Anda di halaman 1dari 12

BAHAN AJAR (HAND-OUT)

A. Identitas Mata Kuliah

Nama Mata Kuliah: Telaah Naskah dan Kritik Teks Sks :3


Kode MK : IND1.62.4009
Bahan Kajian : Observasi Naskah ke Perpustakaan, Museum, dan Masyarakat
Pertemuan ke- :3
Prodi : Sastra Indonesia
Fakultas : Bahasa dan Seni
Dosen Pengampu : Dr. Nurizzati, M.Hum

B. Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mata Kuliah

Merumuskan pengertian kodekologi dan tekstologi : bidang garapan kodekologi


dan tekstologi.

C. Materi

KODEKOLOGI DAN OBSERVASI NASKAH:

a. Pengertian kodekologi
b. Bidang garapan kodekologi: tahap inventarisasi dan deskripsi naskah
c. Observasi naskah ke perpustakaan, museum, dan masyarakat

D. Uraian Materi 3

KODEKOLOGI DAN OBSERVASI NASKAH

Kodekologi dan tekstologi adalah dua bidang kajian filologi yang berbeda dari segi
konsep, tetapi objeknya satu, yaitu naskah. Keduanya memiliki tahapan kerja dan
cakupan kajian sendiri-sendiri dengan metode kerja yang berbeda. Berikut diuraikan
secara detail.
1. Kodekologi
Kata kodekologi berasal dari kata Latin codex (bentuk jamaknya codices) yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan naskah. Dalam bahasa Latin kata
codex atau caudex berarti ‘teras batang pohon’ (dalam Mu’jizah, 2003:4.2). Pengertian
ini kelihatannya bertalian dengan pemanfaatan kayu sebagai alas untuk menulis. Dalam
perkembangannya kata codex dipakai sebagai padanan istilah naskah, dan ilmu yang
mempejari seluk-beluk naskah disebut kodekologi. Robson (dalam Mu’jizah, 2003:4.2)
nengartikan kodikologi itu dengan ‘pelajaran naskah’.
Secara lebih lengkap, Baried, dkk. (1985:55) menjelaskan:
Kodikologi adalah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan atau
menurut The New Oxford Dictionary (1982) Manuscript volume, esp. of
ancient texts ’gulungan atau buku tulisan tangan, terutama dari teks-teks
klasik’. Kodikologi mempelajari seluk beluk atau semua aspek naskah,
antara lain bahan, umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis naskah.

Istilah kodekologi pertama kali digunakan oleh orang Yunani, Alphonse Dain
(Hermans dan Huisman dalam Mu’jizah, 2003:4.3). Istilah ini dikenal di kalngan yang
lebih luas melalui karyanya Les Manuscrits yang diterbitkan pada tahun 1949. Menurut
Dain (dalam Mu’jizah, 2003:4.3), kodikologi adalah ilmu tentang naskah-naskah, dan
bukan ilmu yang mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Tugas dan lingkup
kodikologi meliputi sejarah naskah, koleksi naskah, penelitian mengenai tempat
penyimpanan naskah yang asli, penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog,
perdagangan naskah, dan penggunaan naskah.
Selain istilah naskah sering juga disebut-sebut manuskrip (dari bahasa Inggris
manuscript). Kata manuscript berasal dari bahasa Latin codicesmanu scripti yang berarti
‘buku-buku yang ditulis dengan tangan’ (manus=tangan, scriptusx dari
scribere=menulis). Dalam bahasa Belanda digunakan istilah handscrift; dalam bahasa
Jerman Handscrift; dalam bahasa Perancis manuscrit. Dalam berbagai katalogus istilah
manuscript atau manuscrit (keduanya bentuk tunggal) disingkat menjadi MS, dan
manuscripts atau manuscrits (bentuk jamak) disingkat MSS. Sedangkan istilah handscrift
atau Handschrift disingkat menjadi HS dan istilah handscriften atau Handschriften
(jamak) disingkat HSS (Mu’jizah, 2003:4.3).

