Anda di halaman 1dari 9

RESUME II

KONSELING LINTAS BUDAYA

Oleh

Rahmiyati Igirisa

NIM : 111420046

Instagram : @rahmiigirisa_

Whatsapp : 0822-7144-5498

E-mail : igirisarahmiyati@gmail.com

Alamat : Lorong mutiara, Limba U 1, Kota Selatan


PETA KONSEP

Pendekatan etik dan emik dalam


memahami perkembangan manusia Isu-isu budaya mengenai stereotype,
secara budaya prasangka, gender, dan rasisme

Prasangka
Manfaat etik dan emik
Stereotype
Rasisme
Gender
1. Pendekatan etik dan emik dalam memahami perkembangan manusia secara budaya
Bahasa dan budaya adalah milik suatu kelompok masyarakat. Dari sisi bahasa,
kelompok dimaksud disebut guyup tutur/ masyarakat bahasa (speech community),
sedangkan dari sisi budaya disebut guyub budaya/ kelompok etnik (ethnic group).
Dari sisi hakikat, bahasa dan budaya bersifat arbitrer/ manasuka. Sifat
kemanasukaan itu dapat menyebabkan persepsi yang berbeda, bahkan bertentangan
antara guyup tutur dan guyup budaya yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya
sifat kemansukaan itu, maka khusus untuk penelitian terhadap pemakaian bahasa
dalam dimensi budaya diperlukan pendekatan gabungan antara etik-emik.
Pendekatan etik-emik ini menganut prinsip bahwa yang paling mengetahui
budaya suatu kelompok etnik adalah kelompok etnik itu sendiri. Meskipun demikian,
pemilik budaya kadang-kadang tidak tuntas menjelaskan muatan budaya yang
dimilikinya itu. Atas dasar dikotomi pemahaman budaya oleh pendukungnya itu,
diperlukan pendekatan yang dapat menjadi jalan keluar dalam penelitian linguistik
kebudayaan, yakni pendekatan etik-emik.
Etik, menurut Duranti (1997:172) mengacu pada hal-hak yang berkaitan
dengan budaya yang menggambarkan klasifikasi dan fitur-fiturnya menurut temuan
pengamat/ peneliti. Sementara emik mengacu pada sudut pandang suatu masyarakat
dalam memperlajari dan memberi makna terhadap satu tindakan, atau membedakan
dua tindakan. Etik adalah apa yang dipahami peneliti, sementara emik adalah apa
yang ada dalam benak anggota guyup budaya.
Keduanya bermanfaat karena: (1) penafsiran peneliti diperlukan dalam analisis
bahasa dan budaya; (2) intuisi pemilik bahasa dan budaya sangat diperlukan dalam
upaya memahami bahasa bahasa dalam perpektif budaya; dan (3) hasil penelitian
yang ideal adalah perpaduan antara yang dikatakan pemilik dan yang diinterpretasikan
oleh peneliti. Sehubungan dengan itu, diperlukan cara-cara etnografis.
2. Isu-isu budaya mengenai stereotype, prasangka, gender, dan rasisme
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya
meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa
Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan
kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecahbelah secara meningkat pula
(Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan
pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan
bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya.
Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan
perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas
budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21 Dalam bidang
konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan
keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen,
1991). Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang
mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk
mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling
lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbedabeda; sebagaimana
keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya. Definisi-definisi awal
tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan
sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas
budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-
argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh
bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna,
dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan,
bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994). Para ahli dan
praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal
atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-
kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-
karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling
khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun
menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang
menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya
menjelaskan karakteristikkarakteristik, nilai-nilai, dan teknikteknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan
tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai
hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-
kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien
yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang
dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor
sosioekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37). Konseling lintas
budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias
budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif.
Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan
melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas
budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.
Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
encounter) antara konselor dan klien (Supriadi, 2001:6).
Relevansi teori-teori utama dalam konseling dan psikoterapi yang lahir dalam
masyarakat Barat untuk diterapkan di semua konteks sosial budaya di dunia
dipertanyakan, bahkan oleh para ahli di Negara Barat sendiri. Wohl (1986) misalnya
menunjukkan resiko yang timbul apabila teori-teori utama dalam konseling (Rogerian,
Freudian, Adlerian, Traits And Factor Theory. Eksistensialisme) diterapkan begitu
saja di tempat lain, mengingat konteks budaya tempat teori-teori itu lahir sangat
berbeda.
Secara jujur ia mengatakan bahwa “verbal psychotherapy, especially of the
psychodynamic and psychoanalytic orientations, has not traveled well beyond
international and cultural frontiers”. Bias budaya dalam teori konseling dan
psikoterapi secara tegas dilukiskan pula oleh Pande (Wohl, 1986: 139) dengan kata-
kata : “that psychotherapy was a Western reaction to pecualiarly Western problems
of living rooted in Western styke of life”. Dari Dari penelitian Harrison
(Atkinson, 1985: 193) diketahui misalnya bahwa klien cenderung lebih
menyukai konselor dari ras yang sama. Hal ini sesuai dengan apa yang dalam
komunikasi disebut heterophily dan homophily (Rogers: 1983: 18-19). Menurutnya,
komunikasi yang efektif terjadi apabila dua individu memiliki banyak kesamaan
(homophilous). Dan begitu pun sebaliknya. Ras dan etnik merupakan identitas dasar
yang secara tidak disadari mengikat individu-individu dalam etnik/ras yang
bersangkutan, yang menurut arl Gustav Jung disebut ketidak sadaran kolektif yang
bersifat primordial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Efektivitas proses
konseling juga dipegaruhi oleh sifat-sifat psikologis yang terkait dengan latar
belakang etnik/budaya konselor. Draguns (1986: 8) memberikan contoh bahwa
konselor kulit putih lebih banyak menggunakan ilustrasi dengan didominasi perilaku
individual, sedangkan konselor kulit hitam menggunakan ungkapan individual
maupun sosial. Triandis (1986) yang dianggap sebagai pelopor psikologi Lintas
Budaya mendekati isu konseling lintas budaya dari segi perbedaan budaya
individualistic dan kolektif. Budaya individualistic adalah cirri masyarakat Barat,
sedangkan budaya Timur dan Amerika Latin adalah kolektif. Dalam budaya kolektif,
perilaku sangat ditentukan oleh keanggotaan kelompok dan kebersamaan dan
harmoni. Sedangkan budaya individualistik oleh “pilihan pribadi” dan kebebasan.
Budaya kolektif lebih banyak memiliki power distance, yaitu orang yang
mempunyai kedudukan tinggi dan berbeda dalam masyarakat, sedangkan dalam
budaya individualistic power distance lebih rendah dan hubungan pun lebih egaliter.
Dikaitkan dengan konseling, dalam konteks di mana power distance tinggi, hubungan
konselor dan klien menjadi lebih berjarak dank lien tergantung pada konselor. Usaha
konselor untuk mengurangi jarak bisa dianggap sebagai sebagai sesuatu yang dapat
mengganggu persepsi klien terhadap konselor.
Prasangka adalah kebencian, kecurigaan, dan rasa tidak suka yang sifatnya
irrasional terhadap kelompok etnik, ras, agama, atau komunitas tertentu. Seseorang
dilihat bukan berdasarkan apa yang dilakukannya, melainkan berdasarkan
karakteristik yang superficial bahwa dia itu anggota suatu kelompok. Orang yang
memiliki kecenderungan kuat berprasangka akan sulit berubah sikapnya, meskipun
kepadanya telah diberikan informasi yang sebaliknya. Dalam hubungan antar etnik,
ras, agama, dan kleompok masyarakat di dunia, prasangka masih sangat tebal.
Rasisme adalah setiap kebijakan, praktik, kepercayaan, dan sikap yang
diterapkan kepada kelompok individu berdasarkan rasnya (Jandt, 1998: 79). Rasisme
lebih berbahaya daripada prasangka karena disertai penggunaan kekuatan untuk
menekan kelompok lain yang biasanya minoritas. Sikap seperti ini dapat ditemukan di
dunia di bagian manapun sepanjang sejarah. Misalnya, kekejaman yang dialami
