Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MATA KULIAH HUKUM TATA NEGARA

LEGAL OPINION 2

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

NAMA : RIDHO BUDAYA SEPTARIANTO

NIM : 031911133088

KELAS : HTN / A2
PEMBENTUKAN MAHKAMAH YUDISIAL SEBAGAI PENGUATAN EKSISTENSI
KOMISI YUDISIAL DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Deskripsi Isu

Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Amandemen Ketiga pada tahun 2001.
Komisi Yudisial memiliki wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.1 Komisi Yudisial berkedudukan sebagai lembaga negara penunjang atau State
Auxiliary Bodies yang berada pada ranah yudisial. Pun dalam hal ini juga diperkuat dengan
putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 yang menempatkan Komisi Yudisial sebagai
supporting organ. Komisi Yudisial merupakan lemabaga negara yang bersifat mandiri dan
dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.2
Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik melalui DPR
dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan keterbukaan informasi secara lengkap dan
akurat. Pembentukan Komisi Yudisial merupakan respon dari tuntutan reformasi dalam hal
penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Adanya Komisi Yudisial juga telah diamanatkan oleh konstitusi yakni
Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B , dan Undang-undang yang terbaru yaitu Undang-undang Nomor
18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004.

Permasalahan yang terjadi adalah ketidakmaksimal-an Komisi Yudisial dalam


menjalankan fungsinya dikarenakan kewenangan Komisi Yudisial yang belum kuat. Kendala-
kendala yang dimaksud antara lain terkait dengan kewenangan untuk melakukan penyadapan
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011. Kemudian dalam melakukan
pengawasan terhadap hakim, kewenangan Komisi Yudisial cenderung digantungkan pada
lembaga lain. Dalam Pasal 20 ayat (3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 disebutkan
bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran

1
Komisi Yudisial Republik Indonesia, “Sejarah Pembentukan”, diakses dari
https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/history
2
Mahayoni, “Perlunya Penguatan dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Membangun Peradilan yang Bersih dan
Berwibawa” (e-Journal President, 2016)
Kode Etik dan/atau perilaku hakim oleh hakim. Selain itu, dalam seleksi calon hakim agung,
Komisi Yudisial memiliki tugas dan wewenang untuk mengusulkan calon hakim agung, tetapi
pada akhirnya usulan dari Komisi Yudisial masih dapat ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Artinya, dalam melakukan wewenang itu, Komisi Yudisial perlu meminta bantuan kepada
penegak hukum lain. Atau dengan kata lain, kewenangan-kewenangan Komisi Yudisial
cenderung tidak sekali selesai karena masih memerlukan tindakan lanjutan dari lembaga lain.
Namun, wewenang-wewenang itu sulit untuk dilakukan karena sering terjadi silang pandangan
antara Komisi Yudisial dan penegak hukum. Hal ini mengakibatkan tugas yang diamanatkan
oleh Undang-undang No. 18 Tahun 2011 itu tak dapat dijalankan secara optimal.

Pendapat Ahli yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial masih lemah dikemukakan
oleh Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun, juga melihat lemahnya posisi Komisi
Yudisial karena bukan sebagai organ negara utama, melainkan sebagai organ penunjang.3
Pendapat ini pun dapat menjadi relevan bila kita mengingat kemali bahwa Komisi Yudisial
belum lepas dari kebergantungannya pada keputusan lembaga lain, misalnya Dewan
Perwakilan Rakyat.

Oleh karena itulah banyak pihak yang berpendapat bahwa Komisi Yudisial perlu
dikuatkan dengan cara pembentukan Mahkamah Yudisial. Beberapa pihak yang lain juga
mengusulkan adanya perubahan nama dari Komisi Yudisial menjadi Mahkamah Yudisial. Jadi,
diperlukan adanya dua fungsi, yakni untuk melakukan pengawasan etik dan untuk menghukum
aparat penegak hukum yang terbukti telah melakukan pelanggaran etik. Lalu dapatkah
pembentukan Mahkamah Yudisial dibenarkan dan tidak bertentangan dengan konstitusi?

B. Pembahasan dan Pendekatan Normatif

1. Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa Komisi Yudisial
bersifat mandiri. Apabila terdapat pembentukan Mahkamah Yudisial disamping
Komisi Yudisial dan nantinya bersinergi (bekerjasama) dengan Komisi Yudisial

3
Hukum Online, ”Usulan Penguatan KY dari Amandemen UUD 1945 Hingga Mahkamah Yudisial”, diakses dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd8a0b54ecd0/usulan-penguatan-ky-dari-amandemen-uud-
1945-hingga-mahkamah-yudisial/
dalam menjalankan tugasnya, maka sifat mandiri dari Komisi Yudisial ini akan
terganggu. Terlebih lagi, konstitusi hanya mengamanatkan pembentukan
Komisi Yudisial saja, bukan Mahkamah Yudisial.4 Bila tetap dibentuk maka
bisa jadi dapat mengubah konstitusi. Dan jika opsi kedua, yakni perubahan
nama Komisi Yudisial menjadi Mahkamah Yudisial, maka dikhawatirkan sifat
Komisi Yudisial ini bergeser menjadi pasif, karena sebagaimana yang diketahui
bahwa sifat dari Komisi adalah aktif.
2. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung serta badan peradilan dibawahnya, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
Namun bilamana pembentukan Mahkamah Yudisial jadi dilakukan, yang mana
dalam hal ini memiliki fungsi untuk menghukum aparat penegak hukum yang
terbukti telah melakukan pelanggaran etik, lalu bagaimanakah kedudukan
Mahkamah Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia? Tentu saja hal ini
menimbulkan diskresi antara kekuasaan kehakiman dan badan yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman. Sebagaimana yang terdapat pada pasal tersebut,
kekuasaan kehakiman hanya ada pada sebuah Mahkamah Agung beserta badan
peradilan dibawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi, maka bilamana
dibentuk Mahkamah Yudisial akan bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, jika
dilakukan opsi kedua yakni mengubah nama Komisi Yudisial menjadi
Mahkamah Yudisial, maka keududukan Komisi Yudisial juga akan menjadi
pengawas hakim sekaligus menjadi lembaga untuk menghukum para aparat
penegak hukum. Dan hal ini tidak sesuai dengan konstitusi serta menjadikan
Komisi Yudisial bukan lagi sebagai lembaga negara penunjang atau State
Auxiliary Bodies.
3. Pasal 20 Undang-undang No 22 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam
melaksanakan wewenangnya, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Sudah jelas bahwa unsur
nya adalah mengawasi. Apabila Komisi Yudisial dilakukan opsi kedua, yakni

4
Imawan Sugiharto, “Eksistensi dan Peranan Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”
(CERMIN Edisi 043 / Januari 2009), diakses dari http://e-
journal.upstegal.ac.id/index.php/Cermin/article/view/164
diubah menjadi Mahkamah Yudisial, maka fungsi untuk menghukum aparat
penegak hukum sudah jelas bertentangan dengan Undang-undang No 22 Tahun
2004 Pasal 20 tersebut.

Pembentukan Mahkamah Yudisial adalah mustahil tanpa adanya perubahan pada


konstitusi. Konsekuensi yang akan terjadi jika melakukan perubahan pada konstitusi adalah
adanya pergeseran kedudukan Komisi Yudisial ataupun Mahkamah Yudisial di dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Sesuai dengan pendekatan normatif yang telah diuraikan, maka
pembentukan Mahkamah Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004. Pertentangan
tersebut antara lain diskresi kekuasaan kehakiman, terganggunya kemandirian Komisi
Yudisial, dan ketidaksesuaian dengan tujuan awal dibentuknya Komisi Yudisial. Dan apabila
pembentukan Mahkamah Yudisial terus berlanjut, maka bukan penguatan eksistensi Komisi
Yudisial yang didapat, melainkan ekstra kewenangan Komisi Yudisial yang bertentangan
dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Perlu diingat kembali
bahwa Komisi Yudisial bukanlah penegak hukum, melainkan penegakan etik.

C. Kesimpulan

Pembentukan Mahkamah Yudisial mengakibatkan terjadinya benturan terhadap Pasal


24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan Pasal 20 Undang-undang No 22
Tahun 2004. Oleh karena itulah baik pembentukan Mahkamah Yudisial maupun perubahan
nama Komisi Yudisial menjadi Mahkamah Yudisial dalam rangka penguatan terhadap
eksistensi Komisi Yudisial tidak dapat dilakukan.

D. Saran dan Rekomendasi

Agar Komisi Yudisial tetap eksis dan maksimal dalam menjalankan tugas dan
fungsinya maka sebaiknya dilakukan penguatan internal tubuh Komisi Yudisial, agar
kewenangannya dapat dilakukan secara maksimal. Satu diantaranya adalah dengan melibatkan
Komisi Yudisial dalam perekrutan hakim-hakim lainnya di semua tingkatan dengan melibatkan
masyarakat dan akademisi.
E. Daftar Bacaan

Jurnal

1. Mahayoni, 2006, Perlunya Penguatan dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Membangun
Peradilan yang Bersih dan Berwibawa.

Internet

1. Komisi Yudisial Republik Indonesia, “Sejarah Pembentukan”, diakses pada tanggal 14 Mei
2020, https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/history
2. Hukum Online, ”Usulan Penguatan KY dari Amandemen UUD 1945 Hingga Mahkamah
Yudisial”, diakses pada tanggal 14 Mei 2020,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd8a0b54ecd0/usulan-penguatan-ky-dari-
amandemen-uud-1945-hingga-mahkamah-yudisial/
3. Imawan Sugiharto, “Eksistensi dan Peranan Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia” (CERMIN Edisi 043 / Januari 2009), diakses pada tanggal 14 Mei 2020, http://e-
journal.upstegal.ac.id/index.php/Cermin/article/view/164

Peraturan Perundang-undangan

1. Pasal 24 (2) UUD NRI 1945

2. Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B (1) UUD NRI 1945

3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22


Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

Anda mungkin juga menyukai