Adi *)

ABSTRACT

sengkalan is expression presentation of from public expression jawa, sengkalan lamba has
three element that is between sentence or word, figure, and year. sengkalan casquette is a
marker visualizinged in the form of picture, patrimony, statue, ornament, train representing
from an expression forwarding of certain intention. presentation of sengkalan in wording based
on meaning and karakteristikyang refers to the sun, month, nature and form to lay open
contents of intention consisting in in sentence. expansion from word has presentation of word a
fuguryang relates to applies synonymy term, sound spelling, the and action, intention of similar
meaning, and equation of certain things, and so. charge filled from sengkalan to show image of
situation of time and certain place, and express case of event of at one time and certain place
also.

Keywords: candrasengkala, suryasengkala, picture, ornament, figure

ABSTRAK

sengkalan merupakan ekspresi wujud dari ungkapan masyarakat jawa, sengkalan lamba
memiliki tiga unsur yaitu diantara kalimat atau kata, figur, dan tahun. sengkalan memet adalah
suatu penanda yang divisualisasikan dalam bentuk gambar, pusaka, patung, perhiasan, kereta
yang mewakili dari suatu ekspresi penyampaian maksud tertentu. penyajian sengkalan dalam
susunan kata berdasarkan arti dan karakteristikyang mengacu pada matahari, bulan, sifat dan
wujud untuk mengungkapkan isi maksud yang terkandung di dalam kalimat. pengembangan
dari kata mempunyai penyajian kata suatu fuguryang berkaitan dengan menggunakan istilah
kesinoniman, ejaan bunyi, hal dan tindakan, maksud arti yang serupa, serta persamaan hal-hal
yang tertentu, dan seterusnya. muatan isi dari sengkalan menunjukkan gambaran situasi
waktu dan tempat tertentu, serta menyatakan kejadian peristiwa pada suatu waktu dan
tempat yang tertentu juga.

Kata Kunci: candrasengkala, suryasengkala, gambar, perhiasan, figur

* Febrian Wisnu Adi (sepskd@yahoo.com), Tenaga Pengajar Jurusan Kriya Fakultas Seni Rupa Institut Seni
Indonesia Yogyakarta.

139
140 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 2 No.2, Nopember-April 2014

