Anda di halaman 1dari 18

Kelompok 3

TEORI & METODE PENELITIAN FILOLOGI

Dosen Pengampu :

Dr. Erlina, M.Ag.

Disusun Oleh :

Saiful Anwar 1988104025


Dina Orina 1988104021
Kemas Faisal 1988104003
Umi masyitoh 1988104020

Jurusan : Pendidikan Bahasa Arab

PROGRAM PASCASARJANA

UIN RADEN INTAN LAMPUNG

1442 H / 2020 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan kehadirat Allah SWT. atas limpahan


rahmat, hidayah, taufiq, serta inayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar kita
Muhammad Saw. yang membimbing kita menuju jalan yang diridhoi oleh-
Nya.

Terimakasih kepada dosen pengampu yaitu Dr. Erlina, M.Ag selaku


pembimbing mata kuliah Filologi yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Teori & Metode Penelitian
Filologi”. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis
khususnya. Dan kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
sifatnya membangun. Karena kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan.

Bandar Lampung, September 2020

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filologi sebagai disiplin ilmu bersifat ilmiah. Keilimiahan


tersebut dapat diwujudkan dengan adanya penelitian-penelitian yang
menghasilkan sebuah teori. Penelitian dalam disiplin ilmu mempunyai
kaidah yang berlaku sesuai dengan kebutuhan ilmu itu sendiri, termasuk
filologi. Teori dan metode penelitian merupakan hal mendasar yang wajib
dipelajari ketika kita akan mengetahui bidang ilmu pengetahuan tertentu.
Dengan mengetahui teori dan metode, kita dapat menggunakan hal itu
sebagai pisau analisis dalam mengkaji masalah berdasarkan ilmu tersebut.

Sebelum membahas tentang teori dan metode penelitian, penulis


perlu mengingatkan kembali tentang tugas utama filologi sebagai disiplin
ilmu. Singkatnya, tugas utama filologi yaitu merekontruksi teks sehingga
dekat dengan aslinya. Rekontruksi seperti apa yang dimaksud? Dalam
konteks filologi, maksudnya adalah membangun kembali teks dengan
tujuan memperbaiki, atau disebut dengan menyunting teks. Namun, ada
dua pandangan mengenai rekontruksi. Pendapat pertama dari penganut
filologi tradisional bahwa ketika teks disalin dan dalam proses penyalinan
mengalami kelebihan atau kekurangan dalam uraian teks dimaknai
sebagai penyimpangan. Pendapat kedua datang dari filologi mdoern yang
menganut paham bahwa kelebihan dan kekurangan dalam proses
penyalinan tersebut dimaknai sebuah kreativitas. Namun, pada dasarnya,
kedua paham ini mengacu pada tujuan dasar yang sama yaitu filologi
berperan untuk menjembatani masa lalu dengan masa kini. Naskah-
naskah kuno yang jika dibaca pada saat ini sudah sangat sulit dipahami –
dikarenakan bahasa-bahasa yang sudah jarang dipakai, atau tulisan-tulisan
yang sulit dimengerti, filologi berperan sebagai penyambung antara masa

1
kini dengan masa lalu dalam mengenal sejarahnya lewat teks yang
terkandung dalam naskah kuno.
Dalam menjembatani teks-teks tersebut, perlu adanya kritik
terhadap teks agar filolog tidak serta merta menelan mentah-mentah teks
yang dikaji. Kritik teks adalah proses menilai teks yang terkandung dalam
naskah. Hal ini berkaitan dengan kebenaran yang akan filolog tampilkan
ke permukaan. Mengingat kembali manusia sebagai makhluk yang tidak
luput dari lupa dan kesalahan dan teks yang tertulis dalam naskah ditulis
oleh seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dalam menulis, baik
menulis naskah awal maupun dalam proses penyalinan. Selain itu, kritik
terhadap teks perlu dilakukan karena untuk menjadikan teks tersebut lebih
bernilai. Bukan hanya sebagai tulisan, tetapi sebagai coretan masa depan
yang akan datang.
Pada masa lampau, teks dalam naskah kuno seringkali mengalami
penyalinan. Sehingga, para peneliti saat ini, perlu memetakan teks
berdasarkan tingkat keorisinalitasnya. Teks sebagai objek kajian filologi
memiliki tiga tingkatan. Pertama, teks awal mula yang ditulis oleh
pengarang yang disebut otograf. Kedua, teks imajiner yang muncul
setelah rekontruksi dilakukan yang disebut arketip. Ketiga, teks salinan,
teks yang paling banyak kita jumpai, biasa disebut hiparketip. Dalam
penemuannya, seorang filolog seringkali menemukan beberapa naskah
yang sama, atau hampir sama dalam penelitiannya dikarenakan banyaknya
salinan yang dilakukan. Oleh karena itu, penyusunan tiga level teks ini
diawali dari teks salinan atau hiparketip terlebih dahulu yang ditemukan.
Setelah itu, dipilah dan dikelompokkan berdasarkan kesamaan dan
perbedaan teks. Setelah itu, filolog bisa menarik kesimpulan bahwa teks-
teks hiparketip tersebut tergolong ke dalam beberapa teks imajiner atau
arketip. Setelah ditentukan teks arketip, barulah ditarik kesimpulan bahwa
teks tersebut bersumber pada satu teks dasar yang selanjutnya ditentukan
sebagai teks otograf, teks yang ditulis langsung oleh pengarang pertama.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja teori-teori filologi?
2. Apa saja metode-metode filologi?
3. Bagaimana alur penelitian filologi?

