Anda di halaman 1dari 22

PEMBAHASAN

1. Sejarah Skriptorium

Tradisi literasi masyarakat tradisional terutama berlangsung di pusat-pusat kebudayaan,


yang pada umumnya juga merupakan pusat aktivitas intelektual. Pusat-pusat literasi ini juga
merupakan tempat di mana teks dibuat dan manuskrip disalin, yang oleh tradisi studi
manuskrip disebut sebagai skriptorium. Terdapat dua kelompok utama ruang menulis menurut
tradisi tulisan tangan Jawa, yaitu ruang tulisan tangan di dalam keraton dan ruang tulisan
tangan di luar keraton. Yang dimaksud keraton adalah keraton Jawa, sedangkan di luar keraton
terdapat pusat-pusat kegiatan kebudayaan seperti mandala, pesantren, perkampungan dan
berbagai tempat di tepi Laut Utara Jawa.

Kebiasaan merujuk pada tempat pembuatan dan/atau penyalinan teks dalam tradisi tulisan
tangan Jawa sangat jarang terjadi. Ada beberapa naskah yang secara eksplisit menyebutkan
skriptorium. Misalnya pada teks Serat Anglingdarma KBG 98 disebutkan di mana teks tersebut
ditulis di Rembang (Karsono, 1988:11). Salah satu naskah Jaka Prataka menyebutkan bahwa
disalin di wilayah Srengguruh. Teks “Smaradahana (canto I, bait 6)” secara implisit mengacu
pada tempat asal teks di Kadiri karena menyebutkan Cri Kameçwara sebagai raja tempat
bersemayamnya penyair (Mpu Dharmaja). banyak informasi yang jelas tentang skriptorium
jenis ini. Selebihnya, pengetahuan mengenai di mana naskah itu disalin atau bagaimana teks
itu dibuat, lebih ditentukan oleh pemahaman atau pengetahuan tentang gaya watak, ejaan, dan
dialek bahasa. Mungkin informasi tentang di mana teks dibuat dan/atau naskah disalin akan
berguna jika nama penulis atau penyalin dicantumkan dalam teks atau naskah. Nama penulis
atau penyalin dapat membantu mengidentifikasi tempat pembuatan atau penyalinan, asalkan
sumber lain memberikan informasi tentang nama tersebut. R.Ng. Misalnya, Ranggawarsita,
menurut sumber lain, dikenal sebagai penyair keraton Surakarta. Dengan demikian, ketika
suatu teks dapat dikenali sebagai karya R.Ng. Ranggawasita, maka dapat dipastikan bahwa
naskah ini berasal dari ruang tulis keraton Surakarta.

Sebagai akibat adanya dua kelompok skriptorium keraton dan di luar keraton ini naskah-
naskah Jawa pun sering dike- lompokkan ke dalam dua kelompok besar berdasarkan skripto-
rium, yakni naskah-naskah (dan teks) keraton dan naskah- naskah (dan teks) bukan keraton,
meskipun sebenarnya penge- lompokan tersebut sangat nisbi, tidak disertai dengan kriteria
yang jelas, dan tidak menunjukkan ciri-ciri umum yang membe- dakan kedua kelompok
skriptorium Jawa tersebut. Seringkali naskah-naskah keraton dicirikan dengan penggunaan
bahasa yang "baku", ketaatan pada kaidah pembaitan secara ketat, serta penulisan yang rapi
dengan ejaan standar dan taat azas; se- dang naskah-naskah bukan keraton dicirikan
kebalikannya. Pada kenyataannya banyak naskah bukan keraton yang terjaga dalam hal bahasa,
pembaitan, dan "kerapian" penulisannya. Tidak sedikit pula teks yang berasal dari luar keraton
sangat indah dan "enak" dibaca; bahkan seringkali naskah pesantren terkesan sangat "mewah"
karena dijilid dengan kulit hewan, bagian halaman awal sering dengan wadana, serta halaman-
halaman dihiasi dengan iluminasi dan rubrikasi.Skriptorium berkait erat dengan naskah dan
teks yang dihasilkannya. Sebelum pemakaian kertas Eropa meluas, alas tulis naskah tergantung
pada alam yang biasanya menyediakan bagian tertentu pohon, yang dengan proses tertentu
dapat dija- dikan sebagai alas tulis:

rontal terbuat dari daun tal, diamang terbuat dari kulit pohon, kertas tela yang dibuat dari bubur
kanji, dan seterusnya. Teks yang bersifat abstrak dan merupakan rekaman atau “transformasi”
unsur kebudayaan masyarakat penciptanya, tentu juga dipengaruhi oleh “warna” budaya
skriptorium yang menciptakannya. Misalnya, sebagian besar manuskrip yang dihasilkan oleh
skriptorium perdren Jawa kemungkinan besar menggunakan aksara Pegon dengan teks Islam
berwarna.

Lebih lanjut, skriptorium tidak hanya memperhatikan unsur-unsur naskah dan isi teks,
tetapi juga tanggal pembuatan naskah dan kronologi teks. Kegiatan penulisan dan penyalinan
dokumen dan manuskrip di perpustakaan tidak berlangsung secara terus-menerus dan dalam
jangka waktu yang lama. Menurut sejarah, pusat kebudayaan kuno hanya ada dalam jangka
waktu tertentu. Misalnya, ruang tulis keraton di Jawa Timur berkembang seiring peralihan
kekuasaan dari Kahuripan ke Kediri, lalu Singasari, lalu Majapahit. Begitu pula dengan ruang
penulisan Keraton Surakarta baru dimulai ketika keraton tersebut dibangun oleh Susuhunan
Paku Buwana.

Bilik Melayu yang berada di lantai tiga perpusatakaan Soeman HS Pekanbaru menyimpan
buku dan naskah kuno terkait dengan sejarah dan budaya melayu Riau. "Hingga saat ini
terdapat lebih dari 20.000 eksamplar buku yang berkaitan dengan budaya dan sejarah melayu
riau," kata pustakawan bilik melayu, Sarmiyarti di Pekanbaru, Riau, Minggu. Ia mengatakan,
bilik merupakan bahasa melayu, jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti kamar. Menurutnya
buku buku yang tersedia di dalam Bilik Melayu ini sangat menarik untuk dikunjungi karena
Riau mempunyai sejarah yang panjang dan kaya akan budaya.

Pengunjung yang mengunjungi Bilik Melayu tidak hanya berasal dari dalam negeri tetapi
juga berasal dari mancanegara, bahkan beberapa peneliti asal Eropa dan Jepang pernah
berkunjung. Yang terakhir September lalu putra Bung Karno, Guruh Soekarnoputra juga
bekunjung ke Bilik Melayu.

