Anda di halaman 1dari 6

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA

PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

Terbentuknya Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)

diprakarsai oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) yang mendesak pemerintah

untuk melakukan reformasi hukum tentang penanganan kasus kekerasan seksual. Hal tersebut dilatar

belakangi oleh laporan mengenai korban kasus kekerasan seksual terus meningkat setiap tahunnya.

Pada tanggal 7 September tahun 2015, Azriana sebagai Ketua Komnas Perempuan dalam Rapat Dengar

Umum (RDPU) menyampaikan bahwa terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang telah menimpa korban

kasus kekerasan seksual di Indonesia dan 13 jenis kekerasan seksual diantaranya belum termuat dalam

peraturan perundang-undangan. Kendati demikian Komans Perempuan menilai bahwa RUU PKS harus

masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019. Hingga tahun 2016 upaya

Komnas Perempuan tersebut berlanjut dengan penyusunan draf Naskah Akademik dan Rancangan

Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)19 Pada tanggal 26 Januari tahun

2016, RUU PKS telah diusulkan dalam Prolegnas 5 Tahunan oleh Fraksi di DPR yakni Fraksi Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Fraksi Partai

Amanat Nasional (PAN). Kemudian, pada bulan Mei tahun 2016, Komnas Perempuan bersama Forum

Pengada Layanan (FPL) secara resmi menyerahkan Naskah Akademik dan RUU PKS kepada Komisi III

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Setelah itu, untuk menindaklanjuti hal tersebut,

Anggota DPR lintas komisi Naskah Akademik dan RUU PKS untuk segera memasukkan RUU PKS ke dalam

Prolegnas Prioritas tahun 2016. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) Perjuangan Megawati

Soekarnoputri menyerukan DPR untuk segera memasukkan RUU tentang Penghapusan Kekerasan

Seksual sebagai prioritas dalam Prolegnas 2016. Menurutnya, seluruh organisasi anak dan perempuan

harus ikut membuat gerakan mendukung RUU itu. Jika perlu, ribuan organisasi yang ada di Indonesia

mengirimkan surat untuk bersatu melawan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Adanya dukungan
tersebut ternyata membuahkan hasil. Hasil rapat internal Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berakhir dengan

membuat keputusan untuk meyepakati dan menyetujui RUU PKS masuk ke dalam daftar Prolegnas

Prioritas tahun 2016. Tanda tangan Pengusul dari anggota lintas fraksi sebanyak 70 orang telah

diserahkan dalam Paripurna DPR RI tanggal 17 Mei 2016 sebagai pemenuhan syarat pengusulan.

Kemudian pada tangga 25 Mei 2016 Baleg DPR RI melakukan rapat perdana terkait RUU PKS dengan

agenda rapat yaitu mendengar uslan terkait materi yang bersangkutan dengan kekerasan seksual. Baleg

DPR setelah itu menyetujui draf RUU PKS dan untuk proses selanjutnya akan diserahkan ke Rapat

Paripurna agar disahkan menjadi usul inisiatif DPR. Baleg DPR RI sepakat bahwa isi RUU PKS memberikan

perlindungan pada masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual. RUU PKS lebih lengkap dari

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, muatannya lebih

memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi

Golkar Firman Soebagyo mengatakan saat ini kekerasan seksual sudah terjadi dimana-mana dan

meresahkan masyarakat sehingga perlu ada pengaturan dalam regulasi yang memberikan efek jera.

Menurut dia efek jera itu bukan hanya sanksi pidana, namun ganti materi yang ditimbulkan akibat

kekerasan seksual. Baleg menargetkan pembahasan RUU PKS selesai pada tahun 2017. Anggota Baleg

DPR dari Fraksi PAN yang juga pengusul RUU PKS, Ammy Amalia Fatma berharap RUU PKS dapat

memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak korban. Menurutnya, diharapkan tidak hanya

memberikan penindakan yang berat terhadap pelaku namun memberikan hak korban, pemulihan, dan

kepedulian terhadap keluarga korban Pemerintah dan DPR sepakat memasukkan 10 RUU ke dalam

program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2016 yang di dalamnya termasuk RUU PKS.
Meskipun RUU PKS telah berhasil masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2016, namun

RUU PKS tidak langsung dibahas. Proses kearah tersebut baru kembali berlanjut pada bulan Oktober,

dan hal tersebut dikarenakan terdapat tingga anggota DPR RI yang mengirimkan surat desakan kepada

Pimpinan Baleg agar RUU PKS segera dibahas. Alhasil pada tanggal 25 Oktober 2016 Baleg DPR RI

melakukan persidangan pertama dalam acara “Presentasi Tim Ahli atas hasil kajian pengharmonisasian,

pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.” Rapat tersebut

diketuai oleh Firman Soebagyo (Wakil Ketua Badan Legislasi) dan dihadiri oleh 26 anggota dari 73 orang

anggota. Hasil dari rapat tersebut ialah Tim Ahli Baleg DPR RI menyatakan bahwa, secara garis besar