PENDAHULUAN perpaduan antara tahun Hijriah dengan


Orang Jawa banyak yang suka tahun Saka. Sedangkan sengkalan yang
membuat sengkalan, kalimat dan kata- angka tahunnya berdasarkan peredaran
katanya berwatak bilangan, sehingga bumi mengitari matahari (Solar Calendar)
tersusun angka tahun seperti yang disebut Surya Sengkala, misalnya tahun
dituliskan pada pintu gerbang halaman Masehi. Surya berarti matahari. (Waluyo
rumah atau kuburan. Demikian pula buku- Wijayanto, 2007:30)
buku bacaan Jawa hampir semua Candrasengkala merupakan
mencantumkan saat penulisanya dengan catatan untuk memperingati atau
sengkalan mengingat sesuatu bisa perhitungan-perhitungan tahun dengan
dilakukan dengan berbagai cara. Apalagi kalimat atau susunan kata-kata, bukan
yang berkaitan dengan angka-angka dengan angka. Keperluan yang diperingati
petunjuk waktu, meletusnya gunung dengan susunan kalimat, supaya mudah
berapi, bertahtanya dan wafatnya seorang dalam mengingat-ingatnya dan tak dapat
raja, berdirinya atau runtuhnya suatu berubah sebab kalau berubah sedikit saja,
keraton, dan segala hal yang dianggap makna juga sudah beda dan terasa janggal.
penting lainya. Menggunakan nama-nama Belum ada catatan resmi yang
binatang, tumbuhan ataupun alam menyebutkan sejak kapan sengkalan ini
semesta, merupakan simbol-simbol yang mulai dipergunakan, namun dari beberapa
digunakan untuk menggantikan bilangan kitab lama seperti Pararaton, Nagara
waktu. Kertagama, atau Babad Tanah Jawi,
Orang Jawa jaman dahulu, terbiasa candrasengkala telah digunakan. Pastinya
menggunakan cara ini sebagai penanda sengkalan lazim digunakan para pujangga
tahun suatu peristiwa. Suatu susunan dan bangsawan keraton untuk menandai
rangkaian kalimat indah yang terdiri dari suatu peristiwa tertentu. Dalam sejumlah
empat kata, membentuk sebuah makna catatan seperti Pararaton, yang ditulis pada
tertentu, begitulah yang disebut sebagai jaman Prabu Hayam Wuruk yang
sengkalan. Sebagian besar sengkalan memerintah kerajaan Majapahit pada
merupakan sengkalan Candrasengkala. tahun 1350 hingga 1389 Masehi, agaknya
Candra berarti bulan, maksudnya sengkalan sudah digunakan. Daerah
Sengkalan yang penulisan angka tahunnya Sadeng, yang diperkirakan sekarang Besuki,
berdasarkan peredaran bulan mengelilingi yang telah ditundukan Majapahit, pada
bumi (lunar calendar). Sengkalan tahun 1253 tahun saka atau 1331 Masehi
Candrasengkala digunakan setelah masa yang tercermin dalam candrasengkala:
Islam dengan memakai tahun Jawa. Tahun Kaya Bhuta Non Danging, Kaya (3); Bhuta
Jawa ditetapkan oleh Sultan Agung (5); Non (2); Danging (1) yang berarti
Hanyakrakusuma sejak 1 Suro 1555 Jawa, seperti raksasa melihat daging.
bertepatan 1 Muharam 1043 Hijriah, atau 1 Sengkalan menyimpan makna angka
Srawana 1555 Saka, atau 8 Juli 1633 yang harus diterjemahkan terbalik. Kata
Masehi. Tahun Jawa merupakan pertama dan kedua dalam kalimat
Febrian Wisnu Adi, Sengkalan, Makna Penanda Dalam Bentuk Kalimat Atau Gambar Indah .... [ 141

sengkalan, merupakan angka satuan dan Hal yang sangat menarik, orang-
puluhan dari tahun terjadinya peristiwa. orang Jawa masa lalu memakai obyek-
Sedangkan kata ketiga dan paling akhir dari obyek alam yang bersifat kekal dalam
kalimat sengkalan, justru menandai abad wujud atau sifatnya. Sengkalan Angka Nol
ketika peristiwa itu terjadi. Sirna Ilang (0). Angka nol dalam sengkalan
Kertaning Bumi “hilang lenyap disimbolkan dengan kata-kata yang berarti
ketentraman dunia” adalah angka tahun hilang atau segala sesuatu yang tidak ada.
1400 Saka, atau Tahun 1478 Masehi, yang Pada sengkalan hanya ada satu kata yang
merupakan sengkalan keruntuhan kerajaan bernilai nol atau kosong, yaitu kata umbul
Majapahit. (R. Bratakesawa, 1980:21) (melesat ke atas) karena segala sesuatu
Suatu peristiwa terjadi memang yang telah hilang bernilai nol. Misalnya
mudah diingat: kapan terjadinya hanya sengkalan tentang pelaksanaan sekaten
dengan mengucap kalimat yang indah yang tahun 1990, “umbuling puspa gapuranin
terdiri dari 4 kata. Padahal makna dari praja”.
sengkalan terkadang juga diberi muatan Sengkalan Angka Satu (1). Angka
falsafah tinggi dan sangat rumit dalam satu di dalam sengkalan disimbolkan
pengartianya, atau pesan-pesan moral dengan kata-kata yang bermakna satu,
yang sengaja dimuatkan dan disimpan kata-kata yang bermakna jumlahnya hanya
dalam rangkaian kata tersebut. Semisal, satu, benda yang bentuknya bulat, kata-
Luhuring Sembah Trusing Allah “ Luhur (0); kata yang berarti manusia, kata-kata yang
Sembah (2); Trus (9); Allah (1). Berarti berarti hidup dan nyata. Kata-kata pada
angka tahun 1920. Meskipun sengkalan ini sengkalan yang bernilai satu adalah jalma,
menandai yang paling utama adalah yang jalmi, janma, kenya, putra, aji, ratu, raja,
tertuju kepada Tuhan yang Maha Esa. nata, narpati, narendra, pangeran, gusti,
Namun mengapa sengkalan harus Allah, hyang, maha, bathara, bumi, jagat,
dibaca dengan teknik terbalik? Ada budi, buda, budaya, ron, lata, wani,
sejumlah pihak yang menafsirkan, semedi, luwih, nabi, lajer, wiji, witana,
bahwasannya suatu peristiwa, namun praja, bangsa, swarga, puji, piji, harja dan
kalimat sengkalan sendiri berarti sembah peksi. Kata peksi bernilai satu, namun
orang Jawa pada dasarnya tidak sebenarnya bernilai dua, karena peksi
suka berterus-terang. Semua maksud harus berasal dari kata peksi (sansekerta) yang
disampaikan secara halus dan penuh berarti burung atau binatang yang
dengan filosofi, bahkan kalau perlu hanya bersayap.
tersirat saja. Namun ada pihak lain yang Sengkalan Angka Dua (2). Angka
menilai, paham bacaan sengkalan dari dua di dalam sengkalan disimbolkan
kanan kekiri, bisa jadi karena pengaruh dengan kata-kata yang mempunyai makna
agama islam, dimana kalimat-kalimat berjumlah dua, atau berpasangan dan
dalam Kitab Suci dibaca dari kanan ke kiri bentuk-bentuk turunannya, serta kata-kata
seperti halnya dalam bahasa Arab. (Waluyo yang bermanka gandheng. Kata-kata pada
Wijayanto, 2007:31) sengkalan yang bernilai dua, biasanya
142 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 2 No.2, Nopember-April 2014

