Anda di halaman 1dari 6

Budaya Seni Jawa Pertengahan

Kesusastraan Kidung
Kidung dan Prosa Kawi

PENGERTIAN

Kidung adalah hasil karya sastra jaman Jawa Pertengahan (Majapahit akhir) yang
diperkirakan muncul pada abad 15 (1400 Ișaka, 1478 masehi), menggunakan bahasa Jawa
Tengahan, bentuknya tembang, baik nama maupun metrum yang dianut seperti halnya
Tembang Macapat.

Kidung sangatlah berbeda dengan Kakawin (karya sastra Jawa Kuna), Kakawin merupakan
karya sastra Jawa Kuna yang mendapat pengaruh dari India, sedangkan Kidung asli Jawa,
dia tidak mengenal istilah Guru dan Lagu (suara panjang dan pendek). Walaupun seperti
Macapat, tetapi metrum Kidung belum seketat Macapat.

Perbedaan antara metrum kakawin dan metrum kidung pada pokoknya merupakan
perbedaan dalam persajakan, umumnya diterima bahwa metrum kidung tidak berasal dari
India, melainkan dari Jawa. Metrum kidung disebut metrum tengahan dan prinsip dasarnya
sama dengan metrum dalam puisi Jawa Modern yang dinamakan macapat. Adapun ciri-ciri
umumnya sebagai berikut :

1. Jumlah baris dalam setiap bait tetap sama selama belum ganti metrumnya. Keanekaan
terjadi karena metrum tertentu yang dipakai. Semua metrum tengahan mempunyai lebih dari
empat baris, berbeda dengan kakawin.

2. Jumlah suku kata dalam setiap baris tetap, tetapi panjang baris itu dapat berubah
menurut kedudukannya dalam bait. Dipandang dari sudut ini, maka setiap metrum tertentu
memperlihatkan polanya sendiri.

3. Sifat sebuah vokal dalam suku kata yang menutup setiap baris juga ditentukan oleh
metrum. Dengan demikian persajakan kidung memperlihatkan semacam rima yang sama
tidak dikenal dalam metrum India. Contoh :

1. Kidung Sunda (Sinom)

Wekasan alon angucap

atuduh eng tandha mantri

mwang bala prasama kinon

angambil sawa ning mantri

sang paratra ajurit


kinon padha pinahayu

tan kawarnaa mangko

kuneng kawarnaa malih

sang natheng Su-

ndha mangko adandan bela

Terjemahan :

Akhirnya ia bersabda dengan tenang

memberikan perintah kepada para perwira

dan pasukan pada umumnya

agar mereka mengambil jenazah perdana menteri

yang gugur di medan pertempuran

serta mengadakan upacara penyucian seperti biasa

Ini akan kita lewati dengan berdiam diri

kini kita akan berbicara mengenai raja Sunda

yang mempersiapkan diri menghadap maut.

2. Kidung Sunda (Durma)

Atur sembah sang mantri sinamadaya

sahur peksy amisinggihi

dhuh dewa pangeran

mangke patik bathara

umiring paduka aji

tumpureng rana

matyeng dagan nrepati


Terjemahan :

Semua mantri menyatakan kesediaan mereka

dan secara serentak menyetujui

dhuh sang raja

semua hamba paduka

bersedia terjun ke medan pertempuran

dan gugur di hadapan kaki sang raja.

Catatan :

Sebuah perbedaan dengan metrum macapat yang sering dijumpai, di dalam pupuh kidung
sering tersusun perpaduan berbagai metrum, sehingga susunannya cukup rumit. Sebuah
pupuh dapat terdiri 2 bait dengan metrum A, disusul 2 bait metrum B, kemudian disusul 2
bait metrum C, dan ini berulang-ulang, baru akhir pupuh ditutup dengan metrum A.