RUU PKS telah memenuhi asas-asa pembentukan peraturan perundang-undangan tetap RUU ini masih

perlu disempurnakan khususnya dalam asas kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan. Terkait

aspek substansi, terdapat 28 point yang perlu diperhatikan kembali dan terkait aspek teknis terdapat 19

point yang diperlukan pengkajian lebih lanjut. Pandangan atau tanggapan anggota ialah tujuan dari RUU

PKS adalah untuk memberikan perlindungan dari kejahatan seksual, kiranya RUU ini tidak akan menjadi

pintu masuk bagi diperbolehkannya Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Indonesia dan

kiranya RUU PKS mengatur hal yang berfokus pada pemberian perlindungan dan pemulihan korban

secara psikologis dan juga penegakkan hukum bagi pelaku. Kesimpulan rapat ini ialah pengkajian draft

RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual akan dilakukan penyempurnaan yang dilakukan secara

bersama-sama antara Tim Ahli Badan Legislasi dengan Pengusul RUU dan pengkajian secara lebih

mendalam dalam Panja yang diketuai oleh Wakil Ketua Badan Legislasi H. Totok Daryanto, SE. Pada

tanggal 12 Januari 2017, Baleg DPR RI melakukan rapat kedua dalam acara “Mendengarkan Tanggapan

atau Pandangan Pengusul RUU atas hasil kajian pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

konsepsi RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.” Rapat diketuai oleh Wakil Ketua Badan

Legislasi H. Totok Daryanto, SE. dan dihadiri oleh 27 anggota dari 73 orang Anggota. Hasil pembahasan

rapat tersebut ialah Tanggapan Pengusul menyatakan bahwa terdapat usulan perubahan judul menjadi
“Pencegahan Kekerasan Seksual”, dan terkait dengan substansi Lembaga Pengada Layanan dan

Pendamping, pengusul menjelaskan bahwa karena adanya perlakuan yang kurang baik dari pihak

kepolisian pada saat pelaporan, sehingga diperlukan lembaga dan pendamping ini. Pandangan atau

tanggapan Anggota ialah menghendaki adanya penyempurnaan di dalam draft, khususnya terkait

pendefinisian yang tepat dan jelas agar tidak terjadi penyalahgunaan dan perluasan pemahaman dan

mengusulkan agar di dalam draft RUU ini terdapat perbedaan sanksi bagi pelaku tindak pidana dengan

korban orang dewasa dan anak-anak. Kesimpulan rapat ini ialah dalam melakukan penyempurnaan

hendaknya perlu dicermati dan dilakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang tentang Perlindungan

Anak, Undang-Undang tentang Peradilan Anak dan Buku I Rancangan KUHP terkait dengan anak serta

menugaskan Tim Tenaga Ahli untuk melakukan penyempurnaan draft RUU ini bersama dengan pihak

Pengusul RUU.
Posisi Subjek

1. Pemerintah yakni:

- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

- Menteri Hukum dan HAM

- Komisi Perlindungan Anak Indonesia

- Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)

- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

2.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mulai dari
konsep, naskah akademik, sampai dapat menjadi rancangan undang-undang memang sudah
melalui proses yang sangat panjang. Selanjutnya pro dan kontra juga terus mengiringi
pembahasannya sampai sekarang. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(PPPA), Bintang Puspayoga menegaskan sangat mendukung terciptanya suatu sistem perlindungan
yang komprehensif bagi seluruh rakyat Indonesia dari segala bentuk kekerasan, terutama bagi
kelompok rentan perempuan dan anak dari kekerasan seksual.

Melihat dari data yang ada saat ini dapat dikatakan Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat
kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Hal ini yang menjadi salah satu urgensi dari
disahkannya RUU PKS sudah tidak dapat ditunda lagi. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu saja
pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Marilah bersama-sama kita menjadikan momentum ini
sebagai kesempatan untuk terus mengadvokasi, mengedukasi, serta membangun kepercayaan
masyarakat untuk terwujudnya sistem penghapusan kekerasan seksual yang komprehensif dan
berperspektif korban, terutama kepada seluruh mahasiswa, sebab kalian merupakan ”penyambung
lidah rakyat” yang memiliki peran penting merupakan kekuatan yang luar biasa . Tidak dapat
dipungkiri bahwa asumsi yang bermunculan akibat interpretasi terhadap RUU PKS ini merupakan
polemik yang menyebabkan pro dan kontra dari masyarakat. “Selain pada penundaan pengesahan
RUU PKS karena dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 oleh DPR RI, masih
terdapat kelompok masyarakat yang menganggap muatan materi RUU PKS tidak sesuai dengan
nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Namun hal tersebut tidak dapat disalahkan
karena menyangkut dengan cara pandang seseorang. Kita hanya perlu duduk bersama untuk
mengemukakan pendapat dan mencari jalan tengah tentang perbedaan cara pandang ini, karena
saya yakin baik pihak pro maupun kontra pasti punya satu tujuan yang sama yakni menciptakan
payung hukum yang komprehensif untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan, 

Anda mungkin juga menyukai