Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN

A. Paradigma hukum

Esmi Warassih mengutip Satjipto Rahardjo yang menegaskan bahwa tidak ada
tatanan sosial, termasuk di dalamnya tatanan hukum, yang tidak bertolak dari kearifan
pandangan tentang manusia dan masyarakat. Dengan kata lain tidak ada tatanan tanpa
paradigma.1

Secara etimologis, paradigma berasal dari kata dalam bahasa Yunani, para yang
artinya di samping atau berdampingan dan diegma yang artinya contoh. Sedangkan
secara etimologis sosiologis istilah ini banyak dipakai sebagai cara pandang, pola, model,
panutan dan sebagainya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma juga diartikan
sebagai model dalam ilmu pengetahuan serta kerangka berpikir.

Liek Wilaryo mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai ilmuwan


dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap,
dan dengan metode apa, serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus
dilakukan.2

Konsep paradigma muncul karena kegundahan Thomas S. Khun saat melihat


terkotak-kotaknya ilmuwan sosial sebagai akibat dari perselisihan pendapat yang
menyangkut sifat masalah dan metode ilmiah yang diakui valid. Khun melihat sumber
perselisihan tersebut terletak dari perbedaan paradigma yang dianut masing-masing
ilmuwan tersebut. Meskipun Khun dapat disebut sebagai pencetus konsep paradigma,
tetapi dia lebih memilih menggunakan istilah disciplinary matrixs dan exemplar
dibandingkan kata 'paradigma' itu sendiri.

Hukum mempunyai paradigma, yang oleh Satjipto Raharjo diartikan sebagai


perspektif dasar. Dengan adanya paradigma tersebut membawa kita kepada kebutuhan
untuk melihat hukum sebagai institusi yang mengekspresikan paradigma tersebut.

1
Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah telaah Sosiologis, (Semarang: PT Suryandaru Utama,
2005), hlm 71
2
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm 84

1|Page
Dengan mengetahui paradigma yang ada di belakang hukum, kita dapat memahami
hukum dengan lebih baik, daripada jika kita tidak dapat mengetahuinya.

Lebih lanjut Satjipto Raharjo juga mengemukakan adanya paradigma hukum yang
bermacam-macam. Sebagai akibatnya, maka hukum juga mengekspresikan berbagai
macam hal sesuai dengan perspektif dasarnya.3 Menurut Otje Salman yang dikutip oleh
Zainuddin Ali, Paradigma Sosiologi hukum merupakan pengaruh timbal balik antara
hukum dengan gejala sosial lainnya.

B. Hukum sebagai sistem nilai

Menurut Satjipto Rahardjo, nilai merupakan salah satu paradigma hukum,


sehingga nilai dapat dilihat sebagai sosok hukum juga. Nilai sebagai perwujudan nilai-
nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara keseluruhan dipayungi
oleh sebuah norma dasar atau basic norm. Norma dasar inilah yang dipakai sebagai dasar
dan sekaligus penuntun penegakan hukum. Sebagai sistem nilai, norma dasar tersebut
merupakan sumber nilai dan juga pembatas dalam penerapan hukum.4

Hukum harus mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak layak disebut
hukum apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan sebagai berikut:

1. Kegagalan untuk mengeluarkan aturan (to achief rules)


2. Kegagalan untuk mengumumkan aturan tersebut kepada public (to
publicize)
3. Kegagalan karena menyalahgunakan perundang-undangan yang berlaku
surut (retroactive legislation)
4. Kegagalan karena membuat aturan-aturan yang saling bertentangan
(contraditory rules)

3
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, (Yogyakrta:
Genta Publishing, 2010), hlm 66
4
Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah telaah Sosiologis, (Semarang: PT Suryandaru Utama,
2005), hlm 80

2|Page
5. Kegagalan karena menuntut dilakukannya perilaku di luar kemampuan
orang yang diatur (beyond the power of the affected)
6. Kegagalan karena sering melakukan perubahan
7. Kegagalan untuk menyerasikan aturan dengan praktik penerapannya.

Donald Black, salah seorang sosiologi hukum Amerika terkemuka, sama sekali
menolak untuk membicarakan nilai-nilai, sebab sosiologi hukum seharusnya konsisten
sebagai ilmu mengenai fakta, sehingga segala sesuatunya harus hanya didasarkan pada
apa yang dapat diamati dan dikualifikasikan.