bangsa-bangsa Eropa Utara berambut Pirang oleh Tentara Romawi pada dua ribu
tahun yang lalu yang diabadikan dalam Collosium di Roma, dan lain sebagainya.
Sama halnya dengan stereotip dan prasangka, konselor lintas budaya juga
harus mampu melepaskan diri dari sikap- sikap yang cenderung rasis berdasarkan
prinsip yang telah dikenal, yaitu “menerima klien apa adanya dan tanpa syarat.
Sejarah munculnya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan lahir dari
proses yang sangat panjang. Perbedaan-perbedaan tersebut kemudian dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui
ajaran keagamaan (tafsir keagamaan) dan Negara. Melalui proses yang panjang,
sosialisasi perbedaan gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan,
seolah-olah bersifat biologis, tidak bisa diubah, sehingga kemudian perbedaan-
perbedaan gender dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan (Fakih
2001). Setiap masyarakat memiliki berbagai aturan untuk diikuti oleh anggotanya
seperti mereka belajar memainkan peran feminisme atau maskulin, sebagaimana
halnya setiap masyarakat memiliki bahasa-bahasanya tersendiri untuk istilah
klasifikasi gender tersebut (Nasir and Lilianti 2017). Perbedaan gender sesungguhnya
tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun
yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan
(Fakih 2001).
Secara khusus, dalam menghadapi permasalahan perempuan yang
mempelajari bidang filsafat pernah dibahas oleh Gadis Arivia (2003), menurutnya
filsafat tampak tidak mempunyai karakteristik yang universal, netral, bebas nilai serta
terbebas dari bias gender (Arivia 2003). Lebih lanjut, filsafat cenderung menunjukkan
watak malestream (mempunyai arus pokok pada pemikiran dan secara otomatis untuk
kepentingan lakilaki). Tetapi, karena proses munculnya filsafat itu bersumber dari
fakta kehidupan konkret, maka entitas yang sebenarnya malestream itu dapat
bertransformasi menjadi mainstream. Pada akhirnya, gagasan-gagasan yang
menyelimuti kekuasaan laki-laki dengan tameng filsafat dianggap benar secara mutlak
(Faizah 2003). Oleh sebab itu, kenderungan pemikiran filsafat yang dianggap terlalu
maskulin ini perlu didekonstruksi.
Marry Elen White dalam bukunya The History of Women Philosophers
(Harahap 2011), telah memperlihatkan bahwa sejak 600 SM hingga 500 SM, karya-
karya filsafat perempuan telah muncul. Dari filsafat-filsafat Yunani muncul nama-
nama seperti Themistoclea, Theano I dan II, Arignote, Myia, Damo, Aesara dari
Lucania, Phyntis dari Sparta, Perictione I dan II, Aspasia, dan filsuf-filsuf perempuan
lainnya yang masuk dalam kategori humanis seperti Isotta Nigrola, Laora Creta, dan
Caritas Pickheimer. Selama ini kita diperlihatkan bahwa yang sering berfilsafat adalah
laki-laki dan hal ini sama sekali tidaklah benar. Hal ini tidak mencenangkan, sebab
sejarah selalu dibentuk oleh orang yang berkuasa. Bisa jadi pada saat itu yang
memimpin adalah seorang misioginis yang tak mau mengakui peran perempuan
(Harahap 2011).
Indonesia mempunyai berbagai macam suku, agama, dan ras. Namun,
perbedaan tersebut terkadang membuat seseorang bersikap rasis terhadap sesama.
Hal ini sering kali terjadi di lingkungan sekitar kita. Misalnya menganggap rasnya
lebih tinggi daripada ras lain, adanya ujaran kebencian terhadap suatu ras dengan
mengejek ras orang lain, dan masih banyaknya masyarakat yang hanya ingin bergaul
dengan yang satu suku, satu agama, ataupun satu ras.
Rasisme adalah suatu sikap yang di ciptakan oleh manusia terhadap
manusia untuk membuat suatu pembatas derajat di antara manusia melalui budaya,
kulit, atau segala suatu yang menurut mereka aneh/ berbeda di dalam kelompok
merek
DAFTAR PUSTAKA
El Amady, R.-. (2015). Etik Dan Emik Pada Karya Etnografi. Jurnal Antropologi: Isu-Isu
Sosial Budaya, 16(2), 167. https://doi.org/10.25077/jantro.v16i2.24
Gunawan, I., Khaerurozi, A., & Maarif, S. (2021). Persepsi Mahasiswa Mengenai Isu
Kesetaraan Gender Dalam Mempelajari Bidang Filsafat. Equalita: Jurnal Studi Gender
Dan Anak, 3(1), 38. https://doi.org/10.24235/equalita.v3i1.8176
Masturi, M. (2015). Counselor Encapsulation: Sebuah Tantangan Dalam Pelayanan
Konseling Lintas Budaya. Jurnal Konseling Gusjigang, 1(2).
https://doi.org/10.24176/jkg.v1i2.407
Sabon Ola, S. (2009). Pendekatan Dalam Penelitian Linguistik Kebudayaan. Linguistika,
16(31).
Santi Deliani Rahmawati, H. S. (2020). MENANGKAL RASISME DI ERA DIGITAL. 3(2017),
54–67. http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf

Anda mungkin juga menyukai