Achmad Syafi’i
Program Studi Televisi dan Film, Jurusan Seni Media Rekam
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Surakarta
Email: syafii@isi-ska.ac.id
Abstract
This research discusses the meaning of the symbol sengkalan relief sukuh temple located in
Ngargoyoso, Karanganyar, Central Java. The research focuses on the problem of the interpretation of the
meaning of sukuh temple relief symbols in a cultural perspective through Clifford Geertz’s hermeneutic
theory, that the symbol is a special sign that is arbritrer or not the same as the one marked and can only be
understood in the context interpreted by the culture itself, or is culturally specific. Furthermore, this research
reviews the meaning of the presence and visualization of the relief of Sukuh temple which is considered
the last relic of Majapahit kingdom. So the purpose of the research is more to explore the presence and
meaning of relief sengkalan in Sukuh temple as part of the sign system in Javanese culture. At the same
time as an effort to preserve the value of tradition about pralambang in the form of sengkalan that is often
used by Javanese people in temple relief, in this context is sukuh temple so that it can be understood by
Javanese people now as a way of understanding themselves, life and life as part of the ‘Eastern’ culture.
The making of sukuh temple relief sting is possible to uncover events or events at the end of majapahit’s
heyday, which may have escaped the historical track record of majapahit kingdom that has been understood.
Let the temples speak, so they are not merely banners that lead us to myth and mysticism, but there is a lot
of wisdom that they will whisper from the hidden meaning behind the relief of Sukuh temple.
Keywords: Meaning, Relief, Sengkalan, Sukuh Temple.
kepada tataran kasampurnan. Setiap ritual dalam daun tal (ron tal atau lidah Jawa bahkan
tersebut terrepresentasikan dalam sebuah wujud dibakukan menjadi lontar) yang menjelaskan
bendawi yang mendukung proses pencapaian penghadiran candi maupun penghadiran relief
yang diinginkan. yang ada pada panel dinding bangunan candi.
Perwujudan bendawi direpresentasikan Sehingga pemaknaan yang ada baru secara
melalui karya seni untuk pemenuhan kebutuhan interpretatif pendukung budaya ataupun dari
secara artistik serta estetik dihadapan masyarakat. hasil pengungkapan para peneliti. Celakanya,
Jawa sepert beberapa daerah di belahan dunia tulisan yang digunakan sebagai daya dukung
lainnya mempunyai kronogram, sebuah lebih mengacu pada tulisan para kolonialis yang
penanda waktu berbentuk teks maupun gambar pernah menjajah Indonesia, terutama Belanda,
yang dapat dijumpai pada berbagai artefak sehingga manusia Jawa kini belum memahami
budaya tradisi maupun non tradisi dimulai makna asali penghadiran relief di candi Sukuh.
dari relief candi, penggambaran pada keraton, Termasuk rerupa sengkalan yang digambarkan
wayang, senjata tradisional, hingga identitas dalam relief-relief di candi Sukuh.
visual kabupatennya. Kronogram Jawa bernama Candi Sukuh di lereng gunung Lawu
sengkalan. Sengkalan merupakan peringatan pun dianggap oleh pemahaman awam sebagai
tahun yang berhubungan dengan peristiwa salah satu peninggalan terakhir Majapahit
kejadian penting yang diwujudkan ke dalam sebelum runtuh pada tahun yang ditandai dengan
ungkapan kalimat (Sunaryo, 2003: 4). Tiap sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bhumi atau
kata (atau juga bisa disebut watak) dalam teks tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Namun
sengkalan mewakili sebuah angka, kemudian anehnya, sengkalan yang ada pada pintu
jika rangkaian kata tersebut jika dibaca secara gerbang utama terbaca Gapuro Buto Aban
terbalik maka akan didapat bilangan tahun. Wong atau Gapuro Yakso Mongso Jalmo yang
Sengkalan yang berwujud gambar (visual) diterjemahkan akan mendapatkan angka 1359
maka penggolongan seninya termasuk ke dalam Saka atau 1437 Masehi. Sedangkan pintu sebelah
seni visual (visual art). Sengkalan masih terus Selatan terdapat sengkalan gapura bhuto anahut
digunakan sampai saat ini baik pada artefak buntut yang diterjemahkan 1359 Saka atau
budaya tradisi misalnya candi, salah satu candi 1432 Masehi2. Angka tahun 1432 ataupun 1437
yang memiliki rerupa sengkalan adalah candi bukanlah menunjukkan keruntuhan Majapahit,
Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah. tetapi menunjukkan era Ratu Suhita yaitu tahun
Kemunculan Sengkalan pertama kali 1429 - 1447 Masehi. Sebab setelah itu masih
berdasarkan pada folklor Jawa menceritakan dilanjutkan oleh raja-raja Majapahit mulai
Sangkala (sengkala) atau Jaka Sengkala adalah dari Kertawijaya tahun 1447-1451 Masehi,
seorang putra raja dari India yang datang ke hingga Kertabumi (Brawijaya V) 1468-1478
Tanah Jawa dan kemudian bergelar Empu Masehi yang dianggap sebagai generasi terakhir
Sengkala. Empu Sengkala menyebarluaskan Majapahit. Sebelum Girindrawardhana (raja
berbagai kesenian termasuk pengetahuan Kadiri) menobatkan diri sebagai Brawijaya VI3.
