Anda di halaman 1dari 213

RSITAS INDONE

UNIVER I ESIA

ANALISIS
S PEMAS
SARAN SO
OSIAL
M PEREKR
DALAM RUTAN RELAWA
R AN PEMU
UDA
KASUS RELAWA
R AN MUD
DA INDON
NESIA (R
RMI)

TESIIS

TEG
GUH HUSADANI
2332
1006802

PROGRA
AM PASC
CASARJA
ANA
PRO
OGRAM STUDI KAJIAN
K KETAHA
K ANAN NA
ASIONAL
L
JAKAR
RTA
JULI 2012

 
UNIVER
RSITAS INDONE
I ESIA

ANALISIS
S PEMAS
SARAN SO
OSIAL
M PEREKR
DALAM RUTAN RELAWA
R AN PEMU
UDA
KASUS RELAWA
R AN MUD
DA INDON
NESIA (R
RMI)

TESIIS

Diajukaan sebagai sebagai


s sallah satu sya
arat untuk memperoleh gelar M.Si.
M

TEG
GUH HUSADANI
2332
1006802

Proggram Pasccasarjanaa
Progrram Studii Kajian Ketahana
K an Nasional
Pemiinatan Kaajian Straatejik Pen
ngembanggan Kepem
mimpinan
n
Jakarrta
Juli 20
012

 
LAMAN PE
HAL ERNYATA
AAN ORISIINALITAS
S

T
Tesis ini adaalah hasil karya
k saya sendiri,

dan semua sumberr baik yang dikutip maupun diru


ujuk

telah sayya nyatakan


n dengan benar

N
Nama : TEG
GUH HUSA
ADANI
N
NPM : 1006
6802332
T
Tanda Tan
ngan : ……
………………
………
T
Tanggal : ……
………………
………

ii
 
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhana wa Ta’ala Rabb semesta alam,
karena atas berkat dan rahmat-Nya, tesis ini dapat diselesaikan insya Allah dengan
baik. Tesis ini dilakukan dalam rangka meraih puncak keilmuan atas studi yang
sangat luar biasa, Kajian Ketahanan Nasional Peminatan Kajian Stratejik
Pengembangan Kepemimpinan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sejak
masa perkuliahan sampai dengan pembuatan tesis ini, sangatlah sulit untuk
penyelesaian tesis ini, sekaligus penyelesaian studi pascasarjana saya ini. Oleh
sebab itu, saya dari hati yang paling dalam mengucapkan rasa terima kasih saya
kepada:
• Dra. Hermin Narwati, M.M., Asdep Tenaga Kepemudaan Kemenpora, yang
telah berkenan menjadi pembimbing tesis saya, dan memperkenalkan saya
kepada Relawan Muda Indonesia.
• Para Pimpinan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Plh Ketua:
Prof. Dr. Chandra Wijaya, MM., M.Si. dan Ketua Kajian Ketahanan
Nasional Prof. Dr. Tb. Ronny Nitibaskara serta segenap staf pendukung.
• Hanneman Samuel, Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah berkenan
mengarahkan saya dalam pembuatan tesis ini.
• Oka Aditya, Amelia Zanetta, Arnaldi Nasrum, Kun Dwi Sundari, Amy,
Gerry, Fahmi dan Firman serta rekan-rekan RMI lainnya atas bantuannya.
• Rekan-rekan seperjuangan di PKN angkatan V yang memberikan
pengalaman super dahsyat bagi saya sepanjang masa perkuliahan.
• Mas Sigit, Mas Koko dan Mbak Indah yang selalu memberi dukungan.
• Para mitra kerja saya di Shopping Corner CROCS & Maika Etnik, juga
perusahaan konsultan presentasi, PRESENZA. Salam sukses!
• Istri saya tercinta, Ratna Triana, serta permata hati saya, Hanina Zahra dan
Haidar Rafa, yang memberi kesejukan mata dan kebahagiaan.
Semoga kebaikan semua pihak ini dibalas Allah SWT dengan kebaikan yang
banyak. Amin.

Depok, 12 Juli 2012

Teguh Husadani
iv
 
HALAMAN
H N PERNYA
ATAAN PE
ERSETUJU
UAN PUBL
LIKASI
TUGAS AKHIR
A UN
NTUK KEP
PENTINGA
AN AKADE
EMIS

Sebagai sivitas
s akaddemik Univveitas Indonesia, sayaa yang berttanda tangaan di
bawah ini:

Nama : TEGUH
T HU
USADANI
NPM : 1006802332
2
Program Studi
S : Program
P Stu
udi Kajian Ketahanan
K N
Nasional
Konsentraasi : Kajian
K Strateejik Pengem
mbangan Keepemimpinaan
Jenis Karyya : Tesis
T

demi penggembangann ilmu penggetahuan, menyetujui


m untuk mem
mberikan keepada
Unversitass Indonesiaa Hak Beb
bas Royaltii Nonekslu
usif (Non-exxclusive Ro
oyalt-
Free Righ
ht) atas karyya ilmiah saaya yang berrjudul:
Anaalisis Pemaasaran Sosiial dalam Perekrutan
P Relawan Pemuda:
K
Kasus wan Muda Indonesia (RMI)
Relaw
beserta perangkat yang
y ada (jika
( diperllukan). Deengan Hak Bebas Ro
oyalti
Nonekslussif ini, Unverrsitas In
ndonesia berhak menyim
mpan,
mengalihm
media/formaatkan, menngelola dalaam bentuk pangkalan
p data (datab
base),
merawat, dan memppublikasikann tugas akh
hir saya seelama tetapp mencantum
mkan
nama sayaa sebagai peenulis/penciipta dan seb
bagai pemiliik Hak Cipta.

Demikian pernyataann ini saya buuat dengan sebenarnya.


s .

Dibuat di : Depo
ok
Pada tangggal : 12 Ju
uli 2012
Y
Yang meny
yatakan

(….TE
EGUH HUS
SADANI…
…)

v
 
ABSTRAK

Nama : TEGUH HUSADANI


Program Studi : Program Studi Kajian Ketahanan Nasional
Kajian Stratejik Pengembangan Kepemimpinan
Judul Tesis : Analisis Pemasaran Sosial dalam Perekrutan
Relawan Pemuda: Kasus Relawan Muda Indonesia
(RMI)

Tesis ini membahas tentang bagaimana kerelawanan sebagai produk perubahan


perilaku memiliki kesamaan dengan pemasaran sosial. Sedikitnya jumlah anak
muda yang menjadi relawan bukan karena mereka tidak memiliki jiwa
kepedulian, melainkan karena lemahnya strategi dalam memasarkan program
kerelawanan. Dari kasus Relawan Muda Indonesia, dapat dievaluasi apakah
pendekatan pemasaran sosial sudah dilakukannya untuk mengetahui rendahnya
pemuda menjadi relawan.  Dari program RMI “14 hari menjadi relawan” ini,
disimpulkan bahwa proses perekrutan dan pemeliharaan para relawan RMI telah
dilakukan dengan strategi pemasaran sosial, tapi tidak berjalan efektif karena tidak
memenuhi unsur-unsur atau langkah-langkahnya. Oleh karena itu, diberikan pula
solusi strategi pemasaran sosial yang dapat meningkatkan kemampuan merekrut
(recruitability) dan kemampuan kerelawanan (volunteerability) RMI.

Kata kunci:
Relawan, perubahan perilaku, Relawan Muda Indonesia, rekrut, kemampuan
merekrut, kemampuan kerelawanan, pemasaran sosial

vi
 
ABSTRACT

Nama : TEGUH HUSADANI


Study Program : National Resiliance Study Program
Leadership Development Strategic Study
Title of Thesis : The Analysis of Social Marketing in Youth
Volunteers Recruitment: Relawan Muda Indonesia
(RMI) Case

This thesis discusses how the voluntary as the behavior change product has in
common with social marketing. The small number of young people to volunteer is
not because they do not care, but because of the weak marketing strategy in the
voluntary program. From Relawan Muda Indonesia case, it can be evaluated
whether the social marketing approach have been done to determine the small
number of youth to be volunteers. From the RMI program "14 days to volunteer",
it can be concluded that the process of recruiting and maintaining volunteers in
RMI was done according to social marketing strategies, but it was not in effective
way because it didn’t fulfill the elements or steps of the social marketing.
Therefore, given also the solution of social marketing strategies which can
improve the recruitability and the volunteerability of RMI.

Key words:
Volunteer, behavior change, Relawan Muda Indonesia, recruit, recruitability,
volunteerability, social marketing

vii
 
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................................... v
ABSTRAK ....................................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xi
DAFTAR RUMUS ......................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xiii

1. PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 7
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 8
1.5. Perbandingan dengan Penelitian Lain ................................................................. 8
1.6. Batasan Penelitian ............................................................................................... 9
1.7. Sistematika Penulisan ......................................................................................... 9

2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 12


2.1. Peta Konsep ...................................................................................................... 12
2.2. Kerelawanan ..................................................................................................... 12
a. Pengertian Relawan ...................................................................................... 12
b. Pentingnya Kerelawanan .............................................................................. 14
c. Klasifikasi Relawan ..................................................................................... 16
d. Kerelawanan Muda ...................................................................................... 18
e. Kerelawanan Daring (Online) ...................................................................... 19
2.3. Pemasaran Sosial .............................................................................................. 20
2.4. Pemasaran Sosial untuk Kerelawanan .............................................................. 23
2.4.1. Perencanaan Pemasaran Sosial ................................................................ 25
2.4.2. Kemampuan Merekrut (Recruitability) &
Kemampuan Kerelawanan (Volunteerability) ......................................... 38
a. Kemampuan Merekrut (Recruitability) .............................................. 40
1. Segmentasi Pasar............................................................................ 40
2. Positioning ..................................................................................... 41
3. Pemasaran untuk Calon Relawan ................................................... 46
4. Bagaimana Mencari Relawan yang Baik ....................................... 48
5. Pendekatan Pemasaran ................................................................... 49
b. Kemampuan Kerelawanan (Volunteerability) .................................... 50
1. Hasil Perubahan Perilaku ............................................................... 50
viii
 
2. Model Determinan Kerelawanan ................................................... 51
3. Penataan Kerelawanan ................................................................... 52
4. Pemasaran Internal ......................................................................... 53

3. METODE PENELITIAN ....................................................................................... 54


3.1. Pendekatan Penelitian ....................................................................................... 54
3.2. Tipe Penelitian .................................................................................................. 54
3.3. Lokasi dan Jangka Waktu Penelitian ................................................................ 56
3.4. Teknik Pemilihan Informan .............................................................................. 57
3.5. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................ 59
3.6. Teknik Analisis Data......................................................................................... 59
3.7. Keabsahan Penelitian ........................................................................................ 60
3.8. Keterbatasan Penelitian ..................................................................................... 61
3.9. Kerangka Analisis ............................................................................................. 62

4. ANALISIS ................................................................................................................. 64
4.1. Deskripsi Program RMI: “14 Hari Menjadi Relawan” ..................................... 64
4.1.1. Kerja Sama antara RMI dan Kemenpora................................................. 65
4.1.2. Keunggulan.............................................................................................. 69
4.1.3. Benefit ..................................................................................................... 70
4.1.4. Biaya ........................................................................................................ 70
4.1.5. Jangka Waktu Kerelawanan 14 Hari ....................................................... 79
4.1.6. Struktur Relawan Muda Indonesia .......................................................... 86
4.1.7. Strategi Relawan Muda Indonesia dalam
Meningkatkan Recruitability dan Volunteerability ................................. 90
4.2. Analisis Pemasaran Sosial terhadap
Program RMI: “14 Hari Menjadi Relawan” ..................................................... 99
4.3. Strategi Pemasaran Sosial yang Dapat Meningkatkan Kemampuan
Merekrut (Recruitability) dan Kemampuan Kerelawanan
(Volunteerability) ............................................................................................ 116
4.3.1. Kemampuan Merekrut (Recruitability) ................................................. 116
a. Segmentasi ........................................................................................ 117
b. Positioning ........................................................................................ 119
c. Pemasaran untuk Calon Relawan ..................................................... 121
4.3.2. Kemampuan Kerelawanan (Volunteerability) ....................................... 123
a. Perubahan Perilaku dengan Menjadi Relawan ................................. 125
b. Model Determinan Kerelawanan ...................................................... 125
c. Penataan Kerelawanan ...................................................................... 127
d. Pemasaran Internal............................................................................ 128

4. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 130


4.1. Kesimpulan ..................................................................................................... 130
4.2. Saran ............................................................................................................... 132

DAFTAR REFERENSI .............................................................................................. 133

ix
 
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Pembahasan Konsep ............................................................................ 12


Gambar 2.2 Grafik Motivasi terhadap Tingkat Kebahagiaan atau Penderitaan.............. 22
Gambar 2.3 Hubungan antara Kerelawanan dan Pemasaran Sosial ............................... 24
Gambar 2.4 Perubahan Sikap Menuju Perubahan Perilaku ............................................ 24
Gambar 2.5 Perubahan Perilaku Menuju Perubahan Sikap ............................................ 24
Gambar 2.6 Perencanaan Pemasaran Sosial Menurut Wymer (2006) ............................ 25
Gambar 2.7 Matriks dari Empat Komunitas Makro Anak Muda Indonesia ................... 28
Gambar 2.8 Persentase Empat Komunitas Makro Anak Muda Indonesia ...................... 28
Gambar 2.9 Bauran Pemasaran ....................................................................................... 32
Gambar 2.10 Kemampuan Merekrut (Recruitability) &
Kemampuan Kerelawanan (Volunteerability) .......................................... 39
Gambar 2.11 Matriks Positioning Kerelawanan: Biaya vs Kualitas Pengalaman .......... 43
Gambar 2.12 Matriks Positioning Kerelawanan: Benefit vs Altruisme ......................... 46
Gambar 2.13 Model Determinan Kerelawanan .............................................................. 51
Gambar 4.1 Logo dan Slogan Relawan Muda Indonesia................................................ 66
Gambar 4.2 Biaya atau Pengorbanan Relawan secara Kolektif ...................................... 77
Gambar 4.3 Biaya atau Pengorbanan Relawan secara Pribadi ....................................... 77
Gambar 4.4 Jangka Waktu 1 Minggu yang Dikomunikasikan RMI............................... 80
Gambar 4.5 Biaya dan Benefit yang Diperoleh Selama 14 Hari dan Sesudahnya ......... 84
Gambar 4.6 Konsep Kemenpora tentang Struktur RMI................................................. 91
Gambar 4.7 Media Promosi dan Jejaring Sosial RMI ................................................... 91
Gambar 4.8 Profil akun Twitter RMI: @relawan_muda ............................................... 92
Gambar 4.9 Perlunya Strategi Marketing Bagi @relawan_muda ................................. 92
Gambar 4.10 Ambigunya Pendaftaran Melalui Twitter dan Laman RMI ..................... 94
Gambar 4.11 Profil Facebook Relawan Muda Indonesia .............................................. 95
Gambar 4.12 Film tentang RMI di YouTube Channel RelawanMuda .......................... 96
Gambar 4.13 Film tentang RMI di Channel yang Lain ................................................. 97
Gambar 4.14 Kegiatan CARENAVAL pada Tanggal 1 Juli 2012 ................................ 98
Gambar 4.15 Jam/Pekan yang Dikontribusikan Episodic Volunteer,
Occasional Volunteer dan Regular Volunteer ........................................ 104
Gambar 4.16 Perubahan Perilaku Menuju Perubahan Sikap
dengan Program “14 Hari Menjadi Relawan” ........................................ 106
Gambar 4.17 Tingkat Cara Penyampaian Pesan dan Dampaknya ................................ 111
Gambar 4.18 Pemasaran Tradisional vs Pemasaran dengan Penyebaran Virus Ide ..... 113
Gambar 4.19 Matriks Positioning Kerelawanan: Biaya vs Kualitas Pengalaman ........ 119
Gambar 4.20 Model Determinan Kerelawanan ........................................................... 127

x
 
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jadwal Tahapan Kegiatan Penelitian .............................................................. 56


Tabel 3.2 Pengambilan Sampel Teoritis Mengenai Informasi
yang Ingin Diperoleh dan Sumber Informasi .................................................. 57
Tabel 3.3 Kerangka Analisis ........................................................................................... 63
Tabel 4.1 Tahapan Perubahan ....................................................................................... 118

xi
 
DAFTAR RUMUS

Rumus 2.1 Model Ability, Opportunity, and Motivation (AOM) ................................... 21


Rumus 2.2 Motivasi untuk berubah ................................................................................ 23
Rumus 2.3 Motivasi untuk berubah (dengan persepsi nilai saat ini) .............................. 23

xii
 
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I: Pedoman Wawancara ................................................................................ 137


Lampiran II: Hasil Wawancara ..................................................................................... 141
Lampiran III: Twitter @relawan_muda ........................................................................ 191

xiii
 
 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Pada tanggal 24 Desember 2011, Relawan Muda Indonesia (RMI), sebuah
organisasi relawan pemuda yang disponsori oleh Kementerian Pemuda dan
Olahraga RI, secara serentak diperkenalkan di lima kota besar, yaitu kota Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Lampung dan Makasar.
Di Jakarta, organisasi yang digagas oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Dr.
Andi Mallarangeng ini diluncurkan di Panti Sosial Muhammadiyah, Tanah
Abang. Acara ini dihadiri oleh 40 calon relawan dari berbagai perguruan tinggi, di
antaranya Universitas Paramadina dan Universitas Trisakti.1 Sedangkan
peluncuran RMI di Jawa Barat dipusatkan di Pendopo Alun-alun Kota Bandung. 2
Dengan slogan "Yes, We Care!”, RMI ingin mempopulerkan kerelawanan
untuk anak muda. RMI ingin memperkenalkan bahwa untuk menjadi relawan itu
simpel, mudah, menyenangkan, dan tidak merepotkan.
Dalam laman resminya, www.relawanmudaindonesia.com, disebutkan
bahwa Relawan Muda Indonesia adalah sebuah gerakan yang mempromosikan
dan menggalakkan kerelawanan bagi para pemuda. Melalui gerakan ini, para
pemuda, utamanya berusia berusia antara 16-30 tahun, diajak untuk berbuat
sesuatu demi memajukan kehidupan di sekitarnya selama 14 hari dengan waktu
luang, tempat dan jenis kegiatan yang ditentukan oleh mereka sendiri.
Beberapa bidang kegiatan yang dipilih oleh peserta RMI antara lain:
• Sosial (menghibur anak-anak di panti asuhan dan mengajarkan pelajaran
sekolah, menghibur lansia panti jompo, donor darah, khitan massal, dan
lain-lain)
• Pendidikan (bimbingan belajar matematika, bahasa Inggris, dan lain-lain);
• Seni dan Budaya (pelatihan melukis, tari, musik, puisi, drama, dan lain-
lain);