NASKAH KIDUNG

Ketiga koleksi besar yakni Singaraja, Jakarta, dan Leiden yang juga mengkoleksi sastra
Kidung, tetapi hanya sedikit yang pernah diterbitkan. CC. Berg pernah menyunting Kidung
Harsawijaya (1932), Ranggalawe (1931), dan Kidung Sunda dalam dua versi yang berbeda
(1927 dan 1928). Tiga dari sepuluh pupuh Kidung Sorandaka pernah disunting dengan
disertai terjemahan oleh EJ van Berg (1938). Juga SO Robson telah mengerjakan
Wangbang Wideya, kidung Panji pertama yang pernah diterbitkan dan kidung pertama yang
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Edisi-edisi kritis disertai terjemahan
mengenai dua syair Jawa Pertengahan yang ditulis di Jawa Timur pernah diterbitkan
sebagai tesis doktor, yaitu Sudamala oleh P. van Stein Callenfels (1932), dan Sri Tanjung
oleh Priyono (1937).

Bila dibandingkan dengan sastra kakawin, maka kedudukan sastra kidung sungguh tidak
menguntungkan. Selain itu dapat dikatakan bahwa dipandang dari sudut mutu sastra dan
nilai puitis, sastra kidung kalah dengan sastra kakawin. Begitu pula di Bali yang secara aktif
mempelajari warisan kebudayaan Jawa, sastra kidung juga kurang mendapat perhatian.
Dilihat dari sudut sastra maka pada umumnya kidung-kidung pada umumnya
memperlihatkan kekurangan-kekurangan. Para pengarangnya condong mengulang-ulang
hal yang sama tanpa alasan, ungkapan-ungkapan yang sama lebih sering dihidangkan
kembali daripada di dalam kakawin. Deskripsi mengenai busana berbagai tokoh dibahas
sampai mendetail dan diulangi kembali menurut urutan yang sama bagi setiap tokoh,
perubahan dalam deskripsi itu hanya terjadi di sana-sini sejauh menyangkut warna dan pola
pakaian serta jenis manikam atau bunga yang dipakai bersama dengan perhiasan
tradisional. Uraian-uraian serupa ini mengisi banyak baris dan bahkan bait-bait, sehingga
banyak ruang terisi daripada yang biasanya disediakan dalam majalah-majalah wanita guna
membicarakan pakaian yang dikenakan berbagai tamu di acara resepsi. Deskripsi mengenai
watak tokoh-tokoh utama dalam cerita-cerita sering kali menjemukan dan tidak mendalam.
Dan dalam pelukisan keindahan alam jarang ditemukan, bukti bahwa penyair langsung
mengandalkan observasi pribadi seperti yang terdapat dalam kakawin-kakawin besar.

Tetapi bukan berarti bahwa kidung-kidung sama sekali tidak mengandung nilai sastra.
Sering juga penyair memperlihatkan kepandaiannya bila ia menceritakan sebuah kisah yang
hidup dan menarik atau melukiskan sebuah gambaran realitas mengenai latar cerita
tersebut. Kebanyakan cerita ditempatkan dalam atau di sekitar salah satu kraton di Jawa
dan rupanya kraton Bali lah yang menjadi contohnya. Di sini pengaruh Jawa masih terlihat
sangat kuat, Wangsa-wangsa yang memerintah dan sejumlah besar kaum bangsawan
adalah keturunan Jawa, entah seluruhnya entah sebagian saja.. Tradisi-tradisi dan adat
istiadat dalam banyak hal masih mirip dengan apa yang pernah terjadi di Pulau jawa pada
masa Hindu. Dengan demikian sastra Kidung dapat menyediakan bahan yang luas sekali
bagi seorang sarjana yang ingin meneliti sejarah kebudayaan Bali-Jawa, misalnya mengenai
upacara-upacara tertentu, juga dalam hal agama.

KIDUNG-KIDUNG HISTORIS

Kidung-kidung di bawah ini mempunyai ciri umum yang sama, yakni bahannya diambil dari
tradisi historis mengenai kerajaan Majapahit. Adapun lingkupnya ialah : peristiwa-peristiwa
yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Singhasari serta didirikannya kerajaan baru yang
untuk sebagian meneruskan kerajaan sebelumnya; pertikaian-pertikaian di dalam tubuh
kerajaan baru itu selama puluhan tahun pertama sejak berdirinya, adegan mengenai
rencana pernikahan antara raja Hayam Wuruk dengan puteri raja Sunda yang gagal.
Informasi ini bukan merupakan simpulan dari sebuah penelitian yang menyatakan bahwa
kisah-kisah-kisah ini berakar pada kenyataan sejarah. Demikian juga bukan suatu
pernyataan bahwa sejauh manakah pengarang merasa terikat oleh apa yang mereka
anggap kebenaran historis dan sejauh mana mereka merasa bebas untuk mengubah
kenyataan itu untuk kebutuhan literer. Walaupun demikian, sekecil apapun sastra Kidung
juga merupakan sumber informasi penelitian sejarah kebudayaan suatu bangsa.
Kidung-kidung historis yang dimaksud, di antaranya adalah :