C. Tujuan
1. Mengetahui teori-teori filologi.

2. Mengetahui apa saja metode-metode dalam penelitian filologi.

3. Mendeskripsikan alur penelitian filologi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Filologi

1. Teori Filologi pada Karya Sastra Lama Nusantara

Filologi di Indonesia dimulai dari pertengahan abad ke-19 oleh

sarjana-sarjana Eropa, terutama Belanda. Naskah-naskah di indonesia

kebanyakan tertulis dalam bahasa dan huruf daerah. Pendekatan terhadap

naskah-naskah itu mulanya masih intuitif, memakai metode landasan

dengan mengambil satu naskah yang dianggap baik sebagai dasar terbitan,

kemudian dimana perlu diubah menurut intuisi penyunting atau

disesuaikan dengan naskah lain.

Contoh permulaan tradisi filologi di Indonesia, antara lain :

1. Brata-Joeda oleh Cohen Stuart (1860)

Beberapa sumber yang digunakan Cohen Stuart dalam menentukan

teks yang akan diterbitkan :

a. Dari saduran dalam tembang macapat digunakan satu teks tercetak dan dua

naskah.

b. Dari sadaran dalam kakawin dipakai dua naskah.

c. Dari bahasa kawi:

1. Sebuah naskah lengkap, tetapi paling rusak.

2. Beberapa lembaran lepas yang memuat sebagian dari Barata Yuda

Kawi.

3. Beberapa lembaran lepas yang memuat pupuh II-IV.

4
4. Salinan oleh Cohen Stuart dari naskah Gericke.

5. Petikan-petikan dari Barata Yuda Kawi dalam History of Jawa.

6. Naskah berasal dari Bupati Gresik.

7. Naskah salinan dari naskah Madura.

8. Naskah miliknya sendiri.1

2. TEORI KLASIK (Arketip)

Arketip adalah nenek moyang naskah-naskah yang tersimpan. Dapat

dipandang sebagai pembagi persekutuan terbesar dari sumber-sumber

tersimpan. Arketip membawahi naskah-naskah setradisi.

Hiparketip adalah kepala keluarga naskah-naskah dan membawahi

naskah-naskah seversi. Arketip kadang-kadang diberinama dengan huruf-huruf

yunani omega dan hiparketip dinamakan alpha, beta, gamma.

Contoh metode stema yang sederhana tampak pada bagan Autograf

(teksasli yang ditulis oleh pengarang).

3. TEORI MODERN ( Transmisiteks)

Transmisi teks yaitu Proses penurunan (transmision) sebuah teks dapat

dibedakan kedalam dua cara:

1. Transmisi teks melalui penyalinan;

2. Transmisi teks melalui penyaduran

Transmisi teks melalui penyalinan dalam arti teks sebuah naskah

1
Nabilah Lubis, 2001, Naskah, teks dan metode penelitian filologi.
kurikulum kajian bahasa san sastra arab. hlm 35

5
diturunkan ke dalam naskah lainnya dengan cara penulisan kembali teks tanpa

merubah bahasa, aksara, dan bentuk teks yang digunakan dalam naskah

sebelumnya.

