Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Penelitian Seni Budaya

MAKNA SIMBOL RELIEF SENGKALAN CANDI SUKUH

Achmad Syafi’i
Program Studi Televisi dan Film, Jurusan Seni Media Rekam
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Surakarta
Email: syafii@isi-ska.ac.id

Abstract

This research discusses the meaning of the symbol sengkalan relief sukuh temple located in
Ngargoyoso, Karanganyar, Central Java. The research focuses on the problem of the interpretation of the
meaning of sukuh temple relief symbols in a cultural perspective through Clifford Geertz’s hermeneutic
theory, that the symbol is a special sign that is arbritrer or not the same as the one marked and can only be
understood in the context interpreted by the culture itself, or is culturally specific. Furthermore, this research
reviews the meaning of the presence and visualization of the relief of Sukuh temple which is considered
the last relic of Majapahit kingdom. So the purpose of the research is more to explore the presence and
meaning of relief sengkalan in Sukuh temple as part of the sign system in Javanese culture. At the same
time as an effort to preserve the value of tradition about pralambang in the form of sengkalan that is often
used by Javanese people in temple relief, in this context is sukuh temple so that it can be understood by
Javanese people now as a way of understanding themselves, life and life as part of the ‘Eastern’ culture.
The making of sukuh temple relief sting is possible to uncover events or events at the end of majapahit’s
heyday, which may have escaped the historical track record of majapahit kingdom that has been understood.
Let the temples speak, so they are not merely banners that lead us to myth and mysticism, but there is a lot
of wisdom that they will whisper from the hidden meaning behind the relief of Sukuh temple.
Keywords: Meaning, Relief, Sengkalan, Sukuh Temple.

PENDAHULUAN tidak pernah lepas dari perilaku simbolis dalam


menjalankan sitem budaya Jawa. Oleh sebab
Budaya Nusantara selalu menarik untuk itu sering dikatakan bahwa Wong Jowo Nggone
dikaji, Jawa salah satunya. Manusia Jawa Semu dapat diartikan bahwa dalam manusia
memiliki kebudayaan dimana dalam system Jawa terdapat banyak makna yang tersirat dan
budayannya banyak menggunakan simbol- perludipahami mendalam sebab manusia Jawa
simbol sebagai sarana untuk menitipkan tidak pernah transparan terbuka mengungkapkan
pesan-pesan atau nasihat bagi masyarakatnya1. apa yang ingin diungkapkannya.
Kegemaran manusia Jawa Simbol-simbol tersebut seringkali
dalam menggunakan pralambang diungkap manusia Jawa dalam wujud artifak.
(lambang), pralampita (sindiran halus), Dan dalam menghasilkan budaya yang berupa
pasemon (ibarat, kias, lambang), sanepa artifak tidak terlepas dari berbagai aspek
(ibarat, tamsil), wangsalan (kalimat teka-teki yang melingkupinya, ada kekuatan yang
mengandung makna), serta lain sebagainya mendorong terwujudnya artifak tersebut.
merupakan petunjuk bahwa manusia Jawa Hubungan aspek-aspek dalam kehidupan
1 Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam manusia, salah satunya adalah manusia dalam
Budaya Jawa, Yogyakarta: PT. Hanindita, 1984, hlm. 1 menunjang kebutuhan religius untuk mencapai

178 Volume 13 No. 2 Desember 2021


Achmad Syafi’i : Makna Simbol Relief Sengkalan Candi Sukuh

kepada tataran kasampurnan. Setiap ritual dalam daun tal (ron tal atau lidah Jawa bahkan
tersebut terrepresentasikan dalam sebuah wujud dibakukan menjadi lontar) yang menjelaskan
bendawi yang mendukung proses pencapaian penghadiran candi maupun penghadiran relief
yang diinginkan. yang ada pada panel dinding bangunan candi.
Perwujudan bendawi direpresentasikan Sehingga pemaknaan yang ada baru secara
melalui karya seni untuk pemenuhan kebutuhan interpretatif pendukung budaya ataupun dari
secara artistik serta estetik dihadapan masyarakat. hasil pengungkapan para peneliti. Celakanya,
Jawa sepert beberapa daerah di belahan dunia tulisan yang digunakan sebagai daya dukung
lainnya mempunyai kronogram, sebuah lebih mengacu pada tulisan para kolonialis yang
penanda waktu berbentuk teks maupun gambar pernah menjajah Indonesia, terutama Belanda,
yang dapat dijumpai pada berbagai artefak sehingga manusia Jawa kini belum memahami
budaya tradisi maupun non tradisi dimulai makna asali penghadiran relief di candi Sukuh.
dari relief candi, penggambaran pada keraton, Termasuk rerupa sengkalan yang digambarkan
wayang, senjata tradisional, hingga identitas dalam relief-relief di candi Sukuh.
visual kabupatennya. Kronogram Jawa bernama Candi Sukuh di lereng gunung Lawu
sengkalan. Sengkalan merupakan peringatan pun dianggap oleh pemahaman awam sebagai
tahun yang berhubungan dengan peristiwa salah satu peninggalan terakhir Majapahit
kejadian penting yang diwujudkan ke dalam sebelum runtuh pada tahun yang ditandai dengan
ungkapan kalimat (Sunaryo, 2003: 4). Tiap sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bhumi atau
kata (atau juga bisa disebut watak) dalam teks tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Namun
sengkalan mewakili sebuah angka, kemudian anehnya, sengkalan yang ada pada pintu
jika rangkaian kata tersebut jika dibaca secara gerbang utama terbaca Gapuro Buto Aban
terbalik maka akan didapat bilangan tahun. Wong atau Gapuro Yakso Mongso Jalmo yang
Sengkalan yang berwujud gambar (visual) diterjemahkan akan mendapatkan angka 1359
maka penggolongan seninya termasuk ke dalam Saka atau 1437 Masehi. Sedangkan pintu sebelah
seni visual (visual art). Sengkalan masih terus Selatan terdapat sengkalan gapura bhuto anahut
digunakan sampai saat ini baik pada artefak buntut yang diterjemahkan 1359 Saka atau
budaya tradisi misalnya candi, salah satu candi 1432 Masehi2. Angka tahun 1432 ataupun 1437
yang memiliki rerupa sengkalan adalah candi bukanlah menunjukkan keruntuhan Majapahit,
Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah. tetapi menunjukkan era Ratu Suhita yaitu tahun
Kemunculan Sengkalan pertama kali 1429 - 1447 Masehi. Sebab setelah itu masih
berdasarkan pada folklor Jawa menceritakan dilanjutkan oleh raja-raja Majapahit mulai
Sangkala (sengkala) atau Jaka Sengkala adalah dari Kertawijaya tahun 1447-1451 Masehi,
seorang putra raja dari India yang datang ke hingga Kertabumi (Brawijaya V) 1468-1478
Tanah Jawa dan kemudian bergelar Empu Masehi yang dianggap sebagai generasi terakhir
Sengkala. Empu Sengkala menyebarluaskan Majapahit. Sebelum Girindrawardhana (raja
berbagai kesenian termasuk pengetahuan Kadiri) menobatkan diri sebagai Brawijaya VI3.
tentang perhitungan tahun yang berkembang Adanya sejarah yang simpang siur
menjadi dua macam yakni tahun Suryasengkala: menjadikan penelitian ini menjadi penting
menurut perjalanan surya (matahari) dan tahun dan menarik. Beberapa hal lain yang berkaitan
Candrasengkala: menurut perjalanan candra
2 Riboet Darmosutopo, Peninggalan-
(bulan) (Bratakesawa, 1980: 64). Dalam beberapa peninggalan Kebudayaan di Lereng Barat Gunung
literatur diduga bahwa sengkalan berbentuk Lawu, Yogyakarta : PPPT UGM, 1976, hlm. 12
gambar tertua ditemukan di Candi Sukuh. Candi 3 Iswara N Raditya, “Mengapa Negara
Sukuh belum ditemukan prasasti ataupun serat Majapahit Bubar”, Tirto.id/ mengapa Negara majapahit
bubar, diakses 28 Maret 2020 jam 19.45 WIB

