Disusun Oleh :
1. Jihan Nabila (201901500858)
2. Rafa Maulida (201901500703)
3. Prima Venta Oktora (201901500885)
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hikmat yang telah di berikan
kepada kita semua sehingga penyusun makalah dengan judul “Memahami dan menghargai
Perbedaan Rasisme, Etik, Emik, dan Etnosentrisme” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Pada penyusunan makalah ini, kami tidak dapat menyelesaikannya tanpa adanya
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sangat berterimakasih
kepada dosen pengampu mata kuliah bimbingan dan konseling Lintas Budaya ibu Hayu
Stevani M.Pd dan teman teman yang telah mendukung pembuatan makalah ini.
Sungguh merupakan suatu kebanggan dari kami apabila makalah ini dapat terpakai
sesuai fungsinya, dan pembaca dapat mengerti dengan jelas apa yang dibahas di dalamnya.
Tidak lupa juga penulis meminta kritikan dan saran yang konstruktif demi memperbaiki
makalah di kemudian hari.
Demikian makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi teman-teman yang
membaca. Terima Kasih
Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat, masyarakat tidak pernah lepas dari kebudayaan.
Kebudayaan menempatkan posisi sentral didalam kehidupan masyarakat tersebut.
karena budaya berfungsi bagi masyarakat sebagai transmisi budaya, pengembang
kehidupan ekonomi, pelanjut keturunan, keagamaan, pengendali sosial, dan rekreasi.
Selain budaya berfungsi bagi masyarakat, budaya berpengaruh pula terhadap cara
berpikir, ekspresi emosi, kepribadian, keyakinan, dan kehendak individu, kelompok
sehingga kebudayaan sangat mewarnai kehidupan individu atau kelompok masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Rasisme?
2. Apa yang dimaksud dengan etik (etics) dan emik (emics)?
3. Apa yang dimaksud dengan etnosentrisme?
4. Apa saja Hambatan yang dialami pada saat proses konseling terkait rasisme,
etnosentrisme, serta etik dan emik dengan pola pikir mandiri berdasarkan sumber
rujukan bermutu?
5. Bagaimana cara mahasiswa dalam merancang dan membangun perilaku kesadaran
berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas dari matakuliah bimbingan dan konseling lintas budaya serta
mengetahui dan memahami apa itu Rasisme, etik, emik, dan etnosentrisme, hambatan
yang dialami ketika proses konseling serta bagaimana memahami kesadaran berbudaya
dalam konseling lintas budaya.
D. Manfaat Penulisan
1. Memahami makna dari Rasisme
2. Memahami makna dari Etik dan Emik
3. Memahami makna dari Etnosentrisme
4. Memahami Hambatan yang dialami pada saat proses konseling terkait rasisme,
etnosentrisme, serta etik dan emik dengan pola pikir mandiri berdasarkan sumber
rujukan bermutum
6. Memahami Bagaimana cara mahasiswa dalam merancang dan membangun
perilaku kesadaran berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Rasisme
Salah satu definisi "rasisme" membutuhkan dua komponen: pertama, asumsi bahwa
sifat-sifat dan kemampuan secara biologis ditentukan oleh ras dan kedua, kepercayaan
pada superioritas inheren dari satu ras dan haknya untuk mendominasi ras lain
(Colin,Lago,2006). Mengingat definisi ini, maka yang menggabungkan asumsi dan
keyakinan berikutnya itu adalah tidak mengherankan bahwa rasisme itu begituumum.
Asumsi bahwa kemampuan yang ditentukan secara biologis sangat kontroversial
"Aspek Budaya Psychological Assessment". Namun, bahkan konsep ras itu sendiri
sangat dipertanyakan. Ras biasanya terkait dengan ciri-ciri fisik, terutama warna kulit
dan jenis rambut dalam Wanda (2007: 37), namun tidak ada standar antropologi
mengenai ciri-ciri fisik dari definisi satu ras dengan ras yang lain. Memang dalam
American Association of Physical Anthropologists telah menegaskan bahwa ras tidak
sah secara konsep ilmiah, sebagai populasi genetik homogen tidak ada dalam spesies
manusia, mencatat dalam jumlah yang besar variabilitas dalam satu ras dibandingkan
dengan tingkat variabilitas antar ras ketika memeriksa ciri-ciri psikologis, mendukung
gagasan bahwa kekhasan biologis dari berbagai kelompok ras adalah ilusi belaka ketika
datang untuk memeriksa sifat-sifat dan kemampuan. Kulit putih.
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan
etik merupakan konsep-konsep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu sesuatu tentang
perilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran dan hal itu adalah suatu etik
(alias universal), maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran
bagi semua orang dari budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang perilaku
manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias
bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu
merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Contoh kasus: pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. bila perilaku
pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan, maka berlaku
sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu
dikasihani, manusia kalah, manusia korban kemiskinan struktural, dsb. anggapan ini
bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar
pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan
pandangan emik bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri. Dalam pandangan emik
yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. mereka adalah
aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. pandangan
subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali
justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, kesenjangan
ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki
pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
3. Etnosentrisme
Selain dari pendapat Masumoto & Juang 2004, Mulyana: 2000:70 (http
://xihuanpsichology.blongspot.com) etnosentrisme adalah cara memandang dan
mengukur budaya-budaya asing dengan budayang sendiri.
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme, kita tidak dapat memandang
perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita
hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainya
merupakan budaya yang salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah
angan-angan karena kita akan cenderung membatasi komunikasi yang kita lakukan dan
sebisa mungkin kita terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan
dengan budaya kita. Dalam hala ini etnosentrisme bukanlah merupakan sesuatu yang
baik, ia hanya mencerminkan kondisi dimana setiap orang memiliki budaya sebagai
penyaring (filter) dalam menilai orang lain.
Matumoto & Juang, 2004 (dalam buku Sarlito W. Sarwono) berpendapat bahwa
prasangka berasal dari ketidakmampuan individu menyadari keterbatasan dalam
berpikir secara etnosentrisme. Beberapa tokoh lain juga mengeluarkan pendapat
mengenai penyebab prasangka. Misalnya, Van dan Berghe 1981 (dalam buku Sarlito
W. Sarwono) yang mengeluarkan teori sosial biologi dan evolusi unnutk menjelaskan
mengenai prasangka. Terjadinya prasangka juga dianggap disebabkan oleh konflik
kekuasaan antar kelompok. Duckih, 1992; Healey, 1999 (dalam buku Sarlito W.
Sarwono).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
prasangka merupakan sesuatu tanggapan akan sesuatu yang tidak terbuktik/ belum
pasti. Dalam hal ini prasangka di timbulkan oleh beberapa factor yaitu, perbedaan
budaya, status sosial/ ekonomi, dan keyakinan.
a. Congruance
Konselorharusbisa berusaha menjadi dirinya yang utuh dalam setiap setting sosial.
Konselor tidak hanya menjadikan dirinya berpegang pada salah satu budaya namun
dapat melihat masalah konseli dari berbagai latarbelakang budaya.
b. Empati
Konselor dituntut untuk memiliki kemampuan merasakan apa yang klien rasakan
bahkan mampu membayangkan posisi klien. Konselor menyatakan diri bahwa
konselor turut merasakan apa yang konseli rasakan dan dapat pula merasakan posisi
konseli saat mendapatkan masalah.
5. Kesadaran Budaya
Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri
dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk. Selanjutnya,
seseorang dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima pada budayanya
atau mungkin tidak lazin atau tidak dapat diterima di budaya lain. Oleh karena itu perlu
untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari kepercayaannya dan
adat istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya. (Vacc et al, 2003).
a. Data dan information. Data merupakan tingkat terendah dari tingkatan informasi
secara kognitif. Data terdiri dari signal-signal atau tanda-tanda yang tidak melalui
proses komukasi antara setiap kode-kode yang terdapat dalam sistim, atau rasa yang
berasal dari lingkungan yang mendeteksi tentang manusia. Dalam tingkat ini
penting untuk memiliki data dan informasi tentang beragam perbedaan yang ada.
Dengan adanya data dan informasi maka hal tersebut dapat membantu kelancaran
proses komunikasi.
b. Culture consideration. Setelah memiliki data dan informasi yang jelas tentang suatu
budaya maka kita akan dapat memperoleh pemahaman terhadap budaya dan faktor
apa saja yang menjadi nilai-nilai dari budaya tertentu. Hal ini akan memberikan
pertimbangann tentang konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu budaya secara
umum dan dapat memaknai arti dari culture code yang ada. Pertimbangan budaya
ini akan membantu kita untuk memperkuat proses komunikasi dan interaksi yang
akan terjadi.
c. Cultural knowledge. Informasi dan pertimbangan yang telah dimiliki memang tidak
mudah untuk dapat diterapkan dalam pemahaman suatu budaya. Namun,
pentingnya pengetahuan budaya merupakan faktor penting bagi seseorang untuk
menghadapi situasi yang akan dihadapinya. Pengetahuan budaya tersebut tidak
hanya pengetahuan tentang budaya orang lain namun juga penting untuk
mengetahui budayanya sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap budaya 7
dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan khusus. Tujuannya adalah untuk
membuka pemahaman terhadap sejarah suatu budaya. Ini termasuk pada isu-isu
utama budaya seperti kelompok, pemimpin, dinamika, keutaman budaya dan
keterampilan bahasa agar dapat memahami budaya tertertu.
d. Cultural Understanding. Memiliki pengetahuan tentang budaya yang dianutnya dan
juga budaya orang lain melalui berbagai aktivitas dan pelatihan penting agar dapat
memahami dinamika yang terjadi dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu,
penting untuk terus menggali pemahaman budaya melalui pelatihan lanjutan.
Adapun tujuannya adalah untuk lebih mengarah pada kesadaran mendalam pada
kekhususan budaya yang memberikan pemahaman hingga pada proses berfikir,
faktor-faktor yang memotivasi, dan isu lain yang secara langsung mendukung
proses pengambilan suatu keputusan.
e. Cultural Competence. Tingkat tertinggi dari kesadaran budaya adalah kompetensi
budaya. Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan dan mengambil
suatu keputusan dan kecerdasan budaya. Kompetensi budaya merupakan
pemahaman terhadap kelenturan budaya (culture adhesive). Dan hal ini penting
karena dengan kecerdasan budaya yang memfokuskan pemahaman pada
perencanaan dan pengambilan keputusan pada suatu situasi tertentu. Implikasi dari
kompetensi budaya adalah pemahaman secara intensif terhadap kelompok tertentu.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dalam pembahasan makalah ini, ada beberapa kesimpulanya adalah sebagai berikut :