Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TAFSIR TARBAWI

“TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ILMU


PENGETAHUAN”

DITULIS OLEH :

KELOMPOK 10

Nama : Maulana Hatika Falma


: Ahmad Al-rasyid
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Dosen Pembimbing : M.Nuh Rasyid.Spd,M.A
Semester / Unit : II / III

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) LANGSA


TAHUN AKADEMIK 2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena rahmat dan karunia-NYA sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah tafsir tarbawi dengan judul “TAFSIR AYAT
AYAT TENTANG ILMU PENGETAHUAN”
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat akademik untuk memperoleh Nilai
pada Tugas Tafsir tarbawi, Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Langsa.
Untuk dapat memahami isi dari makalah ini dengan mudah, hendaknya pembaca
membaca terlebih dahulu mengetahui latar belakang, batasan masalah dan permasalahan
yang diangkat.
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengambil referensi dari berbagai sumber
seperti teori-teori yang telah penulis peroleh dari proses pembelajaran, membaca literature,
serta bimbingan dari dosen pembimbing.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan bagi semua pihak pada umumnya serta bagi penulis sendiri pada
khususnya.

Langsa,15 April 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................. i


Daftar Isi .......................................................................................................... i
BAB I: PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 1
BAB II: PEMBAHASAN................................................................................ 2
A. Quran surah Al-Alaq............................................................................. 2
1. Terjemah.............................................................................................. 2
2. Asbabun nuzul..................................................................................... 2
3. Tafsir.................................................................................................... 3
4. Analisa................................................................................................. 5
B. Quran surah attaubah........................................................................... 6
1. Terjemahan.......................................................................................... 6
2. Asbabun nuzul..................................................................................... 6
3. Tafsir.................................................................................................... 6
4. Analisa................................................................................................. 8
BAB III: PENUTUP...................................................................................... 9
1.3 Kesimpulan...................................................................................... 9
1.4 Saran...................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 10

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk yang diberi akal dan pikiran, manusia dituntut untuk
berpikir serta menggali ilmu karena Islam sendiri telah mewajibkan untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Berbicara tentang Ilmu Pengetahuan dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, ada persepsi bahwa Al-Qur’an itu adalah
kitab Ilmu Pengetahuan. Sekarang ini, di saat semua teknologi sudah canggih,
dunia membuktikan dengan banyaknya temuan-temuan terkini yang ternyata
semuanya sudah terdapat dalam Al-Qur’an. Penafsiran Al-Quran sendiri seolah
tidak pernah selesai, karena setiap saat bisa muncul sesuatu yang baru,
sehingga Al-Quran terasa selalu segar karena dapat mengikuti perkembangan
zaman. Pada kesempatan ini penulis hendak sedikit mengulas tentang ayat-ayat
Al-Quran tentang ilmu pengetahuan beserta tafsir dan analisisnya. Semoga apa
yang penulis tulis dalam makalah ini sedikit membantu pembaca dalam
memperoleh khazanah-khazanah keislaman yang baru.
B. Rumusan Masalah
1. Apa ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan beserta penafsirannya?
2. Q.S Al-Alaq Ayat 1-5 dan penafsirannya?
3. At-Taubah ayat 122 dan Penafsirannya?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Q.S Al-Alaq Ayat 1-5
ْ‫( َخلَقَ الَّذِي َر ِب َِّك ِباس ِْم ا ْق َرأ‬1) َ‫سانَ َخلَق‬ ِ ْ ‫ع َلق ِم ْن‬
َ ‫اْل ْن‬ َ (2) ْ‫( ْاْل َ ْك َرم َو َرب َُّك ا ْق َرأ‬3)
َ ‫( بِ ْالقَلَ ِم‬4) ‫علَّ َم‬
‫علَّ َم الَّذِي‬ ِ ْ ‫( لَ ْمْْيَع لَ ْم َما‬5
َ ‫اْل ْن‬
َ َ‫سان‬
1. Terjemahan
bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

2. Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam hadist shahihnya dari Aisyah: “
Pada mulanya, Rasulullah menerima wahyunya melalui mimpi yang benar.
Setiap beliau bermimpi, pada siaangnya mimpi itu menjadi kenyataan.
Mulai dari saat itu, beliau sangat ingin menyendiri(berkhalawat). Beliau pun
pergi ke gua Hira yang berada di luar kota Mekkah (sekitar 6 km dari pusat
kota), duduk beberapa malam di dalamnya dengan membawa bekal yang
diperlukan. Ketiksa perbekalan habis, pulanglah Nabi ke rumah istrinya,
Khadijah, untuk kembali mengambil bekal. Begitu seterusnya dilakukan
hingga Nabi menerima wahyu yang tidak disangka-sangka. Pada saat dia
duduk di dalam gua, datanglah malaikat Jibril, seraya meminta Nabi
Muhammad untuk membaca. “Bacalah”, kata Jibril. Nabi menjawab: “Aku
tidak bisa membaca.” Maka, Jibril pun memeluk Nabi erat-erat sehingga
Nabi merasa payah. Setelah melepas pelukannya, Jibril kembali memerintah
Nabi untuk membaca, dan Nabi pun menjawab sama: “Aku tidak bisa
membaca,” Jibril kembali memeluk Nabi dengan sangat erat. Setelah
pelukannya dilepaskan, Jibril membacakan lima ayat pertama surah al ‘alaq
ini (HR. bukhari)1

1
Ibnu katsier. “Tafsir Ibnu Katsier”. Jilid 8 (Surabaya : PT Bina Ilmu. 1992) hal. 359-360

2
3. Tafsir
Dalam waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka
kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi
muhammad SAW disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau
itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah menciptakannya.

“Menciptakan manusia dari segumpal darah.” Yaitu peringkat yang kedua


sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-
laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah
menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan
menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging
(Mudhghah).
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi,
yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai
membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali
supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat
itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia
dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia
membacanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia
akan diberi nama Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an itu pun artinya ialah bacaan.
Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.”
Syaikh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juzu’ Amma
menerangkan: “Yaitu Allah yang Maha Kuasa menjadikan manusia dari
pada air mani, menjelma jadi darah segumpal, kemudian jadi manusia
penuh, niscaya kuasa pula menimbulkan kesanggupan membaca pada
seseorang yang selama ini dikenal ummi, tak pandai membaca dan menulis.
Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi
disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau
tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat

3
meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah
ada padanya, apa lagi dia adalah Al-Insan Al-Kamil, manusia sempurna.

“Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” Setelah di


ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang
menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya
membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan
diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha
Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.

Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang


tertinggi. Yaitu diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya
berbagai rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka
perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah
untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu
pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun
yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan
oleh manusia

Lebih dahulu Allah Ta’ala mengajar manusia mempergunakan


qalam. Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu
pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga dapat pula
dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada
dalam tangannya
Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula
turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan

4
asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada
segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.2
4. Analisis
Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui
(berilmu) dengan melakukan ibadah di waktu malam, takut terhadap siksaan
Allah di akhirat serta mengaharapkan ridha dari Allah; dan juga
menerangkan bahwa sikap yang demikian itu merupakan salah satu ciri dari
ulul al-bab, yaitu orang yang menggunakan hati untuk menggunakan dan
mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan akidah,
ketekunan beribadah dan ketinggian akhlak yang mulia.
Sehubungan dengan ayat ‫هل يستوى الّذين يعلمون والّذين ال يعلمون‬, al-
Maraghi mengatakan: “Katakanlah hai rasul kepada kaummu, adakah sama,
orang-orang yang mengetahui bahwa ia akan mendapatkan pahala karena
ketaatan kepada tuhannya dan akan mendapatkan siksaan disebabkan
karena kedurhakaannya dengan orang yang mengetahui hal yang demikian
itu?” Ungkapan pertanyaan dalam ayat ini menunjukan bahwa yang pertama
(orang-orang yang mengetahui) akan dapat mencapai derajat kebaikan;
sedangkan yang kedua (-orang-orang yang tidak mengetahui) akan
mendapatkan kehinaan dan keburukan.
Imam Al Qurtubi berkata: "Menurut Az-Zujaj Radhiyallahuanhu,
maksud ayat tersebut yaitu orang yang tahu berbeda dengan orang yang
tidak tahu, demikian juga orang taat tidaklah sama dengan orang
bermaksiat. Orang yang mengetahui adalah orang yang dapat mengambil
manfaat dari ilmu serta mengamalkannya. Dan orang yang tidak mengambil
manfaat dari ilmu serta tidak mengamalkannya, maka ia berada dalam
barisan orang yang tidak mengetahui".

B. At-Taubah Ayat 122


2
Hamka. “Tafsir al-azhar”. Juz 11.( Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1982), hal. 135

5
‫ف ِ ْر ق َ ة ك ِّ ِل ِم ْن ن َ ف َ َر َل ْْ ف َ ل َ و ۚ كَ ا ف َّ ة لِ ي َ نْ فِ ر وا الْ م ْؤ ِم ن و َن كَ ا َن َو َم ا‬
‫َر َج ع وا إ ِ ذ َا ق َ ْو َم ه ْم َو لِ ي نْ ِذ ر وا ال دِ ِّ ي ِن ف ِ ي لِ ي َ ت َف َ ق َّ ه وا طَ ا ئ ِ ف َ ة ِم نْ ه ْم‬
‫ي َ ْح ذ َر و َن ل َ ع َ ل َّ ه ْم إ ِ ل َ يْ ِه ْم‬
1. Terjemahan
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

2. Asbabun Nuzul
Dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa ketika Rasul saw. tiba di
Madinah, beliau mengutus pasukan yang tediri dari beberapa orang ke
beberapa daerah. Banyak sekali yang ingin ikut dalam pasukan itu sehingga
apabila di ikuti, maka tidak ada yang tinggal bersama Rasul kecuali
beberapa orang saja.3
Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin , dan juga tidak dituntut
supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang
keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardu
kifayah, bukan fardu ‘ain. Perang baru menjadi wajib, apabila Rasul sendiri
keluar dan mengarahkan kaum mukmin menuju medan perang (ghazwah)
oleh sebab itu maka turunlah ayat ini4
3. Tafsir
Anjuran yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi
yang berjihad, serta kecaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang
enggan, menjadikan kaum beriman berduyun-duyun dan dengan penuh
semangat maju ke medan juang. Ini tidak pada tempatnya karena ada area
perjuangan lain yang harus dipikul. Ulama yang menyatakan bahwa ketika
Rasul saw. tiba kembali di Madinah, beliau mengutus pasukan yang terdiri

3
Shihab, M. Quraish. “Tafsir Al-Misbah” Volume 5. (Jakarta: Lentera Hati. 2002) hal.
749
Al-Maraghi, Ahmad mustafa. “Terjemah Tafsir Al-Maraghi”. (Semarang : CV Toha
4

Putra.1992), hal. 123

6
dari beberapa orang ke beberapa daerah. Hal ini banyak sekali yang ingin
terlibat dalam pasukan kecil itu sehingga jika diperturutkan, tidak akan
tinggal di Madinah bersama Rasul kecuali beberapa gelintir orang saja.
Maka dalam hal ini ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas
dengan menyatakan : Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang
selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke
medan perang sehingga tidak tersedia lagi yang melaksanakan tugas-tugas
yang lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum,
maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar, di
antara mereka beberapa orang dari golongan itu untuk bersungguh-
sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat
memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk
memberi peringataan kepada kaum mereka yang menjadikan anggota
pasukan yang ditugaskan oleh Rasul saw. itu apabila nanti setelah selesainya
tugas, mereka, yakni anggota pasukan itu, telah kembali kepada mereka
yang memperdalam pengetahuan itu supaya mereka yang jauh dari Rasul
saw. karena tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka.5
Menurut al-Biqa’i sebagaimana dikutip Quraish menyatakan bahwa
kata thaaifah dapat berarti satu atau dua orang. Sementara ulama yang lain
tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil dari
firqah yang bermakna sekelompok manusia yang berbeda dengan kelompok
yang lain. Karena itu, satu suku atau bangsa, masing-masing dapat dinamai
dengan firqah. Sedangkan kata liyatafaqqahuu terambil dari kata fiqh, yakni
pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan
tersembunyi. Bukan hanya sekadar pengetahuan. Penambahan huruf taa
pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan
keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya.
Demikianlah kata-kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi
pakar-pakar pengetahuan. Sementara kata fiqh bukan terbatas pada apa yang

5
Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012),
hal. 187

7
diistilahkan dalam disiplin ilmu agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan
tentang hukum-hukum agama islam yang bersifat praktis dan yang
diperoleh melalui penalaran terhadap dalil-dalil yang terperinci. Tetapi, kata
itu mencakup segala macam pengetahuan mendalam. 6
4. Analisa
Orang-orang yang beriman tidak wajib pergi semua untuk berjihad
dan meninggalkan negeri mereka dalam keadaan kosong. Tapi harus tetap
ada yang tinggal disana dan satu kelompok lagi yang keluar menuntut ilmu
yang bermanfaat. Apabila mereka kembali ke kampung halaman, mereka
wajib mengajarkan ilmu yang diperoleh kepada kaumnya yang tidak ikut
menuntut ilmu. Mereka harus memberikan pemahaman kepada kaumnya
tentang agama Allah SWT, memperingatkan mereka akan bahaya maksiat
dan melanggar perintah-Nya. Menyerukan supaya mereka bertakwa kepada
Tuhan mereka dengan mengamalkan kitab-Nya dan sunnah Nabi SAW.
Dalam ayat di atas mungkin menimbulkan pertanyaan bagi beberapa
orang, kenapa yang wajib menuntut ilmu di dalam ayat itu hanya laki-laki
saja sedangkan perempuan tidak terlibat di dalam menggali ilmu ? harus lah
kita ketahui bahwa menuntut ilmu adalah sebuah keharusan contoh nya
seperti menjawab salam “Assalamualaikum” maka kita akan menjawab
“Wa’alaikumussalam” padahal kalimat assalamualikum itu di dalam ilmu
nahu, di tujukan kepada laki-laki tapi mengapa perempuan menjawab ?
karena itu merupakan sebuah keharusan untuk menjawab nya, sebenarnya
secara hukum perempuan itu di tuntut untuk melayani suami dengan penuh
karena tugas perempuan dalam berumah tangga hanyalah sumur dan tempat
tidur dan hal hal lain di luar dari itu adalah tugas suami atau laki-laki. Jadi
bagaimana hukum nya apabila perempuan menuntut ilmu untuk menjadi
seorang guru atau semacam nya ? boleh dan itu merupakan sebuah kahrusan
walaupun tidak terlalu di tekan kan bagi seorang perempuan atau istri.

6
Ibid. h. 188

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam mengenal
hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan
dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal yang
telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam semesta.
Allah akan meninggikan tempat bagiorang-orang yang berilmu disurganya
dan menjadikan mereka di dalam surga termasuk orang-orang yang berbakti
tanpa kekhwatiran dan kesedihan. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban bagi
umat manusia dan mengamalkannya juga merupakan ibadah. Semakin tinggi
ilmu yang dikuasai, semakin takut pula kepada Allah SWT sehingga dengan
sendirinya akan mendekatkan diri kepada-Nya.
B. Saran
Demikian makalah ini penyusun buat, penyusun mohon maaf apabila
dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan. Penyusun meminta kritik
dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad mustafa. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV


Toha Putra.

Hamka. 1982. Tafsir al-azhar. Jakarta: pustaka panji mas.

Ibnu katsier. 1992. Tafsir ibnu katsier. Surabaya : PT bina ilmu.

Nata, Abudin. 2012. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada.

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

10

Anda mungkin juga menyukai