Dalam Seni
(Tanggapan terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi)
Oleh
I Made Bandem
1
Makalah ini dipresentasikan pada Semiloka Pornografi dan Pornoaksi yang diselenggarakan oleh Yayasan
Sandhi Murti, Imam Bonjol Denpasar, 11 Februari 2006.
1
pengertian secara definitif. Artinya, harus dipertanyakan misalnya, seperti
apa dan bagaimana batas-batas tentang pornografi dan kekerasan, dan
kebebasan berekspresi seni, seiring dengan bergesernya norma-norma
dalam masyarakat.
Berkaitan dengan media dan bentuk mediasi seperti itu, kini dapat
dilihat terdapat dua jenis pornografi yaitu “pornografi perangkat keras”
(hard core) dan “pornografi perangkat lunak” (soft core). Perbedaan dari
keduanya hanya terdapat pada penggunaan materi, dan yang paling
penting terdapat pada subject matter (masalah dan ruang lingkupnya).
Pornografi perangkat lunak tidak memasukkan masalah-masalah
kekerasan (kejahatan); jika laki-laki yang ditampilkan biasanya tidak
menunjukkan organ intinya. Pada pornografi perangkat keras, seperti
yang terdapat di Amerika Serikat, atau Eropa, sering terdapat teks yang
berhubungan secara terperinci dengan gambar atau foto yang disajikan.
Apa pun jenis dan bentuknya, pornografi pada intinya terdiri dari
kombinasi persentuhan seksual dengan tujuan utama adalah untuk
membangkitkan gairah seksual. Provokasinya atau tepatnya mediasinya
diupayakan dengan berbagai cara dan strategi yang bermacam-macam,
antara lain sex shop, iklan, telefon, video, dan sebagainya.
2
perempuan seperti Rieke Diah Pitaloka, Ayu Utami, Nukila Amal, atau
Djenar Maesa Ayu, mengungkapkan ikhwal seksualitas secara terbuka.
Tentu saja karya-karya mereka menarik untuk dilihat dan didiskusikan
secara kritis, berkaitan dengan topik kita kali ini. Karya-karya seni rupa
memiliki sejarah yang panjang dalam kaitan perdebatan antara mana
yang “seni” dan mana yang “porno” dan sudah pasti terus menerus dalam
bingkai pengertian yang bergeser. Perdebatan yang tak kunjung selesai
itulah rupanya yang dijadikan kesempatan ‘perlindungan’ para produsen
hiburan yang bernuansa pornografi/seks dan kekerasan, dengan
mengatasnamakan sebagai “seni.”
Dalam seni rupa Bali, sebuah patung Datonta yang disebut Ratu
Pancering Jagat terdapat di desa Trunyan, Kintamani merupakan
peninggalan megalitik terbesar di Bali dengan tinggi patung sekitar 4
meter. Patung telanjang bulat itu menampakkan kelaminnya lembut
mengarah pada sebuah lobang yang terletak diantara kedua kaki patung
itu. Lagi-lagi wujud ini adalah manifestasi idiologi ‘lingga-yoni.’ Di istana
Klungkung ditemukan sebuah relief batu padas yang menggambarkan
seorang laki-laki sedang diikat pada sebatang pohon menunjukkan alat
vitalnya tengah ereksi ketika menyaksikan dua orang wanita sedang
telanjang bulat di depannya. Masih berkaitan dengan seni relief, sebuah
panil dari kayu juga dijumpai di sebuah pura di Bali yang
menggambarkan seorang laki-laki sedang tersangkut di atas pohon kayu,
diapit oleh dua ekor lembu, kainnya lepas dan alat kelaminnya tampak
panjang dan besar.
3
Penggambaran erotisme dalam seni lukis Bali malah lebih dasyat
dibandingkan dengan seni lainnya. Seorang pelukis tua Dewa Putu
Mokoh dari Pengosekan Ubud senantiasa menggali dan memaknai
ketelanjangan dengan estétika seni rupa tradisi lokal. Bahkan muridnya
yang bernama Gusti Ketut Murniasih (kini almarhum) malah
menghadirkan teror visual, dimana wujud kelamin manusia selalu hadir
dalam kanvas-kanvasnya. Gusti Ketut Murniasih yang sempat belajar dari
Dewa Putu Mokoh itu seakan-akan meluapkan eskpresi bawah sadarnya,
termasuk pula ketegangan psikologisnya sebagai perempuan yang
meninggal terserang kanker pada rahimnya (Kun Adnyana, Balipost
2005).
4
wanita lain, bercanda cabul dengannya, memegang busana dan
hiasannya, serta duduk di tempat tidur dengannya adalah perbuatan
yang (hukumannya) harus dianggap sama dengan berzina” (Manawa
Dharma Sastra VIII.357). “Hendaknya bagian yang sensitif dari tubuh ini
jangan diperlihatkan, karena hal itu akan merusak mental dari orang
yang melihatnya” (Kama Sutra III.12).
5
“pengertian” maupun “batasan-batasan” berkaitan dengan pornografi dan
pornoaksi. Akan tetapi, yang paling penting adalah merumuskan
bagaimana solusi penanggulangannya .Tentu saja sebelum merumuskan
“pengertian maupun “solusi” hal-hal yang berkaitan dengan latar
belakang budaya masyarakat tertentu, penertiban media sesuai Undang-
Undang Pers, adanya political will dari pemerintah dan penegak hukum,
mengoptimalkan lembaga sensor seperti Badan Sensor Film (BSF) secara
benar dan proporsional.
6
Kepustakaan
Cholis, ST. “Antara Seni Cita Rasa Ketelanjangan.” Special Gallery, 2001.
Murti, Lila dan I Nengah Dana. “Rumusan Hasil Seminar Pornografi dan
Pornoaksi Menurut Hindu.” Jakarta: STAH Dharma Nusantara,
Desember 2005.