A. Paradigma hukum
Esmi Warassih mengutip Satjipto Rahardjo yang menegaskan bahwa tidak ada
tatanan sosial, termasuk di dalamnya tatanan hukum, yang tidak bertolak dari kearifan
pandangan tentang manusia dan masyarakat. Dengan kata lain tidak ada tatanan tanpa
paradigma.1
Secara etimologis, paradigma berasal dari kata dalam bahasa Yunani, para yang
artinya di samping atau berdampingan dan diegma yang artinya contoh. Sedangkan
secara etimologis sosiologis istilah ini banyak dipakai sebagai cara pandang, pola, model,
panutan dan sebagainya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma juga diartikan
sebagai model dalam ilmu pengetahuan serta kerangka berpikir.
1
Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah telaah Sosiologis, (Semarang: PT Suryandaru Utama,
2005), hlm 71
2
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm 84
1|Page
Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami
hukum dengan lebih baik, daripada jika kita tidak dapat mengetahuinya.
Lebih lanjut Satjipto Raharjo juga mengemukakan adanya paradigma hukum yang
bermacam-macam. Sebagai akibatnya, maka hukum juga mengekspresikan berbagai
macam hal sesuai dengan perspektif dasarnya.3 Menurut Otje Salman yang dikutip oleh
Zainuddin Ali, Paradigma Sosiologi hukum merupakan pengaruh timbal balik antara
hukum dengan gejala sosial lainnya.
Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara keseluruhan dipayungi
oleh sebuah norma dasar atau basic norm. Norma dasar inilah yang dipakai sebagai dasar
dan sekaligus penuntun penegakan hukum. Sebagai sistem nilai, norma dasar tersebut
merupakan sumber nilai dan juga pembatas dalam penerapan hukum.4
Hukum harus mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak layak disebut
hukum apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan sebagai berikut:
3
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, (Yogyakrta:
Genta Publishing, 2010), hlm 66
4
Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah telaah Sosiologis, (Semarang: PT Suryandaru Utama,
2005), hlm 80
2|Page
5. Kegagalan karena menuntut dilakukannya perilaku di luar kemampuan
orang yang diatur (beyond the power of the affected)
6. Kegagalan karena sering melakukan perubahan
7. Kegagalan untuk menyerasikan aturan dengan praktik penerapannya.
Donald Black, salah seorang sosiologi hukum Amerika terkemuka, sama sekali
menolak untuk membicarakan nilai-nilai, sebab sosiologi hukum seharusnya konsisten
sebagai ilmu mengenai fakta, sehingga segala sesuatunya harus hanya didasarkan pada
apa yang dapat diamati dan dikualifikasikan.
5
http://junaidimaulana.blogspot.co.id/2013/02/paradigma-hukum_23.html
6
Paul B Horton, Chester L Hunt, Terjemah: Aminuddin Ram, Tita Sobari, Sosiologi, (Jakarta:
Erlangga, 1984), hlm. 250
3|Page
Menurut Koentjaraningrat, institusi sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan
hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Dari pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi. Kebutuhan
tersebut harus mendapatkan pengakuan oleh masyarakat karena pentingnya ia bagi
kehidupan manusia. Sehingga masyarakat mengusahakan agar ia bisa dipelihara dan
diselenggarakan secara seksama.
Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya
diakui di semua tempat di dunia ini. Karena itu, dibentuklah institusi sosial bernama
hukum agar keadilan dapat terselenggara secara seksama dalam masyarakat. Ada
beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi, yaitu:
Karena institusi sengaja dibentuk, maka tidak serta merta ia menjadi sempurna.
Proses untuk membuat institusi menjadi makin efektif disebut penginstitusionalan. Di
setiap negara tentunya proses ini akan berbeda-beda sesuai kebutuhan masing-masing.
Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai institusi sosial dimana hukum menjadi
suatu kebutuhan bagi masyarakat agar tercipta keadilan dan ketentraman. Sehingga
masyarakat dapat hidup dengan damai tanpa ada konflik. Institusi merupakan suatu
sistem hubungan sosial yang menciptakan keteraturan dengan mendefinisikan dan
membagikan peran-peran yang saling berhubungan didalam institusi.
4|Page
itu, terdapat perbedaan cara dalam penyelenggaraannya di berbagai tempat. Perbedaan ini
berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat dalam masyarakat.
Sehingga sebagai institusi sosial, kita dapat melihat hukum dalam kerangka yang luas,
melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.
Hukum sebagai rekayasa sosial atau sarana rekayasa sosial merupakan fenomena
yang menonjol pada abad ke-20 ini. Tidak seperti halnya dalam suasana tradisional,
dimana hukum lebih merupakan pembadanan dari kaidah-kaidah sosial yang sudah
tertanam dalam masyarakat, hukum sekarang sudah menjadi sarana yang sarat dengan
keputusan politik. Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial dipelopori oleh
Roscoe Pound, yang pada tahun 1912 melontarkan suatu paket gagasan yang kemudian
dikenal dengan sebagai program aliran hukum sosiologis.
7
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 4
5|Page
sosial merupakan suatu usaha yang lebih sistematis dan cendekia tentang bagaimana cara
mencapai tujun tersebut.8
Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial tidak dapat dilepaskan dari
anggapan serta faham bahwa hukuman itu merupakan sarana (instrumen) yang dipakai
untuk mencapai tujuan-tujuan yang jelas. Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa
sosial membawa kita kepada penelitian mengenai kaitan antara pembuatan hukum atau
cara-cara yang dilakukan oleh hukum dengan hasil atau akibat yang muncul kemudian.
Untuk menjamin agar tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa sosial ke arah
kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti
kaidah atau perturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum
8
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hlm. 142.
9
Chaeruddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), hlm. 150-151
6|Page
tersebut dalam praktek hukum, atau dengan perkataan lain, jaminan akan adanya law
enforcement yang baik.10
Hukum sebagai social engineering, tentu harus ada subjek yang merubah, yang
biasa disebut dengan agen of change. Agen of change atau pelopor perubahan adalah
seseorang atau kelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin
masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan bahkan menyebabkan perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
10
Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 40.
7|Page
DAFTAR KEPUSTAKAAN
http://junaidimaulana.blogspot.co.id/2013/02/paradigma-hukum_23.html
Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003)
Paul B Horton, Chester L Hunt, Terjemah: Aminuddin Ram, Tita Sobari, Sosiologi,
(Jakarta: Erlangga, 1984),
8|Page