Anda di halaman 1dari 19

Eksistensi Hukum Sebagai Jalinan Nilai dan Keberlakuan Hukum Terhadap Kasus

Ujaran Kebencian di Media Sosial

Dosen Pengampu:
H. Fahmi Yoesmar AR, S.H., M.S.
Dr. Firman Muntaqo, S.H., M. HUM.
Muhammad Syahri Ramadhan, S.H., M..
Dr. Muhammad Erwin, S.H., M.HUM.

Disusun Oleh:
Wifika Sintari
NIM : 02011282025283
No. DPNA :

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum merupakan sekumpulan peraturan dimana sifatnya memaksa yang
dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan diikuti dengan keharusan masyarakat
untuk menaatinya, dengan memuat sanksi sebagai ancaman hukuman apabila
dilakukan pelanggaran terhadap hukum tersebut. Menurut E. Utrecht,1 hukum
merupakan suatu himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh
karenanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari
pemerintah/masyarakat itu. Adapun Sunaryati Hartono2 berpendapat bahwasanya
hukum itu tidak menyangkut kehidupan pribadi seseorang, akan tetapi mengatur
berbagai aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, atau dengan
kata lain hukum mengatur berbagai aktivitas manusia di dalam hidup bermasyarakat.
Berdasarkan pemaparan terkait batasan pengertian terhadap hukum diatas dapat
dikatakan bahwasanya hukum merupakan alat rekayasa sosial yang digunakan untuk
mengubah pola dan tingkah laku masyarakat menjadi sesuai dengan peraturan yang
dikehendaki oleh hukum.
Hukum yang merupakan acuan cara bersikap masyarakat tentunya memiliki
peranan penting dalam menghadapi perkembangan dunia yang dilandasi dengan masif
dan mutakhirnya pengaruh penggunaan teknologi yang dewasa ini menjadi salah satu
faktor timbulnya berbagai pelanggaran atas hukum yang salah satunya yakni
maraknya kasus ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial, berdasarkan data
Robinopsnal Bareskrim Polri sepanjang tahun 2022 telah terjadi pelaporan terhadap
33 kasus ujaran kebencian yang dilakukan di sosial media, adapun sebelumnya di
tahun 2021 jumlah penindakan terhadap kasus ujaran kebencian (Hate Speech)
terdapat 14 perkara yang dilaporkan, dimana hal tersebut tentunya bercikal bakal dari
adanya hak atas kebebasan bagi setiap orang untuk menyatakan pendapat, namun
pada faktanya seringkali terjadi pelanggaran hukum dalam praktiknya. Adapun hal
tersebut tentunya mempengaruhi aspek keberlakuan hukum dalam kedudukan hukum

1
Salim, HS., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Januari, 2016
2
Teguh Prasetyo, et.al., Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartabat, cetakan ke 4, RajaGrafindo, Jakarta, September, 2019
sebagai suatu pedoman dan acuan bagi perilaku masyarakat dan merupakan tolak ukur
eksistensi hukum sebagai jalinan nilai.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan terkait latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah
dalam pembahasan makalah, yakni :
1. Bagaimana eksistensi hukum sebagai jalinan nilai?
2. Bagaimana konsep keberlakuan hukum?
3. Bagaimana keterkaitan antara kasus ujaran kebencian (Hate Speech) yang
seringkali terjadi di media sosial dengan eksistensi hukum dan teori keberlakuan
hukum?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui eksistensi hukum sebagai jalinan nilai.
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep keberlakuan hukum.
3. Untuk mengetahui kaitan antara kasus ujaran kebencian (Hate Speech) yang
seringkali terjadi di media sosial dengan eksistensi hukum dan teori keberlakuan
hukum.

D. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini yakni :
1. Manfaat Teoritis
Adapun makalah ini memiliki manfaat teoritis yakni guna memberikan masukan
secara teoritis mengenai konsep terkait hukum sebagai jalinan nilai serta konsep
dari keberlakuan hukum.
2. Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para mahasiswa
ataupun kaum intelektual hukum lainnya serta masyarakat umum dalam
menemukan referensi dan informasi mengenai eksistensi hukum sebagai jalinan
nilai serta konsep keberlakuan hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Eksistensi Hukum Sebagai Jalinan Nilai