digunakan kata asta, dwi, kembar, ngelmi, Sengkalan Angka Tujuh (7). Angka
aksa, samya, embah dan supit. tujuh dalam sengkalan disimbolkan dengan
Sengkalan Angka Tiga (3). Angka kata-kata yang mempunyai arti golongan
tiga dalam sengkalan disimbolkan dengan pertapa atau pendeta, gunung, suara, serta
kata-kata yang mempunyai makna binatang yang biasa dipergunakan untuk
berjumlah tiga, dan bentuk-bentuk kendaraan. Kata-kata pada sengkalan yang
turunannya. Kata-kata pada sengkalan bernilai tujuh ialah kata pandhita, resi,
yang bernilai tiga, biasanya digunakan kata swara, sabda, muji (pujian, restu, ajar) dan
guna, katon, saut, sunar, trima, trisula, giri, gunung).
ujwala, dan wredu. Sengkalan Angka Delapan (8).
Sengkalan Angka Empat (4). Angka Angka delapan dalam sengkalan
empat dalam sengkalan disimbolkan disimbolkan dengan kata-kata yang berarti
dengan kata-kata yang berarti air dan kata- gajah, binatang melata, dan brahmana.
kata yang berarti kerja, serta segala Kata-kata pada sengkalan yang bernilai
sesuatu yang berjumlah empat. Kata-kata delapan adalah kata ngesti (memikirkan),
pada sengkalan yang bernilai empat ialah madya (tengah), basuki, naga, brahmana,
kata papat, catur, keblat (arah mata angin), manggala, murti, salira, sarining, dan kata-
warna (kasta dalam agama Hindu), toya kata turunandarikata-katatersebut.
(air), suci dan pakarti. Sengkalan Angka Sembilan (9).
Sengkalan Angka Lima (5). Angka Angka sembilan dalam sengkalan
lima dalam sengkalan disimbolkan dengan disimbolkan dengan kata-kata yang
kata-kata yang mempunyai makna mempunyai arti dewa, bunga dan benda-
berjumlah lima, golongan raksasa, segala benda yang berlubang atau terbuka. Kata-
macam senjata, kata-kata yang berarti kata pada sengkalan yang biasanya
angin, tajam, ilham atau bisikan, digunakan untuk menyatakan angka
perangkap, serta kata-kata yang sembilan ialah : kata, trus, trustaning,
mempergunakan kata panca. Kata-kata wiwara, anggatra, gapura, ambuka,
pada sengkalan yang bernilai lima ialah makaring, umanjing, sekaring, puspa,
driya (indra), wisaya (cerapan indra), cakra, kusuma, kembang, dan ngarumake
warayang,t inulup, ati, linungit, yaksa, (mengharumkan).
mangkara, marganing, pasarean, tinata, Menurut bentuknya Sengkalan
gati dan pirantining. sendiri dibedakan menjadi beberapa
Sengkalan Angka Enam (6). Angka sengkalan antara lain:
enam dalam sengkalan disimbolkan 1. Sengkalan Lamba. Sengkalan yang
dengan kata-kata yang berarti rasa, hewan menggunakan rangkaian kata.
berkaki enam, dan segala sesuatu yang 2. Sengkalan Memet. Sengkalan yang
bergerak. Kata-kata pada sengkalan yang berwujud rupa.
bernilai enam ialah kat gana, hangga- 3. Sengkalan Sastra. Sengkalan yang
hangga, (laba-laba), rasa, sinesep, nikmat, menggunakan huruf Jawa dan
kayu, winayang (digerakkan), rebah sandangannya biasa digunakan pada
(runtuh) dan wisik (pesan). ukir-ukiran, hiasan keris, dan lain
Febrian Wisnu Adi, Sengkalan, Makna Penanda Dalam Bentuk Kalimat Atau Gambar Indah .... [ 143