a. Penyalinan Naskah
Naskah nusantara ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Jumlah yang banyak
dalam konteks filologi tidak sama dengan banyak pada buku yang diterbitkan oleh
percetakan; sekali cetak keluar dalam jumlah besar. Tetapi naskah disalin dengan tulisan
tangan. Kalau ada permintaan lagi terhadap naskah bersangkutan, ditulis lagi dengan
tulisan tangan. Bila satu judul naskah ditemukan 47 buah, hal itu berarti bahwa naskah itu
telah disalin sebanyak 46 kali. Jika dibandingkan dengan buku sekarang, 46 adalah angka
terbitan atau cetakan yang ke-46 dan sekali terbit 1.000 eksemplar, jumlah
keseluruhannya adalah 47.000 eksemplar. Angka46 kali terbit adalah angka yang
menakjubkan, dan biasanya hanya terjadi pada buku yang sangat laris.
Dalam kajian kodikologi nusantara ditemukan berbagai alasan penyalinan naskah
sebagaimana yang terjadi di Aleksandria pada abad ke-3 SM. Alasan penyalinan naskah
di sana adalah untuk perdagangan buku. Di Indonesia tidak ada alasan penyalinan naskah
untuk perdagangan tersebut. Alasan yang ada adalah : (1) adanya keinginan pihak tertentu
untuk memiliki naskah, karena naskah itu memiliki fungsi yang dibutuhkan si pemilik
naskah, yaitu menaikkan status sosial dan unsur magis yang diyakini ada pada naskah.
Yang memiliki naskah biasanya adalah kalangan terhormat, kaum ningrat, penguasa dan
pejabat. Begitu pula untuk kekeramatan naskah yang diyakini akan mendatangkan
keberuntungan ; (2) untuk mengganti naskah yang ada, tetapi sudah mulai rusak.
Misalnya telah lapuk, dimakan ngengat, robek, hilang beberapa lembar, dan sebagainya.
Agar tidak musnah begitu saja, naskah induk disalin kembali; (3) khawatir naskah yang
ada hilang atau terjadi sesuatu dengan naskah asli. Misalnya, khawatir sewaktu-waktu
terbakar, rusak karena terbakar, dicuri, dan sebagainya. Penyalinan disini untuk berjaga-
jaga agar salah satu naskah, asli atau salinannya, tetap ada; (4) penyalinan untuk tujuan
magis, terutama naskah-naskah yang dianggap memiliki kekuatan magis. Di sini penyalin
akan merasa memiliki kekuatan magis kalau selesai menyalin naskah tersebut; (5)
penyalinan naskah untuk tujuan politik, kepentingan agama, pendidikan, dan sebagainya.
Naskah-naskah yang disalin di sini adalah naskah-naskah yang dianggap penting dan
bertalian erat dengan tujuan-tujuan di atas.
Cara penyalinan naskah, walau dengan alasan apa pun, ada dua : (1) penyalinan
otomatis (mekanis); (2) penyalinan kritis. Penyalinan otomatis (mekanis) dilakukan
sebagaimana adanya. Perubahan-perubahan yang terjadi antara salinan dengan induknya
hanya karena tidak sengaja. Telaah filologi yang dilakukan terhadap naskah yang punya
varian di sini adalah telaah filologi tradisional. Sasarannya adalah rekontruksi teks secara
maksimal mendekati teks yang asli. Telaah seperti ini telah dilakukan ahli filologi sejak
abad ke-3 SM sampai abad ke-19.
Penyalinan kritis dilakukan dengan penambahan teks dimana dirasa perlu dan
menguranginya bila dirasa berlebih atau kurang tepat. Di sini ada unsur kesengajaan
mengubah teks seperti halnya penyalinan naskah sejarah yang telah disebutkan pada
bagian terdahulu. Telaah yang cocok untuk naskah-naskah yang disalin dengan cara ini
adalah telaah filologi modern bertolak dari 3 pertanyaan: (1) sejauhmana perbedaan satu
naskah dengan naskah lain; (2) apa yang berbeda ; dan (3) mengapa terjadi perbedaan.
Jawaban dari pertanyaan tersebut membawa peneliti kepada satu pilihan naskah yang
dianggap sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan menelaah isi yang terkandung di
dalam teks berdasarkan pendekatan ilmu lain, seperti pendidikan, sastra, sejarah, dan
antropologi.
Akibat langsung penyalinan teks/naskah adalah korup (perubahan), karena dalam
