Anda di halaman 1dari 40

Etika Nurkarim. 2019. Paleografi. Dalam (http://jheelicious.blogspot.com/2012/02/paleografi.

html)
diakses pada tanggal 19 Oktober 2019

[1] Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas (www.wikipedia.org)

[2] Ilmu-ilmu bantu sejarah dalam http://id.shvoong.com/humanities/history/2135529-ilmu-ilmu-


bantu-sejarah/ diakses 27 September 2011 jam 07.45wib

[3] Nabilah Lubis Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia,
2001) h.34

Sebagaimana kita ketahui objek dari penelitian filologi ialah naskah yang berisikan teks-teks kuno
yang merupakan karya dari pemikiran-pemikiran masyarakat zaman dahulu. Untuk mengetahui
pemikiran-pemikiran itu kita harus menguasai ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan teks tersebut.
Penguasan bahasa teks tida terlepas dari pemahaman terhadap masyarakat penghasil karya
tersebut. Dengan demikian, teks tersebut harus dilihat dari konteks masyarakat dan bangsa yang
bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa dalam kajian filologi kita
membutuhkan beberapa ilmu sebagai penunjang dan penguat dari penelitian filologi teresebut.
Seorang ahli filolog harus menguasai kebudayaan, bahasa, dan pengetahguan dari masyarakat yang
menghasilkan karya tersebut. Salah satu ilmu bantu dalam filologi adalah paleografi yang
memfokuskan kajiannyamembahas tentang macam-macam tulisan kuno. Mengingat teks dalam
filologi adalah teks kuno, maka dari itu paleografi merupakan alat bantu yang sangat penting. Untuk
itu perlu kajian tersendiri untuk membahasnya.

A. Definisi Paleografi

Secara etimologis, Paleografi berasal dari bahasa YunaniPalaios (kuno), grafien (tulisan) adalah ilmu
yang meneliti perkembangan bentuk tulisan atau tulisan kuno.[1] Secara terminologis Paleografi
adalah kajian-kajian tentang tulisan-tulisan kuno, termasuk ilmu membaca, menentukan waktu
(tanggal) dan menganalisis tulisan-tulisan kuno yang ditulis diatas papirus, tablet-tablet tanah liat,
tembikar, kayu perkamen (vellum), kertas, daun lontar. Menurut Wilem Van der molen: ilmu yang
mempelajari bentuk tulisan[2], sedangkan menurut Nabilah Lubis, Paleografi menurut adalah ilmu
yang membicarakan berbagai tulisan kuno di atas batu, logam atau bahan lainnya.[3]

Tugas pokok paleografi adalah meneliti sejarah tulisan untuk dapat melukiskan dan menerangkan
perubahan-perubahan bentuk tulisan dari masa ke masa. Peran lain dari paleografi adalah sebagai
ilmu bantu untuk beberapa ilmu lain seperti: epigrafi,sejarah,filologi,dll.[4]

B. Tujuan dan Manfaat Ilmu Paleografi

1. Menjabarkan, menerjemahkan dan mengalihbahasakan tulisan-tulisan kuno karena beberapa


tulisan kuna sangat sulit dibaca.

2. Menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisanya dan
atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tertentu. Hal itu penting untuk
mempelajari tulisan tangan karya sastra yang biasanya tidak menyebutkan kapan dan dimana suatu
karya sastra ditulis, serta siapa pengarangnya (perlu juga diperhatikan ciri-ciri lain seperti panjang
dan jarak baris, bahan naskah, ukuran, tinta, dll.[5]

3. Menjabarkan tulisan kuno karena beberapa tulisan kuno sangat sulit dibaca

4. Menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam kerangka perkembangan umum tulisannya


dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tangan karya sastra yang
biasanya tidak menyebutkan kapan dan dimana suatu karya tertulis, serta siapa pengaranya.
Paleografi juga memperhatikan ciri-ciri lain naskah, seperti interfungsi, panjang dan jarak baris-baris,
bahan naskah, ukuran , tinta dan sebagainya.[6]

Manfaat mempelajari paleografi adalah untuk membaca teks-teks kuno, memberi tanggal dokumen
yang tidak bertanggal, menjelaskan terjadinya penyimpangan tertentu dalam proses penyalinan
naskah atau teks.

C. Sejarah Tulisan

Sejauh diketahui sejarah tulisan pertama ditemukan sekitar tahun 3000 SM, ditemukan di timur
tengah tepatnya di Mesopotamia Mesir. Teks tertulis yang lebih muda ditemukan di India 2200 SM,
di Cina lebih kuda lagi yaitu 1300SM. Sedangkan, aksara tertua berasal dari kurang lebih abad ke 13
sebelum masehi dari Punisia yang berbentuk huruf paku. Huruf ini mungkin adalah prototipe
dari aksara yunani kuno yang digunakan sejak tahun 4000SM. Huruf Punisia ini juga dianggap
sekelompok dengan aksara Semit yang berasal dari abad ke 12 SM. Dari kelompok huruf tersebut
kemudian muncul huruf Yunani kuno, Syria, Arab, dan Ethiopia.[8]

D. Peranan Tulisan

1. Menandai babak peradaban baru yang disebut era tradisi tulis atau tanda sebuah zaman yang
lazim disebut masa sejarah manusia.

2. Dipakai dalam kehidupan sehai-hari dan dalam bidang ilmu pengetahuan.

3. Sebagai tanda atau garis yang digunakan untuk deskriptik sistematik bahasa lisan.

4. Sebagai simbol untuk mengemukakan makna, ide, logika.

5. Sebagai lambang bahasa lisan yang diwujudkan dalam bentuk visual dengan wujud tertentu yang
dapat dirangkaikan menurut sistem tertentu sehingga menjadi tulisan yang bermakna.

6. Sebagai alat komunikasi dan ekspresi ide dan perasaan antara manusia yang
sepaham dan memiliki bahasa yang sama.

7. Sarana untuk menyimpan informasi.[9]

E. Klasifikasi Aksara

Secara garis besar, aksara dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori:

1. Huruf Pictograf yang berbentuk gambar huruf hieroglif Mesir dan huruf cina kuno.
2. Huruf Ideograf yang melambangkan objek, tapi kemudian tidak hanya objek-objek kongkrit.
Misalnya huruf Cina.

3. Huruf Silabik melambangkan suku kata, misalnya Pallawa, Dewanagari, Jawa, Arab, dan huruf
Jepang.

4. Huruf Fonetik yang masing-masing melambangkan fonem. Misalnya : huruf latin, yunani, rusia,
gotik.[10]

F. Fase Tulisan

1. Fase Pictoidiography : berupa gagasan dalam gambar, contoh:tulisan Aztec

2. Fase wordsilabis: berupa kata dalam gambar , contoh: tulisan Mesir (hieroglif)

3. Fase Pseudoalfabetis : setiap tanda mengandung bunyi vokal,contoh tulisan Cina, Jepang

4. Fase konsonan : 1 tanda mengandung 1 konsonan, contoh: tulisan semit (arab)

5. Fase Alfabetis : 1 tanda berarti satu bunyi tulisan, contoh: latin, jawa, dll.

Geilb dalam Wilhem Vander Molen (1985:3) hanya mengklasifikasikan fase tulisan ke dalam 3
perubahan mendasar, yakni:

1. Tulisan logosilabik : tulisan yang menggunakan tanda untuk mewakili kata dan suku kata .misalnya
: tulisan Mesir kuna hieroglif.

2. Tulisan silabik : merupakan penyederhanaan dari tulisan logosilabik, bukan kata lengkap tapi
hanya suku kata saja yang mewakilinya .Misalnya tulisan Ibrani (Hebrew)

3. Tulisan alfabetik : menghadirkan atau mengandung fonim dari barat tulisan Yunani yang untuk
pertama kali secara sistematis melengkapi tanda suku katanya dengan tanda vokal. Tulisan jawa
sama dengan nenek moyangnya di India.[11]
Hendy Yuniarto. 2009. Paleografi. Dalam
(http://hendyyuniarto.blogspot.com/2009/02/paleografi.html) diakses pada tanggal 19 Oktober
2019

Paleografi berasal dari kata Yunani

Palaios(kuna)
grafien(tulisan)

Definisi Paleografi

1. Wilem Van der molen: ilmu yang mempelajari bentuk tulisan


2. Robson, SO: Studi macam-macam tulisan kuna
3. Kamus: Ilmu tulisan kuna

Tugas pokok paleografi adalah meneliti sejarah tulisan untuk dapat melukiskan dan menerangkan
perubahan-perubahan bentuk tulisan dari masa ke masa. Peran lain dari paleografi adalah sebagai
ilmu bantu untuk beberapa ilmu lain seperti: epigrafi,sejarah,filologi,dll.
Fungsinya adalah untuk membaca teks-teks kuna, memberi tanggal dokumen yang tidak bertanggal,
menjelaskan terjadinya penyimpangan tertentu dalam prosess penyalinan naskah atau teks.

Tujuan paleografi ada 2 (Niermeyer, 1974:47):

1. Menjabarkan tulisan-tulisan kuna karena beberapa tulisan kuna sangat sulit dibaca.
2. Menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisanya dan
atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tertentu.Hal itu penting untuk
mempelajari tulisan tangan karya sastra yang biasanya tidak menyebutkan bilamana dan dimana
suatu karya sastra ditulis, serta siapa pengarangnya (perlu juga diperhatikan ciri-ciri lain seperti
panjang dan jarak baris, bahan naskah, ukuran, tinta, dll.

Sejarah Tulisan, definisi tulisan atau aksara

1. Tanda gambar atau garis yang digunakan untuk deskriptik sistematik bahasa lisan
2. Simbol untuk mengemukakan makna, ide, logika
3. Lambang bahasa lisan yang diwujudkan dalam bentuk visual dengan wujud tertentu yang dapat
dirangkaikan menurut sistem tertentu sehingga menjadi tulisan yang bermakna.
4. Alat komunikasi dan ekspresi ide dan perasaan antara manusia yang sepaham/ memiliki bahasa
yang sama.
5. Sarana untuk menyimpan informasi
6. Sistem tanda
Peranan Tulisan

1. Menandai babak peradaban baru yang disebut era tradisi tulis atau tanda sebuah zaman yang
lazim disebut masa sejarah manusia (penting sekali dalam sejarah manusia)
2. Dipakai dalam kehidupan sehai-hari dan dalam bidang ilmu pengetahuan

Sejarah Tulisan

Sejauh diketahui sejarah tulisan sekitar tahun 3000 SM (karangan yang masih ada berasal dari zaman
itu) ditemukan di timur tengah tepatnya di Mesopotamia Mesir. Teks tertulis yang lebih muda (tapi
masih cukup tua) ditemukan di India 2200 SM, Cina (lebih muda) 1300SM. Endang Sri Hardiati
(2002:1) : bahwa aksara tertua berasal dari kurang lebih abad ke 13 sebelum masehi dari Punisia
yang berbentuk huruf paku. Huruf ini mungkin prototipe aksara yunani kuno yang digunakan sejak
tahun 4000SM. Huruf Punisia ini juga dianggap sekelompok dengan aksara Semit yang berasal dari
abad ke 12 SM. Dari kelompok huruf tersebut kemudian muncul huruf Yunani kuno, Syria, Arab, dan
Ethiopia.

Secara garis besar aksara dapat dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok

1. Huruf Pictograf yang berbentuk gambar huruf hieroglif Mesir dan huruf cina kuno.
2. Huruf Ideograf yang melambangkan objek, tapi kemudian tidak hanya objek-objek kongkrit.
Misalnya huruf Cina.
3. Huruf Silabik melambangkan suku kata, misalnya Pallawa, Dewanagari, Jawa, Arab, dan huruf
Jepang.
4. Huruf Fonetik yang masing-masing melambangkan fonem. Misalnya : huruf latin, yunani, rusia,
gotik.

Fase Tulisan

1. Fase Pictoidiography : gagasan dalam gambar, tulisan aztec


2. Fase wordsilabis: kata dalam gambar , tulisan Mesir (hieroglif)
3. Fase Pseudoalfabetis : setiap tanda mengandung bunyi vokal, tulisan Cina, Jepang
4. Fase konsonan : 1 tanda mengandung 1 konsonan, tulisan semit (arab)
5. Fase Alfabetis : 1 tanda berarti satu bunyi tulisan, latin, jawa, dll.

Geilb dalam Wilhem Vander Molen (1985:3) hanya mengklasifikasikan dalam 3 perubahan
mendasar: yaitu dari tulisan logosilabik melalui tulisan silabik sampai pada tulisan alfabetik

1. Tulisan logosilabik : tulisan yang menggunakan tanda untuk mewakili kata dan suku kata .misalnya
: tulisan Mesir kuna hieroglif.
2. Tulisan silabik : merupakan penyederhanaan dari tulisan logosilabik, bukan kata lengkap tapi
hanya suku kata saja yang mewakilinya .Misalnya tulisan Ibrani (Hebrew)
3. Tulisan alfabetik : menghadirkan atau mengandung fonim dari barat tulisan Yunani yang untuk
pertama kali secara sistematis melengkapi tanda suku katanya dengan tanda vokal. Tulisan jawa
sama dengan nenek moyangnya di India masuk kategori alfabetik.
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kata paleografi berasal dari dua suku kata, yakni “paleo” berarti kuno dan “grafi” yang artinya
gambaran. Jadi paleografi ialah ilmu tentang tulisan kuno. Dengan menggunkan ilmu bantu ini
sejarawan bisa membaca tulisan kuno tanpa kesalahan. Aspek yang penting diperhatikan dalam
kaitan ini, ialah usia dan tempat asla tulisan kuno itu.

Tujuan yang hendak dicapai paleograf (ahli paleografi) dari pekerjaannya iyalah
untukmemecahkan rahasia tulisan kuno. Tabir sejarah mesir diketahui setelah rahasia yang terdapat
dalam tulisan kuno (yang ditulis di atas daun Papirus) berhassil ditemukan cara bacanya oleh ilmuan
berkebangsaan Prancis, Jean Francois Campellion, pada 1822.

Barangkali dari pemaparan di atas, maka akan dibahas beberapa hal yang lebih mendalam
mengenai materi paleografi sebagai alat bantu sejarah.

1.2 Rumusan masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Paleografi?

b. Aksara apa saja yang digunakan pada Paleografi atau tulisan kuno?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Paleografi.

b. Memahami macam-macam aksara yang digunakan pada Paleografi.

