Anda di halaman 1dari 4

Nama: Keisya Alifia

Kelas: C
Npm: 211000113

ANALISIS KEDUDUKAN DAN KEBERLAKUAN


APS DI INDONESIA

Persengketaan sering muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah atau perselisihan


sering muncul di berbagai bidang kegiatan bisnis dan ekonomi. Perbedaan pendapat,
sengketa, kepentingan, dan rasa takut salah seringkali menjadi akar permasalahan atau
sengketa tersebut. Penyelesaian sengketa bisnis terutama melalui litigasi atau penyelesaian
sengketa melalui litigasi. Penyelesaian sengketa dimulai dengan pengajuan pengaduan di
pengadilan negeri dan diakhiri dengan putusan hakim. Namun, selain penyelesaian sengketa
melalui proses hukum, ada juga penyelesaian sengketa di luar proses. Apa itu mediasi non-
sengketa? Penyelesaian sengketa non prosedural adalah penyelesaian sengketa yang
dilakukan dengan cara ekstra yudisial atau penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa
alternatif. Di Indonesia, terdapat dua jenis penyelesaian sengketa non-sengketa, yaitu
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan Undang-Undang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa No. 30 Tahun 1999 (UU AAPS). Arbitrasi berasal dari kata
“arbitre” yang berarti kekuasaan untuk memutuskan suatu perkara. Arbitrase adalah
penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral, yaitu arbitrase
perseorangan atau arbitrase ad hoc. Menurut Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa No. 30 Tahun 1999, dalam Pasal 1 arbitrase adalah suatu cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum berdasarkan perjanjian arbitrase yang
disepakati para pihak yang bersengketa. secara tertulis. Dari pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa arbitrase adalah suatu perjanjian perdata yang diadakan atas dasar
kesepakatan para pihak mengenai penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga yang disebut
arbiter yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa dan dinyatakan oleh para pihak.
bahwa mereka akan mematuhi keputusan arbiter. Bagaimana para pihak dapat menyelesaikan
perselisihannya di hadapan lembaga arbitrase? Penyelesaian sengketa melalui lembaga
arbitrase harus dilakukan sebelum para pihak menyepakati secara tertulis untuk
menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase. Para pihak setuju dan menyanggupi untuk
menyelesaikan setiap perselisihan yang timbul melalui arbitrase sebelum perselisihan tersebut
benar-benar timbul dengan menambahkan ketentuan-ketentuan pada perjanjian pokok.
Namun apabila para pihak belum mencantumkannya dalam syarat-syarat perjanjian pokok,
maka para pihak dapat mencapai kesepakatan dalam hal terjadi perselisihan dengan
menggunakan akta kompromi yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan dihadapan
notaris. Selain melalui proses arbitrase, penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga dapat
dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute Resolution
(ADR). Alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa alternatif
berdasarkan kesepakatan (konsensus) yang dicapai oleh para pihak yang bersengketa dengan
atau tanpa bantuan pihak ketiga yang netral. Berdasarkan Undang-undang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa No.30 Tahun 1999, dalam Pasal 1, No.10, Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga yang menyelesaikan perselisihan atau perbedaan
pendapat melalui prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang para pihak dalam suatu
perjanjian, yaitu -penyelesaian pengadilan melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, mediasi
atau penilaian ahli. Penyelesaian sengketa melalui ADR memiliki banyak keunggulan
dibandingkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, antara lain sifat prosesnya yang
sukarela karena tidak ada unsur paksaan, prosedur cepat, keputusan non-yudisial, prosedur
rahasia, fleksibilitas dalam menentukan jangka waktu penyelesaian, hemat waktu dan hemat
biaya, kemampuan tinggi untuk melaksanakan perjanjian dan memelihara hubungan
kerja. Penyelesaian sengketa melalui rujukan pada lembaga arbitrase akan menghasilkan
putusan arbitrase. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, arbiter atau majelis arbitrase harus
segera mengeluarkan putusan arbitrase selambat-lambatnya 30 hari setelah arbiter selesai
mempertimbangkan sengketa tersebut. Dalam hal terjadi kesalahan administratif dalam
keputusan yang dibuat, para pihak berhak, dalam waktu 14 hari sejak tanggal keputusan
dibuat, untuk meminta perbaikan keputusan. Putusan arbitrase merupakan putusan akhir
(final) dan langsung mengikat para pihak. Suatu putusan arbitrase dapat dilaksanakan setelah
putusan tersebut didaftarkan oleh arbiter atau kuasa hukumnya pada register majelis arbitrase.
Setelah didaftarkan, hakim ketua pengadilan negeri memiliki waktu 30 hari untuk
memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase.
Lembaga alternatif penyelesaian sengketa dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya ialah
sebagai berikut:

1. KONSULTASI
Konsultasi adalah suatu tindakan personal antara satu pihak yang disebut klien dengan pihak
lain konsultan yang memberikan nasihatnya kepada klien guna memenuhi kebutuhan dan
keinginan klien. Peran konsultan dalam penyelesaian sengketa tidak berlaku, konsultan hanya
memberikan nasihat (hukum), atas permintaan klien, setelah itu klien akan mengambil
keputusan terkait sengketa tersebut. konsultan terkadang diberi kesempatan untuk
mengembangkan bentuk penyelesaian sengketa yang diinginkan oleh para pihak yang
berselisih. Dengan perkembangan zaman, konsultasi dapat dilakukan secara langsung atau
menggunakan teknologi komunikasi yang ada. Konsultasi dapat dilakukan oleh klien dengan
mengajukan beberapa pertanyaan kepada konsultan. Hasil musyawarah tersebut berupa saran
yang tidak mempunyai akibat hukum, yaitu nasihat tersebut dapat digunakan oleh klien atau
tidak, tergantung kepentingan masing-masing pihak.

2. NEGOSIASI
Negosiasi adalah sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiksusikan
penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga. Menurut KBBI negosiasi diartikan sebagai
penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang
bersengketa. Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa dapat melakukan suatu proses
penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dengan suatu
situasi yang sama-sama menguntungkan, dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran
atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Kesepakatan yang telah dicapai
kemudian dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani dan dilaksanakan oleh para pihak.
3. MEDIASI
Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga (mediator) yang dapat
diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai
kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan. Menurut Rachmadi
Usman, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perundingan
yang melibatkan pihak ketiga (mediator) yang bersikap netral dan tidak berpihak kepada
pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang
bersengketa.
4. KONSILIASI
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan
(komisi konsiliasi) sebagai penegah yang disebut konsiliator dengan mempertemukan atau
memberi fasilitas kepada pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya
secara damai. Konsiliator ikut serta secara aktif memberikan solusi terhadap masalah yang
diperselisihkan.
Masing-masing penyelesaian sengketa non litigasi maupun litigasi memiliki ciri khas atau
karakteristik yang berbeda-beda. Setiap metode juga memiliki kekurangan serta kelebihan.
Hal tersebut dapat disesuaikan oleh para pihak dengan memilih lembaga penyelesaian
sengketa yang paling efektif dalam menyelesaikan sengketa dan menguntungkan bagi para
pihak.

Di berbagai daerah di Indonesia, realita menunjukkan masih eksisnya peradilan adat dalam
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, bahkan pola tersebut telah lama melembaga dengan
kokoh. Dari berbagai hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh para penulis yang lain,
dapat diidentifikasikan bahwa pada beberapa masyarakat hukum adat masih menggunakan
lembaga peradilan adat dalam menyelesaikan sengketa. Masyarakat hukum adat meyakini
bahwa lembaga ini secara sederhana dan cepat dapat menyelesaikan sengketa dalam
masyarakat secara adil.

Di Kei Maluku Tenggara, juga dikenal hukum Lawur Ngabal yang berlaku di seluruh wilayah
kei. Lawur Nagabal terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu : Nevnev, yang terdiri dari tujuh
pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan dan tindakan yang menyakiti, mencelakai,
menghancurkan dan mematikan manusia; Hanlit yang terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal
tambahan tentang kesusilaan, serta Hawaer batwirin yang terdiri dari tujuh pasal mengenai
kepemilikan. Dalam prateknya Lawur Ngabal mengandung dua jenis sanksi, yakni sanksi
yang bersifat kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhuni, semacam hukum karma.
Sanksi ini tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi
semua pihak yang ikut dalam proses persidangan.
Akan tetapi seiring perkembangan masyarakat wewenang dari lembaga adat dalam
penyelesaian sengketa di Maluku tengah mulai melemah dan menurun, saat ini sebagian
masyarakat lebih cenderung menyelesaikan sengketa yang ada melalui lembaga formal
seperti pengadilan negara dan kepolisian. Dalam Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
negara, keadilan mungkin dapat terpenuhi namun keharmonisan dan keseimbangan hubungan
antara masyarakat yang bersengketa tidak dapat terwujud.

Anda mungkin juga menyukai