tentang perhitungan tahun yang berkembang Adanya sejarah yang simpang siur
menjadi dua macam yakni tahun Suryasengkala: menjadikan penelitian ini menjadi penting
menurut perjalanan surya (matahari) dan tahun dan menarik. Beberapa hal lain yang berkaitan
Candrasengkala: menurut perjalanan candra
2 Riboet Darmosutopo, Peninggalan-
(bulan) (Bratakesawa, 1980: 64). Dalam beberapa peninggalan Kebudayaan di Lereng Barat Gunung
literatur diduga bahwa sengkalan berbentuk Lawu, Yogyakarta : PPPT UGM, 1976, hlm. 12
gambar tertua ditemukan di Candi Sukuh. Candi 3 Iswara N Raditya, “Mengapa Negara
Sukuh belum ditemukan prasasti ataupun serat Majapahit Bubar”, Tirto.id/ mengapa Negara majapahit
bubar, diakses 28 Maret 2020 jam 19.45 WIB
dengan kedudukan relief yang dihadirkan disinyalir berasal dari India dibawa ke
dengan sengkalan yang berkelindan dengan Indonesia tepatnya di tanah Jawa, akan tetapi
aspek penamaan, tata susun, dan wujud yang visualisasinya dilakukan oleh orang Jawa
dimungkinkan mengungkap peristiwa saat (dikenal sebagai sengkalan memet). Oleh
pembuatan relif candi, maupun makna yang karena itu, nampaknya Jawa memiliki hasrat
berhubungan dengan tata nilai dan ajaran, yang yang tinggi untuk mengekspresikan sesuatu
perlu diungkap lewat penelitian. Keberadaan secara visual. Fenomena menarik mengenai
relief sengkalan memet juga terdapat pada maksud
candi Sukuh dalam kerangka budaya inilah dibalik pembuatannya. Tidak semua orang
yang melatarbelakangi ketertarikan peneliti mengetahui keberadaan sengkalan memet
untuk memahami lebih jauh keberadaan rerupa sebagai penanda waktu yang menggambarkan
sengkalan relief candi Sukuh. Konsentrasi momen di masanya kecuali kalangan tertentu
kajian diarahkan terutama untuk mengungkap maupun orang yang membaca literatur tentang
latar belakang bentuk dan makna simbol rerupa sengkalan, karena tidak semua sengkalan
sengkalan relief candi Sukuh dalam kerangka memet disematkan teksnya. Sehingga perlu
sudut pandang budaya khas penghadir relief dipertanyakan bagaimana visualisasi sengkalan
tersebut. Relief Candi Sukuh.
Sengkalan yang merupakan kronogram Terkait dengan rumusan masalah
Jawa pada awalnya berbentuk teks, kemudian pertanyaan kedua mengenai visualisasi atas
dalam perkembangannya sengkalan teks sengkalan, proses tahapan visualisasinya
divisualisasikan menjadi bentuk gambar yang menyiratkan peristiwa yang menimbulkan
(sengkalan memet). Jika dilihat dari teksnya, ketertarikan untuk dikaji lebih dalam.
sengkalan memet lebih kaya akan elemen Keberadaannya nampak dirahasiakan. Didasari
dibandingkan yang dinyatakan dalam teksnya. permasalahan tersebut maka perlu diuraikam
Contohnya teks sengkalan dari Gapura utama bagaimana makna simbol sengkalan Relief
Candi Sukuh berbunyi “Gapuro Buto Aban Candi Sukuh.