proses penyalinan itu selalu ada unsur kelupaan, ketidaksengajaan, atau malah
ketidaktahuan penyalin dengan bagian teks yang sulit, atau sudah rusak. Penyalinan yang
tidak terbebas dari kesalahan atau perubahan itu tentunya menyebabkan munculnya
variasi dan versi naskah. Kadang-kadang kesalahan atau perubahan itu sengaja dilakukan
penyalin, karena dia ingin menyesuaikan teks dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan
demikian kesalahan dalam penyalinan teks/naskah ini dapat pula dibagi dua, yaitu
kesalahan yang disengaja , dan tidak disengaja. Kesalahan yang disengaja terjadi atas
unsur keinginan atau visi penyalin sendiri; kesalahan yang tidak disengaja terjadi atas
unsur fitrah alamiah penyalin sebagai manusia yang tidak luput dari kelupaan dan
keterbatasan dalam berbuat. Dalam proses kosentrasi kadang-kadang pikiran dan
perbuatan tidak sejalan. Hal inilah yang menimbulkan kesalahan yang tidak disengaja
tersebut terjadi.
Kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi dalam penyalinan teks yang disimpulkan
dari sekian banyak telaah filologi terhadap naskah nusantara oleh para ahli filologi adalah
sebagai berikut:
1) Lakuna (lacunae), yaitu kesalahan penyalinan akibat kata, frasa, kalimat, paragraf,
atau halaman naskah terlewati. Artinya, ada bagian-bagian naskah induk yang tidak
tersalin (tertinggal).
2) Substitusi (substitution), yaitu kesalahan berbentuk pergantian satu huruf dengan
huruf lain yang hampir sama. Dalam hal penyalin kemungkinan salah menafsirkan
bentuk huruf yang tertera dalam naskah induk. Misalnya (dal) menjadi (ra), (syin)
menjadi (sin);
3) Transposisi (transposition), yaitu kesalahan penyalinan karena salah letak kata atas
unsur kesengajaan. Misalnya penyalinan larik-larik sajak untuk kepuitisan;
4) Interpolasi (interpolation), yaitu kesalahan penyalinan dalam bentuk penambahan
teks karena unsur ketidaksengajaan. Bentuk penambahan yang dimaksud berukuran
lebih dari satu kalimat. Misalnya penambahan satu atau dua bait pantun;
5) Adisi (addition), yaitu kesalahan penyalinan dengan bentuk penambahan bagian teks
karena unsur ketidaksengajaan juga, tetapi ukuran yang paling besar adalah kalimat.
Artinya, kesalahan itu berbentuk penambahan bagian teks di bawah ukuran kalimat
klausa, frasa, kata, dan suku kata;
6) Haplografi (haplographie), yaitu kesalahan penyalinan berbentuk hilangnya huruf
atau suku kata yang sama. Misalnya, kata beberapa dalam salinannya hanya ditulis
berapa. Dalam naskah Pararaton kata ‘Sinanagara’ dalam naskah induk hanya ditulis
‘Sinagara’ dalam naskah salinannya; dan
7) Ditografi (dittographie), yaitu kesalahan yang terjadi akibat satu huruf atau suku kata,
kata, frasa, dan seterusnya ditulis dua kali, atau kesalahan kebalikan dari haplografi.
Contoh, kata ‘tamu’ dalam naskah induk, dalam salinannya ditulis ‘tatamu’.
Pada tahap kritik teks (pusat kegiatan studi filologi) kesalahan-kesalahan dalam
penyalinan teks atau naskah yang telah disebutkan itu dideskripsikan dan dipaparkan
dalam tabel-tabel sebagai tindak pertanggungjawaban atas suntingan yang dilakukan
dalam penyajian atau penyuntingan teks. Dengan demikian, setiap perubahan pada teks
yang dibuat oleh peneliti ada fakta yang langsung bisa dilihat oleh pembaca; filolog
mengedit teks memang berdasarkan naskah-naskah yang memperlihatkan data secara
faktual.
Selain cara penyalinan naskah ada pula jenis penyalinan atau penurunan naskah.
Jenis penyalinan naskah ini ada dua, yaitu : (1) penyalinan vertikal; dan (2) penyalinan
horizontal. Penyalinan vertikal adalah penyalinan naskah yang hanya didasarkan pada
satu induk menurut suatu garis keturunan. Penyalin berusaha untuk tidak melakukan
kesalahan, dan berusaha menyalin apa yang ada pada naskah induk. Bahkan kadang-
kadang penyalin juga menyalin kolofon yang ada pada bagian akhir naskah induk
