Anda di halaman 1dari 44

3.

ANALISIS PERILAKU

Mata Kuliah : Studi Kasus


Oleh: Dr. Al. Suhadi, M. Pd
A. Makna Perilaku Sebagai Mekanisme
Pertahanan Diri
 Mengenal Mekanisme Pertahanan Diri Siswa di Lingkungan Sekolah
 Mekanisme pertahanan diri siswa di lingkungan sekolah pasti sering kita
jumpai, lalu apakah sebenarnya mekanisme pertahanan diri itu sendiri?
Seperti apakah bentuk-bentuk mekanisme pertahanan diri siswa-siswa kita?
 Mekanisme pertahanan diri adalah untuk menunjukkan proses tak sadar
yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemutar balikkan
kenyatan adalah istilah yang digunakan oleh Sigmund Freud yang
merupakan seorang Austria pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu
psikologi.
 Freud berpendapat apabila kebutuhan seseorang tidak terpenuhi maka dia
akan mempertahankan dirinya. Orang yang melakukan mekanisme
pertahanan ini seolah-olah tidak mengalami kegagalan, menutupi
kegagalan, atau menutupi kelemahan  dirinya sendiri dengan cara-cara atau
alasan-alasan tertentu.
1. Definisi Mekanisme Pertahanan Diri

