Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH KONSELING LINTAS BUDAYA

MEMAHAMI DAN MENGHARGAI PERBEDAAN


Dosen Pengampu : Hayu Stevani, M.Pd

Disusun Oleh :
1. Jihan Nabila (201901500858)
2. Rafa Maulida (201901500703)
3. Prima Venta Oktora (201901500885)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL


PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hikmat yang telah di berikan
kepada kita semua sehingga penyusun makalah dengan judul “Memahami dan menghargai
Perbedaan Rasisme, Etik, Emik, dan Etnosentrisme” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Pada penyusunan makalah ini, kami tidak dapat menyelesaikannya tanpa adanya
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sangat berterimakasih
kepada dosen pengampu mata kuliah bimbingan dan konseling Lintas Budaya ibu Hayu
Stevani M.Pd dan teman teman yang telah mendukung pembuatan makalah ini.

Sungguh merupakan suatu kebanggan dari kami apabila makalah ini dapat terpakai
sesuai fungsinya, dan pembaca dapat mengerti dengan jelas apa yang dibahas di dalamnya.
Tidak lupa juga penulis meminta kritikan dan saran yang konstruktif demi memperbaiki
makalah di kemudian hari.

Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi teman-teman yang
membaca. Terima Kasih

Bekasi, 06 Oktober 2022

Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat, masyarakat tidak pernah lepas dari kebudayaan.
Kebudayaan menempatkan posisi sentral didalam kehidupan masyarakat tersebut.
karena budaya berfungsi bagi masyarakat sebagai transmisi budaya, pengembang
kehidupan ekonomi, pelanjut keturunan, keagamaan, pengendali sosial, dan rekreasi.
Selain budaya berfungsi bagi masyarakat, budaya berpengaruh pula terhadap cara
berpikir, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak individu, kelompok
sehingga kebudayaan sangat mewarnai kehidupan individu atau kelompok masyarakat.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),


beberapa para ahli mencoba meneliti berbagai bentuk atau ragam budaya yang ada
dalam masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian mereka dari kajian lintas budaya di
temukan dua jenis budaya didalam masyarakat. Budaya tersebut dibedakan dengan
sebutan Rasisme, Etik (etics) ialah budya bersifat universal, dan emik (emics) ialah
kekhasan dari budaya setempat. Selain perbedaan budaya tersebut didalam psikologi
lintas budaya menemukan juga cara yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk
melihat budaya lain yang disebut etnosentrisme.

Berdasarkan kajian-kajian psikologi lintas budaya tersebut penulis tertarik untuk


mencoba menjelaskan secara terperinci tentang Rasisme, etik, emik, dan etnosentrisme.
Oleh karenanya didalam pembahasan makalah ini akan memuat pembahasan tentang
etik, emik, dan etnosentrisme.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Rasisme?
2. Apa yang dimaksud dengan etik (etics) dan emik (emics)?
3. Apa yang dimaksud dengan etnosentrisme?
4. Apa saja Hambatan yang dialami pada saat proses konseling terkait rasisme,
etnosentrisme, serta etik dan emik dengan pola pikir mandiri berdasarkan sumber
rujukan bermutu?
5. Bagaimana cara mahasiswa dalam merancang dan membangun perilaku kesadaran
berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas dari matakuliah bimbingan dan konseling lintas budaya serta
mengetahui dan memahami apa itu Rasisme, etik, emik, dan etnosentrisme, hambatan
yang dialami ketika proses konseling serta bagaimana memahami kesadaran berbudaya
dalam konseling lintas budaya.

D. Manfaat Penulisan
1. Memahami makna dari Rasisme
2. Memahami makna dari Etik dan Emik
3. Memahami makna dari Etnosentrisme
4. Memahami Hambatan yang dialami pada saat proses konseling terkait rasisme,
etnosentrisme, serta etik dan emik dengan pola pikir mandiri berdasarkan sumber
rujukan bermutum
6. Memahami Bagaimana cara mahasiswa dalam merancang dan membangun
perilaku kesadaran berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN

1. Rasisme
Salah satu definisi "rasisme" membutuhkan dua komponen: pertama, asumsi bahwa
sifat-sifat dan kemampuan secara biologis ditentukan oleh ras dan kedua, kepercayaan
pada superioritas inheren dari satu ras dan haknya untuk mendominasi ras lain
(Colin,Lago,2006). Mengingat definisi ini, maka yang menggabungkan asumsi dan
keyakinan berikutnya itu adalah tidak mengherankan bahwa rasisme itu begituumum.
Asumsi bahwa kemampuan yang ditentukan secara biologis sangat kontroversial
"Aspek Budaya Psychological Assessment". Namun, bahkan konsep ras itu sendiri
sangat dipertanyakan. Ras biasanya terkait dengan ciri-ciri fisik, terutama warna kulit
dan jenis rambut dalam Wanda (2007: 37), namun tidak ada standar antropologi
mengenai ciri-ciri fisik dari definisi satu ras dengan ras yang lain. Memang dalam
American Association of Physical Anthropologists telah menegaskan bahwa ras tidak
sah secara konsep ilmiah, sebagai populasi genetik homogen tidak ada dalam spesies
manusia, mencatat dalam jumlah yang besar variabilitas dalam satu ras dibandingkan
dengan tingkat variabilitas antar ras ketika memeriksa ciri-ciri psikologis, mendukung
gagasan bahwa kekhasan biologis dari berbagai kelompok ras adalah ilusi belaka ketika
datang untuk memeriksa sifat-sifat dan kemampuan. Kulit putih.

2. Etik dan Emik


Etik dan Emik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup
mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan
suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri.
Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak
(dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam
masyarakat.

Secara sangat sederhana emik mengacu pada pandangan warga masyarakat


yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si pengamat. pendekatan emik
dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. karena tingkah laku
kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang
yang dikaji itu sendiri berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami
peristiwa itu sendiri. bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan
dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan
secara etnosentrik.

Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di


berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip
yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang
tampak berbeda untuk budaya yang berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu
pada kebenaran yang bersifat khas-budaya (culture-specific).

Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan
etik merupakan konsep-konsep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang
perilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran dan hal itu adalah suatu etik
(alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran
bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang perilaku
manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias
bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu
merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.

Contoh kasus: pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. bila perilaku
pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan, maka berlaku
sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu
dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb. anggapan ini
bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar
pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan
pandangan emik bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri. Dalam pandangan emik
yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. mereka adalah
aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. pandangan
subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali
justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan
ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki
pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
3. Etnosentrisme

Dalam menjalani kehidupan individu atau kelompok masyarakat sering memeberikan


persepsi, penilaian/penafsiran terhadap sesuatu hal tanpa mempertimbangkan Etik dan
Emik. Cara atau proses yang dilakukan individu atau kelompok tersebut ialah
Etnosentrisme. Sebagaiman Matsumoto dan Julang, 2004 (dalam buku Sarlit W.
Sarwono) mengemukakan defenisi dari etnosentrisme adalah kecenderungan untuk
melihat dunia melalui kacamata budaya sendiri.

Selain dari pendapat Masumoto & Juang 2004, Mulyana: 2000:70 (http
://xihuanpsichology.blongspot.com) etnosentrisme adalah cara memandang dan
mengukur budaya-budaya asing dengan budayang sendiri.

Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme, kita tidak dapat memandang
perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita
hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainya
merupakan budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah
angan-angan karena kita akan cenderung membatasi komunikasi yang kita lakukan dan
sebisa mungkin kita terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan
dengan budaya kita. Dalam hala ini etnosentrisme bukanlah merupakan sesuatu yang
baik, ia hanya mencerminkan kondisi dimana setiap orang memiliki budaya sebagai
penyaring (filter) dalam menilai orang lain.

Selanjutnnya, etnosentrisme dapat menimbulkan prasangka. Prasangka adalah


sikap yang tidak menguntungkan, baik bagi individu, golongan, atau kelompok lain
karena didasarkan pada pandangan yang belum terbukti kebenaranya (Meinaro dkk,
2011 (dalam buku Sarlito W. Sarwono). Prasangka terdiri dari dua jenis yaitu :
prasangka eksplisit dan prasangka implicit. Prasangka eksplisit adalah prasangka yang
diutarakan secara terbuka terhadap publik. Sedangkan prasangka implicit adalh
prasangka yang merupakan prasangka yang merupakan bagian dari nilai, kepercayaan
atau sikap masyarakat.

