Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL PENELITIAN

RITUAL PATORANGI DI GALESONG SELATAN KABUPATEN


TAKALAR

KHAIRUNNISA
200505501019

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022

i
DAFTAR ISI

RITUAL PATORANGI DI GALESONG SELATAN


KABUPATEN TAKALAR .................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................ ii
I. PENDAHULUAN................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 6
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ....... 8
A. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8
B. Kerangka Pikir .................................................................... 22
III. METODE PENELITIAN ................................................. 24
A. Jenis Penelitian .................................................................... 24
B. Desain Penelitian ................................................................. 24
C. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................. 25
D. Fokus Penelitian .................................................................. 25
E. Definisi Masalah ................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 31

ii
MITOS DALAM RITUAL PATORANGI DI GALESONG SELATAN
KABUPATEN TAKALAR

(TINJAUAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau yang dihuni
oleh berbagai suku bangsa. Masing-masing suku bangsa memiliki
adat istiadat, tradisi, bahasa, dan budaya yang beragam. Setiap
daerah yang ada di Indonesia memiliki ciri khas budaya yang
beragam. Keanekaragaman budaya daerah merupakan aset bangsa
Indonesia yang tidak ternilai harganya karena kebudayaan daerah
merupakan penyangga kebudayaan nasional. Bermacam-macam
budaya yang ada di daerah wajib dilestarikan agar tidak musnah atau
diambil oleh daerah lain.
Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memiliki
keanekaragaman budaya dengan ciri khas yang berbeda-beda pula.
Dengan keanekaragaman inilah Sulawesi Selatan menjadi unik
digemari banyak budayawan luar untuk datang mempelajarinya.
Seiring perkembangan zaman, budaya yang dimiliki oleh
kelompok masyarakat di Sulawesi Selatan mulai terkikis. Teknologi
modern telah mempengaruhi masyarakat, namun kebiasaan yang
merupakan tradisi turun-temurun masih tetap bertahan meski dalam
proses pelaksanaanya mengalami perubahan. Seperti halnya di
beberapa daerah di Sulawesi Selatan, kerap dijumpai kelompok
masyarakat tertentu masih menjunjung tinggi kearifan budaya di
tengah-tengah pesatnya arus teknologi dan ilmu pengetahuan.
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung kepercayaan,
kesenian, moral, mitos, adat istiadat dan lain sebagainya.

1
Di samping itu, kebudayaan tidak pernah terlepas dari
tradisi atau ritual yang pernah dilakukan oleh orang
terdahulu. Di Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat
Kabupaten Takalar Kelurahan Galesong Selatan, terdapat
sebuah ritual yang dilakukan secara turun temurun oleh
masyarakat setempat, mereka menyebutnya Patorani.
Patorani merupakan salah satu ritual yang dilakukan oleh
masyarakat di Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar
yang sampai saat ini masih terjaga kelestariannya. Ritual Patorani
tidak hanya untuk penghargaan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut,
akan tetapi merupakan bagian yang integral dari kebudayaan
pendukungnya yang berguna sebagai norma dan nilai budaya yang
telah berlaku dalam masyarakat secara turun temurun. Masyarakat
nelayan pesisir pantai Galesong Selatan masih percaya sepenuhnya
bahwa lautan itu adalah hasil ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa sesuai
dengan ajaran agama Islam yang mereka yakini dan dianut secara
resmi. Meskipun demikian warga masyarakat tradisional yang
bersangkutan mempunyai pula kepercayaan, bahwa tuhan yang
disebutnya Karaeng Alla Taala telah melimpahkan penguasaan
lautan kepada Nabbi Hellerek (Nabi Khaidir).
Sebagai suatu kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan
dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan
simbol, sehingga keduanya saling membutuhkan. Di daerah
manapun kebudayaan itu berada dan apapun jenis kebudayaannya
pasti dibangun oleh unsur-unsur kebudayaan termasuk unsur religi
atau kepercayaan karena unsur tersebut menunjukkan sifat universal
dan menyeluruh yang dimiliki oleh setiap kebudayaan.
Masyarakat di wilayah Kecamatan Galesong menyadari
betul, bahwa hidup dalam Ekologi (ilmu tentang hubungan timbal
balik antara mahkluk hidup dan kondisi alam) kelautan harus
dihadapi dengan tekad yang tinggi. Hal ini disebabkan bahwa

2
mendalami kehidupan di laut bukanlah pekerjaan mudah tetapi
sebaliknya suatu pekerjaan yang berat dan mengandung banyak
resiko. Suatu saat laut tampak begitu tenang dan aktivitas
penangkapan ikan dilakukan dengan aman. Namun demikian, disaat
laut bergemuruh hebat dengan ombaknya yang besar bergulung-
gulung disertai badai dengan tiupan angin yang kencang, seolah-olah
menentang siapa saja sehingga para nelayan merasa takut terhadap
fenomena alam seperti itu. Boleh jadi “Dewa Laut” sedang murka,
oleh karena itu dewa laut perlu ditenangkan dan disenangkan.
Di samping itu, masyarakat juga mempercayai kepercayaan
bahwa di laut yang dalam itu terdapat kekuatan gaib yang
mengancam kehidupan nelayan, tetapi juga mampu memberi
kesejahteraan. Di dalam menghadapi kekuatan gaib yang penuh
misteri itu, mereka mengadakan atau melaksanakan sebuah upacara,
berhasil tidaknya membujuk atau menenangkan kekuatan gaib
tersebut tergantung pada kualitas upacaranya. Masyarakat di
Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar dalam
melaksanakan upacara tersebut sangat berhati-hati menjaga segala
pantangan tabu yang mungkin dapat menyebabkan kegagalan
usahanya.
Nelayan tradisional di Kecamatan Galesong sampai sekarang
masih mengenal dan tetap melaksanakan jenis-jenis upacara
tradisional dalam proses produksi perikanan laut. Secara garis besar
jenis upacara tradisional ini sudah berasimilasi dengan budaya Islam
seperti upacara songkabala (tolak bala), dan upacara pembacaan doa
keselamatan yang disebut pammaca dowangan. Sikap ini
menggambarkan akan adanya suatu mitos yang mereka yakini baik
secara sadar maupun tidak.
Ritual Patorani di Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten
Takalar, menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji karena ritual
Patorani merupakan tradisi lokal yang terdapat pada masyarakat