Sedangkan Transmisi teks melalui penyaduran dalam arti teks sebuah

naskah diturunkan ke dalam naskah lainnya dengan cara penggubahan kembali

teks ke dalam bahasa, aksara, dan atau bentuk teks yang berbeda dari naskah

sebelumnya.

kemungkinan yang terjadi dalam aktivitas penyalinan sebuah naskah

yaitu:

1. Penyalin menyalin naskah dengan memperhatikan secara seksama tiap

bentuk aksara dalam naskah yang disalinnya. Kemungkinannya adalah:

a. Penyalin tidak tahu akan aksara dan/atau bahasa dalam naskah

yang disalinnya;

b. Penyalin tahu akan aksara dan/atau bahasa dalam naskah yang

disalinnya, tetapi tetap menyalin dengan memperhatikan secara

seksama tiap bentuk aksara dalam naskah yang disalinnya demi

menjaga kesamaan bentuk aksara yang digunakan.

2. Penyalin menyalin naskah sudah tidak lagi memperhatikan secara

seksama tiap bentuk aksara dalam naskah yang disalinnya, tetapi

penyalin langsung menyalin naskah dengan memperhatikan tiap kata

per kata. Hal ini dimungkinkan karena penyalin tahu akan aksara

dan/atau bahasa dalam naskah yang disalinnya. Aktivitas penyalinan

seperti ini akan menghasilkan naskah salinan berupa:

6
a. naskah salinan dengan aksara dan bahasa yang sama,

b. naskah salinan dengan aksara yang berbeda tetapi dengan bahasa

yang masih sama. Lebih lanjut bias dikatakan bahwa aktivitas

penyalinan yang menghasilkan naskah salinan dengan aksara yang

berbeda tetapi dengan bahasa yang masih sama seperti dalam point

di atas itu sudah termasuk kedalam transmisi teks melalui

penyaduran bukan lagi transmisi teks melalui penyalinan.2

B. Metode Filologi
Dilihat dari banyak sedikitnya jumlah naskah yang dijadikan objek penelitian,

metode filologi dapat dibagi menjadi dua:

1. Metode (edisi) naskah tunggal, dan

2. Metode edisi naskah banyak (jamak).

Bila dalam sebuah peneliti dihadapkan pada tersedianya sejumlah naskah

(lebih dari satu) maka untuk kepentingan penyuntingtan ada beberapa alternatif

metode yang dapat digunakan, yakni:

a. Metode Intuitif

Metode intuitif adalah penyuntingan yang dilakukan dengn cara

mengambil salah satu naskah yang terbaik isinya kemudian disalin.

Bagian-bagian yang menurut penyalin dianggap kurang baik akan

diperbaiki dengan intuisi yang didasarkan pada akal sehat, pengetahuan

yang luas, dan selera yang baik. Metode intuitif termasuk metode

nonilmiah.3 Ketika itu metode ilmiah objektif belum dikembangkan

2
Baried, Sitibaroroh, Dkk.1985 . PengantarTeoriFilologi, Jakarta, hlm. 58
3
Sudardi, “Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi”. (Surakarta: Penerbit Sastra Indonesia,

7
sehingga orang bekerja secara intuitif dengan cara mengambil naskah yang

paling tua kemudian diedisi dan diperbaiki berdasarkan naskah lain dengan

memakai akal sehat, selera baik, pengetahuan yang luas, dan sebagainya.4

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode instuitif

adalah salah satu metode penelitian naskah yang berdasarkan pengetahuan

sendiri dengan cara mengambil naskah yang dianggap paling tua, teks

yang dianggap tidak jelas atau tidak benar diperbaiki berdasarkan naskah

lain yang isinya sama juga berdasarkan akal sehat dan pengetahuan yang

luas si peneliti.

b. Metode Objektif

Metode ini lebih populer dengan sebutan metode stema. Pada dasarnya

metode ini lebih menekankan pada usaha mencari hubungan antara

naskah-naskah yang ditemukan peneliti. Dalam memilih bacaan yang

benar dari beberaoa varian dapat dilakukan dengan melihat jumlah dan

nilai kesaksian naskah. Dengan demikian menentukan kebenaran naskah

didasarkan atas kebenaran objektif, tidak didasarkan pada subjektivitas.

Cara kerja metode ini dengan mengadakan perbandingan kata demi kata.

Apabila dalam beberapa naskah terdapat banyak kesalahan pada tempat

yang sama, maka disimpulkan bahwa naskah tersebut berasal dari satu

sumber.

Dalam proses penurunan naskah ada yang dikenal dengan naskah yang

bersumber dari nenek moyang yang disebut naskah setradisi atau arcketyp

Fakultas Sastra Indonesia Sebelas Maret). Hal. 27.


4
Naskah Sejarah and Jawa Barat, ‘253-533-1-Pb’, 9.2 (2018), 281–330.

8
yang kadang diberi nama huruf Yunani dengan omega, kemudian

dibawahnya ada naskah hyparchetyp yang disebut alpa, beta,dan gama.5

c. Metode Gabungan

Metode ini digunakan apabila semua naskah dugaan filologi yang ada

dianggap hampir sama. Perbedaan yang ada tidak terlalu signifikan dan

umumnya naskah yang terpilih adalah mempunyai bacaan mayoritas atas

dasar perkiraan saksi yang benar.6 Dengan demikian teks yang

disunting/diedisi merupakan teks yang baru dan merupakan gabungan dari

naskah-naskah yang ada.

d. Metode Landasan

Metode landasan disebut juga dengan metode legger atau induk. Metode

ini digunakan apabila menurut tafsiran dari naskah-naskah yang ada semua

jelas perbedaannya dan ada satu naskah yang paling menonjol baik dari

segi kelengkapan teks maupun segi bacaan.7

Penggunaan metode ini akan menghasilkan satu edisi teks yang dari segi

tekstual hampir seluruhnya mempunyai kesamaan dengan naskah

landasan.

e. Metode Edisi Naskah Tunggal

Apabila dalam penelitian kita berhadapan dengan naskah yang hanya

tersedia salah satu buah naskah (codex uniqus) maka tidak mungkin kita

untuk mengadakan perbandingan dengan naskah lain. Karena itu untuk

5
Fakultas Ilmu Budaya and Kata Pengantar, ‘Sebuah Penganta r I Ketut Nuarca Program Studi
Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana’, 1–25.
6
Sejarah and Barat.
7
Budaya and Pengantar.

9
mengedisi naskah dapat ditempuh dengan dua cara:

1. Edisi diplomatik identik dengan teks naskah yang bersangkutan. 8 Ini

berarti naskah diterbitkan tanpa disertai perubahan sedikitpun, baik ejaan,

pungutasi maupun pembagian teks. Dalam edisi ini semestinya teks tidak

ditransliterasi. Jadi dalam bentuk yang paling sempurna dari edisi ini

adalah naskah asli direproduksi fotografis. Halaman naskah dipotret lalu

dicetak begitu saja. Dari segi teoritis metode ini dapat dianggap paling

murni karena faktor subjektivitas editor tidak berpengaruh di dalamnya.

Tetapi dari segi praktis dianggap kurang menarik karena hanya dapat

dinikmati oleh kalangan tertentu saja terutama mereka yang telah memiliki

dasar pengetahuan aksara atau bahasa yang ada di dalam naskah

bersangkutan.

2. Edisi standar. Robson menyebut edisi ini adalah edisi biasa. 9 Meskipun

naskah yang tersedia hanya satu (naskah tunggal), tetapi di dalam metode

ini penyunying sangat memperhatikan semua aspek kegiatan penyuntingan

naskah, seperti menyediakan transliterasi, membetulkan kesalahan atau

memperbaiki ketidakajegan yang dijumpai dalam teks , menyesuaikan

ejaan teks sampai kepada menyusun aparat kritik dan membuat komentar

mengenai kejanggalan-kejanggalan (bacaan) yang dijumpai. Semua

perubahan yang dilakukan di dalam edisi dengan menggunakan metode ini

8
Fakultas Ilmu Budaya and Kata Pengantar, ‘Sebuah Penganta r I Ketut Nuarca Program Studi
Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana’, hal. 13.
9
Robson, “Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra tahun IV
nomor 6, hal. 3.

10
dicatat di tempat khusus untuk memudahkan pemeriksaan kembali atau

membandingkan dengan bacaan yanh ada di dalam naskah

C. Alur Penelitian Filologi


Secara kronologis, alur tertib penelitian filologi adalah sebagai
berikut: 1) Penentuan teks; 2) Inventarisasi naskah; 3) Deskripsi naskah; 4)
Perbandingan naskah dan teks; 5) Suntingan teks; 6) Terjemahan teks dan 7)
Analisis isi. Alur tersebut sebagaimana gambar:

Pemilihan Judul Inventarisasi


Teks Naskah Deskripsi Naskah

Perbandingan
Analisis Isi Suntingan Teks Naskah &Teks

Alur penelitian filologi

1. Penentuan Teks
Memilih dan mementukan teks apa yang akan dikaji merupakan
tahap paling awal dan menentukan dalam sebuah studi naskah. Dalam hal
ini, setiap peneliti memiliki preferensi yang berbeda-beda terkait teks apa
yang menurutnya menarik.sangat mungkin bahwa teks yang dianggap
menarik oleh seseorang akan dianggap biasa-biasa saja dimata orang lain
atau mungkin sebaliknya, karena pada dasarnya setiap teks memiliki sejarah
dan konteksnya tersendiri tergantung bagaimana kapasitas dan kemampuan
sang peniliti dalam memaknai teks tersebut.10

