Anda di halaman 1dari 12

RELATIVISME BUDAYA

Tidak semua relativisme mempunyai pandangan yang sama tentang hak asasi
manusia internasional. Ada yang menolak semua jenis universalisme tetapi ada
juga yang menerima universalisme selama paham tersebut tidak merusak
keyakinan inti dari budaya mereka.

Relativisme berguna sebagai peringatan untuk kita bahwa dalam


mempelajari budaya yang berbeda dengan budaya kita,
sebaiknya harus kita usahakan supaya kita tidak terpengaruh
oleh prakonsepsi kebudayaan kita sendiri. Apabila relativisme
kita pandang demikian, ia menjadi pegangan metodologis dan
bukan posisi ideologis. Meskipun ada perbedaan di kalangan antropolog
dalam versi ideologis mengenai relativitas, semua antropolog menerima versi
metodologisnya. Apabila sikap relativistik dikukuhkan secara konsisten dan tak
tergantikan, seluruh upaya antropologi akan tergerogoti dari dalam. Relevansi
lintas budaya (cross-cultural) dengan sendirinya akan hancur, padahal relevansi
semacam itu terdapat dalam seluruh pengetahuan antropologis yang terhimpun
hingga kini.

Jack Donnelly membedakan relativisme budaya kedalam tiga kategori.


Pertama, penganut ‘relativisme budaya radikal’ yang mengatakan

bahwa budaya adalah satu-satunya sumber kebenaran dan


moral atau aturan-aturan hukum lainnya.
Perspektif ini menyebabkan lahirnya fundamentalisme yang menolak
semua nilai yang berasal dari luar. Didalam konteks budaya, perspektif
tersebut bisa melahirkan pemikiran-pemikiran yang mengagungkan budaya
sendiri dan memandang rendah budaya lain atau ‘cauvinisme.’ Sedangkan
didalam konteks agama, pemikiran seperti itu bisa melahirkan adanya
radikalisme dan fundamentalisme agama yang menolak kebenaran agama
di agama lain.
Penganut relativisme radikal ini menilai bahwa budaya, tradisi atau agama
mereka mengandung ‘nilai-nilai agung’ yang tidak bisa tergantikan oleh
nilai-nilai yang lain. Oleh karena itu, perspektif tersebut menolak semua
norma-norma dari luar yang dianggap bisa merusak nilai inti dari agama
tersebut.

Didalam konteks hak asasi manusia, tentu relativisme radikal ini menolak ke-
universal-an hak asasi manusia. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat
ini. Misalnya mereka curiga bahwa ada ideologi lain dibalik hak asasi manusia
seperti westernisasi atau orientalisme untuk melemahkan ideologi penganut
relativisme. Ada juga yang beranggapan bahwa mereka tidak perlu menerapkan
hak asasi manusia internasional karena ideologi mereka sudah sepenuhnya
menjamin hak tersebut.

Kedua, penganut ‘relativisme budaya kuat’ dimana mereka


menganggap bahwa budaya adalah sumber utama dari
kebenaran dari hak atau aturan. Sementara pada saat yang
bersamaan, penganut faham ini menerima sebagian kecil dari
hak-hak dasar manusia yang berasal dari luar.
 Didalam konteks agama, perspektif ini bisa menerima norma-norma yang
tidak ‘menyerang’ budaya inti dari agama tersebut yakni ‘keyakinan.’
Penyerangan terhadap keyakinan tersebut dianggap bisa menghilangkan
nilai-nilai suci dari agama tersebut.
 Sedangkan didalam konteks budaya, penyerangan terhadap budaya inti
dianggap bisa merubah struktur masyarakat. Seperti misalnya ‘kesetaraan
gender’ yang dikembangkan oleh Konvensi tentang Semua Jenis
Diskriminasi terhadap Perempuan dianggap menyerang ‘hegemoni’ laki-
laki terhadap perempuan di dalam beberapa ajaran agama dan budaya
tertentu. Salah satu diantara kesetaraan gender yang ditolak adalah
‘dilarangnya praktik poligami’ didalam pernikahan.

Ketiga, penganut ‘relativisme budaya lemah’ dimana kelompok ini

menganggap bahwa budaya adalah sumber kebenaran yang


sekunder atas hak dan norma-norma.
Perspektif ini juga bisa disebut sebagai perspektif liberal karena
penganut paham ini bisa menerima semua jenis nilai yang
berasal dari luar selama nilai-nilai tersebut dianggap positif.
Akan tetapi penganut perspektif ini tidak serta merta meninggalkan identitas
lama karena mereka masih mempraktikan nilai-nilai positif yang berasal dari
budaya tersebut. Sebaliknya, ketika nilai tersebut dilihat mengandung unsur yang
bersifat sektarian dan primordial, maka kelompok ini bisa mendadopsi nilai dari
luar untuk menyempurnakan nilai yang berasal dari budaya mereka.

Beberapa hak fundamental yang dianggap mengganggu atau menggantikan


budaya inti dari paham relativisme radikal ini adalah hak beragama, hak untuk
hidup, dan kesetaraan gender. Di beberapa kesempatan, konsep tentang
kebebasan beragama juga menghadapi ‘konflik hukum’ yang beragam dengan
perspektif relativisme budaya yang kuat. Ada beberapa klausul didalam hak
asasi manusia yang bersinggungan dengan relatifisme budaya yang kuat.
Seperti misalnya, mereka mengakui keberadaan agama lain tetapi melarang
seseorang dari agamanya untuk berpindah ke agama lain. Contoh lainnnya
adalah mereka menghormati agama lain atas dasar mengakui hak penganut
agama tersebut tetapi tidak menerima ketika ajaran agamanya ditafsirkan secara
berbeda. Oleh karena itu kemudian muncul istilah ‘ajaran agama yang
menyimpang, agama sesat atau menyekutukan Tuhan.’

Pada umumnya hak asasi manusia tidak mengalami kesulitan dalam


menghadapi relativisme budaya yang lemah atau ‘liberal’ karena perspektif ini
bisa menerima semua etika dan moralitas dari masyarakat luar selama nilai-nilai
tersebut dianggap positif. Mereka berusaha mengembangkan sebuah perspektif
yang universal, tidak terkooptasi dengan ajaran agama atau kepercayaan
tertentu dan praktik-praktik budaya atau tradisi yang bersifat sektarian dan
primordial. Pemikiran yang terbuka dari kelompok ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas dari budaya mereka dengan menghilangkan semua
praktik yang diskriminatif dari budaya, tradisi atau agama.

Perspektif ini juga ingin memperkuat kelompok yang termarjinalkan secara


politik, sosial, dan budaya yang selama ini menjadi korban praktik-praktik yang
diskriminatif tersebut. Misalnya, hak perempuan didalam isu kesetaraan gender,
kesetaraaan hak dan kebebasan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin atau
agama, atau memperkuat sekte-sekte agama baru atau minoritas didalam hak
kebebasan beragama.

Didalam masyarakat yang masih berpegang teguh pada primordialisme agama,


budaya atau tradisi, perspektif liberal mendapat tantangan yang sangat keras.
Keadaan ini mengakibatkan implementasi hak asasi manusia menjadi sulit.
Alasan pertama adalah karena penerapan hak tersebut sangat sulit dilakukan
tanpa mengadopsi nilai-nilai lokalitas budaya setempat. Kedua, lembaga-
lembaga internasional tentang HAM tidak mengakui semua jenis eksistensi dari
relativitas budaya yang mengandung unsur yang diskriminatif. Budaya tersebut
dilarang dengan alasan bahwa banyak dari manifestasi budaya tersebut
digunakan untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi manusia. Nilai dari
budaya yang bersifat lokal tidak bisa diterapkan ketika manifestasinya bisa
mengganggu atau melanggar implementasi dari hak asasi manusia. Seperti
misalnya moralitas dan etika yang berasal dari agama-agama resmi suatu
negara seringkali mendiskriminasi atau membatasi ruang lingkup hak atas
kebebasan beragama.
Seni Budaya,

Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur,


dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam
ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things
of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan
menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan
secara positif.

Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya


kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum
mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing.
Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan
masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu
kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran
timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi
masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas
lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti
Kebudayaan Nasional yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan
definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Franz Magnis Suseno
dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam
Kebudayaan Barat Modern:

a. Kebudayaan Teknologi Modern

Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan


Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan
anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern
jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi
dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat,
misalnya dari Jepang.

Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks.


Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih
hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan
bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan
yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media
komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah
tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup
sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.

Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas
nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi
ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis,
Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New
Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan
keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis
Modern secara mencolok bersifat instumental.

b. Kebudayaan Modern Tiruan

Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya


mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi
sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya
kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall),
dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).

Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia


bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran
hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak
dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial,
semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.

Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan
dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia
artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita.
Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri
dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan
penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah
sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.

Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan


membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli,
melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan
membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan
sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi
kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan
karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap
gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.

c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat

Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat
Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi
bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam
Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi
ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga
Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-
masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu
belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.

Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu,
dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan
mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan,
apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan
religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
SITUASI BUDAYA INDONESIA

Dalam pemaparan tentang akar budaya di atas tadi telah kita ketahui bahwa
nenek moyang kita adalah nenek moyang yang tangguh dan bangsa ini telah
mampu melakukan akulturasi secara positif sehingga kita bisa mengintegrasikan
kebudayaan luar untuk meningkatkan budaya sendiri. Namun kita harus melihat
secara riil bagaimanakah keadaan budaya kita hari ini.

Sajiman Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya di tahun 1986


menyampaikan tentang persoalah kita hari ini, yaitu kurang kuatnya kemampuan
mengeluarkan energi pada manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang
adanya daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana konsep yang baik, hasil
dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena kurang mampu
untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada disiplin dan pengendalikan
diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang kesadaran terhadap ketentuan dan
peraturan yang berlaku, melainkan karena kurang mampu untuk membawakan
diri masing-masing menetapi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya
kemampuan mnegeluarkan energi juga berakibat pada besarnya ketergantungan
pada orang lain. Kemandirian sukar ditemukan dan mempunyai dampak dalam
segala aspek kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung jawab.

Menurut beliau kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya,


perbaikan dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan
budaya. Pemecahannya harus melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and
Character Building (Surjohadiprodjo, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya
Kita; 1999).
Mochtar Lubis juga dalam kesempatan yang sama saat Temu Budaya tahun
1986, menyampaikan bahwa kondisi budaya kita hari ini ditandai secara dominan
oleh ciri:
1. Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya
Pancasila dengan kenyataan.
2. Kemunafikan.
3. Lemahnya kreativitas.
4. Etos kerja brengsek.
5. Neo-Feodalisme.
6. Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).

Anda mungkin juga menyukai