Anda di halaman 1dari 2

PRESS REALEASE

PD KAMMI MALANG DAN FSLDK MALANG RAYA


TOLAK RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

DPRD MALANG, 17 SEPTEMBER 2019

Pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Daerah Malang (PD KAMMI Malang) dan Forum
Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Malang Raya menyatakan penolakan pengesahan RUU P-KS
karena mengabaikan Pancasila, ketahanan keluarga, agama dan moralitas bangsa Indonesia.

Pandangan KAMMI setidak-tidaknya diturunkan dalam poin-poin sebagai berikut:

1. Salah satu hal yang paling mencengangkan adalah Pasal 136 RUU P-KS yang menyebutkan bahwa
korporasi dapat dipidana ganti kerugian karena melakukan kekerasan seksual. Persoalaannya,
korporasi yang dimaksud di dalam RUU P-KS adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum.
a. Pertama, korporasi dalam hukum bisnis sudah pasti berbadan hukum karena kekayaan yang
terorganisasi secara terpisah dari orang per orang hanya dapat dilakukan oleh badan
hukum. Mengapa RUU P-KS memuat definisi yang tidak lazim lewat kata-kata bersayap?
b. Kedua, tidak ada korporasi berbadan hukum yang dapat secara sengaja didirikan untuk
melakukan perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan karena sudah pasti menyalahi kausa
halal dalam hukum perdata Indonesia.
c. Ketiga, korporasi dalam makna yang sesuai dengan definisi dalam RUU P-KS di atas paling
mungkin di-implementasikan pada industri gelap seperti prostitusi.
d. Sehingga penafsiran hukum atas Pasal 136 sangat logis diterapkan sebagai perlindungan
bagi para pelacur yang bekerja di “korporasi” demikian. Dalam hal kasus demikian
menjadi preseden peradilan, bukan tidak mungkin Indonesia digiring untuk melegalkan
Industri perzinaan melalui RUU ini.
2. RUU P-KS dengan sengaja mengabaikan falsafah Pancasila dan UUD N RI 1945 seraya mengambil
falsafah feminisme.
a. Sehingga RUU P-KS, di bawah term “Kekerasan Seksual” mengandung kekeliruan yang
sangat fatal dalam merumuskan “siapa korban dalam pelanggaran dan/atau perbuatan
kriminal pada nilai kesusilaan”.
b. Pelacur sebagai “korban” kekerasan seksual adalah “pelaku” kejahatan seksual karena
menyuburkan zina di tengah-tengah masyarakat.
c. Pezina sebagai “korban” kekerasan seksual adalah “pelaku” kejahatan seksual karena
merusak tatanan kekeluargaan.
d. Pelaku penyimpangan seksual sebagai “korban” kekerasan seksual adalah “pelaku”
kejahatan seksual yang menjadi penyakit masyarakat.
e. RUU P-KS mengabaikan konteks dimana seseorang dapat saja merupakan pelaku kenakalan
atau kejahatan seksual sebelum menjadi korban. Seharusnya pemberantasan terhadap
pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai kesusilaan dalam masyarakat
mempertimbangkan akar dari adanya kekerasan seksual yaitu kebobrokan moral dan
rentannya ketahanan keluarga.
f. Hal ini karena RUU P-KS tidak memuat agama dan moral sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 28 J UUD N RI 1945 sebagai asas penegakan hukum sehingga konsep pemidanaannya
hanya bertumpu pada kejadian akhir dari suatu situasi kejahatan pada nilai kesusilaan di
dalam masyarakat.
g. Pengabaian ini pada kelanjutannya merupakan upaya untuk menancapkan pemahaman
feminisme yang tidak sesuai dengan Pancasila, sebagaimana tergambarkan dalam Naskah
Akademik-nya.
h. Selanjutnya Naskah Akademik RUU P-KS tidak menginginkan adanya penerapan kausalitas
hukum dalam proses penyidikan. Ini merupakan penerapan dari paham permisif yang
mendobrak penemuan fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
