Anda di halaman 1dari 6

NO.

DPNA : 92
NAMA : WIFIKA SINTARI
NIM : 02011282025284
PROGRAM : HUKUM PIDANA
KEKHUSUSAN
MATA KULIAH : HUKUM PENINTENSIER
DOSEN PENGAMPU : 1. DR. HJ. NASHRIANA, S.H., M.HUM.
2. HAMONANGAN ALBARIANSYAH, S.H., M.H.
3. NEISA ANGRUM ADISTI, S.H., M.H.
4. ISMA NURILLAH, S.H., M.H.
JUDUL : PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK
PIDANA KORUPSI

PENJATUHAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang marak terjadi di Indonesia dengan
berbagai macam tantangan dalam prakteknya. Berbagai macam kasus korupsi kerap kali
terjadi baik yang dilakukan oleh pejabat tingkat daerah maupun nasional yang seringkali
menjadi topik utama dalam berbagai media massa.

Terjadinya kasus korupsi tidak hanya dalam satu bidang kekuasaan saja, dimana pada
faktanya korupsi terjadi dalam semua bidang kekuasaan dan tata pemerintahan baik di bidang
legislatif, eksekutif, yudikatif, bahkan dalam sektor perekonomian swasta. Korupsi kerap kali
dilakukan oleh pejabat yang notabene memegang kekuasaan dalam lembaga negara, yang di
pengaruhi oleh keluasan yang dimiliki oleh oknum pelaku tindak pidana korupsi. Adapun
dalam Tindak Pidana Korupsi terdapat beberap subjek hukum, yakni Pegawai Negeri Sipil
(PNS), Pejabat Negara (Eksekutif, Legistalif dan Yudikatif), Pengusaha, Cendikiawan.

Adapun selain kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara baik itu pejabat di
bidang eksekutif,legislatif dan yudikatif. Tindak pidana korupsi juga seringkali menyeret
golongan Cendikiawan, sebagai contoh tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Rektor
Unila, selain itu pengusaha juga menjadi salah satu subjek yang seringkali terjerat kasus
Tindak Pidana Korupsi yang terjadi dalam ruang lingkup pengadaan barang ataupun jasa
dalam suatu tander.

Tindak Pidana Korupsi telah diatur dalam beberapa Undang-undang di Indonesia


yakni, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), yang menyebutkan “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan
pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta
rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah”.

Berdasarkan hal yang diatur dalam pengaturan terkait Tndak Pidana Korupsi tersebut
dapat dikatakan bahwasanya kerugian keuangan negara merupakan salah satu aspek yang
dirugikan, dimana Suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana korupsi menurut Pasal 2
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas, maka harus memenuhi
unsur-unsur yakni setiap orang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi;
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Adapun dalam hal tersebut pengkategorian keuangan negara atau Perekonomian


negara terbagi ke dalam 4 (empat) kategori sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1), yakni
kategori paling berat (Nilai Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dari
tindak pidana korupsi lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)), kategori
berat Nilai Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dari tindak pidana korupsi
lebih dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sampai dengan
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)), kategori sedang (Nilai Kerugian Keuangan
Negara atau Perekonomian Negara dari tindak pidana korupsi lebih dari Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) sampai dengan Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)),
kategori ringan (Nilai Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dari tindak
pidana korupsi lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)), dan kategori paling ringan (Nilai Kerugian
Keuangan Negara atau Perekonomian Negara dari tindak pidana korupsi sampai Dengan
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)).
Adapun bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi dapat berupa suap-menyuap yang
terjadi dengan adanya kesepakatan antara pihak yang memberikan suap dan pihak yang
menerima suap, gratifikasi yakni pemberian hadiah tanpa consent, penggelapan dalam
jabatan, serta pemerasan, pemalsuan, benturan kepentingan dalam suatu pengadaan.
Pertanggungjawaban pidana yang menitikberatkan pada kesalahan (Stafzonderschuld)
seharusnya berbanding lurus dengan penjatuhan pidana terhadap kesalahan tersebut. Adapun
dalam Tindak Pidana Korupsi berdasarkan dengan aspek kesalahan terbagi menjadi beberapa
kategori, yakni aspek kesalahan tinggi, dimana terdakwa memiliki peran yang paling
signifikan dalam terjadinya tindak pidana korupsi, baik dilakukan sendiri maupun bersama-
sama; terdakwa memiliki peran sebagai penganjur atau yang menyuruh lakukan terjadinya
tindak pidana korupsi; terdakwa melakukan perbuatannya dengan menggunakan modus
operandi atau sarana/teknologi canggih; dan/atau terdakwa melakukan perbuatannya dalam
keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala nasional;

Kemudian, aspek kesalahan sedang dimana terdakwa memiliki peran yang signifikan
dalam terjadinya tindak pidana korupsi, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama;
terdakwa melakukan perbuatannya dengan disertai atau didahului perencanaan tanpa modus
operandi atau sarana/teknologi canggih; dan/atau terdakwa melakukan perbuatannya dalam
keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala daerah/lokal;

Terakhir, aspek kesalahan rendah dimana terdakwa memiliki peran yang tidak
signifikan dalam terjadinya tindak pidana korupsi; terdakwa merupakan orang yang
membantu dalam pelaksanaan tindak pidana korupsi; terdakwa melakukan perbuatannya
karena kurang pemahaman mengenai dampak dari perbuatannya; dan/atau terdakwa
melakukan perbuatannya tidak dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi.

