Anda di halaman 1dari 11

Pada zaman dahulu kala di Jawa Timur pada tahun 1640 masehi,

terdapat adipati yang sangat berwibawa dan tangguh bernama Raden


Panji Puspa Kusuma. Raden Panji Puspa Kusuma memimpin kadipaten di
Lamongan. Daerah yang dipimpinnya sangat subur dan makmur. Padi-padi
di sawah menguning dan panen melimpah setiap tahunnya, tak terkecuali
dalam hal perdagangan. Rakyatnya pun sangat mencintainya dan memberi
gelar Kanjeng Gusti adipati. Selain itu, Raden Panji Puspa Kusuma juga
terkenal mempunyai putra kembar yang sangat rupawan dari
perkawinannya dengan putri Sunan Pakubuwono 11 raja Surakarta
Adiningrat. Kedua putranya itu diberi nama Panji Laras dan Panji Liris
yang artinya seorang putra bangsawan yang mempesona. Tidak heran
kalau banyak putri-putri dari daerah lain ingin dipersunting dua
pangeran yang rupawan itu. Dari kalangan rakyat pun sama, ibu-ibu yang
mempunyai anak gadis juga ingin menikahkan anaknya dengan pangeran
tapi maksud hati memeluk gunung apalah daya tangan tak sampai.
Mereka sadar kalau rakyat biasa tidak mungkin mendapatkan menantu
seorang pangeran, mereka hanya bisa menganggumi dan berangan-angan
saja.
Di dalam kadipaten, Panji Laras dan Panji Liris dididik dengan penuh
disiplin. Mereka menjadi pemuda yang kuat, cerdas dan tampan. Mereka
juga telah memperoleh pendidikan agama Islam, keperajaan dan
keprajuritan dengan sangat baik.
Hingga pada suatu sore ada keinginan Panji Laras dan Panji Liris untuk
memperdalam ilmunya di luar kadipaten.
“Romo, kami rasa kami telah cukup matang dalam hal keprajuritan dan
agama. Perkenankanlah kami untuk mengembara ke daerah-daerah
kekuasaan lain.” Ujar Panji Laras
Raden Panji Puspa Kusuma itu tersenyum berwibawa. Garis-garis
diwajahnya tampak semakin jelas menandakan umurnya telah lanjut tapi
di sana masih terlihat semangatnya seperti seorang pemuda belasan
tahun.
“Romo sangat bangga kepada kalian berdua, Anakku. Kalian telah belajar
ilmu agama dan ilmu keprajuritan dengan sangat baik. Benar apa kata
kalian, kalian harus pergi ke kerajaan-kerajaan tetangga untuk
memperdalam ilmu kalian dan jangan lupa untuk selalu menolong kepada
siapa saja yang membutuhkan. Dadio anak seng bekti marang wong tuo
lan negoro”.
“Perintah romo akan kami laksanakan. Perkenankan kami undur diri dari
hadapan romo.”
Malam itu juga, Raden Panji Laras dan Panji Liris beserta rombongan
pergi meninggalkan istana menuju arah selatan Lamongan. Raden Panji
Puspa Kusuma melepas mereka dengan senyum bangga dan yakin bahwa
kelak putra-putranya akan menjadi adipati yang tangguh. Rombongan
Raden Panji Laras Liris melakukan kunjungan di setiap daerah yang
mereka singgahi. Hingga mereka tiba di sebuah daerah yang dipimpin
oleh Ki Ageng Wirosobo.
Di pagi yang masih buta, terlihat dari jauh Panji Laras dan Panji Liris
dengan gagah duduk di atas kuda dengan diiringi beberapa orang
berpakaian prajurit.
“Ayolah, Kangmas. Kita hampir tiba di Kerajaan Kediri.” Panji Liris
menghentakkan tali kengkang kudanya. Sekali sentak kuda yang
ditungganginya semakin kencang berlari mendahului saudaranya.
Wajahnya tampak bersinar terpantul cahaya fajar yang masih hangat.
“Dimas, bersabarlah. Hari juga masih terlalu pagi.” Ujar Panji Laras.
Tapi karena semangatnya, pemuda itu tak menghiraukan ucapan
saudaranya. Dihentakkan tali kekang kudanya semakin kencang membuat
tubuhnya bergoyang-goyang mengimbangi irama derap langkah kudanya.
Saudaranya hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya yang
dibakar semangat.
Mereka menginjakan kaki di istana Kediri ketika matahari berada tepat
di atas kepala. Kedatangan Panji Laras dan Panji Liris ke kadipaten
Kediri itu sudah didengar oleh Ki Ageng Wirosobo. Saat itu Ki Ageng
Wirosobo sendirilah yang datang menyambut mereka di halaman istana.
“Mari pangeran kita masuk ke dalam, kami sengaja menyiapkan jamuan
untuk menyambut kedatangan kalian.” Ki Ageng Wirosobo
mempersilahkan rombongan Panji Laras Liris untuk masuk ke dalam
istana.
“Terima kasih Ki Ageng. Tidak seharusnya Ki Ageng sendiri yang repot-
repot menyambut kami. Diterima di istana saja kami sudah sangat
senang.” Ucap Panji Laras mewakili rombongannya. Senyum merekah
menghiasi Panji Laras menambah pesona ketampanannya.
Di dalam istana disediakan makanan-makanan yang demikian lezatnya.
Tak lupa wedang ikut disajikan di atas meja makan.
“Wedang sangat baik untuk tubuh. Dapat menghangatkan tubuh serta
mengurangi rasa letih apalagi kalian baru saja melakukan perjalanan
jauh.” Ki Ageng Wirosobo menjelaskan panjang lebar.
Wajahnyasumringah melihat para tamunya menikmati semua hidangan
yang disediakan.
“Kalian sebaiknya beristirahat dulu di istana. Perjalanan kalian pasti
sangat melelahkan.” Ki Ageng Wirosobo menawarkan tempat isirahat
untuk rombongan Panji Laras Liris.
“Maaf, Ki. Bukan maksud kami untuk menolak tapi kami harus
melanjutkan perjalanan. Masih banyak daerah-daerah yang belum kami
datangi.” Ucap Panji Liris meminta maaf.
“Istirahatlah barang sejenak. Tidak menginap pun tidak masalah asalkan
kalian mau beristirahat di sini.” Ki Ageng Wirosobo tetap memaksa.
Karena terus dipaksa dan juga karena menghormati Sang Adipati,
akhirnya mereka menyetujuinya.
“Baiklah, Ki. Jika itu kehendak Ki Ageng kami akan beristirahat di sini”.
Sore itu Panji Laras dan Panji Liris duduk-duduk di taman istana.
Matahari sudah menghilang berganti senja. Angin sepoi-sepoi menyapu
wajah mereka hingga membuat keduanya mengantuk. Tapi sebelum
mereka benar-benar terlelap, mereka dikejutkan suara perempuan yang
tertawa merdu, dan mereka tahu tawa itu tidak milik satu perempuan
saja.
“Siapa kalian?!” tegur Panji Laras terperanjat karena merasa terganggu.
Panji Liris pun berhasil mengusir rasa kantuknya setelah di hadapannya
berdiri dua perempuan yang sangat cantik.
“Saya Dewi Andansari dan ini adik saya Dewi Andanwangi. Kami putri
dari Adipati Wirosobo. Maaf kami telah mengganggu istirahat kisanak.”
Perempuan yang bernama Andansari itu menjawab pertanyaan Panji
Laras dengan lirih dan ketakutan.
Panji Laras dan Panji Liris pun tersenyum, setelah mendengar penuturan
Dewi Andansari dan Andanwangi.
“Maafkan kelancangan kami. Kami tidak bermaksud kasar kepada
Diajeng berdua. Kami hanya kaget dengar tertawa Diajeng. Kami tidak
tahu kedatangan Diajeng kemari.” Ujar Panji Laras minta maaf.
“Kami yang salah karena sengaja menertawakan kisanak berdua yang
sedang menahan kantuk. Maafkan kami.” Dewi Andanwangi menyesal.
“Sudahlah, Diajeng tidak salah. Sekarang ada apa Diajeng berdua
kemari. Apa ada yang bisa kami bantu?” Panji Liris berkata dengan
sangat sopan. Tatapan matanya pun tak berani langsung menatap wajah
kedua putri Kediri itu.
“Kami tadi hanya kebetulan lewat sini. Dan melihat kisanak berdua
sedang terkantu-kantuk membuat kami berhenti melangkah. Permisi,
kami harus pergi.” Dewi Andansari dan Andanwangi pergi meninggalkan
Panji Laras dan Panji Liris agar mereka bisa istirahat kembali.
Sesampainya di kamar istana, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi itu
senyum-senyum sendiri membuat para abdi istana heran dengan
kelakuan ndoro putrinya. Tapi mereka tak berani bertanya apa yang
sedang terjadi.
“Yunda, ternyata apa yang selama ini kita dengar adalah nyata.
Ketampanan Panji Laras dan Panji Liris itu memang benar adanya. Dan
mereka ternyata lebih tampan dari bayangan kita.”
“Iya, Dinda. Yunda benar-benar jatuh cinta.” Dewi Andansari
memandang adiknya tanpa kedip seolah adiknya adalah Panji Laras.
Sementara itu, Panji Laras dan Panji Liris sudah bersiap-siap untuk
melanjutkan kembali perjalanannya malam itu juga.
“Terima kasih, Ki. Ki Ageng telah mengijinkan kami beristirahat di
istana. Kami sangat berterima kasih.” Panji Laras dan Panji Liris pamit
ke Ageng Wirosobo.
“Sama-sama, Anakku. Semoga kalian berdua bisa menjadi seorang
adipati yang hebat. Salam kepada ayahanda kalian. Semoga silaturahmi
ini tetap terjalin.”
Ketika malam menjelang, rombongan Panji Laras dan Panji Liris
meninggalkan kadipaten Kediri untuk melanjutkan perjalanan ke daerah
selanjutnya. Dan jauh di dalam istana, ada dua perempuan yang gelisah
mendengar kepergian Panji Laras dan Panji Liris dari istananya.
Setelah Panji Laras dan Panji Liris sudah meninggalkan istana Kediri,
Dewi Dewi Andansari dan Andanwangi tidak bisa tidur siang dan malam.
Kedua Putri Kediri itu sudah terlanjur kesengsem sama Panji Laras dan
Panji Liris. Ki Ageng Wirosobo akhirnya mencium kelakuan aneh kedua
putri kesayangannya dan memanggil mereka berdua di hadapannya.
“Nduk, Apa yang menjadi menyebab kalian berdua seperti ini. Apa yang
kalian pikirkan, Anakku?” Tanya Ki Ageng Wirosobo lembut kepada Dewi
Andansari dan Dewi Andanwangi.
Dewi Andansari dan Andanwangi sangat malu jika harus berterus terang
dengan ayahandanya. Mereka memilih untuk diam.
“Ceritalah, Anakku. Romo tidak ingin kalian berdua jatuh sakit jika
setiap hari kalian tidak ada nafsu makan dan susah tidur.” Kata Ki Ageng
Wirosobo dengan sabar.
“Romo, maafkanlah kami. Tidak sepatutnya dinda seperti ini. Kami
berdua telah jatuh cinta kepada Pangeran Panji Laras dan Panji Liris.
Pangeran tersebut sudah membuat kami terus memikirkannya. Dan
terasa rindu jika tidak bertemu.” Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi
menunduk tidak berani menatap ayahandanya.
Ki Ageng Wirosobo kini telah mengerti bahwa kedua putrinya
lagi ketaman asmoro. Dan sudah tidak bisa dihalanginya lagi asmara
keduanya.
“Romo, datanglah ke kadipaten Lamongan untuk melamar Panji Laras dan
Panji Liris untuk kami. Kami sangat mencintainya, Romo.”
Ki Ageng Wirosobo menghela napas panjang, seakan semua sesak di
dadanya ingin ia keluarkan semuanya. Ia harus melamar putra adipati
Lamongan walaupun ia tahu seharusnya putrinyalah yang pantas dilamar.
Akhirnya demi cintanya kepada kedua putrinya, Ki Ageng Wirosobo
mengirim utusan ke Kadipaten Lamongan untuk menyampaikan maksud
lamaran kedua putrinya.
Pesan itu langsung diterima sendiri oleh adipati Panji Puspa Kusuma dan
karena tidak bisa langsung memutuskan, maka adipati Lamongan
tersebut memanggil kedua putranya untuk diajak berunding.
“Anakku, romo telah menerima surat dari Ki Ageng Wirosobo mengenai
lamaran untuk kedua putrinya. Apa kalian berdua bersedia menikah
dengan Dewi Andanwangi dan Andansari?”
“Tapi Romo, bukankah kedua putri Kediri itu belum menganut agama
islam? Apakah nantinya tidak menimbulkan masalah dikemudian hari?”
Panji Laras mengelak.
“Iya Romo. Kangmas Laras benar. Apa tidak sebaiknya kita menolak
lamaran tersebut? Kami juga masih ingin membujang.”
“Tapi kita harus menghormati maksud baik Ki Ageng Wirosobo yaitu
untuk menjalin tali persaudaraan dengan Lamongan. Tapi baiklah kalau
begitu kita ajukan syarat saja sebelum perkawinan itu terlaksana.”
“Syarat apa, Romo?”
“Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi harus membawa dua genuk yang
terbuat dari sela cendhani dan diisi air hingga penuh. Juga harus
membawa dua kipas yang terbuat dari sela cendhani juga. Dan mereka
harus membawanya sendiri. Syarat-syarat tersebut adalah symbol agar
mereka mau masuk islam, Anakku. Genuk yang berarti padasan dan kipas
adalah sajadah.”
Dan syarat-syarat itu pun disampaikan kepada Ki Ageng Wirosobo.
Awalnya adipati tersebut tidak setuju dengan syarat yang diajukan
Panji Laras dan Panji Liris karena syarat itu tak masuk akal tapi
ternyata kedua putrinya sanggup memenuhi syarat-syarat yang
diajukan. Tinimbang cincing-cincing luwih becik ngembloh pisan. Kedua
Puutri tersebut sudah terlanjur kasmaran, lebih baik dilanjutkan sampai
perkawinan.
Berita bahagia itu pun disampaikan kepada adipati Lamongan bahwa
iring-iringan dari Kediri akan datang ke Lamongan untuk meminang putra
adipati Lamongan, Panji Laras dan Panji Liris. Karena saat itu
musim rendheng, dan sungai di Lamongan sering banjir, maka Adipati
Panji Puspa Kusuma menyuruh iring-iringan dari Kediri lewat sungai
Lamong yang airnya dangkal, yaitu perbatasan Lamongan selatan.
Setelah semua syarat disepakati dan hari lamaran sudah ditentukan,
Dewi Andasari dan Andanwangi beserta iring-iringan para pengawal
berangkat ke kadipaten Lamongan dengan membawa genuk dan kipas
dari batu seperti apa yang disyaratkan oleh Panji Laras dan Panji Liris.
Dengan dibekali ilmu oleh ayahnya, Dewi Andansari dan Andanwangi
tidak merasa kesulitan dalam membawa genuk yang berisi air penuh
tersebut.
Setelah menempuh perjalanan jauh dari Kediri ke Lamongan, akhirnya
mereka tiba di sebelah selatan sungai Lamong. Mereka berhenti sejenak
karena sungai tersebut sangat lebar dan tidak ada jembatan untuk
digunakan menyebrang.
“Kita istirahat sejenak di sini. Kita tunggu jemputan dari Lamongan.”
Tegas pimpinan rombongan. Dialah yang diutus Ki Ageng Wirosobo untuk
memimpin iring-iringan lamaran kedua putrinya.
Tapi setelah lama menunggu, tidak ada utusan dari Lamongan yang
datang menjemput. Tak lama kemudian, jauh di seberang utara sungai
Lamong tampak kedua jejaka yang sedang menunggang kuda berjalan ke
arah sungai. Mereka yakin kedua pemuda itu adalah Panji Laras dan Panji
Liris yang ditugaskan menjemput calon istrinya, Dewi Andansari dan
Dewi Andanwangi. Setelah ditunggu-tunggu, ternyata Raden Panji Laras
dan Raden panji Liris tidak juga menyeberang untuk menjemput mereka.
Kedua jejaka itu masih tetap berada di atas kuda tunggangannya.
Karena tidak sabar untuk bertemu dengan calon suaminya, Dewi
Andansari dan Andanwangi pun nekat untuk menyebrang sungai.
“Putri, bagaimana kita dapat menyebrang sungai ini? Lihatlah, airnya
penuh. Nanti bisa-bisa kita semua tenggelam kalau nekat untuk
menyebrang.” Salah satu pengawal angkat bicara.
“Kalian semua jangan takut, bukankah sungai Lamong adalah sungai yang
dangkal? Kita akan tetap menyebrang melewati sungai dengan berjalan
pelan-pelan.” Ucap Dewi Andansari dengan tenang.
“Ayo, Dinda. Kita akan segera bertemu dengan calon suami kita.” Dewi
Andansari menoleh ke arah Dewi Andawangi.
Segera mereka memulai menyebrangi sungai Lamong. Semakin mereka
ke tengah, ternyata sungai tersebut semakin dalam.
“Yunda, sungainya semakin dalam. Bagaimana ini? Pakaian kita pasti
basah akan semua.” Teriak Dewi Andanwangi kepada saudaranya yang
tertinggal di belakangnya.
Dewi Andansari segera menyusul adiknya. Ternyata benar, semakin ke
tengah air yang semula dangkal itu bertambah dalam. Karena tidak mau
berpakaian basah saat bertemu calon suaminya, mereka pun cari akal.
Melihat para pengawalnya menyingkap kainnya ke atas, maka Dewi
Andansari dan Dewi Andanwangi pun terpaksa ikut menyingkap kainnya
karena dengan cara itulah pakaian mereka tidak basah dan tanpa
sengaja kedua betis kedua putri itu pun kelihatan.
Di tepi utara sungai Lamong, Panji Laras dan Panji Liris beserta Ki
Sabilan menyambut iring-iringan itu dengan rasa senang tapi tiba-tiba
paras mereka berubah ketika melihat kedua betis putri Kediri itu.
Terperanjatlah mereka,
“Kangmas,,lihatlah kedua betis mereka, apa aku tidak salah lihat?” Panji
Liris mengedip-ngedipkan matanya untuk mempertajan penglihatannya.
“Ayo pergi Dimas, kita batal kawin. Kangmas tidak mau mempunyai istri
seperti mereka. Mereka memang cantik tapi kedua betisnya penuh
dengan bulu lebat dan panjang.” Panji Laras cepat-cepat memutar arah
kudanya.
“Nggilani tenan, Kangmas. Dimas juga tidak mau menikah dengan
mereka.”
Semua prajurit dari Lamongan lari sambil teriak-teriak karena sangat
terkejut dengan kejadian yang mereka lihat. Mereka lari pulang ke
istana Lamongan sambil membatalkan rencana lamaran itu.
Awalnya iring-iringan dari Kediri tidak menyadari bahwa Panji Laras dan
Panji Liris beserta prajuritnya lari setelah melihat kedua betis putri
mereka. Mereka mengira Panji Laras dan Panji Liris masih malu untuk
menemui calon istrinya. Tapi saat Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi
mendengar teriakan bahwa lamaran dibatalkan, panas hati mereka.
Mereka merasa dilecehkan dan dihina dengan sangat buruk.
“Saya tidak terima diperlakukan seperti ini, Yunda. Mereka sangat
keterlaluan dan tidak menghormati niat baik kita. Mereka malah lari dan
membatalkan lamaran ini.” Kata Dewi Andanwangi geram.
“Ya, Dinda. Kita harus membuat perhitungan dengan mereka. Biar
mereka sadar atas ulah mereka menghina kaum wanita. Pengawal, kejar
mereka!!!” Dewi Andansari pun ikut lari mengejar Panji Laras dan Panji
Liris.
Setelah berkejar-kejaran, Prajurit Kediri pun berhadapan dengan
prajurit Lamongan. Ki Sabilan yang diutus adipati Panji Puspa Kusuma
untuk mendampingi Panji Laras dan Liris itu pun ikut maju untuk
melindungi kedua pangerannya.
“Serang….!!!!!”
Prajurit-prajurit Kediri sudah tidak bisa dihalangi lagi. Mereka langsung
menyerang prajurit Lamongan. Suasana panas dan bunyi pedang
bersentuhan semakin menjadi. Darah berceceran di mana-mana. Satu
persatu masing-masing prajurit dari dua kadipaten itu tumbang ke
tanah dengan luka yang parah. Ki Sabilan terus merangsek ke depan, dan
dengan cekatan satu persatu pedangnya menghunus para prajurit Kediri
tapi hal yang tidak disangka terjadi, Ki Sabilan jatuh tersungkur
setelah sebuah bilah pedang milik prajurit Kediri menancap di tubuhnya.
Panji Laras dan Panji Liris berjuang untuk mengalahkan mereka. Dengan
gesit mereka meloncat ke sana kemari agar terhindar dari serangan
pedang. Dan tak lama pasukan Kediri pun dapat terpukul mundur. Dan
melihat kejadian itu, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi bunuh diri.
Tapi ternyata, Ki Ageng Wirosobo mengerahkan kembali pasukannya
setelah mengetahui penghinaan yang menimpa kedua putrinya. Pasukan
Kediri menggempur kadipaten Lamongan saat itu juga.
Di tengah sengitnya pertempuran, Panji Laras dan Panji Liris terjebak
dengan kondisi yang sulit. Panji Laras mencoba membantu saudaranya
yang tengah adu pedang dengan pasukan Kediri.
“Dimas, lawan yang kiri. Yang kanan bagianku…” belum selesai Panji Laras
berkata, ujung pedang telah bersarang di punggungnya.
“Ahh.......!!”
“Kangmas….!!” Panji Liris segera menahan tubuh saudaranya agar tidak
jatuh ke tanah. Tapi nasib yang sama pun terjadi, Panji Liris tidak dapat
mengelak saat di tubuhnya tertancap sebuah pedang. Panji Laras dan
Panji Liris pun gugur di medan peperangan.
Pertempuran antara pasukan Lamongan dan Kediri sungguh menoreh luka
di hati adipati Panji Puspa Kusuma. Kedua putra kebanggaannya gugur
dengan cara yang mengenaskan. Tali persaudaraan antara Lamongan dan
Kediri pun terputus. Dan secara tiba-tiba adipati Panji Puspa Kusuma
meneriakan sebuah kalimat seperti kutukan.
“Putra-putraku Lamongan…..jangan ada yang menikah dengan putri Kediri
jika tidak ingin celaka!!!”
***
Kedua genuk dan kipas yang dibawa oleh Dewi Andansari dan Dewi
Andanwangi sampai sekarang berada di halaman masjid Agung Lamongan,
sebelah barat Alon-alon. Sebuah keyakinan kalau Putra Lamongan tidak
boleh menikah dengan putri Kediri pun saat ini masih dipercaya bahkan
sebuah tradisi pihak perempuan lebih dulu melamar pihak laki-laki pun
banyak terjadi di Lamongan. Nama Dewi Andansari Andanwangi dan
nama Panji Laras Liris pun menjadi nama sebuah jalan di Lamongan.
Sedangkan makam Ki Sabilan, pejuang yang membela Panji Laras Liris
masih sering diziarahi saat hari jadi kota Lamongan.

Lamongan, 19
Agustus 2015

Daftar istilah:
1. Dadio anak seng bekti marang wong tuo lan negoro = Jadilah anak
yang berbakti pada orang tua dan negara
2. Sumringah = Bahagia
3. Wedang = Minuman hangat
4. Ketaman Asmoro = Jatuh cinta
5. Genuk = tempat air bersih
6. Nggilani tenan = Sangat menjijikan
7. Sela cendhani = Batu yang mengkilat seperti marmer

Sumber: https://fitri-areta2.blogspot.com/2016/03/panji-laras-liris-d
an-putri-kediri.html

Anda mungkin juga menyukai