2. Inventarisasi Naskah
Langkah kedua adalah inventarisasi naskah, inventarisasi naskah
10
Oman Fathurrahman, Filologi IndonesiaTeori dan Metode (Banten: Prenadamedia
Group, 2016), hlm. 69

11
secara sederhana dimaksudkan sebagai upaya secermat-cermatnya dan
semaksimal mungkin untuk menelusuri dan mencatat keberadaan naskah
yang memuat salinan dari teks yang akan dikaji. Beberapa cara dapat
dilakukan untuk menelusuri naskah yang memuat salinan dari teks yang
dipilih antara lain melalui: katalog naskah, buku-buku yang mengupas
naskah terkait, artikel-artikel di jurnal, publikasi atau karya tulis lain, dan
penelusuran terhadap koleksi naskah milik perorangan itu belum dibuatkan
katalognya, selain juga harus terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada
pemiliknya untuk mendapatkan izin mengakses naskah.

3. Deskripsi Naskah
Langkah ketiga adalah deskripsi naskah, yakni melakukan
identifikasi baik terhadap kondisi fisik naskah, isi teks, maupun identitas
kepengarangan dan kepenyalinannya dengan tujuan untuk menghasilkan
sebuah deskripsi naskah dan teks secara utuh.
Hal penting untuk diperhatikan adalah bahwa umumnya satu bundel
naskah Nusantara mengandung lebih dari satu teks di dalamnya. Tidak
jarang pula antar teks dalam satu bundel naskah yang sama tersebut
berbeda-beda bidang keilmuanya. Ketika mendeskripsikan maslah
semacam ini maka setiap teks perlu diidentifikasi dengan sangat hati-hati.
Mengidentifikasi sebuah naskah adalah kemampuan mendasar dan
paling awal yang harus dimiliki oleh seorang peneliti naskah. Melalui
identifikasi yang baik dan teliti, sebuah naskah akan dapat dihadirkan
secara terperinci kepada pembaca, serta akan menjadi modal penting bagi
peneliti sendiri untuk melakukan tahap-tahap penelitian berikutnya, seperti
analisis teks dan kontekstualitasnya.11

4. Perbandingan Naskah dan Teks


Budaya, Fakultas Ilmu, and Kata Pengantar, ‘Sebuah Penganta r I Ketut Nuarca
Program Studi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana’, 1–25

11
Ibid, hlm. 77

12
Sejarah, Naskah, and Jawa Barat, ‘253-533-1-Pb’, 9.2 (2018), 281–330
Langkah keempat adalah perbandingan naskah dan teks, baik fisik naskah maupun
teksnya dibandingkan: masing-masing alas naskahnya diperiksa, mungkin sama-
sama kertas Eropa, tapi kertas yang satu bisa jadi lebih tua usianya dibanding kertas
lainnya, masing-masing teksnya juga diperiksa dan dibandingkan untuk mengetahui
sejauh mana perbedaannya. Tentu saja perbandingan teks hanya perlu dilakukan jika
korpus penelitian kita terdiri lebih dari satu salinan naskah, dan tidak berlaku jika
salinan naskahnya tunggal belaka.
Khusus terkait dengan teksnya, beberapa hal yang perlu
diperbandingkan antara lain, tapi tidak terbatas pada struktur teks, bahasa
dan ejaan, variasi bacaan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, alur
cerita dan masa penyalinan yang dianggap perlu untuk mendukung analisis
penelitian.
Hasil perbandingan naskah dan teks ini kelak dapat dijadikan sebagai
dasar untuk menentukan salinan naskah mana yang teksnya aka dijadikan
sebagai landasan suntingan teks. Biasanya jika ada salinan naskah itulah
yang akan dijadikan sebagai landasan membuat edisi teks, sedangkan teks
dalam salinan naskah lainnya dijadikan sebagai pembanding bacaan.

5. Suntingan Teks
Tahap kelima dalam penelitian filologi adalah membuat suntingan teks,
atau dengan kata lain menyiapkan edisi teks yang bisa dibaca dan dipahami
oleh khalayak luas. Sebuah edisi teks yang merupakan keluaran (output)
dari tahap ini, idealnya merupakan teks yang telah diverifikasi (al-Nass al-
muhaqqaq) melalui tahapan-tahapan penelitian filologis, judul, dan
pengarang (jika ada) sudah dianggap valid, dan bacaannya pun sudah
dianggap paling dekat dengan versi yang pertama kali ditulis oleh sang
pengarang. Akan tetapi, keluaran tersebut tentunya bergantung pada
metode apa yang dipakai dalam menghasilkan edisi teks itu sendiri.
Dibawah ini terdapat empat jenis atau model edisi teks:
a) Edisi Faksimile, adalah model suntingan teks yang dihasilkan
melalui penciptaan kembali (recreation)atau duplikasi sebuah teks,

13
baik melalui cara konvensional maupun cara mutakhir. Kelebihan
edisi faksimile karena teks yang ditampilkan kepada pembaca benar-
benar asli, apa adanya tanpa ada campur tangan si penyunting
sedikitpun. Adapun kekurangannyaadalah justru karena tampil apa
adanya itulah maka para pembaca tidak mendapatakna bantuan
apapun ketika menjumpai kesulitan membaca dan memahami teks
dalam naskah yang ditulis dalam aksara atau bahasa yang tidak lagi
lazim dipakai.
b) Edisi Diplomatik, adalah model suntingn teks yang dihasilkan
melalui upaya transkripsisetia dari sebuah teks agar sesuai dengan
aslinya. Dalam hal ini sang pengkaji naskah tidak bertujuan untuk
menghadirkan teks yang memiliki bacaan terbaik (best readings),
melainkan untuk menyajikan teks apa adanya.
c) Edisi Campuran, adalah model suntingan teks yang dihasilkan
mellui penggabungan bacaan dari lebih dari satu versi naskah.
Artinya penyunting tidak mendasarkan teks yang diproduksinya dari
satu sumber naskah salinan saja, melainkan dari beberapa salinan
naskah yang menurutnya patut digabungkan.
d) Edisi Kritis, adalah model suntingan teks yang dihasilkan melalui
hasil olah penyunting yang menginginkan terbentuknya sebuah teks
dengan kualitas bacaan terbaik (best readings).12

6. Analisis isi
Langkah terakhir adalah analisis isi, yakni dengan melakukan telaah atas
teks dan konteksnya sesuai dengan perspektif yang digunakan. Tahap
analisis isi merupakan tahap yang sangat krusial sebagaimana suntingan
teks, peneliti dituntut untuk tidak saja mampu menjelaskan makna-makna
teks yang dikajinya melainkan juga menghubungkannya dengan konteks
atau wacana akademik yang lebih besar, dan struktur sejarah yang lebih

12
Oman Fathurrahman, Filologi IndonesiaTeori dan Metode (Banten: Prenadamedia
Group, 2016), hlm. 89-91

14
mapan, sehingga teks yang secara intrinsik mungkin terlihat kecil, datar
dan biasa-biasa saja, bisa menjadi besar dan bahkan menjadi kunci untuk
membuka sebuah “kotak pandora”.
Secara metodologis, menghasilkan suntingan teks dan mengungkapkan
isinya saja sudah dianggap memadai dalam sebuah penelitian filologis.
Akan tetapi, menggali aspek-aspek kesejarahan dan latar belakang
mengapa teks itu lahir, wacana apa yang sedang direspons dan bagaimana
posisi teks dalam wacana tersebut, niscaya akan menjadi kontribusi penting
bagi dunia akademik, bukan saja kontribusi bagi keilmuan filologi,
melainkan lebih dari itu sejarah dan pengetahuan kebuadayaan secara
umum.

15
DAFTAR PUSTAKA

Baried, Siti baroroh, Dkk.1985 . Pengantar Teori Filologi, Jakarta

Budaya, Fakultas Ilmu, and Kata Pengantar, ‘Sebuah Penganta r I Ketut

Lubis, Nabilah.2001 Naskah, teks dan metode penelitian filologi.kurikulum

kajian bahasa dan sastra arab.

Nuarca Program Studi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana’, 1–25

Oman Fathurrahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode (Banten:

Prenadamedia Group, 2016)

Sejarah, Naskah, and Jawa Barat, ‘253-533-1-Pb’, 9.2 (2018), 281–330

Sudardi, “Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi”. (Surakarta: Penerbit

Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Indonesia Sebelas Maret)

Robson, “Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan

Sastra tahun IV

16

Anda mungkin juga menyukai