sebelum dia sendiri menuliskan kolofon naskah salinan (informasi tentang penulisan
naskah mencakup waktu, tempat, nama penyalin, dan juga sponsor).
Penyalinan horizontal adalah penyalinan naskah yang bersumber dari dua atau
lebih naskah induk. Naskah salinan berbentuk penggabungan dari dua atau lebih naskah
induk. Hubungan antarnaskah (silsilah naskah) menjadi lebih rumit, karena penyalin
sudah membuat perubahan dalam teks yang disalin. Maka terjadilah percampuran yang
mengakibatkan timbulnya versi baru (mungkin saja versi yang berbeda jauh dengan versi
asli).
Berdasarkan tradisi atau kebiasaan atau ketentuan dalam penyalinan, ada dua jenis
tradisi penyalinan naskah, yaitu: (1) penyalinan tertutup; dan (2) penyalinan terbuka.
Penyalinan naskah secara tertutup adalah penyalinan yang dilakukan dengan aturan yang
ketat. Aturan yang ketat itu berkaitan dengan orang yang menyalin dan kaidah atau
ketentuan penyalinan yang harus dipatuhi penyalin. Ketentuan untuk penyalin antara
lain: (a) tidak boleh orang sembarangan; haruslah orang yang diberi kepercayaan untuk
menulis, misalnya pengarang istana; (b) orang yang terpercaya memiliki kemampuan
untuk menulis (menyalin) dengan baik, karena memiliki pengetahuan yang baik tentang
naskah yang akan disalinnya. Ketentuan penyalinan yangharus dipatuhi dalam tradisi
penyalinan tertutup antara lain: (a) harus menyalin bacaan teks secara cermat; (b) tidak
boleh melakukan kesalahan dalam penyalinan, apa lagi disengaja; (c) kesalahan
penyalinan yang disengaja dikenai sangsi moral dan agama, karena umumnya naskah
yang disalin dengan tradisi ini adalah naskah sakral yang berisi teks ajaran agama atau
aturan-aturan perundang-undangan.
Penyalinan naskah dengan tradisi terbuka kebalikan dari penyalinan dengan tradisi
tertutup, baik ketentuan tentang penyalin, maupun kaidah atau ketentuan penyalinan.
Penyalin dalam tradisi penyalinan terbuka tidak dibatasi harus orang atau kalangan
tertentu. Syarat utamanya hanya pandai menulis. Kadang-kadang malah ada yang tidak
mengetahui atau tidak mengenal naskah yang disalinnya. Kaidah atau ketentuan
penyalinan juga tidak ketat. Penyalinan malah diberi keleluasaan untuk menambah dan
mengurangi teks. Akibatnya, naskah-naskah salinan beresiko jauh berbeda dari naskah
induk. Hal itu diperbolehkan secara konvensi, karena naskah yang disalin itu adalah
naskah profan yang berisi hal-hal keduniawian dan bersifat hiburan, seperti naskah-
naskah cerita pelipur lara, sejarah perkembangan suatu bangsa, dan cerita-cerita asal-
usul.
b. Tempat Penyimpanan Naskah
Penyimpanan naskah yang sudah berusia ratusan tahun tidak bisa disamakan dengan
penyimpanan buku produksi mesin cetak. Penyimpanan naskah itu dilakukan secara
khusus di tempat khusus untuk kepentingan daya tahan bahannya yang sudah rapuh.
Selain itu, perkembangan politik di nusantara selama lebih kurang 500 tahun ikut
menentukan di mana naskah-naskah nusantara itu disimpan. Ironisnya hal itu terjadi
untuk sebagian besar naskah warisan nenek moyang kita yang tidak berada di tanah air
kita sendiri. Chambert Loir dalam tulisan Sulastin Sutrisno yang dikutip Baried, dkk
(1985:5) mengatakan bahwa naskah-naskah nusantara disimpan di 25 negara di dunia.
Karena itu, uraian tentang tempat penyimpaan naskah ini dikelompokkan menjadi dua,
yaitu di dalam negeri dan di luar negeri. Berikut ini adalah tempat-tempat penyimpanan
naskah di dalam negeri.
1) Tempat Penyimpanan Naskah di dalam Negeri (Indonesia)
Tempat penyimpanan naskah di dalam negeri dapat dikategorikan pula atas dua
tempat, yaitu di museum atau perpustakaan yang dikelola pemerintah atau yayasan dan di
dalam masyarakat. Berikut dijelaskan secara rinci.
a) Tempat Penyimpanan Naskah di Perpustakaan atau Museum Pemerintah