Adapun dalam kasus Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Korupsi


Pasal 2 ayat (2) “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Berdasarkan
pengkategorian diatas pula dapat dikatakan bahwasanya keadaan tertentu tersebut yakni
keadaan dalam kategori aspek kesalahan tinggi dimana korupsi yang dilakukan pelaku saat
melakukan perbuatannya dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala nasional;
Berdasarkan hal tersebut bahwasanya terdapat pengaturan yang telah mengatur
konsekuensi penjatuhan pidana mati terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi. Adanya
pengaturan terkait penjatuhan pidana mati dalam kasus Tindak Pidana Korupsi selaras
dengan pengkategorian Tindak Pidana Korupsi sebagai Extra Ordinary Crime, dimana
Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu kejahatan yang luar biasa, yang tentunya diperlukan
penanganan yang lebih berat dari tindak pidana umum.

Tindak Pidana Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime)
menimbulkan efek yang luas dalam bidang kehidupan (Multiple Effect), yang tidak hanya
dalam satu aspek, melainkan dalam banyak aspek, baik dalam aspek pendidikan,
perekonomian, kesehatan, perdagangan dan jasa oleh karenanya penjatuhan pidana mati
dirasa sangat pantas dijatuhi terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu
hal tersebut dapat diimplikasikan pada dampak yang ditimbulkan atas perbuatan pelaku
tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu misalnya dalam keadaan tertentu. Keadaan
yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu
apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penaggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, yang mungkin saja
berdampak dalam skala nasional, menimbulkan hasil pekerjaan atau pengadaan barang
dan/atau jasa sama sekali tidak dapat dimanfaatkan, serta mengakibatkan penderitaan bagi
kelompok masyarakat yang rentan, diantaranya orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin,
perempuan hamil, dan penyandang disabilitas.

Tindak Pidana Korupsi juga dikenal sebagai Victimless Crime tetapi membawa
dampak yang besar dalam kehidupan bernegara, tentunya hal tersebut merupakan suatu tolak
ukur dari penjatuhan pidana mati yang dinilai pantas untuk dibebankan terhadap oknum
pelaku tindak pidana korupsi, yang pada umumnya merupakan seorang pejabat negara yang
seharusnya memberi pelayanan terhadap negara tetapi atas perbuatannya telah merugikan
keuangan dan kepentingan negara.

Pada faktanya belum pernah dijatuhkan dan dilakukan terhadap pelaku Tindak Pidana
Korupsi, padahal pada faktanya perbuatan atau tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam
keadaan tertentu yakni dalam keadaan bencana nasional Covid-19 telah dilakukan oleh
Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang melakukan korupsi terhadap dana bantuan
sosial dalam Pandemi Covid-19 hanya dijatuhi pidana penjara 12 Tahun dan denda Rp. 500
juta, hal tersebut membuktikan bahwasanya pengaturan terhadap pidana mati yang telah
mengancamkan pidana mati terkesan hanya bersifat pengaturan kosong semata.

Secara legalitas, pengaturan terkait penerapan pidana mati telah diatur sejak tahun
1999, tetapi dalam praktiknya hingga saat ini penjatuhan pidana mati belum pernah dilakukan
terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi. Belum pernah terlaksananya penjatuhan pidana mati
terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi juga memberikan dampak terhadap meningkatnya
kasus Tindak Pidana Korupsi setiap tahunnya. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch
(ICW) tercatat terjadinya peningkatan jumlah perkara dan terdakwa korupsi dari tahun ke
tahun, yakni Pada 2018, terdapat 1.053 perkara dan 1162 terdakwa. Pada2019 terdapat 1.019
perkara dan 1.125 terdakwa. Terakhir pada 2020, terdapat 1.218 perkara dan 1.298 terdakwa
serta pada tahun perkara 2022, terdapat 1.282 jumlah perkara korupsi dengan total terdakwa
1404 orang. Data tersebut membuktikan bahwasanya belum adanya efek jera yang signifikan
terhadap penjatuhan pidana dalam Tindak Pidana Korupsi.

Tujuan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yakni
dilakukan untuk memberikan efek jera terhadap oknum yang melakukan Tindak Pidana
Korupsi serta memberikan pemahaman terhadapa masyarakat luas agar tidak melakukan
melakukan perbuatan tersebut. Hal tersebut senada dengan filsafat pemidanaan yang telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa filsafat pemidanaan yang bersifat integratif berorientasi
pada pembalasan, pencegahan agar orang lain tidak melakukan perbuatan tersebut dan
pendidikan agar si pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi. Korupsi ini yang
menyebabkan perekonomian negara digerogoti sehingga kesejahteraan masyarakat yang
diinginkan tidak pernah terlaksana.

Dengan belum tegasnya penerapan pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi
tentunya memberikan kesan bahwa konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan pelaku
bukanlah suatu perbuatan yang harus dihindari karena unsur ‘benefit’ lebih terkesan
menjanjikan daripada penjatuhan pidana yang kerap kali dijatuhkan terhadap pelaku Tindak
Pidana Korupsi. Dengan demikian hukum Indonesia dinilai perlu mengimplementasikan
penjatuhan pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang telah jelas dilabeli sebagai
suatu kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), serta senyatanya menimbulkan efek
domino terhadap kehidupan bernegara dalam setiap aspek, serta menimbulkan kerugian yang
besar terhadap stabilitas negara.

Anda mungkin juga menyukai