Manfaat: Dapat memberi wawasan terhadap pembaca mengenai bagaimana itu Paleografi sera
macam-macam aksara pada Peleografi.

BAB 2

ISI PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PALEOGRAFI

Kata paleografi berasal dari dua suku kata, yakni “paleo” berarti kuno dan “grafi” yang artinya
gambaran. Jadi paleografi ialah ilmu tentang tulisan kuno. Dengan menggunkan ilmu bantu ini
sejarawan bisa membaca tulisan kuno tanpa kesalahan. Aspek yang penting diperhatikan dalam
kaitan ini, ialah usia dan tempat asal tulisan kuno itu.
Paleografi adalah ilmu macam-macam tulisan kuno, yang mutlak diperlukan dalam rangka meneliti
tulisan kuno yang yang tertulis dalam batu, logam, atau bahan-bahan lainnya. Paleografi mempunyai
dua tujuan (Niemeyer dalam Suryani, 2006: 80), yakni:

· Menjabarkan tulisan kuno karena beberapa tulisan kuno sangat sulit dibaca;

· Menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisannya,


dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tertentu.

Hal ini sangat penting untuk mempelajari tulisan tangan karya sastra yang biasanya tidak
menyebutkan bilamana dan dimana suatu karya ditulis, serta siapa pengarangnya. Perlu pula
diperhatikan ciri-ciri lain, seperti intrupsi, panjang, dan jarak baris-baris, bahan naskah, ukuran, tinta,
dan sebagainya.

Tujuan yang hendak dicapai paleograf (ahli paleografi) dari pekerjaannya iyalah untukmemecahkan
rahasia tulisan kuno. Tabir sejarah mesir diketahui setelah rahasia yang terdapat dalam tulisan kuno
(yang ditulis di atas daun Papirus) berhassil ditemukan cara bacanya oleh ilmuan berkebangsaan
Prancis, Jean Francois Campellion, pada 1822.

Jadi, sederhananya, paleografi dapat dipahami sebagai kajian alas tulisan tangan kuno. Kaitannya
dengan filologi, kajian paleografis atas sebuah teks yang dikaji seyogianya dilakukan terlebih dahulu
sebelum seorang mengkaji naskah memaknai dan menafsirkan teks tersebut. Artinya, yang berkaitan
dengan aksara dalam teks yang dikaji, hendaknya dipahami dan dijelaskan terlebih dahulu, kecuali
jika peneliti menganggap tidak ada hal penting yang perlu dibahas secara khusus.

Memang, kajian paleografis sangat membutuhkan pemahaman yang paripurna dan tidak setengah-
setengah terhadap aksara yang digunakan dalam teks terkait karena model dan gaya penulisan
sebuah aksara sering kali berubah dan berkembang dari masa ke masa. Selain itu, untuk alasan
efisiensi ruang dalam alas naskah, tidak jarang seorang penulis atau penyalin naskah juga menuliskan
beberapa kata dengan singkatan, sehingga sang peneliti dituntut betul memahami tradisi tulisan
yang dikajinya itu agar ia berhasil menampilkan dan menstranskripsikan teks tersebut kepada
khalayak pembaca dalam versi yang modern dan mudah dipahami.

Untuk memperoleh gambaran tentang macam-macam tulisan kuno dan perkembangannya di


Indonesia, berikut ini di paparkan jenis-jenis tulisan pada beberapa prasasti yang tersebar di
Nusantara, yang berhubungan erat dengan fungsinya sebagai penunjang penelitian naskah.

Dalam Indonesian Paleography (Casparis, dalam Suryani, 26: 81) disebutkan macam-macam tulisan
yang digunakan di daerah Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Malaya, Muangthai Selatan,
Kamboja, dan Vietnam selatan yang dapat dilacak dari tulisan pada prasasti raja-raja Dinasti Palawa
di India Selatan pada abad ke-4, tulisan Palawa untuk bahasa yang mendapat pengaruhnya,
termasuk kepulauan Indonesia. Hurup Palawa di Nusantara dapat dibedakan atas dua macam,
yakniPalawa Awal (Early) yang menunjukan ciri-ciri yang berhubungan dengan huruf India Selatan
dan Sri Langka pada prasasti abad ke-3 sampai abad ke-5 antara lain prasasti Kutai di Kalimantan
Tiur, Prasasti Purnawarman dari Taruma di Jawa Barat, dan Palawa Lanjut (Later) yang dipakai
prasasti abad ke-7 dan ke-8 , antara lain prasasti Tuk Mas di Jawa Tengah, prasasti-prasasti
permulaan dari kerajaan Sriwijaya dalam bahasa Melayu Kuno di Sumatra Selatan (dekat
Palembang), prasasti Kedukan Bukit (683) dan Talang Tuwo (684), prasasti Karang Brahidi Hulu
Jambi, dan Prasasti kota Kapur di Pulau Bangka (686), prasasti Canggal (732) di Jawa Tengah, prasasti
yang paling tua di Jawa. Prasasti Canggal ini merupakan teks terakhir yang diketahui ditulis dengan
huruf Palawa di Indonesia.

Tulisan Pra-Nagari yang asalnyanya dari India Utara Untuk menulis prasasti Budha dalam bahasa
Sansekerta di Jawa Tengah pada abad ke-8, yaitu prasasti Kalasan (778) , prasasti Ratubaka
(digunakan sezaman dengan prasasti Kalasan , prasasti Kelurak (782). Prassasti Plaosan diduga
berasal dari zaman selum pertengahan abad ke-9, tetapi batu dan teksnya sangat rusak, sehingga
tahun dan nama raja yang memerintah tidak dapat dilacak.

Tulisan Kawi atau Jawa Kuno yang merupakan kelanjutan tulisan Palawa diketahui kira-kira pada
pertengahan abad ke-8 pada prasasti Dinoyo di Jawa Timur (760), yang kemudian berkembang lebih
lanjut sampai abad ke-13 sebagai tulisan pada prasasti di Jawa Timur, Bali, Sunda, dan Sumatra.

Tulisan di Bali, Sumatra, dan Sumbawa lebih dekat mengikuti tulisan Jawa Priode Majapahit (Jawa
Tengahan) dari abd ke-13 sampai abad ke-15. Sementara itu, sampai akhir abad ke-16 atau keudian,
tulisan Jawa telah berkembang ke bentuk tulisan Jawa Modern yang khas, yang dari zaman itu
hingga sekarang hanya mengalami perubahan kecil-kecil saja. Ketiadaan prasasti di beerapa daerah,
tidak berarti bahwa penduduk belum mengenal tulisan. Di daerah-daerah itu tidak ada tradisi untuk
menggoreskan ketetapan raja pada batu atau logam. Hal ini tidak menutup kemungkinan
penggunaan tulisan pada bahan yang lekas rusak seperti lontar, bamboo, kulit pohon, dan
sebagainya. Seperti di Sulawesi Selatan dan beberapa daerah di Filifina yang jelas pada abad ke-16
dan ke-17 telah memakai tulisan. Rupanya tulisan yang dipakai di daerah-daerah itu berasal dari
prototip tulisan Jawa Tengahatau lebih awal lagi sebelum tulisan Arab dan Eropa dikenal penduduk.

Di beberapa bagian Sumatra, yaitu di daerah Batak, Bengkulu, Kerinci, dan Lampung, dipakai tulisan
yang diperkirakan berasal dari tulisan Malaya dari zaman Raja Adityawarman. Tulisan Makasar dan
Bugis di Sulawesi Selatan dan tulisan Bima di Sumbawa Timur mungkin juga berasal dari tulisan
Sumatra karena Bima pernah menjadi daerah bawahan Makasar , rupanya tulisannya pun
merupakan cabang tulisan Makasar.

Untuk bahasa Melayu Lama terdapat pada prasasti batu di Trengganu pada abad ke-14. Disamping
itu, terdapat tulisan Arab pada batu nisan di Pasai dan sekitarnya dari abad ke-13. Yang terkenal
paling tua adalah prasasti Islam pada batu nisan Sultan Maliku’s Saleh (1297), yang rupanya
didatangkan dari Gujarat. Tulisan Arabnya pada semua batu nisan itu, kecuali pada prasasti Minye
Tujuh (hurup Sumatra Kuno), adalah dari bentuk Parsi. Perbedaan antara tulisan prasasti Trangganu
dan kebanyakan tulisan pada batu-batu nisan dari Pasai ialah tulisan Trengganu itu lugas, jelas, dan
fungsional, mungkin karena memuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang harus dibaca
sehingga tulisannya harus mudah di pahami, sedangkan batu-batu nisan Pasai dengan prasasti yang
memuat teks-teks Qur’an dan Agama terutama berfungsi sebagai hiasan, sehingga tulisannya tidak
lugas.

Prasasti peninggalan nenek moyang orang Sunda pada masa Tarumanegara, yang beraksara palawa
dan berbahasa Sansekerta, yang sudah ditemukan jumlahnya ada tujuh buah. Ketujuh prasasti
tersebut itemukan disekitar Bogor (5 buah prasasti), Bekasi (1 buah prasasti), dan Pandeglang (1
buah prasasti). Setiap prasasti diberi nama sesuai dengan nama tempat ditemukan prasasti tersebut,
seperti: 1) Prasasti Ciaruten yang ditemukan di pinggir sungai Ciaruten (Ciampera, Bogor); 2) Prasasti
Kebon Kopi, ditemukan di Kebon Kopi (Ciampera, Bogor); 3) Prasasti Koleangkak, (Bogor); 4) Prasasti
Pasir Awi (Ciampera, Bogor); 5) Prasasti Pasir Muara, ditemukan di Pasir Muara di pinggir kali
Cianten (Ciampera, Bogor); 6) Prasasti Tugu, ditemukan di desa Tugu (kecamatan Tarumanegara,
Kabupaten Bekasi); serta 7) Prasasti Cidangiang, terdapat dan ditemukan di pinggir kali Cidangiang
(Kecamatan Munjul, kabupaten Pandeglang). Ketujuh prasasti tersebut sampai sekarang masih tetap
berada di tempatnya, kecuali prasasti Ciaruten yang sudah dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi
dari pinggir kali Walungan Ciaruten agar tidak hanyut dan tidak terbawa banjir. Demikan pula
dengan prasasti Tugu yang sudah di pindahkan ke Museum Nasional di Jakarta.

B. MACAM-MACAM AKSARA PADA PALEOGRAFI

1. Arab Pegon

Arab Pegon asalnya berasal dari huruf Arab Hijaiyah, yang kemudian disesuaikan dengan aksara
(abjad) Indonesia (Jawa). Kata pegon dalam kamus Bausastra mempunyai arti tidak murni Bahasa
Jawa.

Huruf Pegon lahir dikalangan pondok pesantren untuk memaknai atau menerjemahkan kitab – kitab
berbahasa Arab kedalam bahasa Jawa/Indonesia untuk mempermudah penulisannya, karena
penulisan Arab dimulai dari kanan ke kiri begitu pula menulisan Pegon, sedangkan penulisan Latin
dimulai dari kiri ke kanan.

Menurut satu pendapat, penemu huruf Pegon adalah Sunan Ampel, sedangkan menurut pendapat
lain Imam Nawawi Banten, hal ini dikuatkan dari sejarah pada masa penjajahan banyak sekali terjadi
penindasan, perampasan hak dan penyiksaan. Maka timbulah “Gerakan Anti Penjajah”.
Pemberontakan terhadap pemerintahan penjajah terjadi dimana – mana, termasuk didalamnya
kaum muslimin sampai – sampai para ‘ulama dan kyai berfatwa “haram memakai apapun dari
penjajah” termasuk tulisannya. Dalam situasi ini, dengan cerdas Imam Nawawi menyesuaikan
bahasa Jawa dengan huruf – huruf Arab yang dinamakan aksara Pegon (Pego).

Sastra Pegon

Huruf Hijaiyyah

‫ ا ب ت ث ج ح خ‬........‫الخ‬

Aksara Arab yang diambil untuk aksara Pegon

‫اب ت ج د ر س ط ع ف ك ل م ن و ه ي‬

Transkripsi huruf Pegon kedalam huruf Jawa dan Latin (abjad)

No Aksara Jawa Aksara Latin Aksara Pegon

01 Ha H/A ‫ه‬/‫أ‬

02 Na N ‫ن‬

03 Ca C ‫چ‬
04 Ra R ‫ر‬

05 Ka K ‫ك‬

06 Da D ‫ڎ‬

07 Ta T ‫ت‬

08 Sa S ‫س‬

09 Wa W ‫و‬

10 La L ‫ل‬

11 Pa P ‫ڤ‬

12 Dha Dh ‫ڎ‬

13 Ja J ‫ج‬

14 Ya Y ‫ي‬

15 Nya Ny ‫ۑ‬

16 Ma M ‫م‬

17 Ga G ‫ڮ‬

18 Bha B ‫ب‬

19 Tha Th ‫ط‬

20 Nga Ng ‫ڠ‬

Huruf Pegon ini merupakan huruf konsonan sebelum digandeng dengan huruf vokal dan sandangan
huruf lain. Untuk menjadikan huruf vokal maka harus ditambahkan huruf vokal yaitu :

Alif (‫ )ا‬: untuk bunyi A

Ya (‫ )ي‬: untuk bunyi I

Wawu (‫ )و‬: untuk bunyi u

Serta harus ditambah sandangan (bantu) yaitu fathah (َ) , pȇpȇt (~) dan Hamzah (‫)ء‬.

Kaidah – kaidah aksara Pegon

Huruf JIM (‫ )ج‬ditambah 2 titik menjadi/dibaca CA/C

Huruf FA (‫ )ف‬ditambah 2 titik menjadi/dibaca PA/P

Huruf DAL (‫ )د‬diberi 3 titik di atas menjadi/dibaca DHA/DH


ket : titik diletakkan diatas untuk keseragaman dengan ‫ذ‬

Huruf YA (‫ )ي‬ditambah 2 titik menjadi/dibaca NYA/NY

Huruf KAF (‫ )ك‬ditambah 3 titik dibawah menjadi/dibaca GA/G

Huruf AIN (‫ )ع‬ditambah 3 titik diatas menjadi/dibaca NGA/NG

ket : titik diletakkan diatas agar seragam dengan ‫غ‬

Huruf HA aksara Pegonya ada dua yaitu HA (‫ )ه‬dan alif (‫)ا‬, karena HA dapat dibaca A
contoh hayu dibaca ayu, hana dibaca ana.