"Selama saya menjadi pustakawan dan menjaga Bilik Melayu, beberapa tamu
mancanegara pernah mengunjungi bilik ini. Mereka mempelajari sejarah dan budaya Riau,
Malaysia dan Brunei yang paling sering. Tapi pernah juga dari Belanda, Jerman dan Jepang,"
jelasnya.

Ia menuturkan, tamu dari Belanda berkunjung ke Bilik Melayu guna mengetahui sejarah
hubungan Belanda dengan kerajaan kesultanan Riau. Menurutnya lagi, pengunjung dari Jepang
bahkan menghabiskan waktu selama lebih dari satu bulan untuk mempelajari budaya melayu
Riau.

Sementara itu, menurutnya lagi, di dalam Bilik Melayu terdapat bilik khusus, disebut
dengan Bilik Kecil, di dalamnya terdapat naskah kuno peninggalan dari zaman kerajaan Riau
yang sengaja disimpan dan tidak dipublikasikan ke publik, hanya orang tertentu yang bisa
mengunjungi bilik tersebut.

"Dalam Bilik Melayu ini, ada Bilik Kecil yang berisikan naskah kuno," katanya.

Sri Imelda Yusra, salah seorang mahasiswa tampak serius dengan beragam buku. Ia
mengatakan saat ini sedang mencari literatur asal mula bahasa Indonesia yang selama ini
dikenal berasal dari bahasa melayu Riau.

"Saya sedang mengerjakan skripsi; dan sejauh ini sepertinya sangat lengkap literatur yang
tersedia," ujar salah seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Pekanbaru ini.

Bilik Melayu ini terdapat dilantai tiga perpustakaan Soeman HS Pekanbaru. Untuk mencapai
ke Bilik Melayu pengunjung bisa langsung menggunakan fasilitas lift dari lantai dasar untuk
langsung ke bilik melayu. Ruangannya yang nyaman dan tenang membuat pengunjung betah
berlama lama berada di dalam bilik tersebut.
2. Pengertian Skriptorium

Istilah skriptorium biasanya dikaitkan dengan penulisan buku-buku keagamaan dalam


konteks biara pada awal Abad Pertengahan, gagasan tentang tempat kerja komunal, bengkel,
atau studio terdapat dalam Livre des métiers yang disusun oleh Étienne Boileau († 1270 ).
1Boileau menjelaskan hak dan hak istimewa dari Korporasi Persekutuan yang mengatur
produksi berbagai macam kerajinan tangan di Paris – buku, lukisan panel, patung, logam,
kaca... – serta siapa yang melakukan pekerjaan tersebut (terutama pengrajin awam dan wanita
), dan di mana hal tersebut dilakukan (rumah atau toko di lingkungan perkotaan).

3. Asal-usul Skriptorium

Isidore, Etimologi , dikutip dalam Charlton Thomas Lewis, Charles Short, A Latin
Dictionary, Bagi Isidore dari Seville (c. 560-636), kata scriptorium mengacu pada instrumen
logam atau “gaya” (stylus) yang digunakan untuk menulis pada tablet lilin. Peraturan biara
awal Pachomius (c. 345), Benedict (c. 529), dan Ferréol (c. 560) menyebutkan menulis dan
membaca sebagai keterampilan yang diperlukan para biarawan, tetapi istilah skriptorium tidak
ada. Apakah biara Cassiodorus (c. 485-585) di Vivarium memiliki ruangan khusus yang
dikhususkan untuk menulis? Apa namanya? Meskipun gambar berwarna biara Cassiodorus
dalam sebuah manuskrip di Bamberg (Staatsbibliothek Msc. Patr. 61, f. 29v) tidak
menunjukkan lokasi skriptorium, kita tahu bahwa skriptorium tersebut cukup penting untuk
salah satu produknya, sebuah pandect yang berharga. Banyak ketidakpastian yang melingkupi
asal usul konsep skriptorium sebagai ruang untuk menulis, seperti yang selama ini dikenal.

4. Pergeseran Makna: Skriptorium sebagai produk

Secara lebih umum, dalam literatur sekunder, istilah skriptorium tidak terlalu mengacu
pada tempat produksi melainkan pada produk-produknya, yaitu buku-buku yang mempunyai
karakteristik serupa dalam hal struktur dan tata letak, naskah dan dekorasi, yang dianggap
dibuat oleh tim yang sama. Istilah skriptorium bahkan telah digunakan untuk merujuk pada
produksi naskah di budaya non-barat seperti di Minangkabau (Sumatera). Namun sebagian
besar penelitian itu memasukkan istilah skriptorium dalam judulnya berasumsi bahwa produk
yang dimaksud berasal dari satu skriptorium biara yang sama.
5. Alokasi dan perluasan istilah Skriptorium

Beberapa kegiatan yang lebih luas telah menjawab pertanyaan-pertanyaan komparatif,


baik dalam bentuk cetak, dalam konteks museum, dan baru-baru ini secara online. Mereka
mewakili upaya yang berbeda di satu sisi untuk memahami cara kerja skriptorium abad
pertengahan dan di sisi lain untuk menyediakan sarana untuk merekonstruksi dan
mengelompokkan kembali produk-produk pusat produksi yang manuskripnya kini tersebar
luas karena aktivitas destruktif seperti pembubaran. biara-biara, Revolusi Perancis, penyitaan
koleksi manuskrip selama Perang Dunia Kedua, atau pemotongan manuskrip lengkap dan
penghapusan ilustrasi untuk dijadikan “gambar” atau lembar memo. Jurnal studi manuskrip
berjudul Scriptorium didirikan segera setelah perang oleh Frédéric Lyna dan Camille Gaspar
di bawah editor umum François Masai. Volume pertamanya terbit pada tahun 1946-1947, dan
terus menerbitkan artikel ilmiah tentang manuskrip dan (sejak 1957) lampiran bibliografi
dengan indeks manuskrip yang dikutip. Saat ini, di antara banyak fungsi lainnya, situs web
memungkinkan pencarian manuskrip yang dikutip dalam jurnal dan Bulletin codicologique.

6. Produk Skriptorium Kontemporer: The Saint John's Bible 31

Saint John's Bible adalah hasil kolaborasi antara Donald Jackson dan timnya serta Sain.
Bagaimana skriptorium kontemporer bisa menjelaskan skriptorium abad pertengahan? Donald
Jackson adalah juru tulis dan kaligrafer Ratu Elizabeth II dan Kantor Mahkota House of Lords
Inggris Raya dan Irlandia Utara. Basis operasinya adalah rumah dan studionya di Wales, tempat
dia dan tim juru tulis dan iluminatornya bekerja sama untuk menghasilkan, di antara banyak
manuskrip lainnya, The Saint John's Bible . Ini adalah produk manuskrip kontemporer dalam
tujuh volume dan 1.150 halaman perkamen dari kulit anak sapi yang dibuat selama tiga belas
tahun di skriptorium modern yang dipimpin oleh Donald Jackson. Secara resmi ditugaskan
pada tahun 1998 oleh Biara Saint John di Collegeville, Minnesota, setelah tiga tahun diskusi
awal, The Saint John's Bible diselesaikan pada Mei 2011.

