Anda di halaman 1dari 5

6.

Perkembangan Emosi Anak Tunanetra


Salahsatu variabel determinan perkembangan emosi adalah variabel
organisme, yaitu perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila seseorang
mengalami emosi. Sedangkan variabel lainnya adalah stimulus atau
rangsangan yang menimbulkan emosi, serta respon atau jawaban terhadap
rangsangan emosi yang datang dari lingkungannya. Secara umum dari ketiga
variabel tersebut tidak dapat diubah oleh pendidikan adalah variabel
organisme.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampaun untuk memberi respon
secara emosional sudah dijumpai sejak bayi baru lahir. Awalnya bersifat tak
terdiferensiasi atau random dan cenderung ditampilkan dalam bentuk perilaku
atau respon motorik menuju arah terdeferensiasi dan dinyatakan dalam respon-
respon yang bersifat verbal. Perkembangan emosi dipengaruhi oleh
kematangan, terutama kematangan intelektual dan kelenjar endokrin, serta
proses belajar baik melalui proses belajar coba-coba gagal, imitasi, maupun
kondisioning. Namun demikian proses belajar jauh lebuh penting pengaruhnya
terhadap perkembangan emosi dibandingkan dengan kematangan karena
proses belajar dapat dikendalikan atau dikontrol.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipradugakan bahwa perkembangan
emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan
anak yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-
kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba
untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena
tidak dapat melakukan pengamatan terhadao reaksi lingkungannya secara
tepat. Akibatnya, pola emosi yang ditampilkan munhkin berbeda atau tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.
Pada bayi yang normal, dia dapat tersenyum atau menunjukan ekspresi
tertentu karena ia mampu menirukan perilaku orang lain yang ditunjukan
kepadanya saat ia senang. Pada anak tunanetra, hal semacam ini tentu sangat
sulit dipelajari maupun diajarkan. Bentuk pernyataan emosi yang bersifat
nonverbal cenderung dilakukan melalui proses belajar imitasi, yaitu dengan
melakukan pengamatan visual terhadap orang-orang disekitarnya dalam
mereaksi situasi tertentu. Kesulitan bagi anak tuna netra ialah ia tidak diberi
respon emosional serta respon-respon apasaja yang diberikan terhadap
stimulus-stimulus tersebut. Dengan kata lain, anak tuna netra memiliki
keterbatasan dalam berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau
reaksi-reaksi wajah atau tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang
dirasakannya kepada orang lain. Bagi anak tuna netra, pernyaraan-pernyataan
emosi cenderung dilakukan dengan kata-kata atu bersifat verbal dan ini pun
daoat dilakukan secara teoat sejalan dengan bertambahnya usia, kematangan
intelektual, dan kemampuan berbicara atay berbahasanya.
Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk mengetahui bagaimana kondisi
emosional anak tunanetra sebelum ia mampu berbahasa dengan baik kecuali
dengan melakukan pengamatan terhadap kebiasaan-kebiasaan gerak motorik
yang ditampilkan sebagai cerminan pernyataan emosinya. Akan sangat sulit
bagi orang asing atau yang baru kenal untuk menebak kondisi emosional anak
tunanetra hanya dengan melihat penampilan atau ekspresu wajahnya tanpa
disertai ungkapan kata-katanya. Namun, dengan demikian bukan berarti bahwa
anak tunanetra tidak mampu menunjukan emosinya dengan ekspresu wajah
atau tubuh lainnya. Dengan diajarkan secara intensif, anak tunanetra juga
mampu berkomunikasi secara emosional melalui pernyataan yang bersifat
nonverbal.
Perkembangan emosi anak tunanetra juga akn semakin terhambat bila
anak tersebut mengalami deprivasi emosi , yaitu keadaan dimana anak
tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman
emosi yang menyenangkan, seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan
kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalamu deprivasi emosi ini
khususnya anak-anak yang pada masa awak kehidupan atau perkembangannya
ditolak kehadirannya oleh lingkungan keluarga atau lingkungannya. Deprivasi
emosi ini sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti
kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan
sosialnya. Disamping itu, ada kecenderungan bahwa anak tunanetra yang
dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan bersifat
menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangar menuntut pertolongan
atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya.
Masalah lain yang sering muncul dalam perkembangan emosi anak
tunanetra adalah ditampilkannya gelaja-gejala emosi yang tidak seimbang atau
pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan. Semua ini terutama berpangkal
pada ketidakmampuan atau keterbatasan dalam penglihatan serta pengalaman-
pengalaman yang dirasakan atau dihadapi dalam masa perkembangannya.
Beberapa gejala atau pola emosi yang negatif dan berlebihan tersebut adalah
perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan
yang berlebihan.
Perasaan takut pada anak tunanetra biasanya berhubungan dengan
meningkatnya kemampuan anak untuk mengenal bahaya serta penilaian kritis
terhadap lingkungannya. Ketidakmampuannya dalam menglihat
mengakibatkan ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan-
kemungkinan bahaya yang dapat mengancam keselamatanya. Akibatnya anak
tunanetra cenderung memiliki perasaan dan bayangan adanya bahaya yang jauh
lebih banyak dan jauh lebih besar dibanding dengan orang awas. Kondisi ini
diperberat dengan ketidakmampuan dalam menghadapi atau menghindar dari
bahaya tersebut, apalagi jika bahaya tersebut datang tiba-tiba, serta
pengalamannya dalam melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya yang
begitu banyak dihadapkab dengan berbagai resiko. Kita sendiri dapat
membayangkan bagaimana takutnya berada dalam kegelapan, walau kita
memiliki kemampuan dan pengalaman untuk menghindari atau mengahdapi
bahaya yang mungkin datang.
Meskipun anak tunanetra tidak mampu melihat lingkungannya, perasaan
malu seringkali menghinggapi mereka. Hal ini terutama dalam memasuki
dunia yang asing baginya. Sifat ini seringkali disebabkan karena
keluarbiasaannya serta sebagai reaksi terhadap ketidaktahuan dan
ketidakpastian dari reaksi orang lain terhadap diri sendiri dan perilakunya.
Sedangkan perasaan khawatir dan cemas seringkali menghinggapi anak
tunanetra sebagai akibat dari ketidakmampuan atau keterbatasan dakam
memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di lingkungannya
dan menimpa dirinya. Sedangkan perasaan iri hati biasanya muncul karena
kurang atau hilangnya kasih sayang dari lingkungannya. Biasanya tumbuh dan
berkembang dari reaksi lingkungan terhadap dirinya yang ternyata
diperlakukansecara berbeda karena kecacatannya.