Nilai merupakan kualitas empiris yang sulit diartikan sebagai hal yang
dianggap baik dan buruk yang terkait dengan sikap tindak manusia dalam
berperilaku yang bentuknya abstrak dan belum operasional, dimana hal
tersebut dapat dijelaskan melalui perincian seta penjabaran lebih lanjut agar
sehingga bersifat lebih operasional. Nilai merupakan objek kajian cabang
filsafat yakni aksiologi, yang memadatkan fakta bahwasanya nilai merupakan
kwalitas empiris yang sulit didefinisikan,3 namun meskipun dalam kajiannya
terkait nilai yang sulit didefinisikan, terdapat beberapa karakteristik nilai,
yakni :
a. Terhadap perkataan nilai, dapat dipahami terhadap sudut kata kerja
(menilai), ataupun dari sudut kata sifat (bernilai), atau dari sudut kata
benda (suatu nilai), dan sebagainya.
b. Nilai merupakan dasar suatu perbuatan atau pilihan;
c. Nilai itu sendiri dikatakan sebagai suatu pilihan;
d. Terhadap situasi tertentu, setiap orang dapat berselisih (konflik) dalam
mempertimbangkan suatu nilai ;
e. Nilai tersebut dibedakan menjadi nilai intrinsik dan nilai instrumental,
f. Nilai memiliki keterkaitan terhadap hal yang positif dan yang negatif,
yaitu berkaitan dengan kebaikan dan kejahatan;
g. Penilaian berkaitan dengan kehidupan masyarakat terkait.
Berdasarkan ciri-ciri dari pemaparan tersebut dapat dipahami
bahwasanya nilai merupakan kata benda (suatu nilai) yang dalam praktiknya
dijadikan sebagai dasar dalam menilai (kata kerja) sesuatu. Untuk melakukan
penilaian tentunya harus dilandasi oleh tolak ukur (kriteria) penilaian.
Terdapat beberapa nilai yang dijadikan dasar perbuatan menilai ataupun
perbuatan memilih dari berbagai alternatif yang tersedia.