7. Naskah Betawi

Betawi pada abad ke-19 menjadi tempat penyalinan naskah atau skriptorium. Naskah
disalin di lembaga pemerintah dan di beberapa kampung oleh masyarakat. Banyaknya naskah
tersebut membuktikan bahwa intelektualitas masyarakat Betawi sudah tinggi. Naskah-naskah
yang disalin masyarakat memiliki keunikan, terutama banyaknya dekorasi naskah berupa
iluminasi, ilustrasi, dan kaligrafi. Dekorasi atau hiasan tersebut disesuaikan dengan jenis cerita.
Dalam makalah ini dibahas skriptorium naskah Betawi dengan kekayaan naskahnya,
pengarang dan penyalin, serta keberagaman dekorasi dalam bentuk iluminasi dan ilustrasi yang
menjadi keunikan naskah Betawi. Metode kodikologi digunakan untuk membahas skriptorium
dan dekorasi naskah Betawi. Dari pembahasan ini ditemukan bahwa pada abad ke-19 di Betawi
banyak diproduksi naskah. Naskah yang disalin bukan hanya oleh Pemerintah Hindia-Belanda
yang digunakan sebagai bahan pelajaran bagi para pejabat yang akan ditugasi ke Hindia-
Belanda, melainkan oleh masyarakat yang naskahnya disewakan. Dekorasi berupa iluminasi
dan ilustrasi berfungsi sebagai hiasan untuk menarik minat pembaca. Kesimpulannya bahwa
Betawi sebagai skriptorium naskah pada masa lalu memperlihatkan dinamika intelektualitas
masyarakatnya yang banyak memproduksi naskah untuk bahan bacaan masyarakat.
B. SKRIPTORIUM ABAD PERTENGAHAN

Scriptoria adalah ciri penting Abad Pertengahan, yang paling khas dari pendirian
Benediktin karena dukungan St. Benediktus terhadap kegiatan kesusastraan 1. Referensi dalam
tulisan-tulisan kesarjanaan modern atas 'scriptoria' biasanya merujuk ke hasil tulisan kolektif
dari sebuah biara, dibandingkan ruangan secara fisik. Skriptoriua di dalam logika konvensional
mungkin hanya ada pada periode terbatas, ketika sebuah institusi atau individu ingin teks dalam
jumlah besar disalin untuk menstok perpustakaan; ketika perpustakaan sudah penuh, maka
tidak ada lagi kebutuhan lanjutan untuk ruangan tersebut. Pada awal abad ke 13 toko salinan
sekuler berkembang; penerjemah profesional akan memiliki ruangan khusus untuk menulis,
tetapi di dalam sebagian besar kasus mungkin hanyalah sebuah meja sederhana yang ada di
samping jendela rumah mereka2. Meskipun kita semua dapat membayangkan sebuah
skriptorium di kepala kita, sebenarnya hanya ada sedikit bukti yang bertahan mengenai
keberadaannya, baik secara arsitektural maupun dari manuskrip. Ada beberapa gambar
manuskrip yang umum digunakan yang menunjukkan skriptoria monastik, namun seperti
yang dikatakan Erick Kwakkel, gambar-gambar tersebut tampaknya bukan representasi yang
akurat. Kebanyakan gambar juru tulis digambarkan secara individu, bukan bagian dari
perusahaan komunal3.

1
https://www.britannica.com/topic/chrysography
2
https://profilbaru.com/Skriptorium
3
https://blog.history.ac.uk/2019/12/the-medieval-scriptorium-visualised/
Beberapa denah arsitektur langka dari biara St Gall ( c . 820-830) menunjukkan sebuah
skriptorium yang terletak di bawah perpustakaan di ujung timur biara (kiri atas pada
denah). Berlabel Infra sedes scribentium, supra bibliotheca (di bawah, kursi menulis, di atas,
perpustakaan), kita dapat melihat sebuah meja besar di tengahnya, dengan tujuh meja di kedua
sisi jendela. Dengan lokasi di sudut, dan meja-meja yang didorong ke dinding, hal ini akan
memaksimalkan cahaya alami yang masuk, dan mungkin memberikan inspirasi bagi Umberto
Eco untuk skriptorium dan perpustakaannya. Namun sebagian besar biara abad pertengahan
tidak memiliki ruangan seperti itu. Diperkirakan bahwa Injil Lindisfarne , sebuah manuskrip
yang dihias dengan mewah dan ditulis dengan indah, diproduksi oleh seorang biarawan,
Eadfrith, Uskup Lindisfarne (698-721). Sebagian besar naskah mungkin dihasilkan ketika
Eadfrith sedang melakukan retret di sebuah pulau kecil bernama Pulau Cuddy atau Pulau St.
Cuthbert. Ini bukanlah sebuah skriptorium mewah yang bahan-bahannya telah disiapkan –
tidak ada meja atau meja miring, dan mungkin menggunakan cangkang untuk menampung cat 4.

4
https://blog.history.ac.uk/2019/12/the-medieval-scriptorium-visualised/
Rumah induk dari ordo Sistersien di Citeaux, salah satu skriptoria abad pertengahan paling
baik didokumentasikan, mengembangkan sebuah "gaya rumah" di paruh pertama dari abad
keduabelas yang menyebar dengan orde itu sendiri. Tahun 1134, ordo Sistersien menyatakan
kalau para biarawan tetap diam di skriptorium sebagaimana mereka seharusnya di Klausura.
Ini merupakan bukti bahwa keberadaan dari skriptorium yang terpisah untuk penulisan
komunal menjadi tidak tipikal: pada abad ke 13, Sistersien akan mengizinkan beberapa
biarawan untuk menunjukkan kemampuan menulis mereka di sebuah sel kecil "yang tidak
bisa...menampung lebih dari satu orang"5.

Bagaimana skriptorium kontemporer bisa menjelaskan skriptorium abad pertengahan?