3
nelayan di kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar jikalau
akan memulai persiapan penangkapan ikan terbang maka terlebih
dahulu mengadakan suatu ritual yang disebut dengan upacara adat
Patorani yang merupakan cerminan keyakinan yang sudah
diwariskan secara turun-temurun.
Setelah kedatangan Islam, maka terdapatlah unsur budaya
Islam dan ritual Patorani tersebut seperti pammaca doangan yang
membaca ayat-ayat al-qur’an oleh anrong guru dan ini merupakan
salah satu yang menarik untuk diteliti. Hal yang menarik lainnya
pada pelaksanaan patorani yang tergolong unik karena setelah
pammaca doangan yang dilakukan oleh anrong guru maka setiap
sudut kapal disimpan sesajen seperti unti te’ne (pisang raja), unti lolo
(pisang muda), umba-umba (onde-onde), songkolo (nasi ketan), dan
lain-lain.
Alasan peneliti memilih mitos dalam penelitian ini karena
banyak masyarakat sekitar yang mempercayai mitos, misalnya jika
salah satu ritual Patorani ini tidak dilaksanakan maka nelayan
tersebut akan mendapatkan mara-bahaya dan tidak mendapatkan
kesejahteraan ketika melaut. Mitos merupakan bagaimana
kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang
realitas atau gejala alam yang terjadi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
mitos yang dimaksud dalam ritual patorani adalah mitos yang
menjelaskan aspek realitas, gejala alam, ataupun kejadian-kejadian
yang memiliki arti sesuai dengan keyakinan masyarakat nelayan
yang ada di Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
Peneliti melakukan penelitian di Galesong Selatan
Kabupaten Takalar karena Galesong Selatan merupakan salah satu
tempat yang dominan penduduknya merupakan seorang nelayan dan
memiliki ritual Patorani yang masih dilaksanakan sesuai adat yang
memiliki keunikan tersendiri akan keanekaragaman budayanya yang
masih kental.

4
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori semiotika
Roland Barthes untuk mengkaji lebih dalam mitos dari tradisi
Patorani tersebut. Roland Barthes adalah teori semiotika yang
berfokus pada hubungan antara pengalaman pribadi serta teks dan
kebudayaan pelakunya. Dalam hal ini, peneliti berfokus pada tiga
aspek pertandaan semiotika Barthes yakni denotasi, konotasi, dan
mitos. Dan pembahasan yang dimaksud Roland Barthes harus
melalui tiga fase yaitu tanda, petanda, dan penanda. Dalam
pandangan Roland mitos yang dimaksud berbeda dengan
pemaknaan mitos pada umumnya, melainkan mitos adalah fakta
yang sebenarnya terjadi atau benar-benar terjadi berkaitan dengan
kultur tertentu.
Penelitian relevan dilakukan oleh Nurlina (2015), Judul
Penelitian “Upacara Adat Patorani di Kecamatan Galesong Selatan
Kabupaten Takalar (Studi Unsur-unsur Budaya Islam)” dari hasil
penelitiannya menunjukan bahwa latar belakang munculnya upacara
adat Patorani karena kepercayaan masyarakat Galesong selatan
terhadap penguasa lautan yang akan mendatangkan musibah.
Sehingga prosesi upacara adat Patorani dilaksanakan agar terhindar
dari segala malapetaka dan mendapat rezeki yang berlimpah.
Pelaksanaan prosesi upacara adat Patorani terdapat beberapa nilai
yaitu: nilai syariat dan nilai ukhuwah. Pengaruh upacara adat
Patorani terhadap masyarakat yaitu pendapatan mereka bertambah
dan meyakini sesuatu hal yang bertentangan dengan perintah Allah
SWT.
Selanjutnya, penelitian relevan dilakukan oleh Riskayanti
(2018), Judul Penelitiannya”Tradisi Patorani di Desa Palalakkang
Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar (Studi Unsur-unsur
Budaya Islam)” dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
eksistensi tradisi Patorani di Desa Palalakkang Kecamatan
Galesong Kabupaten Takalar menunjukkan bahwa tradisi Patorani

5
dilaksanakan setelah datangnya Islam dan tradisi tersebut mulai
masuk ke Palalakkang pada tahun 1950 yang dibawah oleh
seseorang yang bernama Sanro Cekele yang pertama kali melakukan
tradisi Patorani di Desa Palalakkang dan tradisi ini mulai
berkembang pada saat H. Baso Dg Pasang menjadi sanro yang
diwariskan dari kakeknya yaitu Patahuddin Dg Nanring dan masih
bertahan sampai saat ini.
Berdasarkan penelitian relevan tersebut, maka dapat
disimpulkan melalui persamaan dan perbedaannya, yaitu dari kedua
penelitian tersebut sama-sama mengkaji tentang Patorani, akan
tetapi berbeda dengan judul yang akan diteliti oleh peneliti di sini
lebih memfokuskan mitos dalam ritual Patorani di Kecamatan
Galesong Selatan Kabupaten Takalar dengan menggunakan tinjauan
semiotika Roland Barthes.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1.1 Bagaimanakah bentuk ritual Patorani di Kecamatan
Galesong Selatan Kabupaten Takalar?
1.2 Bagaimanakah fungsi ritual Patorani di Kecamatan
Galesong Selatan Kabupaten Takalar?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
2.1 Untuk mengetahui bentuk ritual Patorani di Kecamatan
Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
2.2 Untuk mengetahui fungsi ritual Patorani di Kecamatan
Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini
sebagai berikut:

6
- Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah
satu sarana untuk memperkaya ilmu pengetahuan,
perkembangan tradisi dan budaya khususnya masyarakat
Sulawesi Selatan serta dapat menjadi referensi untuk
penelitian selanjutnya.
- Manfaat Praktis
a. Bagi pembaca umum, diharapkan penelitian ini dapat
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang
budaya dan tradisi daerah Makassar khususnya tradisi
Patorani.
b. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat
menjadi referensi dalam melakukan penelitian yang
berkaitan dengan judul penelitian ini.
c. Bagi dosen dan guru, diharapkan penelitian ini dapat
dijadikan bahan ajar di sekolah maupun institusi
pendidikan tinggi.
d. Bagi masyarakat Makassar, diharapkan penelitian ini
dapat memberikan sumbangsih dalam pelestarian tradisi
dan budaya Sulawesi Selatan khususnya di Galesong
Selatan Kabupaten Takalar.