3
Peter Gibson, Segala Sesuatu Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2020).
Gerald Beekrnan dan RA. Rivai 4 mengemukakan bahwa suatu
masyarakat terbentuk karena terdapat norma-norma atau nilai-nilai tertinggi.
Dengan kata lain norma-norma atau nilai-nilai tertinggi apakah yang harus
dipenuhi oleh suatu masyarakat. Pergaulan hidup manusia atau rnasyarakat
terbentuk karena adanya nilai yang menjadi landasannya, nilai-nilai tertinggi
tersebut merupakan pusat perhatian filsafat sosial, dimana filsafat hukum
merupakan bagian filsafat sosial, maka nilai-nilai itu juga merupakan pusat
perhatian filsafat hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwasanya ciri-ciri dari nilai-nilai itu sebagai berikut :
1) Nilai tersebut merupakan dasar dari sikap tindakan atas pilihan;
2) Nilai adalah dasar atau pondasi dari suatu masyarakat;
3) Nilai tersebut berhubungan dengan kebaikan dan keburukan;
4) Nilai tersebut berkaitan dengan kehidupan manusia;
5) Nilai merupakan suatu faktor yang mendorong manusia guna berperilaku
atau bersikap tindak dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.5
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dimana dapat ditarik essensi (hakekat)
nilai yaitu sesuatu diinginkan (positif) atas sesuatu yang tidak diinginkan
(negatif) Nilai positif karena menguntungkan, menyenangkan dan dipandang
baik' Sebaliknya nilai negatif adalah sesuatu yang merugikan, menyusahkan
dan dipandang buruk Nilai positif biasa dianut atau dituruti, sebaliknya nilai
negatif bia;anya dihindari dan dijauhi.6
Nilai-nilai positif tentunya tidak berdiri sendiri yang lepas satu sama
lainnya melainkan berpasang-pasang dan berjalinan satu sama lain sehingga
membentuk sistem nilai. Nilai tersebut dikatakan berpasang-pasangan karena
setiap pasangan itu saling membatasi, sehingga berhubungan erat dengan
pasangan nilai lain. Hubungan antar pasangan-putsangan nilai itulah yang
dinarnakan jalinan nilai.
Jalinan nilai merupakan jaringan berbagai atau segala sesuatu yang
diinginkan (dalam arti positif) serta segala yang tidak diinginkan (dalam arti
negatif) dalam gabungan atau masing-masing tersendiri.7 Sistem jalinan nilai-
4
Bakir Bakir, “Peran Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” AT-TURAS: Jurnal Studi
Keislaman 4, no. 1 (2017): 58
5
Teguh Prasetyo and Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, &Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat
Yang Berkeadilan Dan Bermartabat (Depok: Raja Grafindo Persada, 2017).
6
Ibid.,
7
Bakir Bakir, “Peran Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” AT-TURAS: Jurnal Studi
nilai dalam hukum akan terlihat sebagai pasangan-pasangan tertentu, yang
masing-masing pasangan tersebut terdiriatas nilai-nilai yang saling
bertegangan antara satu sama lainnya.
Adapun yang dimaksud bertegangan dalam hal ini adalah suatu
keadaan yang menunjukan bahwa dalam suatu pasangan tertentu, nilai yang
satu pada hakikatnya bersifat mendesak nilai yang lain, namun kedua nilai
tersebut tidak boleh saling meniadakan. Magnis-Suseno berpandangan
bahwasanya nilai-nilai moral yang merupakan nilai-nilai dasar yang harus
dilindungi serta dijamin oteh hukum. Tanpa nilai-nilai dasar hukun hukum
menjadi sewenang-wenang dan tidak memiliki legimitasi. Purbacaraka
mengemukakan bahwa ruang lingkup filsafat hukum itu antara lain aneka nilai
antinomis, tujuan hukum. Adapun hukum merupakan sistem jalinan nilai-nilai
(antinomis). Kemudian ia mengemukakan dalam bukunya ikhtisar terhadap
Antinomi Aliran Filasafat sebagai Landasan Filsafat Hukum, yang lebih
memperjelas lagi pengertian jalinan nilai-nilai antinomi.8
Nilai-Antinomi merupakan nilai-nilai yang berpasang-pasangan,
namun tidak jarang bertegangan. Ketegangan nilai itu terjadi apabila satu nilai
dari pasangan itu mendesak nilai lainnya. Ketegangan itu dapat dikurangi atau
dihilangkan melalui metode yang memperkecil nilai yang mendesak dan
sekaligus memperbesar nilai yang terdesak. Apabila keseimbangan telah
tercapai dalam hal kedua nilai itu tidak saling bertegangan maka tercapailah
apa yang dinamakan keserasian nilai. Beberapa contoh nilai antinomi antara
lain seperti nilai kebebasan-ketertiban, kepentingan pribadi - kepentingan
antar pribadi, perlindungan hukum-pembatasan hukum. Selain berpasang-
pasangan, nilai antinomi juga berhubungan erat serta berjalinan dengan
pasangan nilai antinomi lainnya. Pasangan ketertiban - kebebasan berjalinan
erat dengan pasangan kepentingan pribadi-kepentingan antara pribadi dan
selanjutnya pasangan kepentingan pribadi kepentingan antar pribadi berjalinan
erat pasangan pembatasan hukum-perlindungan hukum dan seterusnya.
Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa manusia merupakan
sumber nilai terhadap tiga sumber antinomi, yakni :9
a) Kebebasan-ketertiban
Keislaman 4, no. 1 (2017): 58
8
Kurnia Parluhutan Hutapea, “Peranan Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” Jurnal
Ilmiah Dunia Ilmu 2, no. 4 (2016): 11.
b) Materialisme-spiritualisme
c) Conservatisme-inovatisme
Adapun pasangan nilai antinomi tidak berdiri sendiri melainkan hubungan erat
dengan pasangan nilai antinomi lairnya. Hubungan antara nilai antinomi itu
dinamakan jalinan nilai. 10Sebagai contoh dapattah dikemukakan bahwa
pasangan nilai kepentingan pribadi – kepentingan antar pribadi dan
berhubungan erat dengan nilai proteksi hukum restriksi hukum dan seterusnya
berhubungan erat lagr dengan nilai keluwesan hukum - keketatan hukum dan
berhubungan erat lagi dengan nilai kesebandingan hukum - kepastian hukum.