Volume 13 No. 2 Desember 2021 179


Jurnal Penelitian Seni Budaya

dengan kedudukan relief yang dihadirkan disinyalir berasal dari India dibawa ke
dengan sengkalan yang berkelindan dengan Indonesia tepatnya di tanah Jawa, akan tetapi
aspek penamaan, tata susun, dan wujud yang visualisasinya dilakukan oleh orang Jawa
dimungkinkan mengungkap peristiwa saat (dikenal sebagai sengkalan memet). Oleh
pembuatan relif candi, maupun makna yang karena itu, nampaknya Jawa memiliki hasrat
berhubungan dengan tata nilai dan ajaran, yang yang tinggi untuk mengekspresikan sesuatu
perlu diungkap lewat penelitian. Keberadaan secara visual. Fenomena menarik mengenai
relief sengkalan memet juga terdapat pada maksud
candi Sukuh dalam kerangka budaya inilah dibalik pembuatannya. Tidak semua orang
yang melatarbelakangi ketertarikan peneliti mengetahui keberadaan sengkalan memet
untuk memahami lebih jauh keberadaan rerupa sebagai penanda waktu yang menggambarkan
sengkalan relief candi Sukuh. Konsentrasi momen di masanya kecuali kalangan tertentu
kajian diarahkan terutama untuk mengungkap maupun orang yang membaca literatur tentang
latar belakang bentuk dan makna simbol rerupa sengkalan, karena tidak semua sengkalan
sengkalan relief candi Sukuh dalam kerangka memet disematkan teksnya. Sehingga perlu
sudut pandang budaya khas penghadir relief dipertanyakan bagaimana visualisasi sengkalan
tersebut. Relief Candi Sukuh.
Sengkalan yang merupakan kronogram Terkait dengan rumusan masalah
Jawa pada awalnya berbentuk teks, kemudian pertanyaan kedua mengenai visualisasi atas
dalam perkembangannya sengkalan teks sengkalan, proses tahapan visualisasinya
divisualisasikan menjadi bentuk gambar yang menyiratkan peristiwa yang menimbulkan
(sengkalan memet). Jika dilihat dari teksnya, ketertarikan untuk dikaji lebih dalam.
sengkalan memet lebih kaya akan elemen Keberadaannya nampak dirahasiakan. Didasari
dibandingkan yang dinyatakan dalam teksnya. permasalahan tersebut maka perlu diuraikam
Contohnya teks sengkalan dari Gapura utama bagaimana makna simbol sengkalan Relief
Candi Sukuh berbunyi “Gapuro Buto Aban Candi Sukuh.
Wong” dalam bahasa Indonesia yakni gapura
raksasa memakan manusia. Sengkalan memet METODE PENCIPTAAN
dari teks tersebut berupa seorang raksasa yang
memegang manusia dan memakannya. Ini Pada artikel ini, Relief Candi Sukuh
berarti sengkalan memet nampaknya dibuat dipandang sebagai artifak yang berisikan wacana
dengan ekspresi tertentu. Selain itu, Dari representasi diri yang dikerangkai budaya yang
beberapa sengkalan memet, banyak ditemukan melahirkannya. Wacana ini tercermin melalui
adanya figur alam dan figur mitologi. Figur alam bentuk atau sosok objek pada seni Relief Candi
dan figur mitologi memang menjadi pilihan Sukuh serta makna yang tersirat di balik bentuk
kata dari suatu bilangan angka padahal adapula artifak. Makna yang dicari merupakan makna
kata yang bukan figur alam maupun figur eksistensial dari konteks penggagas. Penelitian
mitologi. Komposisinya juga ada yang seimbang dilakukan dengan mendapatkan data-data
simetris dan seimbang asimetris. Fenomena informasi yang ditekankan pada kualitas, maka
tersebut memunculkan pertanyaan bagaimana jenis penelitian yang digunakan dipilih metode
keberadaan sengkalan Relief Candi Sukuh. penelitian kualitatif. Fokus amatan dalam
Sengkalan ada di berbagai benda seni penelitian ini adalah: (1) Aspek perwujudannya;
sampai dengan karya desain. Sengkalan (2) Bentuk dan karakteristik visualnya; (3) ciri
merupakan penanda tahun berbentuk teks khas yang dimiliki; dan (4) Nilai-nilai atau
yang menandakan peristiwa penting yang makna implisit pada bentuk. Mengacu pada