Donald Jackson adalah juru tulis dan kaligrafer Ratu Elizabeth II dan Kantor Mahkota House
of Lords Inggris Raya dan Irlandia Utara. Basis operasinya adalah rumah dan studionya di
Wales, tempat dia dan tim juru tulis dan iluminatornya bekerja sama untuk menghasilkan, di
antara banyak manuskrip lainnya, The Saint John’s Bible. Ini adalah produk manuskrip
kontemporer dalam tujuh volume dan 1.150 halaman perkamen dari kulit anak sapi yang dibuat
selama tiga belas tahun di skriptorium modern yang dipimpin oleh Donald Jackson. Secara
resmi ditugaskan pada tahun 1998 oleh Biara Saint John di Collegeville, Minnesota, setelah
tiga tahun diskusi awal, The Saint John’s Biblediselesaikan pada Mei 2011. Teksnya adalah
Alkitab Versi Standar Revisi Baru, Edisi Katolik. Dua tim dibentuk: tim Saint John terdiri dari
para teolog, sarjana Alkitab, dan sejarawan yang fungsinya sebagai penasehat; tim Wales terdiri
dari dua puluh anggota, termasuk manajer dan asisten proyek dan studio, perencana, dan
koordinator, seorang spesialis grafis komputer dan korektor, enam juru tulis, enam seniman
kaligrafer, dan empat seniman kolaboratif. Donald Jackson dan Sally Mae Joseph keduanya