2. Konsep Keberlakuan Hukum


Dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan seta peraturan
hukum maka dibutuhkan suatu dasar atau landasan, dimana landasan tersebut
akan memberikan pengarahan terhadap perilaku dan sikap tindak manusia
didalam masyarakat. Landasan hukum adalah suatu pokok pikiran yang
sifatnya umum yang menjadi latar belakang dari hukum yang konkrit. Dalam
setiap landasan hukum termuat suatu cita-cita yang akan dicapai, dengan
demikian landasan hukum adalah suatu jembatan antara peraturan perundang-
undangan (peraturan hukum) dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya. Dalam menentukan sahnya suatu peraturan hukum maka
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (peraturan hukum)
terdapat tiga landasan hukum yakni :11
1) Landasan filosofis
Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memuat suatu landasan
filosofis (filosofiche groundslagh) jika rumusannya serta normanya
mendapat pembenaran apabila dikaji secara filosofis, sehingga alasan
dibentuknya peraturan tersebut berbanding lurus terhadap cita-cita
pandangan hidup manusia dari pergaulan hidup bermasyarakat serta sesuai
cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan, filsafah hidup bangsa dan
kesusilaan.
2) Landasan sosiologis
9
Gibson, Peter. Segala Sesuatu Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2020.
10
Ibid.,
11
Suteki, Suteki. Masa Depan Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media, 2015.
Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memiliki landasan
sosiologis apabila sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran hukum
masyarakat, dan juga tata nilai dan hukum yang hidup di masyarakat, agar
peraturan yang dibuat dapat dijalankan.
3) Landasan yuridis
Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memuat landasan yuridis
apabila mengandung dan memuat serta terdapat dasar hukum legalitas atau
landasan yang termuat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi
derajatnya.
Peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum memiliki
persyaratan untuk dapat berlaku atau untuk mempunyai kekuatan berlaku.
Adapun terdapat tiga syarat kekuatan berlakunya Undang-Undang yakni :
12

1) Kekuatan berlaku yuridis


Undang-undang akan memiliki kekuatan berlaku yuridis jika
persyaratan formal dibuatnya undang-undang tersebut telah terpenuhi.
Menurut Hans Kelsen kaedah hukum mempunyai kekuatan berlaku
apabila penetapannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi
tingkatannya. Adapun suatu kaedah hukum merupakan sistem kaedah
secara hierarki, dimana dasar kekuatan berlaku secara yuridis pada
prinsipnya harus menunjukkan:
a) Keharusan terdapatnya kewenangan oleh pembuat peraturan
prundang-undangan, dalam arti harus dibuat oleh badan atau
pejabat yang berwenang.
b) Keharusan terdapatnya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang- undangan terhadap materi yang diatur, terutama apabila
diperintahkan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau sederajat.
c) Keharusan mengikuti tata cara tertentu seperti pengundangan atau
pengumuman setiap undang-undang harus dalam lembaran negara
atau perda harus mendapat persetujuan dari DPRD yang
bersangkutan.

12
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius
d) Keharusan untuk berbanding lurus serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
2) Kekuatan berlaku sosiologis
Dasar kekuatan berlaku sosiologis harus mencerminkan kenyataan
penerimaan dalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto bahwa
landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah
hukum didasarkan pada dua teori yaitu:
a) Teori kekuasaan, adapun secara sosiologis kaidah hukum berlaku
karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh
masyarakat.
b) Teori pengakuan, dimanakaidah hukum berlaku berdasarkan
penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.
3) Kekuatan berlaku filosofis
Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum
tersebut sesuai dengan cita-sita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai
positif yang tertinggi. Dasar kekuatan berlaku filosofis ini menyangkut
pandangan mengenai inti atau hakekat dari kaidah hukum itu, yaitu apa
yang menjadi cita hukum, apa yang mereka harapkan dari hukum
(misalnya apakah untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan,
dan sebagainya). Ketiganya merupakan syarat berlakunya hukum
(suatu peraturan perundang- undangan) yang diharapkan memberikan
dampak positif bagi pencapaian efektivitas hukum itu sendiri.
Menurut Satjipto Rahardjo ada empat karakteristik hukum yang baik
agar dapat diterima di masyarakat yaitu39:
a) Berisifat terbuka
b) Memberitahu terlebih dahulu
c) Tujuannya jelas
d) Mengatasi goncangan

Disamping terdapat tiga dasar kekuatan berlakunya hukum tersebut, JJ.