Wong” dalam bahasa Indonesia yakni gapura
raksasa memakan manusia. Sengkalan memet METODE PENCIPTAAN
dari teks tersebut berupa seorang raksasa yang
memegang manusia dan memakannya. Ini Pada artikel ini, Relief Candi Sukuh
berarti sengkalan memet nampaknya dibuat dipandang sebagai artifak yang berisikan wacana
dengan ekspresi tertentu. Selain itu, Dari representasi diri yang dikerangkai budaya yang
beberapa sengkalan memet, banyak ditemukan melahirkannya. Wacana ini tercermin melalui
adanya figur alam dan figur mitologi. Figur alam bentuk atau sosok objek pada seni Relief Candi
dan figur mitologi memang menjadi pilihan Sukuh serta makna yang tersirat di balik bentuk
kata dari suatu bilangan angka padahal adapula artifak. Makna yang dicari merupakan makna
kata yang bukan figur alam maupun figur eksistensial dari konteks penggagas. Penelitian
mitologi. Komposisinya juga ada yang seimbang dilakukan dengan mendapatkan data-data
simetris dan seimbang asimetris. Fenomena informasi yang ditekankan pada kualitas, maka
tersebut memunculkan pertanyaan bagaimana jenis penelitian yang digunakan dipilih metode
keberadaan sengkalan Relief Candi Sukuh. penelitian kualitatif. Fokus amatan dalam
Sengkalan ada di berbagai benda seni penelitian ini adalah: (1) Aspek perwujudannya;
sampai dengan karya desain. Sengkalan (2) Bentuk dan karakteristik visualnya; (3) ciri
merupakan penanda tahun berbentuk teks khas yang dimiliki; dan (4) Nilai-nilai atau
yang menandakan peristiwa penting yang makna implisit pada bentuk. Mengacu pada
permasalahan tersebut, maka pendekatan yang Langkah kedua yang dilakukan untuk
digunakan adalah pendekatan kebudayaan, memperoleh data atau informasi berkenaan
yaitu melihat seni Relief Candi Sukuh sebagai dengan referensi ideal mengenai Relief
kebudayaan dan melihat seni Relief Candi Candi Sukuh dan pemikiran Suhita dalam
Sukuh sebagai bagian yang tak terpisahkan memprakarsai pembuatan Relief Candi Sukuh
dan bahkan menjadi inti dari kebudayaan serta makna-makna simbolik yang tersirat dalam
masyarakat. Artifak sebagai hasil budaya perwujudan bentuk. Langkah ini ditempuh
tidak bisa dilepaskan dari tinjauan sejarah, dengan cara telaah dokumen melalui pencarian
sebab artifak tidak dapat lepas dari kerangka dara dari sumber-sumber tertulis, yaitu buku
waktu yang menunjuk tingkat pemikiran dan maupun arsip serta dokumen yang dianggap
kondisi sosio-kultural Ratu Suhita sebagai dapat memberikan keterangan atau informasi
penggagas penghadiran Relief Candi Sukuh. mengenai keberadaan dan makna Relief
Data atau informasi berkenaan dengan seni Candi Sukuh. Buku yang dirujuk dapat berupa
Relief Candi Sukuh serta Ratu Suhita diperoleh naskah kuna ataupun buku-buku lama yang
melalui serangkaian langkah pengumpulan berkelindan dan mampu menguak mengenai
data. Pengumpulan data ini dilakukan melalui aspek kesejarahan pembuatan Relief Candi
observasi ke desa Berjo, Ngargoyoso, lokasi Sukuh, visualisasi seni Relief Candi Sukuh
berdirinya Candi Sukuh untuk melihat fisik hingga makna di balik rupa.
Relief Candi Sukuh; studi pustaka, arsip, dan Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan
dokumen; dan data dukung berupa wawancara informasi dan referensi dari sumber pustaka yang
mengenai Relief Candi Sukuh. Pengumpulan berkaitan dengan penelitian. Penghimpunan
data, seleksi, hingga analisis data dilakukan data pustaka yang berkaitan dengan sejarah,
secara terus-menerus dan berkelanjutan selama sosial, budaya, ekonomi, dan pemerintahan
masa penelitian berlangsung. masa Suhita menciptakan Relief Candi Sukuh.