 Mekanisme pertahanan diri merupakan salah


satu bentuk penyesuaian diri untuk melindungi
seorang individu dari kecemasan,
meringankan penderitaan saat mengalami
kegagalan, dan untuk menjaga harga diri.
 Sebagian besar mekanisme ini bersifat
unconscious atau di bawah sadar.
2. Istilah dalam mekanisme pertahanan
diri
a. Identifikasi
 Ingin menyamai figure yang diidolakan. Ia akan
memindahkan salah satu ciri dari figure yang diidolakan ke
dalam dirinya sehingga ia merasa harga dirinya bertambah
tinggi
 Hal ini sering muncul pada siswa SMP sebagaimana usia
tersebut adalah masa-masa mengimitasi tokoh idolanya,
contoh yang banyak muncul pada remaja putra adalah
meniru model rambut Cristiano Ronaldo (tokoh sepak bola),
sehingga anggapan mereka dengan meniru tokoh idola
tersebut ia akan semakin nampak dewasa dan maskulin.
b. Introjeksi
 Merupakan bentuk sederhana dari identifikasi. Ia akan mengikuti
norma-norma sehingga ego-nya tidak terganggu oleh ancaman dari luar
c. Proyeksi
 Menyalahkan orang lain atas kesalahan atau kekurangan, keinginan,
atau impuls dirinya sendiri. Bentuk proyeksi yang paling sering muncul
adalah di SMP Progresif adalah di kelas high level, sebagai contoh
seorang siswa yang membenci guru matematikanya dengan alasan
terdapat perbedaan perlakuan terhadap siswanya, padahal setelah
dilakukan konseling dan observasi oleh Guru BK siswa tersebut
memiliki kemampuan yang rendah terhadap mapel matematika, dan
sering memiliki nilai terendah di kelasnya.
d. Represi
 Secara tidak sadar mencegah keinginan atau pikiran-pikiran yang
menyakitkan masuk kedalam kesadaran. Represi membantu individu
mengendalikan impuls yang berbahaya. Misalnya melupakan suatu
pengalaman traumatic.
e. Regresi
 Kembali ke tingkat perkembangan terdahulu. Cenderung
bertingkah primitive, misalnya mengamuk, meraung-raung,
melempar, merusak dan sebagainya.
 Bentuk perilaku regresi sering muncul pada kelas low level
karena mayoritas dari siswa-siswa tersebut dikatakan kurang
dalam kemampuan akademik dan cenderung memiliki bakat di
bidang non akademik, seperti bela diri, music, melukis dsb, yang
mana siswa cenderung jenuh dan tidak betah mengikuti pelajaran
di kelas.
f. Reaction formation
 Bertingkah laku berlebihan yang bertentangan dengan keinginan
atau perasaan sebenarnya. Misalnya, pantang membicarakan seks
karena dorongan seks yang kuat atau terlalu banyak protes yang
berarti sama saja mengakui kesalahan diri sendiri.
g. Undoing
 Menghilangkan pikiran atau impuls yang tidak baik, seolah-olah menghapus
suatu kesalahan.
h. Displacement
 Mengalihkan emosi, arti simbolik atau fantasi sumber yang sebenarnya ke
orang lain, benda atau keadaan lain. Misalnya, seorang karyawan dimarahi
oleh bosnya kemudian saat pulang ia marah-marah kepada istri dan anaknya
i. Sublimasi
 Mengganti keinginan atau tujuan yang terhambat dengan cara yang dapat
diterima oleh masyarakat. Misal, kehilangan pacar disalurkan menjadi
novelis percintaan
j. Acting out
 Langsung mengutarakan perasaan bila keinginan terhambat. Misalnya,
bertengkar untuk menyelesaikan masalah.
h. Denial
 Menolak untuk menerima atau menghadapi kenyataan yang tidak enak
i. Kompensasi
 Menutupi kelemahan dengan menonjolkan kemampuannya yang lain
j. Rasionalisasi
 Memberi keterangan bahwa tingkah lakunya menurut alasan yang
seolah-olah rasional sehingga tidak menjatuhkan harga diri
k. Fiksasi
 Berhenti pada tingkat perkembangan satu aspek tertentu (emosi,
tingkah laku atau pikiran) sehingga perkembangan selanjutnya
terhalang. Misalnya, membisu, memukul-mukul diri sendiri
membanting piring dan lain-lain.
l. Simbolisasi
 Menggunakan benda atau tingkah laku sebagai symbol pengganti
suatu keadaan yang sebenarnya. Misalnya, seorang anak selalu
mencuci tangan untuk menghilangkan kegelisahannya, setelah
ditelusuri ternyata ia melakukan masturbasi sehingga merasa berdosa
m. Disosiasi
 Keadaan dimana seorang individu memiliki dua kepribadian.
Kepribadian primer adalah yang asli, dan skunder berasal dari
unsur lain terlepas dari control kesadaran individu
n. Konversi
 Transformasi konflik emosional ke dalam bentuk gejala
jasmani. Misalnya seseorang mengalami diare karena akan
melakukan presentasi di depan public
3. 7 mekanisme pertahanan diri yang
paling sering digunakan
 Berikut ini beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa
terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar individu, terutama
para remaja yang sedang mengalami pergulatan yang dahsyat
dalam perkembangnnya ke arah kedewasaan.
 Mekanisme Pertahanan (Defense Mechanism) Teori Freud
secara gamblang menjelaskan tentang mekanisme pertahanan
diri sebagai bentuk dari ketidaksadaran individu dalam
menghadapi realita. Jika konselor memakai konsep teori Freud
maka seorang konselor dituntut untuk memahami bentuk-
bentuk pertahanan diri yang sering dilakukan seseorang. Secara
singkat bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yaitu ;
Secara singkat bentuk-bentuk mekanisme
pertahanan yaitu :
a. Represi. Didefinisikan sebagai upaya individu untuk
menghilangkan frustrasi, konflik batin, dan bentuk-bentuk kecemasan
lain yang ada dalam dirinya. Dalam proses konseling, seseorang yang
melakukan represi biasanya tidak bersedia menceritakan permasalahan
yang membuat cemas dirinya. Hal ini dilakukan karena sebagai usaha
untuk menghilangkan kecemasan dari perasaannya.
b. Denial.
Diartikan sebagai individu yang selalu menyangkal kenyataan tidak
menyenangkan yang terjadi dalam dirinya, dalam proses konseling
perilaku denial sering terjadi ketika konselor berusaha mengeksplorasi
pengalaman yang dirasakan oleh konseli tetapi karena konseli merasa
tidak ingin perasaan itu diketahui oleh orang lain maka ia berusaha
menolak kenyataan yang yang dialaminya.
c. Proyeksi. Konseli melakukan proyeksi dengan mengalihkan
perbuatan tidak menyenangkan atau kekeliruan kepada orang lain.
Termasuk di dalamnya segala kegelisahan dan perasaan tidak enak
yang lain sebagai akibat dari perbuatan orang lain, dengan kata lain
konseli berperilaku selalu menyalahkan pihak di luar dirinya sebagai
penyebab setiap persoalan.
d. Rasionalisasi. Merupakan upaya mencari-cari alasan yang dapat
diterima secara social untuk membenarkan atau menyembunyikan
perilakunya yang buruk. Seorang konseli akan berusaha membuat
berbagai alasan dengan harapan konselor tidak mengetahui atau
menganggap dia sebagai orang yang berperilaku normal.
e. Intelektualisasi. Upaya seseorang untuk menghadapi situasi yang
menekan perasaannya dengan jalan analitik, intelektual dan sedikit
menjauh dari persoalan. Dengan analisa intelektual Paradigma, No.
08 Th. IV, Juli 2009  ISSN 1907-297X 38 yang dilakukannya ia
berharap tidak terganggu dengan situasi tersebut.
f. Pembentukan reaksi. Memungkinkan seseorang untuk melarikan diri dari
gangguan perasaan atau keinginan dengan mengumpamakan kebalikan dari
kejadian tersebut. Seorang konseli yang sakit hati, reaksi yang diperbuat adalah
menampakkan kegembiraan, seolah-olah tidak terjadai apa-apa dengan dirinya.
g. Introyeksi. Terjadi ketika seseorang memperoleh pendapat atau nilai-nilai
orang lain, walaupun bertentangan dengan dengan sikap/prinsip yang
dipegangnya. Konseli dengan pertahanan ini menerima apa saja yang
disarankan oleh orang lain tanpa ada tanggapan dan argumentasi mengapa
menerima pendapat
 Kesimpulan dari mekanisme pertahanan diri yaitu melindungi ego dari
kecemasan. Mekanisme-mekanisme tersebut bersifat universal yang artinya
semua orang melakukan perilaku-perilaku defensive sampai pada tahap
tertentu. Peran Guru BK tetaplah menjadi salah satu hal yang utama
mengingat masa remaja adalah masa yang membutuhkan pendampingan
terkait dengan mindset siswa yang ada kalanya dianggap benar sesuai dengan
versi remaja pada umumnya. Pada umumnya mekanisme pertahanan
memberikan manfaat pada individu dan tidak berbahaya  bagi masyarakat.
4. Konsep Taktik Bertahan (Defense Tactic)