180 Volume 13 No. 2 Desember 2021


Achmad Syafi’i : Makna Simbol Relief Sengkalan Candi Sukuh

permasalahan tersebut, maka pendekatan yang Langkah kedua yang dilakukan untuk
digunakan adalah pendekatan kebudayaan, memperoleh data atau informasi berkenaan
yaitu melihat seni Relief Candi Sukuh sebagai dengan referensi ideal mengenai Relief
kebudayaan dan melihat seni Relief Candi Candi Sukuh dan pemikiran Suhita dalam
Sukuh sebagai bagian yang tak terpisahkan memprakarsai pembuatan Relief Candi Sukuh
dan bahkan menjadi inti dari kebudayaan serta makna-makna simbolik yang tersirat dalam
masyarakat. Artifak sebagai hasil budaya perwujudan bentuk. Langkah ini ditempuh
tidak bisa dilepaskan dari tinjauan sejarah, dengan cara telaah dokumen melalui pencarian
sebab artifak tidak dapat lepas dari kerangka dara dari sumber-sumber tertulis, yaitu buku
waktu yang menunjuk tingkat pemikiran dan maupun arsip serta dokumen yang dianggap
kondisi sosio-kultural Ratu Suhita sebagai dapat memberikan keterangan atau informasi
penggagas penghadiran Relief Candi Sukuh. mengenai keberadaan dan makna Relief
Data atau informasi berkenaan dengan seni Candi Sukuh. Buku yang dirujuk dapat berupa
Relief Candi Sukuh serta Ratu Suhita diperoleh naskah kuna ataupun buku-buku lama yang
melalui serangkaian langkah pengumpulan berkelindan dan mampu menguak mengenai
data. Pengumpulan data ini dilakukan melalui aspek kesejarahan pembuatan Relief Candi
observasi ke desa Berjo, Ngargoyoso, lokasi Sukuh, visualisasi seni Relief Candi Sukuh
berdirinya Candi Sukuh untuk melihat fisik hingga makna di balik rupa.
Relief Candi Sukuh; studi pustaka, arsip, dan Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan
dokumen; dan data dukung berupa wawancara informasi dan referensi dari sumber pustaka yang
mengenai Relief Candi Sukuh. Pengumpulan berkaitan dengan penelitian. Penghimpunan
data, seleksi, hingga analisis data dilakukan data pustaka yang berkaitan dengan sejarah,
secara terus-menerus dan berkelanjutan selama sosial, budaya, ekonomi, dan pemerintahan
masa penelitian berlangsung. masa Suhita menciptakan Relief Candi Sukuh.
Langkah pertama yang dilakukan untuk Termasuk dalam kegiatan ini, penelahaan
memperoleh data yang berkenaan dengan seni terhadap sumber pustaka, yaitu berupa buku-
Relief Candi Sukuh ditempuh dengan cara buku, hasil-hasil penelitian yang relevan dengan
mengamati objek secara seksama. Pengamatan masalah penelitian. Sumber tertulis berupa
terhadap objek dilakukan di desa Berjo, referensi yang relevan menyangkut sejarah
Ngargoyoso, dimana Candi Sukuh ada dan tetap tentang siapa dan bagaimana latar belakang
dipertahankan eksistensinya hingga kini. Dalam Suhita dalam penghadiran Relief Candi Sukuh.
melakukan observasi, peneliti mengamati Sumber-sumber yang dicermati adalah yang
langsung berbagai realitas yang ada di lapangan, berkait dengan konsep gagas yang mengarah
di antaranya dari segi rupa secara langsung pada pola pikir Suhita dalam menciptakan dan
mengamati Relief Candi menghadirkan Relief Candi Sukuh. Data-data
Sukuh sehingga dapat diketahui tentang tersebut berupa: buku, majalah, artikel, literatur,
berbagai hal yang terkait dengan rupa dan dan laporan penelitian yang tentunya terkait
ihwalnya. Observasi tidak hanya mengamati, dengan kajian penelitian. Teknik pengumpulan
tetapi juga untuk mendokumentasikan data data dimaksudkan untuk dapat menangkap
visual, khususnya Relief Candi Sukuh lengkap informasi kualitatif dari sekian pihak berkait
dengan detail bentuk dan teknik perwujudannya. dengan rumusan masalah. Literatur yang
Fakta-fakta yang direkam secara visual itu digunakan sebagai acuan dan memiliki relevansi
sangat membantu komprehensivitas data, dan dengan topik penelitian antara: Atmadjo,
terutama berguna untuk memperjelas deskripsi MM, Arti Kronogram (Sengkalan) dalam
dan analisis terhadap data-data yang disajikan. Masyarakat Jawa Kuno, Lembaga Javanologi:

Volume 13 No. 2 Desember 2021 181


Jurnal Penelitian Seni Budaya

Yayasan Ilmu Pengetahuan Kebudayaan Proses analisis data dilakukan sejak


Panunggalan; Abdulah Ciptoprawiro, Filsafat awal bersamaan proses pengumpulan data
Jawa,Jakarta. Balai Pustaka. 1992; Clifford sehingga proses analisis data dilakukan secara
Geertz. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: terus-menerus dan berkelanjutan selama masa
Penerbit Kanisius, 1992; Jakob Sumardjo. penelitian 4 . Data yang berkenaan dengan
Estetika Paradoks. Bandung. Sunan Ambu relief candi Sukuh, baik sejarah maupun latar
Press. 2006; Denys Lombard. Nusa Jawa: Silang belakang pembuatannya yang didapat dari hasil
Budaya, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, wawancara, studi pustaka, dan dokumentasi
2000; Koentjaraningrat dalam Kebudayaan direduksi untuk mendapatkan keterangan
Jawa (1994); Umar Kayam. Seni, Tradisi, dan yang sesuai dengan pengungkapan makna
Masyarakat. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, simbol relief rerupa sengkalan Candi Sukuh.
1981; dan lain-lain. Hanya data yang relevan dengan objek yang
Selanjutnya, dilakukan juga pengumpulan diteliti dan dianggap penting dalam penulisan
data sekunder dengan mengumpulkannya yang disajikan dan diverikasi guna penarikan
melalui wawancara yang dilakukan meliputi kesimpulan.
sejarah, teknik perwujudannya, hingga pengaruh- Berdasarkan uraian di depan, analisis
pengaruh yang mendorong terwujudnya seni data yang digunakan adalah analisis interaktif5
Relief Candi Sukuh tersebut, dan makna menurut yang terdiri dari: reduksi data, sajian data,
kerangka pemahaman budaya Jawa. Wawancara dan penarikan kesimpulan, atau verifikasi.
secara mendalam dengan arahan pertanyaan- Reduksi data berlangsung secara terus-menerus
pertanyaan yang diharapkan dapat membantu sepanjang penelitian. Reduksi data dilakukan
menggali data yang diperlukan. Wawancara pada data-data wawancara, studi pustaka dan
diarahkan kepada informan yang dianggap dapat dokumentasi yaitu pada saat pengumpulan
memberikan keterangan atau informasi tentang data, reduksi data dilakukan dengan membuat
relief Candi Sukuh, dengan tetap memperhatikan ringkasan data lapangan. Peneliti juga membuat
pertimbangan kriteria dan alasan pemilihan coding, memusatkan tema, menentukan batas-
informasi, di antaranya dengan memperhatikan batas permasalahan dan menulis dalam bentuk
kredibilitas dan reputasi informan. Informan catatan.
yang dijadikan sebagai narasumber berkait
dengan aspek sejarah seni relief Candi Sukuh.
Pendapat-pendapat dari para narasumber
tersebut kemudian dikumpulkan bersama
dengan data-data lain untuk kemudian dianalisis.
Data yang diperoleh berupa latar belakang, rupa
dan makna seni relief Candi Sukuh. Wawancara
dilakukan dengan pencatatan dan merekam
hasil wawancara. Sehingga, secara keseluruhan
penerapan langkah-langkah metodis ini dapat
menghasilkan data yang dapat digunakan
dalam kajian teoritis maupun menganalisis data
penelitian. Data hasil observasi, dokumentasi, Gambar 1. Skema Model Analisis Interaktif
wawancara, pencatatan, dan studi pustaka akan (Sumber: Miles dan Huberman, 1992:20)
dianalisis untuk mendapatkan keterangan dan 4 H.B. Sutopo. 2002. 86-87.
informasi yang nantinya akan diarahkan untuk 5 Miles Matthew dan Michael A. Huberman.
menjawab permasalahan yang dirumuskan. Analisis Data Kualitatif. Jakarta. Universitas
Indonesia. 1992. 20.