i. Dalam kasus pemaksaan aborsi misalnya, penentuan bahwa seseorang melakukan aborsi
karena pemaksaan seseorang, dimungkinkan hanya berbasis keterangan satu sisi pelaku
aborsi. Hal ini sangat mungkin menjadi alat bagi pelaku aborsi untuk menghindari jeratan
hukum berdasarkan UU tentang Kesehatan.
3. RUU P-KS memuat kata-kata ambigu yang berbahaya dalam penafsiran hukumnya, yang sebagian
di antaranya sebagai berikut:
1. Perbuatan lainnya 2. Biaya lainnya yang diperlukan
3. Hasrat seksual 4. Dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh Korban
5. Relasi kuasa 6. Keluarga dan kelompoknya
7. Relasi gender 8. Hak penguatan psikologis
9. Relasi 10. Pendamping lain
11. Gender 12. Berspektif hak asasi manusia dan gender
13. Korporasi 14. Dokumen
15. Saksi 16. Kepentingan terbaik
17. Kepentingan terbaik 18. Penyidik menghitung untuk menentukan jenis dan jumlah
19. Lingkungan bebas Ganti kerugian bagi Korban
kekerasan seksual
20. Situasi khusus lainnya 21. Organisasi bantuan hukum
22. Perbudakan seksual 23. …
Menimbang banyaknya kata-kata ambigu di atas, naskah RUU P-KS tidak layak untuk diterapkan
sebagai naskah hukum yang seharusnya lugas dan tidak multitafsir.
4. RUU P-KS mengabaikan ketahanan keluarga.
a. RUU P-KS hanya melihat kejadian pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai
kesusilaan sebagai peristiwa hukum yang terpisah dari struktur ketatamasyarakatan
organik Indonesia.
b. Pengabaian terhadap institusi keluarga turut pula menafikan nilai-nilai kehidupan yang
berakar urat dalam masyarakat Indonesia.
5. RUU P-KS berpotensi menyuburkan penyimpangan seksual (LGBTQ) dan perzinaan.
a. Bertolak belakang dengan jangkauan penegakan hukumnya yang begitu luas pada aspek
pencegahan, pemidanaan, peradilan, dan pemulihan, RUU P-KS sengaja menyempitkan
materi pengaturan pada kekerasan seksual.
b. Sehingga sistem hukum yang terkait pelanggaran dan/atau perbuatan kriminal pada nilai
kesusilaan hanya akan menyempit pada perspektif kekerasan seksual.
c. Konsep sistem hukum yang dimuat dalam RUU P-KS meniadakan konsep “kausa halal”
karena unsur “paksaan” menjadi variabel utama dalam mendefinisikan telah terjadinya
perbuatan kriminal pada kesusilaan.
d. RUU P-KS pada keseluruhannya akan mengacaukan penafsiran hukum atas perbuatan yang
halal dan tidak halal menurut hukum. Dalam hal pelacuran dengan paksaan maka tidak
diperbolehkan, dalam hal pelacuran tidak paksaan maka diperbolehkan.
e. RUU P-KS merumuskan bahwa “saksi adalah orang yang mendengar dari korban”, bukan
hanya yang melihat, mendengar dan menyaksikan sendiri suatu peristiwa hukum. Hal ini
menyalahi logika hukum yang menghendaki adanya validitas fakta hukum.
6. RUU P-KS memuat aspek pendidikan yang berbahaya bagi generasi masa depan bangsa.
a. Konsep bobrok yang tergambarkan sebagaimana di atas merupakan bahan kurikulum
pendidikan yang pada kelanjutannya harus dimuat di bawah RUU P-KS.
b. Kurikulum pendidikan dalam konteks kekerasan seksual ini sangat berbahaya karena tidak
mempersoalkan mana perbuatan seksualitas yang dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan
karena hanya bertumpu pada keberadaan “persetujuan” yang dipisahkan dari tuntunan
agama dan moral.

Sehingga tuntutan di dalam Aksi ini adalah untuk “MENOLAK PENGESAHAN RUU P-KS” dan “MENDESAK
PANJA RUU P-KS DI KOMISI 8 DPR RI UNTUK MENIADAKAN PEMBAHASAN RUU P-KS”.

Tertanda,

Ketua Umum PD KAMMI Malang, Ketua Umum FSLDK Malang Raya,

Fajar Tirandicha,S.Pd Udin Nurwahid

Anda mungkin juga menyukai