Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
PROGRAM PASCASARJANA
1442 H / 2020 M
KATA PENGANTAR
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
kini dengan masa lalu dalam mengenal sejarahnya lewat teks yang
terkandung dalam naskah kuno.
Dalam menjembatani teks-teks tersebut, perlu adanya kritik
terhadap teks agar filolog tidak serta merta menelan mentah-mentah teks
yang dikaji. Kritik teks adalah proses menilai teks yang terkandung dalam
naskah. Hal ini berkaitan dengan kebenaran yang akan filolog tampilkan
ke permukaan. Mengingat kembali manusia sebagai makhluk yang tidak
luput dari lupa dan kesalahan dan teks yang tertulis dalam naskah ditulis
oleh seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dalam menulis, baik
menulis naskah awal maupun dalam proses penyalinan. Selain itu, kritik
terhadap teks perlu dilakukan karena untuk menjadikan teks tersebut lebih
bernilai. Bukan hanya sebagai tulisan, tetapi sebagai coretan masa depan
yang akan datang.
Pada masa lampau, teks dalam naskah kuno seringkali mengalami
penyalinan. Sehingga, para peneliti saat ini, perlu memetakan teks
berdasarkan tingkat keorisinalitasnya. Teks sebagai objek kajian filologi
memiliki tiga tingkatan. Pertama, teks awal mula yang ditulis oleh
pengarang yang disebut otograf. Kedua, teks imajiner yang muncul
setelah rekontruksi dilakukan yang disebut arketip. Ketiga, teks salinan,
teks yang paling banyak kita jumpai, biasa disebut hiparketip. Dalam
penemuannya, seorang filolog seringkali menemukan beberapa naskah
yang sama, atau hampir sama dalam penelitiannya dikarenakan banyaknya
salinan yang dilakukan. Oleh karena itu, penyusunan tiga level teks ini
diawali dari teks salinan atau hiparketip terlebih dahulu yang ditemukan.
Setelah itu, dipilah dan dikelompokkan berdasarkan kesamaan dan
perbedaan teks. Setelah itu, filolog bisa menarik kesimpulan bahwa teks-
teks hiparketip tersebut tergolong ke dalam beberapa teks imajiner atau
arketip. Setelah ditentukan teks arketip, barulah ditarik kesimpulan bahwa
teks tersebut bersumber pada satu teks dasar yang selanjutnya ditentukan
sebagai teks otograf, teks yang ditulis langsung oleh pengarang pertama.
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja teori-teori filologi?
2. Apa saja metode-metode filologi?
3. Bagaimana alur penelitian filologi?
C. Tujuan
1. Mengetahui teori-teori filologi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Filologi
dengan mengambil satu naskah yang dianggap baik sebagai dasar terbitan,
a. Dari saduran dalam tembang macapat digunakan satu teks tercetak dan dua
naskah.
Kawi.
4
4. Salinan oleh Cohen Stuart dari naskah Gericke.
1
Nabilah Lubis, 2001, Naskah, teks dan metode penelitian filologi.
kurikulum kajian bahasa san sastra arab. hlm 35
5
diturunkan ke dalam naskah lainnya dengan cara penulisan kembali teks tanpa
merubah bahasa, aksara, dan bentuk teks yang digunakan dalam naskah
sebelumnya.
teks ke dalam bahasa, aksara, dan atau bentuk teks yang berbeda dari naskah
sebelumnya.