Bruggink,13 membedakan keberlakuan hukum menjadi tiga macam yaitu:
A. Keberlakuan normatif/formal kaidah hukum yaitu jika suatu kaidah
merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang
13
Bruggink, J. J. H. dan Arief Shidarta. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
didalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk. Sistem
kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hirarkhi kaidah hukum khusus yang
bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah
diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi.
Adapun keberlakuan hukum secara normatif/formal dapat dilihat dalam
sistem hukum yang berlaku berdasarkan hierarki peraturan perundang-
undangan pada pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011,
dimana terkait hierarki peraturan perundang-undangan, yakni :
a) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Ketetapan MPR
c) Undang- undang/ peraturan pemerintah pengganti Undang-undang
d) Peraturan pemerintah  (PP)
e) Peraturan presiden (Perpres)
f) Peraturan daerah provinsi (Perda Provinsi)
g) Peraturan daerah kabupaten atau kota (Perda Kabupaten)
B. Keberlakuan faktual/empiris kaidah hukum yaitu keberlakuan kaidah
secara faktual/empiris/efektif jika warga masyarakat untuk siapa kaidah
hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Kaidah hukum
dikatakan memiliki keberlakuan faktual jika kaidah itu dalam
kenyataannya sungguh-sungguh dipatuhi oleh para warga masyarakat dan
oleh para pejabat yang berwenang sungguh-sungguh diterapkan dan
ditegakkan. Dengan demikian kaidah hukum tersebut dikatakan efektif
sebab berhasil mempengaruhi perilaku para warga masyarakat dan pejabat
masyarakat.
C. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan
isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan keberlakuan evaluatif
dapat dilihat secara empiris.
Adapun Ulrich berpandangan bahwasanya pengkategorian keberlakuan
hukum, yakni :
 Keberlakuan yuridis, keberlakuan ini mirip dengan positivistik
sebagaimana  yang dikemukakan oleh Kelsen.
 Keberlakuakn etis, keberlakuan yang terjadi jika sebuah kaedah hukum
memiliki sifat kaedah yang mewajibkan.
 Keberlakauan ideal, keberlakuan kategori ini dapat terwujud jika kaedah
hukum bertumpu pada kaedah moral yang lebih tinggi.
 Keberlakuakn riil. Keberlakuan yang terwujud  dari suatu kaedah hukum
yang berperilaku dengan mengacu pada kaedah hukum itu.
 Keberlakuan ontologis, merupan keberlakuan hukum yang akan
kehilangan maknanya jika kaedah hukum dipositifkan oleh pembentuk
undang-undang yang mengabaikan tuntutan fundamental dalam
pembentukan aturan.
 Keberlakuan sosio relatif, suatu kaedah hukum hukum yang tidak memiliki
kekuatan berlaku atau kekuatan berkelakukan secara yuridis, etis, dan riil
namun masih menawarkan sesuatu kepada para teralamat atau subjek
tertuju.
 Keberlakuakn dekoratif, keberlakuan kaedah hukum yang memilki fungsi
sebagai lambang.
 Keberlakaun estetis, keberlakuan pada sauatu kaedah hukum yang memilki
elegansi tertentu.
 Keberlakukan logical, suatu kaedah hukum yang secara internal tidak
bertentangan, memilki keuatan keberlakuan logikal.
Adapun Bruggink,14 memiliki pandangan bahwasanya apabila hukum
disandingkan dengan kelaziman penyebutan kata ‘keberlakuan’ yang dalam
hal tersebut yakni berkaitan dengan hukum, yang mengambil dari istilah dan
pengertian keberlakuan hukum menurut Gustav Radbruch, maka keberlakuan
normatif atau formal dalam penyebutan lainnya adalah
 Keberlakuan yuridis (juristische geltung),
 keberlakuan faktual atau empiris dalam penyebutan lainnya adalah
keberlakuan sosiologis (soziologische geltung), dan
 keberlakuan evaluatif dalam penyebutan lainnya adalah keberlakuan
filosofis (filosofische geltung).