5
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Skriptorium
adalah penulis dan seniman kaligrafi. Naskah baru dirancang oleh Donald Jackson, yang
melatih para juru tulis. Teksnya ditulis dengan pena bulu sayap angsa dan tinta hitam campuran
tinta tongkat Cina; vermillion dan biru yang terbuat dari campuran azurite dan ultramarine
digunakan untuk awal paragraf, nomor ayat, dan catatan pinggir. Format teksnya adalah dua
kolom lima puluh empat baris, dan tata letak desain direncanakan di komputer. Catatan kaki,
judul, nomor bab, huruf kapital, dan teks Ibrani ditambahkan dalam berbagai tahap. Waktu
yang dibutuhkan untuk menyalin satu halaman dengan tangan bervariasi antara tujuh setengah
hingga tiga belas jam.Bagian-bagian dari Alkitab yang akan diilustrasikan dipilih oleh komite
Saint John. Sketsa awal dibuat oleh Donald Jackson dan seniman tamu dan dikirimkan dengan
penjelasan kepada komite Saint John untuk disetujui; setelah itu pengerjaan ilustrasi oleh
Donald Jackson dan seniman tambahan dapat dimulai. Anggota tim Wales bekerja dalam sesi
di skriptorium kontemporer Donald Jackson di Monmouth, Wales, di mana anggota tim dapat
bekerja sebagai kelompok dan mendiskusikan pekerjaan mereka bersama, dan di studio pribadi
para seniman dan kolaborator. Sebagian besar, dua dari enam juru tulis bekerja terutama di
skriptorium, tetapi empat juru tulis melakukan sebagian besar pekerjaan yang dialokasikan di
studio mereka sendiri. Seluruh tim juru tulis berkumpul di skriptorium dengan interval enam
hingga tujuh minggu untuk bekerja sama, membandingkan tangan, memeriksa kemajuan, dan
memastikan skrip mereka sedekat mungkin dengan skrip lainnya. Produk jadinya akan diikat
dengan papan kayu ek Welsh dan disimpan secara permanen serta dipajang di Museum Hill
dan Perpustakaan Naskah di Biara dan Universitas Saint John di Collegeville, Minnesota. Edisi
Warisan terbatas yang berisi reproduksi ukuran penuh, Edisi Dagang dengan ukuran lebih kecil,
dan cetakan seni rupa dari halaman mana pun tersedia untuk dibeli. Metode kerja yang
ditunjukkan oleh Jackson dan timnya sebagian di skriptorium di Wales, sebagian di tempat lain,
di rumah atau bengkel para peserta tidak diragukan lagi mirip dengan apa yang terjadi pada
Abad Pertengahan, ketika aktivitas skriptorium monastik sudah tidak ada lagi. Ke skriptorium,
studio, atau bengkel awam yang lebih fleksibel yang berbasis di lingkungan perkotaan. Dan
memastikan naskah mereka sedekat mungkin dengan naskah yang lain. Produk jadinya akan
diikat dengan papan kayu ek Welsh dan disimpan secara permanen serta dipajang di Museum
Hill dan Perpustakaan Naskah di Biara dan Universitas Saint John di Collegeville, Minnesota.
Edisi Warisan terbatas yang berisi reproduksi ukuran penuh, Edisi Dagang dengan ukuran lebih
kecil, dan cetakan seni rupa dari halaman mana pun tersedia untuk dibeli. Metode kerja yang
ditunjukkan oleh Jackson dan timnya sebagian di skriptorium di Wales, sebagian di tempat lain,
di rumah atau bengkel para peserta tidak diragukan lagi mirip dengan apa yang terjadi pada
Abad Pertengahan, ketika aktivitas skriptorium monastik sudah tidak ada lagi, ke skriptorium,
studio, atau bengkel awam yang lebih fleksibel yang berbasis di lingkungan perkotaan. Dan
memastikan naskah mereka sedekat mungkin dengan naskah yang lain. Produk jadinya akan
diikat dengan papan kayu ek Welsh dan disimpan secara permanen serta dipajang di Museum
Hill dan Perpustakaan Naskah di Biara dan Universitas Saint John di Collegeville, Minnesota.
Edisi Warisan terbatas yang berisi reproduksi ukuran penuh, Edisi Dagang dengan ukuran lebih
kecil, dan cetakan seni rupa dari halaman mana un tersedia untuk dibeli. Metode kerja yang
ditunjukkan oleh Jackson dan imnya sebagian di skriptorium di Wales, sebagian di tempat lain,
di rumah tau bengkel para peserta – tidak diragukan lagi mirip dengan apa yang terjadi ada
Abad Pertengahan, ketika aktivitas skriptorium monastik sudah tidak da lagi. Ke skriptorium,
studio, atau bengkel awam yang lebih fleksibel yang erbasis di lingkungan perkotaan. Produk
jadinya akan diikat dengan papan ayu ek Welsh dan disimpan secara permanen serta dipajang
di Museum Hill an Perpustakaan Naskah di Biara dan Universitas Saint John di
Collegeville,Minnesota. Edisi Warisan terbatas yang berisi reproduksi ukuran penuh, Edisi
Dagang dengan ukuran lebih kecil, dan cetakan seni rupa dari halaman mana pun tersedia untuk
dibeli. Metode kerja yang ditunjukkan oleh Jackson dan timnya sebagian di skriptorium di
Wales, sebagian di tempat lain, di rumah atau bengkel para peserta - tidak diragukan lagi mirip
dengan apa yang terjadi pada Abad Pertengahan, ketika aktivitas skriptorium monastik sudah
tidak ada lagi. ke skriptorium, studio, atau bengkel awam yang lebih fleksibel yang berbasis di
lingkungan perkotaan. Produk jadinya akan diikat dengan papan kayu ek Welsh dan disimpan
secara permanen serta dipajang di Museum Hill dan Perpustakaan Naskah di Biara dan
Universitas Saint John di Collegeville, Minnesota. Edisi Warisan terbatas yang berisi
reproduksi ukuran penuh, Edisi Dagang dengan ukuran lebih kecil, dan cetakan seni rupa dari
halaman mana pun tersedia untuk dibeli. Metode kerja yang ditunjukkan oleh Jackson dan
timnya sebagian di skriptorium di Wales, sebagian di tempat lain, di rumah atau bengkel para
peserta - tidak diragukan lagi mirip dengan apa yang terjadi pada Abad Pertengahan, ketika
aktivitas skriptorium monastik sudah tidak ada lagi. ke skriptorium, studio, atau bengkel awam
yang lebih fleksibel yang berbasis di lingkungan perkotaan. Produk jadinya akan diikat dengan
papan kayu ek Welsh dan disimpan secara permanen serta dipajang di Museum Hill dan
Perpustakaan Naskah di Biara dan Universitas Saint John di Collegeville, Minnesota. Edisi
Warisan terbatas yang berisi reproduksi ukuran penuh, Edisi Dagang dengan ukuran lebih kecil,
dan cetakan seni rupa dari halaman mana pun tersedia untuk dibeli. Metode kerja yang
ditunjukkan oleh Jackson dan timnya sebagian di skriptorium di Wales, sebagian di tempat lain,
di rumah atau bengkel para peserta - tidak diragukan lagi mirip dengan apa yang terjadi pada
Abad Pertengahan, ketika aktivitas skriptorium monastik sudah tidak ada lagi. ke skriptorium,
studio, atau bengkel awam yang lebih fleksibel yang berbasis di lingkungan perkotaan. Edisi
Warisan terbatas yang berisi reproduksi ukuran penuh, Edisi Dagang dengan ukuran lebih kecil,
dan cetakan seni rupa dari halaman mana pun tersedia untuk dibeli. Metode kerja yang
ditunjukkan oleh Jackson dan timnya sebagian di skriptorium di Wales, sebagian di tempat lain,
di rumah atau bengkel para peserta - tidak diragukan agi mirip dengan apa yang terjadi pada
Abad Pertengahan, ketika aktivitas kriptorium monastik sudah tidak ada lagi. ke skriptorium,
studio, atau engkel awam yang lebih fleksibel yang berbasis di lingkungan perkotaan. disi
Warisan terbatas yang berisi reproduksi ukuran penuh, Edisi Dagang engan ukuran lebih kecil,
dan cetakan seni rupa dari halaman mana pun ersedia untuk dibeli. Metode kerja yang
ditunjukkan oleh Jackson dan timnya sebagian di skriptorium di Wales, sebagian di tempat lain,
di rumah atau engkel para peserta tidak diragukan lagi mirip dengan apa yang terjadi ada Abad
Pertengahan, ketika aktivitas skriptorium monastik sudah tidak da lagi. ke skriptorium, studio,
atau bengkel awam yang lebih fleksibel yang erbasis di lingkungan perkotaan. Sebelum
ditemukannya mesin cetak, skriptorium adalah tempat buku-buku diproduksi. ‘Skriptorium’
biasa digunakan untuk menunjuk pada ruangan di biara-biara pada zaman pertengahan Eropa
yang ditujukan untuk menyalin manuskrip oleh penulis monastik. Naskah tertulis, bagunan
yang tersisa, dan ekskavasi arkeologikal semuanya menunjukkan bahwa kebalikan dari
kepercayaan umum kalau ruangan tersebut tidak pernah ada: kebanyakan tulisan kuil monastik
ditulis di reses berbentuk kubik dalam ruangan yang rahasia, atau di dalam sel biarawan itu
sendiri. Referensi dalam tulisan-tulisan kesarjanaan modern atas ‘scriptoria’ biasanya merujuk
ke hasil tulisan kolektif dari sebuah biara, dibandingkan ruangan secara fisik. Skriptoriua di
dalam logika konvensional mungkin hanya ada pada periode terbatas, ketika sebuah institusi
atau individu ingin teks dalam jumlah besar disalin untuk menstok perpustakaan; ketika
perpustakaan sudah penuh, maka tidak ada lagi kebutuhan lanjutan untuk ruangan tersebut.
Pada awal abad ke 13 toko salinan sekuler berkembang; penerjemah profesional akan memiliki
ruangan khusus untuk menulis, tetapi di dalam sebagian besar kasus mungkin hanyalah sebuah
meja sederhana yang ada di samping jendela rumah mereka. Kuil yang dibangun pada kuartal
kedua abad ke 6 oleh Cassiodorus di Vivarium, Italia Selatan, berisi sebuah ruangan
skriptorium, karena dia secara sadar berusaha mengkoleksi, mengkopi, dan menyimpan
teksteks. Rancangan St. Gallus merupakan sebuah sketsa yang bertanggal dari 819-826 sebuah
penggambaran biara Benediktus (bukan yang asli), yang menunjukkan skriptorium dan
perpustakaan disambungkan ke pojok Timur Laut dari tubuh utama gereja itu; ini tdak
direfleksikan dengan bukti dari kuil yang tersisa.Rumah induk dari ordo Sistersien di Citeaux,
salah satu skriptoria abad pertengahan paling baik didokumentasikan, mengembangkan sebuah
"gaya rumah" di paruh pertama dari abad keduabelas yang menyebar dengan orde itu sendiri
Tobun 1124 orde Sistercien di Citeaux, salah satu skriptoria abad pertengahan paling baik
didokumentasikan, mengembangkan sebuah "gaya rumah" di paruh pertama dari abad
keduabelas yang menyebar dengan orde itu sendiri. Tahun 1134, ordo Sistersien menyatakan
kalau para biarawan tetap diam di skriptorium sebagaimana mereka seharusnya di klausura. Ini
merupakan bukti bahwa keberadaan dari skriptorium yang terpisah untuk penulisan komunal
menjadi tidak tipikal: pada abad ke 13, Sistersien akan mengizinkan beberapa biarawan untuk
menunjukkan kemampuan menulis mereka di sebuah sel kecil "yang tidak bisa...menampung
lebih dari satu orang".

C. Skriptorium di Nusantara

1. Skriptorium di Batavia

Batavia atau Betawi sejak abad ke-18 sampai dengan abad ke-19 sudah menjadi daerah
pusat kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda. Pada awal abad ke-19 Betawi menjadi tempat
penyalinan naskah atau skriptorium. Salah satu buktinya dalam Hikayat Pelanduk dinyatakan,
“Dan habislah cerita Hikayat Pelanduk Jenaka menjadi raja dalam rimba padang sujana itu…
tamat al-hikayat Pelanduk dalam negeri Betawi”. Dari catatan sementara, skriptorium naskah
Betawi disalin di dua tempat, yakni yakni di lembaga yang disebut Algemeene Secretarie yang
diprakarsai Pemerintah Hindia-Belanda dan di beberapa kampung yang dikelola masyarakat.