1. Kidung Harsawijaya 4. Kidung Sunda

2. Kidung Ranggalawe 5. Cerita-cerita Panji

3. Kidung Sorandaka 6. Kidung Waseng (Sari)

BAHASA KIDUNG

Ciri-ciri umum bahasa kidung, bila dibandingkan dengan bahasa kakawin :

1. Partikel tentu : ng dan ang tidak kita jumpai secara terpisah; ikang (ng dihubungkan
dengan pronomina demonstratif ika ) biasanya diganti dengan kang. Selain itu kita jumpai
juga sebagai partikel tentu : punang (misalnya punang nagari). Kata pun sendiri sering
dipakai sebagai penunjuk orang.

2. Kata ganti orang : di samping aku, isun, dan ingsun juga biasa dipakai sebagai kata ganti
orang pertama. Nghulun yang x dalam bahasa Jawa Kuna demikian sering dipakai, dalam
bahasa kidung tidak kita jumpai. Bagi orang kedua dipakai ko (dengan nada agak menghina)
dan kita (-ta, -nta), tetapi juga sira (-ira, -nira). Ini selaras dengan bahasa Jawa Modern,
tetapi perlu dicatat, bahwa sira juga dipakai sebagai kata ganti orang ketiga sesuai dengan
bahasa Jawa Kuna. Dengan demikian kita harus memperhatikan konteks, supaya dapat
membedakan antara kata ganti orang ketiga selain ya (-nya), kita jumpai juga -ipun seperti
dalam Jawa Modern.

3. Pronomina demonstratif : dari kata-kata JK iki, ike, iku, iko, dan ika, hanya iki
(menunjukkan sesuatu yang dekat) dan iku (menunjukkan sesuatu yang jauh) yang dipakai
dalam bahasa kidung, sama seperti dalam bahasa JM. Ika masih dipakai dalam –nika,
sebagai pembatas kata benda. Perubahan dalam tempat juga pantas dicatat. Dalam JK
pronomina demonstratif mendahului kata benda yang dibatasi oleh partikel definitif atau oleh
sebuah keterangan pemeri (JK ikang musuh, iku ujarta), sehingga boleh dikatakan, bahwa
pronomina dipakai secara substantif, kata benda yang ditunjuk menyusul sebagai tambahan,
dalam bahasa kidung pemakaiannya secara ajektif, sesuai dengan kebiasaan dalam bahasa
JM, pronomina menyusul kata benda (ujar ingsun iki, sa-ujar ira iku). Di samping iki dan iku
terdapat juga puniki, puniku, punika. Selain mangkana (biasa dalam JK), kita berjumpa
dengan perubahan bunyi, mengkene dan mengkono).

4. Pembentukan kata dengan afiks : nasalisasi bentuk-bentuk verbal umumnya


menunjukkan suatu penyimpangan dari apa yang menjadi kebiasaan bahasa JK dan mirip
dengan bahasa JM. j menjadi anj (anjanma, bukan angjanma), d biasanya menjadi and-
(andudut bukan angdudut, andon bukan angdon) biarpun kadang-kadang dijumpai susunan
seperti dalam JK (angdadi disamping andadi); b- menjadi amb– (ambabad, bukan amabad;
ambatang bukan amatang). Hanya bentuk-bentuk dengan awalan s- mengikuti kebiasaan
JK, s dinasalisasi menjadi n, bukan ny seperti dalam JM (anurat, bukan anyurat).
Penghapusan awalan a- dalam bentuk-bentuk yang dinasalisasi bukan sesuatu yang luar
biasa (nuksma), sedangkan dalam kakawin-kakawin bentuk ini jarang dijumpai (mungkin
karena kepentingan metrum).