                                                            
1
http://www.pelitaonline.com, 24 Desember 2012
2
http://mediabandung.com, 28 Desember 2011
1 Universitas Indonesia

 

• Olahraga (melatih futsal, basket, badminton, dan lain-lain);


• Kesehatan (penyuluhan kesehatan, bimbingan konseling, dan lain-lain);
• Lingkungan (penanaman pohon seperti yang dilakukan oleh RMI Lampung,
pembersihan jalan oleh RMI Makassar, dan penanaman bibit kopi oleh RMI
Yogyakarta);
• Dan masih banyak lagi.
Dari program RMI tersebut, para peserta diharapkan dapat membuat sebuah
laporan yang dibuat secara pribadi, meskipun pelaksanaannya dilakukan secara
berkelompok.
Gerakan ini melibatkan dua bagian, peserta dan fasilitator. Peserta adalah
mereka yang mendaftarkan diri mengikuti kegiatan kerelawanan. Sementara
fasilitator adalah mereka yang mempromosikan dan melayani kepesertaan gerakan
ini. Umumnya, fasilitator berasal dari peserta yang selesai mengikuti aktivitas
Relawan Muda Indonesia.
Aktivitas kesukarelawanan Relawan Muda Indonesia (RMI) Jakarta,
memfokuskan pada kegiatan bimbingan di sejumlah Panti Asuhan (PA) di
wilayah Jakarta. Sampai dengan bulan Mei 2012 ini, terdapat tiga PA serta satu
Komunitas Anak Jalanan (Anjal) yang telah menjadi rekanan RMI. Keempat
tempat tersebut ialah: PA Esa Sasana Surya (Duren Sawit), PA Ulul Ilmi
(Cibubur), Yayasan Remaja Masa Depan/PA Tebet (Tebet), serta Komunitas
Anak Jalanan di sebelah Mall Taman Anggrek. Sebelumnya, dilakukan Briefing
Relawan Muda pada tanggal 18 Februari di pelataran Gedung Teater Kecil Taman
Ismail Marzuki (TIM) untuk 19 relawan muda yang mendaftar melalui jejaring
sosial Twitter. 3
Puncak acara dari program ini ialah pada acara CARENAVAL yang
diadakan pada tanggal 1 Juli 2012. Kegiatan bimbingan, terutama nonakademis
yang telah diajarkan oleh para relawan, diharapkan dapat ditampilkan hasilnya
dalam acara tersebut. Acara bertema “Together For Edutainment” tersebut
dilaksanakan di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan dihadiri oleh sekitar
125 anak-anak panti asuhan mitra RMI dan komunitas relawan lain seperti Save

                                                            
3
http://www.relawanmudaindonesia.com, 20 February 2012
Universitas Indonesia

 

Street Children, Berburu (Berbudaya itu Seru), YAFI (Youth’s Act for Indonesia)
dan dimeriahkan juga oleh penampilan KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan).
Sejauh ini, kampanye yang dilakukan Relawan Muda Indonesia adalah
melalui:
1. Laman www.relawanmudaindonesia.com
2. Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dan YouTube
3. Sosialisasi oleh fasilitator ke sekolah, kampus, komunitas kepemudaan
4. Poster dan leaflet di berbagai tempat umum, juga kaos T-shirt “Yes, We
Care!” untuk para peserta RMI.
Sedangkan manfaat kerelawanan yang dikomunikasikan oleh Relawan
Muda Indonesia adalah sebagai berikut.4
1. Sarana meningkatkan kualitas diri dengan melatih ketajaman pikiran dan
kepekaan jiwa
2. Sarana memperkaya pengalaman empiris dan batin
3. Sarana melatih kemampuan dan keahlian yang dimiliki
4. Sarana menyalurkan hobi
5. Sarana melatih kemampuan bersosialisasi
6. Sarana melatih kemampuan kepemimpinan dan pengaruh
7. Sarana memanfaatkan waktu luang yang berkualitas
8. Meningkatkan semangat gotong royong
9. Memiliki komunitas kesukarelawanan
10. Meningkatkan kepedulian sosial di lingkungan sekitarnya
11. Kesempatan untuk mengikuti pemilihan sukarelawan pemuda yang
diselenggarakan Kementerian Pemuda dan Olahraga
12. Kesempatan mengikuti program pertukaran pemuda antar provinsi, antar
negara yang diselenggarakan Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Untuk kelompok masyarakat yang menjadi sasaran atas kegiatan RMI,
manfaat yang diharapkan adalah
1. Mendapatkan pengetahuan dan wawasan baru
2. Kesempatan memperdalam kemampuan atau keahlian bidang tertentu
3. Kesempatan mendapatkan atau menciptakan lapangan kerja

                                                            
4
http://www.relawanmudaindonesia.com
Universitas Indonesia

 

4. Mendapatkan partner atau jaringan untuk mengembangkan diri, kelompok,


lembaga
5. Membantu menyelesaikan persoalan, kendala, hambatan yang dimiliki
6. Sarana untuk mempromosikan diri, kelompok, lembaga
7. Mendapatkan komunitas baru yang berkualitas
8. Kesempatan mendapatkan pendampingan jangka panjang
9. Sarana melatih kemampuan bersosialisasi

1.2. Perumusan Masalah


Kerelawanan (voluntarism) di Indonesia mengalami kebangkitan sejak
bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara pada tahun
2004. Bahkan Profesor Mitsuo Nakamura dari Harvard University, mengatakan
bahwa kerelawanan Indonesia pasca-tsunami 2004 jauh lebih besar dibandingkan
kerelawanan di Jepang yang bangkit pasca musibah gempa bumi besar di Kobe
pada tahun 1995.5
Namun, perkembangan kerelawanan ini masih terbatas pada bencana alam
saja, karena euforia simpati dan empati kepada korban bencana alam. Bisa jadi
karena adanya motif altruisme (kepedulian yang tulus bagi orang lain yang
menderita), namun tidak menutup kemungkinan karena adanya motif pencitraan
dan motif sempit lainnya karena bencana alam lebih banyak diberitakan oleh
berbagai media massa.
Kerelawanan karena merupakan pekerjaan yang dilakukan tidak untuk
mendapatkan keuntungan uang atau materi lainnya, maka sering dipersepsikan
atau dicitrakan “tidak keren” atau sebagai “orang yang melakukan kebaikan”, para
relawan merasa tidak dihargai. Selain itu, kerelawanan hanya dilihat sebagai
program sosial untuk bencana alam, membantu orang sakit, dan lain sebagainya.6
Oleh karena itu, Hankinson dan Rochester (2005) menganjurkan
menggunakan metode branding pemasaran untuk mengubah citra kerelawanan
dan meningkatkan kesediaan orang untuk menjadi relawan. Kajian Niyazi (1996)
dan Smith (1999) juga menunjukkan bahwa kerelawanan mendapatkan citra
negatif, terutama bagi para pemuda dan dipersepsikan sebagai aktivitas yang
                                                            
5
Azra, Azyumardi, 2005, hal. 20.
6
Hankinson dan Rochester, 2005 dalam Haski-Leventhal dan Meijs, 2010.
Universitas Indonesia

 

mahal, menghabiskan waktu, membosankan dan kuno sehingga menyulitkan


perekrutan dan memelihara para relawan dalam tetap berada dalam organisasi.
Smith (1999) menemukan bahwa 61% dari pemuda tidak mendapatkan
tujuan dari kerelawanan dan 41% pemuda berpikir bahwa teman mereka akan
berpikir buruk jika mereka menjadi relawan. Namun, Smith menyimpulkan bahwa
masalah tersebut bukan karena penurunan motif altruisme (kepedulian yang tulus
bagi orang lain yang menderita), tapi karena kegagalan organisasi relawan untuk
memasarkan program kerelawanan mereka sesuai dengan kelompok sasaran yang
sesuai. 7 Dari pemikiran inilah, konsep pemasaran program kerelawanan menjadi
diperlukan.
Kerelawanan (Warburton, Paynter, & Petriwskyj, 2007; Wardell et al.) dan
pemasaran sosial (Andreasen, 2006; McDermott, 2000; Smith, 2000) adalah
berdasarkan pendekatan teori yang sama, yaitu menekankan pada bertemunya
kebutuhan dan keinginan (dari relawan = pelanggan pada pemasaran) sebagai
motif dari tindakan kerelawanan mereka.8 Dengan pendekatan pemasaran sosial,
diperoleh konsep-konsep yang dapat memberi keuntungan pada bidang
kerelawanan.
Relawan Muda Indonesia, sebagai organisasi relawan yang baru diluncurkan
pada bulan Desember 2011 lalu, berdasarkan data pada laman
www.relawanmudaindonesia.com per 8-Mei-2012 baru merekrut 603 orang.
Sedangkan kampanye Relawan Muda Indonesia di saluran YouTube, yaitu
Relawan Muda, hanya memuat satu video berjudul ”Yes We Care Movies
YouTube” yang baru disaksikan 25 orang pada tanggal 8 Mei 2012 pada saat
tulisan ini ditulis, sejak diunggah pertama kali pada tanggal 12 Januari 2012.
Oleh karena itu, ada dua konsep yang perlu dipertimbangkan untuk
memperbesar jumlah peserta Relawan Muda Indonesia, yaitu kemampuan
merekrut (recruitability) dan kemampuan kerelawanan (volunteerability).
Kemampuan kerelawanan (volunteerability) mencakup kesediaan,
kapabilitas, dan adanya orang-orang untuk menjadi relawan.9 Sedangkan
kemampuan merekrut (recruitability) adalah kemampuan organisasi untuk
                                                            
7
Haski-Leventhal dan Meijs, 2010.
8
Boehm, Amnon. 2009.
9
Meijs et al., 2006a; Meijs et al., 2006b) dalam Haski-Leventhal dan Meijs, 2010.
Universitas Indonesia

 

merekrut calon relawan. Kemampuan ini perlu ditingkatkan dengan pemahaman


tentang posisi organisasi dan jenis kerelawanan yang ditawarkan, mencakup
kemampuan organisasi dalam: (1) kemudahan akses kepada semua relawan yang
potensial; (2) sumber daya, seperti keuangan dan sumber daya untuk memasarkan,
merekrut dan memelihara para relawan; dan (3) jaringan dan kerjasama dengan
organisasi lain untuk memperbesar kemampuan akses dan sumber daya.10
Kedua konsep tersebut merupakan strategi pemasaran sosial. Oleh karena
itu, perlu dipertimbangkan penggunaan strategi pemasaran sosial dalam
peningkatan perekrutan relawan oleh Relawan Muda Indonesia.
Strategi pemasaran sosial untuk meningkatkan jumlah relawan suatu
organisasi ini pernah diterapkan di suatu kota di Israel dengan program bernama
“Program for Marketing Volunteering (PMV)” yang dilaksanakan selama 15
bulan pada tahun 2005-2007. Di kota berpenduduk 30.000 orang Yahudi dan
20.000 orang Arab di mana isu rasial masih menjadi hal besar tersebut, jumlah
relawan berhasil ditingkatkan dari semula 322 orang menjadi 518 orang, atau
penambahan total 194 orang atau 60,86% untuk keduabelas bidang kerelawanan,
antara lain sosial, pendidikan, korban teror, rehabilitasi narkotika dan alkohol dan
lain-lain. Komposisi dari penambahan 194 orang tersebut adalah penambahan 70
orang Arab, yaitu dari 71 orang menjadi 151 orang, atau penambahan 112,68%;
dan penambahan 116 orang Yahudi, yaitu dari 251 orang menjadi 367 orang atau
penambahan 46,22% orang.11Langkah-langkah yang dilakukannya adalah sebagai
berikut.
1. Pembentukan tim PMV untuk mengembangkan sebuah rencana pemasaran
induk. Mereka terdiri dari 3 koordinator organisasi kerelawanan, 4 anggota
staf pemerintah daerah setempat, 4 orang relawan dan dipandu oleh 1 orang
pakar pemasaran sosial.
2. Riset pasar dan pengembangan tujuan dalam mempromosikan kerelawanan
dengan mengadakan focus group discussion (FGD) oleh grup-grup dari
relawan aktif, nonrelawan, dan kalangan profesional dan karyawan.
3. Memilih strategi segmentasi diferensiasi, mencakup bauran pemasaran yang
berbeda untuk dua atau lebih segmen tertentu saja. Pembagiannya
                                                            
10
Haski-Leventhal et al., 2009 dalam Haski-Leventhal dan Meijs, 2010.
11
Boehm, Amnon. 2009.
Universitas Indonesia

 

berdasarkan usia, minat, kemampuan, dan tingkat penolakan terhadap


program.
4. Menentukan kerelawanan sebagai produk sosial untuk mengubah perilaku
atau sikap. Cara yang dipilih dengan memberikan pengalaman terlebih dulu.
5. Positioning kerelawanan sebagai produk yang kredibel dan berharga.
6. Mengurangi biaya untuk mendorong orang mau menjadi relawan.
7. Menentukan tempat yang layak dan cukup bagi kegiatan kerelawanan.
8. Meragamkan promosi dan mempertajam pesan-pesannya.
Dengan keberhasilan strategi pemasaran sosial di atas, perlu
dipertimbangkan strategi tersebut diterapkan pula pada RMI untuk meningkatkan
kemampuan merekrut (recruitability) dan kemampuan kerelawanan
(volunteerability). Termasuk menganalisis strategi yang telah dilakukan RMI
untuk merekrut relawan-relawan baru.
Dengan demikian, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana pendekatan pemasaran sosial yang dilakukan Relawan Muda
Indonesia dalam merekrut para relawan?”
Hal tersebut dapat diuraikan menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian
sebagai berikut.
1. Apakah perekrutan para relawan yang dilakukan oleh Relawan Muda
Indonesia telah sesuai dengan pendekatan pemasaran sosial?
2. Bagaimana pendekatan pemasaran sosial yang sebaiknya diterapkan oleh
Relawan Muda Indonesia (RMI) agar dapat meningkatkan kemampuan
merekrut (recruitability) dan kemampuan kerelawanan (volunteerability)?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk menganalisis apakah perekrutan para relawan yang dilakukan oleh
Relawan Muda Indonesia telah sesuai dengan pendekatan pemasaran sosial.
2. Untuk menganalisis bagaimanakah pendekatan pemasaran sosial yang
sebaiknya diterapkan oleh Relawan Muda Indonesia (RMI) agar dapat

Universitas Indonesia

 

meningkatkan kemampuan merekrut (recruitability) dan kemampuan


kerelawanan (volunteerability).

1.4. Manfaat Penelitian


Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh manfaat, baik yang
bersifat akademik maupun praktis.
1. Manfaat akademik
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan
wacana ilmiah serta pengembangan konsep-konsep dalam kajian ketahanan
nasional pengembangan kepemimpinan, khususnya tentang pendekatan pemasaran
sosial yang digunakan untuk mengembangkan organisasi kerelawanan.
2. Manfaat praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga
bagi Kementerian Pemuda dan Olahraga selaku pemberi beasiswa, juga terkait
dengan program Relawan Muda Indonesia yang didukung oleh Kementerian
Pemuda dan Olahraga.

1.5. Perbandingan dengan Penelitian Lain


Penelitian tentang kerelawanan pemuda pernah dilakukan oleh Kaniati
(2006) berjudul. “Peran Pengasuhan Orang Tua dan Keberagamaan pada Perilaku
Altruistik Remaja: Pendekatan Studi Kasus pada Relawan Remaja.” Penelitian ini
lebih menggali perilaku altruistik pemuda untuk menjadi relawan. Dengan kata
lain, untuk merekrut para relawan pemuda, yang dilakukan adalah dengan
meningkatkan perilaku altruistiknya atau rasa kepeduliannya terhadap orang lain.
Atensi (2008) dalam penelitiannya berjudul “Gambaran Penghayatan Makna
Hidup pada Relawan Pemberdayaan Masyarakat Miskin” mengupas tentang
pandangan logoterapi, yaitu bagaimana hasrat untuk hidup bermakna akan
memotivasi setiap orang untuk bekerja, berkarya, dan melakukan kegiatan-
kegiatan penting lainnya, termasuk menjadi relawan. Artinya, untuk merekrut para
relawan pemuda, yang dilakukan adalah dengan meningkatkan logoterapi yang
dimilikinya.

Universitas Indonesia

 

1.6. Batasan Penelitian


Penelitian ini dibatasi kepada kerelawanan yang didefinisikan sebagai
bentuk perilaku menolong yang bersifat terencana, memiliki jangka waktu lebih
lama (biasanya dalam hitungan tahun), lebih terorganisasi dan berkelanjutan dan
menunjukkan pengorbanan (Schrioender, 1995; Omoto Penner, Davidio, Piliavin,
& Schroender, 2004; Flick, Fidlman, & Doyle, 2002 dalam Kaniati, 2006).
Selain itu, penelitian ini juga dibatasi tentang bagaimana RMI merekrut para
relawan pemuda dengan pendekatan pemasaran sosial, tidak dengan pendekatan
altruisme, logoterapi ataupun yang lainnya. Analisis pendekatan pemasaran sosial
yang dipergunakan pun hanya sebatas menunjukkan unsur-unsur apa dalam
pemasaran sosial yang dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh RMI.