sebagainya. bahasa jawa: Dwi Nogo Roso Tunggal (Dua


(www.bravo172.blogspot.com ) Naga Menyatu Rasa) yang melambangkan
Sengkalan yang tidak berupa angka tahun 1682 Jawa (Dwi menunjukang
kalimat tetapi berwujud rupa atau gambar angka 2, Naga menunjukan angka 8, Rasa
obyek-obyek tertentu dalam bentuk menunjukan angka 6, Tunggal menunjukan
gambar, lukisan arca, wayang, gambar angka 1. Atau dalam hitungan kalender
hewan, dan gambar tumbuh-tumbuhan Masehi, adalah tahun 1760. Tahun ini
yang melambangkan angka-angka tahun adalah tahun mulai dibangunya Keraton
yang dimaksud dan sangat rumit untuk Yogyakarta. Pendapat lain mengatakan
mengartikannya, sengkalan semacam ini bahwa sengkalan memet tersebut
disebut sengkalan memet. Memet artinya berbunyi: Dwi Nogo Roso Tunggal (Dua
rumit. Memang cukup rumit untuk Negara Yang bersatu). Kedua tafsir kalimat
menafsirkan angka dari sebuah rupa atau sengkalan tersebut sebenarnya memiliki
gambar. Sebagai contoh: seperti sengkalan maksud yang hampir sama. Yakni
memet yang berada di Kerataon Surakarta semboyan tentang adanya dua negara
pada Pangung Sangga Buana (Pentas (dilambangkan oleh wujud naga) yang
Penyangga Dunia) dengan susunan kata- menyatu sikap (berkolaborasi) menentang
kata yang bunyinya: Naga Muluk Tinitian kolonialis Belanda pada jaman itu. Akan
Janma (Naga Terbang Dikendarai Orang) tetapi sikap perlawanan ini tidak
naga menunjukan angka 8; muluk (terbang) ditunjukan secara terbuka, tetapi
menunjukan angka 0; tinitian (dikendarai) merupakan politik dibelakang layar. Hal ini
menunjukan angka 7; janma (orang) dilambangkan pada bagian belakang naga
menunjukan angka 1. Cara dalam (ekor) yang saling berlilitan, sedang kepala
membaca sengkalan dengan metode naga masing-masing menghadap keluar
dibalik, angka yang paling belakang dibalik (kiri dan kanan) sebagai lambang sikap
menjadi didepan jadi dibaca tahun 1708. politik diplomasi ramah-tamah terhadap
Tetapi pernyataan kata-katanya tidak penjajah Belanda.
menggunakan tulisan berupa kalimat tetapi Dengan demikian, sengkalan
bentuk karya senirupa bisa berupa lukisan, memet lebih sukar diartikan atau
arca, wayang, gambar dua dimensi, menafsirkanya kata atau gambar manakah
maupun monumental. yang harus dibaca dahulu. Pembaca hanya
Contoh lain adalah di bangsal dengan perkiraan saja, secara untung-
Kemagangan Keraton Kasultanan untungan, didukung dengan keterangan
Ngayogyakarta Hadiningrat (Kerajaan dan petunjuk. Sebab tidak diketahui siapa
Yogyakarta) terdapat sengkalan memet pembuatnya dan pada jaman apa atau
berupa gambar dua naga yang menjulur tahun berapa peristiwa itu terjadi. Oleh
yang menjulur horizontal, bertolak karena itu angka-angka di belakang
belakang, masing-masing menghadap (satuan, puluhan) disebutkan lebih dulu
kekiri dan kekanan. Sedangkan ekor kedua sebagai kata-kata diawal kalimat
naga saling berlilitan menjadi satu sengkalan, supaya angka detail yang
ditengah. Bila ditafsirkan dalam kalimat mudah dilupakan orang ini dapat teringat
144 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 2 No.2, Nopember-April 2014

