Salahsatu variabel determinan perkembangan emosi adalah variabel organisme, yaitu perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila seseorang mengalami emosi. Sedangkan variabel lainnya adalah stimulus atau rangsangan yang menimbulkan emosi, serta respon atau jawaban terhadap rangsangan emosi yang datang dari lingkungannya. Secara umum dari ketiga variabel tersebut tidak dapat diubah oleh pendidikan adalah variabel organisme. Hasil penelitian menunjukan bahwa kemampaun untuk memberi respon secara emosional sudah dijumpai sejak bayi baru lahir. Awalnya bersifat tak terdiferensiasi atau random dan cenderung ditampilkan dalam bentuk perilaku atau respon motorik menuju arah terdeferensiasi dan dinyatakan dalam respon- respon yang bersifat verbal. Perkembangan emosi dipengaruhi oleh kematangan, terutama kematangan intelektual dan kelenjar endokrin, serta proses belajar baik melalui proses belajar coba-coba gagal, imitasi, maupun kondisioning. Namun demikian proses belajar jauh lebuh penting pengaruhnya terhadap perkembangan emosi dibandingkan dengan kematangan karena proses belajar dapat dikendalikan atau dikontrol. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dipradugakan bahwa perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak- kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena tidak dapat melakukan pengamatan terhadao reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya, pola emosi yang ditampilkan munhkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya. Pada bayi yang normal, dia dapat tersenyum atau menunjukan ekspresi tertentu karena ia mampu menirukan perilaku orang lain yang ditunjukan kepadanya saat ia senang. Pada anak tunanetra, hal semacam ini tentu sangat sulit dipelajari maupun diajarkan. Bentuk pernyataan emosi yang bersifat nonverbal cenderung dilakukan melalui proses belajar imitasi, yaitu dengan melakukan pengamatan visual terhadap orang-orang disekitarnya dalam mereaksi situasi tertentu. Kesulitan bagi anak tuna netra ialah ia tidak diberi respon emosional serta respon-respon apasaja yang diberikan terhadap stimulus-stimulus tersebut. Dengan kata lain, anak tuna netra memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau reaksi-reaksi wajah atau tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang dirasakannya kepada orang lain. Bagi anak tuna netra, pernyaraan-pernyataan emosi cenderung dilakukan dengan kata-kata atu bersifat verbal dan ini pun daoat dilakukan secara teoat sejalan dengan bertambahnya usia, kematangan intelektual, dan kemampuan berbicara atay berbahasanya. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk mengetahui bagaimana kondisi emosional anak tunanetra sebelum ia mampu berbahasa dengan baik kecuali dengan melakukan pengamatan terhadap kebiasaan-kebiasaan gerak motorik yang ditampilkan sebagai cerminan pernyataan emosinya. Akan sangat sulit bagi orang asing atau yang baru kenal untuk menebak kondisi emosional anak tunanetra hanya dengan melihat penampilan atau ekspresu wajahnya tanpa disertai ungkapan kata-katanya. Namun, dengan demikian bukan berarti bahwa anak tunanetra tidak mampu menunjukan emosinya dengan ekspresu wajah atau tubuh lainnya. Dengan diajarkan secara intensif, anak tunanetra juga mampu berkomunikasi secara emosional melalui pernyataan yang bersifat nonverbal. Perkembangan emosi anak tunanetra juga akn semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi , yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan, seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalamu deprivasi emosi ini khususnya anak-anak yang pada masa awak kehidupan atau perkembangannya ditolak kehadirannya oleh lingkungan keluarga atau lingkungannya. Deprivasi emosi ini sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan sosialnya. Disamping itu, ada kecenderungan bahwa anak tunanetra yang dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangar menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya. Masalah lain yang sering muncul dalam perkembangan emosi anak tunanetra adalah ditampilkannya gelaja-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan. Semua ini terutama berpangkal pada ketidakmampuan atau keterbatasan dalam penglihatan serta pengalaman- pengalaman yang dirasakan atau dihadapi dalam masa perkembangannya. Beberapa gejala atau pola emosi yang negatif dan berlebihan tersebut adalah perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan. Perasaan takut pada anak tunanetra biasanya berhubungan dengan meningkatnya kemampuan anak untuk mengenal bahaya serta penilaian kritis terhadap lingkungannya. Ketidakmampuannya dalam menglihat mengakibatkan ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan- kemungkinan bahaya yang dapat mengancam keselamatanya. Akibatnya anak tunanetra cenderung memiliki perasaan dan bayangan adanya bahaya yang jauh lebih banyak dan jauh lebih besar dibanding dengan orang awas. Kondisi ini diperberat dengan ketidakmampuan dalam menghadapi atau menghindar dari bahaya tersebut, apalagi jika bahaya tersebut datang tiba-tiba, serta pengalamannya dalam melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya yang begitu banyak dihadapkab dengan berbagai resiko. Kita sendiri dapat membayangkan bagaimana takutnya berada dalam kegelapan, walau kita memiliki kemampuan dan pengalaman untuk menghindari atau mengahdapi bahaya yang mungkin datang. Meskipun anak tunanetra tidak mampu melihat lingkungannya, perasaan malu seringkali menghinggapi mereka. Hal ini terutama dalam memasuki dunia yang asing baginya. Sifat ini seringkali disebabkan karena keluarbiasaannya serta sebagai reaksi terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian dari reaksi orang lain terhadap diri sendiri dan perilakunya. Sedangkan perasaan khawatir dan cemas seringkali menghinggapi anak tunanetra sebagai akibat dari ketidakmampuan atau keterbatasan dakam memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di lingkungannya dan menimpa dirinya. Sedangkan perasaan iri hati biasanya muncul karena kurang atau hilangnya kasih sayang dari lingkungannya. Biasanya tumbuh dan berkembang dari reaksi lingkungan terhadap dirinya yang ternyata diperlakukansecara berbeda karena kecacatannya.
7. Pendidikan Bagi siswa Tunanetra di Sekolah Umum dalam Setting
Pendidikan Inklusif Kebutuhan pendidikan khusus yang diciptakan oleh ketunanetraan itu diantaranya: a. Kehilangan penglihatan dapat mengakibatkan terlambatnya perkembangan konsep yang apabila tidak mendapat intervensi yang efektif, berdampak sangat burul terhadap perkembangan sosial, emosi, akademik dan vokasionalnya. b. Siswa tunanetra sering harus belajar melaui alternative menggunakan indera-indera lain. c. Siswa tunanetra sering memerlukan pengajaran individual, karena pembelajaran klasikal untuk keterampilan-keterampilan khusus mungkin tidak bermakna baginya. d. Siswa tunanetra sering membutuhkan keterapilan-keterampilan khusus serta buku materi dan peralatan khusus untuk belajar melalui media alternative. e. Siswa tunanetra terbatas dalam memperoleh informasi melalui belajar secara insidental karena mereka sering tidak menyadari adanya kegiatan- kegiatan kecil yang terjadi didalam lingkungannya. Bidang kurikulum yang membutuhkan strategi khusus atau penyesuaian bagi siswa tunanetra itu antara lain mencakup pengembangan konsep, penggunaan teknik alternative dan alat bantu belahar khusus, keterampilan sosial/emosional, keterampilan orientasi dan mobilitas, keterampilan kehidupan sehari-hari, keterampilan kerja dan keterampilan menggunakan sisa penglihatan. 1) Strategi dan Media Pembelajaran Strategi yang diterapkan dalam pembelajaran anak tunanetra, diantaranya: a. Strategi individualisasi adalah strategi pembelajaran dengan mempergunakan suatu program yang disesuaikan dengan perbedaan individu, baik karakteristik, kebutuhan, maupun kemampuannya secara perorangan. Strategi ini dikenal dengan Individualized Educational Program (IEP), atau Program Pendidikan Individialisasi (PPI). b. Strategi kooperatif adalah stratego pembelajaran yang menekankan unsur gotong royong atau saling membantu satu sama lain dalam mencapai tujuan pembelajaran. c. Strategi modifikasi perilaku adalah strategi pembelajaran yang bertujuan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih positif melalui kondisioning atau pembiasaan, serta membantunya untuk lebih produktif sehingga menjadi individu yang mandiri. Strategi ini dapat diterapkan dalam meningkatkan keterampilan sosial anak tunanetra. Strategi pembelajaran yang tekah disebutkan dapat digunakan dalam pembelajaran anak tunanetra karena perbedaan anak tunanetra dan anak awas lebih sedikit daripada persamaannya. Permasalahnnya adalah bagaimana guru melakukan modifikasi terhadap semua komponen dalam proses pembelajaran sehingga pesan maupun pembelajaran dapat diterima oleh siswa tunanetra melalui indera-indera lainnya yang masih berfungsi, seperti pendengaran, penciuman, perabaan, pengecapan serta sisa penglihatan (bagi siswa low vision). Permasalahan lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih berfungsi pada siswa tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan pembelajaran. Dapat disimpilkan permasalahan dalam strategi pembelajaran siswa tunanetra terletak pada upaya memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi siswa dan upaya pemanfaatan ondera-indera yang masih berfungsi untuk mengimbangi kelemahan. 2) Media Pembelajaran Media pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari suatu proses pembelajaran, karena keberhasilan proses pembelajaran tersebut, salah satu faktornya oleh penggunaan komponen ini. Fungsi media pembelajaran antara lain untuk memperlancar proses pembelajaran itu sendiri, memperjelas sebuah konsep, serta membangkitkan minat dan perhatian terhadap pembelajaran. Oleh karena siswa tunanetra memiliki kelemahan dalam penglihatannya, maka media pembelajaran yang digunakan harus mampu menutupi kelemahan tersebut. Dengan demikian, media pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan siswa tunanetraatau menjadi sesuatu yang dapat ditangkapoleh indera lainnya yang masih aktif. Menurut fungsinya, media pembelajaran dibedakan menjadi dua, diantaranya: a. Media yang berfungsi untuk memperjelas pemahaman konsep, yang sering disebut alat peraga. Alat peraga itu diantaranya: Objek atau situasi yang sebenarnya. Contoh: Tumbuhan dan hewan asli. Benda asli yang diawetkan. Contoh: Binatang yang diawetkan. Tiruan (Model), yang terdiri dari model tiga dimendi dan dua dimensi. b. Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses pembelajaran, yang disebut alat bantu pembelajaran. Contoh alat bantu pembe;ajaran diantaranya: Alat bantu untuk baca tulis antaralain: reglet & pen (stylus), mesin ketik Braille, papan huruf dan optacon (alat yang dapat merubah huruf cetak menjadi huruf yang dapat dibaca). Alat bantu untuk membaca (bagi anak low vision) antara lain: kaca pembesar, OHP (Overhead Proyektor), CCTV (Close Circuit Television ), dan slide proyektor. Alat bantu berhitung: Papan hitung (cubaritme), abakus (sempoa), dan kalkulator bicara (talking calculator). Alat bantu audio yang sering digunakan oleh anak tunanetra, yaitu tape-recorder. 3) Evaluasi Pembelajaran Evaluasi pembelajaran terhadap anak tunanetra pada dasarnya sama dengan yang dilakukan kepada siswa awas, namun perbedaannya pada materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes yang ada pada soal anak tunanetra tidak dapat mengandung unsur-unsur yang mengandung persepsi visual. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan melalui tes lisan, tertulis dan perbuatan. Dalam pelaksanaan tes tulis ada beberapa hal yang harus diperhatikan dianatarna sebagai berikut: Soal yang diberikan kepada siswa tunanetra yang tergolong buta hendaknya dalam bentuk huruf Braille, sedangkan bagi siswa yang low vision dapat menggunakan huruf biasa yang ukurannya disesuaikan dengan kemampuan penglihatannya. Untuk soal Braille, guru dapat bekerja sama dengan guru pendamping khusus (GPK). Bersufat objektif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar siswa tunanetra atau memberikan penilaian yang sama dengan kemampuannya. Waktu pelaksanaan tes bagi siswa tunanetra hendaknya lebih lama dibandingkan dengan pelaksanaan tes untuk siswa awas. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa waktu yang digunakan siswa tunanetra untuk membaca Braille, atau membaca bagi siswa low vision, cenderung lebih lama dibandingkan dengan siswa awas.