Berseberangan dengan Donald Black, maka Philip Selznick dan kawan-kawannya


dari Berkeley berpendapat bahwa hakikat dari hukum justru terletak pada karakteristik
dari hukum sebagai institusi yang menunjang dan melindungi nilai-nilai. Sejak hukum
menjadi cagar niali (sanctuary), yaitu tempat nilai dan moral disucikan, maka bangsa-
bangsa pun berbeda dalam praksis hukumnya. Sosiologi hukum harus menghadapi
kenyataan tersebut apabila ia ingin menjelaskan perebdaan-perebdaan tesrsebut.5

C. Hukum sebagai ideologi

Sebagai paradigma, ideologi tidak membiarkan hukum sebagai suatu lembaga


yang netral. Ideologi merupakan suatu sistem gagasan yang menyetujui seperangkat
norma. Jika norma menetapkan bagaimana cara orang berperilaku, maka tugas ideologi
adalah untuk menjelaskan mengapa harus bertindak demikian dan mengapa mereka
seringkali gagal bertindak bagaimana semestinya.

Newman berpendapat bahwa ideologi merupakan seperangkat gagasan yang


menjelaskan atau yang melegalisasikan tatanan sosial, struktur kekuasaan atau cara hidup
dilihat dari segi tujuan, kepentingan atau kolektifitas di mana ideologi itu muncul.6

D. Hukum sebagai institusi

5
http://junaidimaulana.blogspot.co.id/2013/02/paradigma-hukum_23.html
6
Paul B Horton, Chester L Hunt, Terjemah: Aminuddin Ram, Tita Sobari, Sosiologi, (Jakarta:
Erlangga, 1984), hlm. 250

3|Page
Menurut Koentjaraningrat, institusi sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan
hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Dari pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa masyarakat sangat membutuhkan kehadiran institusi. Kebutuhan
tersebut harus mendapatkan pengakuan oleh masyarakat karena pentingnya ia bagi
kehidupan manusia. Sehingga masyarakat mengusahakan agar ia bisa dipelihara dan
diselenggarakan secara seksama.

Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya
diakui di semua tempat di dunia ini. Karena itu, dibentuklah institusi sosial bernama
hukum agar keadilan dapat terselenggara secara seksama dalam masyarakat. Ada
beberapa ciri yang umumnya melekat pada institusi, yaitu:

1. Stabilitas. Hukum sebagai institusi sosial harus menimbulkan suatu


kemantapan dan keteraturan dalam usaha manusia untuk memperoleh
keadilan.
2. Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam
masyarakat.
3. Adanya norma-norma.
4. Ada jalinan antar institusi.

Karena institusi sengaja dibentuk, maka tidak serta merta ia menjadi sempurna.
Proses untuk membuat institusi menjadi makin efektif disebut penginstitusionalan. Di
setiap negara tentunya proses ini akan berbeda-beda sesuai kebutuhan masing-masing.

Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai institusi sosial dimana hukum menjadi
suatu kebutuhan bagi masyarakat agar tercipta keadilan dan ketentraman. Sehingga
masyarakat dapat hidup dengan damai tanpa ada konflik. Institusi merupakan suatu
sistem hubungan sosial yang menciptakan keteraturan dengan mendefinisikan dan
membagikan peran-peran yang saling berhubungan didalam institusi.

Hukum merupakan institusi sosial yang tujuannya adalah untuk


menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat. Penyelenggaraan tersebut berkaitan
dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melaksanakannya. Oleh karena

4|Page
itu, terdapat perbedaan cara dalam penyelenggaraannya di berbagai tempat. Perbedaan ini
berhubungan erat dengan persediaan perlengkapan yang terdapat dalam masyarakat.
Sehingga sebagai institusi sosial, kita dapat melihat hukum dalam kerangka yang luas,
melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat.

Institusi sosial merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola


perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Hukum sebagai
suatu lembaga atau institusi sosial, hidup berdampingan dengan lembaga kemasyarakatan
lainnya dan saling mempengaruhi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi.7

E. Hukum sebagai rekayasa sosial

Hukum sebagai rekayasa sosial atau sarana rekayasa sosial merupakan fenomena
yang menonjol pada abad ke-20 ini. Tidak seperti halnya dalam suasana tradisional,
dimana hukum lebih merupakan pembadanan dari kaidah-kaidah sosial yang sudah
tertanam dalam masyarakat, hukum sekarang sudah menjadi sarana yang sarat dengan
keputusan politik. Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial dipelopori oleh
Roscoe Pound, yang pada tahun 1912 melontarkan suatu paket gagasan yang kemudian
dikenal dengan sebagai program aliran hukum sosiologis.

Dalam bukunya "An Introduction to the Philoshophy of Law". Pound mengatakan


bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial.
Dalam banyak karangan pound berusaha memudahkan dan menguatkan tugas rekayas
sosial ini dengan merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial, yang
keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang. Pound menggolongkan
kepentingan-kepentingan yang secara sah dilindungi, dalam tiga golongan, yakni
kepentingan umum, sosial dan pribadi.

Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial


adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan
masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubhan-perubahan yang
diinginkan. Setiap peraturan hukum tentulah mempunyai tujuannya sendiri, rekayasa

7
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 4

5|Page
sosial merupakan suatu usaha yang lebih sistematis dan cendekia tentang bagaimana cara
mencapai tujun tersebut.8

Hukum sebagai rekayasa sosial, menurut Chairuddin, berfungsi sebagai


independent variebel, dimana masyarakat berfungsi sebagai variebel yang dipengaruhi
oleh hukum. Jika demikian halnya maka perlu ada perencanaan tentang bentuk
masyarakat yang diinginkan itu diwujudkan melalui arah kebijaksanaan yang ditetapkan.

Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial tidak dapat dilepaskan dari
anggapan serta faham bahwa hukuman itu merupakan sarana (instrumen) yang dipakai
untuk mencapai tujuan-tujuan yang jelas. Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa
sosial membawa kita kepada penelitian mengenai kaitan antara pembuatan hukum atau
cara-cara yang dilakukan oleh hukum dengan hasil atau akibat yang muncul kemudian.

A. Podgorecki, yang dikutip oleh Satjipto Raharjo, mengembangkan empat asas


pokok rekayasa sosial sebagai berikut9:

a) Mendeskripsikan situasi yang dihadapi dengan baik


b) Membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan
menempatkannya dm suatu urutan hirarki. Analisa di sini meliputi pula pemikiran
mengenai apakah cara-cara yang akan dipakai tidak akan lebih menimbulkan
suatu efek yang malah memperburuk keadaan.
c) Melakukan verifikasi hipotesa-hipotesa, seperti apakah suatu cara yang dipikirkan
untuk dilakukan pada akhirnya nanti memang akan membawa kepada tujuan
sebagaimana dikehendaki, atau tidak.
d) Pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.

Untuk menjamin agar tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa sosial ke arah
kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti
kaidah atau perturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum

8
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hlm. 142.
9
Chaeruddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), hlm. 150-151

6|Page
tersebut dalam praktek hukum, atau dengan perkataan lain, jaminan akan adanya law
enforcement yang baik.10

Hukum sebagai social engineering, tentu harus ada subjek yang merubah, yang
biasa disebut dengan agen of change. Agen of change atau pelopor perubahan adalah
seseorang atau kelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai
pemimpin satu atau lebih lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin
masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan bahkan menyebabkan perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.

Sesungguhnya proses rekayasa sosial dengan menggunakan hukum merupakan


proses yang tidak berhenti pada pengukuran efektivitasnya, melainkan bergulir terus.
Proses yang bersambungan terus itu mengandung arti, bahwa temuan-temuan dalam
pengukuran akan menjadi umpan balik untuk semakin mendekatkan hukum kepada
tujuan yang ingin dicapainya.

10
Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 40.

7|Page
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Chaeruddin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989)

Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah telaah Sosiologis, (Semarang: PT Suryandaru


Utama, 2005)

http://junaidimaulana.blogspot.co.id/2013/02/paradigma-hukum_23.html

Munir Fuadi, Aliran Hukum Kritis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003)

Paul B Horton, Chester L Hunt, Terjemah: Aminuddin Ram, Tita Sobari, Sosiologi,
(Jakarta: Erlangga, 1984),

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007)

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,


(Yogyakrta: Genta Publishing, 2010)

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,


2006)

8|Page

Anda mungkin juga menyukai