lebih dahulu. Adapun angka-angka ratusan digunakan pada sengkalan dengan


maupun ribuanya rasanya masih lebih memakai dasar sekeadaan atau dalam
mudah diingat atau diperkirakan, maka satu keadaan yang sama.
ditaruh diakhir kalimat. Orang-orang yang 8. Gurujarwa. Cara menentukan
pandai menafsirkan sengkalan adalah para perubahan atau penurunan kata yang
budayawan dan pujangga masa lalu. Para digunakan pada sengkalan dengan
sejarawan juga banyak mempelajarinya memakai dasar searti atau arti yang
karena sangat berguna dalam bidang sama. ( Rachmat Djoko Pradopo, 1982)
keilmuanya. Dengan kata lain sengkalan Perlambangan sengkalan dapat
merupakan salah satu piranti untuk dianalisis menggunakan tiga hubungan
menelusuri sejarah. (R. Bratakesawa, penalaran simbolisme dengan jenis
1980:107) penandanya sesuai dengan teori semiotika
Beberapa pedoman tata cara Peirce. Ketiga hubungan penalaran
dalam penyusunan sengkalan antara lain: tersebut adalah qualisign, sinsign, dan
1. Gurudasanama. Ketentuan dalam legisign. Qualisign merupakan tanda-tanda
penggunaan kata-kata pada sengkalan yang dapat dibaca berdasarkan sifat benda
dengan cara menggunakan sinonim tersebut. Sifat-sifat tersebut antara lain
atau dasar padanan kata. bentuk dan warna. Agar benar-benar
2. Gurusastra. Cara menentukan berfungsi sebagai tanda, maka qualisign
perubahan atau penurunan kata yang harus memiliki bentuk. Sinsign merupakan
digunakan pada sengkalan dengan tanda yang didasarkan atas tampilannya
memakai homograf atau dasar dalam kenyataan. Semua pernyataan
penulisan yang sama. individual yang tidak dilembagakan dapat
3. Guruwanda. Cara menentukan disebut sebagai sinsign. Legisign
perubahan atau penurunan kata yang merupakan tanda yang dilembagakan atas
digunakan pada sengkalan dengan dasar suatu peraturan. Sesungguhnya
memakai dasar sesuku kata. legisign sebuah impilaksi dari sinsign.
4. Guruwarga. Cara menentukan Tanda yang awalnya bersifat konvensional,
perubahan atau penurunan kata yang karena sudah terbiasa digunakan dan
digunakan pada sengkalan dengan dikenal akhirnya dilembagakan melalui
memakai dasar sekaum. suatu peraturan. Perlambangan angka
5. Gurukarya. Cara menentukan tahun dalam sengkalan menggunakan
perubahan atau penurunan kata yang aspek simbolisme dalam penanggalan Jawa
digunakan dengan memakai dasar yang telah dilembagakan secara
sekerja. konvensional dan diterima masyarakat
6. Gurusarana. Cara menentukan pendukungnya.
perubahan atau penurunan kata yang Pada aspek etstetisnya, sengkalan
digunakan pada sengkalan dengan memiliki sifat indah dan sublime yang
memakai dasar sealat. sangat subyektif. Edmund Burke menulis
7. Gurudarwa. Cara menentukan buku yang berjudul ”A Philosophical
perubahan atau penurunan kata yang Enquiry Into The Origin Ideas of The
Febrian Wisnu Adi, Sengkalan, Makna Penanda Dalam Bentuk Kalimat Atau Gambar Indah .... [ 145