 Bentuk lain dari mekanisme pertahanan adalan taktik


pertahanan. Secara umum memiliki tujuan yang sama
yaitu menyembunyikan realita dari orang lain, tetapi
keduanya merupakan aktivitas yang berbeda.
 Mekanisme pertahanan merupakan aktivitas intrapersonal
sedangkan taktik pertahanan merupakan petahanan yang
mengarah pada interpersonal.
Beberapa bentuk taktik pertahanan adalah:
a. Pedestaling (bertumpuan). Konseli menggunakan taktik ini untuk
mengharapkan konselor sebagai tumpuan dalam hidupnya. Dalam kaitan ini
paling tidak taktik bertahan berfungi untuk ; memposisikan konselor sebagai
orang yang sulit untuk berhadapan langsung dengannya; konseli
memposisikan dirinya sebagai orang yang selalu berada di abawah konselor
sehingga peran social yang dilakukan adalah apa yang disarankan oleh
konselor; karena sejak awal konseli ingin mendapatkan jawaban atas masalah
yang dihadapinya maka konseli tidak ingin dianalisa secara psikologis.
b. Humor. Walaupun humor secara umum merupakan perilaku yang sehat,
tetapi dalam konseling perilaku ini dapat dijadikan sebagai taktik bertahan.
HUmir dapat dijadikan sebagai perilaku bertahan dalam tiga hal yaitu ;
dijadikan sebagai media untuk mengalihkan topic bahasan ; dijadikan sebagai
cara menyatakan Mekanisme dan Taktik Bertahan: Penolakan Realita dalam
Konseling | Sigit Sanyata 39 kemarahan kepada konselor dan dapat dijadikan
sebagai alat untuk menyembunyikan ketertarikan.
c. Agreebleness (menyetujui). Konseli yang bertahan dengan cara ini
ditandai dengan persetujuan semua yang dikatakan oleh konselor,
tanpa mempertimbangkan apakah yang dikatakan konselor sesuai
dengan keyakinannya atau tidak. Dalam konseling, agreeableness
mempunyai fungsi bertahan untu ; menghindari konflik dengan
konselor; menyembunyikan jati diri yang sebenarnya dan untuk
menghindarkan diri dari tanggung jawab atas pengambilan keputusan.
d. Cuteness (bersikap manis). Bersikap manis biasanya ditampakkan
oleh orang dewasa untuk menyelamatkan diri dari perilaku yang tidak
tepat. Bersikap manis biasanya bersifat non verbal yang meliputi
gerakan amta, mulut, goyangan kepala dan bahasa tubuh. Perilaku ini
memilki fungsi ; jika seseorang mempersepsikan diri sebagai orang
yang manis maka persepsi tersebut akan menyembunyikan perilaku
mereka yang merusak. Perilaku manis terkadang digunakan untuk
merayu konselor agar menyukai dan melindungi konseli. Bersikap
manis akan menyembunyikan kecemasan seseorang akan tanggung
jawabnya dalam menyelesaikan masalah.
e. Being confuse (berbuat bingung). Merupakan sebagai
cara bertahan dengan alas an; kebingungan dapat dijadikan
pelindung konseli dalam menghadapi kenyataan yang tidak
menyenangkan. Daripada mengakui adanaya kecemasan
akibat suatu peristiwa, seseorang terkadang mengalihkan
perhatiannya pada perasaan bingung mengapa hal itu
terjadi, alasan lain menampakkan kebingungan adalah adar
konselor sulit mengambil tindakan. Bersikap bingung juga
akan membuat konselor menjadi bingung sehingga proses
konseling terselubung oleh perilaku “bingung” sehingga
tidak dapat menyentuh masalah yang sebenarnya. Dengan
kebingungan dimungkinkan akan saling menyalahkan.
(MINGGU DEPAN)
f. Acting stupid (bertindak bodoh). Berperilaku bodoh
menunjukkan tanggapan seseorang dimana dia berpura-
pura tidak memahami konsekuensi dari perilakunya yang
merusak. Tindakan berpurapura bodoh dapat muncul
karena beberapa alasan yaitu perilaku tersebut dapat
melindungi dari kenyataan yang menimbulkan
kecemasan, menghindarkan seseorang dari tanggung
jawab Paradigma, No. 08 Th. IV, Juli 2009  ISSN 1907-
297X 40 terhadap perilaku mereka, dengan perilaku pura-
pura bodoh dapat mengaburkan permsalahan sebenarnya
sehingga konselor terkesan dipaksa untuk focus pada
kebodohan tersebut bukan pada perilaku merusak yang
sebenarnya.
g. Helplessness (ketidakberdayaan). Sebagian konseli
mengikuti prose konseling dengan tanpa harapan. Mereka
melakukan hal ini dengan salah satu sebab tidak mampu