Matumoto & Juang, 2004 (dalam buku Sarlito W. Sarwono) berpendapat bahwa
prasangka berasal dari ketidakmampuan individu menyadari keterbatasan dalam
berpikir secara etnosentrisme. Beberapa tokoh lain juga mengeluarkan pendapat
mengenai penyebab prasangka. Misalnya, Van dan Berghe 1981 (dalam buku Sarlito
W. Sarwono) yang mengeluarkan teori sosial biologi dan evolusi unnutk menjelaskan
mengenai prasangka. Terjadinya prasangka juga dianggap disebabkan oleh konflik
kekuasaan antar kelompok. Duckih, 1992; Healey, 1999 (dalam buku Sarlito W.
Sarwono).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
prasangka merupakan sesuatu tanggapan akan sesuatu yang tidak terbuktik/ belum
pasti. Dalam hal ini prasangka di timbulkan oleh beberapa factor yaitu, perbedaan
budaya, status sosial/ ekonomi, dan keyakinan.

Etnosentrisme merupakan kepercayaan dimana budayanya sendiri lebih unggul dari


budaya lain. Hal inimerupakan bentuk reduksionisme yang mereduksi "jalan hidup"
yang lain menjadi versi terdistorsi miliknya sendiri. Kondisi ini sangat penting ketika
dihadapkan pada transaksi global ketika suatu perusahaan atau individu diilhami
dengan gagasan akan metode, bahan, atau ide yang bekerja di negaranya akan dapat
digunakan di negara lain. Karenanya adanya perbedaan lingkungan cenderung
diabaikan. Etnosentrisme berkaitan dengan dengan transaksi global, dapat
dikategorikan sebagai berikut : Faktor penting dalam bisnis diabaikan karena obsesi
dengan hubungan sebab-akibat tertentu di negara sendiri. Meskipun seseorang dapat
mengenali perbedaan lingkungan dan masalah yang terkait dengan perubahan, tetapi
mungkin hanya fokus pada pencapaian tujuan yang terkait dengan negara asal.
Perbedaan diakui, tetapi diasumsikan bahwa harapanperubahan sangat mendasar
sehingga mereka dapat dicapai dengan mudah. Itu selalu merupakan ide yang baik
untuk melakukan analisis biaya, manfaat dari perubahan yang diajukan.

4. Hambatan dalam Konseling


Pada praktek pemberian konseling multi budaya diperlukan dasar kualitas pribadi
konselor menurut Prayitno (1987) sebagai berikut :

a. Congruance
Konselorharusbisa berusaha menjadi dirinya yang utuh dalam setiap setting sosial.
Konselor tidak hanya menjadikan dirinya berpegang pada salah satu budaya namun
dapat melihat masalah konseli dari berbagai latarbelakang budaya.

b. Empati
Konselor dituntut untuk memiliki kemampuan merasakan apa yang klien rasakan
bahkan mampu membayangkan posisi klien. Konselor menyatakan diri bahwa
konselor turut merasakan apa yang konseli rasakan dan dapat pula merasakan posisi
konseli saat mendapatkan masalah.

c. Unconditional positiv regard


Ketika dihadapkan dengan konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda,
konselor dituntut untuk bisa menerima keadaan klien secara utuh tanpa memberi
penilaian. Contohnya ketika mendapatkan konseli yang berlatar belakang keluarga
yang tidak mampu, konselor tidak memberikan penilaian negative (ekonomi,
pekerjaan atau fisik) terhadap konseli apalagi secara langsung. Atau ketika
dihadapkan dengan konseli korban pemerkosanaan misalnya, konselor tidak
diperkenanka untuk memiliki pikiran buruk dan memberikan Batasan-batasan
terkait siapa saja yang bisa menjadi kliennya.

5. Kesadaran Budaya
Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri
dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk. Selanjutnya,
seseorang dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima pada budayanya
atau mungkin tidak lazin atau tidak dapat diterima di budaya lain. Oleh karena itu perlu
untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari kepercayaannya dan
adat istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya. (Vacc et al, 2003).

Wunderle (2006) mengemukakan lima tingkat kesadaran budaya yaitu:

a. Data dan information. Data merupakan tingkat terendah dari tingkatan informasi
secara kognitif. Data terdiri dari signal-signal atau tanda-tanda yang tidak melalui
proses komukasi antara setiap kode-kode yang terdapat dalam sistim, atau rasa yang
berasal dari lingkungan yang mendeteksi tentang manusia. Dalam tingkat ini
penting untuk memiliki data dan informasi tentang beragam perbedaan yang ada.
Dengan adanya data dan informasi maka hal tersebut dapat membantu kelancaran
proses komunikasi.
b. Culture consideration. Setelah memiliki data dan informasi yang jelas tentang suatu
budaya maka kita akan dapat memperoleh pemahaman terhadap budaya dan faktor
apa saja yang menjadi nilai-nilai dari budaya tertentu. Hal ini akan memberikan
pertimbangann tentang konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu budaya secara
umum dan dapat memaknai arti dari culture code yang ada. Pertimbangan budaya
ini akan membantu kita untuk memperkuat proses komunikasi dan interaksi yang
akan terjadi.
c. Cultural knowledge. Informasi dan pertimbangan yang telah dimiliki memang tidak
mudah untuk dapat diterapkan dalam pemahaman suatu budaya. Namun,
pentingnya pengetahuan budaya merupakan faktor penting bagi seseorang untuk
menghadapi situasi yang akan dihadapinya. Pengetahuan budaya tersebut tidak
hanya pengetahuan tentang budaya orang lain namun juga penting untuk
mengetahui budayanya sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap budaya 7
dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan khusus. Tujuannya adalah untuk
membuka pemahaman terhadap sejarah suatu budaya. Ini termasuk pada isu-isu
utama budaya seperti kelompok, pemimpin, dinamika, keutaman budaya dan
keterampilan bahasa agar dapat memahami budaya tertertu.
d. Cultural Understanding. Memiliki pengetahuan tentang budaya yang dianutnya dan
juga budaya orang lain melalui berbagai aktivitas dan pelatihan penting agar dapat
memahami dinamika yang terjadi dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu,
penting untuk terus menggali pemahaman budaya melalui pelatihan lanjutan.
Adapun tujuannya adalah untuk lebih mengarah pada kesadaran mendalam pada
kekhususan budaya yang memberikan pemahaman hingga pada proses berfikir,
faktor-faktor yang memotivasi, dan isu lain yang secara langsung mendukung
proses pengambilan suatu keputusan.
e. Cultural Competence. Tingkat tertinggi dari kesadaran budaya adalah kompetensi
budaya. Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan dan mengambil
suatu keputusan dan kecerdasan budaya. Kompetensi budaya merupakan
pemahaman terhadap kelenturan budaya (culture adhesive). Dan hal ini penting
karena dengan kecerdasan budaya yang memfokuskan pemahaman pada
perencanaan dan pengambilan keputusan pada suatu situasi tertentu. Implikasi dari
kompetensi budaya adalah pemahaman secara intensif terhadap kelompok tertentu.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dalam pembahasan makalah ini, ada beberapa kesimpulanya adalah sebagai berikut :

1. Etik adalah pandangan indvidu atau kelompok masyarakat dalam penerimaan


kebenaran, keyakinan yang bersifat universal.
2. Emik adalah suatu kebenaran, keyakinan, pandangan individu yang dapat diterima
oleh sejumlah masyarakat yang bersifat khas budaya.
3. Etnosentrisme adalh kecenderungan individu untuk melihat budaya yang melalui
kacamata budaya sendiri.
4. Etik dan Emik sangat mempengaruhi proses kegiatan konseling, dimana Etik, Emik
merupakan factor penentu berhasil tidaknya kegiatan konseling tersebut. apabila
konselor tidak mampu memahami etik dan emik maka, konselor akan bersifat
etnosentris dalam penerimaan klien sehingga dapat membuat hubungan konseling
gagal atau tidak dapat terlaksana.

Anda mungkin juga menyukai