Anda di halaman 1dari 3

Home»Sumatera Utara»Legenda Putri Ular Dari Simalungun

Legenda Putri Ular Dari Simalungun


Friday, December 11th, 2015 - Sumatera Utara

Alkisah, di suatu negeri di kawasan Simalungun, Sumatera Utara, berdiri sebuah kerajaan
yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Sang Raja memiliki seorang putri
yang kecantikannya sungguh luar biasa.

Berita tentang kecantikan putri raja itu tersebar ke berbagai pelosok negeri. Berita tersebut
juga didengar oleh seorang raja muda yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya
tidak jauh dari kerajaan ayah sang Putri.
Mendengar kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat melamar sang putri. Sang raja
kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk memusyawarahkan keinginannya
tersebut.
“Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?”
tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja
kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.
“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang
raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah
seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,”
perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri
tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik
oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud
kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan
Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan
bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan
tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan
dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri
mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja
mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara
pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri
menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja
kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka
yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!”
sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan
pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.

Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi dengan
ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di
pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti
pakaian, sang putri segera masuk ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan
sekujur tubuhnya.

Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil
menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri membayangkan betapa bahagianya saat
pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami, seorang Raja Muda
yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-
tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering
mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.

“Aduuuh, hidungku!” jerit sang putri sambil memegang hidungnya.


Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa
sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan
kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu
tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini
wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun
bercucuran keluar dari kelopak matanya.
“Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang
tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa
dan malu di hadapan rakyatnya,” pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun
semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia
tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-
apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.

Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas,
lalu berdoa:
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!”
doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.

Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai
tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh sang putri
mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba
mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun
tersentak kaget saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera
memerintahkan seorang dayang-dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam
istana.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang.

Setelah mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam
permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah tidak melihat tubuh sang putri. Yang
tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa dipakai sang putri
untuk duduk.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang
sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.

“Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri cemas.


Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa
berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan
mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang
tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang
menimpa sang putri.

Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas
permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa karena telah membuat malu dan
kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu jaga diri
agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang
tampan itu.

Anda mungkin juga menyukai