182 Volume 13 No. 2 Desember 2021


Achmad Syafi’i : Makna Simbol Relief Sengkalan Candi Sukuh

PEMBAHASAN lain yang berukuran lebih kecil di atas lokasi


candi Sukuh menuju puncak Hargo Dumilah.
A. Keberadaan Candi Sukuh
Pintu masuk candi berupa gapura, terletak
1. Gambaran Umum di sebelah barat, berbentuk trapesium dan
merupakan gapura terlengkap dibanding gapura
Candi Sukuh terletak di lereng barat
lain. Gapura ini mirip dengan pylon, sejenis
Gunung Lawu pada ketinggian kurang dari 1.186
gapura masuk ke piramida di Mesir. Pada
meter di atas permukaan laut pada koordinat
gapura terdapat beberapa relief yang seringkali
07 o37, 38‟ 85‟ lintang selatan dan 111o07,
dianggap sebagai sengkalan memet, yaitu: (1)
52‟65‟ bujur barat, tepatnya di Dusun Sukuh,
kala yang berada di atas pintu masuk; (2) kala
Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
yang terletak di dalam relung pada dinding
Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Kondisi
bagian belakang; (3) raksasa sedang menelan
batas lingkungan di sebelah barat merupakan
orang yang dibaca gapura buta mangan wong
pemukiman penduduk; sebelah timur kawasan
pada pipi gapura sebelah utara; (4) selain itu
hutan lindung Perhutani; sebelah utara tebing
terdapat juga relief yang melukiskan sepasang
atau lereng yang digunakan untuk lahan pertanian
burung yang hinggap di atas sebatang pohon,
(merupakan lahan kas desa Berjo); dan di sebelah
di bawahnya terdapat anjing; (5) raksasa
selatan berupa kawasan pemukiman penduduk.
sedang menggigit ular, yang dibaca gapura buta
Kawasan ini berupa perbukitan dengan suhu
anahut buntut pipi gapura sebelah selatan; (6)
udara rata-rata 25o C6. Kompleks candi Sukuh
seekor garuda dengan sayap terbuka sedang
berada di lereng sebelah barat Gunung Lawu,
mencengkeram dua ekor ular naga, diperkirakan
tepatnya di bukit yang oleh masyarakat setempat
sebagai cerita Garudeya pada dinding gapura
disebut sebagai bukit Sukuh. Posisi bukit Sukuh
sebelah utara dan selatan; (7) relief phallus dan
berada di antara dua bukit yaitu Pringgondani
vagina yang dilukiskan sangat naturalistik pada
dan Tambak. Bentuk bangunan candi Sukuh
lantai gapura8.
merupakan berbentuk teras berundak dengan
jumlah tingkatan tiga teras. Relief phallus dan vagina dalam bentuk
yang nyata yang hampir bersentuhan satu sama
Bangunan candi Sukuh menghadap ke
lain yang terdapat di lantai gapura memang
arah barat dengan tiga bidang halaman (loka).
menarik perhatian saat memasuki gerbang
Tata letak seperti ini mirip dengan tata letak
gapura sisi barat. Pahatan relief tersebut
percandian di Jawa Timur, berderet ke belakang,
menggambarkan bersatunya lingga (simbol
makin ke belakang makin tinggi dengan prinsip
kelamin wanita) dan yoni (simbol kelamin pria)
halaman yang paling suci terletak paling
yang merupakan lambang kesuburan. Sekeliling
belakang7. Candi Sukuh terdapat di pinggir jalan
pahatan tersebut dipagar, karena itu gapura di
utama jalur pendakian menuju salah satu puncak
dekat lantai batu berukir itu sulit dilalui.
Lawu yaitu Hargo Dumilah. Jalur pendakian
ini dimungkinkan sebab dari arah selatan Untuk naik ke teras pertama, umumnya
gunung Lawu terdapat beberapa situs yang pengunjung menggunakan tangga di sisi gapura.
saling berhubungan. Hubungan berawal dari Bentuk gapura pada teras kedua sudah tidak
candi Menggung yang berada di dekat terminal utuh lagi. Di kanan dan kiri gapura terdapat
Tawangmangu, kemudian situs Planggatan, patung penjaga pintu atau dwarapala, namun
candi Sukuh, serta bangunan punden berundak patung-patung ini dalam keadaan rusak dan
sudah tidak jelas lagi bentuknya. Gapura sudah
6 Djoko Soekiman. 2003, Candi Sukuh tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai
dan Candi Cetho, Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah, hlm 1. 8 Saringendyanti, Etty. 2008. “Candi Sukuh dan
7 Djoko Soekiman. 2003, hlm. 7 Ceto di Kawasan Gunung Lawu: Peranannya Pada