Langkah pertama yang dilakukan untuk Termasuk dalam kegiatan ini, penelahaan
memperoleh data yang berkenaan dengan seni terhadap sumber pustaka, yaitu berupa buku-
Relief Candi Sukuh ditempuh dengan cara buku, hasil-hasil penelitian yang relevan dengan
mengamati objek secara seksama. Pengamatan masalah penelitian. Sumber tertulis berupa
terhadap objek dilakukan di desa Berjo, referensi yang relevan menyangkut sejarah
Ngargoyoso, dimana Candi Sukuh ada dan tetap tentang siapa dan bagaimana latar belakang
dipertahankan eksistensinya hingga kini. Dalam Suhita dalam penghadiran Relief Candi Sukuh.
melakukan observasi, peneliti mengamati Sumber-sumber yang dicermati adalah yang
langsung berbagai realitas yang ada di lapangan, berkait dengan konsep gagas yang mengarah
di antaranya dari segi rupa secara langsung pada pola pikir Suhita dalam menciptakan dan
mengamati Relief Candi menghadirkan Relief Candi Sukuh. Data-data
Sukuh sehingga dapat diketahui tentang tersebut berupa: buku, majalah, artikel, literatur,
berbagai hal yang terkait dengan rupa dan dan laporan penelitian yang tentunya terkait
ihwalnya. Observasi tidak hanya mengamati, dengan kajian penelitian. Teknik pengumpulan
tetapi juga untuk mendokumentasikan data data dimaksudkan untuk dapat menangkap
visual, khususnya Relief Candi Sukuh lengkap informasi kualitatif dari sekian pihak berkait
dengan detail bentuk dan teknik perwujudannya. dengan rumusan masalah. Literatur yang
Fakta-fakta yang direkam secara visual itu digunakan sebagai acuan dan memiliki relevansi
sangat membantu komprehensivitas data, dan dengan topik penelitian antara: Atmadjo,
terutama berguna untuk memperjelas deskripsi MM, Arti Kronogram (Sengkalan) dalam
dan analisis terhadap data-data yang disajikan. Masyarakat Jawa Kuno, Lembaga Javanologi:
banyak patung-patung. Namun pada gapura bersemayamnya para dewa dan pusat sumber atau
teras kedua halaman sebelah selatan, terdapat pancering jagad. Berpangkal pada kepercayaan
rekief yang menggambarkan seorang pendeta tersebut, dimungkinkan bahwa penghadiran
berkepala gajah, tangannya menangkap binatang candi Sukuh di antaranya dimaksudkan sebagai
anjing. Relief tersebut menurut K.C. Cruca tempat pemujaan kepada roh nenek moyang
merupakan sengkalan yang dalam bahasa Jawa guna memohon perlindungan, kekuatan gaib,
berbunyi gajah wiku anahut buntut (gajah serta kesuburan. Hal tersebut dibuktikan
pendeta menggigit ekor). Rangkaian kata ini dengan banyaknya relief serta patung yang
memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika pembacaan menggambarkan lambang kesuburan, yaitu
atas angka ini dibalik, maka didapatkan tahun phallus dan vagina11.
1378 Saka atau tahun 1456 Masehi 9. Jadi Menurut dugaan para ahli, candi Sukuh
andaikata bilangan ini benar, maka terdapat dibangun untuk tujuan pengruwatan, yaitu
selisih hampir dua puluh tahun dengan angka menangkal atau melepaskan kekuatan buruk
tahun pada gapura di teras pertama. yang mempengaruhi kehidupan seseorang akibat
Tepat di atap candi utama, di bagian tengah ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan
terdapat sebuah bujur sangkar cekung yang tersebut didasarkan pada relief-relief yang
digunakan sebagai tempat menaruh sesajian. terpahat pada relief candi Sukuh yang memuat
Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa, cerita-cerita pengruwatan, seperti Sudamala,
dan hio yang dibakar, sehingga diduga lokasi Garudheya, dan keberadaan arca kura-kura
ini sering dipergunakan untuk bersembahyang. yang dikenal masyarakat sebagai bagian dari
Namun sebenarnya dudukan berbentuk cerita Samuderamantana. Akan tetapi, perlu
persegi tersebut dahulunya digunakan untuk ditelaah lebih jauh kaitan antara pengruwatan
menempatkan tugu berbentuk phallus yang kini yang dilakukan melalui penghadiran candi
disimpan di Museum Nasional Jakarta. dengan panel relief yang memuat cerita tentang
Pembangunan Candi Sukuh terlihat tidak pengruwatan. Selain itu, ada beberapa cerita
lagi banyak mendapatkan pengaruh agama lain yang perlu ditelaah lebih lanjut terkait
Hindu, namun terlihat lebih cenderung pada penghadirannya.
konsep unsur Indonesia asli yaitu prasejarah. 2. Sejarah Pendirian Candi Sukuh
Menurut Von Heine Geldern, pembangunan
candi-candi di Indonesia merupakan refleksi Dyah Wijaya, pendiri serta raja pertama
dari bangunan megalitik. Geldern menyatakan Majapahit merupakan seorang Hinduis sekaligus
bahwa tradisi megalitik turut menentukan bentuk Budhamistik, atau penganut Tantrayana. Tokoh
susunan percandian khususnya Candi Sukuh dan ini dipuji karena penyatuan politik Kerajaan
Cetho di lereng Gunung Lawu10. Kompleks Majapahit berdasarkan kultus Tantrayana
Candi Sukuh yang berbentuk teras berundak sebagai agama negara. Dyah Wijaya merupakan
dan dibangun di atas gunung, mengingatkan karakter istri laki-laki dan perempuan. Namun,
pada bentuk punden berundak serta kepercayaan praktik-praktik Tantrik Hindu menerima
yang melatarinya. dorongan baru oleh penyebaran kultus Bima
Punden berundak berfungsi sebagai Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya ketika
lokasi pemujaan terhadap roh nenek moyang, candi Sukuh dibangun. Selama abad XIV-XV
sementara gunung dianggap sebagai tempat Masehi, di Candi Sukuh, Tantrik Siwaisme
9 Abad 14–15 Masehi”. Makalah Hasil
berubah orientasi menjadi adat kultus Bima.
Penelitian. Bandung: Fakultas Sastra Universitas
Padjadjaran, hlm. 6
10 Djoko Soekiman. 2003, hlm. 6 Riboet 11 Victor Fic. 2003. The Tantra. New Delhi:
Darmosoetopo, 1975, hlm. 30 Abhinav Publications, hlm. 54
berdiri. Figur tesebut memgang seekor anjing besar di dunia. Dirinya mengajak kita untuk
dengan tangan kanan dan memegang ekor anjing hanepa slirani kayu gung susuhing angin
menggunakan tangan kiri lalu menggigit ekor (mengoreksi diri sendiri sebelum mengoreksi
tersebut. Tidak jelas alat vital dari sosok manusia diri orang lain), sebagai cerminan bagi manusia,
berkepala gajah ini, berbeda dengan raksasa seberapa beranikah manusia sebagai titah berani
pada gapura pertama yang nampak sangat jelas. menelanjangi dirinya sendiri (baca: kesalahan)
Keterbacaan angka tahun 1445 Masehi mer- di hadapan Tuhannya dan selanjutnya mengakui
upakan masa kepemimpinan Dyah Suhita atau kesalahan yang pernah diperbuatnya tersebut
dikenal dengan Raden Ayu Kencana Wungu. dengan hati yang damai, sejuk dan penuh dengan
Pada masa ini Islam telah berkembang sangat penyerahan. Biarkan candi-candi itu berbicara,
pesat drpd masa-masa sebelumnya. Interpretasi maka mereka tidak sekedar menjadi panji–panji
yang muncul adalah suatu kritikan sebagaimana yang membawa kita kepada mitos dan mistisme,
interpretasi pada gapura pertama. Pemimpin namun terdapat banyak kebijaksanaan yang akan
pada masa tersebut, yaitu Dyah Suhita, se- mereka bisikkan dari makna yang terpendam di
benarnya sudah berada di jalan yang benar, balik relief candi Sukuh.
namun dianggap mengekor pada ajaran yang
tidak sesuai leluhur, yang digambarkan dengan SIMPULAN
binatang peliharaan yang seharusnya tetap se-
bagai peliharaan, bukan anutan. Dalam konteks Candi Sukuh didirikan oleh keturunan
meninggalkan ajaran leluhur dapat dipahami keluarga aristokratis tua Kediri, Bhre Daha di
bahwa Candi Sukuh merupakan sebuah kritik tahun 1437 M, yang menentang kebijakan Dyah
dan harapan kepada pemimpin Majapahit pada Suhita, Ratu Majapahit. Dyah Suhita dianggap
masa tersebut. Hal tersebut mungkin tidak menyerah pada pengaruh kuat kekaisaran Cina
dilakukan oleh pendukung kerajaan Majapahit, dan Islam tanpa keinginan mempertahankan
namun oposisi yang dimungkinkan adalah kera- agama dan kebudayaan luhur wangsa Rajasa.
jaan Kadiri, sebab kerajaan Kadisi pada masa itu
Candi Sukuh ditemukan kembali dalam
merupakan kerajaan vassal di bawah Majapahit
keadaan runtuh pada tahun 1815 oleh Residen
yang memiliki keinginan untuk kembali men-
Surakarta pada masa pemerintahan Raffles.