1.7. Sistematika Penulisan


Bab Satu Pendahuluan. Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang
masalah yang menggambarkan profil organisasi Relawan Muda Indonesia,
aktivitasnya, kampanyenya, dan manfaat kerelawanan yang dikomunikasikannya.
Perumusan permasalahan yang dikemukakan adalah “bagaimana pendekatan
pemasaran sosial yang dilakukan Relawan Muda Indonesia dalam merekrut para
relawan?” Tujuan penelitiannya adalah untuk menganalisis apakah perekrutan
para relawan yang dilakukan oleh Relawan Muda Indonesia telah sesuai dengan
pendekatan pemasaran sosial dan untuk mengetahui bagaimanakah pendekatan
pemasaran sosial yang sebaiknya diterapkan oleh Relawan Muda Indonesia (RMI)
agar dapat meningkatkan kemampuan merekrut (recruitability) dan kemampuan
kerelawanan (volunteerability). Manfaat penelitian yakni manfaat akademiknya
adalah untuk mengembangkan konsep-konsep dalam kajian ketahanan nasional
pengembangan kepemimpinan dan manfaat praktisnya adalah untuk dapat
menjadi masukan yang berharga bagi Kementerian Pemuda dan Olahraga selaku
pemberi beasiswa terkait dengan program RMI yang disponsorinya. Terakhir, bab
ini membahas tentang sistematika penulisan.
Bab Dua Tinjauan Pustaka. Bab ini merupakan tinjauan teori tentang
berbagai pengertian dan konsep-konsep tentang kerelawanan. Selain itu dibahas
juga konsep kerelawanan dilihat dari pemasaran sosial, misalkan penggunaan

Universitas Indonesia
10 
 

pemasaran sosial untuk meningkatkan kemampuan merekrut (recruitability) dan


kemampuan kerelawanan (volunteerability), juga tentang penjelasan positioning
suatu organisasi kerelawanan dengan menggunakan matriks kerelawanan (harga
kerelawanan vs kualitas pengalaman atau benefit). Dengan strategi pemasaran
sosial pula, program kampanye suatu organisasi kerelawanan dapat ditingkatkan
efektivitasnya dengan memilih strategi segmentasi; menjadikan kerelawanan
sebagai produk sosial untuk mengubah perilaku sosial; mengurangi harga atau
biaya kerelawanan; memilih lokasi dan kondisi yang nyaman bagi tugas
kerelawanan; dan melakukan diversifikasi promosi dan menajamkan pesan
kampanye. Bagan kerangka alur berpikir yang digunakan dalam penelitian juga
disampaikan pada bab ini. Jadi, bab ini selain untuk memperluas wawasan juga
digunakan sebagai dasar dalam pembahasan.
Bab Tiga Metode Penelitian. Bab ini berisi tentang metode penelitian
dengan pendekatan kualitatif yang berbentuk evaluasi formatif, dengan teknik
penarikan sampel purposive sampling. Teknik pengumpulan data dengan studi
dokumentasi, wawancara mendalam dan observasi tidak berstruktur. Teknik
analisis data mencakup reduksi data, organisasi data dan pengambilan keputusan
dan verifikasi. Juga tentang pelaksanaan pengumpulan data berdasarkan studi
dokumentasi, wawancara mendalam, dan observasi tidak berstruktur. Hasilnya
diperoleh tentang gambaran umum Relawan Muda Indonesia, letak dan
kedudukannya, program pemasaran sosial yang dilaksanakannya dan juga
pelaksanaan program kerelawanan RMI Jakarta di PA Esa Sasana Surya (Duren
Sawit), PA Ulul Ilmi (Cibubur), PA Tebet (Tebet), dan Komunitas Anak Jalanan
di sebelah Mall Taman Anggrek. Selain itu akan disampaikan juga temuan di
lapangan tentang strategi segmentasi yang dilakukan RMI, perubahan perilaku
sosial dari para relawan, harga atau biaya kerelawanan, kualitas pengalaman
relawan, dan persepsi bagi para relawan tentang lokasi dan kondisi tugas
kerelawanannya.
Bab Empat Pembahasan. Bab ini akan menganalisis tentang hasil
penelitian, yaitu pembahasan apakah perekrutan para relawan yang dilakukan oleh
Relawan Muda Indonesia telah sesuai dengan pendekatan pemasaran sosial dan
bagaimanakah pendekatan pemasaran sosial yang sebaiknya diterapkan oleh

Universitas Indonesia
11 
 

Relawan Muda Indonesia (RMI) agar dapat meningkatkan kemampuan merekrut


(recruitability) dan kemampuan kerelawanan (volunteerability).
Bab Kelima Kesimpulan dan Saran. Bab ini terdiri dari kesimpulan
rangkuman dari keseluruhan hasil penelitan dan saran atau rekomendasi yang
ditujukan kepada RMI sebagai organisasi kerelawanan yang melaksanakan
pemasaran sosial untuk menjawab dua pertanyaan penelitian di atas:
1. Apakah perekrutan para relawan yang dilakukan oleh Relawan Muda
Indonesia telah sesuai dengan pendekatan pemasaran sosial?
2. Bagaimana pendekatan pemasaran sosial yang sebaiknya diterapkan oleh
Relawan Muda Indonesia (RMI) agar dapat meningkatkan kemampuan
merekrut (recruitability) dan kemampuan kerelawanan (volunteerability)?

Universitas Indonesia
 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peta Konsep


Untuk menjawab rumusan permasalahan tentang bagaimana pendekatan
pemasaran sosial yang dilakukan Relawan Muda Indonesia dalam merekrut para
relawan, akan dibahas konsep dan teori tentang kerelawanan, pemasaran sosial,
dan pemasaran sosial untuk kerelawanan, yang dipetakan seperti gambar ini.

Gambar 2.1 Peta Pembahasan Konsep


2.2. Kerelawanan
a. Pengertian Relawan
Volunteers are defined as persons who willingly perform a service without
pay, through a group or organization. Volunteers allow nonprofit organizations to
direct a greater proportion of their resources toward program objectives because
the organizations do not have to pay for their labor.12
Relawan didefinisikan sebagai orang yang bersedia memberikan pelayanan
tanpa dibayar, melalui sebuah kelompok atau organisasi. Secara bebas
memberikan pelayanan pribadi untuk sebuah amal, artinya bahwa tidak ada
paksaan atau pembayaran untuk pelayanan tersebut.
Savitri (2005) menyebutkan bahwa relawan adalah seseorang yang secara
sukarela (uncoerced) menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran dan keahliannya

                                                            
12
Wymer, Walter et al. 2006.
12 Universitas Indonesia
13 
 

untuk menolong orang lain (help others) dan sadar bahwa tidak akan mendapatkan
upah atau gaji atas apa yang telah disumbangkan (unremunerated).
Dalam budaya Indonesia, kerelawanan sebenarnya bukan hal baru.
Indonesia dari dulu telah mengenal kerelawanan dengan istilah gotong royong,
yaitu kerelawanan kolektif bagi komunitas setempat yang lebih umum
dipraktikkan di pedesaan, misalkan dalam pembangunan rumah, tempat ibadah,
pernikahan, ataupun kematian. Kerelawanan ini diberikan dalam bentuk
sumbangan tenaga, uang, ataupun sarana sesuai dengan kemampuan mereka
sebagai cerminan dari solidaritas sosial. Istilah gotong royong ini dikenal di
negara-negara lain dengan nama mutirão di Brazil; batsiranai di Zimbabwe;
bayanihan di Filipina; harambee di Kenya; shramadama di Sri Lanka;
tirelosetshaba di Botswana; taka’ful di negara-negara Arab; minga di Ecuador
dan Peru; dan neighbouring dan barn raising di Amerika Serikat.13
Sedemikian pentingnya gotong royong bagi masyarakat Indonesia, Pranowo
(2010) mengatakan bahwa “ketahanan nasional adalah gotong royong” sehingga
bermakna bahwa keabsahan ketahanan nasional sebagai pengikat keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat bergantung kepada gotong royong di
kalangan masyarakat. Semangat gotong royong merupakan sesuatu hal yang
niscaya harus dimiliki bangsa Indonesia jika NKRI ingin tetap utuh sampai hari
kiamat karena kemerdekaan Indonsia diraih dengan kerja keras dan gotong royng.
Namun, kerelawanan dapat pula didefinisikan sebagai bentuk perilaku
menolong yang bersifat terencana, memiliki jangka waktu lebih lama (biasanya
dalam hitungan tahun), lebih terorganisasi dan berkelanjutan dan menunjukkan
pengorbanan (Schrioender, 1995; Omoto Penner, Davidio, Piliavin, &
Schroender, 2004; Flick, Fidlman, & Doyle, 2002 dalam Kaniati, 2006). Beberapa
pertolongan relawan ditunjukkan antara lain dalam kegiatan donor darah,
penanggulangan HIV/AIDS, memberikan bimbingan dan pengajaran pada anak
putus sekolah atau telantar serta berkaitan untuk membantu korban bencana alam
(Flick et al, 2002 dalam Kaniati, 2006). Oleh karena itu, berdasarkan definisi
tersebut, dapat dikatakan bahwa jika ada seseorang yang menyumbangkan waktu,
tenaga, pikiran dan keahliannya untuk menolong orang lain, misal dalam bencana
                                                            
13
United Nations Volunteers, 2011.

Universitas Indonesia
14 
 

alam, namun hanya dalam waktu yang sangat singkat, tidak terencana dan tidak
terorganisasi dan berkelanjutan maka orang tersebut bukanlah relawan.
Menurut Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa, kerelawanan memiliki
karakteristik sebagai berikut.
1. Kerelawanan harus dilakukan secara sukarela, menurut kehendak bebas
seseorang, dan bukan sebagai suatu kewajiban yang ditetapkan oleh hukum,
kontrak atau persyaratan akademik. Keputusan untuk menjadi sukarelawan
dapat dipengaruhi oleh tekanan kelompok, nilai-nilai pribadi atau kewajiban
budaya atau sosial tetapi seseorang harus dapat memilih untuk
melakukannya atau tidak.
2. Kerelawanan ini tidak dilakukan dilakukan semata-mata untuk imbalan
keuangan. Namun penggantian biaya seperti penyediaan makanan dan
transportasi, dapat dibenarkan.
3. Kerelawanan harus untuk kebaikan bersama. Ini harus secara langsung atau
tidak langsung menguntungkan atau memberikan manfaat orang-orang di
luar keluarga atau rumah tangganya sendiri.14

b. Pentingnya Kerelawanan
Kerelawanan merupakan sumbangan masyarakat bagi pengembangan
pembangunan masyarakat sipil. Relawan memiliki peranan penting dalam
pembangunan terutama apabila dikaitkan dengan pengembangan sektor nirlaba,
khususnya organisasi nirlaba (LSM).
Kerelawanan juga merupakan proses pendidikan masyarakat. Tidak ada
seorang pun bersedia menjadi relawan tanpa menanyakan, “saya bekerja untuk
apa?” Organisasi harus menjelaskan isu apa yang sedang diperjuangkan secara
menarik sehingga hati dan pikiran calon relawan menjadi terbuka serta secara
sukarela bersedia menyumbangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk
membantu lembaga mencapai visi dan misi lembaga.
Hampir semua orang yang menjadi relawan termotivasi oleh semangat
untuk menolong orang lain (altruisme), diikuti oleh motivasi-motivasi pribadi
lainnya, misalnya keinginan untuk memperoleh pengalaman baru, mendapatkan

                                                            
14
Ibid, 2011.
Universitas Indonesia
15 
 

teman baru, mendapatkan perspektif baru, menggali potensi diri atau hanya
sekedar mengisi waktu luang.
Melalui kerelawanan, mereka dapat saling belajar, dapat lebih memahami
isu-isu yang diminati secara lebih kritis, lebih mampu mengorganisasi diri dan
sekaligus mampu melakukan aksi nyata dalam keterlibatannya di berbagai
kegiatan.
Savitri (2005) menyebut relawan memiliki peranan penting dalam (1)
filantropi, (2 fundraising (pemberi atau pencari dana), (3) kaderisasi, (4)
peningkatan akuntabilitas organisasi, dan (5) sebagai penghubung antara
organisasi dan publik (vital link). Sedangkan menurut Heidrich (1988), peran
relawan adalah sebagai (a) anggota atau pengurus organisasi, (b) fundraising, (c)
pendukung umum (misalkan staf yang menelpon, mengarsip, menulis surat), dan
(d) pelayanan langsung (relawan yang melayani masyakat atau anggota secara
langsung, misalkan guru, pembina pramuka, pelatih olahraga, dan lain-lain).15
Masyarakat sipil yang kuat dapat dipastikan memiliki tingkat kerelawanan
yang tinggi. Misalkan di Amerika, 55% penduduknya terlibat dalam dunia
kerelawanan. Prosentase tersebut terdiri dari 49% pria dan 61% perempuan.
Sekitar 70% dari para relawan tersebut berada di organisasi-organisasi nirlaba,
20% di organisasi pemerintah, dan 10% di organisasi profit seperti rumah sakit,
panti asuhan. 16
Pada bulan November 1997, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan
menyatakan tahun 2001 sebagai International Year of Volunteer (IYV) dengan
tujuan utama ditingkatkannya pengenalan (recognition), fasilitasi (facilitation),
jaringan (networking), dan promosi (promotion) kerelawanan. IYV diharapkan
dapat menciptakan suatu peluang unik untuk menunjukkan prestasi jutaan relawan
di seluruh dunia dan dapat mendorong lebih banyak orang untuk terlibat dalam
kegiatan kerelawanan.
Pemerintah Indonesia juga mulai memandang pentingnya peran
kerelawanan dalam pembangunan bangsa. Untuk meningkatkan kerelawanan dan
meningkatkan kapasitas relawan di Indonesia, pada bulan Agustus 2003
Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi bekerja sama dengan UNDP
                                                            
15
Opcit, 2006.
16
Savitri, 2005.
Universitas Indonesia
16 
 

membuka Pusat Pengembangan Kerelawanan (Volunteer Development Center


atau VDC). Di samping sebagai pusat informasi relawan dan kerelawanan di
Indonesia, VDC juga berfungsi sebagai forum bagi relawan, organisasi
kerelawanan dan stakeholder yang lain untuk saling bertukar informasi,
pengetahuan, skill dan keahlian.17

c. Klasifikasi Relawan
Dilihat dari pola pelaksanaannya, ada tiga pola kerelawanan yang saat ini
berkembang.18
a. Kegiatan kerelawanan yang dilakukan oleh individu dan tidak
dikoordinasikan oleh lembaga atau organisasi tertentu. Aktivitas ini banyak
berlangsung di masyarakat, namun sulit untuk diukur ataupun diteliti karena
dianggap sebagai kegiatan rutin harian.
b. Kegiatan kerelawanan yang dikoordinasikan oleh kelompok organisasi atau
perusahaan tertentu, namun bersifat insidentil atau dilakukan secara tidak
berkesinambungan. Misalkan kegiatan bakti sosial dan donor darah.
c. Kegiatan kerelawanan yang dikelola kelompok atau organisasi secara
profesional, ditandai dengan adanya komitmen yang kuat dari relawan untuk
terlibat aktif dalam kegiatan yang dilakukan, adanya aktivitas yang rutin dan
berkesinambungan, serta adanya divisi atau organisasi yang khusus
merekrut dan mengelola para relawan secara profesional.
Menurut jangka waktu partisipasinya, relawan dapat dikategorikan menjadi
dua kelompok, yaitu
a. Relawan Jangka Panjang, adalah relawan yang memiliki kepedulian dan
komitmen tinggi terhadap suatu isu, visi dan misi tertentu dan bersedia
mendedikasikan diri untuk memperjuangkannya dalam jangka waktu tak
tertentu. Sejalan dengan lamanya partisipasi sebagai relawan, maka nilai,
identitas diri dan rasa kepemilikan terhadap isu dan visi misi organisasi akan
meningkat.
Perekrutan untuk para relawan jangka panjang dapat dilakukan melalui
salah satu cara berikut.
                                                            
17
Ibid, 2005.
18
Opcit, 2006.
Universitas Indonesia
17 
 

• Inisiatif pribadi, yaitu relawan berusaha sendiri menemukan dan


bergabung dengan organisasi yang dapat mewujudkan kepedulian dan
komitmennya terhadap suatu isu.
• Kloning, yaitu relawan bergabung dengan organisasi karena ajakan
staf atau relawan yang diketahuinya memiliki kepedulian dan
komitmen yang sama dengannya terhadap suatu isu, misal lewat
diskusi-diskusi. Motivasinya lebih idealis karena keinginan untuk
membuat perubahan atau perbaikan dalam isu tersebut.
Karena semakin lamanya berpartisipasi dan meningkatnya kapasitas dalam
suatu isu atau program, seorang relawan jangka panjang dapat diberikan
pengakuan dan penghargaan dari organisasi, misalnya dijadikan sebagai
koordinator program atau sebagai pembicara dalam seminar-seminar yang
membahas isu atau program kerelawanan yang digelutinya.
b. Relawan Jangka Pendek, adalah relawan yang bergabung dengan suatu
organisasi hanya dalam jangka waktu tertentu. Mereka memiliki
ketertarikan bukan pada isu, visi dan misi organisasi – tidak seperti relawan
jangka panjang – melainkan pada deskripsi tugas kerelawanan yang akan
mereka lakukan dan waktu tugasnya yang relatif pendek, tidak terlalu
banyak menghabiskan waktu mereka.
Perekrutan untuk para relawan jangka pendek dapat dilakukan melalui salah
satu cara berikut.
• Perekrutan melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi.
Orang-orang tertarik menjadi relawan jangka pendek karena melihat
sendiri tugas kerelawanan yang dilakukan.
• Relawan bergabung dengan organisasi karena ajakan staf atau relawan
yang memang telah dikenalnya. Mungkin saja motivasinya hanya
sekedar keinginan untuk memperoleh pengalaman baru, mendapatkan
teman baru, mendapatkan perspektif baru, menggali potensi diri atau
hanya sekedar mengisi waktu luang.
Sedangkan klasifikasi relawan berdasarkan tipe jangka waktu kerelawanan
dan peran dimana mereka menjadi relawan adalah sebagai berikut.