Tempat penyimpanan naskah di perpustakaan atau museum pemerintah ada di


tingkat pusat dan ada yang di daerah. Di tingkat pusat adalah Perpustakaan Nasional, dan
di daerah perpustakaan daerah atau museum daerah; adakalanya juga di pesantren-
pesantren, istana kesultanan, yayasan kebudayaan di daerah, dan di masjid-masjid.
Tempat penyimpanan naskah nusantara yang paling banyak di Indonesia
diperkirakan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Sesuai penjelasan
Mu’jizah (2003:4.4), tempat penyimpanan naskah terlengkap adalah Perpustakaan
Nasional di Jakarta. Jumlah keseluruhan naskah yang dikoleksi Perpustakaan Nasional itu
mencapai 10.000 yang terkelompok atas naskah berbahasa Melayu, Aceh, Batak,
Minangkabau, Sunda, Jawa Kuno, Jawa Tengahan, Jawa Baru, Bali, Madura, Makasar,
Bugis, dan Ternate.
Naskah-naskah yang disimpan di Perpustakaan Nasional itu mulai dihimpun kira-
kira dua abad yang lalu oleh sebuah lembaga yang dikendalikan oleh bangsa Belanda
dengan nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Watenschappen yang didirikan
pada tahun 1778. Lembaga ini berubah nama menjadi Koninklijk Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Watenschappen pada tahun 1923. Pada tahun 1968
lembaga tersebut berubah nama lagi menjadi Museum Pusat Kebudayaan Indonesia, dan
pada tahun 1975 menjadi Museum Nasional. Pada tahun 1989, koleksi naskah tersebut
dipindahkan ke Perpustakaan Nasional di Salemba Raya
Perpustakaan dan museum di daerah (kebanyakan di ibu kota provinsi) umumnya
mengoleksi naskah yang berasal dari daerah dan berbahasa daerah tersebut. Selain
disimpan di Perpustakaan Nasional naskah Jawa disimpan pula di Kesultanan
Yogyakarta, Pura Pakualaman Yogyakarta, Keraton Surakarta, museum-museum di
Yogyakarta dan Surakarta, Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta, Griya Dewantara Yogyakarta, Proyek Javanologi
Yogyakarta, Fakultas Sastra Universitas Indonesia Depok, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, dan Universitas Banyuwangi dan Sumenep. Gedong Kirtya di Singaraja,
Bali, juga menyimpan naskah-naskah Jawa Kuno dan Jawa Tengahan (Mu’jizah,
2003:4.4).
Naskah-naskah Minangkabau disimpan juga di berbagai pustaka dan lembaga. Di
Perpustakaan Nasional tersimpan naskah-naskah Minangkabau yang sebagian besar
dalam bentuk mikrofilm kiriman Perpustakaan Universitas Leiden Belanda sebagai
kompensasi dari naskah-naskah asli yang dibawa pedagang Belanda dulu ke Eropa yang
akhirnya dibeli oleh lembaga itu. Di Sumatera Barat sendiri naskah-naskah Minangkabau
itu disimpan di Museum Adityawarman, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau, dan Fakultas Budaya
