Anda di halaman 1dari 5

Etika dan Estetika dalam Naskah Drama Sidang Susila

Disusun oleh:
Nova Dwi Pamungkas (122011133049)
Aulia Garnish Musyafa (122011133063)
Rahmat Yusuf Eka Cahyadi (122011133047)
Irma Zahrotun Nisa’ (122011133070)
Dwi Muthi’atul Izzah (122011133079)

Bahasa dan Sastra Indonesia


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
2021
Latar Belakang
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang dalam bentuk jamaknya ta etha memiliki arti
yaitu adat kebiasaan. Etika merupakan kajian tentang bagaimana cara pengimplementasian hal
yang baik bagi kehidupan manusia. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan moral yang berupa ilmu. Menurut Endraswara (2010:18) etika
merupakan rambu-rambu normatif untuk menilai apakah pekerti seseorang dianggap
mencerminkan budi yang luhur atau tidak dan hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia.
Sedangkan estetika adalah wacana tertentu bobot sastra yang tidak boleh ditawar lagi
(Endraswara, 2011:79). Secara sederhana, estetika merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebut keindahan yang berarti sesuatu yang baik, sifat yang baik, keutamaan, dan kebajikan.
Di dalam bahasa Indonesia, keindahan juga memiliki arti peduli, atau menaruh perhatian
terhadap sesuatu.
Dalam sastra, etika dan estetika merupakan hal yang tidak dielakkan lagi keberadaannya.
Secara etimologis, sastra berasal dari bahasa sanskerta yang berarti alat musik untuk mengajar
jelas mengimplementasikan etika (Ratna, 2011: 156). Semua bentuk karya sastra adalah cerita,
perumpamaan, dan lambang yang dapat dicerminkan, diteladani sebagai contoh yang benar bagi
pembacanya. Karya sastra, khususnya karya sastra lama, penuh dengan nasihat, etika, hukum,
adat-istiadat, bahkan juga berisi tentang ilmu pengetahuan. Dalam karya sastra juga tak luput
dari nilai estetika yang dalam bentuk novel dapat ditinjau dari segi tata bahasanya maupun
bagaimana seorang pengarang menyusun sebuah cerita.
Salah satu bentuk karya sastra adalah naskah drama. Sebagai contoh yang digunakan
untuk topik bahasan dalam makalah ini yaitu naskah drama Sidang Susila karya Agus Noor dan
Ayu Utami. Naskah ini mengandung banyak pesan sekaligus kritik terhadap RUU Pornografi
dan Pornoaksi yang ramai diperbincangkan sekitar tahun 2006. Tak hanya itu, yang menarik dari
naskah ini adalah pengandaian perempuan yang digambarkan oleh tokoh laki-laki dengan
bercirikan seperti perempuan porno. Oleh karena itu, naskah drama ini menarik untuk dikaji
lebih dalam dengan melihat nilai etika dan estetika yang terkandung di dalamnya.

Rumusan Masalah
Masalah yang dapat ditemukan di dalam naskah drama Sidang Susila ini berupa
penerapan aturan hukum yang sekilas dilakukan untuk membasmi nilai moral yang dipandang
buruk dalam masyarakat tersebut, khususnya pornografi. Akan tetapi, penerapan aturan tersebut,
yaitu Undang-Undang Susila, tidak memperhatikan kesaksian sang tokoh utama, Susila. Penegak
hukum di dalam naskah ini pun justru berperilaku yang bertentangan dengan hukum yang
diterapkan.

Konsep Teoritik 
Menurut Aristoteles, Etika terbagi menjadi dua, yaitu Terminius Technicus dan Manner
and Custom. Terminius Technicus sendiri merupakan salah satu jenis etika yang dipelajari
sebagai ilmu pengetahuan, di dalamnya manusia mempelajari tentang suatu masalah tindakan
atau perbuatan dari manusia itu sendiri.Sedangkan, Manner and Custom merupakan pengertian
etika yang berkaitan atau berhubungan dengan adat kebiasaan atau tata cara yang melekat pada
diri manusia dan sangat terkait dengan definisi baik dan buruk suatu tingkah laku, perilaku, atau
perbuatan manusia. Sementara itu, terkait estetika, menurut Bruce Allsopp, estetika merupakan
sebuah cabang  ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang aturan serta proses dalam
menciptakan sebuah  karya seni yang diharapkan dapat menimbulkan perasaan positif bagi
orang-orang  yang melihat dan merasakannya. 
Etika sendiri memiliki beberapa teori yang semakin berkembang seiring perkembangan
zaman, teori ini antara lain, Teori Moralitas Sosial, Teori Kepribadian Mulia, Teori Teleologi,
dan Teori Deontologi, dalam makalah ini, kami menggunakan teori Moralitas Sosial sebagai
teori pendukung atas penjabaran etika dan estetika di dalam Naskah Drama Sidang Susila.  Teori
moralitas sosial berasal dari pemikiran Thomas Hobbes (1588- 1679), Emile Durkheim (1858-
1917) dan Max Weber (1864-1920).  Teori ini menyebutkan bahwa manusia hidup secara
bermasyarakat. Oleh karena itu, moralitas sosial menjadi landasan dalam kehidupan manusia.
Moralitas sosial ada untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia sebagai anggota
masyarakat dalam keadaan aman dan damai. Teori moralitas sosial menekankan bahwa segala
peraturan, nilai, norma dan tatasusila yang diwujudkan dalam sebuah masyarakat itu adalah
sesuatu yang disetujui bersama. Kewujudannya juga adalah untuk kepentingan, kebaikan, serta
keselamatan dari kelompok masyarakat, Contohnya, masyarakat saling hormat menghormati,
menuntut nilai berdikari, kasih sayang, dan sebagainya. 
Naskah  Drama Sidang Susila menggambarkan bagaimana etika dilanggar yaitu
mengabaikan moralitas sosial dan hanya mengedepankan peraturan yang dijalani tanpa
memperhatikan bagaimana kondisi dari Susila, seorang tokoh yang tidak bersalah dan diminta 
untuk bungkam atas segala pembelaan yang ia berikan.  Selain itu, di Naskah Drama Susila ini
juga terdapat penggambaran perilaku hakim yang gemar bersikap tamak, korupsi, zalim. Padahal
di teori moralitas sosial ini, ketiga sikap tersebut sudah sepantasnya dihilangkan dari tatanan
hidup manusia karena hanya dapat mengganggu kesejahteraan hidup manusia. Dengan demikian,
teori ini digunakan sebagai landasan untuk memperkuat penjabaran kami tentang pelanggaran
etika dan estetika yang digambarkan lewat Naskah Drama Sidang Susila ini.

Signifikansi terhadap Kehidupan Aktual


Sidang Susila merupakan naskah drama yang mengandung banyak nilai-nilai moral yang
memiliki hubungan erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini. Naskah ini
memberikan banyak kritikan akan pentingnya memperbaiki hukum di negara ini yang masih
belum cukup adil. Sidang Susila menggambarkan ketegasan dan maksud baik para penegak
hukum yang ingin menuntaskan kasus pornografi dan pornoaksi yang terjadi agar nilai moral
masyarakat tetap terjaga. Para penegak hukum ini ingin pelaku kejahatan dihukum agar tidak
mengganggu ketertiban dan meresahkan masyarakat. Namun maksud baik penegak hukum itu
rupanya hanya berlaku pada masyarakat saja tetapi tidak dilakukan pada dirinya sendiri.
 
Para penegak hukum di sini tidak memperlakukan pelaku kejahatan dengan baik dan
bertindak represif. Banyak adegan yang menunjukkan tindakan tidak pantas yang dilakukan
aparat baik dalam meringkus penjahat maupun pada saat penjahat tersebut berada dipenjara.
Pelaku kejahatan disini tidak diperlakukan dengan wajar. Dalam kehidupan nyata tindakan aparat
yang seperti ini sangat tidak bermoral namun pada nyatanya masih banyak sekali saat ini
masyarakat maupun aparat yang melakukan kekerasan pada orang yang diduga melakukan
kejahatan. Seharusnya aparat bertindak sesuai prosedur dan tidak melakukan kekerasan apapun
terhadap seorang pelaku kejahatan. Naskah ini banyak mengandung kritik terhadap kehidupan
sosial yang masih belum benar. Orang-orang perlu disadarkan akan pentingnya kesetaraan dan
keadilan dalam hukum. Segala tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan etika yang ada dan
segala bentuk kejahatan harus diadili sesuai dengan hukum yang ada. Hukum bisa dilanggar
tanpa etika, namun apabila ada etika tahu mana yang benar dan salah, maka etika sebagai batasan
terakhir manusia dalam bertindak .

Pembahasan
Etika dan estetika dalam Sidang Susila hadir melalui ketidaklangsungan makna dan
ekspresi dari penulis terhadap realitas yang sedang terjadi pada semesta raya. Sidang Susila
merupakan sebuah naskah drama yang diciptakan oleh Ayu Utami dan Agus Noor sebagai
kritikan terhadap UU No.44 tahun 2008 tentang pornoaksi dan pornografi. Undang-undang
tersebut banyak mengandung kerancuan pada batasan-batasan pornografi yang berpotensi
menyebabkan salah tangkap. Selain itu, Sidang Susila juga menggambarkan kebobrokan
moralitas dari penegak hukum di Indonesia sebagai sebuah kritik. Kritik ini dihadirkan melalui
adegan-adegan komedi yang dibalut dengan satir. Sehingga, naskah drama ini jika dibaca dalam
bentuk sastra maupun dipentaskan dalam seni pertunjukkan, tidak hanya memiliki keindahan
secara eksplisit tetapi juga memiliki nilai moralitas secara implisit.
Sidang Susila mengajarkan etika kejujuran dan kebenaran melalui tindakan-tindakan
yang gambaran apabila etika dilanggar dan konsekuensinya. Secara khusus, Sidang Susila
mengkritik kebobrokan moral dari penegak hukum yang banyak melakukan praktik suap,
korupsi, dan manipulasi kebenaran. Tokoh-tokoh penegak hukum yang menunjukkan realitas
apabila etika penegak hukum dilanggar adalah tokoh Jaksa dan Hakim. Sebenarnya, Jaksa
memiliki tugas untuk melakukan penuntutan dan Hakim bertugas untuk mengadili atas nama
kebenaran berdasarkan peraturan yang berlaku. Namun, kedua tokoh ini justru bekerja sama
untuk memutar balikkan fakta dan membiaskan kebenaran. Adegan ini digambarkan saat Susila
dikambinghitamkan dan dibuat seolah-olah dirinya yang menjadi tersangka aksi pornografi
padahal dirinya tidak melakukannya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa etika dan moralitas itu
penting sebagai modal menjadi penegak hukum karena jika penegak hukumnya saja melanggar
etika, maka perlu dipertanyakan keadilan dalam penegakan hukum tersebut. Penyelewengan-
penyelewengan ini menyebabkan kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui tindakan
tidak bermoral serta konsekuensinya, Sidang Susila mengajarkan mengenai etika bahwa
seseorang harus memiliki kejujuran dan menjunjung tinggi kebenaran.
   Estetika perlu untuk dihadirkan sebagai alat penyampaian etika manusia. Melalui
estetika, pesan-pesan moral lebih mudah untuk disampaikan dan diingat oleh orang lain.
Keindahan manusia tercermin dalam karya seni, salah satunya sastra. Dalam Sidang Susila
ketidaklangsungan makna digambarkan melalui satire. Satire merupakan gaya bahasa yang
dipakai dalam sastra untuk menggambarkan sindiran atau ejekan terhadap suatu keadaan atau
seseorang. Dalam Sidang Susila, kerancuan Undang-Undang pornografi yang berpotesi
mempermasalahkan tubuh wanita disindir melalui tokoh utama Susila, yaitu seorang laki-laki
gemuk yang memiliki payudara yang mempesona. Selain itu, unsur komedi juga menambah
estetika dan unsur hiburan dalam karya ini. Praktek-praktek pelanggaran etika dan moral
seseorang digambarkan melalui tindakan-tindakan lucu Susila yang latah dan sering salah
menyebutkan sesuatu menjadi perkataan berunsur pornografi. Selain itu, kebobrokan penegakkan
hukum yang merupakan peristiwa serius justru dibalut dengan adegan lucu Hakim yang
dipengaruhi oleh Susila dalam persidangan. Satire dan komedi ini membalut sesuatu yang serius
untuk menunjukkan etika dan moralitas.

Penutup
Naskah drama Sidang Susila karya Ayu Utami dan Agus Noer ini sejatinya diciptakan
untuk menyindir Undang-Undang Pornografi 2008. Oleh karena itu, karya sastra ini sarat akan
satire terhadap nilai-nilai moral. Dapat ditafsirkan dari naskah ini bahwa untuk menjaga
masyarakat agar jauh dari nilai moral yang buruk tidak akan efektif jika menggunakan aturan
hukum yang berlaku apabila individunya, khususnya para penegak hukum, tidak memperbaiki
pola pikirnya dahulu. Bisa jadi, aturan yang seharusnya menjadi alat untuk mengatur masyarakat
malah disalahgunakan dari yang seharusnya.
Naskah ini juga dikemas dengan sindiran-sindiran satire dengan komedi yang menghibur.
Lelucon-lelucon tersebut menjadikan pesan-pesan tersirat yang ada di dalam karya sastra ini
lebih mudah untuk diingat oleh pembacanya. 

Daftar Pustaka
Sukmawati, Ni Luh Ayu. 2019. Deconstruction of Morality in The Sidang Susila Play Script by
Agus Noor and Ayu Utami. SEMANTIKS “Kajian Linguistik pada Karya Sastra”
https://jurnal.uns.ac.id/prosidingsemantiks/article/view/39410 (diakses pada 16
November 2021)

Maiwan, Mohammad. Memahami Teori-Teori Etika: Cakrawala dan Pandangan. Jakarta:


Universitas Negeri Jakarta. 

Grcic, Joseph. 2013. “Virtue Theory, Relativism and Survival”, International Journal of Social
Science and Humanity, Vol. 3, No. 4, Juli, p. 416-419.

Bertens, K. 1975. Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales Ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai