Anda di halaman 1dari 11

Dahulu ada sebuah kerajaan bernama Nagara Daha.

Kerajaan itu didirikan Putri


Kalungsu bersama putranya, Raden Sari kaburangan alias Sekar Sungsang yang
bergelar Panji Agung Maha-raja Sari Kaburangan.

Sekar Sungsang seorang penganut agama hindu Syiwa. Ia mendirikan candi dan
lingga terbesar di kalimantan Selatan. Candi yang didirikan itu bernama Candi
Laras. Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama.

Pada masa pemerintahannya, pergolakan berlangsung terus-menerus. Walaupun


Maharaja Sukarama mengamanatkan agar cucunya, Pangeran Samudera, kelak
menggantikan tahta, namun Pangeran Mangkubumi lah yang naik tahta.
Related

 [Cerpen] Lebah & Kupu-kupu (Dongeng Anak)


 [Cerpen] Roro Jonggrang (Cerita Rakyat dari Yogyakarta, Jawa Tengah)
 [Cerpen] Penjaga Gunung (Legenda dari Sulawesi Utara)

Kerajaan tidak berhenti mengalam kekecauan karena perebutan kekuasaan.


Konon, siapapun yang menduduki tahta akan merasa tidak aman dari gangguan.
Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam usaha perebutan kekuasaan.
Sejak itu, pangeran Tumenggung menjadi penguasa kerajaan.

Pewaris keraajaan sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap tinggal
dalam lingkungan kerajaan. Atas bantuan Patih kerajaan negara Daha, Pangerang
Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah sepi di sekitar muara
sungai Barito.

Dari muara Bahan, bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke
muara Sungai Burito, terdapat kampung-kampung berbanjar-banjar atau berderet-
deret melintasi tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah Balandean, Sarapat,
Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.

Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus letaknya. Kampung


Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di sungai Kuin.

Karena letaknya bagus, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar,


kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri.
Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih.
Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.

Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara
Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian ia mengajak Patih Balit, Patih
Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka sepakat mencari
Pangeran Samudera di tempat persembunyiannnya untuk dinobatkan menjadi
raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.

Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai
pusat kerajaan sekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan
Pangeran Tumenggung. Apalagi, para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja
yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada Pangeran
Tumenggung di Nagara Daha.

Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan
armada diturunkannya ke sungai Barito sehingga terjadi pertempuran besar.
Peperangan berlanjut terus berlanjut tanpa ada kepastian pihak yang menang.
Patih menyarankan kepada Pangeran Samudera agar minta bantuan ke Demak.
Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan
yang ada di Jawa dan menjadi keraajaan terkuat setelah Majapahit.

Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Kerajaan Demak setuju
memberikan bantuan, asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang
mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam. Pangeran Samudera bersedia
menerima syarat.

Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat kerajaan Nagara
Daha. Armada besar itu terdiri dari tentara Demak dan sekutunya dari seluruh
Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para Patih pendukungnya.
Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangera Tumenggung
berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban
berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji pangeran Samudera, Tatunggul
Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar-kibar di tempat-tempat
takhlukannya.

Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban
rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada Pangeran
Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan, yakni
melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Cara itu
diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belak pihak.
Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya
Terenggana ini diterima kedua belah pihak.

Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang


disebut Talangkasan.. perahu-perahu itu kemudikan oleh panglima kedua belah
pihak. Kedua pangeran itu mengenakan pakaian perang serta membawa pedang,
sumpitan, keris, dan perisai (telabang).

Mereka saling berhadapan di sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung dengan


nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya, Pangeran
Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya. Pangeran Samudera
mempersilahkan pamannya untuk membunuhnya. Dia rela mai di tangan orang
tua yang dasarnya tetap diakui sebagai pamannya.

Akhrinya, lulu juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya muncul, ia mampu


menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi sebagai
keponakannya yang di dalam tubuh mengalir darahnya sendiri. Pangeran
Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian, pangeran Samudera dipeluk.
Mereka menangis bersama.

Dengan hati yang tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada


Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera.
Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar
Masih sebagai pusat pemerintahan sebab bandar itu lebih dekat dengan muara
sungai Barito yang berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya itu,
rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. Pangeran
Tumenggung diberi kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk
sebagai rakyatnya. Nagara Daha menjadi daerah kosong.
Cerita Rakyat Kalimantan Selatan
Terbaik : Asal Mula Burung Punai
Konon, di daerah Kalimantan Selatan, tersebutlah seorang pemuda pengembara yang
bernama Andin. Ia adalah anak sebatang kara, tidak punya Abah dan Uma. Ia juga
tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Ia mengembara dari satu desa ke desa lain,
menjelajahi hutan belantara dan melewati berbagai negeri seorang diri.

Suatu hari, tibalah Andin di Desa Pakan Dalam yang berawa-rawa dan bersungai. Di
permukaan rawa-rawa itu terlihat pemandangan yang sangat indah. Beraneka ragam
bunga yang tumbuh mekar dan harum, sehingga burung yang senang mengunjungi
daerah itu. Karena banyak burung yang cantik dan merdu di desa itu, banyak
penduduk yang bekerja mamulut burung. Melihat kehidupan masyarakat di daerah itu
makmur, maka Andin pun memutuskan menetap di sana. “Ah, lebih baik aku menetap
di sini saja. Aku tidak akan kesulitan menghidupi diriku,” gumam Andin. Meskipun
tidak memiliki lahan untuk bertani atau beternak hewan, ia masih memiliki sebuah
harapan yaitu mamulut burung. Dari situlah ia bisa menghidupi dirinya.

cerita rakyat kalimantan selatan terpopuler

Hari dan bulan telah berganti. Tak terasa, sudah satu tahun Andin menetap di Pakan
Dalam. Penduduk setempat sangat menyukai Andin, karena perangainya baik dan
santun. Setiap hari Andin pergi mamulut burung. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat,
dan kembali setelah hari mulai senja. Karena setiap hari pergi mamulut burung,
penduduk desa memanggil Andin dengan sebutan Andin Pulut. Karena keahlian
Andin mamulut burung tidak ada yang menandingi di desa itu, maka sebagian besar
penduduk memanggilnya Datu Pulut. Artinya, orang yang sangat pandai dan
berpengalaman mamulut burung.
Advertisements

Seperti biasa, pagi itu Datu Pulut bersiap-siap berangkat mamulut. Tak berapa lama
kemudian, ia sudah terlihat di atas jukungnya menuju hilir. Ia terus mengayuh
jukungnya menyusuri sungai. Setelah menemukan tempat yang cocok, ia pun turun
dari jukungnya. Lalu, ia memasang pulut di sejumlah pohon di pinggir sungai. Setelah
itu, ia kembali ke jukungnya menunggu pulutnya terkena burung sambil tiduran .
Tengah asyik tiduran, tiba-tiba hujan turun. Ia pun cepat-cepat naik ke daratan. Tak
jauh dari tempatnya memasang pulut, ditemukannya beberapa pohon yang besar lagi
rindang. Di bawah pepohonan itu terdapat sebuah telaga yang cukup luas dan berair
jernih. Ia sangat senang menemukan tempat berteduh yang nyaman. “Aha…, aku
dapat berteduh di sini sambil menunggu hujan reda,” gumam Datu Pulut. Beberapa
saat kemudian, hujan pun mulai reda. Datu Pulut kemudian manukui jebakan
pulutnya. Namun, saat akan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba ia mendengar suara
perempuan yang sedang bergembira. Tanpa pikir panjang, ia cepat-cepat bersem-
bunyi di balik pohon seraya mengintip.

Kini suara itu semakin jelas dan semakin dekat. Tiba-tiba ia tersentak ketika melihat
tujuh bidadari melayang-layang turun dari langit menuju telaga. Ketujuh bidadari
tersebut mengenakan selendang berwarna pelangi. Dari ketujuh bidadari tersebut,
bidadari yang berselendang warna jinggalah yang paling cantik. Datu Pulut sangat
terpesona melihatnya. “Aduhai, cantik sekali bidadari yang berselendang jingga itu,”
gumam Datu Pulut takjub. Para bidadari itu turun dan meletakkan selendangnya di
atas bebatuan. Mereka mandi sambil bercengkerama dan bersuka ria. Pada saat
itulah, Datu Pulut memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia mengambil
selendang yang berwarna jingga itu, lalu dimasukkannya ke dalam butahnya.
Kemudian, ia cepat-cepat kembali bersembunyi di balik pohon.

Tak terasa, hari mulai senja. Saatnya bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Satu
per satu mereka mengenakan kembali selendangnya. Tetapi bidadari yang tercantik
itu tidak menemukan selendangnya. Saudara-saudaranya turut membantu mencari ke
sana  ke mari. Namun tak kunjung mereka temukan. Hari pun semakin senja. Keenam
bidadari tersebut terpaksa meninggalkan bidadari cantik yang malang itu seorang diri.
Bidadari yang cantik itu sangat sedih ditinggal oleh saudara-saudaranya. “Abah, Uma,
tolong ananda. Ananda takut sendirian di bumi ini. Kenapa nasib ananda begini
malangnya?”  Bidadari itu terus menangis meratapi nasibnya.

Datu Pulut merasa iba melihat bidadari itu. Ia pun segera keluar dari tempatnya
bersembunyi, lalu menghampirinya. “Apa yang telah terjadi, Adingku? Mengapa
berada di tepi telaga seorang diri?” sapa Datu Pulut pura-pura tidak tahu kejadian
yang menimpa sang Bidadari. “Selendang saya hilang, tuan! Tahukah tuan dimana
selendang saya?” bertanya pula bidadari itu. Datu Pulut tidak menjawab pertanyaan
itu, ia tidak ingin sang Bidadari  kembali ke Kahyangan. Lalu diajaknya sang Bidadari
pulang bersamanya. Setelah sampai di gubuk reyotnya, Datu Pulut bercerita kepada
sang Bidadari bahwa ia belum berkeluarga dan berniat untuk memperistrinya. “Wahai,
Adingku! Bersediakah kamu menjadi istriku?” tanya Datu Pulut kepada bidadari.
Mendengar pertanyaan itu, sang Bidadari pun bersedia menikah dengan Datu Pulut,
karena ia tidak mungkin kembali ke Kahyangan tanpa selendangnya. Setelah itu,
mereka hidup bahagia dan saling menyayangi.

Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik jelita.
Maka semakin lengkaplah kebahagiaan keluarga itu. Datu Pulut semakin rajin dan
bersemangat bekerja. Ia sering pergi mamulut hingga petang. Sementara, bidadari
menyiapkan berbagai masakan yang lezat untuk suaminya.

Pada suatu hari, sang Bidadari hendak menanak nasi. Namun, persediaan beras di
padaringan habis. “Tidak biasanya Kaka lupa mengisi beras di padaringan. Ini kok
habis?” kata sang Bidadari dalam hati. Kemudian, ia masuk ke dalam kindai untuk
mengambil padi. Sejak menikah dengan Datu Pulut, ia tidak pernah mengambil padi
di tempat itu. Baru mengambil padi beberapa takaran, sang Bidadari terpana melihat
sebuah butah tergeletak di sela-sela timbunan biji padi. Ia penasaran ingin
mengetahui isi butah itu. Maka dibukanya tutup butah itu. Tanpa diduga-duga,
dilihatnya selendang kahyangannya. Kini, sang Bidadari tersadar, ternyata
suaminyalah yang telah mengambil seledangnya beberapa tahun yang lalu. Ia pun
Kahimungan, dan segera menyimpan selendang itu baik-baik.
Advertisements
Menjelang senja, Datu Pulut pun datang membawa hasil pulutannya. Sang Bidadari
menyambutnya seperti biasanya, sehingga Datu Pulut tidak curiga sedikit pun, jika
istrinya telah menemukan selendang kahyangannya. Malam semakin larut, Datu Pulut
sudah tertidur pulas di samping anaknya, karena letih mamulut sepanjang hari. Sang
Bidadari masih belum juga dapat memejamkan matanya. Pikirannya melayang-
layang, teringat orang tua dan saudara-saudaranya di negeri Kahyangan.
Perasaannya bercampur baur, sedih dan bimbang. Ia ingin kembali ke negeri asalnya,
tetapi tidak tega meninggalkan suami dan anaknya. “Oh… Abah, Umah! Aku sangat
merindukan kalian. Tapi bagaimana dengan nasib anak dan suamiku jika aku
meninggalkan mereka?” keluh sang Bidadari kebingungan. Namun, sang Bidadari
harus mengambil keputusan antara kembali ke kahyangan atau tinggal di bumi.
Akhirnya, setelah dipikir-pikir ia pun memutuskan meninggalkan bumi. “Aku harus
kembali ke Kahyangan,” tegas sang Bidadari dalam hati.

Keesokan harinya, Datu Pulut pulang dari mamalut. Ia tersentak kaget ketika melihat
istrinya sudah berpakaian lengkap dengan selendang warna jingganya sambil
mendekap anak mereka. Belum sempat Datu Pulut berkata-kata, sang Bidadari
langsung berpesan kepadanya, “Maafkan Ading, Kaka! Ading harus kembali ke
Kahyangan. Peliharalah putri kita baik-baik. Jika ia menangis, buatkanlah ayunan di
pohon berunai. Saat itu Ading akan datang menyusuinya, dengan syarat Kaka tidak
boleh mendekat.” Mendengar pesan istrinya, Datu Pulut pun berjanji untuk selalu
mengingat pesan itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba sang Bidadari terbang melayang ke
angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya.

Sejak saat itu, jika putrinya menangis, Datu Pulut segera membuatkan ayunan di
pohon berunai yang tak jauh gubuknya. Tak lama setelah itu, datanglah istrinya untuk
menyusui anaknya dengan dikawal oleh saudara-saudaranya. Datu Pulut hanya bisa
melihat dari arah jauh dengan penuh kesabaran. Meskipun sebenarnya ia sangat
merindukan istrinya, perasaan itu terpaksa ia pendam dalam hati. Tanpa terasa,
beberapa bulan telah berlalu. Setiap manusia memiliki batas kesabaran. Datu Pulut
tidak bisa lagi menahan rasa rindunya kepada istrinya.

Pada suatu hari, saat istrinya sedang menyusui anaknya, secara diam-diam Datu
Pulut mendekat. Rupanya ia lupa pada pesan istrinya. Pada saat ia akan menyentuh
istrinya, tiba-tiba terjadi keajaiban yang sangat luar biasa. Sang Bidadari dan saudara-
saudaranya berubah menjadi tujuh ekor burung punai. Ketujuh burung itu pun terbang
ke alam bebas dan meninggalkan Datu Pulut beserta putrinya. Datu Pulut hanya
mampu menyesali dirinya. Namun apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur.
Setiap kali putrinya menangis, ia membawanya ke bawah pohon berunai. Namun,
istrinya yang telah menjadi burung punai tak pernah datang lagi.

--------

Menurut kisah diatas burung punai yang ada di daerah Kalimantan Selatan
merupakan penjelmaan dari tujuh bidadari cantik yang jelita. Konon, sampai saat ini
sebagian penduduk di Desa Pakan Dalam, Kecamatan Daha Utara, tidak mau
memakan burung punai, sebab mereka menganggap burung punai itu penjelmaan
bidadari.
Cerita Mandin Tangkaramin, Cerita Rakyat Kalimantan Selatan ~
Loksado adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan
Provinsi Kaliamantan Selatan. Di sana ada sebuah desa bernama Malinau. Kira-kira satu
kilometer dari tempat itu ada sebuah air terjun bernama Mandin Tangkaramin. Konon,
menurut bahasa penduduk disana, mandin berarti air terjun. Jadi, Mandin Tangkaramin
berarti air terjun Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan
Tangkaramin sehingga kedua kata itu tak terpisahkan.

Air terjun itu tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan lebat mengelilinginya
sehingga jika berada di hutan itu terasa  selalu dalam dekapan gelap malam. Di dasar air
terjun Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan batu besar dan kecil. Di
antaranya ada bongkahan besar berwarna merah, semerah kulit manggis yang ranum,
bernama Manggu Masak.

Konon, air terjun itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni perkelahian satu lawan satu
antara Bujang Alai dengan Bujang Kuratauan. Kedua pemuda itu memiliki kelebihan dan
kekurangan. Akibatnya, mereka hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam
terpendam. Bujang Alai adalah seorang pemuda tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu
menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi kemana saja. Jimat pun selilit pinggang.
Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu
mempertontonkan keberaniannya dimana saja, dengan harapan orang-orang tertarik
kepadanya.

Berbeda sekali keadaannya dengan Bujang Kuratauan. Ia berpenampilan sederhana dan


tidak setampan Bujang Alai. Ia seorang pemuda yang rendah hati dan penyabar. Selain itu,
cara berpikir dan gagasannya menunjukkan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan
orang kaya. Akan tetapi, ia punya sisi lain yang dapat diandalkan. Ia tidak berusaha
menonjolkannya, tetapi muncul sendiri karena diharapkan masyarakat. Musyawarah di
desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat tidak akan
diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala.

Jika Bujang Alai menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah
keangkuhannya, Bujang Kuratauan pun selalu membawa senjata setiap bepergian. Parang
bungkul, senjata tradisional orang Banjar, selalu tersangkut di pinggangnya. Akan tetapi,
senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jika bukan untuk menegakkan kehormatan,
kebenaran, dan keadilan.

Pada suatu ketika, desa mereka gempar. Ada peristiwa yang dianggap melanggar adat dan
mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang dimuka anggota masyarakat.
Seorang gadis hilang entah ke mana tanpa diketahui sebabnya. Bukan hanya orang tua
gadis itu yang panik dan amat terpukul, Bujang Kuratauan pun terusik perasaannya.
Walaupun gadis itu bukan keluarganya atau perempuan yang akan dijodohkan kepadanya,
peristiwa itu dirasakan sebagai tantangan terhadap dirinya. Ia diminta menunjukkan
kemampuannya untuk menemukan gadis itu. Oleh karena itu, Bujang Kuratauan bertekad
untuk menyelidiki perkara ini sampai tuntas. Jauh dihati kecilnya muncul kecurigaan
bahwa Bujang Alai menculik gadis itu.

"Sekali ini pasti ia akan kena batunya," ujar Bujang Kuratauan dalam hati. Belum lagi
usaha pengusutan mencapai titik terang, Bujang Alai tiba-tiba menepuk dada. Ia berkata
dengan lantang. "Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput
gadis itu, tetapi  dengan syarat orang itu mampu menahan ujung kerisku lebih dulu!"
Jelaslah bahwa Bujang Alai menantang Bujang Kuratauan. Dahi Bujang Kuratauan berkerut, daun
telinga memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata tajam melukiskan amarah. Tangan kananya
meraba hulu parang bungkulnya. Ia berkata dengan suara datar. 
"Aku tak akan menjemput gadis itu ke rumahmu tetapi aku menuntut tanggung jawabmu sebagai
lelaki!"
"Lelaki maksudmu? Keris ini membuktikan kelelakianku ! Tentukan tempat dan waktunya!" ujar
Bujang Alai sambil meraba keris di pinggang.
"Musuh tidak ku cari, tetapi jika bersuara  pantang  kuelakkan," sahut Bujang Kuratauan. Ia
berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan  suara tertelan. "Jika kerismu mau
menjual darah, parang bungkul tumpul ini mampu membelinya!"
Sudah dapat diduga apa yang akan terjadi antara Bujang Kuratauan dan Bujang Alai. Perang
tanding itula yang akan terjadi. Keris Nagarunting milik Bujang Alai ditarik dari sarungnya,
diacungkannya ke atas, dan diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong. Bujang Kuratauan tidak
ingin kalah aksi melihat atraksi yang dipamerkan Bujang Alai. Parang bungkulnya yang tajam
berkilat berkelebat membelah udara, dipermainkannya dengan kecepatan tingi.

Setelah mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga Bujang Alai dengan tangkas
melompat sambil berusaha menyerangkan keris Nagarunting ke dada Bujang Kuratauan. Akan
tetapi, Bujang Kuratauan sudah siap sehingga serangan mendadak itu tidak mengejutkannya.
Dengan gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus jantung dapat dielakkannya. Bahkan
jika mau, pasti ia sempat menebaskan parang bungkulnya ke leher Bujang Alai. Akan tetapi,
Bujang Kuratauan bukan orang haus darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap
itu ternyata membuat hati Bujang Alai semakin membara. Ia merasa dilecehkan. "Gunakan
senjatamu jika engkau merasa sebagai lelaki!" tantang Bujang Alai.

Bujang Kuratauan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya telah siap memegang
hulu parang bungkul. Matanya nanap penuh selidik menyiasati gelagat yang akan dilakukan
Bujang Alai.

Nalurinya tidak salah. Bujang Alai menyerbu dengan membabi buta. Ia menyarangkan kerisnya
bertubi-tubi ketubuh Bujang Kuratauan, sehingga Bujang Kuratauan susah mengelakkannya.
Gemerincing keris  beradu dengan parang bungkul menimbulkan kilatan api di angkasa. Mereka
memiliki kehebatan dan kemampuan tempur yang tinggi. Akhirnya, Bujang Kuratuan tidak hanya
menangkis dan mengelak, tetapi ia juga menyerang dan menebaskan parang bungkulnya.
Tebasannya berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan tubuh Bujang Alai, tetapi tidak segores
pun melukai kulitnya. Demikian halnya Bujang Kuratauan, berkali-kali ujung keris Bujang Alai tidak
dapat dielakkannya, tetapi sama sekali tidak mencederainya.
"Kita lanjutkan di tempat lain!" ujar Bujang Alai.
"Dimana pun aku setuju!" sahut Bujang Kuratauan.
"Mandin Tangkaramin pilihanku! ujar Bujang Alai.
"Di sana pun aku setuju!" sahut Bujang Kuratauan
Perang tanding ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin sebagai arena
perkelahian berikutnya. Waktu luang menjelang saat pertarungan berikut itu mereka gunakan
untuk mempersiapkan diri agar dapat mengalahkan lawan.

Setelah merenung dan menilai kehebatan Bujang Alai, Bujang Kuratauan berkata dalam hati, "Ia
kebal, Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya tak akan melukai kulitnya."

Jika Bujang Alai berusaha mempertajam keris Nagarunting, Bujang Kuratauan justru membuat
tumpul parang bungkulnya. Mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul
seperti bagian belakangnya.

Dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka sebab keduanya
kebal. Akan tetapi, parang bungkul Bujang Kuratauan yang tumpul matanya itu membuat tubuh
Bujang Alai memar atau remuk didalam. Akhirnya, Bujang Alai pun meninggal.

Anda mungkin juga menyukai