Filosofische Geltung dapat pula diartikan sebagai hukum mempunyai


kekuatan apabila hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee)
sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositiven Werte: Pancasila,
masyarakat adil dan makmur). Soziologische Geltungdiartikan bahwa diterima
14
Ibid.,
atau berlakunya hukum di dalam masyarakat itu lepas dari kenyataan apakah
peraturan hukum itu terbentuk menurut persyaratan formal atau tidak, dalam
hal ini lebih melihat kepada kenyataan di dalam masyarakat. Juristische
Geltung diartikan sebagai suatu undang-undang atau peraturan telah
memenuhi persyaratan formal. Adapun ide hukum sebagaimana yang
disampaikan oleh Gustav Radbruch dalam kajian “The Concept of Law” pada
pembahasan Legal Philosophyterpetakan ke dalam tiga prinsip, yakni justice, ,
expediency, dan legal certainty, sehingga beberapa aspek keberlakuan yang
telah dijelaskan di atas menjadi suatu wujud kajian epistemologis terhadap
dalam keberlakuannya secara sosiologis, filosofis, dan yuridis yang menjadi
pedoman pada suatu proses pengembanan hukum teoretis dan pembentukan
hukum positif.
Adapun Hans Kelsen berpendapat bahwasaya terdapat empat macam
lingkungan keberlakuan hukum, yaitu:15
a) Lingkungan keberlakuan menurut waktu (Sphere of time)
Setiap aturan hukum hanya berlaku untuk suatu masa tertentu saja, dengan
kata lain tidak ada aturan yang abadi. Salah satu keterbatasan hukum
mengenai keberlakuan adalah soal waktu, suatu peraturan perundang-
undangan terdapat waktu masa berlakunya, undang-undang tersebut tidak
berlaku sebelum undang-undang dibuat, ataupun setelah undang-undang
dicabut atau digantikan. Sehingga suatu aturan hukum keberlakuannya
dibatasi oleh waktu tertentu. Misalnya dalam hukum pidana dikenal asas
legalitas (pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang mana suatu
perbuatan tidak dapat dipidana jika tidak diatur sebelumnya dalam
peraturan perundang-undangan.
b) Lingkungan keberlakuan menurut ruang (Sphere of space)
Keberlakuan hukum menurut ruang identik dengan tempat atau wilayah
keberlakuan hukum itu sendiri. Berlakunya hukum dibatasi dalam wilayah
tertentu saja dan tidak berlaku di tempat yang lain. Misalnya Peraturan
Daerah, hanya berlaku di tempat peraturan perundang-undangan itu dibuat
ataupun dilaksanakan, peraturan perundang-undangan nasional hanya
berlaku di negara itu saja. Setiap aturan hukum memiliki wilayah
keberlakuannya sendiri dari yang paling kecil sampai yang berskala besar.
15
Suteki, Suteki. Masa Depan Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media.
c) Lingkungan keberlakuan menurut orang (Personal sphere)
Keberlakuan hukum dibatasi kepada orang-orang tertentu saya. Tidak
semua aturan hukum berlaku bagi siapa saja (bahkan sebagian besar aturan
hukum berlaku memang untuk orang-orang tertentu saja). Aturan
perundang-undangan juga mempunyai perbedaan mengenai kepada siapa
peraturan tersebut ditujukan. Secara spesifik membatasi keberlakuan
hukum berdasarkan subjek hukumnya. Misalnya Peraturan mengenai PNS
(Pegawai Negeri Sipil) hanya berlaku terhadap PNS saja, peraturan
mengenai militer hanya berlaku bagi kalangan militer saja, atau peraturan
terhadap anak hanya berlaku terhadap anak saja.
d) Lingkungan keberlakuan menurut soal (Material sphere)
Keberlakuan hukum menurut soal berkaitan dengan terhadap hal apa atau
materinya keberlakuan hukum itu diterapkan. Misalnya dalam hal
perbuatan yang merugikan kepentingan Indonesia, meskipun terjadi di luar
wilayah Indonesia, namun menyangkut hal tersebut dapat terjadi
keberlakuan hukum menurut soal, dimana negara dapat terlibat.

3. Keterkaitan antara Kasus Ujaran Kebencian (hatespeech) di Media Sosial


dengan Eksistensi Hukum sebagai Jalinan Nilai dan Teori Keberlakuan
Hukum
Ujaran kebencian (Hate Speech) merupakan suatu tindakan berupa
lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam
bentuk provokasi atau hasutan kepada individu atau kelompok yang lain dalam
berbagai aspek terkait yakni seperti ras, agama, warna kulit, gender, cacat,
orientasi seksual, kewarganegaraan dan lain sebagainya. Dalam arti hukum,
Hate Speech merupakan perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang
dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan kegaduhan
dalam kehidupan bermasyarakat. 16 Dewasa ini, ujaran kebencian (Hate
Speech) kerap kali terjadi dan juga semakin menjadi perhatian masyarakat
nasional maupun internasional seiring dengan perkembangan teknologi yang
menjadi penyebab maraknya terjadi ujaran kebencian (Hate speech) dalam
media sosial, menjadi alasan pendorong meningkatnya kepedulian masyarakat

16
Meri Febriyani, “Analisis Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Dalam Media
Sosial,’’ Poenale : Jurnal Bagian Hukum Pidana 6, No. 3 (2018).
terhadap perlindungan hak asasi manusia. Adapun media terbesar yang
memudahkan munculnya ujaran kebencian yakni melalui media sosial seperti
facebook, twitter, instagram dan jaringan sosial lainnya.
Penyebaran ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial bertujuan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antara individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) yang mampu mengakibatkan perubahan besar dan
sering digunakan untuk kepentingan politik beberapa kalangan. Adapun
aspek-aspek ujaran kebencian sebagaimana dimaksud, bertujuan untuk
menghasut dan menyulut kebencian terhadap Individu atau terhadap kelompok
masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek :17
 Suku, Mengusahakan dukungan umum, dengan cara menghasut untuk
melakukan kekerasan, diskriminasi atau permusuhan sehingga terjadinya
konflik sosial antar suku.
 Agama, Menghina atas dasar agama, berupa hasutan untuk melakukan
kekerasan, diskriminasi atau permusuhan.
 Aliran keagamaan, Menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan- kegiatan keagamaan itu, dengan maksud untuk menghasut orang
lain agar melakukan kekerasan, diskriminasi atau permusuhan.
 Keyakinan/Kepercayaan, Menyulutkan kebencian atau pernyataan
permusuhan kepada keyakinan atau kepercayaan orang lain sehingga
timbulnya diskriminasi antar masyarakat.
 Ras, Menunjukan kebencian atau rasa benci kepada orang lain karena
memperlakukan, pembedaan, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
pada ras yang mengakibatkan pencabutan, pengurangan pengakuan atau
pelaksanaan hak asasi manusia.
 Antar Golongan dan Etnis; Menunjukan rasa kebencian kepada orang lain
atau golongan karena mempermalukan, pembedaan, pembatasan, atau
pemilihan berdasarkan etnis dan golongan.

17
Dewin Maria Herawati, “Penyebaran Hoax Dan Hate Speech Sebagai Representasi Kebebasan Berpendapat,”
Promedia 2, No. 2 (2016)
 Warna Kulit dan Gender, Segala bentuk pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yangmempunyai pengaru atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, pemanfaatan hak asasi manusia, yang
didasarkan warna kulit dan jenis kelamin.
 Kaum difabel, Menunjukan rasa kebencian kepada kaum difabel, sehingga
adanya pembatasan, hambatan kesulitan atau penghilangan hak kaum
difabel.
 Orientasi Seksual, ekspresi Gender; Menyulitkan kebencian atau rasa
benci kepada orang lain yang memiliki orientasi seksual sehingga
terjadinya diskriminasi terhadap kaum tersebut.

Apabila dikaitkan antara kasus ujaran kebencian (Hate Speech) dengan


eksistensi hukum sebagai jalinan nilai, maka dapat dijelaskan bahwasanya
kedudukan hukum sebagai jalinan nilai yakni jaringan berbagai atau segala
sesuatu yang diinginkan (dalam arti yang positif) serta segala yang tidak
diinginkan (dalam arti yang negatif) dalam gabungan atau masing-masing
tersendiri. Sistem jalinan nilai-nilai dalam hukum akan nampak sebagai
pasangan-pasangan tertentu, yang masing- masing pasanagan tersiri atas nilai-
nilai yang saling bertegangan antara satu sama lainnya. Adapun yang
dimaksud bertegangan dalam hal ini adalah suatu keadaan yang menunjukan
bahwa dalam suatu pasangan tertentu, nilai yang satu pada hakikatnya bersifat
mendesak nilai yang lain, namun kedua nilai tersebut tidak boleh saling
meniadakan, sementara sejalan dengan hal tersebut manusia berupa sikap
tindak dan perilakunya merupakan sumber nilai terhadap tiga sumber
antinomi, yakni :
d) Kebebasan-ketertiban
e) Materialisme-spiritualisme
f) Konservatisme-inovatisme

Dimana keterkaitan tersebut dapat dilihat dari salah satu sumber


antinomi yakni kebebasan-ketertiban. Dalam kasus ujaran kebencian (Hate
Speech) dapat dikatakan bahwasanya adanya kebebasan berpendapat dan
berekspresi merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya ujaran
kebencian (Hate Speech), adapun terkait kebebasan tersebut didasari oleh Hak
Asasi Manusia telah melindungi kebebasan berpendapat seperti yang terdapat
didalam Pasal 29 Deklarasi Universal tentang Pasal tersebut berbunyi, “Setiap
orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam
hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan
untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan
pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas.” Hal
yang berkaitan mengenai Perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem
elektronik dalam hal pembuktian berkenaan dengan permasalahan hukum
yang dihadapi terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau
data secara elektronik. namun kebebasan dalam hal ini adalah kebebasan yang
tidak melanggar aturan, namun seharusnya kebebasan dalam hal ini adalah
kebebasan yang tidak melanggar batas-batas aturan, sehingga ketertiban yang
menjadi pasangan nilai tersebut dapat tercapai dan keserasian nilai akan
terwujud antara kebebasan dan ketertiban.