Universitas Indonesia
18 
 

a. Episodic volunteer adalah relawan yang melayani pada saat dibutuhkan atau
pada kejadian khusus atau pada proyek kerelawanan yang terbatas
waktunya.
b. Ongoing volunteer adalah relawan yang bekerja secara reguler. Banyak
organisasi nirlaba tergantung pada ongoing volunteer untuk melaksanakan
program dan aktivitas harian mereka.

d. Kerelawanan Muda
Laporan Perkembangan Dunia tahun 2007 dari Bank Dunia menyatakan
bahwa jumlah penduduk berusia 12 s.d. 24 tahun akan meningkat menjadi 1,5
milyar pada tahun 2035. Artinya, pemuda mewakili potensi yang besar bagi
perkembangan dunia.
Namun, karena kurangnya kapasitas dan peluang yang terbatas untuk
berpartisipasi bagi negaranya, para pemuda adalah kelompok yang paling rentan
terpengaruh dalam permasalahan sosial seperti ketiadaan pekerjaan, kemiskinan,
kejahatan dan penyalahgunaan narkoba.19
Masalah pekerjaan menjadi hal yang kritis dalam berbagai diskusi tentang
pemuda. Oleh karena itu, kerelawanan menjadi salah satu jalan bagi para pemuda
untuk dapat meningkatkan prospek kerja mereka. Caranya dengan meningkatkan
ketrampilan terkait pekerjaan mereka kelak. Misalkan satu survei di Inggris
menemukan bahwa 88% dari responden yang menganggur percaya bahwa
kerelawanan akan membantu mereka mendapatkan pekerjaan.20
Sebuah survei dari China Youth Daily terhadap 1.044 perusahaan
menunjukkan bahwa lebih dari 60% dari mereka lebih memilih seorang calon
karyawan dengan pengalaman sebagai relawan. Hal ini karena mereka
mendapatkan nilai-nilai dedikasi, integritas, dan komunikasi yang baik dari
memberikan pelayanan kerelawanan. Selain itu mereka puas dengan karyawan
yang pernah menjadi relawan.21

                                                            
19
Johnston, MacDonald, Mason, Ridley & Webster, 2000; Weil, Wildemeersch & Jansen, 2005
dalam Ibid, 2011.
20
Hirst, 2001 dalam Ibid, 2011.
21
China Daily, 2010 dalam Ibid, 2011
Universitas Indonesia
19 
 

Namun, ada hal-hal lain yang dapat diperoleh dari kerelawanan oleh
pemuda selain masalah pekerjaan. Studi empiris menunjukkan bahwa para
relawan muda cenderung mengembangkan perilaku sosial yang positif untuk
mengurangi kenakalan remaja.22 Selain itu, kerelawanan memberikan peranan
penting dalam transisi remaja menuju kedewasaan yang bertanggungjawab.23
Beberapa negara berkembang memperkenalkan kerelawanan terhadap para
pemuda melalui sistem pendidikan. Belajar melayani masyarakat dengan prinsip-
prinsip kerelawanan telah dikembangkan di Amerika Selatan. Bahkan di
Venezuela, hal ini telah diperkenalkan sejak SMP. Dengan kerelawanan, maka
para remaja atau pemuda mendapatkan pengalaman dan pencerahan dalam
membentuk sikap dan pendapat tentang kerja.24Mereka juga dapat membangun
hubungan pertemanan dan membentuk jaringan.25

e. Kerelawanan Daring (Online)


Kesempatan untuk menjadi relawan telah berkembang seiring dengan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dan globalisasi. Melalui internet,
kerelawanan dapat dilakukan dengan bebas dan fleksibel, tanpa harus terikat oleh
waktu dan tempat. Dengan membagi informasi melalui situs-situs jejaring sosial
seperti Twitter, Facebook dan juga melalui blog-blog, aktivitas kerelawanan
seperti pengumpulan dana, komunikasi, pemasaran, penelitian, konsultasi,
penulisan, perekrutan relawan, dan diskusi kelompok dapat dilakukan.26
Kerelawanan ini disebut juga kerelawanan daring (online), kerelawanan maya,
pelayanan cyber, kerelawanan mikro, atau mentoring online.27
Karakteristik kerelawanan daring:
1. Memberikan kesempatan kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan
waktu dan keterbatasan fisik (misal cacat) sehingga semakin memperluas
terjaringnya relawan bagi organisasi.

                                                            
22
Uggen & Janikula, 1999 dalam Ibid, 2011
23
UNDESA, 2007 dalam Ibid, 2011
24
Johnson, Beebe, Mortimer & Snyder, 1998 dalam Ibid, 2011
25
Larson, Hansen & Moneta, 2006; Yates & Youniss, 1996; Youniss & Reinders, 2010 dalam
Ibid, 2011
26
Dhebar, B. B., & Stokes, B. (2008). A nonprofit manager’s guide to online volunteering.
Nonprofit Management and Leadership dalam Ibid, 2011.
27
Savitri, 2005.
Universitas Indonesia
20 
 

2. Mengurangi waktu dan biaya untuk perekrutan relawan baru.


3. Memberdayakan partisipasi relawan yang bersifat jaringan dan horisontal,
artinya posisi yang sejajar antara organisasi dan para relawan antara satu
sama lain.
4. Menyesuaikan antara program kerelawanan dengan kebutuhan dan kondisi
kehidupan relawan.
5. Memberikan informasi dan mengubah perilaku individu-individu melalui
dunia maya, namun sulit untuk membuat perubahan sosial secara nyata.
Hanya beberapa perubahan sosial seperti revolusi yang terjadi di Tunisia,
Mesir dan Libya yang berhasil digerakkan melalui media jejaring sosial.
6. Cenderung berjangka waktu pendek. Dalam suatu kajian, lebih dari 70%
relawan daring memilih tugas-tugas dalam 1 s.d. 5 jam per pekan dan
hampir separuhnya memilih rentang waktu tugas dalam 12 pekan atau
kurang. Bahkan beberapa organisasi seperti sparked.com, menawarkan
peluang kerelawanan daring dalam waktu 10 menit s.d. 1 jam.28
Di Indonesia, kerelawanan daring menggerakkan bantuan kemanusiaan
untuk bencana Gunung Merapi di Jawa Tengah pada tahun 2010, misalnya akun
Twitter @jalinmerapi. Begitu juga dengan peran relawan daring dalam
pengumpulan donasi “Koin untuk Prita” dan “Koin Cinta untuk Balqis” serta
gerakan mendukung KPK bertajuk “Gerakan 1.000.000 Facebooker Mendukung
Bibit-Chandra” pada tahun 2009. Oleh karena itu, kerelawanan daring di
Indonesia tidak hanya sekedar memberikan informasi dan mengubah perilaku
individu, melainkan juga memiliki peranan penting dalam membuat perubahan
sosial di Indonesia.

2.3. Pemasaran Sosial


Pada tahun 1970, Philip Kotler, seorang pakar pemasaran terkemuka,
menyatakan bahwa organisasi nirlaba juga memiliki permasalahan pemasaran dan
bahwa untuk menghadapi kebutuhan perubahan sosial yang begitu cepat,
organisasi-organisasi ini juga perlu untuk memasarkan diri mereka sendiri untuk
memastikan keberlangsungan sumber daya finansial.

                                                            
28
Ibid, 2011.
Universitas Indonesia
21 
 

Kotler menggarisbawahi bahwa “hal menarik tentang pemasaran adalah


bahwa semua organisasi melakukannya meskipun mereka mengetahuinya ataupun
tidak.” Namun kesadaran dan pengetahuan tentang hal tersebut akan mengarah
pada cara yang efektif untuk menggunakannya. Ketika metode pemasaran
dipergunakan, tidak hanya membantu mengidentifikasi sasaran pemasaran yang
efektif, tapi juga mengembangkan program yang efektif (Dolnicary dan Randle,
2007).29
Namun, meskipun metode pemasaran semakin meningkat penggunaannya
pada organisasi-organisasi nirlaba, penelitian tentang pemasaran dalam organisasi
kerelawanan masih sangat sedikit.
Pemasaran sosial merujuk pada penggunaan strategi pemasaran,
pelaksanaan dan pengontrolan program yang dirancang untuk mempengaruhi
perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut melibatkan perubahan sikap atau
perilaku masyarakat atau keduanya. Pemasaran sosial menjawab pertanyaan
bagaimana suatu program didesain sehingga mendorong orang untuk mengubah
sikap dan perilaku seperti untuk berhenti merokok, berhenti menggunakan BBM
bersubsidi, berhenti membeli produk bajakan, dan termasuk dalam hal
kerelawanan di sini misalnya, mengganti kegiatan di waktu luangnya dengan
kegiatan kerelawanan; melakukan kegiatan sosial membantu orang-orang cacat
atau orang tua.
Perubahan perilaku merupakan hal yang menantang dan seringkali
menimbulkan frustasi. Orang cenderung untuk menolak berubah, bahkan meski
hal ini merupakan minat mereka sendiri. Hal ini karena perilaku manusia adalah
kompleks, seringkali dipengaruhi oleh konfigurasi rumit berbagai faktor seperti
kepribadian, tekanan sosial, kebiasaan, dan lainnya.
Salah satu model yang dapat menjelaskan konfigurasi tersebut adalah
Model Ability, Opportunity, and Motivation (AOM)
X = α + b1A + b2O + b3M (2.1)
di mana X adalah probabilitas perubahan perilaku, A adalah kemampuan (Ability),
O adalah kesempatan (Opportunity), dan M adalah motivasi (Motivasi).

                                                            
29
Haski-Leventhal dan Meijs, 2010
Universitas Indonesia
22 
 

1. Sem
makin besar nilai positif dari X, maka
m semakiin tinggi peeluang terjadinya
peruubahan.
2. Sem
makin besar nilai negatiif dari X, maka
m semakiin tinggi peluang tidak
k akan
adannya perubahhan.
3. Nilaai X sama deengan nol (nnetral) men
nunjukkan tiidak adanyaa perubahan
n.
Moddel tersebuut menjawaab bahwa rintangan untuk peerubahan adalah
a
kurangnyaa kemampuuan (yang dapat diataasi dengan pelatihan) atau kuran
ngnya
kesempataan (yang dapat
d diperbbaiki dengaan akses teerhadap sum
mber daya), dan
bahwa peerubahan daapat terjadii lebih cepat jika orang dapat ddimotivasi untuk
u
berubah. Program
P pem
masaran sossial akan menjadi lebihh sulit jika oorang tidak dapat
dimotivasii untuk beruubah.
Salaah satu caraa untuk mem
motivasi adalah dengann menunjukkkan keuntu
ungan
yang dipeeroleh dari perubahan.
p Namun mu
uncul suatuu pertanyaann baru, men
ngapa
orang tetaap tidak ingin membbuat perub
bahan meskkipun peruubahan itu akan
memberi keuntungan
k n buat merekka? Oleh karena itu, perlu
p dipahaami faktor-ffaktor
yang dapaat mempenggaruhi motivvasi.
Padaa tingkat paling dasar, maanusia dim
motivasi ooleh keinginan
memaksim
malkan kebbahagiaan dan
d memin
nimalkan penderitaan.
p Kekuatan
n dari
motivasi untuk
u mem
mperoleh keebahagiaan dan mengghindari pennderitaan secara
s
langsung berhubunga
b an kepada tingkat kebah
hagiaan.
Motivasi

t
tingkat keingiinan mendapaatkan kebahagiaan atau mennghindar dari ppenderitaan
Gambaar 2.2 Grafikk Motivasi terhadap
t
Tingkatt Kebahagiaaan atau Pennderitaan

Unive
ersitas Indo
onesia
23 
 

Dalam konteks benefit-to-cost ratio, orang mencari perbandingan antara


keuntungan dan biaya (B/C) yang paling tinggi untuk setiap pilihan perilaku.
Motivasi untuk berubah adalah fungsi dari selisih antara persepsi B/C untuk
perilaku baru (yang diinginkan) dan persepsi B/C untuk perilaku yang ada
sekarang (yang tidak diinginkan). Secara sederhana, dapat dirumuskan:
Motivasi untuk berubah
M = B/C(perilaku baru) – B/C(perilaku sekarang) (2.2)
Namun, oleh karena persepsi seseorang tentang B/C akan selalu
berhubungan dengan perubahan perilaku mana yang didahulukan, maka akan
selalu ada persepsi B/C berdasarkan waktu. Persepsi keuntungan (B) yang dialami
sekarang lebih besar nilainya daripada keuntungan yang sama pada masa depan.
Juga ada persepsi biaya (C) yang harus ditanggung sekarang lebih berat daripada
biaya yang ditunda pada masa depan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pula
persepsi nilai saat ini (Present Value atau disingkat PV) bagi kebanyakan orang,
sehingga rumus disesuaikan menjadi:
Motivasi untuk berubah (dengan persepsi nilai saat ini)
M = PV B/C(perilaku baru) – PV B/C(perilaku sekarang) (2.3)

2.4. Pemasaran Sosial untuk Kerelawanan


Oleh karena kerelawanan adalah bukan produk yang berwujud, sangat sulit
untuk mengidentifikasi kerelawanan sebagai suatu produk seperti halnya produk
dalam pemasaran pada umumnya. Namun ada dua ciri yang dapat
mengidentifikasi kerelawanan sebagai produk sosial dari pemasaran sosial, yaitu:
• Produk-produk sosial dalam pemasaran sosial merefleksikan ide-ide (sikap,
keyakinan, dan nilai) dan mendorong pola perilaku baru (Andreasen, 2002;
Deshpande, Rothschild, & Brooks, 2004; McCormack, 2006). Hal ini sama
cirinya dengan kerelawanan, yaitu merefleksikan ide-ide dan mendorong
pola perilaku baru.
• Perubahan pola perilaku (dalam hal ini: kegiatan kerelawanan) adalah tujuan
utama dari pemasaran sosial (Andreasen, 2002, 2006).
Secara sederhana, dapat digambarkan pada gambar di bawah ini.

Universitas Indonesia
24 
 

Gambar 2.3 Hubungan antara Kerelawanan dan Pemasaran Sosial


Contohnya, upaya perubahan perilaku dari orang-orang yang bergabung
menjadi relawan untuk tidak takut membantu orang-orang yang mengalami
keterbelakangan mental atau cacat emosional. Dalam hal ini, perubahan perilaku
yang dikomunikasikan adalah “orang-orang dengan keterbelakangan mental tidak
membahayakan sehingga tidak perlu ditakuti.”
Ada dua jenis aktivitas yang berhubungan dengan pola perubahan sikap
dan perilaku, yaitu30:
1. Perubahan sikap sebagai langkah pertama sebagai pondasi perubahan
perilaku.

Gambar 2.4 Perubahan Sikap Menuju Perubahan Perilaku

2. Perubahan perilaku sebagai langkah pertama untuk mendukung perubahan


sikap.

Gambar 2.5 Perubahan Perilaku Menuju Perubahan Sikap


Dalam banyak kasus, tipe yang kedua lebih banyak dipilih. Daripada
menyebarkan informasi dan promosi sebanyak mungkin, akan lebih efektif jika
calon relawan mendapatkan pengalaman kerelawanan terlebih dahulu.

                                                            
30
Kotler et al., 2002 dalam Boehm, 2009.
Universitas Indonesia
25 
 

2.4.1. Perencanaan Pemasaran Sosial


Dengan model perubahan perilaku dan strategi di atas, sebuah program
pemasaran sosial tetap harus direncanakan dan dipahami dalam kaitannya dengan
bauran pemasaran.31

Gambar 2.6 Perencanaan Pemasaran Sosial Menurut Wymer (2006)

Langkah ke-1: Mengembangkan Pernyataan Tujuan (Statement of


Purpose)
Pada tahap ini, tujuan utama yang ditentukan merupakan kesepakatan semua
pihak dalam organisasi. Hal yang harus dipikirkan adalah hasil, bukan program.
Misalkan, menurunkan tingkat infeksi HIV pada sebuah populasi sasaran,
menurunkan tingkat kematian bayi pada negara-negara berkembang, dan lain-lain.
Pernyataan tujuan harus memiliki dua kriteria. Pertama, harus merupakan
kesepakatan semua pihak yang berkepentingan dalam organisasi. Kedua,
tujuannya harus memiliki fokus.

Langkah ke-2: Menentukan Hasil


                                                            
31
Wymer, Walter et al. 2006.
Universitas Indonesia
26 
 

Pernyataan tujuan di atas mendefinisikan masalah. Langkah berikutnya


adalah menentukan hasil yang terukur pada waktu tertentu. Contohnya, jika
tujuannya adalah untuk mengurangi merokok pada populasi pemuda, maka hasil
yang diinginkan misalkan untuk mengurangi persentase populasi yang merokok
dari 25% menjadi 20% dalam 5 tahun.

Langkah ke-3: Mengenali dan Memahami Sasaran Pemasaran


Dengan mengenali dan memahami kelompok yang menjadi sasaran
pemasaran, di antaranya nilai-nilai, aktivitas, minat, dan pengaruh sosialnya, maka
kampanye pemasaran sosial yang efektif dapat dikembangkan, terutama jika
melalui media-media yang digunakan oleh sasaran pemasaran.
Hermawan Kartajaya dalam Hasanuddin et al (2011) menyebutkan ada tiga
tingkatan untuk memahami pelanggan.
1. Pemahaman terhadap kebutuhan (need) dan keinginan (want) dari
pelanggan. Kebutuhan masih lebih abstrak dan konseptual, sedangkan
keinginan sudah lebih konkrit, spesifik dan realistik. Setelah suatu produk
diluncurkan, perlu dipahami apakah produk tersebut telah memenuhi
kebutuhan (need) dan keinginan (want) pelanggan atau belum. Posisi
pemasar dan pelanggan masih bersifat vertikal.
2. Pemahaman terhadap harapan (expectation) dan persepsi (perception) dari
pelanggan. Ketika persaingan semakin hebat, persaingan tidak hanya dalam
peluncuran produk, melainkan juga dalam pemuasan pelanggan. Ada
pergeseran dari produk ke pelanggan. Harapan pelanggan dipahami agar
produk dan jasa dapat diarahkan untuk memenuhinya, yang kemudian akan
dibandingkan dengan persepsi dari pelanggan sesudah menerima produk
dan jasa tersebut. Agar pendapat memahaminya, para pemasar harus
melibatkan dirinya dalam situasi yang nyata sebagai pembeli atau pelanggan
(dengan metode mystery shopping). Inilah era transisi dari pemasaran
vertikal ke horisontal.
3. Pemahaman terhadap kegelisahan (anxiety) dan hasrat (desire) dari
pelanggan. Pemahaman ini jauh melampaui dari sekedar kebutuhan (need)
dan keinginan (want) pada era vertikal maupun harapan (expectation) dan

Universitas Indonesia
27 
 

persepsi (perception) pada era transisi. Pada saat inilah lanskap persaingan
sudah benar-benar horisontal di mana posisi pemasar sudah satu tingkat
dengan pelanggannya. Ada pergeseran dari produk ke pelanggan dan
akhirnya ke jiwa manusia (human spirit). Artinya, yang dicari adalah
kegelisahan (anxiety) dan hasrat (desire) dari pelanggan sebagai seorang
manusia yang utuh, baik dengan IQ, EQ, maupun SQ-nya. Kegelisahan dan
hasrat ini sulit ditangkap karena pelanggan tidak mau membicarakannya.
Bahkan seringkali mereka mengaku tidak tahu. Tidak mau bicara karena
menganggapnya sensitif. Mereka tidak mau terlihat bodoh. Juga tidak tahu
karena mereka tidak dapat membayangkan bahwa kegelisahan itu dapat
menemukan penyelesaian. Juga tidak tahu bahwa hasratnya dapat menjadi
kenyataan.
Selain tiga tingkatan pemahaman di atas, ada tiga komunitas masa depan
yang penting untuk dipahami kegelisahan (anxiety) dan hasrat (desire) dari
ketiganya, yaitu Youth (anak muda), Woman (perempuan), dan Netizen (secara
harfiah: pengguna internet). Ketiganya dikenal dengan singkatan YWN. Berkaitan
dengan Relawan Muda Indonesia (RMI) yang memiliki segmen anak muda
(Youth), maka komunitas itulah yang akan dibahas pada tulisan berikut. 
Pada tahun 2010, lembaga riset pemasaran MarkPlus Insight mengadakan
survei terhadap 734 responden anak muda usia 14-35 tahun di 6 kota besar, yaitu
Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar.32 Dari riset
tersebut, ditemukan empat segmen besar yang disebut sebagai empat komunitas
makro anak muda Indonesia, yaitu:
1. Patriot. Mereka adalah anak muda yang mempunyai idealisme dan rasa
nasionalisme yang tinggi, berani, dan cenderung menjadi pemimpin. Mereka
juga mempunyai jiwa sosial yang tinggi, selalu berpikir untuk orang lain
dan sangat loyal.
2. Buddy. Mereka adalah tipe anak muda yang cukup santai, memiliki banyak
teman, sangat toleran dan peduli orang lain.
3. Fighter. Mereka adalah anak muda yang keras, punya banyak kegelisahan,
outspoken dan terkadang sedikit egois.

