Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TAFSIR SURAT AN-NAHL AYAT 125 dan Al-A’Raf ayat

Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah

TAFSIR 2

Dosen Pengampu : Muhammad Badarudin, M.Pd.I

Disusun Oleh

Kelompok 9 :

Anisa Khusnul Khotimah 1601010014

Elmi Yukesih 1601010114

Ira Merda Sari 1601010138

Leni Novia 1601010044

Nanda Septa Haryono 1601010172

FAKULTAS TABIYAH DAN ILMU KEGURUAN

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

TA 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji Allah yang telah memberikan kemampuan kepada kami,


sehingga dapat menyusun makalah dengan baik tentang cinta kepada allah,
berdzikir, dan berdo’a.
Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan dan tercurahkan kepada
nabi Muhammad SAW. Sebagai Uswatun Hasanah bagi umat semesta
alam.Makalah ini di susun untuk mengerjakan untuk tugas mata kuliah Tafsir
2.Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, tentunya masih
banyak kekurangan, baik dari segi materi yang di dapatkan, maupun dalam
kesempurnaan sistematika dalam penulisan maupun yang lainnya. Selanjutnya
dalam kerendahan hati, kami berharap kepada para pembaca agar memberikan
koreksi apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam penulisan makalah ini,
oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna memperbaiki penulisan makalah dimasa yang akan datang.

Metro, 22 April 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................

B. Rumusan Masalah ..............................................................................

C. Tujuan ..............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Penafsiran Dari Al Qur’an Surat An Nahl ayat125 ...........................

B. Penafsiran Dari Al Qur’an Surat Al-A’Raf ayat 176-177..................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................
B. Saran ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Surat An-Nahl Ayat 125


   


  
    
   
    
 

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”

1. Tafsir Surat

:
Dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Maksudnya yaitu ketika
mengajak manusia ke jalan Allah swt hendaknya dengan cara yang baik,
lemah lembut, dan tidak menyinggung perasaan mereka serta sesuai
dengan porsinya.

- : Bantahlah mereka dengan cara yang baik. Maksudnya yaitu
ketika berdakwah dan mereka membantah dakwah yang diberikan. Maka
balaslah bantahan mereka dengan bantahan yang tidak menyulut api
kemarahan.
- : Mengetahui tentang siapa
yang tersesat. Maksudnya Allah swt lebih mengetahui tentang siapa orang
yang tersesat dari jalan kebenaran.
‫عوق ِب ۡت ُمب ِه‬
ُ َ ‫ابمثِ ۡل ِِما‬
ِ ‫ ف َعاَق ِب ُو‬- : Maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Maksudnya dibolehkan
hukumnya untuk membalas perbuatan jahat yang ditimpakan kepada diri
seseorang. Dengan syarat balasan tersebut sama kadar-bobotnya dengan
perbuatan jahat yang dirasakan atau diterima.
َ ‫بر ۡت ُمل َه ُو‬
‫خیِ ِۡر‬ َ ‫ص‬َ - : Kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih
baik. Maksudnya memang secara hukum diperbolehkan untuk membalas
perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang.Akan tetapi, apabila kita
bersabar, maka itulah yang lebih baik disisi-Nya.
2. Gambaran Umum Mengenai Surah An-Nahl