Universitas Andalas, dan di beberapa pesantren dan masjid di kota Padang. Naskah-
naskah tersebut ditulis dalam bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau. Naskah-naskah
yang disalin dari tradisi lisan umumnya berbahasa Minangkabau, dan naskah-naskah yang
ditulis sejak awal oleh seorang penulis berbahasa Melayu, karena orang Minangkabau
lebih cendrung menggunakan bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia) dalam konteks
tulis (Isman, dkk. 1978).
Huruf atau aksara yang digunakan untuk menulis naskah nusantara bermacam-
macam sesuai dengan huruf atau aksara yang dimiliki daerah yang mempunyai naskah.
Sebagaimana yang dinyatakan Voorhoeve (dalam Mu’jizah, 2003:4.5) di daerah Kerinci
banyak dokumen yang ditulis dengan huruf Rencong sebelum aksara Arab-Melayu
digunakan di sana. Huruf Rencong yang dipakai di daerah Kerinci tersebut tidak sama
dengan huruf Rencong yang digunakan di daerah Rejang, Melayu Tengah, dan Lampung.
Teks-teks di daerah Rejang ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Ka-
Ga-Nga, Arab, dan Latin. Naskah Sunda menurut Ekadjati (dalam Mu’jizah, 2003:4.6)
ditulis dengan huruf Sunda Kuno, huruf Sunda-Jawa, huruf Arab, dan huruf Latin.
Huruf atau aksara Arab yang kemudian diadaptasi menjadi huruf Arab-Melayu atau
huruf Jawi digunakan di nusantara setelah agama Islam masuk. Huruf Arab tidak hanya
digunakan untuk menulis teks berbahasa Arab, tetapi juga untuk menulis teks berbahasa
daerah. Huruf Arab yang digunakan untuk menulis teks berbahasa Melayu disebut huruf
Arab-Melayu atau huruf Jawi. Naskah seperti itu berasal dari dari Aceh, Riau,
Minangkabau, Jakarta, Pontianak, Sambas, Banjarmasin, Buton, Makasar, Bima, Dompu,
Sumbawa, Ternate, dan Ambon. Naskah-naskah Jawa yang berisi teks bernafaskan ajaran
Islam tidak ditulis dengan aksara Jawi. Naskah-naskah Jawa Islam, pada abad ke-16,
ditulis dengan huruf/tulisan Jawa, karena bahan lontar tidak bisa ditulisi dengan huruf
Jawi atau Pegon. Berikut adalah nama-nama beberapa huruf atau aksara yang pernah
digunakan untuk menuliskan teks-teks nusantara beserta nama daerah yang
menggunakannya.
Tabel 2
Daftar Nama Huruf/Aksara Lama
No Nama Huruf/Aksara Nama Daerah/Naskah yang Menggunakan
.
1 Hanacaraka Jawa Kuno
2 Bima Nusa Tenggara Barat
3 Kawi Jawa Tengahan
4 Rencong Kerinci
5 Ka-Ga-Nga Rejang-Lebong, Bengkulu
6 Arab-Melayu/Jawi Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Jawa Baru,
Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Lombok
7 Pegon Banten, Cirebon, Madura
8 Batak Tapanuli
9 Lontarak/Bugis Bugis, Makasar

b) Tempat Penyimpanan Naskah di Tengah Masyarakat


Selain disimpan di perpustakaan dan museum, naskah juga disimpan oleh anggota
masyarakat pemilik tradisi naskah. Peneliti yang berminat menelaah naskah dan
mengedisi teks dapat menemui anggota-anggota masyarakat yang diperkirakan
menyimpan naskah. Kalau menurut kepercayaan lama naskah tidak boleh dipegang dan
dibaca oleh orang sembarangan, peneliti harus melakukan pendekatan yang
memperlihatkan sikap kekeluargaan. Dengan sikap kekeluargaan yang diperlihatkan
peneliti, pemilik naskah akan tergugah membantu peneliti untuk mendapatkan salinan
naskah, misalnya dengan membantu peneliti menyalinkan naskah sebagaimana yang
dilakukan orang kepercayaan keluarga Syeh Burhanuddin di daerah Ulakan Pariaman,
Sumatera Barat.
Secara umum, orang, lembaga, atau kalangan yang bisa ditemui untuk mendapatkan
naskah lama adalah:
a) keturunan pemimpin tradisional (saudara, anak, keponakan/kemenakan, cucu, cicit,
dst.);
b) keturunan bangsawan tradisional (saudara, anak, keponakan/kemenakan, cucu, cicit,
dst.);
c) pemimpin adat tradisional (para ninik-mamak, para datuk, para carik, dst.);
d) pemimpin lembaga pendidikan agama/pesantren;
e) seniman tradisional;
f) tenaga pengobatan tradisional, khususnya untuk mendapatkan naskah tentang
pengobatan dan mantra;
g) pegawai pada lembaga-lembaga kebudayan, khususnya lembaga yang berkaitan
dengan pelestarian naskah lama (museum atau yayasan kebudayaan lama).
Selain itu, diperkirakan juga surau-surau atau masjid di lingkungan masyarakat
tradisional menyimpan naskah lama, khususnya yang berhubungan dengan teks
keagamaan dan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan penyiaran agama.
2) Tempat Penyimpanan Naskah di Luar Negeri
Tempat penyimpanan naskah Nusantara di Luar negeri ada di 25 negara di dunia
(Chambert Loir dalam Baried, dkk., 1985:5). Tetapi, tempat yang paling banyak
menyimpan naskah nusantara itu adalah Perpustakaan Universitas Leiden, Perpustakaan
Universitas Oxford, dan Perpustakaan Bodeian di Oxford. Selain di lembaga-lembaga
itu, juga ada di koleksi-koleksi pribadi para orientalis, di antaranya Edward Picocke dan
Sir William Laud (dulu, sekarang mungkin keturunannya).
2. Observasi Naskah
Observasi naskah dilakukan ke tempat-tempat penyimpanan naskah atau ke tengah-
tengah masyarakat. Tempat-tempat penyimpanan naskah secara resmi adalah di
perpusakaan-perpustakaan besar nasional atau daerah, dan di museum-museum yang
mengoleksi naskah. Tujuan observasi adalah untuk mendapatkan data informasi
keberadaan naskah, teknik penyimpananya, perawatannya, dan melampirkan satu foto
reproduksi naskah tersebut.
Observasi naskah dapat juga dilakukan ke tengah-tengah masyarakat pemilik tradisi
naskah. Biasanya naskah-naskah lama itu disimpan oleh anggota masyarakat tertentu,
seperti bangsawan tradisional, keturunan pemerintah tradisional, pemuka-pemuka adat dan
agama, aktivis-aktivis kesenian tradisional, ahli pengobatan tradisional, dan petugas-
petugas di lembaga Badan Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Observasi naskah dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan. Observator harus
menempatkan diri sebagai pencinta naskah dan berperhatian untuk kelestarian naskah.
Observator juga harus siap dengan panduan wawancara agar pembicaraan dengan
karyawan pengelola naskah atau anggota masyarakat pemegang naskah terarah dan data
yang diharapkan observator bisa diperoleh.
Hasil observasi harus dilaporkan observator. Format laporannya lebih kurang sebagai
berikut.
a. Out-line (Kerangka) Laporan Observasi Naskah Di Museum Aditiawarman
Padang