                                                            
32
Hasanuddin et al (2011)
Universitas Indonesia
28 
 

4. Starr. Mereka cenderung


c idealis dan
n populer, mempunyai
m i pengaruh yang
besaar terhadap kelompok teman-temaannya., mem
mpunyai tuj
ujuan hidup yang
jelass bagi masaa depannya, namun cenderung fokuus pada dirii sendiri.
Beriikut ini adaalah bagan matriks darri empat koomunitas m
makro anak muda
m
Indonesia tersebut.

G
Gambar 2.7 Matriks
M dari Empat Ko
omunitas Maakro Anak M
Muda Indon
nesia
Sumber: Hasan
nuddin et al (22011)
Darii riset MarkkPlus Insighht 2010, dik
ketahui persentase mereeka hampir sama
satu sama lain, sepertti pada gambbar di bawaah ini.

G
Gambar 2.8 Persentase Empat Kom
munitas Maakro Anak M
Muda Indonesia

Unive
ersitas Indo
onesia
29 
 

Dengan modal pengetahuan tentang ciri-ciri komunitas makro anak muda


Indonesia inilah, suatu produk memposisikan dirinya (positioning) dan membuat
strategi pemasaran yang tepat berdasarkan posisinya tersebut, misalnya:
• Patriot: Bank Danamon dengan program “Semangat Bisa” yang
mengangkat semangat nasionalisme mengangkat penyanyi hiphop pencetus
gerakan “Indonesia Unite”, Pandji Pragiwaksono sebagai ikon program ini.
• Buddy: Motor Yamaha Jupiter MX yang bercitra santai dan bersahabat
mengangkat pelawak Komeng sebagai bintang iklan.
• Fighter: Motor Honda Absolute Revo yang berkesan kuat, tangguh namun
bergaya menjadikan band rock Nidji sebagai brand ambassador.
• Star: Produk paket BlackBerry dari 3 (Three) yang ingin mencitrakan diri
populer dan berkelas memilih artis pop dengan prestasi internasional, Agnes
Monica, sebagai bintang iklannya.
Riset MarkPlus Insight 2010 di atas juga menemukan hasil yang luar biasa.
Ada 6 dari 10 anak muda Indonesia mengaku lebih banyak mengakses internet
dalam 6 bulan terkahir dibanding media-media lain termasuk media konvensional
TV. Selain itu, rata-rata 9 dari 10 anak muda itu memiliki akun di Facebook. Tren
itu semakin tinggi pada kelompok usia sekolah SMA. Mereka menggunakan
Facebook untuk berinteraksi dengan teman-teman mereka dan memperbarui
(update) status tentang kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu, perangkat Black
Berry juga menjadi bagian dari tren anak muda.
Berkaitan dengan kegelisahan dan hasrat yang dialami anak muda, terutama
berkaitan dengan kerelawanan, hasil riset MarkPlus Insight 2010 menunjukkan
lebih dari separuh anak muda memilih untuk bersikap realistis daripada idealis.
Alasan mereka, bagaimanapun suatu ketika kelak mereka akan menghadapi masa
depan. Ada juga ketakutan untuk gagal dalam studi yang akhirnya menarik
mereka dari berbagai kegiatan kepedulian, meskipun sebenarnya mereka memiliki
tingkat kepedulian sosial yang tinggi. Ketakutan tidak mendapatkan pekerjaan
yang layak juga paling banyak terungkap pada mereka yang baru lulus kuliah. Hal
ini dapat diartikan bahwa anak muda memiliki energi idealisme yang tinggi,
namun tidak berlangsung permanen. Itulah sebabnya, program kerelawanan

Universitas Indonesia
30 
 

Indonesia Mengajar, yaitu program penempatan sarjana-sarjana muda sebagai


guru di daerah-daerah terpencil Indonesia hanya berjangka waktu satu tahun.
Selain itu, hasil riset MarkPlus Insight 2010 juga merekam kegelisahan dan
hasrat lain anak muda saat ini. Secara singkat, yang secara relevan dapat
dipergunakan untuk memasarkan kerelawanan, adalah sebagai berikut.
• Anak muda berusaha mendapatkan status kedewasaan, lebih spesifik kepada
esensi kebebasan, kesetaraan dan kepercayaan.
• Anak muda suka memakai T-shirt.
• Anak muda suka mengekspersikan kenarsisan mereka. Misal dengan
menampilkan foto diri di Facebook untuk kemudian dikomentari oleh
teman-teman atau keluarga mereka.
• Anak muda suka mencari perhatian lewat internet dan telepon seluler.
• Anak muda suka mendapat apresiasi atas prestasi dan kelebihan yang
dimiliki mereka.
• Anak muda suka dengan simbol-simbol perlawanan.
• Anak muda suka membicarakan hal-hal yang lucu lewat media jaringan
sosial: 66% responden pelajar SMA dan mahasiswa dan 72% pekerja muda.
• Anak muda butuh kelompok pertemanan (peer group). Hal ini dimanfaatkan
dengan baik oleh Relaxa dengan laman relaxazone.com. Anak muda
diarahkan untuk memiliki peer group yang positif. Mereka disediakan chart
untuk mengecek kecocokan antar anggotanya. Bahkan ada room Chare &
Share untuk anak muda dapat curhat dan berbagi informasi. Sayangnya,
karena hanya merupakan kepentingan komersial, laman ini sudah tidak ada
lagi.
Riset terbaru dari MarkPlus Insight tahun 2012 menyasar 2.150 responden
anak muda berusia 14 s.d. 35 tahun di 10 kota besar Indonesia (Jakarta, Bandung,
Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Denpasar, Banjarmasin, Pekanbaru dan
Palembang) tema “Spending Behavior” atau perilaku membeli. Dari data riset ini,
terkuak bahwa hanya 18% anak muda Indonesia yang mengaku tidak
menggunakan internet untuk mencari informasi. Selain itu, ada 61,4% anak muda
berkarakter smart yang selalu ingin mencari informasi sebanyak-banyaknya
terhadap produk atau jasa yang akan dibeli. Lawan mereka adalah 38,6% anak

Universitas Indonesia
31 
 

muda berkarakter simple yang kurang ingin mencari informasi lebih lanjut, mudah
saja dalam membeli produk atau jasa. 33
Selain itu, dari riset tersebut ditemukan pula fakta-fakta tentang konsumen
anak muda. Berikut ini beberapa di antaranya, yang kemungkinan memiliki
relevansi dengan pemasaran kerelawanan bagi anak muda.
• Sekitar 70% anak muda memiliki kendaraan sendiri, baik itu motor, mobil
atau keduanya.
• Sekitar 65% anak muda masih membaca koran.
• Facebook dan Twitter masih populer di kalangan anak muda, namun
cenderung turun.
• Anak muda semakin aktif mengakses portal-portal berita di internet dan
memberikan komentar.
• Sebagian besar anak muda tidak memiliki inspirator muda dari kalangan
sosial, politik dan kewirausahaan.
• Anak muda suka bersosialisasi dalam dunia online maupun offline.

Langkah ke-4: Mengembangkan Bauran Pemasaran


Seperti halnya bauran pemasaran yang umum, maka pemasaran sosial juga
menggunakan model 4P (Product, Price, Place, Promotion). Namun untuk
pemasaran sosial, perlu ditambahkan P lainnya, yaitu Policy.

                                                            
33
Majalah Marketeers edisi Mei 2012, “Kemana Saja Uang Konsumen Anak Muda?”, hal. 52-54
Universitas Indonesia
32 
 

Gambar 2.9 Bauran Pemasaran


Penjelasan bauran pemasaran ini adalah sebagai berikut.
Product (Produk). Berupa ide, perilaku, atau benefit yang diperoleh sasaran
dengan mengadopsi perubahan yang diinginkan.
Seperti halnya produk-produk sosial lainnya dalam pemasaran sosial,
kerelawanan juga merefleksikan ide-ide dan mendorong pola perilaku baru. Selain
itu, banyak benefit yang dapat diperoleh dengan menjadi relawan. Dengan
membantu sesama, para relawan dapat meningkatkan kebahagiaan fisik, mental
dan sosialnya (Mostyn, 1983; Cnaan dan Amrofell, 1994). Beberapa benefit itu di
antaranya:34
1. Penilaian dan penghargaan (Haski-Leventhal et al., 2008),
2. Pelatihan dan peningkatan karir (Zakour,1994),
3. Menjawab kebutuhan yang berbeda-beda (Miller et al.,1990),
4. Kebahagiaan fisik dan psikologis (Haski-Leventhal, 2009),
5. Pengembangan pengalaman dan keahlian (Hibbert et al., 2003), misal dalam
hal dedikasi, integritas, dan komunikasi yang baik,
6. Nilai ekonomi (Wilson and Musick, 2000), misalkan seseorang yang pernah
menjadi relawan akan lebih dipilih oleh perusahan yang sedang mencari
karyawan.
                                                            
34
Haski-Leventhal dan Meijs, 2010
Universitas Indonesia
33 
 

Cnaan dan Amrofell (1994) membagi benefit menjadi relawan menjadi lima
kategori:
1. Penghargaan materi atau penghargaan berwujud yang bukan merupakan
pembayaran atas pelayanan kerelawanannya;
2. Penghargaan internal dan perasaan baik tentang diri sendiri;
3. Penghargaan interaksi sosial;
4. Terbebas dari tekanan norma sosial;
5. Penghargaan untuk diri sendiri karena tidak menghindari dari melakukan
sesuatu yang bermakna.
Wilson (2000) memberikan pendapatnya tentang benefit bagi para relawan,
yaitu:
• Kesehatan fisik dan mental yang lebih baik,
• Berkontribusi mengatasi masalah-masalah sosial,
• Membangun masyarakat sipil yang baik.
Benefit yang lainnya antara lain, dapat mengekspresikan kepribadian,
relaksasi dari pekerjaan rutin, memberikan pengaruh kepada lingkungan di
sekitarnya melalui aktivitas kepemimpinan, mendapatkan teman baru,
meningkatkan status sosial, mendapatkan perspektif baru, menggali potensi diri,
atau hanya sekedar untuk mengisi waktu lainnya (Boehm, 2009 dan Savitri,
2005).

Price (Harga/Biaya). Harga mewakili biaya yang dialami sasaran


pemasaran jika mengadopsi perubahan yang diinginkan. Biaya mewakili persepsi
mereka tentang: (1) secara positif dirasakannya benefit perilaku sekarang yang
akan dikorbankan; dan (2) secara negatif dirasakannya pengalaman yang harus
dibebankan untuk mengadopsi perubahan yang diinginkan.35
Biaya dapat dirasakan berbeda-beda oleh relawan yang berbeda-beda.
Misalkan biaya bagi sebagian relawan dalam hal memberikan waktu (yang sudah
sangat terbatas bagi mereka) yang seharusnya dapat digunakan untuk keluarga
atau hobi mereka. Sebagian relawan merasakan biaya dalam hal keuangan,
karena waktu yang dipergunakan untuk tugas kerelawanan seharusnya dapat
                                                            
35
Wymer, Walter et al. 2006.
Universitas Indonesia
34 
 

dipergunakan untuk bekerja mendapatkan uang, disebut juga biaya peluang


(opportunity cost). Bagi relawan lainnya, biaya adalah kelelahan fisik setelah
melakukan tugas kerelawanan. Biaya lainnya, adalah ketidaknyamanan
psikologis karena misalkan bekerja dengan orang-orang yang cacat.36
Tiga biaya utama yang terkait dengan kerelawanan37:
1. kekurangan waktu dan perasaan bahwa kerelawanan akan mengambil waktu
lebih banyak daripada yang diharapkan (Blake and Jefferson, 1992; Omoto
dan Snyder, 1993),
2. stigma dan reaksi sosial yang negatif, karena bekerja dengan organisasi atau
populasi yang kontroversial (seperti penderita AIDS atau organisasi anti
pemerintah; Omoto and Snyder, 1993), dan
3. masalah psikologis seperti kemarahan, trauma tidak langsung, stres, dan
putus asa (Cyr dan Doerick, 1991; Capner dan Caltabiano, 1993; Mitchell et
al., 2004) atau kegelisahan sosial ketika baru menjadi relawan (Handy dan
Cnaan, 2007).

Place (Tempat). Tempat adalah lokasi di mana sasaran pemasaran


menerima pesan-pesan ataupun melaksanakan program-program kampanye
pemasaran sosial.
Menempatkan sebuah produk sosial (dalam hal ini, kerelawanan) adalah
untuk membuatnya dapat diakses oleh pelanggan (dalam hal ini relawan dan
orang-orang yang dilayaninya). Kemudahan akses terhadap tempat kerelawanan
merupakan cara untuk mengurangi biaya kerelawanan (waktu, upaya, dan uang
transportasi yang harus dikeluarkan). Kemudahan akses ini merujuk pada dua
aspek, yaitu (1) jarak aktivitas kerelawanan dari rumah para relawan dan (2)
harapan terhadap transportasi yang nyaman.
Serupa dengan Black, Blue, & Coster, (2001), Siegel dan Lotenberg (2007),
dan Strand, Rothschild, and Nevin (2004), penempatan para relawan jangan
terlalu eksklusif, hanya untuk kelompok kecil yang terbatas, terlalu jauh,

                                                            
36
Boehm, 2009.
37
Haski-Leventhal dan Meijs, 2010
Universitas Indonesia
35 
 

lingkungan yang menimbulkan ketakutan, dan lokasinya yang terpencil dapat


membuat perasaan relawan akan diabaikan.38

Promotion (Promosi). Promosi merujuk pada program komunikasi yang


digunakan untuk mengirimkan pesan-pesan kampanye pemasaran sosial kepada
sasaran pemasaran. Komunikasi ini dapat melalui material cetak (brosur, surat,
koran, majalah), media penyiaran (radio, televisi), media online (website, email,
newsletter, video) dan komunikasi secara personal (dialog langsung, dialog
dengan telepon).
Unsur-unsur dalam promosi pemasaran berfokus pada proses komunikasi
untuk mengirimkan pesan secara efektif, memberikan penyadaran publik terhadap
produk atau jasa, menarik perhatian masyarakat, dan meyakinkan mereka akan
kualitas, legalitas dan nilainya (Marchand & Filiatrault, 2002; Quinn, Hauser,
Bell-Ellison, Rodriguez, & Frias, 2006). Berikut ini adalah contoh-contoh dari
penggunaan promosi:39
• Komunikasi langsung (secara personal). Promosi ini mencakup
pengembangan jaringan perwakilan relawan – “Duta Relawan” – yang
berada di lingkungan yang berbeda-beda (sekolah, organisasi, kantor-
kantor) untuk menyampaikan ide-ide kerelawanan melalui dialog langsung.
• Periklanan. Promosi ini mencakup iklan di koran dan radio lokal,
penyebaran surat atau melalui media sosial di internet. Untuk memperkuat
hubungan dan efektivitas promosi, kegiatan penjualan langsung secara
personal dapat dilakukan. Tujuannya untuk untuk meraih lebih banyak lagi
sasaran komunitas.
• Hubungan masyarakat (humas). Promosi ini mencakup pawai para
relawan, mendirikan dewan kerelawanan yang dipimpin oleh tokoh
masyarakat atau diikuti selebritis, juga hubungan dengan wartawan untuk
mempublikasikan kisah kesuksesan para relawan. Tujuannya untuk
memperkuat citra positif aktivitas pada jangka panjang.

                                                            
38
Boehm, 2009.
39
Ibid, 2009
Universitas Indonesia
36 
 

• Insentif (promosi penjualan) (Andreasen, 2006; Arkin, 2004). Misalkan


diskon sejumlah kafe, toko, dan bioskop di kota untuk para relawan muda.
Tujuannya untuk mendorong aktivitas relawan.
Sebagai tambahan, berikut ini hal-hal yang penting dalam promosi.
1. Komunikasi yang menampilkan sebuah pesan yang singkat atau informasi
yang lengkap dan detail.
2. Motif untuk mendorong perubahan perilaku yang didetailkan, misalnya
pesan “kerelawanan adalah tantangan pribadi dan sosial”. Harus dijelaskan
pula bagaimana untuk menyelesaikannya, berapa lama, dan kapan.
3. Pesan yang lebih panjang dikirimkan melalui komunikasi pribadi. Tipe
media yang digunakan akan mempengaruhi detail informasi yang hendak
disampaikan (misal pesan panjang untuk koran, pesan pendek untuk televisi
atau radio).
4. Terakhir, sebuah promosi yang dapat memberikan pesan tersirat tentang
• perasaan (“cintai orang-orang cacat seperti dirimu sendiri”),
• kesadaran (‘‘kampanye relawan telah dimulai’’),
• pengetahuan (‘‘lokasi pertemuan relawan adalah pada hari... tanggal…
tempat…’’),
• tindakan (‘‘jangan diam saja, ayo mulai jadi relawan hari ini”).
Bahkan ketika suatu pesan menyatukan sejumlah pesan tersirat di atas,
sangatlah penting untuk menentukan urutannya dalam pengiriman pesan-pesan
promosi.
Teori pertukaran (exchange theory) yang menjadi dasar dari pendekatan
pemasaran (Kotler & Armstrong, 2003), telah ditemukan kesesuaiannya dalam
mengkaji aktivitas kerelawanan. Salah satu pertanyaan dari teori ini apakah semua
pihak yang terlibat dalam kerelawanan – para relawan, penerima pelayanan
relawan, dan lainnya – berada dalam kondisi yang lebih baik dari sebelum
kerelawanan? Oleh karena itu, kerelawanan diharapkan dapat menjadi proses
memproduksi nilai dan memperbaiki kondisi semua pihak. Konsentrasi proses ini
adalah pada kebutuhan untuk mengadaptasi produk, harga, promosi, dan distribusi
terhadap populasi kelompok yang disebutkan pada pertanyaan di atas.