Huruf Pegon ditambah alif (‫ )ا‬berbunyi A, contoh ‫أ‬/‫ ها‬maka dibaca ha/a

Huruf Pegon diberi alif (‫ )ا‬berbunyi Ó (dalam bahasa Jawa) seperti bunyi O pada kata Gógó (tanaman
padi pada lahan kering) dan berbunyi A dalam bahasa Indonesia, namun di beberapa daerah Jawa
sering juga dibaca A :

‫ ه‬+ ‫ ا‬dibaca HO dalam bahasa Jawa

HA dalam bahasa Indonesia

C ontoh : ‫ سورابايا‬Suroboyo : Jawa

Surabaya : Indonesia.

Huruf Pegon ditambah YA (‫ )ي‬berbunyi I contoh

‫ ن‬+ ‫ ي‬: ‫ ني‬dibaca NI

‫ ج‬+ ‫ ي‬: ‫جي‬dibaca JI

‫ك‬+‫ ي‬: ‫ كي‬dibaca KI

Contoh : NIKI ditulis ‫نيكي‬

Huruf Pegon diberi tambahan Wawu (‫ )و‬berbunyi U

‫ أ‬+ ‫ و‬: ‫ أو‬dibaca U

‫ ه‬+ ‫ و‬: ‫ هو‬dibaca HU

‫ ن‬+ ‫ و‬: ‫ نو‬dibaca NU

Contoh : KUKU ditulis ‫كوكو‬:

Huruf Pegon di Fathah dan digandeng dengan (‫ )ي‬dibaca É, seperti E pada kata énak, pédé, saté.

‫ ا‬+‫ ي‬: ‫ اي‬dibaca E

‫ ه‬+‫ ي‬:‫ هي‬dibaca HE

‫ ن‬+ ‫ي‬: ‫ ني‬dibaca NE


Contoh : Enak : ‫ايناك‬

Juga dibaca Ё seperti pada kata peyek, remeh, teh, namun dalam bahasa Indonesia tetap dibaca É.

Contoh : Peyek : ‫ڤيييك‬

Huruf Pegon di Fathah dan digandeng dengan Wawu (‫ )و‬untuk bunyi O, seperti pada kata ijo, bojo,
loro, soto.

‫ ا‬+‫ و‬: ‫ او‬dibaca O

‫ ن‬+‫ و‬:‫ نو‬dibaca NO

‫ ه‬+‫ و‬: ‫ هو‬dibaca HO

Contoh : Bojo loro : ‫بوجو لورو‬

Soto Babat : ‫سوتو بابات‬

Huruf Pegon diberi sandangan Pȇpȇt (~) atau tidak diberi sandangan apapun dibaca Ê seperti bunyi e
pada kata sejuk, seger, semar, semangka.

‫ آ‬atau ‫ ا‬dibaca E

‫ ۿ‬atau ‫ ه‬dibaca HE

‫ ن‬atau ‫ ن‬dibaca NE

Contoh : Negara :‫ نڮارا‬atau ‫نڮارا‬

Semangka : ‫سماڠكا‬atau ‫سماڠكا‬

Penulisan Sastra Pegon dengan konsonan rangkap

Penulisan konsonan rangkap pengucapannya seolah – olah ada bunyi E (Pȇpȇt), maka jika diucapkan
perlahan – lahan akan terasa bunyi E (Pȇpȇtnya).

Contoh :

Program, jika dibaca perlahan akan terasa perogram.

Struktur, jika dibaca perlahan akan terasa seteruktur.

Cara penulisan konsonan rangkap dengan Huruf Pegon adalah dengan mengembalikan bunyi E
(Pȇpȇt) yang seolah – olah ada pada konsonan rangkap tersebut.

Contoh :

Kata program maka jika ditulis Pegon menjadi ‫ڤروڮرام‬,

Praduga menjadi ‫ڤراڎوڮا‬.

Struktur menjadi ‫ ستروكتور‬.


Kaidah Hamzah (alif) diawal kalimah

Alif diberi Hamzah diatas dibaca A/O contoh : ono ditulis ‫أنا‬.

Alif diberi Hamzah dibawah dibaca I contoh : ini ditulis ‫إني‬.

Alif diberi Hamzah diatas dan Wawu (‫ )أو‬dibaca U contoh : udara ditulis ‫أوڎارا‬

Alif diberi Hamzah dibawah dan Ya’ (‫ )ي‬dibaca E, contoh : Enak ditulis ‫يناكإ‬

Alif tanpa Hamzah dan Wawu dibaca O contoh : Orang ditulis : ‫اوراڠ‬

Alif tanpa Hamzah, tanpa Wawu dan tanpa Ya’ dibaca E, contoh elang ditulis ‫االڠ‬

Alif diberi Hamzah diatas dan Ya’ dibaca E. Contoh : Epson ditulis ‫أيڨسان‬

2. Aksara Sunda Kuna

Penggunaan Aksara Sunda Kuna dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-
prsasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti
Kebantenan yang terdapat di Kabupaten Bekasi.Edi S. Ekajati mengungkapkan bahwa keberadaan
Aksara Sunda Kuna sudah begitu lama tergeser karena adanya ekspansi Kerajaan Mataram Islam ke
wilayah Priangan kecuali Cirebon dan Banten. Pada waktu itu para menak Sunda lebih banyak
menjadikan budaya Jawa sebagai anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda tergeser oleh
kebudayaan Jawa. Bahkan banyak para penulis dan budayawan Sunda yang memakai tulisan dan
ikon-ikon Jawa.

Bahkan VOC pun membuat surat keputusan, bahwa aksara resmi di daerah Jawa Barat hanya
meliputi Aksara Latin, Aksara Arab Gundul (Pegon) dan Aksara Jawa (Cacarakan). Keputusan itu
ditetapkan pada tanggal 3 November 1705. Keputusan itu pun didukung para penguasa Cirebon yang
menerbitkan surat keputusan serupa pada tanggal 9 Februari 1706. Sejak saat itu Aksara Sunda Kuno
terlupakan selama berabad-abad. Masyarakat Sunda tidak lagi mengenal aksaranya. Kalaupun masih
diajarkan di sekolah sampai penghujung tahun 1950-an, rupanya salah kaprah. Pasalnya, yang
dipelajari saat itu bukanlah Aksara Sunda Kuna, melainkan Aksara Jawa yang diadopsi dari Mataram
dan disebut dengan Cacarakan.

Setidaknya sejak Abad IV masyarakat Sunda telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa
yang mereka gunakan. Namun demikian pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh
penguasa dan keadaan untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang merupakan salah
satu identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan ini
menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi tulis masyarakat Sunda.

Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya K. F.
Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan
prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuna.Berdasarkan atas
penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah
Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003
tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.

Sebagaimana diungkapkan di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil penyesuaian Aksara Sunda
Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Penyesuaian itu antara lain
didasarkan atas pedoman sebagai berikut:

1. bentuknya mengacu pada Aksara Sunda Kuna sehingga keasliannya dapat terjaga,

2. bentuknya sederhana agar mudah dituliskan,

3. sistem penulisannya berdasarkan pemisahan kata demi kata,

4. ejaannya mengacu pada Bahasa Sunda mutakhir agar mudah dibaca.

Dalam pelaksanaannya, penyesuaian tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan
fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf
(misalnya huruf na dan ma).

Dalam Sejarah Aksara Sunda disebut pula aksara Ngalagena. Menurut catatan sejarah aksara ini
telah dipakai oleh orang Sunda dari abad ke -14 sampai abad ke- 18. Jejak aksara Sunda dapat dilihat
pada Prasasti Kawali atau disebut juga Prasasti Astana Gede yang dibuat untuk mengenang Prabu
Niskala Wastukancana yang memerintah di Kawali, Ciamis, tahun 1371-1475. Prasasti Kebantenan
yang termaktub dalam lempengan tembaga, berasal dari abad ke-15, juga memakai aksara Sunda
Kuno.

Berikut Prasasti Kawali dengan aksara Sunda Kuno:

Tak ada bukti yang jelas tentang awal mula aksara Sunda lahir, sejak kapan nenek moyang orang
Sunda menggunakan aksara ini. Yang jelas, sebelum abad ke-14, kebanyakan prasasti dan kropak
(naskah lontar) ditulis dalam aksara lain, seperti aksara Pallawa (Prasasti Tugu abad ke-4) dan aksara
Jawa Kuno (Prasasti Sanghyang Tapak abad ke-11). Bahasanya pun Sansekerta dan Jawa Kuno
bahkan Melayu Kuno. Baru pada abad ke-14 dan seterusnya, aksara Sunda kerap dipakai dalam
media batu/prasasti dan naskah kuno.

Sama seperti naskah-naskah kuno di Jawa, yang menjadi media naskah kuno Sunda adalah daun
(ron) palem tal (Borassus flabellifer)—di sinilah lahir istilah rontal atau lontar—atau juga daun palem
nipah (Nipa fruticans), di mana masing-masing daunnya dihubungkan dengan seutas tali, bisa seutas
di tengah-tengah daun atau dua utas di sisi kanan dan kiri daun. Penulisan dilakukan dengan
menorehkan peso pangot, sebuah pisau khusus, pada permukaan daun, atau menorehkan tinta
melalui pena. Tintanya dari jelaga, penanya dari lidi enau atau bambu. Biasanya peso pangot untuk
huruf-huruf persegi, sementara tinta-pena untuk huruf-huruf bundar.

Naskah-naskah kuno Sunda yang memakai aksara Sunda Kuno dan juga bahasa Sunda Kuno di
antaranya Carita Parahyangan (dikenal dengan nama register Kropak 406) yang ditulis pada abad ke-
16. Ada hal yang menarik dalam Carita Parahyanganini, di mana di dalamnya terdapat dua kata Arab,
yaitu dunya dan niat. Ini menandakan bahwa persebaran kosa kata Arab, dengan Islamnya, telah
merasuk pula ke dalam alam bawah sadar penulis carita tersebut. Begitu pula naskah Bujangga
Manik dan Sewaka Darma yang ditulis pada masa yang tak jauh beda, yang keduanya mengisahkan
perjalanan spiritual sang tokoh dalam menghadapi kematian, ketikaraga wadag (tubuh)
meninggalkan alam fana, yang dibungkus dalam sebuah sistem religi campuran antara Hindu,
Buddha, dengan kepercayaan Sunda asli. Judul yang lain adalah Sanghyang Sisksakanda (ng) Karesian
(disebut pula Kropak 603), sebuah naskah tentang keagamaan dan kemasyarakatan yang ditulis pada
1518 M. Ada pula naskah Amanat Galunggung (disebut pula Kropak 632 atau Naskah Ciburuy
atauNaskah MSA) yang naskahnya baru diketemukan 6 lembar, yang membahas mengenai ajaran
moral dan etika Sunda. Usia naskah ini ditenggarai lebih tua dariCarita Parahyangan; hal ini terbukti
dari ejaannya, seperti kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa (dalam Carita Parahyangan dieja:
kolot, goreng, anom, dan hamo).

Berikut naskah Sewaka Darma.

Naskah-naskah keagamaan tersebut biasa ditulis di sebuahkabuyutan atau mandala, yakni pusat
keagamaan orang Sunda yang biasanya terletak di gunung-gunung, yang juga merupakan pusat
intelektual. Gunung Galunggung, Kumbang, Ciburuy, dan Jayagiri merupakan contoh darikabuyutan
tersebut. Kini peranan kabuyutan digantikan oleh pesantren.

Setelah islamisasi, keberadaan aksara Sunda makin tergeser. Lambat-laun, aksara Arab-lah yang
mendominasi dunia tulis menulis, yang dikenal dengan huruf pegon. Otomatis, para pujangga dan
penulis tak lagi menggunakan aksara Sunda. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf Arab dalam
naskah Sajarah Banten yang disusun dalam tembang macapat pada tahun 1662-1663, di mana
Kesultanan Banten baru saja seabad berdiri. Naskah-naskah lain yang memakai huruf pegon adalah
Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis
pada abad ke-18, sedangkan bahasa yang digunakan adalah Jawa.

Pemakaian aksara Sunda makin terkikis setelah aksara latin diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa
pada masa kolonialisasi pada abad ke-17 hingga seterusnya. Tak hanya itu, penguasaan Mataram
Sultan Agung atas wilayah-wilayah Sunda pada abad yang sama mengakibatkan sastra-sastra Sunda
lahir dengan memakai aksara Jawa atau Jawa-Sunda (carakan), bukan aksara Sunda. Contoh naskah
Sunda yang ditulis menggunaka bahasa dan aksara carakan adalah Babad Pakuan atau Babad
Pajajaran yang ditulis pada 1816, di mana terdapat kisah Guru Gantangan, pada masa pemerintahan
Pangeran Kornel (Aria Kusuma Dinata), Bupati Sumedang. Isi babad ini menggambarkan pola pikir
masyarakat Sunda atas kosmologi dan hubungannya antara manusia sempurna dengan mandala
kekuasaan.

Aksara Sunda berjumlah 32 buah, terdiri atas 7 aksara swara atau vokal (a, é, i, o, u, e, dan eu) dan
23 aksara ngalagena atau konsonan (ka-ga-nga, ca-ja-nya, ta-da-na, pa-ba-ma, ya-ra-la, wa-sa-ha, fa-
va-qa-xa-za). Aksara fa, va, qa, xa, dan za merupakan aksara-aksara baru, yang dipakai untuk
mengonversi bunyi aksara Latin. Secara grafis, aksara Sunda berbentuk persegi dengan ketajaman
yang mencolok, hanya sebagian yang berbentuk bundar.

Aksara swara adalah tulisan yang melambangkan bunyi fonem vokal mandiri yang dapat berperan
sebagai sebuah suku kata yang bisa menempati posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata.
Berikut tabel aksara swara Sunda:
Sedangkan aksara ngalagenaadalah tulisan yang secara silabis dianggap dapat melambangkan bunyi
fonem konsonan dan dapat berperan sebagai sebuah kata maupun sukukata yang bisa menempati
posisi awal, tengah, maupun akhir sebuah kata. Setiap konsonan diberi tanda pamaeh agar
bunyingalagena-nya mati. Dengan begitu,aksara Sunda ini bersifat silabik, di mana tulisannya dapat
mewakili sebuah kata dan sukukata. Berikut tabel aksara ngalagenaSunda

Ada pula para penanda vokal dalam aksara Sunda, yakni:panghulu (di atas), panyuku (di bawah),
pemepet (di atas),panolong (di kanan), peneleng(di kiri), dan paneuleung (di atas). Berikut penanda
vokal dalam sistem aksara Sunda:

Selain pamaeh konsonan, ada pula variasi fonem akhiran, yakni pengecek (akhiran –ng),pangwisad
(akhiran –h), danpanglayar (akhiran –r). Ada pula fonem sisipan yang disimpan di tengah-tenngah
kata, yakni pamingkal (sisipan –y-), panyakra (sisipan –r-), dan panyiku (sisipan -l-). Berikut tabel
variasi fonem sisipan dan akhiran beserta tanda pamaeh dalam aksara Sunda.

3. Aksara Jawa

Aksara Jawa (kadang disebut Hanacaraka atau Carakan) adalah aksara yang dipakai atau pernah
dipakai untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahkan Makasar, Sunda, dan Sasak. Aksara
ini merupakan aksara jenis abugida yang konon turunan dari aksara Brahmi dan merupakan turunan
dari aksara Assyiria.

Bentuk aksara Jawa yang dikenal hari ini (modern) sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram
(abad ke-17). Urutan aksara Jawa dikenal unik, karena merangkai sebuah “cerita”: Hana
Caraka (Terdapat Pengawal), Data Sawala (Berbeda Pendapat), Padha Jayanya (Sama
kuat/hebatnya), Maga Bathanga (Keduanya mati).

Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8
huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, 5
aksara swara (huruf vokal depan), 5 aksara rekan dan 5 pasangannya, beberapa sandhangan sebagai
pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur
tatapenulisan (pada).

Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa telah berkembang dalam beberapa tahapan, yakni fase aksara
Jawa-Hindu, aksara Jawa-Islam, aksara Jawa-Kolonial, dan aksara Jawa Modern.

Dalam priode Aksara Jawa-Hindu, aksara Jawa mengikuti sistem Panini, yaitu mengikuti urutan ka-
ga-nga (yang hari ini digunakan dalam Unicode aksara Jawa). Dalam susunan abjadnya, belum ada
penggolongan serta pemisahan aksara murda, seperti yang dikenal hari ini dalam tiap susunan abjad
Jawa.

Selain itu, ditemukan juga sejumlah aksara yang keberadaannya wajib hadir untuk menuliskan kata-
kata Jawa kuna.

Pada periode aksara Jawa-Islam, aksara Jawa berkembang pada dekade awal kedatangan Islam ke
tanah Jawa, yakni di masa Jawa masih bebas dari dominasi politik pemerintah Kolonial Hindia-
Belanda, yang kurang lebih berlangsung pada era kesultanan Demak.
Pada fase ini, aksara Jawa diurutkan menggunakan urutan ha-na-ca-ra-ka, yang disusun untuk
mempermudah penghafalan, seperti yang telah disinggung di awal tulisan.

Pada fase ini juga, pengertian aksara murda masih belum disamakan dengan huruf kapital, seperti
halnya dalam tulisan Latin, namun sudah dipisahkan dari susunan huruf Jawa dasar.

Serta, mulai digunakan aksara rekan untuk menyesuaikan penulisan kata-kata Arab yang mulai
banyak dikenal seiring semakin masifnya dakwah Islam. Pada priode aksara Jawa-Kolonilal, yakni
pada zaman dominasi pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, diterbitkan tatatulisan aksara Jawa
dengan ejaan Sriwedari, sebagai hasil dari lokakarya yang diselenggarakan di Sriwedari, Surakarta,
pada 1926, dalam rangka menyeragamkan tatapenulisan aksara Jawa.

Perbedaan yang paling jelas dalam fase ini adalah sebagian aksara murda sudah berubah fungsi
sebagai huruf kapital, layaknya pada aksara Latin.

Kemudian, perubahan lainnya adalah dikikisnya penggunaan taling-tarung pada bunyi /o/ (“o” Jawa).
Sebagai dampak, misalnya penulisan “Ronggawarsita” menjadi “Ranggawarsita”.

Periode aksara Jawa-Modern, adalah periode perkembangan aksara Jawa sejak zaman kemerdekaan
Indonesia hingga sekarang. Beberapa penanda dalam fase ini, yakni diterbitkannya buku Karti Basa
oleh Kementrian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1946, yang isinya mengenai
pedoman penulisan kata, aksara, dan angka Jawa, serta tentang pedoman penulisan kata Jawa
dengan huruf Latin.

Penanda lain dalam fase ini adalah diselenggarakannya Kongres Bahasa Jawa I hingga III, pada 1991,
1996, dan 2001, yang masing-masing menghadirkan kebaruan dalam aksara Jawa.

Pada Kongres Bahasa Jawa II, diterbitkan Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tiga gubernur, yakni
gubernur Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, yang merupakan upaya penyelarasan tatacara
penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di tiga provinsi tersebut.

4. Aksara Latin

Aksara Latin atau Abjad Rumi (dari kata Romawi) adalah alfabet yang pertama kalinya dipakai oleh
orang Romawi untuk menuliskan bahasa Latin kira-kira sejak abad ke-7 Sebelum Masehi. Mereka
belajar menulis dari orang-orang Etruria, sedangkan orang Etruria belajar dari orang Yunani. Alfabet
Etruska merupakan adapatasi dari alfabet Yunani. Menurut hipotesis, semua aksara alfabetis
tersebut berasal dari abjad Fenisia, dan abjad Fenisia berasal dari hieroglif Mesir.

Pada saat ini alfabet Latin adalah aksara yang paling banyak dipakai di dunia untuk menuliskan
berbagai bahasa. Beberapa negara mengadopsi dan memodifikasi alfabet Latin sesuai
dengan fonologi bahasa mereka, karena tidak semua fonem dapat dilambangkan dengan huruf Latin.
Beberapa usaha modifikasi tersebut antara lain dengan menambahkan huruf baru (contoh: J, W),
penambahan diakritik (contoh: Ñ, Ü), penggabungan huruf/ligatur (modifikasi bentuk,
contoh: ß, Æ, Œ). Beberapa negara mengatur penggunaan dwihuruf dalam bahasa resmi mereka,
yang melambangkan suatu fonem yang tidak dapat dilambangkan oleh alfabet Latin, misalnya "Th"
(untuk bunyi /θ/ dan /ð/), "Ng" atau "Nk" (untuk bunyi /ŋ/), "Sch" atau "Sh" (untuk bunyi /ʃ/), "Ph"
(untuk bunyi /ɸ/ dan /f/).

Dipercaya bahwa bangsa Romawi Kuno mengadopsi sebuah varian dari alfabet Yunani di Cumae,
sebuah koloni bangsa Yunani di Italia Selatan, pada abad ke-7 SM. (Gaius Julius Hyginus dalam Fab.
277 menyebutkan legenda bahwa Carmenta, seorang sibila Kimmeri, menyerap lima belas huruf
Yunani menjadi alfabet Latin, yang diperkenalkan lewat Latium oleh putranya, Evander, sekitar 60
tahun sebelum perang Troya, namun tidak ada jejak sejarah mengenai kisah ini.) Alfabet Yunani
Kuno sendiri pada mulanya berasal dari abjad Fenisia. Dari alfabet Yunani di Cumae,
terciptalah alfabet Etruska dan selanjutnya bangsa Romawi mengadopsi 21 huruf dari 26 huruf
dalam alfabet Etruska, sebagai berikut:

Huruf ⟨C⟩ adalah varian bentuk gama di Yunani Barat, namun sama-sama dipakai untuk
melambangkan bunyi /ɡ/ dan /k/, kemungkinan karena pengaruh bahasa Etruska, yang kurang
memiliki konsonan plosif. Kemudian, sekitar abad ke-3 SM, huruf ⟨Z⟩ — yang tidak diperlukan untuk
menuliskan bahasa Latin yang lazim — digantikan oleh huruf ⟨G⟩ yang baru, berasal dari
bentuk ⟨C⟩ yang telah dimodifikasi dengan menambahkan garis vertikal kecil. Sejak saat
itu, ⟨G⟩ melambangkan bunyi /ɡ/ (konsonan plosif bersuara),
sementara ⟨C⟩ melambangkan /k/ (konsonan plosif nirsuara). Huruf ⟨K⟩ amat jarang digunakan,
misalnya dalam beberapa kata seperti Kalendae, seringkali ejaannya tergantikan oleh ⟨C⟩.

Setelah penaklukkan Yunani oleh Romawi pada abad pertama SM, alfabet Latin memungut (atau
mengadopsi kembali) huruf Yunani ⟨Y⟩ dan ⟨Z⟩ untuk menuliskan kata serapan dari bahasa Yunani,
sehingga ditempatkan di akhir susunan alfabet. Sebuah usaha oleh Kaisar Claudius yang
memperkenalkan tiga huruf tambahan tidak berhasil. Maka dari itu pada masa klasiknya, alfabet
Latin hanya mengandung 23 huruf:
Beberapa nama huruf tersebut dalam bahasa Latin masih diragukan. Bagaimanapun, umumnya
bangsa Romawi tidak menggunakan nama-nama tradisional seperti dalam alfabet Yunani (yang pada
dasarnya diturunkan dari rumpun abjad Semitik: Fenisia, Ibrani, Suryani, Arab). Untuk huruf-huruf
yang melambangkan konsonan plosif (B, C, G, dsb.), bangsa Romawi menambahkan
bunyi vokal /eː/ dalam penamaannya (kecuali ⟨K⟩ dan ⟨Q⟩, yang memerlukan vokal berbeda agar
dapat dibedakan dengan ⟨C⟩) dan nama-nama untuk huruf yang melambangkan konsonan malaran
dapat memakai bunyi lugas atau konsonan yang diawali dengan bunyi /e/. Huruf ⟨Y⟩ saat
diperkenalkan mungkin disebut "hy" /hyː/ seperti dalam bahasa Yunani, sementara
nama upsilon masih belum digunakan, namun kemudian diubah menjadi "i Graeca" (huruf I Yunani)
karena penutur bahasa Latin kesulitan membedakan bunyi vokal /y/ dengan /i/. ⟨Z⟩ diberi nama
sesuai namanya dalam bahasa Yunani, zeta.

Huruf kursif Romawi Kuno, juga disebut huruf kursif kapital, adalah bentuk tulisan tangan sehari-
hari, yang digunakan untuk keperluan bisnis bagi para pedagang, untuk pembelajaran alfabet Latin
bagi para anak-anak, dan untuk menuliskan titah oleh Kaisar Romawi. Gaya penulisan yang lebih
resmi berdasarkan pada Capitalis Monumentalis, sementara huruf kursif digunakan untuk penulisan
yang lebih cepat dan informal. Huruf ini lazim digunakan sejak sekitar abad pertama SM hingga ke-3
M, namun mungkin kemunculannya lebih awal daripada masa tersebut. Huruf ini merupakan dasar
bagi huruf Unsial, suatu jenis huruf kapital yang digunakan pada abad ke-3 hingga ke-8 M oleh para
juru tulis Latin dan Yunani.

Huruf kursif Romawi Baru, juga dikenali sebagai huruf kursif kecil, digunakan sejak abad ke-3 hingga
ke-7 M, dan menggunakan bentuk huruf yang lebih mudah dikenali pada masa kini; ⟨a⟩, ⟨b⟩, ⟨d⟩,
dan ⟨e⟩ mengambil bentuk yang lebih familier, dan huruf lainnya proporsional antara satu sama lain.
Huruf ini berkembang hingga Abad Pertengahan sebagai aksara Merovingian dan Carolingian.

5. Pengertian Aksara Palawa

Aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta berasal dari India, yang pernah dikenalkan di kalangan
masyarakat Sunda di Jawa Barat dan sekitarnya. Sejak saat itu masyarakat di tatar Sunda sudah bisa
menulis dan membaca, meskipun jumlanya masih sangat sedikit. Di india juga yang memakai dan
menggunakan aksara Palawa dan bahasa Sansekerta hanya kalangan “kaum agama”nya saja
(Brahmana).

Jika dilihat berdasarkan bentuk aksaranya, dibandingkan dengan bentuk aksara yang digunakan di
tempat asalnya (India), ketujuhn prasasti yang berada di tatar Sunda tersebut dibuat kurang lebih
pada abad ke-5 M sekitar tahun (45). Pada waktu itu di India memang sedang tumbuh dan
berkembang aksara dan bahasa Sansekerta hingga terkenal dengan sebutan ‘zaman klasik’. Di India
sendiri aksara palawa dan bahasa Sansekerta tersebut banyak digunakan untuk mencatat atau
membahas bermacam-macam masalah yang ada kaitannya dengan kehidupan serta ajaran agama
Hindu.

Ketujuh prasasti yang beraksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta tersebut isinya menyinggung
keberadaan raja, kerajaan, serta agama yang di anutnya. Nama raja yang disebut-sebut dalam
prasasti tersebut adalah Raja Purnawarman, yang bertakhta di Kerajaan Tarumanegara dan
menganut agama Hindu. Dalam prasaasti Tugu pun disebutkan pula nama ayah dan kakeknya yang
bernama Rajadiraja Guru dan Rajaresi.

Dengan adanya pengaruh mengenai aksara dan kegiatan menulis serta membaca, masyarakat tatar
Sunda pada zaman Tarumanegara menjadi mengerti dan paham terhadap konsep negara, konsep
agama serta konsep kemasyarakatan secara lebih luas dan mendalam dari segi struktur, wawasan,
dan pengetahuan ketatanegaraannya. Yang semula hanya menggunakan konsep padukuhan ‘desa’,
sekarang menggunakan konsep kerajaan dengan menggunakan konsep berbentuk negara. Yang
semula hanya menganut kepercayaan terhadap roh-roh halus ‘karuhun’ (animisme) dari kekuatan
gaib yang berada dalam benda-benda material (dinamisme), menjadi penganut agama Hindu. Selain
itu, masyarakat yang tadinya hidup sederhana, menjadi leih banyak ragamnya (kompleks). Semua itu
merupakan pengaruh baru hasil hubungan atau adanya pergaulan dengan orang India da
kebudayaanya.

Ketujuh prasasti yang ditemukan pada masa pemerintahan Purnawarman tersebut terungkap
beberapa hal yang berhubungan dengan sifat dan gambaran pribadi Raja Purnawarman, yakni: 1)
pintar, bijaksana, kuat, gagah, berani; 2) lebih mementingkan kepentingan negara dan bangsa dari
kepentingan pribadi dan keluarganya; 3) sangat rajin memeperluas negaranya dengan cara diplomasi
atau perang; 4) memperhatikan dan menghargai ‘bawahannya’ yang setia kepadanya, namun beliau
akan berlaku kejam terhadap bawahanya yang berusaha berkhianat kepadanya; 5) memperhatikan
dan mengusahakan kesejahtraan kehidupan rakyatnya; 6) sangat memperhatikan dan menghargai
golongan kaum agama.

(Prasasti Tugu)

Berdasarkan keterangan prasasti tugu dan cirri geomorfologinya disekitar tempat ditemukannya
prasasti tersebut Noorduyn dan Verstappen berpendapat bahwa pusat kota kerajaan tarumanegara
bertempat di daerah pesisir tatar Sunda yang tidak begitu jauh dari tempat ditemukannya prasasti
Tugu, jelasnya disekitar penemuan batas daerah Bekasi Jakarta sekarang. Namun menurut
Poerbatjaraka, kerajaan Tarumanegara itu terletak di pinggir sungai Bekasi berdasarkan tafsiran kata
candrabohaga yang tertera pada prasasti Tugu (candra=bulan). Namun baik Noorduyn maupun
Poerbatjaraka menunjuk tempat yang hamper sama untuk pusat kota kerajaan Tarumanegara.
Malahan Pangeran Wangsakerta, sebagaimana tertera pada naskahyang disusunya di Cirebon pada
akhir abad ke-17, menyebutkan bahwa Sundapura merupakan nama pusat kota Kerajaan
Tarumanegara, yang persisnya sama dengan daerah pesisir tatar Sunda sebelah Barat.
Berikut gambar parasasti-prasasti Kerajaan Tarumanegara

(Prasasti Tugu) (Prasasti Kebon Kopi)

(Prasasti Cidanghiyang)

(Prasasti Pasir Awi)

(Prasasti Muara Cianten)

(Prasasti Ciaruten)

(Prasasti Jambu)

BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan
Paleografi dapat dipahami sebagai kajian alas tulisan tangan kuno. Kaitannya dengan filologi, kajian
paleografis atas sebuah teks yang dikaji seyogianya dilakukan terlebih dahulu sebelum seorang
mengkaji naskah memaknai dan menafsirkan teks tersebut. Artinya, yang berkaitan dengan aksara
dalam teks yang dikaji, hendaknya dipahami dan dijelaskan terlebih dahulu, kecuali jika peneliti
menganggap tidak ada hal penting yang perlu dibahas secara khusus.

macam-macam aksara pada paleografi, antara lain: aksara Arab Pegon, aksara Sunda Kuna, aksara
Jawa, aksara Latin dan aksara Palawa.
Sartini. 2012. Paleografi dan Kodikologi. Dalam (http://sartini-
gadischerry.blogspot.com/2012/01/paleografi-dan-kodikologi.html) diakses pada tanggal 19 Oktober
2019

PALEOGRAFI DAN KODIKOLOGI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filologi merupakan satu disiplin yang ditujukan pada studi tentang teks yang tersimpan dalam
peninggalan tulisan masa lampau. Studi teks ini didasari oleh adanya informasi tentang hasil budaya
manusia pada masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai satu disiplin,
filologi tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan yang bertujuan untuk mengungkapkan hasil budaya
masa lampau yang tersimpan dalam peninggalan yang berupa karya tulisan. Konsep tentang
‘kebudayaan’ dihubungkan antara lain dengan buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat istiadat,
dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.

Karya tulisan pada umumnya menyimpan kandungan berita masa lampau yang mampu memberikan
informasi secara lebih terurai. Apabila informasi yang terkandung dalam karya-karya tulisan
mempunyai cakupan informasi yang luas, menjangkau berbagai segi kehidupan masa lampau, maka
pengetahuan yang dipandang mampu mengangkat informasi yang luas dan menyeluruh itu dipahami
sebagai kunci pembuka pengetahuan.

Berdasarkan pandangan inilah pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam peninggalan
tulisan masa lampau tersebut disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkapkan khazanah masa
lampau, karenakarakteristik naskah-naskah lama sebagai hasil kebudayaan diduga kuat banyak
mengandung buah pikiran, perasaan, tradisi, adat-istiadat, dan budaya yang pernah ada
sebelumnya.

Selain itu, dengan pendekatan filologi ini akan diketahui kekayaan suatu bahasa dan tradisi berpikir
masyarakat yang tidak selalu sama dengan masyarakat lain. Setiap bahasa memiliki akar serta
lingkungan kultural yang khusus dari suatu masyarakat tertentu, karena di tiap lingkungan
masyarakat tentu memiliki perbedaan kondisi sosial, psikologi, antropologi, dan geografi yang
berbeda.

Sebagai hasil budaya masa lampau, peninggalan tulisan perlu dipahami dalam konteks masyarakat
yang melahirkannya. Pengetahuan tentang berbagai konvensi yang hidup dalam masyarakat yang
melatarbelakangi penciptaannya mempunyai peran yang besar bagi upaya memahami kandungan
isinya. Dalam perkembangannya, karya-karya tulisan masa lampau yang didekati dengan filologi
berupa karya-karya yang mempunyai nilai yang tinggi di dalam masyarakat. Informasi mengenai
masa lampau suatu masyarakat, yang meliputi berbagai segi kehidupan dapat diketahui oleh
masyarakat masa kini melalui peninggalan-peninggalan, baik yang berupa benda-benda budaya
maupun karya-karya tulisan.
Filologi sangat berhubungan dengan kodikologi dalam usaha penyelamatan dan pelestarian naskah
kuno. Jika kodikologi mengkaji naskah kuno dari segi fisiknya, maka filologi mengkaji naskah kuno
mengenai isi kandungan naskah kuno tersebut. Selanjutnya, filologi dan kodikologi berhubungan
pula dengan paleografi. Oleh karena itu, pengkajian terhadap paleografi dan kodikologi tidak bisa
dipisahkan dengan filologi.

1.2 Permasalahan

Para penulis naskah melahirkan sebuah karya yang nantinya akan bermanfaat bagi pembacanya.
Mereka menuangkan ide mereka, kemudian menulis dengan tinta yang pada umumnya
menggunakan tinta hitam dan merah untuk mengungkapkan kata-kata atau hal-hal yang penting,
bahkan kadang mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk menulis dengan
menggunakan tinta emas sekalipun, demi untuk menarik minat pembacanya. Penulisan teks itu
menggunakan macam-macam tulisan kuno. Ilmu tentang macam-macam tulisan kuno disebut
paleografi.

Ketika mesin cetak belum ditemukan, transmisi teks dilakukan secara manual. Artinya, kalau ada
yang ingin memiliki buku, maka dia harus menyalinnya sendiri atau meminta orang lain untuk
melakukannya. Kita mengenal ada beberapa orang yang persis bekerja sebagai penyalin buku dan
menjadikannya sebagai sumber penghidupan. Tetapi bisa jadi, karena jarangnya orang yang bisa
menulis, ada saat-saat di mana para penyalin menjadi sangat sibuk sehingga terbuka untuk
melakukan kesalahan. Hisyam bisa dengan mudah tertulis Hasyim atau, mungkin karena penulisnya
ngantuk, Dam b. Rabi’ah menjadi Adam b. Rabi’ah dan Aqram menjadi Arqam. Hasil peninggalan
seperti inilah yang dianggap sebagai bahan tulisan tangan teks-teks klasik yang dinamakan dengan
kodikologi.

Faktor-faktor lain yang bisa membuat kesalahan dalam kegiatan penyalinan teks semakin sering
dilakukan. Pertama, teknologi yang sangat terbatas. Tidak ada komputer, listrik, telepon, dan AC
pada masa itu. Menyalin buku menjadi perkerjaan yang bisa jadi tidak nyaman. Kualitas penerangan
yang kurang membuat mata cepat lelah. Iklim yang demikian panas membatasi orang untuk bekerja
maksimal. Kedua, stabilitas sosial politik pada masa itu tidak sebaik seperti sekarang. Para penyalin
ikut menjadi korban peperangan. Paling tidak konsentrasi mereka terganggu. Ketiga, faktor
perkembangan bahasa. Bahasa Arab pada masa itu adalah bahasa Arab yang masih dalam proses
perkembangan. Gigi dan titik belum dipakai secara konsisten sehingga sulit dibedakan
mana ba, ta dan tsa, misalnya. Perbedaan baca di antara para penyalin menjadi hal yang tak
terelakkan. Teks yang dihasilkan menjadi bebeda antara satu dengan yang lainnya. Keempat, faktor
idiologis juga berperan penting dalam perubahan teks. Misalnya terjadi perubahan tanggal lahir
pada seorang tokoh yang diceritakan. Hal itu bisa terjadi karena kelalaian penulis atau penyalin teks,
tetapi bisa jadi juga lebih dari itu. Sebuah teks harus ditempatkan dalam konteks besar yang
melahirkannya. Bagi seorang filolog adalah penting untuk terlebih dahulu mengidentifikasi teks
dengan kelompok-kelompok keberagamaan yang ada.

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam makalah ini ialah bagaimanakah penerapan
paleografi dan kodikologi di nusantara? Rumusan masalah tersebut bisa penulis uraikan sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah penerapan paleografi di Nusantara?

b. Bagaimanakah penerapan paleografi di Nusantara?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan pembuatan makalah ini ialah untuk mendeskripsikan penerapan paleografi dan kodikologi di
nusantara

BAB II PALEOGRAFI DAN KODIKOLOGI SERTA PENERAPANNYA

2.1 Pengertian

Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’. Sri Wulan Rujiati
Mulyadi mengatakan kata ’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan
pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata
‘codex’ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk
naskah. Kodikologi merupakan ilmu yang digunakan untuk melakukan preservasi fisik
naskah. Kodikologi mempelajari seluk-beluk atau semua aspek naskah, antara lain bahan umur,
tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah.

Dain mengatakan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan mempelajari
apa yang tertulis di dalam naskah. Dain juga menegaskan walaupun kata kodikologi itu baru, ilmu
kodikologinya sendiri bukanlah hal yang baru. Selanjutnya Dain juga mengatakan bahwa tugas dan
“daerah” kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai
tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog,
perdagangan naskah, dan penggunaan-penggunaan naskah itu.

Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang
diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya. Naskah adalah
semua dokumen tertulis yang ditulis tangan, dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya
dengan cara lain. Kata ‘naskah’ diambil dari bahasa Arab nuskhatun yang berarti sebuah potongan
kertas.

Naskah diartikan sebagai karangan dengan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan
pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Baroroh, 1994: 55). Tempat di
mana naskah-naskah/ manuskrip disalin oleh para juru tulis disebut skriptorium atau skriptoria
(bentuk jamak). Sebelum ditemukan mesin cetak, tempat di mana buku-buku diproduksi juga
disebut dengan scriptorium.

Naskah Melayu, menurut Mamat (1985: 5) adalah apa-apa tulisan Jawi berbahasa Melayu yang
ditulis dengan tangan di atas bahan-bahan seperti kertas, kulit, lontar, buluh, gading, kayu, kain,
dengan isi kandungan dan jangka waktu yang tidak terbatas. Naskah bertulis dalam bahasa Aceh dan
Minangkabau serta naskah yang ditulis dalam bahasa Arab yang ditulis oleh orang Melayu dianggap
sebagai naskah Melayu.
Data yang terdiri dari karakter-karakter yang menyatakan kata-kata atau lambang-lambang untuk
berkomunikasi oleh manusia dalam bentuk tulisan disebut teks (Sumber: www.total.or.id).
Tekstologi ialah ilmu yang mempelajari seluk beluk dalam teks meliputi meneliti penjelmaan dan
penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya. Dengan menyelidiki sejarah
teks suatu karya. (Sumber: www.wikipedia.org/).

Paleografi adalah ilmu macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini mutlak untuk penelitian tulisan kuno
atas batu, logam, atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai norma-normanya sebagai karya sastra.
Pertama, menjuabarkan tulisan kuna sangat sulit baca. Kedua, menempatkan berbagai peninggalan
tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisannya dan atas dasar itu menentukan waktu dan
tempat terjadinya tulisan tertentu. Hal ini sangat penting untuk mempelajari tulisan tangan karya
sastra yang biasanya tidak menyebutkan bilamana dan di mana atau suatu karya lain, seperti
interpungsi, panjang jarak berbaris-baris. Bahkan naskah, urutan, tinta dan sebagainya.

Untuk memperoleh gambaran tentang macam-macam tulisan kuna dan perkembangannya di


Indonesia, di bawah ini dipaparkan jenis-jenis tulisan pada beberapa prasasti yang tersebar di
Nusantara yang gayut dengan fungsinya sebagai penunjang penelitian naskah.

1. Tulisan palawa untuk bahasa sanksekerta pada abad ke-4, dipakai di daerah-daerah luar
kerajaan Palalawa yang mendapat pengaruhnya, termasuk kepulauan Indonesia. Huruf palalawa di
nusantara dapat dibedakan atas dua macam, palalawa awal (early) dan Balawa lanjut (later)

2. Tulisan Pra-Nagari yang asalnya dari India Utara dipakai untuk menulis prasasti Budha dalam
bahasa Sanksekerta di Jawa Tengah pada abad ke-8 (De Casparis, 1995: 176),

3. Tulisan kawi atau Jawa Kuna yang merupakan kelanjutan tulisan Palawa diketahui kira-kira
pertengahan abad ke-8 pada prasaasti Dinoyo di Jawa Timur (760) yang kemudian berkembang lebih
lanjut sampai abad ke-13 sebagai tulisan pada prasasti di jawa Timur, Bali, dan Sunda.

4. Tulisan Jawa periode Majapahit (Jawa Tengah) dari ke-13 sampai abad abad ke-15. Sementara
itu, sampai akhir abad ke-16 atau kemudiann tulisan di Jawa telah berkembang bentuk tulisan Jawa
modern yang khas.

5. Tulisan Melayu digunakan di beberapa bagian Sumatra yaitu di daerah Batak, Bengkulu, Kerinci,
dan Lampung dari zaman Raja Adityawarman

6. Tulisan Makasar dan bugis di Sulawesi Selatan

7. Tulisan Bima di Sulawesi Timur

8. Huruf Arab untuk bahasa Melayu Lama terdapat pada prasasti batu di Terengganu pada abad
ke-14

2.2 Sejarah Paleografi dan Kodikologi di Nusantara

Istilah kodikologi (codicologie) diusulkan oleh seorang ahli bahasa Yunani, Alphonse Dain, dalam
kuliah-kuliahnya di Ecole Normale Seprieure, Paris, pada bulan Februari 1944. Akan tetapi istilah ini
baru terkenal pada tahun 1949 ketika karyanya, ‘Les Manuscrits’ diterbitkan pertama kali pada
tahun tersebut. Dain sendiri mengatakan bahwa kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah
dan bukan mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Dain juga menegaskan walaupun kata
kodikologi itu baru, ilmu kodikologinya sendiri bukanlah hal yang baru (Hermans dan Huisman).

Paleografi di bumi Melayu didahului oleh penggunaan aksara Jawi. penggunaan aksara Jawi terus
berkembang pesat selama berabad-abad untuk berbagai bidang kehidupan yang menggunakan
tulisan, tak semata-mata dalam bidang kesusastraan. Pada 1850 Raja Ali Haji membakukan aturan
ejaan aksara Jawi dalam kitabnya Bustanulkatibin, di samping berisi tata-bahasa bahasa Melayu.
Dalam masyarakat Melayu-Indonesia pemakaian ejaan Jawi baru terhenti— utamanya dalam naskah
cetakan—sampai awal abad ke-20. Peranannya digantikan oleh ejaan yang menggunakan aksara
Latin. Penulisan bahasa Melayu dengan aksara Latin dimulai pada tahun 1901 yaitu ketika Ch. A. van
Ophuysen dibantu oleh Engku Nawawi gl. St. Makmur dan M. Taib St. Ibrahim menerbitkan Kitab
Logat Melajoe, yang merupakan pedoman ejaan Latin resmi pertama untuk bahasa Melayu di
Indonesia. Untuk kasus di Sumatera Barat (baca: Minangkabau), banyak ditemukan naskah yang
ditulis dengan menggunakan aksara Jawi dan sebagian kecilnya dengan aksara Latin dan Arab. Hal ini
membedakan dengan skriptorium di wilayah lain yang banyak menggunakan aksara daerah. Hal ini
dikarenakan Minangkabau tidak mempunyai aksara. Meskipun ada pendapat yang menyatakan
bahwa ada kemungkinan aksara-aksara Sumatera berasal dari Sumatera bagian Tengah dan
kemungkinan Minangkabau. Hal ini disebabkan karena aksara yang terdapat di Sumatera
mempunyai model dasar yang sama. Akan tetapi, ke Utara memperlihatkan pengembangan yang
berbeda dengan pengembangan di bagian Selatan. Masing-masing, baik di Utara dan di Selatan
memperlihatkan pengembangan dengan model yang sama.

Akan tetapi, anehnya tidak ada peninggalan bertulis yang menggunakan “aksara Minangkabau”. Hal
ini diperkirakan bahwa peninggalan itu mungkin pernah ada, tetapi sudah musnah karena waktu dan
proses alam. Ada juga kemungkinan bahwa kemusnahan tersebut disebabkan dengan adanya
gerakan pemurnian Islam yang terjadi di Minangkabau. Segala sesuatu yang dipandang tidak Islam
dihancurkan, termasuk tulisan itu. Tentang persoalan ini, Kozok (1999: 65-66) mengungkapkan
seperti berikut ini.

“Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara Batak adalah aksara Kerinci,
Rencong, dan Lampung ... Salah satu budaya asing adalah masuknya agama Islam. Serentak dengan
penyebaran agama Islam, bersebar pula tulisan Arab yang di Melayu dikenal dengan tulisan Jawi.
Aksara “Arab-Gundul” tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatera asli yang kemudian
hilang sama sekali. ... Besar kemungkinan aksara Minangkabau dan Melayu juga pernah ada tetapi
kemudian digantikan oleh tulisan Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas.”

Untuk aksara Jawi sendiri, dari beberapa catatan sarjana, seperti Suryadi (2004: 4) menyebutkan
bahwa aksara Jawi dikenal luas di Minangkabau pada abad ke-18, dan kemudian disusul dengan
pengenalan aksara Latin. Dengan dikenalnya kedua aksara tersebut, maka khasanah sastra lisan
Minangkabau banyak dituliskan. Penulisan dengan aksara Jawi di Minangkabau semakin berkurang
pada akhir abad ke-20. Hal ini dimungkinkan karena tulisan tersebut tidak lagi dikenali oleh banyak
orang. Khalayak luas lebih mengerti dan paham dengan aksara Latin. Kitab-kitab itu tidak dapat
dielakkan mempengaruhi pandangan dunia (world view) urang siak tentang Islam, baik tentang
tarekat, pandangan sufi, maupun fiqih. Keberadaan Kitab Kuning seperti kitab-kitab itu merupakan
sesuatu yang istimewa di kalangan tarekat Syattariyah karena ia adalah sumber rujukan, di dalamnya
ada pedoman untuk beribadah dan sumber pengetahuan agama. Biasanya, karena dianggap penting,
bagi urang siak yang ingin memiliki kitab tersebut, maka mereka akan menyalin kitab-kitab itu.
Kondisi di atas sangat mempengaruhi terhadap tradisi pernaskahan di kalangan ulama, khususnya
ulama-ulama Melayu baik di Minangkabau maupun di Riau. Tradisi menulis dan menyalin naskah
(kitab) tampak dengan banyaknya khasana naskah Islam yang ditemukan.

2.3 Tokoh-tokoh Paleografi dan Kodikologi

Penelusuran dan penelitian terhadap scriptorium dan naskah-naskah Melayu telah dilakukan oleh
beberapa sarjana, khususnya yang berkenaan dengan kajian kodikologi. Kajian kodikologi terhadap
naskah-naskah Melayu dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama, kajian kodikologi terhadap
naskah-naskah Melayu yang dikoleksi di berbagai perpustakaan luar dan dalam negeri. Kedua, kajian
kodikologi naskah-naskah yang dikoleksi secara pribadi di tangan masyarakat pemiliknya. Kedua
kelompok penelitian tersebut sebagian besar hasilnya adalah katalogus naskah dan sebagian kecil
merupakan daftar naskah dari hasil inventarisasi saja.

Hasil kajian yang termasuk pada kelompok pertama, misalnya Ph. S. van Ronkel yang menyusun dua
katalogus yang diterbitkan pada 1909 dan 1946. Kedua katalogus itu berjudul Catalogus der
Maleische Hanscriften in het Musem van het Bataviaasche Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen dan Supplement Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handscriften in de
Leidsche Universiteits-Bibliotheek.

Katalogus yang ke-1 tersebut merupakan katalogus naskah Melayu yang pertama. Katalogus ini
merupakan hasil kajian kodikologi naskah-naskah Melayu yang dikoleksi di Bataviaasche
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Jakarta, yang sekarang menjadi salah satu koleksi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Naskah-naskah Melayu koleksi perpustakaan Universiti Malaya, Kuala Lumpur pernah disusun oleh
Joseph H Howard pada 1966. Pada saat itu koleksi naskah Melayu di perpustakaan Universiti Malaya
belum begitu banyak. Adapun judul katalogus yang ia susun adalah Malay Manuscripts; a
bibliography guide.

Sutaarga dkk. (1972) menyusun koleksi naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia terutama
koleksi naskah-naskah Melayu. Katalogus ini berjudul Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum
Pusat Jakarta. Penyusunan katalogus ini menggunakan bahan-bahan yang dipakai van Ronkel
ditambah dengan naskah-naskah yang tercatat dalam Jaarboek 1933 dan 1941 susunan
Poerbatjaraka dkk. dan naskah- naskah yang sebelumnya belum dicatat oleh von Ronkel. Katalogus
yang disusun M.C. Ricklefs dan P Voorhoeve (1977) berjudul Indonesian Manuscripts in Great Britain:
A Catalogue of Manuscript in Indonesian Languages in British Public Collections. Katalogus ini
memuat informasi naskah-naskah Melayu dan naskah-naskah lain dari berbagai wilayah Indonesia,
seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa, Kalimantan, Lampung, Madura, Makassar, Melayu, Sunda dan
Minangkabau.

Katalogus yang disusun Juynboll pada 1899 berjudul Catalogus van de Malischeen Sundaneesche
Handscriften der Leidsche Universiteits-Bibliotheek. Katalogus ini memuat informasi naskah-naskah
Melayu dan Sunda yang tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Naskah-naskah melayu yang
dimaksud dalam katalogus itu adalah naskah-naskah dengan bahasa Melayu yang asal naskahnya
dari Jawa Barat.

Sri Wulan Rujiati Mulyadi (1990) mengkaji naskah-naskah koleksi Museum Samparaja, Bima dan
ditambah sebagian naskah-naskah koleksi masyarakat Bima. Pengakajian yang ia lakukan dengan
kajian kodikologi untuk penyusunan katalogus. Adapun katalogus yang ia buat berjudul Katalogus
Naskah Melayu Bima. E.P. Wierenga (1998) melakukan penelitian naskah-naskah Melayu yang
dikoleksi Perpustakaan Universitas Leiden. Selain melakukan pendeskripsian fisik naskah, ia juga
menelusuri sejarah pemerolehan naskah-naskah hingga tahun 1896. Katalogus yang ia susun
berjudul Catalogue of Malay an Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University an
Other Collections in the Netherlands. Katalogus ini tampaknya juga didasarkan kepada karya Ph. S
van Ronkel. Hasil kajian yang termasuk pada kelompok kedua, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Mu’jizah dan Maria Indra Rukmi (1998). Penelitian yang selanjutnya diterbitkan dengan judul
Penelusuran Penyalinan Naskah-naskah Riau Abad XIX

2.4 Paleografi dan Kodikologi sebagai Khasanah Budaya

Naskah Melayu juga merupakan khasanah budaya yang penting baik secara akademis maupun sosial
budaya. Secara akademis melalui naskah-naskah itu dapat diungkap nilai-nilai yang relevan dengan
kehidupan sekarang. Secara sosial budaya, naskah-naskah itu merupakan identitas, kebanggaan dan
warisan yang berharga. Naskah merupakan hasil kegiatan intelektual dalam masyarakat tradisional
(local genius). Naskah merupakan warisan budaya yang berisi beraneka ragam teks karya cipta
masyarakat lama yang dapat digunakan untuk penelitian keagamaan, falsafah, kesejarahan,
kesusastraan, kebahasaan, persoalan adat-istiadat, perundang-undangan, dan kajian-kajian dengan
sudut pandang yang lain (Yusuf [Peny.], 2006: 3).

Adanya praktik jual beli naskah Melayu di Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau merupakan
ancaman bagi keberadaan naskah yang menyebabkan banyak naskah yang ke luar dari
“kampungnya”. Praktik jual beli tersebut dilakukan oleh pewaris naskah kuno dengan beberapa
oknum dari Malaysia dan luar negeri lainnya. Mereka menawarnya hingga jutaan rupiah untuk setiap
naskah. Ahli waris naskah kuno yang taraf ekonominya kurang menguntungkan itu pun tergiur.
Banyak faktor yang menjadikan daya tarik beberapa oknum dari Malaysia berburu naskah di tiga
daerah itu. Di samping faktor geografis yang berdekatan, di wilayah ini juga terdapat ratusan naskah
yang masih tersebar di tangan masyarakatnya. Naskah-naskah itu mengandung teks yang beragam,
seperti teks kesusastraan, kebudayaan, kesejarahan, dan keislaman dan lain-lain (Pramono, 2008a).
Bagaimanapun juga, manuskrip-manuskrip kuno merupakan kekayaan budaya bangsa yang sangat
penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan (Robson, 1994:4).
2.5 Tempat-tempat Transmisi Teks

Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau merupakan wilayah penting tempat
sumber naskah Melayu di Indonesia. Di tiga wilayah ini banyak ditemukan skriptorium sebagai pusat
kecendekiaan orang-orang Melayu ratusan tahun yang lalu. Dalam konteks umur naskah dan sikap
pemiliknya, keberadaan naskah-naskah kuno itu menghadapi masalah yang serius. Masalah yang
serius dalam hal pernaskahan di Indonesia pada umumnya dan di Sumatera Barat (minus Mentawai),
Riau dan Kepulauan Riau pada khususnya adalah masih banyaknya naskah-naskah yang tersimpan di
kalangan masyarakat sebagai milik pribadi. Menjadi masalah karena umumnya naskah-naskah yang
kebanyakan ditulis pada sekitar abad XVII, XVIII dan XIX tersebut terbuat dari kertas yang secara fisik
tidak akan tahan lama. Sementara pemiliknya sendiri umumnya hanya mengandalkan pengetahuan
tradisional untuk merawatnya, sehingga seringkali naskah yang dimiliknya itu saling bertumpuk
dengan benda lain, sehingga kertasnya menjadi lapuk, robek, dan akhirnya hilang pula pengetahuan
yang tersimpan di dalamnya.

Sebuah Kajian Kodikologi ini mencatat 39 naskah di Pulau Penyengat, tepatnya di Yayasan Indra
Sakti. Masih tersisa puluhan naskah di pulau tersebut yang belum diteliti. Di Pulau Penyengat itu
terdapat sebuah perpustakaan yang menyimpan naskah-naskah kuno Melayu karya masyarakat
Melayu Kepulauan Riau zaman dulu berbahasa Melayu dengan tulisan Arab-Melayu. Di
perpustakaan itu terdapat naskah Gurindam Dua Belas yang terkenal karya Raja Ali Haji yang terdiri
dari dua belas pasal. Naskah-naskah kuno di Pulau Penyengat itu sudah ada dalam bentuk microfilm
yang disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Namun, setelah ditelusuri
lagivia internet ternyata naskah-naskah tersebut sudah didigitalkan oleh Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia tahun 2007.

Beberapa penelitian tentang naskah-naskah Melayu di Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan
Kepulauan Riau pernah dilakukan oleh Pramono (2008a, 2008b, 2007 dan 2006) dan Irina Katkova &
Pramono (2008). Dari hasil penelitianya yang berjudul “Fenomena Jual Beli Naskah dan Upaya
Penyelamatan Naskah Melayu- Minangkabau”, Pramono (2008a) mengemukakan adanya praktik jual
beli naskah Melayu di Sumatera Barat dan Riau. Menurutnya, praktik jual beli naskah mengakibatkan
ratusan naskah Melayu ke luar dari tempat asalnya.

Hasil penelitian Pramono (2008b) yang berjudul “Penulisan Naskah-Naskah Tarekat Naqsabandiyah
di Surau Ongga, Kelurahan Padang Besi, Kecamatan Lubuk Kilangan Padang” menemukan 8 naskah.
Penelitian ini merupakan kajian tekstual dan kontekstual dari naskah.

Penelitian yang lain seperti penelitian yang berjudul “Surau dan Tradisi Pernaskahan di
Minangkabau: Studi Atas Dinamika Tradisi Pernaskahan di Surau- Surau di Padang dan Padang
Pariaman”, Pramono (2007) melakukan telaah filologis dan kodikologis terhadap 50 naskah.
Penelitian ini juga mengungkap faktor-faktor yang melatarbelakangi penulisan naskah di surau-surau
di Padang dan Padang Pariaman, Sumatera Barat. Penelitian yang senada juga dilakukan Pramono
(2006) dengan judul “Tradisi Penulisan dan Penyalinan Naskah-Naskah Islam Minangkabau: Kajian
Atas Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib dan Karya-Karyanya”. Naskah yang dikaji dalam
penelitian ini sebanyak 22 naskah.

Penelitian Irina Katkova & Pramono (2008) yang “Endangered Manuscripts of Western Sumatra:
Collections of Sufi Brotherhoods” berhasil melakukan inventarisasi naskah Sumatera Barat dari
wilayah Pasaman dan Agam sebanyak 90 naskah. Naskah-naskah ini dideskripsikan dan dan dibuat
digitalnya (foto naskah).

Selain tempat-tempat yang pernah dikunjungi dan dijelaskan oleh para peneliti di atas, ternyata
masih banyak naskah-naskah Melayu yang masih berserakan yang dimiliki masyarakat di Sumatera
Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau. Hasil penelusuran dan inventarisasi yang
dilakukan di tiga wilayah itu berhasil menemukan ratusan naskah dan berhasil mendeskripsikan
sebanyak 173 naskah kuno Melayu. Dari jumlah tersebut, 151 naskah kuno di antaranya ditemukan
di Sumatera Barat yang keberadaannya tersebar pada daerah berikut: (1) Kota Padang: Batang
Kabung dan Lubuk Kilangan; (2) Kabupaten Dharmasraya: Koto Padang, Pisang Rebus, Kerajaan Pulau
Punjung, Kerajaan Padang Lawas, Pulai dan Pisang Rebus; (3) Kabupaten Pesisir Selatan: Bayang dan
Rumah Gadang Mandeh Rubiah; (4) Kabupaten Solok Selatan: Muara Labuh dan Bidar Alam; (5)
Kabupaten Padang Pariaman: Surau Gadang Ampalu, di Nagari VII Koto, Mesjid Raya Tandikek,
Pakandangan, Nagari Pauhkamba, dan Sungai Limau; (6) Kabupaten Agam: Matur dan Surau
Darussalam, Sungai Puar; (7) Kabupaten Lima Puluh Kota: Surau Tuo Taram, Surau Suluk, Sarilamak
dan Surau Syaikh Abdurrahman, Batuhampar; (8) Kabupaten Pasaman Barat: Surau Al-Amin Kinali;
dan (9) Kabupaten Pasaman Timur: Surau Syaikh H. Muhammad Said Bonjol, Surau Tinggi Kumpulan
dan Guskurni, Bonjol.

Adapun sisanya, yakni sebanyak 22 naskah kuno ditemukan di Museum Nila Utama, Pekanbaru yang
berasal dari beberapa daerah di Riau dan Kepulauan Riau, sebagai berikut: (1) Kabupaten Kampar:
Kuok, Siak dan Petapahan; (2) Kabupaten Inhil: Kuala Enok; dan (3) Kabupaten Siak Sri Indrapura:
Siak; dan Pulau Penyengat, Kabupaten Tanjung Pinang.

Semua naskah yang ditemukan di tiga daerah di atas beralaskan kertas dan ditulis dengan Aksara
Jawi dan Arab. Di dunia Melayu, tidak diketahui kapan pertama kali penggunaan aksara Jawi. Akan
tetapi, jelas aksara ini tercipta dan digunakan setelah terjadi pertemuan dunia Melayu dengan
agama Islam. Paling tidak aksara Jawi sudah dipergunakan pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-
15, yang disebut Melayu apabila memiliki tiga ciri: berbahasa Melayu, berbudaya Melayu, dan
beragama Islam.

Tempat-tempat naskah yang ditemukan semuanya memiliki kaitan dengan tarekat, baik tarekat
Syattariyah maupun Naqsabandiyah. Naskah-naskah yang berkaitan dengan tarekat Syattariyah
seperti naskah-naskah yang ditemukan di Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten
Dharmasraya dan Kabupaten Pesisir Selatan.

Naskah-naskah kuno Melayu di Sumatera Barat (minus Mentawai), Riau dan Kepulauan Riau masih
banyak ‘berserakan’ di tangan masyarakatnya. Naskah-naskah kuno dengan keragaman kandungan
isinya seperti keagamaan, kesejarahan, kesusastraan, pengobatan tradisional, adat-istiadat, folklor
dan rajah serta silsilah– yang masih dikoleksi oleh masyarakat di tiga wilayah itu sudah banyak yang
hilang dan rusak. Banyak faktor yang menyebabkan kerusakan itu terjadi, terutama faktor sikap
pemilik naskah, umur naskah, cuaca dan bencana alam. Faktor lain yang juga sangat mengancam
keberadaan naskah Melayu itu adalah adanya praktik jual beli naskah yang dilakukan oleh pewaris
naskah dengan beberapa oknum dari Malaysia dan luar negeri lainnya.

Sebanyak 173 naskah Melayu yang ditemukan di Sumatera Barat, Riau dan Kepulan Riau sebagian
besar menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), dan perguruan tinggi Islam lainnya, tampaknya harus mengambil porsi yang
lebih besar, karena UIN/IAIN memiliki SDM yang kuat dalam bidang keislaman, termasuk di
dalamnya penguasaan atas bahasa yang banyak digunakan dalam naskah, yakni bahasa Arab.

2.6 Penerapan Paleografi dan Kodikologi

Analisis kodikologi ini, sesuai dengan tujuan, yaitu penyusunan daftar katalog dan juga memberi
perhatian pada fisik naskah. Karena dalam katalog, terdapat deskripsi fisik naskah selain informasi di
mana naskah itu berada. Pendeskripsian ini berguna untuk membantu para peneliti mengetahui
ketersediaan naskah itu sehingga memudahkan penelitian. Pendeskripsian fisik ini dapat berupa
judul dan pengarang naskah, tahun dan tempat naskah dibuat, jumlah halaman, latar belakang
penulis, dan lain-lain. Analisis kodikologi juga berkembang juga pada ada atau tidaknya illuminasi
dan ilustrasi, jumlah kuras naskah, bentuk jilidannya, sejauh mana kerusakan naskah (robek,
terbakar, terpotong, rusak karena pernah terkena cairan, dimakan binatang, berjamur, hancur atau
patah, dan lain-lain), pendeknya segala hal yang bisa diketahui mengenai naskah itu.

Hal awal yang biasanya dilakukan dalam analisis kodikologi adalah menyusuri sejarah naskah.
Sejarah naskah biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman awal atau akhir yang ditulis oleh
pemilik atau penyimpan naskah itu. Untuk fisik naskahnya, yang dilihat adalah panjang, lebar,
ketebalan naskah keseluruhan, panjang, lebar, dan jumlah halaman yang digunakan untuk menulis,
dan bahan atau media naskah.

Setelah hal-hal di atas dilakukan, preservasi masuk ke bagian dalam naskah, yaitu bagian naskah
yang ditulisi atau teks. Di sini akan dilihat jenis huruf dan bahasa yang digunakan, ada atau tidaknya
rubrikasi atau penanda awal dan akhir bagian dalam tulisan (biasanya berupa tulisan yang diwarnai
berbeda dengan tulisan isi), ada atau tidaknya catchword/ kata pengait yang biasanya digunakan
untuk menandai halaman naskah, bentuk tulisan naskah, apakah seperti penulisan cerita pada
umumnya, ataukah berbentuk kolom-kolom hingga dalam satu halaman bisa terdapat dua atau lebih
kolom tulisan (seperti syair).

Selanjutnya akan dicek garis bantuan yang digunakan untuk mengatur tulisan, cap kertas
(watermark dan countermark) yang menandai perusahaan penghasil kertas alas, ada atau tidaknya
iluminasi (hiasan di pinggir naskah) dan ilustrasi (bagian yang berisikan gambar keterangan yang
menjelaskan sesuatu dalam naskah). Tidak lupa pula mencatat kerusakan-kerusakan yang ada.

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan

Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang
diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya. Paleografi adalah
ilmu macam-macam tulisan kuna. Ilmu ini mutlak untuk penelitian tulisan kuno atas batu, logam,
atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai norma-normanya sebagai karya sastra. Pertama,
menjuabarkan tulisan kuna sangat sulit baca. Kedua, menempatkan berbagai peninggalan tertulis
dalam rangka perkembangan umum tulisannya dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat
terjadinya tulisan tertentu. Hal ini sangat penting untuk mempelajari tulisan tangan karya sastra
yang biasanya tidak menyebutkan bilamana dan di mana atau suatu karya lain, seperti interpungsi,
panjang jarak berbaris-baris. Bahkan naskah, urutan, tinta dan sebagainya. Analisis kodikologi
menyusuri sejarah naskah. Sejarah naskah biasanya didapat dari catatan-catatan di halaman awal
atau akhir yang ditulis oleh pemilik atau penyimpan naskah itu. Untuk fisik naskahnya, yang dilihat
adalah panjang, lebar, ketebalan naskah keseluruhan, panjang, dan jumlah halaman yang digunakan
untuk menulis, dan bahan atau media naskah.
Anonim. 2011. Perkembangan Aksara di Nusantara. Dalam
(https://hurahura.wordpress.com/2011/12/28/perkembangan-aksara-di-nusantara/) diakses pada
tanggal 19 Oktober 2019

. Pendahuluan

Penelitian para ahli antropologi fisik menyimpulkan manusia purba di Indonesia pada zaman
prasejarah, seperti Pithecanthropus, sudah mempunyai kemampuan bertutur (Jacob, 1980:81-86).
Namun, sejak kapankah Bangsa Indonesia mulai mengenal aksara, dan bagaimana proses terjadinya
keanekaragaman bentuk aksara di Nusantara? Apakah perkembangan kemampuan bertutur sejajar
dengan perkembangan kemampuan beraksara? Tentu tidak! Dengan demikian manusia purba yang
hidup pada Zaman Prasejarah di Indonesia dapat dianggap telah mampu berkomunikasi dengan cara
bertutur (“berbahasa lisan”). Kemampuan beraksara ternyata baru kemudian dimiliki oleh bangsa-
bangsa di Nusantara pada awal tarikh Masehi.

Pada awal Masehi di kawasan Asia Tenggara sedang berlangsung proses perubahan sosial-budaya.
Sejak awal Masehi di wilayah ini telah terjadi perkembangan baru yang diawali oleh adanya
hubungan pelayaran dan perdagangan antara India dan Cina. Beberapa daerah di sepanjang jalur ini
terlibat pula dalam kontak budaya melalui akulturasi dengan para perdagang dan pelayar, khususnya
dari India. Kontak budaya inilah yang menyebabkan terjadi penyerapan unsur-unsur Kebudayaan
India dan menerapkannya dalam kehidupan masyarakat setempat. Proses ini pada akhirnya
menyebabkan terbentuknya perubahan tatanan kehidupan sosial-budaya yang berlatarkan
Kebudayaan India, khususnya dalam bentuk institusi kerajaan, seperti Kerajaan Kutai di Kalimantan
Timur dan Kerajaan Tarumanagara di Jawa bagian barat (Djafar, 2010:28). Dengan latar budaya
seperti inilah akhirnya masyarakat setempat mengalami perkembangan dalam kehidupan sosial-
budayanya, a.l. seperti berkembangnya sistem religi baru yang bercorak Hindu dan Buddha, dan
mulai dikenalnya sistem aksara dan bahasa khususnya Aksara Palawa dan Bahasa Sanskerta.
Kehadiran Aksara Palawa dalam kehidupan budaya Bangsa Indonesia terjadi sejak awal abad ke-5.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada masa itulah munculnya tradisi keberaksaraan dalam
kehidupan kebudayaan Bangsa Indonesia.

Hal yang hampir serupa juga terjadi pada masa awal perkembangan Islam di Nusantara. Di beberapa
kota pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan berdatangan para saudagar muslim dari berbagai
tempat dan terjadilah pula proses kontak budaya yang pada akhirnya terjadilah berbagai proses
Islamisasi. Tidak jarang pula bersama para saudagar dan pelayar itu ikut serta pula para mubalig
penyiar Agama Islam ke berbagai pelosok di Indonesia. Aksara dan Bahasa Arab yang merupakan
bahasa Alquran mulai pula tersebar dan teradaptasi dalam berbagai segi kehidupan sosial-budaya
dan menumbuhkan tradisi bertulis baru dengan menggunakan Aksara dan Bahasa Arab pada masa
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Berbagai tinggalan budaya dan tradisi-tradisi
keislaman terekam dalam tradisi bertulisnya.

Demikian pula ketika para pelayar dan pedagang dari Cina dan Eropa berdatangan di Indonesia
untuk berniaga telah menyebabkan pula timbulnya pengaruh-pengaruh kultural dalam berbagai
aspek kehidupan sosial-budaya. Berbagai peninggalan keberaksaraan yang bercorak Cina dan Eropa
khususnya Belanda ditemukan di berbagai tempat di Indonesia. Peninggalan-peninggalan tersebut di
antaranya berupa prasasti dan pertulisan lainnya yang terdapat pada nisan-nisan kubur, berbagai
bangunan baik profan maupun bangunan religi, dan pada berbagai artefak lainnya [1].

2. Perkembangan Aksara pada Masa Hindu Buddha

Pada tahun 1975 J.G. de Casparis menerbitkan hasil telaahnya mengenai perkembangan paleografi
dari prasasti-prasasti masa Hindu-Buddha di Indonesia, dengan judul Indonesian Palaeography: A
History of Writing in Indonesia from the Beginnings to c. A.D. 1500 [2]. Di dalam buku tersebut De
Casparis membagi perkembangan paleografi itu dalam lima bagian sebagai berikut.

I. Aksara-aksara di Indonesia sebelum pertengahan abad kedelapan.


A. Aksara Palawa Awal (Early Pallava script).
B. Aksara Palawa Akhir (Later Pallava script) [3].

II. Aksara Kawi Awal (Early Kawi Script), c. 750-925.


A. Fase Arkaik (Archaic phase).
B. Bentuk Standar Kawi Awal (Standard form of Early Kawi).
C. Perkembangan aksara Nagari Awal (Early Nāgarī ).

III. Aksara Kawi Muda/Akhir (Later Kawi script), c. 925-1250.

IV. Aksara-aksara Jawa dan daerah pada periode Majapahit (c. 1250-1450)

V. Aksara-aksara di Indonesia dari pertengahan abad lima belas – tulisan-tulisan asing. Meliputi: (1)
prasasti-prasasti dari paruh kedua dari abad kelimabelas, (2) prasasti-prasasti dari Jawa Tengah, (3)
Aksara Tamil, (4) aksara Arab.

2.1 Aksara Palawa

Ketika awal berdirinya Kerajaan Kutai dan Tarumanagara, kedua kerajaan tersebut belum memiliki
sistem aksara, khususnya aksara silabik. Masyarakat di kedua kerajaan tersebut semula adalah
masyarakat prasejarah yang masih belum memengenal tradisi bertulis. Oleh karena itulah maka
kedua raja tersebut masih “meminjam” Aksara Palawa dan Bahasa Sanskerta untuk untuk keperluan
penulisan prasasti-prasastinya. Aksara Palawa pada masa Kerajaan Kutai dan Tarumangara ini
termasuk dalam kelompok Aksara Palawa Awal (Early Pallava script).

Barulah pada beberapa waktu kemudian, yaitu pada abad ke-6 hingga abad ke-8 [4], telah
berkembang pula bentuk Aksara Palawa yang sudah diadaptasi dan mengalami perubahan sebagai
kreasi atau varian lokal, yang disebut Aksara Palawa Akhir (Later Pallava script). Aksara Palawa jenis
ini tampak pada Prasasti Tukmas (Magelang) dari masa sekitar 500 Saka (c. 578 M), Prasasti Canggal
(Magelang) yang berangka tahun 654 Śaka (732 M), prasasti-prasasti Buddhis pada lempengan emas
dari Batujaya (Karawang, Jawa Barat) dari sekitar abad ke-6 hingga abad ke-8, dan prasasti-prasasti
Sriwijaya dari Palembang, Jambi, Kotakapur, dan Lampung (Sumatra bagian Selatan) dari masa
menjelang akhir abad ke-7. Prasasti-prasasti Tukmas, Canggal, dan Batujaya dituliskan dalam Bahasa
Sanskerta. Sedangkan prasasti-prasasti Sriwijaya tersebut semuanya dituliskan dalam Bahasa Melayu
Kuna
2.2 Aksara Kawi (Jawa Kuna)

De Casparis membagi aksara Kawi (Jawa Kuna) ke dalam dua kelompok, yaitu:

I. Aksara Kawi Awal (c. 750-950) yang terbagi pula atas dua kelompok, yaitu:
A. Kawi Awal fase arkaik, yang meliputi: (1) prasasti-prasasti Plumpungan, (2) prasasti Dinoyo, dan
(3) prasasti-prasasti yang berasal dari masa antara 760 dan 856; dan
B. Kawi Awal Standar, yang meliputi: (1) prasasti-prasasti dari masa Kayuwangi dan Balitung, (2)
prasasti-prasasti dari masa 910 hingga 1925.
Pada masa perkembangan Aksara Kawi Awal Standar, berkembang pula Aksara Nāgarī Awal (Early
Nāgarī script, Siddhamāttkā) yang di antaranya dipakai pada Prasasti Kalasan tahun 700 Saka (778
M), Sanur (Bali Selatan) dari tahun 914, dan pada prasasti-prasasti “ye dharmā”.

II. Aksara Kawi Akhir (c. 910-1250)


Meliputi: (1) prasasti-prasasti Jawa Timur dari masa Pemerintahan Daksa (910-919), Tulodong (919-
921), Wawa (921-929), dan Sindok (929-947); (2) prasasti-prasasti Airlangga (1019-1042), (3)
prasasti-prasasti periode Kadiri (c. 1100-1220), (4) aksara Kadiri kuadrat, (5) Tulisan-tulisan dari Bali,
Sunda, dan Sumatera Selatan.

2.3 Aksara-aksara Jawa Kuna dan daerah pada periode Majapahit (c. 1250-1450)

Kelompok ini meliputi: : (1) prasasti-prasasti Jawa Timur (c. 1250-1350), a.l. prasasti Penanggungan
(1296), dan Prasasti Gajah Mada (1351); (2) naskah-naskah kuna yang masih ada, (3) prasasti-
prasasti dari Jawa Barat, seperti: Prasasti Kawali, Prasasti Kebantenan, Batutulis, dan Prasasti
Huludayeuh; (4) aksara dari Sumatera [5] , a.l. pada prasasti-prasasti Adityawarman (Padangcandi,
1347; Pagarruyung, 13447 dan 1356; Kuburrajo, 1378); dan Prasasti Ulubelu, Lampung (abad ke-14);
(5) prasasti-prasasti Bali, Madura dan Sumbawa.

Pada masa yang sama berkembang pula penggunaan Aksara Nagari Akhir (Later Nāgarī script).
Aksara Nagari Akhir digunakan a.l. dalam prasasti-prasasti pada arca perunggu Amoghapāśa dari
masa Raja Kertanagara (c. 1267-1292), dan prasasti-prasasti pendek pada arca-arca dari Candi Jago.

2.4 Aksara-aksara dari pertengahan abad ke-15

Dari masa abad ke-15 telah muncul berbagai bentuk aksara yang meliputi kelompok:

A. Prasasti-prasasti dari masa sekitar pertengahan kedua abad ke-15, yang ditulis dengan tipe Aksara
Majapahit. Dalam kelompok ini dapat disebutkan a.l.: (1) Prasasti Surodakan (Waringinpitu), tahun
1447; (2) Prasasti Sendang Sedati (Pamintihan), tahun 1473; dan (3) prasasti-prasasti Trailokyapurī,
tahun 1486, dari Raja Majapahit Girīndrawarddhana.

B. Prasasti-prasasti Jawa Tengah (1439-1457). Kelopok ini meliputi: (1) prasasti-prasasti dari Candi
Sukuh dari masa 1439-1457, dan (2) Prasasti Ngadoman dari lereng Gunung Merbabu, tahun 1449.
C. Prasasti-prasasti beraksara Tamil. Prasasti Tamil: a.l. prasasti dari dari Lobu Tua, Barus, Sumatera
Utara, berangka tahun 1088; Prasasti Tamil pada bagian belakang arca Ganeśa dari Porlak Dolok,
Tapanuli.

3. Prasasti-prasasti dari masa perkembangan Islam di Indonesia

Dari berbagai tempat di Indonesia telah ditemukan berbagai jenis prasasti yang dipahatkan atau
digoreskan pada berbagai bentuk peninggalan. Ada yang dipahatkan pada batu nisan, pada
lempengan logam, mata uang, cap atau meterai, meriam, dan benda-benda lainnya.

Bersamaan dengan masa perkembangan Aksara Kawi Akhir di Jawa Timur, khususnya di daerah
Gresik, berkembang pula penggunaan Aksara Arab. Di Pemakaman Leran, dekat Gresik, ditemukan
sebuah nisan kubur berprasasti yang ditulis dengan Aksara Arab Kufik, yang menyebutkan
meninggalnya seorang wanita bernama Fātimah binti Maimūn bin Hibat-Allah pada tahun 475 Hijrah
(1082 M).

Di Sumatera bagian utara: a.l. dapat disebutkan prasasti-prasasti nisan kubur Sultan Malik al-Sālih
yang meninggal tahun 1297, nisan dari Minje Tujoh tahun 1380 [6], prasasti pada nisan kubur Ratu
Nahrasiyah yang meninggal pada tahun 1428, dan sultan-sultan Aceh lainnya. Di Gresik terdapat pula
prasasti pada makam Malik Ibrahim yang meninggal tahun 1419.

Sebuah komplek pemakaman Islam dari masa sekitar zaman keemasan Majapahit, c.1350-1450
terdapat di Tralaya, daerah Mojokerto Jawa Timur [7]. Di komplek pemakaman ini terdapat
beberapa batu nisan beraksara Arab yang berisi ayat-ayat suci Al Qur’an, dan di antaranya banyak
pula batu nisan yang hanya berangka tahun dengan angka Jawa Kuna. Sebuah batu nisan beraksara
Arab menyebutkan meninggalnya seorang bernama Zayniddin pada Hijrat Nabi 874 (1469 Masehi).

Dari berbagai kesultanan di Indonesia, seperti dari Aceh, Banten, dan Mataram terdapat pula
prasasti yang dituliskan pada mata uang. Dari Aceh diperoleh mata uang dirham emas yang
bertuliskan nama Sultan Muhammad (1297-1326) dengan Aksara Arab. Demikian pula dari
Kesultanan Banten terdapat mata uang tembaga dan perunggu bertuliskan pangeran ratu ing banten
dengan Aksara Arab.

Sejumlah meriam dari berbagai kesultanan di Indonesia didapati ada yang berprasasti. Sebagai
contoh dapat disebutkan prasasti yang terdapat pada meriam Ki Amuk yang kini ada di bekas Ibu
Kota Kesultanan Banten. Prasastinya dibuat dalam bentuk tiga buah medalion yang ditulis dalam
bentuk kaligrafi. Sejumlah meriam peninggalan dari masa Kesultanan Mataram di Jawa Tengah ada
pula yang berprasasti yang dituliskan dengan Aksara Jawa.

Sejumlah prasasti beraksara Arab yang biasanya dipahatkan pada papan kayu atau balok ditemukan
pula pada mesjid-mesjid kuna seperti di Mesjid Kudus, yang memperingati saat pendiriannya,
tanggal 28 Rajab tahun 956 H (22 Agustus 1549). Beberapa kesultanan, seperti Mataram, Banten,
dan Palembang pernah pula mengeluarkan prasasti yang dituliskan pada lempengan tembaga
dengan Aksara Arab atau Aksara Jawa berisi keputusan atau penetapan yang dilakukan oleh sultan
dalam berbagai bidang, seperti politik dan perdagangan. Prasasti-prasasti dari masa kesultanan
seperti itu biasanya di Jawa dikenal dengan sebutan piyagem.
Dari Kesultanan Riau-Lingga diperoleh sebuah prasasti berbahasa Melayu beraksara Arab yang
dituliskan pada artefak berupa kipas berbentuk gunungan (jogan) yang terbuat dari emas dengan
tangkai perak. Prasastinya berisi doa bagi sultan yang disebutkan sebagai keturunan raja dari Bukit
Siguntang yang juga keturunan Sri Sultan Iskandar Zulkarnaen. Jogan ini diperkirakan berasal dari
abad ke-18.

Prasasti-prasasti beraksara Arab seperti yang terdapat pada nisan kubur sultan-sultan Aceh dan
tokoh-tokoh tertentu seperti Fātimah binti Maimūn bin Hibat-Allah dan Malik Ibrahim, dituliskan
dalam bentuk kaligrafi Arab yang sangat indah.

Catatan:

[1] Mengenai prasasti-prasasti nisan kubur dan berbagai pertulisan lainnya seperti terdapat pada
bangunan kelenteng, dapat dilihat dalam karya Wolfgang Franke, Claudine Salmon, dan Anthony K.K.
Siu, Chinese Epigraphic Material in Indonesia, 3 jilid. Singapore: South Seas Society/Paris:
EFEO/Association Archipel, 1988 (Vol. I), 1997 (Vol. II-III).

[2} Mengenai prasasti dan pertulisan lainnya dari masa kolonial, khususnya yang ada di Jakrta, lihat:
F. De Haan, Oud Batavia. 2 jilid dan Album. Batavia: G. Kolff, 1922-1923. Lihat pula: Lilie Suratminto,
Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, 2007.

[3] Leiden/Köln: E.J. Brill, 1975. Diterbitkan dalam seri Handbuch der Orientalistik, III.4.1

[4] Ke dalam kelompok ini dapat ditambahkan prasasti-prasasti Buddhis dari Batujaya.

[5] Pembahasan mengenai prasasti-prasasti Buddhis dari Batujaya ini lihat: Hasan Djafar, Kompleks
Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat. Bandung:
Kiblat Buku Utama/EFEO/Puslitbang Arkenas/KITLV, 2010:91-93, 118-121. Lihat pula: Hasan Djafar,
“Prasasti-prasasti Buddhis dari Kompleks Percandian Batujaya (Catatan Pendahuluan)”, Jurnal Sosio
e-Kons, II93), 2010:70-83.

[6] Aksara yang digunakan dalam penulisan prasasti-prasasti di Sumatera, khususnya pada masa
pemerintahan Adityawarman oleh L.C. Damais disebut “Aksara Sumatera Kuna” (Damais, 1955;
1995).

[7] Ada dua prasasti, satu prasasti beraksara dan berbahasa Arab, dan satu prasasti yang lainnya
beraksara Sumatera Kuna dengan Bahasa Melayu Kuna. Menurut W.F. Stutterheim nisan kubur
tersebut berasal dari tahun 1380 (Lihat: W.F. Stutterheim, “A Malay Sha’ir in Old-Sumatran
Characters of 1380 A.D.”, Acta Orientalia, 14, 1936:268-279.

[8] Mengenai prasasti-prasasti pada nisan kubur di Tralaya ini lihat: L.-C. Damais, “Makam Islam di
Tralaya”, dalam: Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis-Charles Damais. Jakarta:
EFEO/Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1995:223-332. (Dr. Hasan Djafar, pensiunan Staf Pengajar
Departemen Arkeologi UI)

Sumber: Katalog Pameran Lambang & Aksara, Direktorat Permuseuman, 6-21 Oktober 2011.

Anda mungkin juga menyukai