7. Pendidikan Bagi siswa Tunanetra di Sekolah Umum dalam Setting


Pendidikan Inklusif
Kebutuhan pendidikan khusus yang diciptakan oleh ketunanetraan itu
diantaranya:
a. Kehilangan penglihatan dapat mengakibatkan terlambatnya
perkembangan konsep yang apabila tidak mendapat intervensi yang
efektif, berdampak sangat burul terhadap perkembangan sosial, emosi,
akademik dan vokasionalnya.
b. Siswa tunanetra sering harus belajar melaui alternative menggunakan
indera-indera lain.
c. Siswa tunanetra sering memerlukan pengajaran individual, karena
pembelajaran klasikal untuk keterampilan-keterampilan khusus mungkin
tidak bermakna baginya.
d. Siswa tunanetra sering membutuhkan keterapilan-keterampilan khusus
serta buku materi dan peralatan khusus untuk belajar melalui media
alternative.
e. Siswa tunanetra terbatas dalam memperoleh informasi melalui belajar
secara insidental karena mereka sering tidak menyadari adanya kegiatan-
kegiatan kecil yang terjadi didalam lingkungannya.
Bidang kurikulum yang membutuhkan strategi khusus atau
penyesuaian bagi siswa tunanetra itu antara lain mencakup pengembangan
konsep, penggunaan teknik alternative dan alat bantu belahar khusus,
keterampilan sosial/emosional, keterampilan orientasi dan mobilitas,
keterampilan kehidupan sehari-hari, keterampilan kerja dan keterampilan
menggunakan sisa penglihatan.
1) Strategi dan Media Pembelajaran
Strategi yang diterapkan dalam pembelajaran anak tunanetra,
diantaranya:
a. Strategi individualisasi adalah strategi pembelajaran dengan
mempergunakan suatu program yang disesuaikan dengan perbedaan
individu, baik karakteristik, kebutuhan, maupun kemampuannya secara
perorangan. Strategi ini dikenal dengan Individualized Educational
Program (IEP), atau Program Pendidikan Individialisasi (PPI).
b. Strategi kooperatif adalah stratego pembelajaran yang menekankan
unsur gotong royong atau saling membantu satu sama lain dalam
mencapai tujuan pembelajaran.
c. Strategi modifikasi perilaku adalah strategi pembelajaran yang
bertujuan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih positif
melalui kondisioning atau pembiasaan, serta membantunya untuk lebih
produktif sehingga menjadi individu yang mandiri. Strategi ini dapat
diterapkan dalam meningkatkan keterampilan sosial anak tunanetra.
Strategi pembelajaran yang tekah disebutkan dapat digunakan dalam
pembelajaran anak tunanetra karena perbedaan anak tunanetra dan anak
awas lebih sedikit daripada persamaannya. Permasalahnnya adalah
bagaimana guru melakukan modifikasi terhadap semua komponen dalam
proses pembelajaran sehingga pesan maupun pembelajaran dapat diterima
oleh siswa tunanetra melalui indera-indera lainnya yang masih berfungsi,
seperti pendengaran, penciuman, perabaan, pengecapan serta sisa
penglihatan (bagi siswa low vision). Permasalahan lainnya adalah
bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih berfungsi
pada siswa tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan
pembelajaran. Dapat disimpilkan permasalahan dalam strategi
pembelajaran siswa tunanetra terletak pada upaya memodifikasi
lingkungan agar sesuai dengan kondisi siswa dan upaya pemanfaatan
ondera-indera yang masih berfungsi untuk mengimbangi kelemahan.
2) Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat
dilepaskan dari suatu proses pembelajaran, karena keberhasilan proses
pembelajaran tersebut, salah satu faktornya oleh penggunaan komponen ini.
Fungsi media pembelajaran antara lain untuk memperlancar proses
pembelajaran itu sendiri, memperjelas sebuah konsep, serta membangkitkan
minat dan perhatian terhadap pembelajaran.
Oleh karena siswa tunanetra memiliki kelemahan dalam
penglihatannya, maka media pembelajaran yang digunakan harus mampu
menutupi kelemahan tersebut. Dengan demikian, media pembelajaran
dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan siswa
tunanetraatau menjadi sesuatu yang dapat ditangkapoleh indera lainnya
yang masih aktif.
Menurut fungsinya, media pembelajaran dibedakan menjadi dua,
diantaranya:
a. Media yang berfungsi untuk memperjelas pemahaman konsep, yang
sering disebut alat peraga. Alat peraga itu diantaranya:
 Objek atau situasi yang sebenarnya. Contoh: Tumbuhan dan hewan
asli.
 Benda asli yang diawetkan. Contoh: Binatang yang diawetkan.
 Tiruan (Model), yang terdiri dari model tiga dimendi dan dua
dimensi.
b. Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses
pembelajaran, yang disebut alat bantu pembelajaran. Contoh alat
bantu pembe;ajaran diantaranya:
 Alat bantu untuk baca tulis antaralain: reglet & pen (stylus), mesin
ketik Braille, papan huruf dan optacon (alat yang dapat merubah
huruf cetak menjadi huruf yang dapat dibaca).
 Alat bantu untuk membaca (bagi anak low vision) antara lain: kaca
pembesar, OHP (Overhead Proyektor), CCTV (Close Circuit
Television ), dan slide proyektor.
 Alat bantu berhitung: Papan hitung (cubaritme), abakus (sempoa),
dan kalkulator bicara (talking calculator).
 Alat bantu audio yang sering digunakan oleh anak tunanetra, yaitu
tape-recorder.
3) Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran terhadap anak tunanetra pada dasarnya
sama dengan yang dilakukan kepada siswa awas, namun perbedaannya
pada materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes yang ada pada
soal anak tunanetra tidak dapat mengandung unsur-unsur yang
mengandung persepsi visual.
Kegiatan evaluasi dapat dilakukan melalui tes lisan, tertulis dan
perbuatan. Dalam pelaksanaan tes tulis ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dianatarna sebagai berikut:
 Soal yang diberikan kepada siswa tunanetra yang tergolong buta
hendaknya dalam bentuk huruf Braille, sedangkan bagi siswa yang
low vision dapat menggunakan huruf biasa yang ukurannya
disesuaikan dengan kemampuan penglihatannya. Untuk soal Braille,
guru dapat bekerja sama dengan guru pendamping khusus (GPK).
 Bersufat objektif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar
siswa tunanetra atau memberikan penilaian yang sama dengan
kemampuannya.
 Waktu pelaksanaan tes bagi siswa tunanetra hendaknya lebih lama
dibandingkan dengan pelaksanaan tes untuk siswa awas. Hal tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa waktu yang digunakan siswa
tunanetra untuk membaca Braille, atau membaca bagi siswa low
vision, cenderung lebih lama dibandingkan dengan siswa awas.

Anda mungkin juga menyukai