Universitas Indonesia
37 
 

• Pertama, kebutuhan akan diversifikasi dan integrasi strategi promosi di atas,


yaitu komunikasi langsung, periklanan, hubungan masyarakat (humas), dan
program insentif ketimbang berfokus hanya pada satu strategi promosi.
• Kedua, kebutuhan akan pesan-pesan promosi yang tajam, sesuai dengan
aktivitas yang dipromosikan, medianya, dan sasaran.

Policy (Kebijakan). Kebijakan merupakan sarana agar lingkungan di


sekitar sasaran pemasaran dapat mendukung perubahan perilaku yang diharapkan.
Kebijakan tidak hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan negara,
namun juga pada internal organisasi kerelawanan.

Langkah ke-5: Mengembangkan Rencana Implementasi


Aktivitas yang spesifik untuk dilakukan selama waktu yang spesifik harus
ditugaskan kepada orang yang spesifik dan tenggat waktu yang spesifik pada
jadwal kampanye.

Langkah ke-6: Merencanakan Anggaran


Anggaran direncanakan untuk dapat memenuhi kampanye pemasaran sosial
yang akan dilaksanakan. Jika anggaran tidak cukup, dapat dipilih alternatif yang
dapat mengurangi biaya, misalkan dengan mengandalkan relawan dan mengurangi
iklan.

Langkah ke-7: Kendali dan Umpan Balik


Hasil yang diperoleh selama program pemasaran sosial ini dapat diukur
untuk kemudian dilakukan penyesuaian. Umpan balik dari sasaran pemasaran juga
diperlukan bagi perbaikan yang berkelanjutan dan perencanaan ke depan.

Universitas Indonesia
38 
 

2.4.2. Kemampuan Merekrut (Recruitability) & Kemampuan


Kerelawanan (Volunteerability)
Untuk memahami potensi dari strategi pemasaran dalam perekrutan
relawan, ada dua konsep yang dapat dipergunakan, yaitu kemampuan merekrut
(recruitability)40 dan kemampuan kerelawanan (volunteerability). 41
Berikut ini adalah bagan dari pembahasan tentang kemampuan merekrut
(recruitability) dan kemampuan kerelawanan (volunteerability).

                                                            
40
Haski-Leventhal et al., 2009 dalam Haski-Leventhal dan Meijs, 2010.
41
Meijs et al., 2006a; Meijs et al., 2006b dalam Ibid, 2010.
Universitas Indonesia
39 
 

Gambar 2.10 Kemampuan Merekrut (Recruitability) &


Kemampuan Kerelawanan (Volunteerability)

Universitas Indonesia
40 
 

a. Kemampuan Merekrut (Recruitability)


Kemampuan merekrut (Recruitability) atau disebut saja Recruitability
adalah kemampuan organisasi untuk merekrut calon relawan. Kemampuan ini
perlu ditingkatkan dengan pemahaman tentang posisi organisasi dan jenis
kerelawanan yang ditawarkan.
Recruitability ini akan lebih kuat jika organisasi lebih baik dalam menata
dan menarik relawan. Oleh karena itu, manajemen organisasi kerelawanan perlu
senantiasa diperbaiki dari sejak tahap perekrutan dan seleksi, melalui pelatihan
dan sosialisasi, untuk memelihara dan memotivasi para relawannya.
Recruitability suatu organisasi juga memiliki tiga komponen:
1. kemudahan akses, yaitu tingkat organisasi dapat menjangkau semua calon
relawan. Hal ini dapat ditingkatkan dengan menciptakan ceruk (niche) pasar
yang unik, dengan pemasaran yang proaktif, dengan membuka cabang,
dengan memperbaiki akses fisik, dan dengan menciptakan peluang
kerelawanan daring;
2. sumber daya, seperti sumber daya keuangan dan manusia yang dibutuhkan
untuk memasarkan, merekrut (recruit) dan mempertahankan (retain) para
relawan.
3. jaringan dan kerja sama untuk meningkatkan kemudahan akses dan sumber
daya di atas.

1. Segmentasi Pasar
Segmentasi pasar dipergunakan secara luas dalam strategi pemasaran
40dengan tujuan untuk mengenali sekelompok kecil dari individu-individu yang
homogen menggunakan kriteria tertentu sebelumnya (Dolnicary dan Randle,
2007).
Beberapa kajian berfokus pada segmentasi pada para calon relawan
(sasaran) untuk merekrut lebih banyak lagi orang dalam cara yang efektif.
Hasil riset menunjukkan bahwa pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan
jejaring sosial semuanya berkaitan dengan kecenderungan kerelawanan. Dengan
pendekatan terhadap kelompok-kelompok sosial di atas, atau dengan cara lebih
baik menanyakan langsung kepada mereka kesediaan untuk menjadi relawan,

Universitas Indonesia
41 
 

maka perekrutan akan menjadi sangat efektif (Pearce, 1993; Wilson, 2000;
Penner, 2004).
Dalam penentuan strategi segmentasi, ada tiga pilihan yang dapat
dipertimbangkan.
1. Strategi pendekatan semua-inklusif komprehensif, mencakup
penggunaan satu bauran pemasaran di atas untuk seluruh sasaran populasi,
tanpa segmentasi sama sekali.
2. Strategi fokus mencakup pendekatan dengan satu bauran pemasaran untuk
setiap segmen.
3. Strategi diferensiasi, mencakup bauran pemasaran yang berbeda untuk dua
atau lebih segmen tertentu saja dari populasi.
Literatur kerelawanan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok relawan
yang berbeda memiliki kebutuhan dan impian yang berbeda pula (Warburton et
al., 2007; Wardell et al., 2000). Oleh karena itu, perekrutan relawan akan lebih
berhasil jika menerapkan strategi fokus atau diferensiasi di atas.

2. Positioning
Salah satu isu sentral yang mencuat dalam mengembangkan kampanye
pemasaran adalah pertanyaan bagaimana mentransformasikan kerelawanan
menjadi dipercaya sasaran segmennya sebagai sesuatu yang penting, menarik,
meyakinkan, dan berharga jika dibandingkan dengan pilihan kegiatan yang lain.
Oleh karena itu, program tersebut harus mencakup strategi positioning untuk
membangun citra yang positif dan menarik untuk produk tersebut (Siegel &
Lotenberg, 2007; Smith, 2000).42
Dalam definisi pemasaran pada umumnya, positioning adalah strategi untuk
memenangi dan menguasai benak pelanggan (dalam hal ini: calon relawan)
melalui produk (kerelawanan) yang ditawarkan. Namun, Hermawan Kartajaya
(2004) mendefinisikan positioning sebagai strategi untuk membangun dan
mendapatkan kepercayaan dari sasaran pemasaran. 43

                                                            
42
Boehm, 2009
43
Kartajaya, Hermawan. 2004.
Universitas Indonesia
42 
 

Untuk membangun positioning yang tepat, ada empat resep berikut dari
Hermawan Kartajaya, disesuaikan dengan konteks kerelawanan yang dibahas
pada saat ini.44
1. Positioning organisasi harus mendapat persepsi secara positif oleh sasaran
pemasaran dan menjadi alasan mereka untuk memberikan biaya (uang,
waktu, tenaga, mental) dengan menjadi relawan. Ini akan terjadi apabila
positioning organisasi mendeskripsikan nilai-nilai yang akan diberikan
kepada calon relawan dan nilai-nilai ini benar-benar merupakan suatu aset
bagi mereka.
2. Positioning organisasi seharusnya mencerminkan kekuatan dan keunggulan
kompetitif organisasi. Tidak boleh positioning dirumuskan tanpa
kesanggupan melakukannya.
3. Positioning haruslah bersifat unik sehingga dapat dengan mudah
mendiferensiasikan diri dari para pesaing. Keunikan positioning ini akan
menyulitkan para pesaing untuk menirunya sehingga positioning ini akan
bertahan dalam jangka panjang.
4. Positioning harus berkelanjutan dan selalu relevan dengan berbagai
perubahan dalam lingkungan. Jika positioning organisasi sudah tidak
relevan dengan kondisi lingkungannya, maka harus segera dilakukan
tindakan perbaikan,yaitu: repositioning.

Konsep positioning ini dalam pemasaran komersial dapat digambarkan


dalam sebuah grafik berbentuk matriks 2 Dimensi, yaitu kualitas produk dan
harga atau biayanya. Dengan demikian, dapat diperoleh empat tipe merk atau
produk, yaitu:45
• kualitas tinggi – harga tinggi (‘‘produk yang prestisius’’;),
• kualitas tinggi – harga rendah (‘‘sebuah penawaran),
• kualitas rendah – harga rendah (‘‘produk biasa”),
• kualitas rendah – harga tinggi (“terlalu mahal’’)

                                                            
44
Ibid, 2004.
45
Kotler, 2003 dalam Boehm (2009)
Universitas Indonesia
43 
 

Konsep positioning inilah yang akan diadaptasi menjadi matriks positioning


kerelawanan.

Matriks Positioning Kerelawanan: Biaya vs Kualitas Pengalaman


Matriks positioning kerelawanan — sebuah perangkat pemasaran untuk
membantu relawan organisasi dalam mengatasi persaingan dengan organisasi atau
perkumpulan lainnya dalam mengakses sumber daya kerelawanan (Brudney and
Meijs, 2009).
Dengan menerapkan matriks ini, relawan organisasi dapat memperbaiki
kemampuan merekrut mereka dan memastikan mereka untuk dapat mencapai
sumber daya yang penting: kerelawanan orang, terekrutnya relawan untuk
diseleksi, dan kemampuan untuk mempertahankan mereka. Kajian sebelumnya
menyatakan hubungan antara kerelawanan jangka panjang dan kesadaran antara
benefit dan biaya pada relawan yang bekerja (Chinman dan Wandersman, 1999).46
Sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini, matriks tersebut membagi
kerelawanan suatu organisasi menjadi empat tipe, yaitu

Gambar 2.11 Matriks Positioning Kerelawanan: Biaya vs Kualitas Pengalaman


Sumber: Haski-Leventhal dan Meijs, 2010 (telah diolah kembali)

                                                            
46
Haski-Leventhal dan Meijs, 2010
Universitas Indonesia
44 
 

Relawan Tipe A mendapatkan kualitas kerelawanan yang baik pada biaya


yang rendah. Artinya mendapatkan begitu banyak benefit seperti disebutkan di
atas, tapi biaya yang diperlukan relatif rendah, contohnya “dewan pemerintahan”.
Relawan tipe A sesuai untuk orang dengan latar belakang sosio-demografis
yang kuat, pebisnis, dan orang dengan sumber daya sosial dan keuangan yang
ingin menjadi relawan dengan biaya rendah namun mendapatkan banyak
pengalaman.
Benefit yang dapat diperoleh relawan tipe A: menjadi berkaitan dengan citra
positif organisasi, mendapatkan jaringan yang kuat dan mendapatkan prestasi.
Sedangkan biaya yang rendah dalam kaitan dengan waktu (hanya sedikit
pertemuan tahunan), kesulitan emosi (hampir tidak ada) dan investasi (Handy,
1995).
Namun, karena dibutuhkannya donasi uang (biaya finansial) yang
sedemikian besar dari relawan tipe ini, diperlukan pendekatan dari organisasi
terhadap calon relawan ini dan harus melalui proses seleksi
Relawan Tipe B mendapatkan kualitas kerelawanan yang baik tapi dengan
biaya yang tinggi. Contohnya adalah kerelawanan internasional (di mancanegara).
Relawan tipe B sesuai untuk orang muda yang antusias, dengan waktu luang
dan keinginan untuk belajar dan berkontribusi.
Benefit yang dapat diperoleh relawan tipe B: prestasi yang bermakna,
memberi dampak bagi kehidupan orang lain, jaringan sosial, berinteraksi dengan
budaya lain, mendapatkan pengalaman kerja dan peningkatan karir. Sedangkan
biaya yang tinggi antara lain biaya perjalanan, masalah emosi psikis, terutama
benturan budaya.
Relawan Tipe C mendapatkan kualitas kerelawanan yang kurang pada
biaya yang rendah. Biasanya terjadi pada episodic volunteer, yaitu relawan yang
melayani pada saat dibutuhkan atau pada kejadian khusus atau pada proyek
kerelawanan yang terbatas waktunya.
Relawan tipe C dapat menarik orang yang hanya punya sedikit waktu luang
tapi dengan kemampuan dan kemauan untuk menjadi relawan. Oleh karena itu,
relawan tipe C dapat meningkatkan kemampuan kerelawanan (volunteerability),
terutama pada orang yang tidak dapat berkomitmen jangka panjang seperti para

Universitas Indonesia
45 
 

mahasiswa atau para karyawan. Baru-baru ini, banyak orang yang beralih dari
relawan jangka panjang menjadi relawan jangka pendek (Dekker dan Halman,
2003; Hustinx dan Lammertyn, 2003; McDuff, 2008). Brudney (2005) juga
menemukan bahwa 31% dari semua relawan dapat didefinisikan sebagai episodic
volunteer. Karena episodic volunteer umumnya terjadi pada kelompok (Hustinx et
al., 2008; Haski-Leventhal dan Cnaan, 2009) maka ada kualitas tambahan dalam
proses sosial yang terjadi di antara para relawan tipe C.
Relawan Tipe D mendapatkan kualitas kerelawanan yang kurang dengan
biaya yang tinggi. Mereka tidak tahu apakah mereka dibantu dalam tugas mereka
dan apa hasil dari tugas mereka, dan oleh karena itu mereka memperoleh
kepuasan kerja yang sangat rendah. Relawan tipe D ini lebih membutuhkan
perubahan organisasi daripada strategi pemasaran. Contohnya adalah relawan
hotline. Mereka mendapatkan biaya yang sangat tinggi, terutama biaya emosional:
hubungan sesaat dengan penerima layanan mereka, ketidaktahuan mereka
terhadap orang di balik telepon, dan frustasi karena ketidaktahuan akan hasil
kerelawanan mereka, juga pelecehan seksual dan pelecehan lainnya dari beberapa
penelepon (Leising, 1986; Cyr dan Doerick, 1991).
Bennett (2005) berpendapat bahwa pemasaran internal (yang akan dibahas
kelak) dapat dipergunakan untuk berkomunikasi dengan mereka, berbagi
informasi tentang organisasi, prestasi individu, dan pentingnya tugas mereka.
Pemasaran internal inilah yang merupakan kunci dalam mengubah relawan tipe D
menjadi tipe B.47

Matriks Positioning Kerelawanan: Benefit vs Altruisme


Selain dari aspek biaya, positioning sebuah organisasi kerelawanan dan
produk kerelawanannya juga dapat digambarkan dalam sebuah matriks benefit
48
terhadap altruisme. Oleh karena itu, diperoleh empat tipe kerelawanan dalam
organisasi, yaitu:
Relawan Tipe A mendapatkan benefit yang baik dan altruisme yang
rendah. Tipe ini adalah pada tahap permulaan organisasi ketika baru melakukan
perekrutan relawan.
                                                            
47
Ibid, 2010.
48
Boehm, 2009.
Universitas Indonesia
46 
 

Relawan Tipe B mendapatkan benefit yang baik dan juga altruisme yang
tinggi. Positioning ini didapatkan pada organisasi yang telah berada pada tahap
kemajuan dalam kerelawanan. Relawan tipe ini mendapatkan bahwa altruisme
adalah diterima sebagai salah satu benefit itu sendiri. Positioning yang hendak
disampaikan adalah “kerelawanan adalah pendekatan altruistik menuju kepuasan
pribadi.”
Relawan Tipe C mendapatkan benefit yang kurang dan juga altruisme yang
rendah. Ini adalah positioning yang harus dicegah dan diubah.
Relawan Tipe D mendapatkan benefit yang rendah namun dengan
altruisme yang tinggi. Ini adalah relawan yang bekerja melayani orang-orang
dengan cacat emosional.

Gambar 2.12 Matriks Positioning Kerelawanan: Benefit vs Altruisme


Namun, seperti telah disampaikan pada batasan penelitian, matriks ini tidak
akan dipergunakan karena pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan
altruisme.