jayakan kerajaan Kediri, dan menggelorakan
Selanjutnya Candi Sukuh diteliti oleh Van der
agama leluhur yaitu agama Wisnu-Syiwa, se-
Vlis pada tahun 1842. Penelitian terhadap candi
dikit berbeda dengan Majapahit yang beraliran
tersebut kemudian dilanjutkan oleh Hoepermans
Syiwa-Budha (Wisnu).
pada tahun 1864-1867. Pada tahun 1889, Verbeek
Candi Sukuh tidak bisa “dibaca” secara mengadakan inventarisasi terhadap candi Sukuh,
serampangan, keberadaan ragawinya harus yang dilanjutkan dengan penelitian oleh Knebel
kita pahami secara lebih mendalammseperti dan WF. Stutterheim pada tahun 1910.
mengaduk lautan susu (Samudramantana)
Secara historis dalam pembabagan gaya
menggunakan mata hati kita, bukan
arsitektur dan relief yang terpahat, candi Sukuh
menggunakan mata kita yang telanjang karena
dapat dikategorikan ke dalam relief gaya klasik
mata telanjang yang kita miliki sesungguhnya
muda (Majapahit). Penggambaran relief bergaya
penuh dengan keterbatasan. Candi Sukuh
klasik muda itu adalah: Relief digambarkan
bukanlah candi persenggamaan dan penuh
dalam bentuk basrelief; Penggambaran figur
dengan ketelanjangan tetapi sesunggunya
mahluk bersifat simbolis. Penggambaran
merupakan transformasi tattwa dan filsafat yang
figur kerap kali tidak proporsional, dan kaku;
dimiliki oleh orang Jawa melalui peradabannya
Tokoh-tokoh digambarkan en-profile, dan;
yang diperhitungkan menjadi tiga peradaban
Penggambaran relief secara horror vaquum.
Candi Sukuh bukanlah candi Soedarso Sp., Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar
persenggamaan melainkan merupakan untuk Apresiasi Seni: Saku Dayar Sana,
transformasi tattwa dan filsafat Jawa. Sukuh 1987.
mengajak pengamat untuk mengoreksi diri Soetarno. 1995. Wayang KulitJawa. Surakarta:
sendiri sebelum mengoreksi diri orang lain; CV. Cendrawasih.
menelanjangi kesalahan diri di hadapan
tuhannya secara jujur dan ihlas. Biarkan candi- Supratikno Rahardjo. 2011. Peradaban Jawa
candi itu berbicara, maka mereka tidak sekedar (Dari Mataram Kuno sampai Majapahit
menjadi panji–panji yang membawa kita kepada Akhir). Jakarta: Komunitas Bambu.
mitos dan mistisme, namun terdapat banyak
kebijaksanaan yang akan mereka bisikkan dari
makna yang terpendam di balik relief candi NARASUMBER
Sukuh.
Aryo Sunaryo, 74 Tahun, Pakar Sengkalan dan
praktisi seni rupa Nusantara
DAFTAR PUSTAKA
Sucipto, 68 Tahun, Juru Kunci Candi Sukuh
Agus Aris Munandar. 2004. “Karya Sastra
Jawa Kuno yang Diabadikan pada Relief
Candi–Candi Abad ke 13–15 M”. Jurnal
Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 2
Agustus 2004.
Djoko Soekiman. 2003, Candi Sukuh dan Candi
Cetho, Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Jawa Tengah .
Etty Saringendyanti. 2008. “Candi Sukuh
dan Ceto di Kawasan Gunung Lawu:
Peranannya Pada Abad 14–15 Masehi”.
Makalah Hasil Penelitian. Bandung:
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Fic, Victor. M. 2003. The Tantra. New Delhi:
Abhinav Publications.
Kanjeng Madi Kertonegoro. 2 0 1 0 .
Bungai Rampai Kisah P e w a y a n g a n
Mahabharata. Bali: Daya Putih Fondation.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbja-
teng/penggambaran ceritasamudraman-
na-di-candi-sukuh-dan-arca-kura-kura/.
Diakses 28 Maret 2019 jam 19.45 WIB.
Purwadi. 2007. Filsafat Jawa dan Kearifan
Lokal. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Riboet Darmosutopo, Peninggalan- peninggalan
Kebudayaan di Lereng Barat Gunung
Lawu, Yogyakarta: PPPT UGM, 1976.