yaitu:
yang disalinnya;
per kata. Hal ini dimungkinkan karena penyalin tahu akan aksara
6
a. naskah salinan dengan aksara dan bahasa yang sama,
berbeda tetapi dengan bahasa yang masih sama seperti dalam point
B. Metode Filologi
Dilihat dari banyak sedikitnya jumlah naskah yang dijadikan objek penelitian,
(lebih dari satu) maka untuk kepentingan penyuntingtan ada beberapa alternatif
a. Metode Intuitif
yang luas, dan selera yang baik. Metode intuitif termasuk metode
2
Baried, Sitibaroroh, Dkk.1985 . PengantarTeoriFilologi, Jakarta, hlm. 58
3
Sudardi, “Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi”. (Surakarta: Penerbit Sastra Indonesia,
7
sehingga orang bekerja secara intuitif dengan cara mengambil naskah yang
paling tua kemudian diedisi dan diperbaiki berdasarkan naskah lain dengan
memakai akal sehat, selera baik, pengetahuan yang luas, dan sebagainya.4
sendiri dengan cara mengambil naskah yang dianggap paling tua, teks
yang dianggap tidak jelas atau tidak benar diperbaiki berdasarkan naskah
lain yang isinya sama juga berdasarkan akal sehat dan pengetahuan yang
luas si peneliti.
b. Metode Objektif
Metode ini lebih populer dengan sebutan metode stema. Pada dasarnya
benar dari beberaoa varian dapat dilakukan dengan melihat jumlah dan
Cara kerja metode ini dengan mengadakan perbandingan kata demi kata.
yang sama, maka disimpulkan bahwa naskah tersebut berasal dari satu
sumber.
Dalam proses penurunan naskah ada yang dikenal dengan naskah yang
bersumber dari nenek moyang yang disebut naskah setradisi atau arcketyp
8
yang kadang diberi nama huruf Yunani dengan omega, kemudian
c. Metode Gabungan
Metode ini digunakan apabila semua naskah dugaan filologi yang ada
dianggap hampir sama. Perbedaan yang ada tidak terlalu signifikan dan
d. Metode Landasan
Metode landasan disebut juga dengan metode legger atau induk. Metode
ini digunakan apabila menurut tafsiran dari naskah-naskah yang ada semua
jelas perbedaannya dan ada satu naskah yang paling menonjol baik dari
Penggunaan metode ini akan menghasilkan satu edisi teks yang dari segi
landasan.
tersedia salah satu buah naskah (codex uniqus) maka tidak mungkin kita
5
Fakultas Ilmu Budaya and Kata Pengantar, ‘Sebuah Penganta r I Ketut Nuarca Program Studi
Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana’, 1–25.
6
Sejarah and Barat.
7
Budaya and Pengantar.
9
mengedisi naskah dapat ditempuh dengan dua cara:
pungutasi maupun pembagian teks. Dalam edisi ini semestinya teks tidak
ditransliterasi. Jadi dalam bentuk yang paling sempurna dari edisi ini
dicetak begitu saja. Dari segi teoritis metode ini dapat dianggap paling
Tetapi dari segi praktis dianggap kurang menarik karena hanya dapat
dinikmati oleh kalangan tertentu saja terutama mereka yang telah memiliki
bersangkutan.
2. Edisi standar. Robson menyebut edisi ini adalah edisi biasa. 9 Meskipun
naskah yang tersedia hanya satu (naskah tunggal), tetapi di dalam metode
ejaan teks sampai kepada menyusun aparat kritik dan membuat komentar
8
Fakultas Ilmu Budaya and Kata Pengantar, ‘Sebuah Penganta r I Ketut Nuarca Program Studi
Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana’, hal. 13.
9
Robson, “Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra tahun IV
nomor 6, hal. 3.