Volume 13 No. 2 Desember 2021 183


Jurnal Penelitian Seni Budaya

banyak patung-patung. Namun pada gapura bersemayamnya para dewa dan pusat sumber atau
teras kedua halaman sebelah selatan, terdapat pancering jagad. Berpangkal pada kepercayaan
rekief yang menggambarkan seorang pendeta tersebut, dimungkinkan bahwa penghadiran
berkepala gajah, tangannya menangkap binatang candi Sukuh di antaranya dimaksudkan sebagai
anjing. Relief tersebut menurut K.C. Cruca tempat pemujaan kepada roh nenek moyang
merupakan sengkalan yang dalam bahasa Jawa guna memohon perlindungan, kekuatan gaib,
berbunyi gajah wiku anahut buntut (gajah serta kesuburan. Hal tersebut dibuktikan
pendeta menggigit ekor). Rangkaian kata ini dengan banyaknya relief serta patung yang
memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika pembacaan menggambarkan lambang kesuburan, yaitu
atas angka ini dibalik, maka didapatkan tahun phallus dan vagina11.
1378 Saka atau tahun 1456 Masehi 9. Jadi Menurut dugaan para ahli, candi Sukuh
andaikata bilangan ini benar, maka terdapat dibangun untuk tujuan pengruwatan, yaitu
selisih hampir dua puluh tahun dengan angka menangkal atau melepaskan kekuatan buruk
tahun pada gapura di teras pertama. yang mempengaruhi kehidupan seseorang akibat
Tepat di atap candi utama, di bagian tengah ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan
terdapat sebuah bujur sangkar cekung yang tersebut didasarkan pada relief-relief yang
digunakan sebagai tempat menaruh sesajian. terpahat pada relief candi Sukuh yang memuat
Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa, cerita-cerita pengruwatan, seperti Sudamala,
dan hio yang dibakar, sehingga diduga lokasi Garudheya, dan keberadaan arca kura-kura
ini sering dipergunakan untuk bersembahyang. yang dikenal masyarakat sebagai bagian dari
Namun sebenarnya dudukan berbentuk cerita Samuderamantana. Akan tetapi, perlu
persegi tersebut dahulunya digunakan untuk ditelaah lebih jauh kaitan antara pengruwatan
menempatkan tugu berbentuk phallus yang kini yang dilakukan melalui penghadiran candi
disimpan di Museum Nasional Jakarta. dengan panel relief yang memuat cerita tentang
Pembangunan Candi Sukuh terlihat tidak pengruwatan. Selain itu, ada beberapa cerita
lagi banyak mendapatkan pengaruh agama lain yang perlu ditelaah lebih lanjut terkait
Hindu, namun terlihat lebih cenderung pada penghadirannya.
konsep unsur Indonesia asli yaitu prasejarah. 2. Sejarah Pendirian Candi Sukuh
Menurut Von Heine Geldern, pembangunan
candi-candi di Indonesia merupakan refleksi Dyah Wijaya, pendiri serta raja pertama
dari bangunan megalitik. Geldern menyatakan Majapahit merupakan seorang Hinduis sekaligus
bahwa tradisi megalitik turut menentukan bentuk Budhamistik, atau penganut Tantrayana. Tokoh
susunan percandian khususnya Candi Sukuh dan ini dipuji karena penyatuan politik Kerajaan
Cetho di lereng Gunung Lawu10. Kompleks Majapahit berdasarkan kultus Tantrayana
Candi Sukuh yang berbentuk teras berundak sebagai agama negara. Dyah Wijaya merupakan
dan dibangun di atas gunung, mengingatkan karakter istri laki-laki dan perempuan. Namun,
pada bentuk punden berundak serta kepercayaan praktik-praktik Tantrik Hindu menerima
yang melatarinya. dorongan baru oleh penyebaran kultus Bima
Punden berundak berfungsi sebagai Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya ketika
lokasi pemujaan terhadap roh nenek moyang, candi Sukuh dibangun. Selama abad XIV-XV
sementara gunung dianggap sebagai tempat Masehi, di Candi Sukuh, Tantrik Siwaisme
9 Abad 14–15 Masehi”. Makalah Hasil
berubah orientasi menjadi adat kultus Bima.
Penelitian. Bandung: Fakultas Sastra Universitas
Padjadjaran, hlm. 6
10 Djoko Soekiman. 2003, hlm. 6 Riboet 11 Victor Fic. 2003. The Tantra. New Delhi:
Darmosoetopo, 1975, hlm. 30 Abhinav Publications, hlm. 54

184 Volume 13 No. 2 Desember 2021


Achmad Syafi’i : Makna Simbol Relief Sengkalan Candi Sukuh

Transformasi terjadi di tahap terakhir B. Simbolisme Relief Sengkalan Candi Sukuh


masa Majapahit, tahun 1437 Masehi, ketika
Memang apabila kita melihat wujud
Bima digambarkan sebagai pendeta Siwa di
fisik dari candi Sukuh sangatlah aneh dan
bumi ini, ketika Siwa mengeluarkan tirta amerta,
cenderung diragukan legitimasinya sebagai
air suci keabadian. Ia menjadi agen pusat dari
candi. Kebanyakan orang mengklaim bahwa
kultus kesuburan, sebuah gerakan yang kuat
candi yang terletak di kaki gunung Lawu ini
dari budaya yang populer saat itu, menampilkan
adalah identik dengan candi porno. Pendapat ini
banyak karakteristik yang didelegasikan
terbangun atas dasar pengamatan mereka atas
kepada sosok Bima oleh Siwa. Sebuah
keberadaan atribut dari candi Sukuh itu sendiri
fiturikonografi Bima ter-ekspos seperti penis,
yang memang vulgar.
kuku panchanaka, menandakan penetrasi12. Seni
candi Sukuh, mengekspresikan konsep filosofis Kevulgaran inilah yang cenderung
serta simbolisme kultus Bima dan Jawa secara menjadikan candi Sukuh diragukan sebagai
menyeluruh. candi oleh kebanyakan orang. Selain itu dilihat
dari struktur bangunannya yang tidak seperti
Candi Sukuh didirikan oleh keturunan
candi-candi pada umumnya, yaitu pembagian
keluarga aristokratis tua Kediri, Bhre Daha,
candi berpaham Triloka (Bhur, Bwah, Swah =
tahun 1437 M, yang menentang kebijakan
kaki, tubuh, dan atap candi), sehingga Candi
Dyah Suhita, penguasa kerajaan Majapahit
Sukuh bila dikatakan sebagai sebuah bagunan
yang sedang menjabat pada masa itu. Dyah
candi mungkin oleh sebagian besar orang akan
Suhita dianggap menyerah pada begitu
menganggapnya sebagai gugon tuwon saja.
kuatnya pengaruh kekaisaran Cina dan Islam
Adapun atribut Candi Sukuh yang memiliki
tanpa keinginan mempertahankan agama dan
falsafis tersebut adalah sebagai berikut :
kebudayaan turun-temurun dari para wangsa
Rajasa. Terjadilah pemberontakan di tahun 1437 Pertama brahmana yang bernama Bima.
M terhadap Dyah Suhita, tapi serangan cukup Secara etimologis kata Sanskerta “brahmana”
singkat dapat diredam13. berasal dari urat kata ”brha” yang berarti
“tumbuh, besar, luas, berkuasa, tinggi, jiwa
Candi Sukuh ditemukan kembali dalam
tertinggi” dan kata “man” yang artinya “mencari
keadaan runtuh pada tahun 1815 oleh Johnson,
pengetahuan”. Jadi brahmana adalah orang yang
Residen Surakarta pada masa pemerintahan
selalu mencari pengetahuan untuk mencapai
Raffles. Selanjutnya candi Sukuh diteliti oleh
jiwa tertinggi. Oleh karena itu pada zaman
Van der Vlis pada tahun 1842. Hasil penelitian
dahulu seseorang dikatakan sebagai brahmana
tersebut dilaporkan-nya dalam buku Prove Eener
apabila sudah mendapat ilmu kelepasan atau
Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Penelitian
ngelmu panitisan.
terhadap candi tersebut kemudian dilanjutkan
oleh Hoepermans pada tahun 1864-1867 dan Atribut yang kedua adalah Dewaruci.
dilaporkan dalam bukunya yang berjudul Kata ini berasal dari akar kata Sanskerta
Hindoe Oudheiden van Java. Pada tahun 1889, “div” yang berarti sinar dan “ruci (ru + ci).
Verbeek mengadakan inventarisasi terhadap Kata”ru” berasal dari kata “ruh” yang artinya
candi Sukuh, yang dilanjutkan dengan penelitian jiwa dan kata “ci” berasal dari kata “suci”
oleh Knebel dan WF. Stutterheim pada tahun yang artinya bersih, tidak berdosa, keramat15.
191014. Artinya Dewaruci sesungguhnya merupakan
perwujudan dari jiwa Bima sendiri yang ingin
mencapai kesempurnaan rohani.
12 Victor Fic. 2003. The Tantra. New Delhi:
Abhinav Publications, hlm. 54 15 Supratikno Rahardjo. 2011. Peradaban
13 Victor Fic. 2003, hlm 66 Jawa(Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir).
14 Victor Fic. 2003, hlm. 73 Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm. 74

