Dosen Pengampu:
H. Fahmi Yoesmar AR, S.H., M.S.
Dr. Firman Muntaqo, S.H., M. HUM.
Muhammad Syahri Ramadhan, S.H., M..
Dr. Muhammad Erwin, S.H., M.HUM.
Disusun Oleh:
Wifika Sintari
NIM : 02011282025283
No. DPNA :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan sekumpulan peraturan dimana sifatnya memaksa yang
dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan diikuti dengan keharusan masyarakat
untuk menaatinya, dengan memuat sanksi sebagai ancaman hukuman apabila
dilakukan pelanggaran terhadap hukum tersebut. Menurut E. Utrecht,1 hukum
merupakan suatu himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh
karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari
pemerintah/masyarakat itu. Adapun Sunaryati Hartono2 berpendapat bahwasanya
hukum itu tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang, akan tetapi mengatur
berbagai aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, atau dengan
kata lain hukum mengatur berbagai aktivitas manusia di dalam hidup bermasyarakat.
Berdasarkan pemaparan terkait batasan pengertian terhadap hukum diatas dapat
dikatakan bahwasanya hukum merupakan alat rekayasa sosial yang digunakan untuk
mengubah pola dan tingkah laku masyarakat menjadi sesuai dengan peraturan yang
dikehendaki oleh hukum.
Hukum yang merupakan acuan cara bersikap masyarakat tentunya memiliki
peranan penting dalam menghadapi perkembangan dunia yang dilandasi dengan masif
dan mutakhirnya pengaruh penggunaan teknologi yang dewasa ini menjadi salah satu
faktor timbulnya berbagai pelanggaran atas hukum yang salah satunya yakni
maraknya kasus ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial, berdasarkan data
Robinopsnal Bareskrim Polri sepanjang tahun 2022 telah terjadi pelaporan terhadap
33 kasus ujaran kebencian yang dilakukan di sosial media, adapun sebelumnya di
tahun 2021 jumlah penindakan terhadap kasus ujaran kebencian (Hate Speech)
terdapat 14 perkara yang dilaporkan, dimana hal tersebut tentunya bercikal bakal dari
adanya hak atas kebebasan bagi setiap orang untuk menyatakan pendapat, namun
pada faktanya seringkali terjadi pelanggaran hukum dalam praktiknya. Adapun hal
tersebut tentunya mempengaruhi aspek keberlakuan hukum dalam kedudukan hukum
1
Salim, HS., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Januari, 2016
2
Teguh Prasetyo, et.al., Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartabat, cetakan ke 4, RajaGrafindo, Jakarta, September, 2019
sebagai suatu pedoman dan acuan bagi perilaku masyarakat dan merupakan tolak ukur
eksistensi hukum sebagai jalinan nilai.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan terkait latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah
dalam pembahasan makalah, yakni :
1. Bagaimana eksistensi hukum sebagai jalinan nilai?
2. Bagaimana konsep keberlakuan hukum?
3. Bagaimana keterkaitan antara kasus ujaran kebencian (Hate Speech) yang
seringkali terjadi di media sosial dengan eksistensi hukum dan teori keberlakuan
hukum?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui eksistensi hukum sebagai jalinan nilai.
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep keberlakuan hukum.
3. Untuk mengetahui kaitan antara kasus ujaran kebencian (Hate Speech) yang
seringkali terjadi di media sosial dengan eksistensi hukum dan teori keberlakuan
hukum.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yakni :
1. Manfaat Teoritis
Adapun makalah ini memiliki manfaat teoritis yakni guna memberikan masukan
secara teoritis mengenai konsep terkait hukum sebagai jalinan nilai serta konsep
dari keberlakuan hukum.
2. Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para mahasiswa
ataupun kaum intelektual hukum lainnya serta masyarakat umum dalam
menemukan referensi dan informasi mengenai eksistensi hukum sebagai jalinan
nilai serta konsep keberlakuan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Peter Gibson, Segala Sesuatu Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2020).
Gerald Beekrnan dan RA. Rivai 4 mengemukakan bahwa suatu
masyarakat terbentuk karena terdapat norma-norma atau nilai-nilai tertinggi.
Dengan kata lain norma-norma atau nilai-nilai tertinggi apakah yang harus
dipenuhi oleh suatu masyarakat. Pergaulan hidup manusia atau rnasyarakat
terbentuk karena adanya nilai yang menjadi landasannya, nilai-nilai tertinggi
tersebut merupakan pusat perhatian filsafat sosial, dimana filsafat hukum
merupakan bagian filsafat sosial, maka nilai-nilai itu juga merupakan pusat
perhatian filsafat hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwasanya ciri-ciri dari nilai-nilai itu sebagai berikut :
1) Nilai tersebut merupakan dasar dari sikap tindakan atas pilihan;
2) Nilai adalah dasar atau pondasi dari suatu masyarakat;
3) Nilai tersebut berhubungan dengan kebaikan dan keburukan;
4) Nilai tersebut berkaitan dengan kehidupan manusia;
5) Nilai merupakan suatu faktor yang mendorong manusia guna berperilaku
atau bersikap tindak dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.5
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dimana dapat ditarik essensi (hakekat)
nilai yaitu sesuatu diinginkan (positif) atas sesuatu yang tidak diinginkan
(negatif) Nilai positif karena menguntungkan, menyenangkan dan dipandang
baik' Sebaliknya nilai negatif adalah sesuatu yang merugikan, menyusahkan
dan dipandang buruk Nilai positif biasa dianut atau dituruti, sebaliknya nilai
negatif bia;anya dihindari dan dijauhi.6
Nilai-nilai positif tentunya tidak berdiri sendiri yang lepas satu sama
lainnya melainkan berpasang-pasang dan berjalinan satu sama lain sehingga
membentuk sistem nilai. Nilai tersebut dikatakan berpasang-pasangan karena
setiap pasangan itu saling membatasi, sehingga berhubungan erat dengan
pasangan nilai lain. Hubungan antar pasangan-putsangan nilai itulah yang
dinarnakan jalinan nilai.
Jalinan nilai merupakan jaringan berbagai atau segala sesuatu yang
diinginkan (dalam arti positif) serta segala yang tidak diinginkan (dalam arti
negatif) dalam gabungan atau masing-masing tersendiri.7 Sistem jalinan nilai-
4
Bakir Bakir, “Peran Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” AT-TURAS: Jurnal Studi
Keislaman 4, no. 1 (2017): 58
5
Teguh Prasetyo and Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, &Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat
Yang Berkeadilan Dan Bermartabat (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017).
6
Ibid.,
7
Bakir Bakir, “Peran Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” AT-TURAS: Jurnal Studi
nilai dalam hukum akan terlihat sebagai pasangan-pasangan tertentu, yang
masing-masing pasangan tersebut terdiriatas nilai-nilai yang saling
bertegangan antara satu sama lainnya.
Adapun yang dimaksud bertegangan dalam hal ini adalah suatu
keadaan yang menunjukan bahwa dalam suatu pasangan tertentu, nilai yang
satu pada hakikatnya bersifat mendesak nilai yang lain, namun kedua nilai
tersebut tidak boleh saling meniadakan. Magnis-Suseno berpandangan
bahwasanya nilai-nilai moral yang merupakan nilai-nilai dasar yang harus
dilindungi serta dijamin oteh hukum. Tanpa nilai-nilai dasar hukun hukum
menjadi sewenang-wenang dan tidak memiliki legimitasi. Purbacaraka
mengemukakan bahwa ruang lingkup filsafat hukum itu antara lain aneka nilai
antinomis, tujuan hukum. Adapun hukum merupakan sistem jalinan nilai-nilai
(antinomis). Kemudian ia mengemukakan dalam bukunya ikhtisar terhadap
Antinomi Aliran Filasafat sebagai Landasan Filsafat Hukum, yang lebih
memperjelas lagi pengertian jalinan nilai-nilai antinomi.8
Nilai-Antinomi merupakan nilai-nilai yang berpasang-pasangan,
namun tidak jarang bertegangan. Ketegangan nilai itu terjadi apabila satu nilai
dari pasangan itu mendesak nilai lainnya. Ketegangan itu dapat dikurangi atau
dihilangkan melalui metode yang memperkecil nilai yang mendesak dan
sekaligus memperbesar nilai yang terdesak. Apabila keseimbangan telah
tercapai dalam hal kedua nilai itu tidak saling bertegangan maka tercapailah
apa yang dinamakan keserasian nilai. Beberapa contoh nilai antinomi antara
lain seperti nilai kebebasan-ketertiban, kepentingan pribadi - kepentingan
antar pribadi, perlindungan hukum-pembatasan hukum. Selain berpasang-
pasangan, nilai antinomi juga berhubungan erat serta berjalinan dengan
pasangan nilai antinomi lainnya. Pasangan ketertiban - kebebasan berjalinan
erat dengan pasangan kepentingan pribadi-kepentingan antara pribadi dan
selanjutnya pasangan kepentingan pribadi kepentingan antar pribadi berjalinan
erat pasangan pembatasan hukum-perlindungan hukum dan seterusnya.
Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa manusia merupakan
sumber nilai terhadap tiga sumber antinomi, yakni :9
a) Kebebasan-ketertiban
Keislaman 4, no. 1 (2017): 58
8
Kurnia Parluhutan Hutapea, “Peranan Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” Jurnal
Ilmiah Dunia Ilmu 2, no. 4 (2016): 11.
b) Materialisme-spiritualisme
c) Conservatisme-inovatisme
Adapun pasangan nilai antinomi tidak berdiri sendiri melainkan hubungan erat
dengan pasangan nilai antinomi lairnya. Hubungan antara nilai antinomi itu
dinamakan jalinan nilai. 10Sebagai contoh dapattah dikemukakan bahwa
pasangan nilai kepentingan pribadi – kepentingan antar pribadi dan
berhubungan erat dengan nilai proteksi hukum restriksi hukum dan seterusnya
berhubungan erat lagr dengan nilai keluwesan hukum - keketatan hukum dan
berhubungan erat lagi dengan nilai kesebandingan hukum - kepastian hukum.
12
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius
d) Keharusan untuk berbanding lurus serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
2) Kekuatan berlaku sosiologis
Dasar kekuatan berlaku sosiologis harus mencerminkan kenyataan
penerimaan dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto bahwa
landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah
hukum didasarkan pada dua teori yaitu:
a) Teori kekuasaan, adapun secara sosiologis kaidah hukum berlaku
karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh
masyarakat.
b) Teori pengakuan, dimanakaidah hukum berlaku berdasarkan
penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.
3) Kekuatan berlaku filosofis
Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum
tersebut sesuai dengan cita-sita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai
positif yang tertinggi. Dasar kekuatan berlaku filosofis ini menyangkut
pandangan mengenai inti atau hakekat dari kaidah hukum itu, yaitu apa
yang menjadi cita hukum, apa yang mereka harapkan dari hukum
(misalnya apakah untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan,
dan sebagainya). Ketiganya merupakan syarat berlakunya hukum
(suatu peraturan perundang- undangan) yang diharapkan memberikan
dampak positif bagi pencapaian efektivitas hukum itu sendiri.
Menurut Satjipto Rahardjo ada empat karakteristik hukum yang baik
agar dapat diterima di masyarakat yaitu39:
a) Berisifat terbuka
b) Memberitahu terlebih dahulu
c) Tujuannya jelas
d) Mengatasi goncangan
16
Meri Febriyani, “Analisis Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Dalam Media
Sosial,’’ Poenale : Jurnal Bagian Hukum Pidana 6, No. 3 (2018).
terhadap perlindungan hak asasi manusia. Adapun media terbesar yang
memudahkan munculnya ujaran kebencian yakni melalui media sosial seperti
facebook, twitter, instagram dan jaringan sosial lainnya.
Penyebaran ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial bertujuan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antara individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) yang mampu mengakibatkan perubahan besar dan
sering digunakan untuk kepentingan politik beberapa kalangan. Adapun
aspek-aspek ujaran kebencian sebagaimana dimaksud, bertujuan untuk
menghasut dan menyulut kebencian terhadap Individu atau terhadap kelompok
masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek :17
Suku, Mengusahakan dukungan umum, dengan cara menghasut untuk
melakukan kekerasan, diskriminasi atau permusuhan sehingga terjadinya
konflik sosial antar suku.
Agama, Menghina atas dasar agama, berupa hasutan untuk melakukan
kekerasan, diskriminasi atau permusuhan.
Aliran keagamaan, Menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan- kegiatan keagamaan itu, dengan maksud untuk menghasut orang
lain agar melakukan kekerasan, diskriminasi atau permusuhan.
Keyakinan/Kepercayaan, Menyulutkan kebencian atau pernyataan
permusuhan kepada keyakinan atau kepercayaan orang lain sehingga
timbulnya diskriminasi antar masyarakat.
Ras, Menunjukan kebencian atau rasa benci kepada orang lain karena
memperlakukan, pembedaan, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
pada ras yang mengakibatkan pencabutan, pengurangan pengakuan atau
pelaksanaan hak asasi manusia.
Antar Golongan dan Etnis; Menunjukan rasa kebencian kepada orang lain
atau golongan karena mempermalukan, pembedaan, pembatasan, atau
pemilihan berdasarkan etnis dan golongan.
17
Dewin Maria Herawati, “Penyebaran Hoax Dan Hate Speech Sebagai Representasi Kebebasan Berpendapat,”
Promedia 2, No. 2 (2016)
Warna Kulit dan Gender, Segala bentuk pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yangmempunyai pengaru atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, pemanfaatan hak asasi manusia, yang
didasarkan warna kulit dan jenis kelamin.
Kaum difabel, Menunjukan rasa kebencian kepada kaum difabel, sehingga
adanya pembatasan, hambatan kesulitan atau penghilangan hak kaum
difabel.
Orientasi Seksual, ekspresi Gender; Menyulitkan kebencian atau rasa
benci kepada orang lain yang memiliki orientasi seksual sehingga
terjadinya diskriminasi terhadap kaum tersebut.
18
Dian Junita, “Kajian Ujaran Kebencian Di Media Sosial,” Jurnal Ilmiah Korpus 2, No. 3 (2019).
bohong. Terkait ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial juga telah
diatur dalam Pasal 28 ketentuan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) jo. Undang-undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008
tentang ITE terkait juga dengan penyebaran berita hoax.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwasanya
hukum sebagai jalinan nilai menempatkan hukum sebagai penjabaran kongkrit
terhadap suatu nilai yang hidup di masyarakat, yang biasanya telah diusahakan
guna mencapai keserasian antar nilai-nilai yang saling berpasangan sehingga
dapat mencapai esensi dari jalinan nilai tersebut. Manusia dan sikap tindak serta
perilakunya merupakan objek kajian yang dimana hal tersebut saling memiliki
keterkaitan dengan jalinan nilai dan keberlakuan hukum tersebut. Adapun kasus
ujaran kebencian dapat dipahami sebagai suatu bentuk ketegangan antara nilai
kebebasan dan ketertiban yang saling berkaitan dan berpasangan, terkait
pengaturan hukum dalam kasus ujaran tersebut telah diatur oleh UU No. 11 Tahun
2008 Tentang Informatika dan Transaksi Elektronik, berbanding lurus dengan
pengaturan terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang diatur
dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia, hal tersebut merupakan bentuk dari konsep keberlakuan hukum secara
normatif/formal.
Saran
Adapun dengan disusun dan dibuatnya makalah yang berjudul “Eksistensi
Hukum Sebagai Jalinan Nilai dan Keberlakuan Hukum Terhadap Kasus Ujaran
Kebencian di Media Sosial” penulis berharap dapat bermanfaat bagi mahasiswa,
kaum intelektual hukum, serta masyarakat dan dapat dijadikan bahan literatur,
referensi, sumber pengetahuan terkait keberlakuan hukum dan juga eksistensi
hukum sebagai jalinan nilai.
Daftar Pustaka