7
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka
Suatu penelitian yang dilakukan untuk membahas masalah
tertentu guna mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tujuan itu tentu
membutuhkan sejumlah teori yang kemungkinan menjadi landasan
dalam penelitian ini.
1. Semiotika
Semiotika secara etimologi, berasal dari kata Yunani
semeion artinya tanda. Dalam pendefinisiannya, tanda dapat
diartikan sebagai suatu dasar konvensi sosialyang dapat menjadi
wakil dari sesuatu yang lain serta telah terbangun sebelumnya.
Secara terminologis, semiotika adalah ilmu yang membahas
sekumpulan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan
seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Dalam mengkaji sebuah tanda, semiotika adalah ilmu atau
metode yang digunakan. Menurut istilah Barthes, pada dasarnya
semiologi membahas bagaimana manusia memaknai berbagai
hal. Dalam hal ini, memaknai tidak dapat dikolabolarasikan
dengan mengkomunikasikan, dengan kata lain objek- objek
tersebut selain hendak berkomunikasi, juga mengkonstitusi
systemterstruktur dari tanda. Sebuah tanda dapat menandakan
hal selain dirinya sendiri, dan hubungan antara objek atau ide
dengan suatu tanda adalah makna. Dalam mencari berbagai
makna dari sebuah teks yang berupa lambang- lambang (sign)
maka yang dapat digunakan adalah analisis semiotika. Dengan
kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang sebuah teks
adalah fokus perhatian analisis semiotik. Dalam sejarah
linguistik bukan hanya terdapat istilah semiotika namun
digunakan pula istilah lain, seperti: semiologi, semasiologi,

8
semantik, dan semik merujuk pada bidang studi yang
mempelajari makna atau artidari suatu tanda atau lambang.
Semiotika adalah studi yang membahas tanda signs dan
symbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi
komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama yang
membahas bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi,
keadaan, perasaan dan lain-lain sebagainya yang berada di luar
diri.
Semotika merupakan suatu model dari ilmu pengetahuan
sosial yang memahami dunia sebagai system hubungan yang
memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. John Fiske
berpendapat, bahwa semiotika melihat komunikasi sebagai
penciptaan atau pemunculan makna di dalam sebuah pesan.
Baik oleh pengirim pesan atau pun yang menerima pesan.
Fokus semiotika komunikasi tertuju pada teori mengenai
produksi tanda, salah satu diantaranya terdapat enam faktor
dalam komunikasi, yakni pengirim, penerima kode (sistem
tanda), pesan, saluran komunikasi, serta acuan (hal yang
dibicarakan) dan memberi penekanan pada teori tanda dan
pemahamannya dalam konteks tertentu.
Ada sembilan jenis semiotik yang kita ketahui, antara lain:
a. Semiotika analitik
Semiotik analitik adalah semiotik yang menganalisis
tanda. Objeksemiotik adalah tanda kemudian
menganalisisnya menjadi ide, obyek, dan makna. Sebuah
ide dapat disebut sebagai lambang, sedangkan makna
merupakan beban yang terdapat dalam lambang serta
mengacu pada objek tertentu.
b. Semiotik deskriptif

9
Semiotik ini merupakan semiotic yang berfokus pada
sistem tanda yang sejakdahulu hingga saat ini tetap sama
yang kita alami sekarang.
c. Semiotik faunal zoosniotic
Semiotik ini khusus yang berfokus pada hewan
yang menghasilkan sistem tanda.
d. Semiotik kultural
Adalah semiotik yang fokus dalam hal menelaah
sistem tanda yangterdapat pada suatu kebudayaan
masyarakat.
e. Semiotika naratif
Semiotik ini membahas tentang sistem tanda dalam
narasi yang berbentuk mitos dan cerita lisan.
f. Semiotik natural
Semiotik narutal khusus menelaah alam yang
menghasilkan sistem tanda.
g. Semiotik normativ
Semiotik jenis ini membahas tentang sistem tanda
ciptaan manusia yang berbentuk norma-norma.
h. Semiotik sosial
Adalah semiotik yang dirancang khusus dalam
menelaah manusia yang menghasilkan system tanda
berwujud lambang. Lambang maupun kata merupakan
rangkaian kata berupa kalimat.
i. Semiotik struktural
Semiotik ini adalah semiotik yang khusus menelaah
sistem tanda yang di manifestasikan melalui struktur
bahasa.
2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah seorang yang cerdas dan kritikus
sastra prancis yang popular selain itu ia juga dikenal sebagai

10
seorang pemikir strukturalis mempraktikkan model liguistik dan
semiology Saussure. Eksponen penerapan strukturalisme dan
semiotika pada studi sastra. Barthes menamainya sebagai tokoh
sentral dalam strukturalisme pada tahun 1960-an dan 70-an.
Roland Barthes mencetuskan 3 konsep penting yakni
denotasi, konotasi dan mitos sebagai solusi dari analisisnya
(Budiman, 2016). Barthes, melalui model ini memaparkan
bahwasanya dalam pemahaman atau signifikasi tingkat pertama
merupakan hubungan antara ekspresi (signifier) dan isi
(signified) di dalam sebuah tandaterhadap kenyataan yang ada
di luar atau realitas external. Berangkat dari signifikasi tersebut,
Barthes memaknai denotasi sebagai sesuatu yang benar-benar
nyata dari sebuah tanda (sign).
Adapun konotasi merupakan istilah kedua yang digunakan
Barthes dalam menunjukkan sebuah signifikasi. Hal tersebut
mencerminkan hubungan yang nampak ketika tanda bersamaan
hadir dengan perasaan atau emosi pembaca serta nilai-nilai dari
kulturnya. Konotasi memiliki yang subjektif atau yang paling
tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang
tampak dalam sebuah tanda terhadap objek. Sedangkan konotasi
adalah bagaimana dalam penggambarannya. Mitos adalah
bagaimana kebudayaan menjelaskan realitas yang ada. Mitos
merupakan produk kelas social yang telah berdominasi.
a. Makna denotasi
Makna denotasi merupakan sebuah kata yang hanya
memiliki makna yang sebenarnya tanpa adanya campur
tangan dari makna yang lain. Dengan kata lain, gambaran
dari suatu pertanda. Dengan demikian, denotasi adalah
bahasa yang mengandung makna yang sesuai dengan apa
yang diucapkan.
b. Makna konotasi