10
dicatat di tempat khusus untuk memudahkan pemeriksaan kembali atau
Perbandingan
Analisis Isi Suntingan Teks Naskah &Teks
1. Penentuan Teks
Memilih dan mementukan teks apa yang akan dikaji merupakan
tahap paling awal dan menentukan dalam sebuah studi naskah. Dalam hal
ini, setiap peneliti memiliki preferensi yang berbeda-beda terkait teks apa
yang menurutnya menarik.sangat mungkin bahwa teks yang dianggap
menarik oleh seseorang akan dianggap biasa-biasa saja dimata orang lain
atau mungkin sebaliknya, karena pada dasarnya setiap teks memiliki sejarah
dan konteksnya tersendiri tergantung bagaimana kapasitas dan kemampuan
sang peniliti dalam memaknai teks tersebut.10
2. Inventarisasi Naskah
Langkah kedua adalah inventarisasi naskah, inventarisasi naskah
10
Oman Fathurrahman, Filologi IndonesiaTeori dan Metode (Banten: Prenadamedia
Group, 2016), hlm. 69
11
secara sederhana dimaksudkan sebagai upaya secermat-cermatnya dan
semaksimal mungkin untuk menelusuri dan mencatat keberadaan naskah
yang memuat salinan dari teks yang akan dikaji. Beberapa cara dapat
dilakukan untuk menelusuri naskah yang memuat salinan dari teks yang
dipilih antara lain melalui: katalog naskah, buku-buku yang mengupas
naskah terkait, artikel-artikel di jurnal, publikasi atau karya tulis lain, dan
penelusuran terhadap koleksi naskah milik perorangan itu belum dibuatkan
katalognya, selain juga harus terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada
pemiliknya untuk mendapatkan izin mengakses naskah.
3. Deskripsi Naskah
Langkah ketiga adalah deskripsi naskah, yakni melakukan
identifikasi baik terhadap kondisi fisik naskah, isi teks, maupun identitas
kepengarangan dan kepenyalinannya dengan tujuan untuk menghasilkan
sebuah deskripsi naskah dan teks secara utuh.
Hal penting untuk diperhatikan adalah bahwa umumnya satu bundel
naskah Nusantara mengandung lebih dari satu teks di dalamnya. Tidak
jarang pula antar teks dalam satu bundel naskah yang sama tersebut
berbeda-beda bidang keilmuanya. Ketika mendeskripsikan maslah
semacam ini maka setiap teks perlu diidentifikasi dengan sangat hati-hati.
Mengidentifikasi sebuah naskah adalah kemampuan mendasar dan
paling awal yang harus dimiliki oleh seorang peneliti naskah. Melalui
identifikasi yang baik dan teliti, sebuah naskah akan dapat dihadirkan
secara terperinci kepada pembaca, serta akan menjadi modal penting bagi
peneliti sendiri untuk melakukan tahap-tahap penelitian berikutnya, seperti
analisis teks dan kontekstualitasnya.11
11
Ibid, hlm. 77
12
Sejarah, Naskah, and Jawa Barat, ‘253-533-1-Pb’, 9.2 (2018), 281–330
Langkah keempat adalah perbandingan naskah dan teks, baik fisik naskah maupun
teksnya dibandingkan: masing-masing alas naskahnya diperiksa, mungkin sama-
sama kertas Eropa, tapi kertas yang satu bisa jadi lebih tua usianya dibanding kertas
lainnya, masing-masing teksnya juga diperiksa dan dibandingkan untuk mengetahui
sejauh mana perbedaannya. Tentu saja perbandingan teks hanya perlu dilakukan jika
korpus penelitian kita terdiri lebih dari satu salinan naskah, dan tidak berlaku jika
salinan naskahnya tunggal belaka.
Khusus terkait dengan teksnya, beberapa hal yang perlu
diperbandingkan antara lain, tapi tidak terbatas pada struktur teks, bahasa
dan ejaan, variasi bacaan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, alur
cerita dan masa penyalinan yang dianggap perlu untuk mendukung analisis
penelitian.
Hasil perbandingan naskah dan teks ini kelak dapat dijadikan sebagai
dasar untuk menentukan salinan naskah mana yang teksnya aka dijadikan
sebagai landasan suntingan teks. Biasanya jika ada salinan naskah itulah
yang akan dijadikan sebagai landasan membuat edisi teks, sedangkan teks
dalam salinan naskah lainnya dijadikan sebagai pembanding bacaan.
