Anda di halaman 1dari 3

Nama : Abdur Rahman

Nim : S20164036

Prodi : Hukum Pidana Islam

Matkul : Delik Delik Khusus

MENCARI BATASAN KESUSILAAN

A. Delik Kesusilaan.
1) Pengertian Delik Kesusilaan.

Kata kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kbbi) dimuat artinya, sebagai
“perihal susila” kata susila dalam kamus tersebut mempunyai arti: Bab-bab Kodifikasi
Hukum Pidana (Buku II)”, yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman
pada tanggal 23-25 April 1985 di Jakarta, masalah ini pernah dilontarkan dalam makalah
Prof Mr. Roesan saleh.1 Ia mengemukakan bahwa pengertian kesusilaan hendaknya tidak
dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, akan tetapi juga meliputi hal-
hal yang termasuk dalam penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku dalam
pergaulan masyarakat.

Guna memberikan pengertian yang memuaskan mengenai delik kesusilaan tidaklah


mudah karena pengertian dan batas-batas “kesusilaan” cukup luas dan dapat berbeda-
beda menurut pandangan serta nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Namun, untuk
memberikan gambaran yang sederhana dapat dikemukakan pengertian dari delik
kesusilaan sebagai delik yang berhubungan dengan permasalahan kesusilaan. Pengaturan
tindak pidana kesusilaan dalam KUHP (dan juga RUU KUHP) pada hakikinya
dimaksudkan untuk melindungi nilai-nilai kesusilaan yang ada dalam masyarakat, dan
bukan sebatas untuk melindungi perempuan atau pihak lain yang menjadi korban atas
perkosaan atau kekerasan seksual lainnya. Namun demikian realitas di lapangan
menunjukkan bahwa keberadaan tindak pidana kesusilaan sering kali tidak memberikan
perlindungan dan keadilan bagi korban yang umumnya adalah perempuan bahkan dinilai
terlalu jauh mengintervensi terhadap kehidupan pribadi warga negara (melanggar
1
Roesan Saleh . Bab-Bab Kodifikasi Hukum Pidana (Buku II). Makalah, diselenggarakan oleh BPHN
Departemen Kehakiman, tanggal 23-25 April 1985, di Jakarta.
kebebasan sipil) dan cenderung overkriminalisasi. Kondisi ini diperparah dengan cara
pandang dan pengetahuan aparat penegak hukum yang keliru dan menempatkan
perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki, serta segi pembuktian yang cukup sulit
sehingga menyebabkan aturan tersebut justru tidak aplikatif. Secara umum tindak pidana
kesusilaan diartikan sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan (masalah)
kesusilaan (etika). Pernyataan ini menunjukkan bahwa menentukan batasan atau
pengertian mengenai kesusilaan tidaklah sederhana. Batasan-batasan kesusilaan (etika)
sangat tergantung dengan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.2 Hal ini juga
diakui oleh R. Soesilo yang menyatakan bahwa “sifat merusak kesusilaan perbuatan-
perbuatan tersebut kadang-kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu
dan tempat itu.3 Tindak pidana kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia (KUHP) diatur dalam Buku Kedua Bab XIV dan Buku Ketiga Bab VI. KUHP
yang berlaku sekarang ini telah mulai diberlakukan sejak tahun 1918. Hampir
keseluruhan pasal-pasal dalam KUHP termasuk pula delik kesusilaan mewarisi kaidah-
kaidah yang mengatur hukum pidana semenjak masa kolonial hingga saat ini. Ruang
lingkup tindak pidana kesusilaan dalam KUHP meliputi perbuatan atau tulisan yang
melanggar kesusilaan (Pasal 281-283, 532).

Hal lain yang juga belum diakomodasi dalam RUU KUHP adalah tindakan-tindakan
seperti serangan seksual terhadap perempuan yang sering disebut sebagai pelecehan seksual.
Pelecehan seksual mencakup cumbuan/rayuan/perilaku seksual tidak hanya secara fisik
tetapi juga verbal atau melalui penggunaan gambar yang tidak diinginkan oleh korban, atau
merendahkan, menjijikan bagi penerima,termasuk pemberian julukan, penghinaan atau
komentar yang tidak senonoh, atau gerak isyarat dan poster, gambar, kartun yang bersifat
menyerang secara seksual.4 Dalam praktiknya, perbuatan seperti itu sering kali muncul
khususnya dalam lingkungan kerja, namun jarang atau tidak pernah mampu diproses secara
hukum.

Munculnya perkara kesusilaan yang semakin marak akhir-akhir ini menuntut sebuah
pemahaman yang sangat mendalam tentang tatanan nilai yang pantas dan berlaku dalam
2
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung 1996.
3
R. Soesilo KUHP Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor 1996.
4
Ratna Batara Munti “Instrumen Hukum Yang Melindungi Perempuan Dari Kejahatan Seksual dan Kritisi RUU KUHP”, Jkt 4
Juli 2004, ELSAM, Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan Komnas HAM.
sebuah masyarakat yang dikenal dengan norma kesusilaan. Bagaikan sebuah ‘pagar’ norma
kesusilaan membatasi perilaku individu masyarakat agar tidak melampaui batas kesusilaan
sebagai tindakan asusila. Fungsi kontrol dari adanya pelanggaran terhadap norma kesusilaan
sebagaimana digariskan dalam politik hukum nasional secara sosiologis memang terletak di
tangan masyarakat sebagai korban dari tindak pidana kesusilaan namun secara yuridis
terdapat pada kekuasaan yudisiil. Peran hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara
pidana kesusilaan tidak dapat dengan mudah dilakukan terutama pada masyarakat yang
masih menjunjung tinggi adat sebagai sumber kesusilaan yang tertinggi. Sebagaimana
berlaku dalam masyarakat, nilai-nilai adat begitu menjiwai semua aspek kehidupan
masyarakatnya terutama dalam hal kesusilaan. Peran hakim dalam memberikan putusan yang
dapat menyerap nilai-nilai kesusilaan masyarakat sangat dibutuhkan. Pemahaman terhadap
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ini sangat bersesuaian dengan ciri penemuan hukum
progresif yang sangat penting dipahami oleh hakim. Penemuan hukum Progresif memiliki
beberapa karakteristik diantaranya bersifat visioner (melihat kepentingan jangka panjang),
berani melakukan terobosan mengikuti dinamika masyarakat, dan membawa kesejahteran
kepada masyarakat.5

5
Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif”,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 93.

Anda mungkin juga menyukai