menggambarkan masalah yang dihadapi. Konseli tidak tahu
apa yang menjadi penyebab masalah dan tidak tahu harus
berbuat apa untuk mengatasi masalah yang dialaminya.
Ketidakberdayaan merupakan taktik bertahan karena
menganggap konselor sebagai pihak yang harus menangani
masalah konseli. Konseli menganggap peran konselor sebagai
seseorang yang harus mengetahui masalah konseli, apa yang
menyebabkan dan bagaimana menyelesaikannya. Selama
konseli merasa tidak berdaya maka konseli tetap merasa tidak
ada perubahan sehingga menyebabkan konselor yakin bahwa
konseli benarbenar dalam keadaan tidak berdaya.
h. Being upset (merasa kesal). Konseli yang datang kepada konselor
kadang-kadang merasa kesal, namun rasa kesal dapat merupakan
sebuah pertahanan karena dapat memberikan gangguan yang
memadai sehingga konseli tidak mengenali apa yang menyebabkan
ia merasa kesal atau langkah-langkah apa yang harus dilakukannya.
i. Religiousity. Religiusitas dalam konteks pertahanan berbeda dengan
religiusitas yang sehat. Keyakinan/agama dijadikan pelarian dari
masalah yang dihadapi.
 Konseli mengharapkan pertolongan dari Tuhannya tanpa ada upaya untuk
menyelesaikan masalahnya. Agama dapat menjadi pertahanan jika
konseli menggunakannya untuk menekan perasaan marah, cemburu,
keraguan dan tidak percaya.
 Konseli seperti ini menganggap bahwa memiliki perasaan-perasaan
tersebut membuat mereka menjadi pribadi yang lebih buruk. Faktanya
jika mereka bukan orang yang “religious” maka mereka akan mencari
cara agar tidak bersinggungan dengan perasaan yang dapat menimbulkan
kecemasan.
 Agama dapat digunakan oleh konseli agar tetap berada pada jarak yang
aman sehingga tidak terlalu mencampuri urusan konseli. Konselor
dipaksa untuk menghirmati Mekanisme dan Taktik Bertahan: Penolakan
Realita dalam Konseling | Sigit Sanyata 41 keyakinan konseli (meskipun
bias terjadi keyakinan tersebut bersifat merusak).
j. Decoying. Konseli dengan model ini akan melakukan
pertahanan atas kekeliruan yang mereka lakukan dengan berbagai
argumentasi yang sekiranya dengan argumentasi itu dapat
membujuk konselor tidak masuk dalam wilayah persoalan yang
sebenarnya.
 Dalam proses konseling seseorang seringkali menggunakan pertahanan
sehingga yang terjadi adalah tidak semua hal dapat terungkap dalam
proses konseling.
 Dalam kondisi ini jika tidak diantisipasi oleh konselor maka konseling
tidak akan mencapai hasil maksimal. Hal ini dimungkinkan karena
orang yang menggunakan pertahanan diri akan selalu mengungkapkan
data yang bertentangan dengan hal yang sebenarnya terjadi dan
dirasakan.
 Pertahanan diri tidak hanya dilakukan oleh konseli tetapi konselorpun
memiliki peluang untuk melakukan pertahanan pada waktu proses
konseling.
 Konselor walaupun dalam posisi sebagai orang yang memberi bantuan
akan tetapi tidak menutup kemungkinan melakukan pertahanan, baik
dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi maupun sebagai konselor.
 Dalam pandangan Cavanagh (1982) konselor yang melakukan
pertahanan diri biasanya masih meragukan kemampuannya sendiri
sebagai seorang praktisi konseling.
 Teori Cavanagh mendeskripsikan bahwa konselor yang tidak
melakkan pertahanan akan mampu menjalin hubungan (rapport)
dengan konseli.
 Terjalinnya hubungan yang hangat antara konselor dengan konseli
akan memunculkan saling peracaya. Kondisi dinamis ini akan mampu
mengungkap realitas yang sedang dialami atau dirasakan konseli.
 Seorang konselor harus memiliki kepekaan untuk dapat memahami
apakah konseli menceritakan keadaan yang sebenarnya. Kondisi ini
akan membawa pada kemampuan konseli untuk membuka diri (self
disclosure).
 Keterbukaan merupakan hal yang sangat mendalam dalam proses
konseling karena sebagai ukuran keberhasilan konselor dalam
membangun hubungan dan menerapkan keterampilan konseling.
 Pertahanan diri sering dianalogikan dengan tongkat penyangga.
Seorang inidividu yang sehat kepribadiannya tidak memerlukan
tongkat penopang, tetapi bagi individu yang memiliki kepribadiaan
kurang sehat maka diperlukan alat penyangga.
 Analog ini tentunya Paradigma, No. 08 Th. IV, Juli 2009  ISSN 1907-
297X 42 untuk mempermudah memahami konsep pertahanan diri
individu. Sebagai upaya untuk membantu individu dengan
menghilangkan pertahanan diri yang dilakukan.
 Konselor mencermati kondisi yang dimungkinkan memunculkan
pertahanan diri. Cavanagh (1982) menyebutkan bahwa salah satu
pemicu munculnya pertahanan adalah situasi krisis. Pada situasi krisis,
konseli berpeluang membuat pertahanan untuk menolak realita (stress).
 Dalam situasi krisis konseli dibantu untuk mengungkapkan realita
secara efektif dengan menerapkan berbagai keterampilan dasar
konseling. Kemampuan konselor membangun kepercayaan dan dapat
menjadi model bagi konseli akan membantu individu dapat menghadapi
keadaan yang sebenarnya.
 Strategi lain yang dapat dipakai untuk membantu konseli agar tidak
melakukan pertahanan diri, dengan menjelaskan kemungkinan
seseorang menggunakan pertahanan diri ketika menghadapi situasi
tertentu.
 Mekanisme ini oleh Cavanagh disebut sebagai nudging. Konselor secara
jelas mendeskripsikan berbagai aktivitas yang dapat dipakai oleh konseli
dalam bertahan.
 Konsep ini berbeda dengan defense shoving, dimana konselor justru
menekan (tidak memberikan respon) pada pertahanan diri yang
ditunjukkan oleh konseli.
 Hal penting yang perlu dipahami adalah motiv dalam menggunakan
pertahanan. Seseorang menggunakan prinsip bertahan disebabkan karena
dua hal yaitu ; pertama pada waktu-waktu sebelumnya pernah memakai
pertahanan dan dianggap mampu mengatasi persoalan yang dihadapi
sehingga ada kecenderungan untuk mengulang aktivitas yang sama.
 Kedua, sistem bertahan dapat digunakan untuk membatasi informasi
berkaitan dengan pikiran, motif, dan perasaan. Posisi konselor sebagai
manusia tidak menutup kemungkinan melakukan pertahanan. Pengetahuan
konselor tentang perilaku individu tidak secara otomatis sebagai alat untuk
melakukan pertahanan tetapi pengetahun tentang perilaku dapat untuk
menjustifikasi atas perilaku negative yang diperbuatnya.
 Deskripsi tersebut menjelaskan bahwa peluang untuk
melakukan pertahanan diri dapat dilakukan oleh konseli maupun
konselor. Pada situasi ini orang yang berperan dalam
membangun komunikasi efektif adalah konselor.
 Proses konseling harus diawali konselor untuk membuat
komitmen pada dirinya-sendiri untuk menjaga hubungan
konselikonselor secara professional sehingga konselor
mempunyai kesempatan untuk memberikan bantuan seluas-
luasnya.
 Mekanisme dan Taktik Bertahan: Penolakan Realita dalam
Konseling
Penutup
 Pertahanan diri dapat dipakai oleh konselor dan konseli dalam
menolak realita. Konselor sebagai helper harus peka terhadap
gejala yang menunjukkan pertahanan diri.
 Konseli melakukan pertahanan dalam dua seting yaitu mekanisme
bertahan dan taktik bertahan. Mekanisme bertahan sering dipakai
untuk melakukan defense secara intrapersonal, sedangkan taktik
bertahan cenderung interpersonal.
 Kedua jenis sistem bertahan sama-sama dipakai untuk menutupi
atau menolak realita sebagai bentuk ketidakmampuan individu
dalam memandang dirinya secara obyektif. Sistem bertahan
cenderung muncul secara tidak disadari oleh individu tetapi dapat
terlihat melalui refleksti pikiran, perasaan, dan motif seseorang.
 Hal urgen yang perlu dipahami oleh konselor adalah bahwa sistem
bertahan dapat dilakukan oleh konselor sehingga kematangan
kepribadian, penguasaan keterampilan dan pengetahuan konselor
menjadi salah satu kompetensi yang tidak dapat diabaikan.
B. Teori Psikologi Dalam Bimbingan
Konseling
 Konseling yang ditemukan pada abad ke-20 bisa muncul karena tuntutan
kompleksitas dari kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan, semua manusia
pastinya mengalami peristiwa dan juga situasi yang menyebabkan masalah
yang terkadang tidak bisa diatas dan bisa menimbulkan tanda tanda stress.
 Alternatif yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut
adalah dibicarakan bersama dengan keluarga, ahli agama, sahabat dan juga
guru. Namun sayangnya, tidak semua orang tersebut bisa membantu dalam
menyelesaikan masalah sehingga konseling menjadi pilihan terbaik untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Bimbingan konseling di Indonesia sendiri
sudah masuk dalam kurikulum sekolah mulai tahun 1965 dimana bimbingan
dan konseling tidak terpisahkan dari keseluruhan sistem pendidikan di
sekolah.
 Dalam hal ini juga dibutuhkan teori psikologi dalam bimbingan konseling
yang akan dipakai sebagai acuan untuk proses memberikan bimbingan yang
secara lengkap akan kami bahas dalam artikel berikut ini.
1. Teori Psikoanalisis
 Teori psikoanalisis adalah teori kepribadian yang
komperhensif mengenai 3 pokok pembahasan berupa
struktur kepribadian, perkembangan kepribadian dan
juga dinamika kepribadian.
 Psikoanalisis yang juga sering disebut dengan Psikologi
Dalam ini berpendapat bahwa macam macam tingkah
laku dalam psikologi yang dilakukan manusia bersumber
dari dorongan yang letaknya jauh di dalam
ketidaksadaran.
 Sedangkan menurut Corey pada tahun 2009,
psikoanalisis adalah teori pertama yang ada dalam
psikologi terutama yag berkaitan dengan gangguan
kepribadian dan juga perilaku neurotik.
 Tujuan dari psikoanalisis dalam pola psikoanalisis
adalah membuat kesadaran atau conscious akan hal
hal yang tidak disadari atau unconscious konseli.
 Sementara tujuan khususnya adalah untuk
membentuk kembali struktur kepribadian individu
lewat pengutaraan hal hal yang tidak disadari
dengan menitikberatkan pada usaha konselor
supaya seseorang bisa menghayati, memahami dan
juga mengenal akan pengalaman masa kecil
tersebut akan ditata, dianalisis, didiskusikan dan
juga ditafsirkan untuk tujuan supaya kepribadian
klien tersebut bisa direkonstruksi.
2. Teori Analisis Transaksional
 Teori analisis transaksional atau transactional analysis adalah
teori yang memakai setting setiap individu atau kelompok
dengan melibatkan kontrak yang dikembangkan konseli dengan
cara menyebutkan secara jelas mengenai arah dan tujuan dari
proses terapi tersebut.
 Pengambilan fokus di tahap awal akan dilakukan oleh konseli
dengan maksud untuk menekankan pada kapasitas konseli
supaya bisa membuat keputusan yang baru sekaligus sebagai 
cara menghilangkan kecemasan.
 Dalam analisis transaksional ini akan lebih menekankan pada
aspek kognitif, rasional dan juga tingkah laku dari kepribadian.
Dengan ini, analisis transaksional bisa diartikan sebagai metode
yang dipakai untuk mempelajari interaksi antar individu dan juga
pengaruh yang bersifat timbal balik yang menjadi gambaran dari
kepribadian seseorang.
 Tujuan utama dari teori analisis transaksional ini adalah untuk
membantu konseli dalam membuat keputusan baru mengenai
tingkah laku saat ini dan juga arah tujuan hidup. Individu
nantinya akan mendapat kesadaran mengenai kebebasan yang
terkekang karena keputusan awal mengenai posisi hidup
kemudian bisa belajar menentukan arah hidupnya semakin baik.
3. Teori Behavioral
 Behaviorisme merupakan aliran dalam cabang cabang psikologi yang
dibuat oleh John B. Watson tahun 1913 dan kemudian digerakkan oleh
Burrhus Frederic Skinner. Seperti psikoanalisa, behaviorisme adalah
aliran yang revolusioner, berpengaruh , kuat dan mempunyai akar sejarah
mendalam.
 Beberapa filsuf dan ilmuwan sebelum Watson juga membentuk gagasan
tentang pendekatan objektif dalam mempelajari manusia atas dasar
pandangan yang mekanistik dan juga materialistis yang menjadi ciri
utama dari behaviorisme. Behaviorisme melihat jika saat manusia
dilahirkan, pada dasarnya tidak mempunyai macam macam bakat apapun
dan manusia nantinya akan berkembang atas dasar stimulus yang diterima
dari lingkungan.
 Tujuan umum dari terapi tingkah laku atau behavioral ini adalah untuk
menciptakan kondisi baru sebagai proses belajar dan menggunakan
segenap tingkah laku yang akan dipelajari.
4. Teori Rational Emotive Behavior
Therapy

 Teori Rational Emotive Behavior Therapy atau REBT merupakan 


teori belajar kognitif behavior yang lebih menekankan pada
keterkaitan antar perasaan, tingkah laku dan juga pikiran.
 Teori ini dikembangkan oleh Albert Ellis lewat beberapa tahapan
dan menggunakan pandangan dasar jika manusia merupakan
individu yang mempunyai tendensi untuk berpikir irasional yang
bisa didapat lewat belajar sosial. Selain itu, individu juga
mempunyai kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir secara
rasional.
 Pendekatan ini dilakukan untuk membuat individu mengubah
pikiran irasional menjadi rasional dengan menggunakan teori
GABCDE.
5. Teori Realitas

 Teori realitas merupakan jenis terapi dalam psikologi


 merupakan teori yang dikembangkan oleh William
Glasser yang merupakan seorang psikolog asal
California. Ciri dari teori ini adalah tidak hanya
terpaku pada kejadian masa lalu namun mendorong
konseli untuk bisa menghadapi realistas.
 Dalam teori ini tidak memberikan perhatian pada
motif bawah sadar seperti dalam psikoanalisis namun
lebih menekankan pada perubahan tingkah laku agar
bisa lebih tanggung jawab dalam menyusun dan
melakukan tindakan.
6. Teori Eksitensial Humanistik
 Teori ini pada dasarnya percaya jika setiap individu mempunyai
potensi aktif dalam memilih dan membuat keputusan untuk diri
sendiri dan lingkungan. Dalam teori ini lebih menekankan pada
kebebasan yang bertanggung jawab sehingga individu akan
diberi kebebasan secara luas dalam melakukan setiap tindakan
asal berani menanggung risikonya dan terhindar dari perilaku
abnormal.
 Tujuan dari eksistensial humanistik ini adalah memberikan
kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan juga
pertumbuhan klien, menghapus segala penghambat aktualisasi
potensi diri pribadi sehingga membantu klien untuk menemukan
dan memakai kebebasan memilih sekaligus memperluas
kesadaran diri dan juga membantu klien agar secara bebas
bertanggung jawab mengenai arah kehidupan diri sendiri.
7. Teori Client Centered
 Teori Client Centered atau teori terapi yang berpusat pada
klien ini sering juga disebut dengan psikoterapi non directive
yakni cara perawatabn psikis yang dilakukan dengan cara
berkomunikasi antara clien dan konselor supaya bisa
mendapat gambaran serasi antara ideal self atau diri klien
yang ideal dengan acual self atau diri klien yang sesuai
dengan kenyataan.
 Tujuan dari konseling person centered adalah untuk
membantu konseli dalam menemukan konsep diri dalam
psikologis yang jauh lebih positif lewat komunikasi dalam
konseling dimana nantinya konselor akan memposisikan
konseli sebagai orang yang penting, berharga sekaligus
memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat
yakni menerima konseli secara apa adanya.
8. Teori Gestalt