Tempat penulisan naskah yang diprakarsai pemerintah Hindia-Belanda, menurut Rukmi


(1997:28—32) memiliki beberapa penyalin profesional. Para penulis digaji khusus untuk
menyalin naskah. Para penulisnya itu, antara lain Cing Saidullah yang menyalin Sejarah
Melayu dan Hikayat Iskandar Zulkarnaendan Muhammad Sulaeman yang menyalin Hikayat
Indranata.

Di kantor itu juga tercatat nama Muhammad Hasan sebagai penulis Sejarah Melayu dan
Abdul Hadi sebagai penulis Hikayat Pelanduk Jenaka. Naskah-naskah yang disalin ini dikirim
ke Akademi Delft, Belanda. Naskah ini digunakan sebagai bahan pelajaran untuk para pejabat
yang akan dikirim ke Hindia-Belanda.Naskah yang disalin di kantor ini sebagian besar
disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Genre naskah ini dalam bentuk hikayat dan syair.
Isinya sebagian besar sejarah, keagamaan, cerita panji, cerita wayang, cerita kepahlawanan,
dan cerita binatang atau fabel.Naskah yang disalin di kantor ini jumlahnya sekitar 99 naskah.
Bahasa yang digunakan dalam naskah ini adalah bahasa Melayu yang formal. Bahasa itu
digunakan di antaranya dalam Hikayat Bispu Wiraja (Cod. Or. 1401) yang disalin Muhammad
Cing Saidullah. Kutipannya sebagai berikut.

Setelah sudah lengkap maka Jaya // Candra bermohon kepada baginda lalu berjalan
membawa rakyat tiga ribu menuju negeri Astana Pura Negara dan beberapa lamanya ia
berjalan itu maka hampirlah akan sampai. Maka menteri itu pun disuruhkan pergi dahulu.
Maka menteri itu pun sampailah ke Negeri Astana Pura Negara. Maka Mangkubumi dan
punggawa hulubalang sekalian keluarlah pergi menyembah Jaya Candra. Kira-kira tiga hari
perjalanan jauhnya maka Mangkubumi dan punggawa hulubalang itu pun bertemulah dengan
Jaya Candra. Maka Mangkubumi itu pun sujud kepada kaki Jaya Candra lalu ia menangis.

Format naskah yang disalin di kantor ini juga sangat rapi dan teratur, baik dalam bentuk
tulisan dan formatnya. naskah yang berdekorasi sangat sedikit. Namun, iluminasi indah dan
halus. Hal itu dilakukan karena para penyalin digaji dengan upah tertentu. Pada tahun 1837
dinyatakan bahwa seorang penyalin naskah digaji oleh kantor tersebut sebesar 50 gulden.

Selain disalin di kantor Pemerintah Hindia-Belanda tersebut, naskah Betawi juga ditulis
dan disalin di kampung-kampung. Naskah ini merupakan koleksi masyarakat. Tempat yang
sering banyak disebut adalah Pecenongan. Di samping itu, ada beberapa tempat penulisan
naskah lainnya di Betawi di antaranya Pulau Onrust seperti tercatat dalam Hikayat Raja
Kerang. Tempat lainnya adalah Kampung Krukut dan Kampung Tambora.

Naskah di beberapa kampung itu sebagian besar disewakan. Beberapa pemilik naskah
adalah wanita, seperti Mak Kecil Kampung Tambora, Mak Pungut di Kampung Pluit, Nyonya
Rahima, Janda Kapiten Abdul Rahman yang mata pencahariannya menyewakan naskah. Di
samping itu, terdapat sebuah koleksi yang unik yang berasal dari keturunan Fadli, yakni
Muhammad Bakir.

Naskah dari Betawi ini menarik perhatian para peneliti dan pedagang Eropa. Mereka
mengoleksi naskah tersebut dan membawanya pulang ke negara masing-masing. Oleh karena
itu, pada saat ini tempat penyimpanan naskah Betawi tersebar dalam berbagai koleksi, baik di
dalam negeri dan di luar negeri.

Koleksi terbesar naskah Betawi adalah Perpustakaan Nasional, Jakarta. Namun, banyak
juga naskah Betawi disimpan di Perpustakaan Nasional Prancis. Di Belanda, naskah Betawi
disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan KITLV. Bahkan, naskah
Betawi ini disimpan juga di Perpustakaan di Leningrad, Rusia. Berdasarkan katalog Naskah
Melayu di Leningrad (Braginsky, V.I.& M.A. Boldyreva, 1989) naskah Betawi di perpustakaan
tersebut berjumlah 13 naskah yang berasal dari koleksi van Doorninck.

Sebagian besar naskah tersebut tercatat disewakan. Persewaan naskah terjadi di


antaranya Pecenongan, sebuah tempat yang saat ini terletak di tengah kota. Pada masa lalu di
daerah ini terdapat sebuah tempat persewaan naskah yang menjadi bacaan rakyat.

Di kampung itu, tinggal sekelompok intelektual yang memproduksi naskah sebagai


bacaan untuk meningkatkan pendidikan dan hiburan. Salah satu anggota kelompok masyarakat
itu adalah keturunan Fadli. Chambert-Loir (1984) berdasarkan penelitiannya memperkirakan
sekitar 77 naskah disalin di Betawi. Keterangan ini banyak diperolehnya dari riwayat naskah.

Naskah Betawi koleksi masyarakat sebagian besar disewakan. Beberapa bukti


penyewaan naskah itu dimuat dalam Hikayat Maharaja Garebeg Jagat. Dalam naskah itu
dinyatakan, “Dikasi tau wang sewanya sehari semalam sepulu sen sebab saya miskin ada
mempunyai anak dan istri, tiada mempunyai pekerjaan lain melainkan mengharapkan belas
kasihan yang sewa hikayat".

Dalam koleksi masyarakat, para penyalin tidak memeroleh gaji, tetapi memeroleh uang
dengan menyewakan naskah. Naskah disewakan sehari semalam 10 sen. Hal itu, dapat
diketahui dari kutipan berikut.