Volume 13 No. 2 Desember 2021 185


Jurnal Penelitian Seni Budaya

• Atribut yang ketiga adalah Nawaruci. • Pencapaian ini diawali dengan


Kata ini berasal dari kata bahasa Jawa mengendalikan diri atau nafsu agar jiwa
Kuno “nawa” dan “ruci”. Kata“nawa” menjadi suci dan tenang (nawaruci)
artinya sembilan dan “ruci” artinya jiwa sehingga ia dapat mencapai hasil akhir
yang bersih. Artinya Nawaruci merupakan yang berupa kebersatuan mistod yaitu
wujud dari sikap pengendalian diri dari manunggal dengan Gusti atau Tuhannya
seorang Bima demi untuk mencapai (durga).
kesempurnaan dengan cara menutup
sembilan lubang yang ada di dalam dirinya Hal tersebut pula yang ingin diungkap
(nutupi babahan hawa sanga). dalam sengkalan atau saka kala pada relief
• Atribut yang keempat adalah Sukuh. Kata Candi Sukuh, dalam hal ini analisis bentuk
ini berasal dari kata “su + kuh”. Kata “su” bertalian dengan analisis struktur fisik sengkalan
artinya baik dan kata “kuh” berasal dari memet. Gayut dengan penghadirannya sebagai
kata “kukuh” berarti tidak mudah rusak, karya seni rupa, serta terkait dengan tata letaknya
kuat16. Artinya niat yang baik dan kuat. Hal untuk selanjutnya dianalisis simbolisasinya
ini sebagai gambaran dari sosok Bima yang berdasarkan kerangka atau groud kebudayaan
memiliki niat yang baik dan kuat untuk Jawa. Ditinjau dari aspek sebagai karya seni,
mencari pencerahan dan kesempurnaan. sengkalan memet yang terletak pada relief
Selain itu juga sebagai gambaran dari Candi Sukuh memiliki struktur visual yang di
Candi sukuh itu sendiri, bahwa sejak dalamnya terdapat unsur-unsur subjek karya,
awal pendiriannya dimaksudkan sebagai bentuk dan dimensi karya, medium serta teknik
tanda bahwa meski terseyok-seyok dan garap, gaya dan corak, warna, serta tata susun
sudah diujung tanduk (kehancuran) namun unsur visual karya atau komposisi. Subjek karya
Majapahit berusaha berdiri kuat agar disini merupakan segala hal yang berkaitan
tetap bisa mempertahankan legitimasinya dengan apapun yang digambarkan dalam relief
sebagai kerajaan yang bercorak Hindu. sengkalan memet, sehingga mampu terbaca
• Atribut yang kelima adalah Durga yang sebagai titimangsa. Pada relief sengkalan memet
merupakan istri (sakti) dari Dewa Siwa juga dimungkinkan terdapat unsur pendukung
(Bathara Guru). Durga oleh masyarakat yang melengkapi subjek karya sehingga seolah
Jawa sering dipersepsikan sebagai orang nampak menyatu dalam satu kesatuan karya.
jahat. Terbentuknya persepsi ini berawal Sehingga perlu pemahaman mendalam dan
dari perwajahan tokoh Durga yang kepekaan dalam membaca sengkalan memet
jelek dan urat kata yang membentuk pada relief bangunan, dalam konteks ini adalah
nama Durga itu sendiri yaitu “dur” yang Candi Sukuh.
dalam bahasa Jawa berarti ala atau jelek Bentuk dan dimensi karya mencakup
atau tidak baik. Nama Durga tersebut ukuran relief sengkalan memet, medium dan
secara filosofis merupakan hasil. Jika teknik lebih menyoal material bahan dan cara
dirangkaikan mulai awal hingga akhir bahan tersebut diproses menjadi bentuk karya.
Esensi Candi Sukuh melalui kelima Gaya dan corak serta komposisi berhubungan
atribut di atas melambangkan ontologi, dengan cara pengungkapan atau representasi
epistemologi sekaligus aksiologi Jawa bentuk yang ditata menjadi suatu keutuhan
yang terait dengan pendirian yang kuat karya. Sebagaimana Relief Sengakal Memet
dan baik (sukuh) oleh seorang pencari ilmu Pada Candi sukuh nampak pada beberapa relief
pengetahuan (brahmana) yang memiliki yang akan dibedah lebih lanjut.
jiwa atau niat yang bersih (dewaruci).
Subjek utama sengkalan memet pada
16 Supratikno Rahardjo. 2011. Hlm 56 gapura teras pertama merepresentasikan dua