Surah An-Nahl (bahasa Arab: ‫الن ّحل‬, an-Nahl, "Lebah") adalah

surah ke-16 dalam al- Qur'an. Surah ini terdiri atas 128 ayat dan termasuk
golongan surah-surah Makkiyah. Surah ini dinamakan An-Nahl yang
berarti lebah karena di dalamnya, terdapat firman Allah swt SWT ayat 68
yang artinya :"Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah".
Lebah adalah makhluk Allah swt yang banyak memberi manfaat dan
kenikmatankepada manusia.Ada persamaan antara madu yang dihasilkan
oleh lebah dengan Al Quranul Karim.Madu berasal dari bermacam-macam
sari bunga dan diamenjadi obat bagi bermacam-macam penyakit manusia,
yakni sebagaimana tertera dalam ayat ke 69 dari surah ini.Sedang Al
Quran mengandung inti sari dari kitab-kitab yang telah diturunkan kepada
Nabi-nabi zaman dahulu ditambah dengan ajaran-ajaran yang diperlukan
oleh semua bangsa sepanjang masa untuk mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat.
An‑Nahl (lebah) di sini tidak lain dari makhluk yang mendapat
berkat yangdimuliakan Allah swt, yang mendapat wahyu dan ilham‑Nya
sehingga ia dapat menempuh jalan hidupnya. Dalam Lisan Al‑Arab,
an‑Nahl (bentuk mufradnya/tunggalnya an‑Nahlah) adalah serangga
penghasil madu. Abu Ishaq az‑Zujaj mengatakan tentang firman Allah swt
Azza wa Jalla yang berbunyi: ”Tuhanmu mewahyukan kepada lebah.”
Boleh jadi dinamakan Nahl (lebah) karena Allah swt Azza wa jalla
menjadikan manusia mengambil madu yang keluar dariperutnya (dengan
pe ngertian Allah swt memberikan kepadanya). Pendapat yang lain
mengatakan bahwa kata itu berasal dari bahasa Arab. An‑Nahl dapat
dipandang sebagai mudzakkar (maskulin) dan sebagai mu’annats
(feminin).Ia dijadikan Allah swt sebagai kata mu’annats pada firman‑Nya
anittakhidziy minal jibaal buyuutan “Supaya kamu (feminin) mengambil
tempat tinggal digunung‑gunung…” Orang yang memandangnya sebagai
mudzakkar karena lafaznya adalah mudzakkar (Nahl) dan orang yang
memandangnya sebagai mu’annatskarena ia adalah kata jamak da ri
Nahlah.
3. Asbabun-Nuzul QS. An-Nahl ayat 125
Dalam pembahasan dari beberapa refrensi buku tafsir, telah didapati
bahwa ayat 125 dari Surah An-Nahl asbabun nuzulnya yaitu ketika
Hamzah gugur dalam perang Uhud dan dalam keadaan tercincang. Ketika
Nabi saw melihat keadaan jenazahnya, lalu beliau saw bersumpah melalui
sabdanya : “Sesungguhnya aku bersumpah akan membalas 70 orang dari
mereka sebagai penggantimu”.
Namun berbeda halnya dengan ayat ke 126.Para mufasir berbeda
pendapatseputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-
Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW
menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud,
termasuk Hamzah, paman Rasulullah. Al-Qurthubi menyatakan bahwa
ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW,
untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak
Quraisy.Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang
menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
4. Hubungan surat An-Nahl ayat 125 dengan pendidikan
Ayat ini dan beberapa ayat selanjutnya yang menjadi ayat ayat
terakhir surat An Nahl mengajak Rasulullah SAW. dan seluruh pendidikan
dan ilmuwan Islam agar menggunakan cara yang tepat dalam mengajak
manusia menuju kebenaran. karena semua orang tidak dapat diajak lewat
satu cara saja. artinya, hendaknya berbicara kepada orang lain sesuai
dengan kemampuan dan informasi yang dimilikinya. oleh karenanya,
ketika menghadapi ilmuwan dan orang yang berpendidikan hendaknya
menggunakan argumentasi yang kuat. menghadapi orang awam atau
masyarakat kebanyakan hendaknya memberikan pelajaran atau nasehat
sehat yang baik. sementara membantah atau berdialog dua arah dengan
mereka yang keras kepala harus dilakukan dengan cara yang baik dan
berpengaruh.

B. Surat Al-A’raf ayat 176


  
 
  
  
 
  
  
   
  
 
  
 

“Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka
Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”

Kosa Kata

َ ‫ِشئْنا‬ : Menghendaki ‫ لَ َرفَ ْعنَا‬: Tinggikan


ْ ‫يَ ْل َه‬
‫ث‬ : Julurkan ‫ ت َ ْح ِم ْل‬: Menghalau
1. Tafsir Surah




Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan


(derajat) nya dengan ayat-ayat itu. Tindakan peninggian itu dilakukan oleh
Allah, namun mereka memilih untuk tetap bertahan di muka bumi,
sedangkan kehinaan tidak pantas dilakukan Allah , tapi dilakukan oleh
mereka sendiri. Disini Allah mengangkat orang-orang yang berjalan pada
manhaj-Nya. Ketika Allah berkata  
maknanya bila Kami berkehendak untuk meninggikan maka itu pasti
terwujud. Kenapa Allah berkata

? jawabannya karena kehendak Allah itu mutlak, Dia dapat
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Namun Allah terlebih dahulu
menjadikan ikhtiar sebagai standar nilai. Untuk itu, Dia tidak meninggikan
derajat orang yang melanggar, sesuai dengan sunnatullah. Dan sunnatullah
tidak pernah berubah. Sunnatullah mengatakan bahwa setiap muslim yang
berbuat baik akan mendapat pahala dan bila berbuat jahat akan mendapat
siksa.[1]





Akan tetapi, orang itu lebih cenderung pada dunia, dan seluruh
perhatian dalam hidupnya ia arahkan untuk kenikmatan dunia dan tidak
mengarahkan pada kehidupan akhiratnya. Sehingga hilanglah waktunya
untuk mikirkan ayat-ayat Kami yang telah kami berikan kepadanya.
 
   


maka perempumannya seperti anjing, jika kamu menghalunya


dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan
lidahnya (juga). Ketika kamu duduk, lalu datanglah anjing mendekatimu
niscaya kamu akan mengusirnya dan menyuruhnya jauh. Jadi, penafsiran

‫ َعلَ ْي ِه ت َ ْح ِم ْل‬ialah saat kamu mengusinya, ketika itu juga ia (anjing) akan
mengulurkan lidahnya. Karena hakikat anjing selalu mengulurkan lidah.

Sedangkan Kata ‫يلهث‬ terambil dari kata ‫لهتث‬ yaitu terengah-engah

karena sulit bernafas seperti yang baru berlari cepat. Penggalan ayat ini
mengutarakan suatu fenomena, yaitu bahwa anjing selalu menjulurkan
lidah saat dihalau maupun dibiarkan. Ini disebabkan karena anjing tidak
memiliki kelenjar keringat yang cukup dan yang berguna untuk mengatur
suhu badan. Karena itulah, untuk mengatur suhu badannya , anjing selalu
menjulurkan lidah. Sebab dengan cara membuka mulut yang biasa
dilakukan dengan menjulurkan lidah, anjing lebih banyak bernafas dari
biasanya.

Kenapa Allah mengumpamakannya dengan anjing yang mengulurkan


lidah? Karena hal tersebut merupakan gambaran perbuatan yang dibenci
oleh manusia selamanya. Manusia yang berakhlak seperti anjing ini adalah
gambaran dari terus-menerusnya manusia mengikuti hawa nafsunya, dan
bahkan kehidupan mereka diatur oleh hawa nafsu tersebut. Oleh karena
itu, manusia hidup dalam kesempitan, karena mereka takut nikmat itu akan
meninggalkannya atau dia yang meninggalkan nikmat itu. Hal ini sama
seperti anjing yang terus-menerus menjulurkan lidahnya.


 
  
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-
ayat Kami. Ungkapan ini ditujukan kepada bangsa Yahudi. Allah telah
menyatakan suatu kabar gembira yang dicantumkan-Nya di dalam kitab
Taurat bahwasanya akan datang Muhammad berikut sifat dan tanda-
tandanya, yang jika manusia melihatnya niscaya dia melihat sosok
Muhammad itu. Pengenalan sosok itu seperti kamu mengenal anak
kandungmu sendiri. Namun, bangsa Yahudi mendustai ayat-ayat mukjizat
yang menetapkan kenabian Muhammad sebagai utusan Allah.
  

Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu, hal ini


menerangkan bahwa Allah tidak berkehendak untuk mengajarkan kita
sejarah, namun Dia ingin mengajari kita bagaimana mengambil pelajaran
dari sejarah, dengan alasan Allah selalu mengulangi kisah-kisah yang
sama, dan setiap kisah selalu diisi dengan muatan baru yang tidak terdapat
pada kisah sebelumnya. Hal itu bertujuan untuk memperkaya satu kisah
dengan berbagai pelajaran untuk direnungi. Untuk itu Allah menerangkan
dalam ayat ini, bahwa Allah telah menurunkan manhaj (petunjuk) melalui
perantara malaikat kepada sebagian manusia.

 

Agar mereka berpikir. Kata ‫لتفكر ا‬ maknanya ialah bila kamu

(manusia) mengalami kelupaan, maka kamu berusaha untuk mengingatnya


hingga yang lupa itu dapat diingat kembali.

Jadi kata

  maka ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berpikir, maknanya ialah manusia akan
memikirkan firman-firman Allah, dan semoga saja dengan diceritakan
kisah ini manusia dapat beriman.
C. Surah Al-A’raf ayat 177

  


 
 
  

“Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-


ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.”

Kosa Kata

‫سا‬
َ ‫َء‬ : buruk
‫َمثَال‬ : Perumpamaan
ْ‫َكذ بُو ا‬ : Mendustakan
1. Tafsir Surat

Maknanya buruk dari segi perumpamaan. Ayat ini menjelaskan
bahwa alangkah buruknya kondisi suatu kaum yang apabila ia mendustai
ayat-ayat Allah, berarti ia telah menzalimi dirinya sendiri.
 

Dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim, dan
dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan jika Allah SWT berkehendak
mengangkat drajat Mereka dengan ilmu yang telah diberikan kepadanya
tentulah Dia berkuasa akan hal tersebut. Tetapi mereka sendiri telah
menetukan pilihannya pada jalan yang sesat. Mereka menempuh jalan
yang berlawanan dengan fitrahnya, dan berpaling dari ilmunya sendiri
karena didorong keiginan pribadi, yakni kemawahan hidup duniawi. Dan
lebih mengikuti hawa nafsunya serta tergoda oleh setan, segala petunjuk
dari Allah SWT dilupakannya.
2. Asbabun Nuzul Surat Al-A’raf

Terdapat riwayat yang mengatakan bahwa dia adalah seorang


laki-laki dari bani Israel yang bernama Bal’am bin Ba’ura’. Riwayat
lain mengatakan bahwa orang itu adalah seorang laki-laki dari
palestina yang dictator. Riwayat lain juga mengatakan bahwa dia
adalah orang arab yang bernama Umayyah bin shalt. Adapula riwayat
yang mengatakan bahwa dia adalah seseorang yang hidup sezaman
dengan masa Rasulullah,yang bernama Amir al-fasik. Dan, ada pula
riwayat yang mengatakan bahwa orang tersebut semasa dengan Nabi
Musa a.s. Ada lagi riwayat yang mengatakan bahwa dia hidup
sepeninggalan Nabi Musa a.s, yaitu sezaman dengan Israel sesudah
mereka kebingungan dan terkatung-katung dipadang pasir selama
empat puluh tahun. Yakni,sesudah bani Israel tidak mau memenuhi
perintah Allah untuk memasukinya dan berkata kepada Nabi Musa
A.s. Maka pergilah engkau bersama tuhanmu,lalu perangilah
mereka,sedang kami menunggu disini.
Diriwayatkan juga dalam menafsirkan ayat-ayat yang diberikan
kepadanya bahwa ayat-ayat itu adalah nama Allah yang teragung.
Orang itu berdo’a dengan menyebutnya,lalu dikabulkan do’anya.
Sebagaimana juga ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat-ayat itu
adalah kitab suci yang diturunkan,sedang dia adalah seorang Nabi.
Setelah itu,terdapat keterangan yang berbeda-beda mengenai perincian
cerita tersebut.

3. Hubungan Surah Al-A’raf Ayat 176-177 dengan Pendidikan


a. Metode Perumpamaan
Adapun pengertian dari metode perumpamaan adalah
penuturan secara lisan oleh guru terhadap peserta didik yang cara
penyampainnya menggunakan perumpamaan. Seorang pendidik
mengumpamakan seekor anjing yang terus menjulurkan
lidahnya.Dalam hal ini seorang pendidik mengajari anak didiknya
untuk senantiasa bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan
Allah kepada kita. Jangan merasa kekurangan, seperti seekor
anjing baik itu ketika ia lapar, haus, berlari, maupun kenyang, ia
terus menjulurkan lidahnya. Kebaikan metode ini diantaranya yaitu
:
Mempermudah siswa memahami apa yang disampaikan pendidik
Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang
tersirat dalam perumpamaan tersebut.[2]

b. Metode cerita (kisah)


Dalam hal ini, seorang pendidik mengajarkan kepada
muridnya dengan cara menceritakan kisah tentang seseorang yang
tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah di milikinya.
Seperti Qorun yang tamak akan harta yang dimilikinya, sehingga
dengan ketamakannya itu, Allah menengglamkannya bersama
hartanya tersebut.

Jadi, kedua ayat diatas memberikan perempamaan tentang


siapapun yang sedemikian dalam pengetahuannya sampai-sampai
pengetahuan itu melekat pada dirinya, seperti melekatnya kulit pada
daging. Namun ia menguliti dirinya sendiri dengan melepaskan tuntutan
pengetahuannya. Ia diibaratkan seekor anjing yang terengah-engah sambil
menjulurkan lidahnya sepanjang hidupnya. Hal ini sama seperti seseorang
yang memiliki ilmu pengetahuan tetapi ia terjerumus karena mengikuti
hawa nafsunya. Ia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya dengan ilmu
yang ia miliki. Seharusnya pengetahuan tersebut yang membentengi
dirinya dari perbuatan buruk, tetapi ternyata baik ia sudah memiliki hiasan
dunia ataupun belum, ia terus menerus mengejar dan berusaha
mendapatkan dan menambah hiasan duniawi itu karena yang demikian
telah menjadi sifat bawaannya seperti keadaan anjing tersebut. Sungguh
buruk kedaan orang yang demikian.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi, kita janganlah mengikuti hawa nafsu yang semata-mata hanya untuk
dunia saja dan bisa menjerumuskan kita kedalam neraka serta syukurilah
apa yang telah ada pada diri kita.
DAFTAR PUSTAKA

Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi. Tafsir Sya’rawi. (Jakarta: Duta


Azhar)
M Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009)
___________________________
[1] Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi. Tafsir Sya’rawi. (Jakarta:
Duta Azhar). hlm.172

[2] M Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal.285-
286

Anda mungkin juga menyukai