Lebih maklum orang semua

hikayat jangan jadi kecewa

10 sen akan dia punya sewa

dalam patut hamba mendakwa

Sepuluh sen hamba punya upah

jangan yang disewa lupa

uang tinta kertas beberapa rupa

10 sen itu tiada seberapa


Naskah yang disewakan itu, sebagian besar disalin di Pecenongan. Berdasarkan
penelitian Chambert-Loir (1984) di Betawi ditemukan tiga generasi pengarang, yakni Usman
bin Fadli. Dia memiliki dua anak, yakni Sapirin dan Sapian. Generasi kedua, yakni Sapian
memiliki anak Muhammad Bakir dan Sapirin. Pada generasi ketiga Sapirinmemiliki tiga putra,
yakni Ahmad Insab, Ahmad Mujarrab, dan Ahmad Beramka.Di antara ketiga anak Sapirin ini,
Ahmad Beramka juga pengarang yang cukup produktif. Naskah-naskahnya saat ini sebagian
besar disimpan di Rusia.

Di antara para pengarang itu, Muhammad Bakirlah yang paling aktif menulis. Dia
berkarya antara tahun 1884—1898. Dalam Hikayat Maharaja GarebegJagat, dia mendaftarkan
karya-karyanya yang disewakan.

Dalam kolofon Hikayat Nakhoda Asyik, Muhammad Bakir mencatat, “Tamatlah sudah
hikayat Saudagar Asyik Cinta berlekat, karangan seorang yang menanggung dendam berahi
berlumuran dengan dosa, yaitu pengarangnya disebut Encik Muhammad Bakir bin Sofyan
Usman Fudali di Pecenongan, Langgar Tinggi, Betawi, pada 17 Maret 1890, malam Isnin, 26
Rajab 1308, tahun Alif."

Pemakaian bahasa dalam naskah di Betawi ditandai dengan pemakaian bahasa Melayu
dialek Betawi. Bahasa dalam naskah ini sebagian besar adalah bahasa sehari-hari dan tidak
formal, berbeda dengan salinan naskah pemerintah Hindia-Belanda.

Bahasa yang dipakai dalam naskah milik masyarakat ini warna kebetawiannya sangat
mencolok. Dalam Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak, dijumpai kata-kata matahari telah
ngelincir, sepegimanalah, ketiup angin, bahkan dalam salah satu baitnya berbunyi, Apakah
Tuan yang dibimbangin / pada yang saling bersahut-sahutin dengan iringan musik.Siapa Tuan
kenangin /pada beta baik dibilangin / beri tahu beta tolongin.

Dalam Hikayat Nakhoda Asyik (Mu'jizah, 1995) juga ditemukan kata-kata, seperti
dibikinnya, semingkinlah, dikojornya, terlongong-longong, diserampang, mengemplang. Hal
yang sama juga ada dalam Sultan Taburat II,umpamanya bacot, bengong, bini-bini, tumben,
karuanan, dan belon. Dalam Syair Capjiki, Ahmad Beramka menulis sebagai berikut,

Apa yang sudah soya tulisin, sampai di sini soya watasin, cerita syair soya putusin, memberi
selamat suara soya kerasin, soya mengarang sair (?petopan), kertas dan pena adap-adapan,
barangkali perkataan kurang sopan, diberi ampun soya punya harapan, Sair ini habislah
sudah. Terkarang sair apa yang ada, di bawah ini soya bertanda. Ahmad Beramka yang amat
rendah (Chambert-Loir, 1997).

Bahasa yang khas tersebut sering memperlihatkan unsur kejenakaan atau humor.
Kejenakaan itu diketahui dari celetukan-celetukannya yang merupakan komentar pengarang
pada saat cerita sedang berlangsung. Gaya humor disampaikan juga dalam bentuk onomatopae,
tiruan bunyi (Mu’jizah, 2017).

Dalam Hikayat Sultan Taburat (disingkat ST) dikisahkan sebuah peperangan. Pada saat
peristiwa peperangan yang serius sedang terjadi, sering dipotong dengan komentar yang
terkesan lucu. Komentar yang lucu ini menurut Mu’jizah (2017) juga merupakan gaya bercerita
yang khas. Perhatikan kutipan berikut, "Pelor Bahrul Alam menyeberang, dalam suaranya
seperti gemuruh suara burung kecapi tatkala keluar dari liang tanah itu dengan suaranya
serawat-seriwit dan setengahnya nying... nying.-.nying. Maka adalah yang bersuara wang...
wung... wung... maka seketika kelamlah medan itu dari asap. Maka suatupun tiada yang
kelihatan itu (ST:53)

... gua-gua batu itu serta dengan suaranya seperti ceruwat-ceruwit, nyut...nyiit...nyut itu. Yang
menyobek dan menyubit dan adalah yang mengasit dan suaranya ceruwat-ceruwit ngak...
nguk...ngik (ST:115).

Hal lucu lainnya digambarkan juga dalam Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak
(disingkat HMM). Kelucuan terlihat dalam kutipan berikut. .... Senjatanya Sarat Maya terkena
sedikit pada perutnya Garat Santa itu. Maka putuslah kolorannya pada berbetulanlah
kemaluannya, maka melesatlah keluar biji kepuri. Maka sigera jatuh rebahlah pada bumi
dengan kematiannya menyesal memegang kaki Merpati Mas itu (HMM:67).

Genre naskah Betawi cukup beragam. Keberagaman itu dapat diketahui dari judul dan
isi naskah. Salah satu jenis dari naskah Betawi adalah cerita romantis. Dalam cerita ini di
antaranya Hikayat Nakhoda Asyik dan Cerita Merpati Mas dan Merpati Perak.

Jenis lainnya adalah cerita wayang. Cerita wayang yang disalin di Betawi merupakan
cerita turunan dari Mahabarata dan Ramayana. Cerita yang berasal dari cerita Mahabarata, di
antaranya Hikayat Purusara, Hikayat Wayang Arjuna, dan Hikayat Pandu Turunan Pandawa.
Sementara, hikayat yang dikreasi dari cerita Ramayana adalah Hikayat Sri Rama.
Selain jenis-jenis cerita tersebut terdapat juga cerita panji. Cerita ini ditransformasi dari
cerita Jawa, namun kreasinya sudah sangat berbeda. Cerita dari Betawi yang berasal dari jenis
ini di antaranya Hikayat Panji Semirang dan Syair Ken Tambuhan.

Cerita petualangan juga termasuk banyak ditulis di Betawi. Chambert-Loir dan


Kramadibrata (2013) menyebutkan sekitar 9 naskah yang termasuk dalam cerita ini. Cerita
tersebut di antaranyaadalah Hikayat Syahrul Indra, Hikayat Sitti Zawiyyah, dan Seribu
dongeng.