Sublime and Beautiful” (1767) tentang rasa lepas) dalam suasana horor
keindahan. Burke menunjukan 2 respon (ketakutan).
estetik atas seni : b. Pengalaman Sublim terjadi ketika
A. Pengalaman akan yang indah seluruh pikiran kita dipenuhi oleh
(Pleasure) obyek yang kita hadapi. Astonishment
B. Pengalaman akan yang sublim (Delight) adalah efek dari sublim yang
Keindahan menurut Edmund Burke. mempunyai efek admiration, reverence
Hakekat keindahan. Keindahan dan respect.
yang dibedakan dari sublim, yang c. Sublim dimasukkan dalam bahaya
dimaksudkan kualitas dalam tubuh yang (danger), juga dimasukkan dalam ide
bisa menimbulkan rasa cinta atau yang kekuatan (power), strength, violence,
menyerupainya (Simpati). Love dibedakan pain dan teror adalah beberapa ide
dengan Desire yang mendorong orang yang digunakan dalam pikiran.
menjadi Possession. Istilah lain sublim menurut Burke adalah
Sumber keindahan Delightful Horor.
1. Proporsi : diragukan karena bukan
hanya kuantitas, belum tentu sebagai
syarat bentuk keindahan.
2. Kegunaan : sesuatu harus mempunyai
nilai guna.
3. Kesempurnaan : perfection yang
menyebabkan keindahan.
4. “Kecil”. Beautiful object are small.
Gambar 1. Gambar sengkalan memet di Bangsal
Dalam beberapa bahasa, object cinta Kemagangan Keraton Kesultanan Ngayoyakarta
diungkapkan dalam “diminutive Hadiningrat. Bila ditafsirkan dalam kalimat berbunyi
epithets” : besar dikecilkan. Misalnya Dwi Naga Rasa Tunggal (Dua Naga Menyatu Rasa),
Hussein menjadi Hasan. mengambarkan dua naga yang menjulur horizontal,
bertolak belakang, masing-masing menghadap kekiri
5. Halus : Smoothness, karya seni yang
dan kekanan. Sedang ekornya saling berlilitan
tidak halus berarti tidak indah. ditengah, yang melambangkan angka tahun 1682
6. Imut-imut (delicacy) : gampang rusak, Jawa (Dwi menunjukan angka 2; Naga menunukan
gampang pecah, tidak kokoh. angka 8; Rasa menunjukan angka 6; Tunggal
menunjukan angka 1). Atau dalam hitungan Masehi,
Sublim muncul untuk menjelaskan
adalah tahun 1760. Tahun ini adalah prasasti atau
“pengalaman” keindahan yang ternyata di penanda dimulainya pembangunan Keraton
dalamnya tidak hanya pleasure, tetapi juga Yogyakarta.
emosi, stress, bahkan rasa tidak enak. (Foto: Febrian , 2012)
Sublim menurut Burke mempunyai
beberapa pengertian :
a. Passion yang disebabkan oleh atau
dapat menimbulkan “astonishment”
(gerakan batin yang tidak bisa los atau
146 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 2 No.2, Nopember-April 2014

(tetenger) prasati penanda sejarah perkawinanya


antara dua kerajaan Surakarta dan Yogyakarta yaitu
Sri Susuhunan Paku Buwana X dengan Gusti Kanjeng
Ratu Hemas Putri Sri Sultan Hamengku Buwana VII.
(Foto: Febrian , 2012)