5. Suntingan Teks
Tahap kelima dalam penelitian filologi adalah membuat suntingan teks,
atau dengan kata lain menyiapkan edisi teks yang bisa dibaca dan dipahami
oleh khalayak luas. Sebuah edisi teks yang merupakan keluaran (output)
dari tahap ini, idealnya merupakan teks yang telah diverifikasi (al-Nass al-
muhaqqaq) melalui tahapan-tahapan penelitian filologis, judul, dan
pengarang (jika ada) sudah dianggap valid, dan bacaannya pun sudah
dianggap paling dekat dengan versi yang pertama kali ditulis oleh sang
pengarang. Akan tetapi, keluaran tersebut tentunya bergantung pada
metode apa yang dipakai dalam menghasilkan edisi teks itu sendiri.
Dibawah ini terdapat empat jenis atau model edisi teks:
a) Edisi Faksimile, adalah model suntingan teks yang dihasilkan
melalui penciptaan kembali (recreation)atau duplikasi sebuah teks,
13
baik melalui cara konvensional maupun cara mutakhir. Kelebihan
edisi faksimile karena teks yang ditampilkan kepada pembaca benar-
benar asli, apa adanya tanpa ada campur tangan si penyunting
sedikitpun. Adapun kekurangannyaadalah justru karena tampil apa
adanya itulah maka para pembaca tidak mendapatakna bantuan
apapun ketika menjumpai kesulitan membaca dan memahami teks
dalam naskah yang ditulis dalam aksara atau bahasa yang tidak lagi
lazim dipakai.
b) Edisi Diplomatik, adalah model suntingn teks yang dihasilkan
melalui upaya transkripsisetia dari sebuah teks agar sesuai dengan
aslinya. Dalam hal ini sang pengkaji naskah tidak bertujuan untuk
menghadirkan teks yang memiliki bacaan terbaik (best readings),
melainkan untuk menyajikan teks apa adanya.
c) Edisi Campuran, adalah model suntingan teks yang dihasilkan
mellui penggabungan bacaan dari lebih dari satu versi naskah.
Artinya penyunting tidak mendasarkan teks yang diproduksinya dari
satu sumber naskah salinan saja, melainkan dari beberapa salinan
naskah yang menurutnya patut digabungkan.
d) Edisi Kritis, adalah model suntingan teks yang dihasilkan melalui
hasil olah penyunting yang menginginkan terbentuknya sebuah teks
dengan kualitas bacaan terbaik (best readings).12
6. Analisis isi
Langkah terakhir adalah analisis isi, yakni dengan melakukan telaah atas
teks dan konteksnya sesuai dengan perspektif yang digunakan. Tahap
analisis isi merupakan tahap yang sangat krusial sebagaimana suntingan
teks, peneliti dituntut untuk tidak saja mampu menjelaskan makna-makna
teks yang dikajinya melainkan juga menghubungkannya dengan konteks
atau wacana akademik yang lebih besar, dan struktur sejarah yang lebih
12
Oman Fathurrahman, Filologi IndonesiaTeori dan Metode (Banten: Prenadamedia
Group, 2016), hlm. 89-91
14
mapan, sehingga teks yang secara intrinsik mungkin terlihat kecil, datar
dan biasa-biasa saja, bisa menjadi besar dan bahkan menjadi kunci untuk
membuka sebuah “kotak pandora”.
Secara metodologis, menghasilkan suntingan teks dan mengungkapkan
isinya saja sudah dianggap memadai dalam sebuah penelitian filologis.
Akan tetapi, menggali aspek-aspek kesejarahan dan latar belakang
mengapa teks itu lahir, wacana apa yang sedang direspons dan bagaimana
posisi teks dalam wacana tersebut, niscaya akan menjadi kontribusi penting
bagi dunia akademik, bukan saja kontribusi bagi keilmuan filologi,
melainkan lebih dari itu sejarah dan pengetahuan kebuadayaan secara
umum.
15
DAFTAR PUSTAKA
Sastra tahun IV
16