Cerita berwarna keislaman juga banyak ditemukan dalam khazanah naskah Betawi ini.
Dalam genre ini terdapat tiga judul. Ketiga cerita itu berkaitan dengan tokoh Islam yang
disucikan dan dipuja, yakni Syekh Muhammad Saman dalamHikayat Syekh Muhammad
Saman, dan Syekh Abdul Kadir Jaelani dalam Hikayat Abdul Kadir Jaelani. Di samping itu
terdapat juga cerita yang berkaitan dengan nabi, yakni Hikayat Nabi Bercukur.

Berbagai jenis naskah Betawi tersebut mempunyai gaya bercerita yang khas, di
antaranya dengan memasukkan pantun dan dekorasi berupa iluminasi serta ilustrasi. Pantun
adalah salah satu kecerdasan dalam pemakaian bahasa. Tradisi berpantun hingga saat ini masih
hidup dalam tradisi masyarakat Betawi. Salah satu upacara yang masih menggunakan pantun
adalah upacara lamaran dalam palang pintu.

Pantun ini banyak mewarnai naskah Betawi, di antaranya Hikayat Nakhoda Asyik. Pada
beberapa bagian bahkan pantun yang digunakan berbahasa Arab. Salah satu contoh pantun
yang menarik dalam hikayat itu adalah:

Bukan pakaian membawa manusia

rupanya juga membawa kemanisan

sekalipun pakaian berbagai jenisnya

tiada berguna dipandang bosan.

Pada cerita sambungannya, Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak(Chambert-Loir, 2009)
juga ditemukan banyak pantun. Misalnya untuk melipur hati masing-masing, tokoh Anggur
dan Delima berdialog. Dalam dialog itu digunakan pantun, seperti

Kayu sepotonglah sudah patah

untunglah Tuan untunglah beta


kayu kelapa diukir-ukir,

buat apa dipikir-pikir

Bukanlah patah disengajakan

kita ketiga diselamatkan

buah gelagah saya taburin

hati ketiga baik dihiburin

Kayu gelagah dibuat tongkat

kita ketiga sama terikat

bukannya demang menjadi ratu

sahajanya memang sudah begitu

Pantun tersebut mewarnai cerita sebagai salah satu gaya. Dengan adanya pantun ini, cerita
menjadi lebih menarik. Di samping pantun, salah satu cara yang digunakan untuk menarik
pembaca atau penyewa naskah adalah membuat dekorasi atas naskahnya dengan aneka hiasan.
baik dalam bentuk iluminasi maupun ilustrasi yang memperlihatkan sebuah estetika gambar.
KESIMPULAN

Tradisi literasi masyarakat tradisional terutama berlangsung di pusat-pusat kebudayaan,


yang pada umumnya juga merupakan pusat aktivitas intelektual. Pusat-pusat literasi ini juga
merupakan tempat di mana teks dibuat dan manuskrip disalin, yang oleh tradisi studi
manuskrip disebut sebagai skriptorium. Terdapat dua kelompok utama ruang menulis menurut
tradisi tulisan tangan Jawa, yaitu ruang tulisan tangan di dalam keraton dan ruang tulisan
tangan di luar keraton. Yang dimaksud keraton adalah keraton Jawa, sedangkan di luar keraton
terdapat pusat-pusat kegiatan kebudayaan seperti mandala, pesantren, perkampungan dan
berbagai tempat di tepi Laut Utara Jawa.

Istilah skriptorium biasanya dikaitkan dengan penulisan buku-buku keagamaan dalam


konteks biara pada awal Abad Pertengahan, gagasan tentang tempat kerja komunal, bengkel,
atau studio terdapat dalam Livre des métiers yang disusun oleh Étienne Boileau († 1270 ).
1Boileau menjelaskan hak dan hak istimewa dari Korporasi Persekutuan yang mengatur
produksi berbagai macam kerajinan tangan di Paris – buku, lukisan panel, patung, logam,
kaca... – serta siapa yang melakukan pekerjaan tersebut (terutama pengrajin awam dan wanita
), dan di mana hal tersebut dilakukan (rumah atau toko di lingkungan perkotaan).

Lebih lanjut, skriptorium tidak hanya memperhatikan unsur-unsur naskah dan isi teks,
tetapi juga tanggal pembuatan naskah dan kronologi teks. Kegiatan penulisan dan penyalinan
dokumen dan manuskrip di perpustakaan tidak berlangsung secara terus-menerus dan dalam
jangka waktu yang lama. Menurut sejarah, pusat kebudayaan kuno hanya ada dalam jangka
waktu tertentu. Misalnya, ruang tulis keraton di Jawa Timur berkembang seiring peralihan
kekuasaan dari Kahuripan ke Kediri, lalu Singasari, lalu Majapahit. Begitu pula dengan ruang
penulisan Keraton Surakarta baru dimulai ketika keraton tersebut dibangun oleh Susuhunan
Paku Buwana.

Scriptoria adalah ciri penting Abad Pertengahan, yang paling khas dari pendirian
Benediktin karena dukungan St. Benediktus terhadap kegiatan kesusastraan. Referensi dalam
tulisan-tulisan kesarjanaan modern atas 'scriptoria' biasanya merujuk ke hasil tulisan kolektif
dari sebuah biara, dibandingkan ruangan secara fisik. Skriptoriua di dalam logika konvensional
mungkin hanya ada pada periode terbatas, ketika sebuah institusi atau individu ingin teks dalam
jumlah besar disalin untuk menstok perpustakaan; ketika perpustakaan sudah penuh, maka
tidak ada lagi kebutuhan lanjutan untuk ruangan tersebut. Pada awal abad ke 13 toko salinan
sekuler berkembang; penerjemah profesional akan memiliki ruangan khusus untuk menulis,
tetapi di dalam sebagian besar kasus mungkin hanyalah sebuah meja sederhana yang ada di
samping jendela rumah mereka

Batavia atau Betawi sejak abad ke-18 sampai dengan abad ke-19 sudah menjadi daerah
pusat kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda. Pada awal abad ke-19 Betawi menjadi tempat
penyalinan naskah atau skriptorium. Salah satu buktinya dalam Hikayat Pelanduk dinyatakan,
“Dan habislah cerita Hikayat Pelanduk Jenaka menjadi raja dalam rimba padang sujana itu…
tamat al-hikayat Pelanduk dalam negeri Betawi”. Dari catatan sementara, skriptorium naskah
Betawi disalin di dua tempat, yakni yakni di lembaga yang disebut Algemeene Secretarie yang
diprakarsai Pemerintah Hindia-Belanda dan di beberapa kampung yang dikelola masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.britannica.com/topic/chrysography

https://profilbaru.com/Skriptorium

https://blog.history.ac.uk/2019/12/the-medieval-scriptorium-visualised/
https://blog.history.ac.uk/2019/12/the-medieval-scriptorium-visualised/
https://journals-openedition-org/

Anda mungkin juga menyukai