Gambar 2. Gambar sengkalan memet di Taman Sari


Keraton Kesultanan Ngayoyakarta Hadiningrat. Bila
ditafsirkan dalam kalimat berbunyi Catur Nogo Roso
Tunggal (Sepasang Naga Berbicara Menyatukan Rasa). Gambar 4. Gambar sengkalan memet di Panggung
yang melambangkan angka tahun 1684 Jawa (catur Sangga Buwana Keraton Kasunanan Surakarta. Bila
(berbicara) menunjukan angka 4; Naga menunjukan angka ditafsirkan dalam kalimat berbunyi Naga Muluk
8; rasa menunjukan angka 6; Tunggal menunjukan angka 1). Tinitian Janma (ular naga sedang terbang dikendarai
Atau dalam hitungan Masehi, adalah tahun 1762. Tahun ini orang). Mengambarkan ular naga yang sedang
adalah (tetenger ) atau prasati penanda sejarah mulainya terbang, dikendarai manusia yang membawa panah.
pembangunan Pesanggrahan Taman Sari yang dibangun
yang melambangkan angka tahun 1708 Jawa (Naga
setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan
menunjukan angka 8; Muluk (terbang) menunjukan
Hamengku Buwana sekian lama terlibat dalam
persengketaan dan peperangan. Bangunan tersebut angka 0; Titihan (tunggangan) menunjukan angka 7;
dimaksudkan sebagai bangunan yang dapat dipergunakan Janma (manusia ) menunjukan angka 1). Tahun ini
untuk meneteramkan hati, istirahat, dan berekreasi. adalah (tetenger) prasati penanda sejarah
(Foto: Febrian , 2012) pembuatan Panggung Sangga Buana.
(Foto: Febrian , 2012)

KEPUSTAKAAN
Bratakesawa, R. ‘Ketranagan
Candrasengkala’ Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek
PenerbitanBuku Sastra, 1980.

Gambar 3. Gambar sengkalan memet di Pajangan Feldman, Edmund Burke. Art As Image And
Bale Rata Keraton Kasunanan Surakarta. Bila
Idea. Englewood Cliffs,New
ditafsirkan dalam kalimat berbunyi: Siung Buta Naga
Raja (Dua Naga Raja yang ditengahnya ada Raksasa). Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1967.
Mengambarkan dua naga yang menjulur horizontal,
bertolak belakang, masing-masing menghadap kekiri Haryono, Timbul. Seni Pertunjukan dan
dan kekanan. Sedang ditengah ada gambar raksasa. Seni Rupa dalam Perspektif
yang melambangkan angka tahun 1855 Jawa (Siung Arkeologi Seni. Solo: ISI Press Solo
(taring) menunjukan angka 5; Buta (raksasa)
2008.
menunjukan angka 5; Naga menunjukan angka 8;
Raja menunjukan angka 1). Atau dalam hitungan
Masehi, adalah tahun 1933. Tahun ini adalah Hauser, Arnold. The Sociology Of Art, Terj.
Kenneth J. Chicago dan London:
Febrian Wisnu Adi, Sengkalan, Makna Penanda Dalam Bentuk Kalimat Atau Gambar Indah .... [ 147

The University of Chicago Press, Intrrnet


1974.
www.bravo172.blogspot.com
Majalah Keris,edisi 4, 2007, Waluyo
Wjayanto: Sengkalan.

Margono, S. Kraton Surakarta dan


Yogyakarta 1769-1874.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.

Moedjanto, G. Konsep Kekuasaan Jawa:


Penerapannya Oleh Raja-Raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius,
1987.

Pradopo, Djoko Rachmat, Widya Parwa.


Kritik Sastra, Guna, dan
Faedahnya, Yogyakarta: Balai
Penelitian Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
1982.

Sedyawati, Edi. Budaya Indonesia: Kajian


Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007.

Soekiman, Djoko. Kebudayaan Indis Dan


Gaya Hidup Masyarakat
Pendukungnya Di Jawa (ABAD
XVIII-MEDIO ABAD XX),
Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2000.

Sunardi, St. “Sosiologi Genetik Politik-


Budaya Piere Bourdieu”.

Anda mungkin juga menyukai