5. Afiks (infiks atau prefiks) -um- dalam JK disusun untuk menyatakan bentuk aktif baik bagi
bentuk-bentuk verbal intransitif maupun verbal transitif, bentuk yang kedua jarang dijumpai
dalam bahasa kidung (gumawayaken, sumirnaken); dalam JM bentuk tersebut dengan
-aken dan -i sama sekali tidak kelihatan. Untuk pembentukan bentuk pasif, kita menjumpai
infiks -in- yang biasa saja dalam JK tetapi jarang dan agak arkhais dalam JM; sebagai
prefiks, di depan katadasar-katadasar yang berinisial vokal, baik in- (seperti dalam JK)
maupun ing- (seperti dalam JM) sama terdapat.

6. Kata ganti perilaku ditunjukkan dalam konstruksi pasif. dalam JK dipakai sebuah sufiks
pronominal (inalapku, inalapta), dalam JM sebuah prefiks pronominal (takjupuk, kokjupuk ).
Mengenai bentuk pertama ini tidak dijumpai satu contoh pun dalam bahasa kidung. Bentuk
kedua biasanya dipakai bagi pelaku pertama, bersama dengan sun dan ngong (sun kon
lunga, ngong tunoni ). Unsur-unsur den dan depun yang diprefekskan dan dalam
pembentukan bentuk pasif menjalankan fungsi yang mirip, seperti pada umumnya dijumpai
dalam puisi JM dan prosa yang lebih kuno, juga ditemukan dalam bahasa kidung, biarpun
tidak sangat sering. Terdapat banyak contoh yang memperlihatkan, bagaimana
partikel-partikel ini dipakai untuk mengungkapkan imperatif modal.

7. Bentuk a – an : Disamping bentuk-bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk yang dipakai


dalam JK (aluwaran, abyuran) bahasa kidung memperlihatkan kecenderungan bagi bentuk
reduplikatif (akakangsen, asasraman) dengan sering menghilangkan prefiks a- (susudukan,
sasraman) ; bentuk terakhir umum dipakai dalam JM.

Pembentukan kata benda dengan kombinasi afiks ka – an; Dalam JK, pembentukan kata
benda dengan kombinasi afiks ka – an mempunyai berbagai fungsi; hanya pembentukan
kata benda verbal pasif tidak dikenal baik dalam bahasa kidung maupun dalam bahasa JM.

8. Negasi : partikel negatif yang biasa dipakai ialah tan, sama seperti dalam JK. Selaras pula
dengan JK, ungkapan nora biasanya berarti ‘tidak ada’, ‘tidak terdapat’ ; untuk
mengungkapkan yang terakhir bentuk norana (nora ana) tidak asing, sedangkan
kadang-kadang nora dipakai dalam arti ‘bukan’ seperti ora dalam JM. Suatu peralihan
serupa dapat diamati dalam kakawin-kakawin di kemudian hari ; di sana kata taya tidak
hanya dipakai dalam arti ‘tidak ada’, melainkan juga dengan arti ‘tidak’. Di lain pihak kata
mboten dalam bahasa kidung dipakai berdampingan dengan tan mboten, dan hanya dalam
arti yang asli yaitu ‘tidak ada’, sedangkan dalam JM kata boten berarti ‘tidak’. Sebagai kata
larangan dipakai aywa atau ayo, sesuai dengan JK haywa, biarpun bentuk JM aja dan
sampun juga sering dipakai.

9. Partikel penegas : Keanekaan partikel-partikel penegas yang dalam JK, khususnya dalam
prosa JK, memainkan peranan yang penting, sangat dikurangi dalam bahasa kidung. Hanya
ta, si, po (JK pwa), kapo (JK Kapwa), rakwa, reko, reke sering dipakai juga : sebaliknya
beberapa partikel yang dalam JK tidak dikenal, muncul disini (ari, rika, ena).

Dalam pemakaian ‘kata-kata gramatikal’ lainnya, khususnya konjungsi, bahasa kidung


memperlihatkan dengan jelas penyimpangan dari JK. Cukuplah menunjukkan, bagaimana
kata-kata JK yatanyan, narapwan, maran, marapwan, matang yan tidak terdapat dalam
bahasa kidung maupun dalam JM.

sumber: Kalangwan karya P.J. Zoetmulder

Kategori: Beller Letters


File : Dharma Aryana

Anda mungkin juga menyukai