11
Makna konotasi merupakan sebuah kata yang selain
memiliki makna yang sebenarnya juga terdapat makna
tambahan disamping makna yang sebenarnya. Dengan kata
lain, konotasi adalah bagaimana suatu objek digambarkan.
c. Mitos
Mitos dalam teori Roland Barthes adalah kata atau
kejadian yang memiliki arti sesuai dengan kenyataan yang
benar-benar terjadi atau yang berkaitan dengan kultur yang
ada dan realitas yang terjadi.
Dalam pembahasan yang dimaksud oleh Rolan
Bathes harus melalui, tiga fase, diantaranya, yaitu:
1) Pengertian Tanda
Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang
memawikili sesuatu (yang lain), menurut pandangan
semiotika signifikasi, seluruh praktik sosial dapat
dianggap sebagai fenomena Bahasa, hal tersebut dapat
dipandang sebagai “tanda”. Hal tersebut dikarnakan
luasnya tanda itu sendiri, menurut, Saussure,
menjelaskan, “tanda” sebagai kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan dari dua lubang, contohnya seperti
selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier)
untuk menjelaskan “bentuk” atau “ekspresi”, dan
bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep
atau makna.
2) Pengertian petanda
Petanda adalah adalah suatu konsep pikiran .
Petanda-petanda semiologis merupakan observasi
kedua. Seluruh petanda dari suatu sistem (sekali
informalisasi) mengkonstitusikan suatu fungsi besar,
kini sudah dimungkinkan bahwa dari suatu system ke
system yang lain, fungsi-fungsi semiologis besar tidak

12
hanya berfungsi mengkomsusikan, tetapi sebagian juga
tumpang tindih, bentuk petanda dalam sistem garmen
sebagian mungkin sama sebagaimana bentuk petanda
dalam sistem makanan, sementara keduanya
diartikulasikan dalam oposisi berskala luas antaraa
kerja dan pesta, aktivitas dan kenikmatan, oleh sebab
itu, seseorang harus bisa meramalkan suatu deskripsi
ideologis yang bersifat sinkroni yang memahami
sebuah peristiwa atau kejadian dengan cara
memperluas ruang dan mengabaikan proses
perkembangan terjadinya peristiwa.
3) Pengertian penanda
Penanda bersifat mengesankan, sifat penanda
bersifat seperti petanda, ia bersifat relatum, yang
definisinya tidak dapat dipisahkan dari definisi
petanda. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa
penanda merupakan mediator: materi adalah susuatu
yang perlu untuknya, tapi disatu sisi materi tidak
memadai, dan di sisi lain, dalam semiologi penanda
juga bisa disampaikan oleh suatu materi tertentu:kata-
kata. Materealitas penanda ini menjadikan penting
untuk membedakan dengan jelas antara materi dan
subtansi: sebuah subtansi bisa jadi imaterial (bunyi,
objek, gambar), di dalam semiologi kita berhubungan
dengan sistem yang bermacam-macam yang di
dalamnya terdapat jenis materi yang berbeda-beda
(bunyi dan gambar, objek dan tulisan, dan lain-lain
sebagainya).
3. Kebudayaan
Secara etimologis, kata “Kebudayaan” berasa dari bahasa
Sanskerta, Buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang

13
berarti akal atau budi. Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang
dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk
sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni dan bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha
berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari. Dengan demikian budaya dapat diartikan
hal-hal yang bersangkutan dengan akal dan cara hidup yang
selalu berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. (Kistanto,
2015)
Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi
manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua
pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat)
yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan
penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Dalam hal ini, Prof. Dr. Koentjoroningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
4. Mitos
Secara harfiah kata mitos berasal dari bahasa Yunani
"muthos"; "mythos" yakni memiliki arti, suatu yang
diungkapkan atau sesuatu yang diucapkan, misalnya cerita
(Makrus, 2016). Menurut Roland Barthes mitos adalah sebuah

14
pesan yang ingin disampaikan oleh yang membuat mitos dan
bukanlah konsep, gagasan atau sebuah objek, melainkan, mitos
adalah sebuah cara untuk mengutarakan pesan, ia adalah hasil
dari wicara bukan hasil dari bahasa.
Mitos adalah tipe wicara. Segala sesuatu bisa menjadi
mitos asalkan disajikanoleh sebuah wacana. Apa yang harus
dipahami sejak awal tentang mitos adalah bahwa mitos
merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan.
Hal ini akan memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa
mitos tidak bisa menjadi sebuah objek, konsep, atau ide. Mitos
adalah cara penandaan (signification) sebuah bentuk. Mitos
tidak ditentukan oleh objek pesannya, tetapi oleh cara dia
mengutarakan pesan itu sendiri. Sebuah karya sastra,
terutama sebuah cerita adalah suatu mitos. Ia mungkin
mengukuhkan sesuatu, mitos pengukuhan (myth of concern)
dan ia juga mungkin mengubah sesuatu, mitos pembebasan
(myth of freedom). (Buton, n.d.)
Lain halnya dengan Damono (1999: 43), menurutnya
mitologi adalah alat yang paling efektif untuk mengungkapkan
maksud dalam sastra sebab ia merupakan hasil sulingan atau
hasil rekaman kebudayaan. Sementara itu, Ratna (2006: 67)
beranggapan bahwa mitos adalah cerita anonim yang berakar
dalam kebudayaan primitif. Pada awalnya, mitos diartikan
sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk
menyusun suatu cerita. Pemahaman itu didasarkan pada
pemikiran yang masih primitif. Dalam pengertian mod- ern,
mitos dianggap sebagai struktur cerita itu sendiri.
Barthes (2006: 184-185) mengemukakan tiga proses
pembacaan terhadap mitos untuk mengurai makna sekaligus
bentuk suatu mitos.

15
- Jika pembacaan difokuskan pada penanda yang kosong,
berarti konsep dibiarkan untukmengisi bentuk mitos tanpa
kerancuan sehingga penandaan menjadi bersifat literal.
- Jika pembacaan difokuskan pada penanda yang penuh,
berarti ada pembedaan maknadari bentuk, sehingga proses
penandaan dibatalkan dalam sistem mitis dan kemudian
menerima sistem mitis itu sebagai tipuan.
- Jika pembacaan difokuskan pada penanda mitis sebagai
sesuatu yang secara utuh terdiri dari makna dan bentuk,
berarti ada penerimaan terhadap penandaan yang
ambigu.
Mitos bukan sekedar dongeng, melainkan mitos memberikan
model yang dijadikan referensi tindakan dan sikap hidup
manusia. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan spiritual
religius, bukan tindakan profan sehari-hari. Mitos mengandung
kebenaran yang membentuk kekuatan-kekuatan religius magis
bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupan masyarakat, mitos
mempunyai ciri bersifat sakral atau disucikan oleh masyarakat
pemilik dan merupakan sumber tata nilai yang dijunjung tinggi
oleh masyarakat pemilik mitos dan nyata-tidaknya mitos
bukanlah menjadi persoalan penting (Cahyanti et al., 2017).
Secara umum dapat dikatakan bahwa mitos, sebagaimana
dialami oleh masyarakat kuno, merupakan sejarah tindakan-
tindakan supernatural dan sejarah ini dianggap benar (karena
berkaitan dengan kenyataan) serta sakral (karena merupakan
karya dari Makhluk Supernatural). Mitos selalu terkait dengan
"ciptaan", ia menceritakan bagaimana sesuatu muncul, atau
bagaimana pola perilaku, lembaga dan cara kerja yang didirikan.
Inilah yang menjadi alasan mengapa mitos membentuk
paradigma untuk semua tindakan manusia yang signifikan.
Dengan mengetahui mitos, seseorang mengetahui "asal-usul"

16
benda-benda dan karenanya dapat mengendalikan dan
memanipulasi mereka sesuka hati. Mitos bukan pengetahuan
"eksternal" dan "abstrak" tetapi pengetahuan yang "dialami"
secara ritual, baik dengan seremonial ketika menceritakan mitos
atau dengan melakukan ritual yang merupakan pembenarannya.
Ketika kita dengan satu atau lain cara "menghidupkan" mitos,
maka kita ditangkap oleh kekuatan yang suci dan agung dari
peristiwa-peristiwa yang terulang kembali atau diberlakukan
kembali.
5. Ritual
Menurut Mariasusai Dhavamony (1995), ritual merupakan
teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi
suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial
dan agama, karena ritual merupakan agama dalam tindakan.
Sedangkan menurut Bustanul Agus (2005), ritual bisa pribadi
atau berkelompok, serta membentuk disposisi pribadi dari
pelaku ritual sesuai dengan adat dan budaya masing-masing.
Sebagai kata sifat, ritual adalah dari segala yang dihubungkan
atau disangkutkan dengan upacara keagamaan, seperti upacara
kelahiran, kematian, pernikahan dan juga ritual sehari-hari
untuk menunjukan diri kepada kesakralan suatu menuntut
diperlakukan secara khusus.
Menurut Susane Longer, yang dikutip oleh Mariasusai
Dhavarnony, mengatakan bahwa ritual adalah sesuatu ungkapan
yang lebih bersifat logis dari pada yang bersifat psikologis,
ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang di
objekkan, simbol-simbol ini memperlihatkan perilaku dan
peranan serta bentuk pribadi para pemuja dan mengikuti
mengikuti masing-masing.
Ritual dibedakan menjadi empat macam, yaitu :

17
- Tindakan magis, yang dikaitkan dengan penggunaan
bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis.
- Tindakan religius
- Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah
hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian mistis,
dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi
khas.
- Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau
kekuatan pemurnian dan perlindungan atau dengan cara
meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.
Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa terdapat karakter dari
pengalaman para peserta dalam upacara ritual yang meliputi
takut dan tertarik, negatif dan positif, sikap tabu dan sikap
preservasi serta proteksi.
6. Patorani
a. Pengertian Patorani
Asal kata torni/torani sendiri, menurut pendapat
di kalangan masyarakat patorani itu sendiri berasal dari
dua sumber yaitu (Nurlina, 2015) :
- Kata torani berasal dari kata tobarani yang berarti orang
berani. Maksud kata ini adalah orang yang dapat
menangkap ikan jenis tersebut haruslah orang yang
berani. Tanpa nyali dan keberanian ikan tersebut sulit
ditangkap karena tempatnya atau wilayahnya jauh ke
tengah laut. Kemudian kata tobarani mengalami
perubahan karena dalam kata tersebut terjadi
penghilangan salah satu suku katanya yaitu ”ba”
sehingga dari kata tobarani menjadi torani.
- Kata torani berasal dari susunan dua kata yaitu toa’ dan
rani yaitu toa’rani. Ikan jenis ini oleh masyarakat
nelayan memanggilnya Daeng Rani. Kemudianberubah

18
panggilan karena dianggap sebagai nenek (toa’). Jadi
Toa’rani berarti nenek rani. Dalam perkembangan
selanjutnya Toa’rani mengalami perubahan dengan
terjadinya penghilangan satu fonemnya yaitu fonem /a/
sehingga menjadi torani. Namun yang pasti bahwa
patorani telah ada sejak dulu kala, sejak manusia
mengenal ikan torani.
Menurut Anwar Salam ( 1995), Patorani berasal dari
kata ”torani”, yaitu nama jenis ikan yang akan ditangkap.
Torani sama artinya dengan tuing-tuing atau ikan terbang.
Maka kata torani mendapat awalan ”pa” yang mengandung
arti “orang yang”. Dengan demikian patorani artinya ”orang
yang pergi menangkap ikan torani atau ikan terbang
(Riskayanti, 2018).
Menurut Nur Alam Saleh (2012), istilah Patorani
yang berasal dari kata torani ini, dalam kehidupan
masyarakat Galesong Selatan dikenal sebagai nelayan yang
memusatkan perhatian dalam usaha penangkapan ikan
terbang, disamping usaha pencarian telur-telur ikan
terbang. Namun Patorani pada umumnya lebih
mementingkan pencarian telur ikan tuing-tuing (ikan
terbang) dibanding dengan usaha penangkapan ikan tuing-
tuing (ikan terbang) itu sendiri. Kecenderungan ini
dipengaruhi oleh nilai atau harga telur ikan yang ternyata
jauh lebih menggiurkan jika dibandingkan dengan harga
ikan tuing-tuing (ikan terbang).
b. Struktur Organisasi Patorani
Patorani sebagai suatu organisasi yang sifatnya
masih tradisional, maka hanya dari segi istilahnya saja
yang berbeda, karena kelengkapan dari organisasi formal,
seperti ketua, sekretaris, bendahara dan anggota dapat

19
diidentikkan atau disamakan dengan istilah pappalele,
ponggawa, dan sawi. Prinsip kerja samanya tidak jauh
beda, yang membedakan hanyalah wadahnya, ada yang tata
kerjanya di laut dan ada yang di darat.

Struktur Organisasi Patorani

Pappalele (Ponggawa Darat)

Ponggawa (Ponggawa laut)

Juru Batu

Sawi

Sawi Sawi Sawi

Gambar 2.1 : Struktur organisasi patorani


Peneliti akan menguraikan struktur organisasi patorani dan tugasnya
masing- masing, Sbb:
1. Pappalele (Ponggawa Darat)
Pappalele (orang yang memberi modal). Pappalele ini,
dianggap palingbesar peranannya dalam bidang pekerjaan, karena
merupakan pemilik modal, pemilik perahu dan pemilik alat-alat
penangkapan ikan. Dengan demikian kewajiban pappalele adalah:
pemberi modal kerja dalam setiap kegiatan penangkapan ikan,
memasarkan hasil tangkapan, pemberi bantuan bagi keluarga
ponggawa dan sawi dalam keadaan-keadaan mendesak.
Gelar pappalele sejak dahulu sudah ada. Gelar ini diperoleh
seseorang nelayan karena ketekunannya berusaha dalam bidang
penangkapan ikan sehingga ia dapat mengumpulkan modal dan
peralatan-peralatan penangkapan ikan. Pada mulanya pappalele itu
hanyalah nelayan biasa juga, kemudian pelan-pelan meningkat

20
menjadi ponggawa dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat yang
teratas atau yang paling tinggi, yaitu pappalele. Ada juga beberapa
pappalele yang memang karena keturunannya. Tetapi hal ini harus
diikuti keterampilan memutar modal.
Dengan adanya modal dan pemilikan peralatan, maka
pappalele dapat menduduki lapisan teratas di kalangan nelayan.
Kedudukan pappalele ini pun mengangkatnya menjadi pemimpin
informal dalam masyarakat nelayan, terutama bagi ponggawa dan
sawi.
2. Ponggawa (Ponggawa Laut)
Ponggawa merupakan operasional dalam penangkapan ikan
di laut. Ia harus memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang
kenelayanan. Selain itu, ponggawa juga dituntut memiliki beberapa
persyaratan, seperti: angapasa’ (tekun memelihara perahu dan
penangkapan ikan), jujur dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, dan menguasai sistem-sistem pelayaran. Sedangkan
kewajiban-kewajibannya, yaitu: baik terhadap pappalele maupun
sawi, melaksanakan seluruh kebijakan dan tindakan yang dianggap
perlu di dalam rangka perolehan hasil produksi maupun demi
keselamatan modal usaha yang telah ditanamkan oleh pappalele,
memimpin, dan mengkoordinasikan seluruh proses kegiatan
produksi di laut.
Kewajiban-kewajiban tersebut telah diatur bersama secara
tertulis berdasarkan hasil kesepakatan bersama. Dengan demikian
ponggawa lebih berperan dilautan dalam rangka melakukan operasi
penangkapan ikan terbang, hasil yang dicapainya, segera dilaporkan
kepada pappalele, selaku pemilik modal.
3. Sawi
Sawi adalah kelompok pekerja. Mereka tidak memiliki apa-
apa kecuali tenaga. Mereka merupakan buruh nelayan. Dalam
operasi penangkapan ikan mereka di pimpin oleh seorang

21
ponggawa. Ada beberapa persyaratan yang perlu dimiliki sawi,
yaitu : sehat fisik dan rohani, jujur dalam melakukan kewajiban,
rajin dan taat melakukan tugas, patuh pada perintah ponggawa, dan
peraturan yang ditetapkan. Disamping persyaratan-persyaratan ini
masih ada pertimbangan lain seperti hubungan kekerabatan,
keluarga, kenalan dekat, atau sahabat karib. Sawi mempunyai
kewajiban yang harus dipenuhi yaitu: mematuhi perintah dan
melaksanakan segala tugas yang telah ditentukan bagi para sawi.

B. Kerangka Pikir
Beralaskan dari tinjauan pustaka, berikut ini akan dibahas
terkait gambaran kerangka konsep yang akan dijadikan landasan
berpikir. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi.
Ritual merupakan bagian dari kebudayaan yang merupakan
tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang
dilakukan oleh sekelompok umat beragama.
Roland Barthes adalah teori semiotika yang berfokus pada
hubungan antara pengalaman pribadi serta teks dan kebudayaan
pelakunya. Dalam hal ini, peneliti berfokus pada tiga aspek
pertandaan semiotika Barthes yakni denotasi, konotasi, dan mitos.
Patorani dikenal sebagai nelayan yang memusatkan
perhatian dalam usaha penangkapan ikan terbang, disamping usaha
pencarian telur-telur ikan terbang. Untuk lebih jelasnya, kerangka
pikir di bawah ini digambarkan dalam bentuk skema berikut.

22
BAGAN KERANGKA PIKIR

KEBUDAYAAN

OKAL
RITUAL SEMIOTIKA
ROLAND BARTHES

PATORANI KONOTASI,
DENOTASI, MITOS

ANALISIS

TEMUAN

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Fikir

23
III. METODE PENELITIAN

Metode merupakan cara yang digunakan oleh seorang peneliti untuk


melakukan penelitian, dalam hal ini peneliti karya sastra. Metode atau
cara kerja inilah yang membantu peneliti mencapai sasaran penelitian
dengan tujuan pemecahan masalah.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif, jenis penelitian yang menggunakan analisis.
Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan
masyarakat (Rukin, 2019). Penelitian kualitatif mengharuskan
peneliti untuk berpikir secara keseluruhan mencakup hubungan
antar masalah yang diteliti dan metode yang akan digunakan
pada tingkat teoritis, hal ini adalah proses yang tidak biasa dalam
penelitian kuantitatif (Gunawan, 2013). Peneliti kualitatif harus
mengatasi kenyataan bahwa data atau bukti yang mereka
kumpulkan tidak dapat dipisahkan dari asumsi eksplisit/implisit
atau secara teoritis yang mereka pergunakan mengenai sifat
dunia sosial, hal ini akan memandu mereka dalam mengambil
kesimpulan. Crinson (Martha & Kresno, 2017:2).
Salah satu ciri penelitian kualitatif adalah peneliti bertindak
sebagai instrumen sekaligus pengumpul data. Maka dari itu
dalam penelitian kualitatif kehadiran peneliti adalah mutlak
karena peneliti harus berinteraksi dengan lingkungan baik
manusia dan non manusia yang ada dalam kancah penelitian.
Kehadirannya di lapangan peneliti harus dijelaskan apakah
kehadirannya diketahui atau tidak diketahui oleh subjek
penelitian ini berkaitan dengan keterlibatan peneliti dalam
kancah penelitian (Alhamid & Anufia, 2019).
B. Desain Penelitian

24
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah desain penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif.
Desain deskriptif kualitatif adalah rancangan penelitian yang
mengilustrasikan variabel penelitian tidak dalam bentuk angka-
angka atau statistik. Maksudnya, desain penelitian ini, hanya
akan mengilustrasikan atau mendeskripsikan mitos dalam ritual
patorani di Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar.
C. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada Agustus 2022. Proses
penelitian ini dilakukan di Kecamatan Galesong Selatan
Kabupaten Takalar.
D. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah berdasarkan dengan rumusan
masalah yang terdapat dalam penelitian ini. Penelitian ini akan
difokuskan pada mitos ritual patorani di Kecamatan Galesong
Selatan Kabupaten Takalar.
E. Definisi Masalah
- Mitos menceritakan bagaimana sebuah kenyataan
muncul, baik itu semua fakta dunia atau hanya sebuah
fragmen dari realita sebuah pulau, satu spesies
tumbuhan, maupun berbagai jenis perilaku atau
kebiasaan manusia. Mitos bisa juga disebut kisah
“ciptaan”; ini berkaitan dengan bagaimana sesuatu
diproduksi atau mulai menjadi.
- Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu
perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok
umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai
macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu,
tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat
dalam upacara, serta orang-orang yang menjalankan
upacara.

25
- Patorani adalah sebagai seorang nelayan yang
memusatkan perhatian dalam usaha penangkapan ikan
terbang, disamping usaha pencarian telur-telur ikan
terbang.
- Semiotika adalah studi yang membahas tanda (signs) dan
symbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran
tradisi komunikasi.
- Semiotika Roland Barthes adalah teori semiotika yag
berfokus pada hubungan antara pengalaman pribadi serta
teks dan kebudayaan pelakunya.
1. Data dan Sumber Data
- Data
Data dalam penelitian ini adalah Mitos dalam ritual
patorani di Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten
Takalar.
- Sumber Data
a. Data lisan
Data lisan adalah data atau informasi yang
diperoleh dari informan. Informan dalam penelitian
ini yakni masyarakat Kelurahan Galesong Selatan
Kabupaten Takalar yang memiliki pengetahuan
seputar patorani seperti, anrong guru dan sesepuh
atau orang yang dituakan di daerah tersebut.
b. Data tertulis
Sumber data tertulis, yaitu sumber yang
berupa bahan-bahan tertulis (dokumen) yang
berhubungan dengan objek penelitian, seperti buku,
jurnal, skripsi dan artikel yang berkaitan dengan
ritual patorani di Kelurahan Galesong Selatan
Kabupaten Takalar.
2. Teknik Pengumpulan Data

26
Teknik yang digunakan peneliti dalam pengumpulan
data penelitian adalah sebagai berikut:
- Teknik observasi merupakan pengamatan yang
dilakukan secara sengaja mengenai kondisi yang terjadi
di lokasi penelitian. Teknik observasi dilakukan pada
tempat yang telah ditentukan, dalam hal ini peneliti
mengadakan pengamatan terhadap objek penelitian dan
informasi yang menyangkut latar dan situasi secara
langsung.
- Teknik dokumentasi dilakukan dengan cara
mengumpulkan dan menyampaikan data dari berbagai
sumber yang berkaitan dengan penelitian ini serta
dilakukan dokumentasi baik berupa tulisan, foto, video,
maupun perekam suara.
- Teknik wawancara merupakan salah satu cara untuk
memperoleh informasi secara lisan, dalam teknik
wawancara ini peneliti melakukan percakapan secara
langsung. Teknik wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara mendalam (in depeth
interview) dimana proses memperoleh keterangan untuk
tujuan dengan tanya jawab sambil tatap muka antara
peneliti dengan informan. Teknik wawancara dilakukan
pada informan yang mengetahui seluk-beluk ritual
patorani di Kelurahan Galesong Selatan Kabupaten
Takalar.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu
pola, kategori dan uraian dasar. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

27
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
model analisis interaktif dari Miles dan Huberman untuk
menganalisis data hasil penelitian. Aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah
jenuh.
Komponen-komponen analisis data model interaktif
dijelaskan sebagai dijelaskan sebagai berikut:
- Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan proses
mengumpulkan dan mengukur informasi tentang
variabel yang ditargetkan dalam sistem yang mapan yang
memungkinkan seseorang untuk menjawab pertanyaan
yang relevan dan mengevaluasi hasil. Pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, wawancara,
observasi, dokumentasi dan audiovisual.
- Reduksi Data (Data Reduction)
Data yang diperoleh peneliti di lapangan melalui
wawancara, observasi dan dokumentasi direduksi dengan
cara merangkum, memilih dan memfokuskan data pada
hal-hal yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada tahap
ini, peneliti melakukan reduksi melakukan reduksi data
dengan cara memilah-milah, mengkategorikan dan
membuat abstraksi dari catatan lapangan, wawancara,
dan dokumentasi.
- Penyajian Data (Data Display)
Setelah data direduksi, maka selanjutnya adalah
penyajian data. Data disajikan dalam bentuk catatan
wawancara, catatan lapangan, dan catatan dokumentasi
diberi kode data untuk mengorganisir data, sehingga
peneliti dapat menganalisis dengan cepat dan mudah.

28
Peneliti membuat daftar awal kode yang sesuai dengan
pedoman wawancara, observasi dan dokumentasi.
Masing-masing data yang sudah diberi kode dianalisis
dalam bentuk refleksi dan disajikan dalam bentuk teks.
- Penarikan Kesimpulan (Conclusion
Drawing/Verification)
Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif model
interaktif adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Berdasarkan data yang telah direduksi dan disajikan,
peneliti membuat kesimpulan yang didukung dengan
bukti yang kuat pada tahap pengumpulan data.
Kesimpulan adalah jawaban dari rumusan masalah dan
pertanyaan yang telah diungkapkan oleh peneliti sejak
awal.
4. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian yang menjadi instrumen penelitian
atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti
dibantu dengan pedoman wawancara dan kamera untuk
mengambil gambar yang dibutuhkan serta alat perekam
audio visual. Pedoman wawancara digunakan untuk
mewawancarai orang-orang yang mengetahui seputar
patorani. Hasil wawancara juga direkam dan pengambilan
gambar/foto yang relevan dengan masalah penelitian
dilakukan untuk menunjang penyajian data yang ditemukan
di lapangan.
5. Pemeriksaan Keabsahan Data
Penelitian kualitatif wajib mengungkap kebenaran
yang bersifat objektif, oleh karenanya sangat diperlukan
adanya keabsahan data dalam sebuah penelitian kualitatif
agar kepercayaan suatu penelitian dapat tercapai. Untuk itu,
dalam mendapatkan keabsahan data penelitian ini maka

29
dilakukan triangulasi. Yang dimaksud dengan triangulasi
adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
mengandalkan atau memanfaatkan sesuatu dari luar data
untuk pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data
tersebut. Triangulasi yang digunakan oleh peneliti dalam
penelitian ini adalah triangulasi teori, sumber, dan metode.
Triangulasi teori merupakan penggunaan seperangkat
perspektif atau pandangan dalam penafsiran datanya,
triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai
tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data,
sedangkan triangulasi metode merupakan penggunaan
seperangkat metode dalam pengumpulan data suatu
penelitian. Misalnya untuk mengecek data bisa melalui
wawancara dan observasi. Apabila peneliti menghasilkan
data yang berbeda, maka peneliti melakukan diskusi lebih
lanjut kepada sumber data yang bersangkutan untuk
memastikan data mana yang dianggap benar.

30
DAFTAR PUSTAKA

Alhamid, T., & Anufia, B. (2019). Resume: Instrumen pengumpulan data.


Sorong: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).

Bahrudin, A. (2021). Pengembangan Buku Saku Penanaman Pendidikan Mitigasi


Bencana Berbasis Budaya Lokal bagi Siswa Sekolah Dasar Kelas Tinggi di
Pesisir Pantai Pacitan. STKIP PGRI Pacitan.

Barthes, Roland. (2017). Elemen-Elemen Semiologi. Yogyakarta: Penerbit


Basabasi. ISBN. 978-602-6651-20-4.

Barthes, Roland. (2007). Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka


Pelajar. ISBN 978-979-1277-69-3.

Budiman, A. (2016). Analisis Simbol-Simbol dalam Tradisi Bertimpas di Dusun


Selanglet Lombok Tengah: Kajian Semiotika Roland Barthes. Universitas
Mataram.

Buton, D. I. (n.d.). Mitos dan Aktivitas Melaut Masyarakat Bajo.

Cahyanti, I., Sukatman, S., & Husniah, F. (2017). Mitos dalam Ritual Ruwatan
Masyarakat Madura di Kecamatan Gending Kabupaten Probolinggo. Jurnal
Edukasi, 4(1), 13–19.

Danesi, Marcel. (2010). Pengantar Memahami Semiorika Media. Yogyakarta:


Julasutra.

Gunawan, I. (2013). Metode penelitian kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 143, 32–
49.

Haming, Yunita. (2021) Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Adat Patorani


di Kecamatan Galesong Selatan Kabupaten Takalar (Analisis Aqidah Islam).
Diss. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Kridaklaksana, Harimurti. (2008). Kamus Linguistik: Jakarta. Gramedia Pustaka


Indonesia.

31
Kistanto, N. H. (2015). Tentang konsep kebudayaan. Sabda: Jurnal Kajian
Kebudayaan, 10(2).

Makrus, A. (2016). Analisis Tentang Keberadaan Mitos Di Sekitar Peninggalan


Kerajaan Gelang-Gelang Di Dusun Ngerawang Desa Dolopo Kecamatan
Dolopo Kabupaten Madiun. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Mattulada. (1998). Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sul-Sel. Makassar:


Penerbit Hasanuddin Press.

Nasruddin., (2010). Kearifan Lokal dalam Penangkapan Telur Ikan Torani


sebagai Komoditas Ekspor pada Masyarakat Pesisir di Galesong Sulawesi
Selatan. Kementistek.

Nurlina, N. (2015). Upacara Adat Patorani di Kecamatan Galesong Selatan


Kabupaten Takalar (Studi Unsur-Unsur Budaya). Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar.

Rahmat, dkk.,(2009). Ritualitas Dalam Budaya Masyarakat Galesong (Analisis


Paradigma Budaya Islam)” Laporan Hasil Penelitian. Makassar: GOI UIN
Alauddin Makassar Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.

Riskayanti, R. (2018). Tradisi Patorani di Desa Palalakkang Kecamatan


Galesong Kabupaten Takalar (Studi Unsur-unsur Budaya Islam). Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar.

Rukin, S. P. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yayasan Ahmar Cendekia


Indonesia.

Serli, S. (2021). Amminro Baji’Budaya Siri’na Pacce Masyarakat Desa Ujung Bulu
Kabupaten Jeneponto. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdaya.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,

32
Kualitatif, dan R&D) (Cetakan ke-21). Bandung: Penerbit Alfabeta. ISBN
979- 8433- 71- 8

Syam, A. R., Salenda, K., & Hadadde, W. (2006). Tradisi Barzanji dalam Persepsi
Masyarakat Kabupaten Bone. Jurnal Diskursus Islam, 4(2), 248-257.

33

Anda mungkin juga menyukai