 Teori Gestalt adalah terapi eksistensial yang


memiliki landasan premis jika setiap individu harus
bisa menemukan cara sendiri dalam hidup sekaligus
bertanggung jawab apabila ingin mencapai tingkat
kedewasaan sekaligus menemukan cara mengatasi
stres berat dari masalah.
 Dalam teori yang juga disebut dengan experiental
ini konseli akan merasakan yang dirasakan, pikiran
dan apa yang dilakukan saat konseli sedang
berinteraksi dengan orang lain.
 Tujuan dari konseling Gestalt ini adalah untuk
menciptakan eksperimen yang akan membantu
konseli untuk mencapai kesadaran atas apa yang
dilakukan dan bagaimana dilakukan. Kesadaran
yang termasuk diantaranya adalah insight,
pengetahuan tentang lingkungan, penerimaan diri
dan juga tanggung jawab terhadap pilihan.
 Selain itu, teori ini juga bertujuan untuk membuat
klien mampu melakukan kontak dengan orang
lain dan juga memiliki kemampuan untuk
menerima, mengenali dan berekspresi tentang
perasaan, pikiran serta keyakinan diri.
9. Teori Elektik

 Teori Elektik atau disebut juga dengan konseling integratif merupakan


gabungan dari teori konseling dengan pertimbangan mengenai kelebihan
dan kekurangan dalam setiap teori. Menurut Latipun pada tahun 2001, teori
ini merupakan teori untuk menyelidiki banyak sistem metode dan teori
yang bertujuan supaya bisa paham dan menerapkannya dalam situasi
konseling.
 Teori eklektik ini memandang jika kepribadian manusia adalah bagian yang
terintegritasi, mengalami perubahan dinamis dan juga memiliki macam
macam sifat manusia. Setiap individu dipandang sebagai organisme yang
mengalami integritas atau ada dalam perkembangan secara continue.
 Thorne menyatakan jika tingkah laku manusia akan selalu berubah dan
dinamakan dengan hukum perubahan universal dimana tingkah laku sendiri
merupakan hasil dari statur organisme tidak statis, status situasi pada
perubahan lingkungan interpersoinal dan juga situasi atau kondisi yang
umum.
10. Teori Trait dan Factor

 Teori yang dipelopori Wiliamson ini memiliki pandangan terapi perilaku


kognitif yang rasional dengan memakai pendekatan untuk menenangkan
klien yang kesulitan memakai cara logis rasional untuk memecahkan
masalah tersebut. Dalam teori ini konselor akan diposisikan sebagai pihak
aktif untuk membantu klien supaya bisa mengarahkan perilaku pada
pemecahan dari masalah.
 Menurut teori ini, setiap individu memiliki sistem sifat dengan arti antara
satu faktor dengan lainnya akan saling berhubungan. Faktor yang muncul
dalam individu ini bisa berupa pembawaan minat dan sikap dari diri
sendiri maupun lingkungan.
 Teori psikologi dalam bimbingan konseling dengan teori pendekatan
pengembangan klasik ini akhirnya memunculkan berbagai teori konseling
yang sangat dibutuhkan para konselor sebab teori konseling akan
memberikan landasan pemahaman mengenai proses konseling tersebut
dalam membantu setiap klien untuk bisa keluar dari setiap masalahnya.
TERIMA KASIH
SEMOGA BERMANFAAT

Anda mungkin juga menyukai