1) Lokasi Museum/Perpustakaan
2) Struktur Organisasi Museum (Kepala, Wakil, Sekretaris, Dll)
3) Klasifikasi/jenis Koleksi Museum
4) Tata Ruang (Posisi) Koleksi Naskah
5) Klasifikasi Pengoleksian Naskah (Per Bidang Ilmu atau Per Asal Naskah) dan
Sistem Pengoleksiannya/Kode Nomor
6) Kondisi Umum semua Naskah yang Ada (asli, fotokopi, keadaannya baik,dst).
Contoh Naskah:
a) judul
b) nomor naskah
c) asal naskah (sebelum menjadi koleksi museum)
d) keadaan naskah
e) jumlah halaman
f) abjad, tulisan
g) isi ringkas
b. Out-line (Kerangka) Laporan Observasi Naskah Milik Kiyai H. Abbas di Batang
Kabung
1) Lokasi tempat secara geografis
2) Identitas orang yang punya naskah/ Status Kepemilikan naskah/ kapan naskah
diperoleh
3) Teknik penyimpanannya
4) Kondisi Umum semua Naskah yang Ada (asli, foto kopi, keadaannya baik,dst).
5) Indentitas Naskah: (lampirkan)
a) judul
b) nomor naskah
c) asal naskah (sebelum menjadi koleksi museum)
d) keadaan naskah
e) jumlah halaman
f) abjad, tulisan
g) isi ringkas
DaftarPustaka

Baried, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: P3B

Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Filologi”. Bahasa dan Sastra, Nomor
3 Tahun I. Jakarta: P3B.

__________. 1991. Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.

Ekadjati, Edi S. 1980. “Cara Kerja Filologi” (Makalah Penataran). Jember: Univ.
Jember.

Hollander, J.J. de. 1984. Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu (Terjemahan T.W. Kamil
dari Handsleiding bij de Boefing der Malaische, tahun 1893, Edisi ke 6).
Jakarta:Balai Pustaka.

Hermansoemantri, Emuch. 1986. “Identifikasi Naskah”. Bandung: Fakultas


Pascasarjana Unpad.

Maas, Paul. 1958. Textual Criticism (Penerjemah dari bahasa Jerman Barbara Flower).
Oxford: The Clarendon Press.

Nurizzati. 2019. Ilmu Filologi: Teori dan Prosedur Penelitiannya. Malang: IRDH.

Lubis, Nabilah. 2001. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta Yayasan
Media Alo Indonesia.

Pamuntjak, M. Thaib Gelar Sutan. 1935. Kamus Bahasa Minangkabau Bahasa Melayu
Riau. Batavia: Balai Pustaka.

Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia. Bahasa dan Sastra,
Nomor 6 Tahun VI. Jakarta: P3B.

__________. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: P3B.

Reynold dan Wilson. 1974. Scribes and Scholars. Oxford: Clarendon Press.

Soebadio, Haryati. 1975. “Penelitian Naskah Lama Indonesia”. Buletin Yaperna,


Nomor 7 Tahun II. Jakarta.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai