Anda di halaman 1dari 3

1

DIMENSI FILSAFAT HUKUM DALAM KEBEBASAN BEREKSPRESI DI MEDIA


SOSIAL
Oleh:
Wifika Sintari, 02011282025283 (A Indralaya)
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Globalisasi merupakan suatu rangkaian proses yang mengintegrasikan kehidupan global di


dalam suatu ruang dan waktu melalui internasionalisasi perdagangan, internasionalisasi pasar
dari produksi dan keuangan, internasionalisasi dari komoditas budaya yang ditopang oleh
jaringan sistem komunikasi global yang semakin canggih dan cepat (Tilaar, 2005 : 165).
Memasuki era globalisasi membuat segala bentuk aktivitas manusia dapat dengan mudah
diakses yang salah satunya kebebasan untuk berekspresi. Adapun kebebasan dalam
berekspresi mencakup kebebasan untuk menyampaikan pendapat atau opini, pandangan atau
gagasan tanpa adanya intervensi atau tekanan, hak untuk mencari, mengakses serta
menyampaikan informasi, melalui media apapun tanpa memandang batas batas wilayah.

Adapun pada era globalisasi hal yang menjadi pokok perubahan utama yakni penggunaan
media digital sebagai wadah dalam berekspresi yang terwujud dengan eksistensi media sosial
seperti Instagram, Twitter, Facebook, WhatsApp dan lain sebagainya yang mengakibatkan
kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat bagi setiap orang nyata adanya. Adapun
pengaturan terkait kebebasan berekspresi yang dalam hal ini berpendapat termuat dalam pasal
28 E ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwasanya “
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat“.
Kemudian berdasarkan data, Indonesia mengalami peningkatan pengguna media sosial untuk
bebas berpendapat sebesar 66%. Artinya kebebasan berekspresi yang salah satunya
mengemukakan pendapat merupakan hak esensial yang mutlak diatur oleh UU dan telah
terwujud dengan eksistensi media sosial tersebut. Namun, adanya haktentunya berbanding
lurus dengan kewajiban dan tanggungjawab masyarakat dalam berekspresi dan
mengemukakan pendapat juga harus sesuai dengan norma yang ada serta tidak bertentangan
dengan hukum. Dalam perspektif hukum, berekspresi dalam media sosial terdapat beberapa
batasan antara lain;
• Bebas dari berita bohong (hoax)
Penyebaran berita bohong (hoax) suatu kejahatan yang konvensional yakni suatu
kejahatan terhadap jiwa, harta benda, dan kehormatan yang menimbulkan kerugian baik
2

fisik maupun psikis yang baik dilakukan dengan cara-cara biasa maupun dimen si baru,
yang terjadi di dalam negeri. Kejahatan konvensional merupakan ke jahatan dengan isu
paling men dasar dan sering terjadi di mas yarakat, memi liki lingkup lokal dan
meresahkan ma syarakat. Penyebaran berita bohong (hoax) dapat diatur dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 45A.
• Bebas dari ujaran kebencian (hate-speech)
Ujaran kebencian (hate-speech) diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, “Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
• Bebas dari pornografi
Cyber pornography diatur dalam Pasal 282 ayat (1) KUHP.
• Bebas dari plagiarisme
Adapun plagiarisme merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak cipta. Terkait
pelanggaran hak cipta berupa plagiarisme telah diatur dalam pasal 2 UUHC.

Adapun dimensi filsafat hukum dalam kebebasan berekspresi dapat ditinjau dari empat ruang
besar yang terdiri atas ontologi, epistemologi, aksiologi, dan teleologi.
• Ontologi berasal kata dari bahasa Yunani yakni on- ontos (keberadaan) dan logos (ilmu
tentang). Berdasarkan pemahaman minim penulis, dapat disimpulkan bahwa ontologi
berkaitan tentang pertanyaan mengenai hakekat keberadaan “ada” dan “apa” pada
sesuatu. Ontologi ini mempertanyakan ada sebagai esensinya, bukan proses adanya.
Dalam hal ini ontologi menyoroti mengenai apa dan bagaimana individu berekspresi
melalui media sosial. Secara ontologi, berekspresi di media sosial merupakan kegiatan
yang memang terjadi (Ada) karena dapat dibuktikan dengan bentuk dari pengekspresian
tersebut melalui pendapat, argumen dsb. (Bagaimana)
• Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme yang berarti pengetahuan, dan
logos yang berarti pikiran atau teori atau ilmu. Jadi, epistemologi berarti pikiran atau teori
tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa
epistemologi ini adalah tentang berpikir secara logika. Menyelidiki dari mana sumber
pengetahuan sesuatu, bagaimana susunannya, dan bagaimana kebenarannya. Secara
3

epistemologi, berekspresi merupakan sumber dari logika serta bentuk pemikiran masing-
masing individu yang dalam hal ini dilakukan di media sosial.
• Aksiologi sendiri mempersoalkan tentang nilai. Tentang bagaimana tingkah laku seorang
dan bagaimana penerapan pengetahuan itu oleh manusia. Aksiologi juga dapat dikatakan
sebagai theory of value, yakni merupakan bagian dari filsafat yang memerhatikan masalah
baik dan buruk, benar dan salah yang mencoba merumuskan teori secara konsisten untuk
perilaku etis. Secara aksiologi, bentuk berekspresi di media sosial berkaitan dengan nilai
apa yang nantinya akan diperoleh serta apa manfaat serta kegunaan terkait hal tersebut.
• Teleologi yang berarti secara umum adalah tujuan. Setelah mengarungi perjalanan
berfilsafat tentunya memiliki suatu tujuan. Setelah perjalanan dari ontologi yang mencari
hakikat keberadaan, kemudian menggunakan epistemologi, dan mendapatkan arti nilai
dari aksiologi, maka filsafat mencapai tujuannya pada teleologi untuk kemudian
merenungi dan merefleksikan makna dan tujuannya. Secara teleologi, bentuk kebebasan
berekspresi di media sosial tentunya tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai.

Kebebasan berekspresi di media sosial meruapakan salah satu hak yang dimiliki oleh setiap
individu, dimana seiring perkembangan zaman seringkali mengakibatkan tidak adanya
batasan dalam berekspresi yang dalam hal ini terjadi media sosial. Tentunya, dalam
perspektif fislsafat hukum kebebasan berekspresi di media sosial dapat ditinjau dalam empat
ruang besar yakni ontologi, epistemologi, aksiologi dan teleologi. Dimana, hakikat
keberadaan (ada) dan bagaimana dari sisi berekspresi di media sosial merupakan hal yang
harus diperhatikan seperti mengenai bagaimana cara dan bentuk pengekspresian tersebut
apakah bersumber dari hal yang baik, apa nilai, kegunaan dan maanfaat yang diperoleh serta
apa tujuan dari hal tersebut. Filsafat hukum melalui empat dimensi terkait tentunya ikut
terlibat dan berpengaruh terhadap kebebasan berkspresi di media sosial. Maka dari itu,
dapat disimpulkan bahwasanya dimensi filsafat hukum memiliki peran yang besar
bagi setiap individu dalam menafsirkan, pemaknaan, penyebaran pemdapat,
pengumpulan nilai-nilai serta memperhatikan nilai guna, sehingga kebebasan
berekspresi yang terjadi di media sosial tidak melanggar nilai dan norma-norma
yang mengaturnya.

Anda mungkin juga menyukai