186 Volume 13 No. 2 Desember 2021


Achmad Syafi’i : Makna Simbol Relief Sengkalan Candi Sukuh

buto (raksasa) yang digambarkan melakukan Keterbacaan relief sengkalan tersebut


aktivitas yang berbeda pada dinding muka adalah gapura buta anahut buntut, sebuah
gapura teras pertama sisi kanan dan sisi kiri. sengkalan memet yang bertitimangsa 1359 Saka,
Pada sisi kanan gapura digambarkan sesosok mengingat bahwa gapura = 9, anahut =5, buta
Raksasa yang menggigit ekor ular yang saling = 3, gapura = 1. Demikian pula pada relief
berhadapan muka dengan posisi berpijak disebelah kiri gapura yang juga menggambarkan
pada kaki sebelah kiri. Ular tersebut dalam raksasa yang memakan manusia dalam posisi
posisi tegak dengan kepalanya lebih tinggi berdiri. Jika dibaca adalah gapura buta mangan
dibandingkan tinggi kepala sang raksasa. wong = 1359 Saka.
Sengkalan memet sebagai kreasi bentuk
simbolis dari perasaan manusia, mencoba
menyimbolisasikan keadaan pada masa tersebut.
Perlu dipahami bahwa selisih tahun Jawa dan
Masehi adalah 67 tahun, sehingga jika dibaca
menggunakan kalender masehi adalah 1426
Masehi yaitu masa akhir Prabu Wikramawardhana
menjadi raja. Penggambaran Raksasa disini
adalah orang yang besar atau pemimpin,
dalam konteks ini adalah raja Majapahit
Gambar 02. Relief Sengkalan memet Gapura yaitu Wikramawardhana yang dianggap
teras pertama sudah menggigit ekor ular sebagai gambaran
(Foto oleh: Wisnu Adisukma) pendahulu. Sebab Wikramawardhana merupakan
Sang raksasa bertubuh gemuk yang dapat raja yang bukan dari trah Rajasa (Treseping
terlihat dari kondisi perut yang menggelambir, Madu Trahing Kusuma). Wikramawardhana
dan tidak mengenakan pakaian ataupun hiasan merupakan suami dari Kusumawardhani, putri
apapun pada tubuhnya. Raksasa tersebut berjenis Hayam Wuruk yang seharusnya memegang
kelamin laki-laki yang nampak jelas pada bagian tahta, sekaligus juga keponakan Hayam Wuruk
alat vitalnya, berambut panjang yang digelung dari jalur saudari sepupu Hayam Wuruk.
belakang, tangan kirinya memegang pundaknya Terlebih lagi ketika mengangkat Dyah Suhita
sedang tangan kirinya seolah ingin meraih sebagai pelanjut tahta, bukan mengangkat Dyah
kepala ular. Sedangkan sang ular digambarkan Wirabhumi yang merupakan anak selir dari
polos tanpa detail sisik, hanya hiasan tiga buah Hayam Wuruk, sehingga memicu perang saudara
lingkaran yang terikat pada bagian leher ular. dan membuat Majapahit terpisah menjadi
Reperesentasi bentuknya tidak distilasi dua bagian yang merupakan awal dari perang
seolah nampak dipahat apa adanya namun Paregreg, yang menjadi pemicu kemunduran
terlihat detail figurnya yang keduanya bercorak Majapahit. Lebih tegas lagi pada relief sebelah
realis. Dari segi dimensinya merupakan karya kiri gapura, digambarkan raksasa itu memakan
relief yang dibuat dari batu andesit yang dipahat, manusia, yang ketika diinterpretasi adalah
bukan menggunakan teknik cor atau modeling sebagai penguasa rela menghalalkan segala cara,
seperti relief yang kini banyak ditemui di termasuk membunuh seseorang yang seharusnya
pengrajin relief batu. Warna masih natural menjadi penerus tahta. Namun karena berharap
dengan warna alami batu tanpa ada proses pelanjut tahta adalah putrinya maka dilakukan
pewarnaan dengan pahatan yang cenderung segala daya upaya agar terlaksana apa yang
agak kasar dengan mengejar global bentuk tanpa diinginkan, yaitu pelangsungan kuasa keturunan
melakukan pahatan detail. jalur Wikramawardhana.

Volume 13 No. 2 Desember 2021 187


Jurnal Penelitian Seni Budaya

Penggambaran kaki kiri sebagi pijakan, .


dapat menginterpretasikan bahwa dia berpijak di
jalur yang salah. Seharusnya seorang penguasa
tidak memaksakan keturunannya untuk bertahta,
namun segaiknya mengembalikan pada aturan
ataupun keinginan rakyat yang dipimpinnya.
Pada saat inilah berhentinya trah Rajasa wangsa,
atau trah Ken Angrok, berubah menjadi Rakula
Brawijaya (anak keturunan Dyah Wijaya) yang
menjabat sebagai penguasa atau pemegang tahta
Majapahit. Hal tersebutlah yang dikemudian
hari memunculkan istilah Brawijaya I hingga Gambar 03. Relief Sengkalan memet pada
Brawijaya V (Kertabhumi). teras kedua
Uniknya pada bagian pintu gerbang gapura (Foto oleh: Wisnu Adisukma)
sebelah kiri bagian bawah, terdapat pahatan
pertemuan simbolisasi kelamin yang berada Pada Gapura Teras kedua halaman sebelah
di “tanah”, yang dapat dibaca sebagai wiwara- selatan, terdapat relief yang menggambarkan
wiyasa-anahut-jalu, yang bernilai 1359 Saka seorang pendeta berkepala gajah, tangannya
pula. Dalam relief tersebut menunjuk langsung menangkap binatang anjing. Relief tersebut
penggambaran wiwara atau bolongan dan jalu menurut K.C. Cruca merupakan sengkalan
yang berarti planangan atau penis17. Interpretasi yang dalam Bahasa Jawa berbunyi gajah wiku
yang muncul merupakan sebuah harapan anahut buntut (Gajah pendeta menggigit ekor).
agar bumi Nusantara mampu memberikan Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika
kesuburan lagi bagi kejayaan kembali dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau
Majapahit, melalui pertemuan gambaran dua tahun 1445 Masehi18. Relief tersebut merupakan
dunia yang menghasilkan daya kekuatan alam relief yang tidak menempel pada bangunan
(metakosmos). candi ataupun bengunan apapun. Hal yang
sangat berbeda dengan relief sengkalan memet
pada gapura teras pertama Candi Sukuh.
Relief sengkalan memet pada teras kedua
ini terdiri atas tiga panel, seolah menggambarkan
proses pembuatan keris, namun anehnya panel
tengah yang merupakan relief sengkalan memet,
tidak melakukan proses pembuatan keris seprti
pada dua panel yang lain. Corak pada relief
teras kedua berbeda dengan relief sengkalan
memet pada teras pertama, corak pada teras
kedua cenderung naturalis dengan stilisasi
yang lebih detail dan halus. Teknisma masih
menggunakan relief atau teknik dua dimensi.
Pada relief sengkalan memet pada teras dua
Gambar 02. Relief “Lingga Yoni” pada ini digambarkan seseorang berkepala gajah
gapura pertama dengan postur besar dan berdiri dengan hanya
(Foto oleh: Wisnu Adisukma) menggunakan kaki kanan sebagai pijakan
17 Wawancara dengan Aryo Sunaryo, Pakar
Sengkalan, 29 Mei 2020 18 Riboet Darmosoetopo, 1975, hlm. 40.

188 Volume 13 No. 2 Desember 2021


Achmad Syafi’i : Makna Simbol Relief Sengkalan Candi Sukuh

berdiri. Figur tesebut memgang seekor anjing besar di dunia. Dirinya mengajak kita untuk
dengan tangan kanan dan memegang ekor anjing hanepa slirani kayu gung susuhing angin
menggunakan tangan kiri lalu menggigit ekor (mengoreksi diri sendiri sebelum mengoreksi
tersebut. Tidak jelas alat vital dari sosok manusia diri orang lain), sebagai cerminan bagi manusia,
berkepala gajah ini, berbeda dengan raksasa seberapa beranikah manusia sebagai titah berani
pada gapura pertama yang nampak sangat jelas. menelanjangi dirinya sendiri (baca: kesalahan)
Keterbacaan angka tahun 1445 Masehi mer- di hadapan Tuhannya dan selanjutnya mengakui
upakan masa kepemimpinan Dyah Suhita atau kesalahan yang pernah diperbuatnya tersebut
dikenal dengan Raden Ayu Kencana Wungu. dengan hati yang damai, sejuk dan penuh dengan
Pada masa ini Islam telah berkembang sangat penyerahan. Biarkan candi-candi itu berbicara,
pesat drpd masa-masa sebelumnya. Interpretasi maka mereka tidak sekedar menjadi panji–panji
yang muncul adalah suatu kritikan sebagaimana yang membawa kita kepada mitos dan mistisme,
interpretasi pada gapura pertama. Pemimpin namun terdapat banyak kebijaksanaan yang akan
pada masa tersebut, yaitu Dyah Suhita, se- mereka bisikkan dari makna yang terpendam di
benarnya sudah berada di jalan yang benar, balik relief candi Sukuh.
namun dianggap mengekor pada ajaran yang
tidak sesuai leluhur, yang digambarkan dengan SIMPULAN
binatang peliharaan yang seharusnya tetap se-
bagai peliharaan, bukan anutan. Dalam konteks Candi Sukuh didirikan oleh keturunan
meninggalkan ajaran leluhur dapat dipahami keluarga aristokratis tua Kediri, Bhre Daha di
bahwa Candi Sukuh merupakan sebuah kritik tahun 1437 M, yang menentang kebijakan Dyah
dan harapan kepada pemimpin Majapahit pada Suhita, Ratu Majapahit. Dyah Suhita dianggap
masa tersebut. Hal tersebut mungkin tidak menyerah pada pengaruh kuat kekaisaran Cina
dilakukan oleh pendukung kerajaan Majapahit, dan Islam tanpa keinginan mempertahankan
namun oposisi yang dimungkinkan adalah kera- agama dan kebudayaan luhur wangsa Rajasa.
jaan Kadiri, sebab kerajaan Kadisi pada masa itu
Candi Sukuh ditemukan kembali dalam
merupakan kerajaan vassal di bawah Majapahit
keadaan runtuh pada tahun 1815 oleh Residen
yang memiliki keinginan untuk kembali men-
Surakarta pada masa pemerintahan Raffles.
jayakan kerajaan Kediri, dan menggelorakan
Selanjutnya Candi Sukuh diteliti oleh Van der
agama leluhur yaitu agama Wisnu-Syiwa, se-
Vlis pada tahun 1842. Penelitian terhadap candi
dikit berbeda dengan Majapahit yang beraliran
tersebut kemudian dilanjutkan oleh Hoepermans
Syiwa-Budha (Wisnu).
pada tahun 1864-1867. Pada tahun 1889, Verbeek
Candi Sukuh tidak bisa “dibaca” secara mengadakan inventarisasi terhadap candi Sukuh,
serampangan, keberadaan ragawinya harus yang dilanjutkan dengan penelitian oleh Knebel
kita pahami secara lebih mendalammseperti dan WF. Stutterheim pada tahun 1910.
mengaduk lautan susu (Samudramantana)
Secara historis dalam pembabagan gaya
menggunakan mata hati kita, bukan
arsitektur dan relief yang terpahat, candi Sukuh
menggunakan mata kita yang telanjang karena
dapat dikategorikan ke dalam relief gaya klasik
mata telanjang yang kita miliki sesungguhnya
muda (Majapahit). Penggambaran relief bergaya
penuh dengan keterbatasan. Candi Sukuh
klasik muda itu adalah: Relief digambarkan
bukanlah candi persenggamaan dan penuh
dalam bentuk basrelief; Penggambaran figur
dengan ketelanjangan tetapi sesunggunya
mahluk bersifat simbolis. Penggambaran
merupakan transformasi tattwa dan filsafat yang
figur kerap kali tidak proporsional, dan kaku;
dimiliki oleh orang Jawa melalui peradabannya
Tokoh-tokoh digambarkan en-profile, dan;
yang diperhitungkan menjadi tiga peradaban
Penggambaran relief secara horror vaquum.

Volume 13 No. 2 Desember 2021 189


Jurnal Penelitian Seni Budaya

Candi Sukuh bukanlah candi Soedarso Sp., Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar
persenggamaan melainkan merupakan untuk Apresiasi Seni: Saku Dayar Sana,
transformasi tattwa dan filsafat Jawa. Sukuh 1987.
mengajak pengamat untuk mengoreksi diri Soetarno. 1995. Wayang KulitJawa. Surakarta:
sendiri sebelum mengoreksi diri orang lain; CV. Cendrawasih.
menelanjangi kesalahan diri di hadapan
tuhannya secara jujur dan ihlas. Biarkan candi- Supratikno Rahardjo. 2011. Peradaban Jawa
candi itu berbicara, maka mereka tidak sekedar (Dari Mataram Kuno sampai Majapahit
menjadi panji–panji yang membawa kita kepada Akhir). Jakarta: Komunitas Bambu.
mitos dan mistisme, namun terdapat banyak
kebijaksanaan yang akan mereka bisikkan dari
makna yang terpendam di balik relief candi NARASUMBER
Sukuh.
Aryo Sunaryo, 74 Tahun, Pakar Sengkalan dan
praktisi seni rupa Nusantara
DAFTAR PUSTAKA
Sucipto, 68 Tahun, Juru Kunci Candi Sukuh
Agus Aris Munandar. 2004. “Karya Sastra
Jawa Kuno yang Diabadikan pada Relief
Candi–Candi Abad ke 13–15 M”. Jurnal
Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 2
Agustus 2004.
Djoko Soekiman. 2003, Candi Sukuh dan Candi
Cetho, Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah .
Etty Saringendyanti. 2008. “Candi Sukuh
dan Ceto di Kawasan Gunung Lawu:
Peranannya Pada Abad 14–15 Masehi”.
Makalah Hasil Penelitian. Bandung:
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Fic, Victor. M. 2003. The Tantra. New Delhi:
Abhinav Publications.
Kanjeng Madi Kertonegoro. 2 0 1 0 .
Bungai Rampai Kisah P e w a y a n g a n
Mahabharata. Bali: Daya Putih Fondation.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbja-
teng/penggambaran ceritasamudraman-
na-di-candi-sukuh-dan-arca-kura-kura/.
Diakses 28 Maret 2019 jam 19.45 WIB.
Purwadi. 2007. Filsafat Jawa dan Kearifan
Lokal. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Riboet Darmosutopo, Peninggalan- peninggalan
Kebudayaan di Lereng Barat Gunung
Lawu, Yogyakarta: PPPT UGM, 1976.

190 Volume 13 No. 2 Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai