AKUNTANSI INTERNASIONAL
CONTOH KASUS KONSERVATISME VS OPTIMISME, PENGARUH FAKTOR
INFLASI DAN FAKTOR TINGKAT PERKEMBANGAN EKONOMI TERHADAP
PERKEMBANGAN AKUNTANSI
OLEH:
KELOMPOK 3
Berbeda dengan metoda langsung, tidak ada perkiraan taksiran kerugian piutang.
Apabila benar-benar sudah tidak tertagih baru dijurnal sejumlah yang tak tertagih tersebut.
Dengan juran sebagai berikut:
Beban kerugian piutang xxx
Piutang xxx
Metode langsung sesuai dengan prinsip otimisme karena laba perusahaan lebih tinggi
dari jumlah laba yang menggunakan metode cadangan.
Hal ini terjadi karena penurunan penawaran total (agregat supply). Ada berbagai
faktor yang menyebabkan menurunnya penawaran, seperti kenaikan upah dan harga bahan
baku. Peristiwa ini juga dinamakan inflasi dorongan biaya (cost-push inflation), yaitu inflasi
yang terjadi karena naiknya biaya produksi. Dengan meningkatnya biaya produksi, tentu akan
berimbas pada kenaikan harga-harga barang dan jasa.
3. Inflasi dari Sisi Permintaan dan Penawaran (Demand Supply Inflation)
Inflasi ini disebabkan kenaikan permintaan total yang disertai dengan turunnya
penawaran sehingga harga menjadi lebih tinggi. Misalnya, menjelang hari raya, permintaan
masyarakat terhadap barang-barang meningkat. Di sisi lain, hari raya membuat sebagian
penjual berhenti berdagang karena bersiap-siap untuk libur. Akibatnya, penawaran pun
menurun. Nah, meningkatnya permintaan masyarakat sekaligus menurunnya penawaran akan
membuat terjadinya inflasi.
Studi Kasus:
Berbicara terkait inflasi di Indonesia sendiri sangat erat kaitannya dengan krisis
moneter Indonesia pada tahun 1997/1998. Detik-detik beberapa bulan sebelum terjadinya
krisis moneter, tepatnya Juni 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar masih sangat adem,
hanya Rp 2.380 per dolar. Mendadak pada Januari 1998, dolar menguat menyentuh level Rp
11.000. Kemudian pada Juli 1998, rupiah terus merosot, US$1 setara dengan Rp 14.150. Pada
31 Desember 1998, rupiah menguat perlahan, tapi hanya mampu meningkat hingga Rp 8.000
untuk US$1.
Pada Juni 1997, banyak yang berpendapat bahwa Indonesia masih jauh dari krisis.
Karena beberapa pandangan ketika itu menyatakan bahwa Indonesia berbeda dengan
Thailand. Indonesia memiliki inflasi yang rendah, surplus neraca perdagangan lebih dari
US$900 juta, cadangan devisa cukup besar, lebih dari US$20 miliar, dan sektor perbankan
masih baik-baik saja. Walaupun sebenarnya di tahun-tahun sebelumnya, cukup banyak
perusahaan Indonesia yang meminjam dalam bentuk dolar. Karena sebelum 1997 memang
tercatat bahwa rupiah menguat atas dolar Amerika. Jadi, pinjaman dalam bentuk dolar
dianggap jauh lebih murah.
Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara tajam
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika), akibat adanya domino
effect dari terdepresiasinya mata uang Thailand (bath), salah satunya telah mengakibatkan
terjadinya lonjakan harga barang-barang yang diimpor Indonesia dari luar negeri. Lonjakan
harga barang-barang impor ini, menyebabkan harga hampir semua barang yang dijual di
dalam negeri meningkat baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada
barang yang memiliki kandungan barang impor yang tinggi.
Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam jangka waktu yang pendek, bahkan
cenderung berlarut larut, menyebabkan nilai rupiah terjun bebas dari level 4.850/dolar AS
pada 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dolar AS pada 22 Januari 1998,
atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus
1997, sehingga membuat pasar uang dan pasar modal rontok, bank-bank nasional mendadak
terlilit kesulitan besar, banyak perusahaan mendadak bangkrut dan melakukan PHK, serta
menyebabkan kenaikan tingkat harga terjadi secara umum dan semakin berlarut-larut.
Akibatnya, angka inflasi nasional melonjak cukup tajam.
Lonjakan yang cukup tajam terhadap angka inflasi nasional yang tanpa diimbangi oleh
peningkatan pendapatan nominal masyarakat, telah menyebabkan pendapatan riil rakyat
semakin merosot. Juga, pendapatan per kapita penduduk merosot relatif sangat cepat, yang
mengakibatkan Indonesia kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal ini telah
menyebabkan semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada masyarakat strata
ekonomi bawah.
Cara Mengatasi Inflasi oleh Pemerintah Indonesia
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan
moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih
senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya
dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa
pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan
sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada
negara berkembang. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam
mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem
inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang.
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya
menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor
(imported inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk
mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar
rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak
memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy yang
diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan
modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum.
Pada pemerintahan Indonesia saat ini, selain menggunakan pendekatan moneter
pemerintah juga telah memberlakukan kebijakan fiskal dan juga kebijakan nonmoneter dan
nonfiskal dalam upaya mengendalikan inflasi di Indonesia. Kebijakan fiskal berkaitan dengan
penerimaan dan pengeluaran anggaran pemerintah. Kebijakan fiskal yang dilakukan
pemerintah untuk mencegah inflasi adalah dengan mengurangi pengeluaran pemerintah,
meningkatkan tarif pajak, serta melakukan pinjaman. Sedangkan Kebijakan Nonmoneter dan
Nonfiskal yang dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan hasil produksi,
mempermudah masuknya barang impor, menstabilkan pendapatan masyarakat (tingkat upah),
menetapkan harga maksimum, serta melakukan pengawasan dan distribusi barang.
Perkembangan ekonomi
Perkembangan ekonomi adalah Proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara
secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu.
Perkembangan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi
suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Pada
dasarnya pengertian dari perkembangan ekonomi adalah indikasi dari adanya pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sendiri merupakan perubahan kondisi dari perekonomian
suatu negara yang secara berkesinambungan menuju ke keadaan yang lebih baik selama satu
periode. Nah, perkembangan ekonomi ini mengikuti dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
Perkembangan ekonomi lebih kearah bagaimana pertumbuhan ekonomi suatu perusahaan
atau lainnya mengalami perubahan berupa perkembangan dari beberapa sektor atau faktor
pendukungnya. Adanya perkembangan ekonomi ini tidak jauh dari pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan suatu pendapatan total dan
pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk yang disertai
dengan adanya perubahan fundamental di dalam struktur ekonomi suatu negara dan
pemerataan pendapatan bagi penduduk di suatu negara tersebut. Untuk melihat bagaimana
perkembangan ekonomi kita bisa melihat faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
perkembangan ekonomi.