Kemudian, keterkaitan antara keberlakuan hukum dengan kasus ujaran


kebencian (Hate Speech), yakni dapat dilihat pada keberlakuan hukum secara
normatif/formal dimana apabila suatu kaidah merupakan bagian dari suatu
sistem kaidah hukum tertentu yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah hukum
itu saling menunjuk.18 Sistem kaidah hukum terdiri atas keseluruhan hierarki
kaidah hukum khusus yang bertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah
khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih
tinggi. Dimana adanya kasus ujaran kebencian (Hate Speech) tidak dapat
dipisahkan dari adanya hak kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi
yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat 3 Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana telah disebutkan bahwasanya,
“setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat”. Ujaran kebencian (Hate Speech) diatur dalam Surat Edaran Kapolri
Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) disebutkan
tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat berupa tindak pidana yang di
atur dalam KUHP dan ketentuan-ketentuan pidana lainnya di luar KUHP,
yang berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan
tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita

18
Dian Junita, “Kajian Ujaran Kebencian Di Media Sosial,” Jurnal Ilmiah Korpus 2, No. 3 (2019).
bohong. Terkait ujaran kebencian (Hate Speech) di media sosial juga telah
diatur dalam Pasal 28 ketentuan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) jo. Undang-undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008
tentang ITE terkait juga dengan penyebaran berita hoax.

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwasanya
hukum sebagai jalinan nilai menempatkan hukum sebagai penjabaran kongkrit
terhadap suatu nilai yang hidup di masyarakat, yang biasanya telah diusahakan
guna mencapai keserasian antar nilai-nilai yang saling berpasangan sehingga
dapat mencapai esensi dari jalinan nilai tersebut. Manusia dan sikap tindak serta
perilakunya merupakan objek kajian yang dimana hal tersebut saling memiliki
keterkaitan dengan jalinan nilai dan keberlakuan hukum tersebut. Adapun kasus
ujaran kebencian dapat dipahami sebagai suatu bentuk ketegangan antara nilai
kebebasan dan ketertiban yang saling berkaitan dan berpasangan, terkait
pengaturan hukum dalam kasus ujaran tersebut telah diatur oleh UU No. 11 Tahun
2008 Tentang Informatika dan Transaksi Elektronik, berbanding lurus dengan
pengaturan terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang diatur
dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia, hal tersebut merupakan bentuk dari konsep keberlakuan hukum secara
normatif/formal.

Saran
Adapun dengan disusun dan dibuatnya makalah yang berjudul “Eksistensi
Hukum Sebagai Jalinan Nilai dan Keberlakuan Hukum Terhadap Kasus Ujaran
Kebencian di Media Sosial” penulis berharap dapat bermanfaat bagi mahasiswa,
kaum intelektual hukum, serta masyarakat dan dapat dijadikan bahan literatur,
referensi, sumber pengetahuan terkait keberlakuan hukum dan juga eksistensi
hukum sebagai jalinan nilai.
Daftar Pustaka

Bruggink, J. J. H. dan Arief Shidarta. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra


Aditya Bakti
Gibson, Peter. Segala Sesuatu Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Filsafat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2020.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius
Salim, HS., Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Januari, 2016
Suteki, Suteki. Masa Depan Hukum Progresif. Yogyakarta: Thafa Media, 2015.
Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang
Berkeadilan dan Bermartabat, cetakan ke 4, RajaGrafindo, Jakarta, September, 2019
Bakir Bakir, “Peran Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” AT-
TURAS: Jurnal Studi Keislaman 4, no. 1 (2017): 58
Dewin Maria Herawati, “Penyebaran Hoax Dan Hate Speech Sebagai Representasi
Kebebasan Berpendapat,” Promedia 2, No. 2 (2016)
Dian Junita, “Kajian Ujaran Kebencian Di Media Sosial,” Jurnal Ilmiah Korpus 2, No.
3 (2019).
Kurnia Parluhutan Hutapea, “Peranan Filsafat Hukum Dalam Pembentukan Hukum
Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Dunia Ilmu 2, no. 4 (2016): 11.
Meri Febriyani, “Analisis Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Ujaran Kebencian
(Hate Speech) Dalam Media Sosial,’’ Poenale : Jurnal Bagian Hukum Pidana 6, No. 3 (2018).

Anda mungkin juga menyukai