3. Pemasaran untuk Calon Relawan


Untuk merekrut para relawan, organisasi kerelawanan harus memperhatikan
tentang bagaimana mengidentifikasi dan menarik mereka dengan strategi yang
lebih sistematis. Unsur-unsur di bawah ini membantu pemasaran untuk merekrut
calon relawan.
Universitas Indonesia
47 
 

Membangun Amal
Organisasi kerelawanan harus membangun amal agar orang bersedia
memberikan waktunya untuk menjadi relawan. Dengan konsisten
mengkomunikasikannya kepada dunia, maka akan diperoleh pengakuan dan
dukungan masyarakat atas program-program organisasi. Caranya, dengan
mengirimkan press release secara teratur ke media. Melakukan presentasi kepada
kelompok-kelompok komunitas. Membuat iklan. Membuat acara-acara untuk
mengumpulkan sumbangan. Mendapatkan bantuan pemerintah untuk
melaksanakan program-program. Menarik sponsor dari perusahaan-perusahaan.
Dewan pengurus organisasi memahami pentingnya mendapatkan dukungan
masyarakat dan menyediakan dana yang cukup untuk aktivitas pemasaran.
Newsletter dikirimkan melalui mailing list anggota organisasi secara rutin,
menyebutkan tentang hal-hal hebat yang dilakukan para relawan.
Mempersiapkan Organisasi
Sebelum kerelawanan organisasi dapat “dijual” kepada dunia, organisasi
tersebut harus dapat “dijual” kepada internalnya. Apakah dewan pengurus, staf,
dan relawan yang ada sudah mengetahui pentingnya mempekerjakan relawan
dalam organisasi? Apakah staf dan relawan yang ada mau membuat para relawan
baru merasa disambut dan dihargai? Apakah ada alokasi dana untuk membantu
perekrutan relawan? Apakah dewan pengurus secara aktif merekrut para relawan?
Semua orang dalam organisasi harus merasa dihargai. Jika relawan yang ada
merasa dihargai dan diberikan tugas yang bermakna, mereka akan lebih menerima
relawan baru. Jika relawan diperlakukan dengan hormat dan ramah, mereka akan
cenderung memperlakukan relawan baru secara sama.
Menentukan Kebutuhan akan Relawan
Bidang-bidang yang membutuhkan para relawan harus dikenali. Program-
program yang dipersiapkan juga harus diketahui kebutuhan tugasnya untuk
relawan yang spesifik dan sesuai. Para relawan tidak suka waktu mereka
dihabiskan oleh seorang koordinator yang tidak dapat mengorganisasi. Mereka
tidak suka diberikan tugas yang tidak signifikan, tidak memenuhi harapan mereka,
dan tidak memberikan kebebasan mereka untuk membuat perbedaan. Para

Universitas Indonesia
48 
 

relawan suka diberikan tugas yang memenuhi kebutuhan mereka dan menjadikan
mereka merasa berguna dan dihargai.
Gambaran Tugas (Job Description) Relawan
Gambaran tugas relawan yang jelas akan membantu organisasi kerelawanan
untuk berfokus pada kebutuhannya akan relawan, baik dari segi kebutuhan SDM
maupun kebutuhan pemasaran untuk perekrutan relawan. Gambaran tugas
membantu para calon relawan mengetahui pengalaman yang dibutuhkan ataupun
pengalaman yang akan didapatkannya kelak. Harapan yang realistis dari
gambaran tugas akan membantu mengurangi jumlah para relawan yang keluar
karena tidak puas dengan organisasi.
Berikut ini adalah komponen-komponen dalam gambaran tugas menurut
The Texas Commission on Volunteerism and Community Service.49
Nama posisi. Memberikan identitas dan merefleksikan fungsi dari posisi.
Lokasi tugas. Tempat dilaksanakannya tugas kerelawanan.
Dampak relawan. Bagaimana tugas relawan berhubungan terhadap misi &
operasi organisasi.
Tanggung jawab dan tugas. Daftar tugas yang harus dikerjakan dan kinerja yang
diharapkan.
Kualifikasi. Mencakup pendidikan, kepribadian, keahlian, dan pengalaman yang
dibutuhkan.
Komitmen. Berapa lama tugas kerelawanan ini (minggu, bulan, tahun)? Berapa
jam dalam sehari? Kapan mulainya dan kapan selesainya?
Pelatihan. Pengetahuan, keahlian dan ketrampilan yang diperlukan bagi para
relawan baru.
Tanggal. Kapan gambaran tugas ini ditulis dan terakhir diperbarui.
Penyelia Relawan. Orang yang akan memberikan informasi tentang tugas
kerelawanan dan juga menerima laporan dari relawan di bawah koordinasinya.

4. Bagaimana Mencari Relawan yang Baik


Berikut ini cara-cara dalam merekrut relawan yang baik.50

                                                            
49
Wymer, Walter et al. 2006
50
Ibid, 2006.
Universitas Indonesia
49 
 

1. Melakukan sesuatu untuk tetangga di sekitar lokasi kantor organisasi:


berjalan-jalan di sekitarnya, menulis dan memberikan pesan-pesan
perekrutan, melakukan open house minimal setahun sekali, mengundang
para tetangga dalam event khusus untuk mereka.
2. Memberikan pembelajaran pelayanan (service learning) bagi para pelajar
dan mahasiswa, yaitu suatu program pendidikan yang memberikan
pengalaman sebagai relawan komunitas.
3. Mengajak orang-orang yang berada dalam lingkaran sosial para staf dan
relawan yang sekarang ada di organisasi.
4. Mengajak orang-orang yang telah berada dalam suatu komunitas tertentu
yang memiliki kesamaan dengan misi dari organisasi kerelawanan.
5. Melakukan kemitraan dengan perusahaan-perusahaan dalam program
corporate volunteering yang membolehkan karyawan cuti dari pekerjaan
untuk menjadi relawan.

5. Pendekatan Pemasaran
Ada dua metode untuk mengajak seseorang untuk menjadi relawan
organisasi, yaitu pendekatan personal dan nonpersonal.
• Perekrutan secara personal melibatkan interaksi langsung antara dua orang,
atau sebuah dialog antara orang yang merekrut dan calon relawan yang akan
direkrut. Perekrutan secara nonpersonal tidak menggunakan interaksi
langsung, melainkan komunikasi dari satu ke banyak orang (one-to-many).
Perekrutan dengan cara personal lebih efektif karena orang lebih sulit
menolak permintaan seseorang yang sudah dikenal untuk melakukan hal
baik daripada perekrutan dengan cara nonpersonal melalui telepon atau
email. Dengan pendekatan personal, orang yang direkrut dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sehingga berkurang keraguan mereka.
• Namun perekrutan dengan cara nonpersonal juga dapat digunakan untuk
menjaring orang-orang di luar para staf dan relawan yang ada dan akan
memperluas keragaman dalam organisasi kerelawanan.

Universitas Indonesia
50 
 

b. Kemampuan Kerelawanan (Volunteerability)


1. Kemampuan kerelawanan (volunteerability) atau disebut saja
volunteerability mencakup kemauan, kapabilitas, dan kesediaan
seseorang untuk menjadi relawan. Volunteerability adalah tentang
bagaimana mengatasi rintangan yang mencegah orang menjadi
relawan dan memahami bahwa orang mungkin akan semakin banyak
melakukan tugas kerelawanan karena peningkatan kemauan,
kapabilitas, dan kesediaannya sebagai relawan.
Meijs et al. (2006a, 2006b) menyatakan bahwa volunteerability dapat
ditingkatkan dengan cara pelatihan bagi para relawan agar dapat melaksanakan
tugasnya ataupun dengan cara perubahan tugas relawan yang sesuai dengan
ketrampilan dan keahlian relawan.
Dengan volunteerability yang semakin meningkat, maka rintangan yang
mencegah seseorang untuk menjadi relawan akan dapat diatasi, sehingga
peluangnya untuk menjadi relawan semakin besar. Ini menandakan bahwa
peningkatan volunteerability menunjukkan hasil perubahan perilaku calon relawan
yang diharapkan oleh organisasi melalui berbagai program peningkatan
recruitability.

1. Hasil Perubahan Perilaku


Dalam konteks pemasaran sosial untuk perekrutan relawan, perlu dipahami
persepsi keuntungan dan biaya pada calon relawan sehingga dapat meningkatkan
motivasi mereka untuk bergabung dan meningkatkan kemampuan mereka sebagai
relawan volunteerability. Ini adalah suatu hasil perubahan perilaku seorang
relawan, suatu bentuk keberhasilan pemasaran sosial untuk kerelawanan.
Jika merujuk pada model AOM pada persamaan 2.1 di atas
Model Ability, Opportunity, and Motivation (AOM)
X = α + b1A + b2O + b3M (2.1)
Maka dapat diketahui bahwa semakin meningkatnya kemampuan (ability),
kesempatan (opportunity) dan motivasi (motivation) para relawan, maka semakin
meningkat pula volunteerability mereka. Merujuk kembali kepada komponen-
komponen dalam kemampuan merekrut (recruiability), maka kesempatan

Universitas Indonesia
51 
 

(opportunity) diberikan melalui kemudahan akses, sedangkan kemampuan


merekut (recruitability) diberikan melalui peningkatan sumber-sumber daya,
seperti sumber daya keuangan dan manusia. Keduanya, kemudahan akses dan
sumber daya di atas membutuhkan jaringan dan kerja sama dengan berbagai pihak
terkait.
Selain itu, perlu juga dipahami pula tentang kemampuan (A = Ability) dan
kesempatan (O = Opportunity) yang harus diberikan agar terjadi perubahan
perilaku yang diharapkan dari calon relawan. Perubahan perilaku yang dimaksud
contohnya mengganti kegiatan di waktu luangnya dengan kegiatan kerelawanan.
Sedangkan rumusan tentang motivasi untuk berubah adalah
Motivasi untuk berubah
M = B/C(perilaku baru) – B/C(perilaku sekarang) (2.2)
maka dapat dibuat suatu strategi perubahan perilaku sebagai berikut.
1. Meningkatkan persepsi B/C(perilaku baru) dengan cara:
• meningkatkan persepsi keuntungan dari perilaku baru
• menurunkan persepsi biaya dari perilaku baru
2. Menurunkan persepsi B/C(perilaku sekarang) dengan cara:
• menurunkan persepsi keuntungan dari perilaku sekarang
• meningkatkan persepsi biaya dari perilaku sekarang

2. Model Determinan Kerelawanan


Pengaruh pribadi dan antarpribadi menentukan pilihan kerelawanan
dalam bidang yang spesifik seperti pengembangan pemuda, seni budaya, agama,
atau kesehatan. Sikap menentukan pilihan kerelawanan kepada organisasi
kerelawanan, masyarakat yang dilayani organisasi tersebut, dan misi organisasi.
Faktor situasi mengurangi minat seorang relawan jika ia tidak punya waktu
untuk tugas kerelawanan, tempatnya terlalu jauh, atau jika keselamatan pribadinya
berisiko. Semua hal tersebut mempengaruhi niat seseorang untuk menjadi relawan
(Wymer, 1996). Menurut Ellis (1994), kekurangan waktu menjadi alasan nomor
satu seseorang untuk tidak bersedia menjadi relawan.51

                                                            
51
Wymer, Walter et al. 2006.
Universitas Indonesia
52 
 

Gambar 2.13 Model Determinan Kerelawanan


Sumber: Wymer, Walter et al., 2006 (telah diolah kembali)

3. Penataan Kerelawanan
Dalam upaya untuk meningkatkan volunteerability, maka berikut ini hal-hal
yang harus diperhatikan oleh para manajer organisasi kerelawanan.52
Profesionalisme dalam penataan kerelawanan. Organisasi kerelawanan
perlu untuk mementingkan penataan para relawan agar mereka merasa bahwa
semua aktivitas kerelawanan yang dilakukan benar-benar setimpal dengan
pengorbanan waktu luang dan aktivitas rekreasi mereka.
Persepsi jumlah relawan yang ada. Mencari calon relawan yang potensial
dapat melalui lingkaran sosial dari para staf dan relawan yang ada atau lingkungan
sekitar aktivitas organisasi. Dapat juga melalui program corporate volunteering
yang diselenggarakan perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan
organisasi kerelawanan.
Mempertahankan vs Merekrut. Oleh karena lebih sulit merekrut relawan
baru daripada mempertahankannya, upaya mempertahankan relawan yang ada
lebih diprioritaskan oleh organisasi. Upaya ini dimulai dengan seleksi relawan,
kemudian pemantauan, penempatan, orientasi dan training, serta dilanjutkan
dengan pembauran sosial dalam organisasi dan penyeliaan relawan. Para relawan
harus diberi umpan balik sebagai bentuk apresiasi terhadap kinerja mereka dan
mencatat cara kerja mereka telah memberi perbedaan yang lebih baik bagi
                                                            
52
Ibid. 2006.
Universitas Indonesia
53 
 

organisasi. Selain tentang kinerja dan perekrutan, harus diukur pula kepuasan para
relawan dan tingkat pergantian (turn over) mereka dalam organisasi.

4. Pemasaran Internal
Dalam pembahasan tentang relawan tipe D yang lalu, dimana kualitas
kerelawanannya kurang namun dengan biaya yang tinggi, strategi pemasaran
internal dibutuhkan untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Bennett (2005)
mengemukakan bahwa pemasaran internal digunakan dalam organisasi
kerelawanan untuk meningkatkan volunteerability dengan cara meningkatkan
komitmen dan kepuasan para relawan dalam organisasi agar tetap bertahan di
dalamnya.
Pemasaran internal adalah praktik manajerial yang bertujuan untuk
menginformasikan, mendidik, mengembangkan dan memotivasi para relawan
untuk dapat bertugas secara lebih efektif. Pemasaran internal mencakup
komunikasi internal dengan penyebaran informasi tentang pentingnya tugas
kerelawanan yang dijalani mereka. Jika kembali tentang klasifikasi relawan
jangka panjang di atas, maka volunteerability diukur dengan semakin lamanya
partisipasi dan meningkatnya kapasitas seorang relawan dalam suatu isu atau
program.53 Mereka dapat dapat diberikan pengakuan dan penghargaan dari
organisasi, misalnya dijadikan sebagai koordinator program atau sebagai
pembicara dalam seminar-seminar yang membahas isu atau program kerelawanan
yang digelutinya.

                                                            
53
Haski-Leventhal dan Meijs, 2010
Universitas Indonesia
 

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian


Penelitian tentang aktivitas pemasaran sosial yang mempengaruhi
perekrutan relawan peserta dari RMI ini akan diinterpretasikan secara mendalam
dan menyeluruh, berdasarkan pengelompokan tertentu, klasifikasi yang tidak
menurut urutan angka. Oleh karena itu, pendekatan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Menurut Alston dan Bowles (2003), pendekatan kualitatif menggunakan
cara berpikir induktif, artinya bahwa pendekatan ini berasal dari pengamatan atau
interaksi terhadap gejala atau fenomena yang khusus kepada yang umum. Artinya
konteks ini adalah pengamatan terhadap fenomena pendekatan pemasaran sosial
yang diimplementasikan oleh RMI
Pendekatan ini pun dipilih karena penelitian ini akan menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Moleong, 2010). Jadi penelitian ini berusaha memahami atau menafsirkan makna
suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam suatu situasi tertentu
menurut perspektif penulis sendiri (Usman dan Akbar, 2008).
Dalam kaitan dengan penelitian ini, maka pendekatan kualitatif
dimaksudkan untuk menghasilkan data kualitatif yang diperoleh langsung dari
para pelaku atau orang-orang yang terlibat dalam aktivitas pemasaran sosial yang
mempengaruhi perekrutan relawan peserta dari RMI.

3.2. Tipe Penelitian


Oleh karena penelitian ini menitikberatkan pada peningkatan kemampuan
merekrut (recruitability) dan kemampuan kerelawanan (volunteerability) pada
RMI, maka penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian berbentuk evaluatif
yang merupakan bentuk khusus dari penelitian aplikasi, biasanya dipergunakan
untuk memperbaiki program sosial seperti permasalahan tawuran pelajar,
permasalahan pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan lain-lain. Hasil dari penelitian

54 Universitas Indonesia
55 
 

evaluasi ini tidak dimasukkan untuk perbendaharaan pengetahuan atau


mengembangkan teori-teori, namun untuk memastikan apakah program
pemasaran sosial tersebut dapat diterapkan, dilanjutkan atau tidak.54 Oleh karena
itu, penelitian ini tidak berusaha mencari kebenaran, melainkan mencari
kesepakatan bagaimana strategi pemasaran sosial yang sebaiknya diterapkan agar
terjadi peningkatan kemampuan merekrut (recruitability) dan kemampuan
kerelawanan (volunteerability) pada RMI.
Penelitian aplikasi atau terapan (applied research) sendiri bertujuan untuk
memberikan pencerahan atas suatu gejala sosial yang sedang menjadi sorotan
publik. Penelitian ini biasanya terkait erat dengan manusia dan masalah
kemasyarakatan. Sasarannya yaitu untuk membantu masyarakat memiliki
pengetahuan dan pengertian tentang hakikat masalah yang sedang dihadapinya,
sehingga mereka nantinya mampu mengatasinya. Dengan bekal pemahaman ini,
maka masyarakat dapat menguasai keadaan dan lingkungannya. Para peminat
penelitian ini adalah pembuat kebijakan, para direktur, manajer, dan kaum
profesional.55
Evaluasi sumatif adalah sejenis penelitian yang tujuannya adalah untuk
melihat efektivitas suatu program. Peneliti hendak memahami bagaimana proses
dan hasil dari suatu program dijalankan, apa masalahnya dan bagaimana
solusinya. Bidang yang dievaluasi antara lain: program, kebijakan, organisasi,
personil, produk dan pelayanan. Jadi, tujuan penelitian evaluasi ini adalah
menghasilkan suatu penilaian menyeluruh tentang efektivitas suatu program,
kebijakan atau produk yang dijalankan atau dihasilkan. Evaluasi itu akan
menentukan apakah program tersebut akan tetap dilanjutkan, dikembangkan atau
malahan dihentikan. Evaluasi sumatif ini biasanya dilakukan pada akhir suatu
program, kebijakan atau produksi dan dilakukan secara menyeluruh.
Berbeda dengan evaluasi sumatif, maka evaluasi formatif biasanya
dilakukan secara berkala (periodically) dan hanya pada bagian-bagian tertentu
saja. Tujuannya adalah untuk meningkatkan program yang telah diterapkan tetapi

                                                            
54
Kidder dan Judd, 1991.
55
Raco, J.R., 2010.
Universitas Indonesia
56 
 

belum pada tahap keputusan akhir untuk meneruskan atau memberhentikan


program tersebut.56
Penelitian ini menggunakan penelitian evaluasi formatif karena berusaha
mengevaluasi program yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, penelitian
evaluasi ini adalah gambaran dengan jangka waktu yang pendek dari dasar
penelitian. Masalah mungkin tidak terpecahkan secara cepat tetapi paling tidak,
dapat diputuskan program mana yang dapat mengatasi masalah tersebut
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya.

3.3. Lokasi dan Jangka Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Maret 2012 s.d. bulan Juli
2012. Adapun jadwal waktu kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Jadwal Tahapan Kegiatan Penelitian


No. Tahap/Kegiatan Penelitian Waktu
1. Tahap Pra Lapangan
a. Penyusunan proposal penelitian Mei 2012
b. Mengurus perizinan Mei 2012
Mempersiapkan alat & perlengkapan
c. penelitian Juni 2012
2. Tahap Lapangan
a. Pengumpulan data 11 Juni – 1 Juli 2012
b. Pengolahan & analisis data Juli 2012
3. Tahap penyusunan laporan penelitian Juli 2012
4. Presentasi dalam sidang tesis Juli 2012

Lokasi penelitian direncanakan akan dilaksanakan di tiga Panti Asuhan (PA)


serta satu Komunitas Anak Jalanan (Anjal) yang telah menjadi rekanan RMI
Jakarta. Keempat tempat tersebut ialah: PA Esa Sasana Surya (Duren Sawit), PA
Ulul Ilmi (Cibubur), Yayasan Remaja Masa Depan/PA Tebet (Tebet), serta
Komunitas Anak Jalanan di sebelah Mall Taman Anggrek.
Pemilihan RMI Jakarta sebagai tempat penelitian adalah karena Jakarta
merupakan ibukota negara Indonesia yang memiliki berbagai kemudahan akses
informasi, dengan komposisi anak muda berusia 15 s.d. 29 tahun di Jakarta adalah
                                                            
56
Ibid, Hal 16.
Universitas Indonesia
57 
 

termasuk besar, yaitu 26,19% dari total populasi penduduk.57 Selain itu, riset yang
dilakukan oleh MarkPlus Insight, sebuah insitusi riset pemasaran terkemuka di
Indonesia, tentang aspirasi dan perilaku anak muda pada awal tahun 2010 di 6
kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, menyebutkan bahwa internet sudah
58
menjadi preferensi utama dan hiburan selain TV. Hal ini tentunya sejalan
dengan media kampanye RMI melalui lamannya,
www.relawanmudaindonesia.com dan jejaring sosial seperti Facebook, Twitter
dan YouTube. Terbukti, relawan yang mendaftar RMI Jakarta lebih banyak
melalui internet.

3.4. Teknik Pemilihan Informan


Dalam penelitian kualitatif, teknik penarikan sampling yang digunakan
adalah nonprobability sampling, artinya dalam penarikan sampling populasi tidak
mendapatkan kesempatan atau peluang yang sama untuk dijadikan sampel.
Penentuan sampel lebih didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan peneliti.
Hal ini disebutkan oleh Alston dan Bowles (2003) yang menyatakan bahwa
“It does not make claims to be representative of population under study and
therefore the generalisability of result is limited” (dalam penelitian tidak perlu
memuat populasi yang representatif dan generalisasi hasil dibatasi). Adapun
pengambilan sampel teoritis dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 3.2 Pengambilan Sampel Teoritis Mengenai Informasi


yang Ingin Diperoleh dan Sumber Informasi

No. Informasi yang Ingin Diperoleh Sumber Informasi


1 Hal-hal yang berkaitan dengan Relawan Muda Koordinator Pusat,
penerapan pemasaran sosial RMI, Indonesia Jakarta Koordinator
yaitu Wilayah, Relawan
• pra pelaksanaan pemasaran sosial fasilitator
RMI, meliputi tujuan dan strategi,
produk sosial, sasaran dan
pemasar.
• penerapan pendekatan pemasaran
                                                            
57
www.kependudukancapil.go.id, Database Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi
DKI Jakarta, Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur Bulan November 2011, terakhir
diperbaharui pada hari Senin, 12 Maret 2012
58
Hasanuddin et al. 2011.
Universitas Indonesia
58 
 

sosial yang dilaksanakan melalui


kampanye perekrutan relawan dan
pemeliharaan relawan (dengan
dijadikan sebagai fasilitator RMI).
• hambatan yang muncul dalam
pelaksanaan kampanye, baik yang
berasal dari dalam maupun dari
luar RMI.
2 Informasi yang berkaitan dengan: Tempat Relawan peserta,
• letak dan kedudukan tiga Panti pelaksanaan Pengurus PA /
Asuhan & satu Komunitas Anak kegiatan RMI komunitas anjal,
Jalanan tempat program RMI Jakarta Anak-anak PA dan
Jakarta. Anjal
• latar belakang atau alasan
melaksanakan program RMI
Jakarta di tiga Panti Asuhan serta
satu Komunitas Anak Jalanan.
• tanggapan tentang pelaksanaan
program RMI Jakarta oleh para
relawan peserta.
• manfaat/hasil yang diperoleh dari
pelaksanaan program RMI
Jakarta.
• hambatan-hambatan yang
dihadapi dalam pelaksanaan
program RMI Jakarta tersebut.

Dengan demikian, informan dalam penelitian ini terdiri dari:


1. Segmen pertama, informan dari unsur pelaku kampanye pemasaran sosial di
Relawan Muda Indonesia (RMI) Jakarta yang terdiri dari Koordinator Pusat,
Koordinator Wilayah, dan Relawan Fasilitator.
2. Segmen kedua, informan yang berasal dari lokasi tiga Panti Asuhan serta
satu Komunitas Anak Jalanan yang menjadi tempat program RMI Jakarta,
yaitu: PA Esa Sasana Surya (Duren Sawit), PA Ulul Ilmi (Cibubur), PA
Remaja Masa Depan (Tebet) dan Komunitas Anak Jalanan di sebelah Mall
Taman Anggrek. Informan ini berupa relawan peserta, relawan fasilitator,
pengurus panti asuhan dan anak-anak panti asuhan.
Selanjutnya disebutkan juga oleh Alston dan Bowles bahwa ada empat tipe
utama dalam nonprobability sampling, yaitu: (1) accidental sampling; (2) quota
sampling; (3) purposive sampling dan (4) snow ball sampling. Dari keempatnya,
maka teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Universitas Indonesia
59 
 

purposive sampling yang memberikan keleluasaan kepada peneliti dalam


menyeleksi sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Dengan demikian teknik pemilihan informan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik penarikan sampel secara tak acak atau nonprobability
sampling dan dengan tujuan tertentu sesuai dengan kepentingan penelitian ini
(purposive).

3.5. Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan alat pengumpul data itu
sendiri sehingga peneliti harus terjun sendiri ke lapangan. Untuk itu, peneliti
memilih teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
1. Wawancara mendalam (in depth interview) terhadap informan sebagaimana
tertulis di atas.
2. Studi dokumentasi Relawan Muda Indonesia (RMI), berupa profil
organisasi, laporan-laporan kegiatan, film kampanye kegiatan, laman
www.relawanmudaindonesia.com, akun Twitter @relawan_muda serta
dokumen-dokumen lain yang relevan.
3. Observasi tidak berstruktur dengan melakukan pengamatan terhadap
kegiatan-kegiatan Relawan Muda Indonesia (RMI) Jakarta.

3.6. Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan melalui
tiga tahap, yaitu reduksi data, display data, dan pengambilan keputusan atau
verifikasi. 59
Demikian juga seperti yang dikemukakan oleh Alston dan Bowles (2003)
yang mengutip Sarantakos (1993) bahwa ada tiga tahap utama dalam analisis data
kualitatif, yaitu reduksi data, organisasi data, dan interpretasi. Dengan demikian,
maka dalam penelitian ini teknik analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
a. Reduksi data, yaitu memilih hal-hal pokok yang berkaitan dengan fokus
penelitian dari data lapangan yang jumlahnya tak terbatas untuk semakin
mempertajam gambaran data.

                                                            
59
Usman dan Akbar (2008)
Universitas Indonesia
60 
 

b. Organisasi data, yaitu menyajikan data dalam bentuk matriks, bagan atau
grafik kemudian dianalisis.
c. Pengambilan keputusan dan verifikasi, yaitu pencarian suatu hubungan,
persamaan atau kesimpulan yang muncul bersama dengan semakin
banyaknya dukungan data yang diperoleh, termasuk di dalamnya adalah
mengidentifikasi pola-pola, kecenderungan dan penjelasan lain yang
menghasilkan kesimpulan.

3.7. Keabsahan Penelitian


Dari Alston dan Bowles (2003) dapat diketahui bahwa mungkin cara yang
terpenting bahwa para peneliti kualitatif memastikan temuan mereka adalah valid
adalah cara yang disebut ‘triangulasi’ (Belcher,1994; Davis, 1994; Berg, 1995;
Sarantakos, 1998). Triangulasi adalah penggunaan beragam metode dan juga
terkadang peneliti, teori, teknik pengumpulan data atau kombinasi dari semuanya
(Davis 1994, Berg 1995). Triangulasi melibatkan penggunaan lebih dari satu
metode untuk meningkatkan validitas hasil dan untuk mensintesa hasil dari
beberapa sumber. Patton (2002 dalam Katsirikou dan Skiadas, 2010) ) memberi
petunjuk bagaimana memengidentifikasi empat jenis triangulasi:
1. Methods triangulation: memeriksa konsistensi temuan yang dihasilkan oleh
metode-metode kumpulan data yang berbeda.
2. Triangulation of sources: memeriksa konsistensi dari sumber-sumber data
yang berbeda dalam metode yang sama
3. Analyst triangulation: menggunakan berbagai analisis untuk meninjau
temuan.
4. Theory/perspective triangulation: menggunakan berbagai perspektif atau
teori yang menerjemahkan data.
Dalam hal ini, penulis mempergunakan Triangulation of sources untuk
memeriksa silang data-data yang diperoleh dari wawancara, studi dokumentasi,
dan observasi. Penulis juga memeriksa apakah apa yang dikatakan para informan
itu konsisten sepanjang waktu dan adanya perbedaan perspektif setiap informan
terhadap hal yang sama. 

Universitas Indonesia
61 
 

3.8. Keterbatasan Penelitian


Dalam penelitian ini, penulis mengalami keterbatasan dalam melakukan
pengumpulan data, di antaranya:
1. Keterbatasan waktu.
Waktu untuk melakukan pengumpulan data sangat singkat, hanya dalam
waktu 3 pekan, yaitu dari tanggal 11 Juni s.d. 1 Juli 2012. Hal ini disebabkan
adanya penyusunan ulang konsep tesis dan sulitnya mencari literatur tentang
kerelawanan yang cukup menyita waktu.
2. Keterbatasan observasi di tempat mengajar relawan
Pada saat 3 pekan pengumpulan data ini, program mengajar di panti asuhan
sudah jarang dilakukan karena ada dua alasan: (1) program mengajar di panti
asuhan selama 14 hari telah lewat, meskipun belum ditutup resmi, para relawan
peserta sibuk mempersiapkan acara puncak RMI berjudul CARENAVAL pada
tanggal 1 Juli 2012, (2) seringkali program mengajar di panti asuhan dibatalkan
karena adanya acara internal panti asuhan yang diinformasikan mendadak. Dua
kali rencana relawan mengajar dibatalkan, yaitu di panti asuhan Ulul Ilmi Cibubur
dan Komunitas Anak Jalan Grogol pada tanggal 10 dan 17 Juni 2012. Terakhir,
ketika penulis berkesempatan datang ke panti asuhan Esa Sasana Surya di Duren
Sawit pada tanggal 24 Juni 2012, penulis menjumpai 5 orang relawan peserta
yang telah hadir, namun kegiatan mengajar terpaksa dibatalkan karena adanya
acara internal panti asuhan secara mendadak.
3. Keterbatasan mendapatkan dokumen yang berkaitan dengan perencanaan
organisasi
Hal ini karena pengelolaan RMI masih bersifat informal, tanpa adanya kantor
sekretariat, sehingga tidak ada arsip notulensi resmi dari rapat-rapat RMI. Jika ada
kegiatan yang direncanakan, biasanya langsung saja disebarkan melalui Twitter
atau broadcast melalui BlackBerry Messenger (BBM).
4. Keterbatasan mendapatkan informasi dari laman
www.relawanmudanindonesia.com
Hal ini karena laman tersebut sejak akhir Juni hingga 10 Juli 2012 mengalami
masalah dan tidak dapat dibuka.

Universitas Indonesia
62 
 

3.9. Kerangka Analisis


Dari data berupa hasil wawancara, studi dokumen dan observasi di
lapangan, penulis akan melakukan reduksi data, organisasi data, dan interpretasi
dengan memetakannya kepada strategi pemasaran yang dilakukan oleh RMI, yaitu
dari segi bauran pemasaran (5P: Product, Price, Place, Promotion, Policy), dan
juga recruitability (segmentasi, dan positioning) dan volunteerability (struktur
organisasi, apresiasi, reward, dan lainnya).
Dengan triangulasi, penulis akan memeriksa silang data-data tersebut, dan
juga memeriksa apakah apa yang dikatakan para informan itu konsisten sepanjang
waktu dan adakah perbedaan perspektif setiap informan terhadap hal yang sama.
Misalkan untuk konsep 14 hari menjadi relawan, penulis akan memeriksa
silang pendapat dari informan Kemenpora dan Koordinator Pusat. Penulis juga
akan memeriksa laman www.relawanmudaindonesia.com dan dokumen Profil
RMI 2012. Penulis juga akan melihat langsung pelaksanaan konsep 14 hari
menjadi relawan di lapangan ini pada saat relawan mengajar di panti asuhan serta
puncak acaranya, CARENAVAL. Dari data inilah, penulis akan melakukan
organisasai data dan interpretasinya ke dalam strategi Product dari RMI serta
kemampuan RMI dalam merekrut (recruitability). Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada tabel 3.3 berikut ini.

Universitas Indonesia
 

Tabel 3.3 Kerangka Analisis

Universitas Indonesia
63 
 

BAB IV
ANALISIS

4.1. Deskripsi Program RMI: “14 Hari Menjadi Relawan”


Seperti yang telah dijelaskan pada Bab I di atas, RMI mengajak para
pemuda untuk berbuat sesuatu demi memajukan kehidupan di sekitarnya selama
14 hari dengan waktu luang, tempat dan jenis kegiatan yang ditentukan oleh
mereka sendiri. Untuk wilayah Jakarta, Relawan Muda Indonesia (RMI) lebih
memfokuskan pada kegiatan mengajar di sejumlah Panti Asuhan (PA) dan
komunitas anak jalanan di wilayah di Jakarta.
Dalam pembahasan ini, perlu diketahui adanya dua jenis relawan yang
terlibat dalam program RMI ini, yaitu:
• Relawan peserta, yaitu peserta program “14 hari menjadi relawan”,
• Relawan fasilitator, yaitu anggota RMI yang bertugas mencari panti
asuhan untuk tempat kerelawanan, menghubungi calon peserta yang sudah
mendaftar, membentuk kelompok relawan peserta, memberikan pengarahan
tentang kerelawanan, serta mengenalkan relawan peserta kepada anak-anak
panti asuhan. Disebut relawan juga karena mereka melakukan hal ini secara
sukarela tanpa dibayar. Bedanya, relawan peserta melayani anak-anak panti
asuhan, sedangkan relawan fasilitator melayani relawan peserta.
Untuk mengetahui kemampuan merekrut (recruitability) dan kemampuan
kerelawanan (volunteerability) dari RMI, penelitian ini dilakukan dengan
wawancara mendalam terhadap beberapa informan kunci, yaitu sebagai berikut.
• Dra. Hermin Narwati, M.M. – Asisten Deputi Tenaga Kepemudaan
Kemenpora RI, salah satu konseptor dari RMI,
• Oka Aditya (Oka) – salah satu pendiri, konseptor dan koordinator pusat
RMI,
• Amelia Zanetta (Netta) – salah satu koordinator RMI wilayah Jakarta,
• Arnaldi Nasrum ( Arnal) – salah satu relawan fasilitator sekaligus ketua
kelompok relawan peserta di panti asuhan Yayasan Remaja Masa Depan,
Tebet,

64 Universitas Indonesia
65 
 

• Kun Dwi Sundari (Kun) – ketua kelompok relawan pesertadi panti asuhan
Esa Sasana Surya, Duren Sawit,
• Amy, Fahmi, dan Gerry – para relawan di panti asuhan Esa Sasana Surya,
Duren Sawit.
Selain itu, dilakukan pula observasi terhadap acara CARENAVAL sebagai
puncak program RMI “14 hari menjadi relawan” dan studi dokumen berupa
profil organisasi RMI, film kampanye kegiatan di laman YouTube, serta laman
www.relawanmudaindonesia.com, akun Twitter @relawan_muda serta dokumen-
dokumen lain yang relevan.

4.1.1. Kerja Sama antara RMI dan Kemenpora


Pada awalnya, Menpora Dr. Andi Mallarangeng memiliki ide tentang
kegiatan kesukarelawanan bagi pemuda. Ternyata ide ini menemukan
perwujudannya dengan telah dilakukannya kegiatan mengajar di panti asuhan oleh
beberapa anak muda yang kelak menjadi pendiri RMI, yaitu Mahir, Oka Aditya,
dan Anom, namun dalam skala yang lebih kecil dan tanpa wadah resmi. Setelah
pertemuan dengan Kemenpora pada awal Maret 2011, pembahasan dilanjutkan
dengan diskusi tentang konsep kerelawanan yang lebih diterima anak muda.
Konsep slogan dan logo lebih dulu dibuat. “Yes, We Care!” Suatu slogan yang
spontan, lugas, dan informal, sesuai dengan bahasa yang dipakai anak muda.
Setelah itu, sesuai diskusi dengan Kemenpora, barulah ditentukan nama Relawan
Muda Indonesia. Suatu nama yang lebih formal. Antara slogan dan nama ini
saling menutupi, yaitu slogan untuk menyasar segmen anak muda yang lebih suka
informal sedangkan nama Relawan Muda Indonesia sebagai jalan masuk menuju
keformalan karena kerjasamanya dengan Kemenpora.

Universitas Indonesia
66 
 

Gambarr 4.1 Logo dan


d Slogan Relawan Muda
M Indoneesia
Sumber: www.relawanm
w mudaindonesiaa.com
Akhhirnya, dilunncurkanlah RMI pada bulan Dessember 2011. Pilot pro
oject-
nya ada di
d lima kota, yaitu koota Jakarta, Bandung, Yogyakartaa, Lampung
g dan
Makasar. Kegiatan mengajar
m di panti asuhaan yang perrnah dilakuukan sebelum
mnya
dalam skaala yang leebih kecil dan tanpa wadah ressmi, kemuudian diadaaptasi
menjadi kegiatan
k RM
MI di Jakarta. Sedan
ngkan ide Menpora ttentang keg
giatan
kesukarelaawanan pem
muda, tidakk sekedar mengajar
m d panti asuuhan, melainkan
di
secara lebbih luas diteerapkan di kota-kota
k seelain Jakartaa, seperti peenanaman pohon
p
seperti yaang dilakuukan oleh RMI Lamp mbersihan jalan oleh RMI
pung, pem
Makassar,, dan penaanaman bibbit kopi daan pembuaatan pompaa air oleh RMI
Yogyakartta.
Nam
mun ada duua konsep dari Kemen
npora yangg sulit untuuk diterapk
kan di
lapangan, yaitu:
1. Konnsep14 hari menjadi rellawan adalaah dilakukann secara inddividu.
“Kan kalaau Pak Mennteri lebih ke arah persoonil, jadi prribadi 14 harri.”
(Dra. Herrmin Narwaati, M.M.)
Pada prakktiknya, hall ini dilakuukan secaraa berkelom
mpok. Bahkaan, pada tu
ulisan
berikutnyaa, diketahuui bahwa taarget menjaadi relawann14 hari inni adalah target
t
kelompokk relawan di panti asuhaan, bukan taarget pribaddi.
“Karena acuannya
a paak Menteri itu Amerikka, ya. Jadi ddi negara-n
negara
maju. Kaalau di sanaa itu sudah terkoordinnir rapi jugaa gitu. Mun ngkin
ketika oraang dateng secara senddiri juga bissa, gitu kann. Nah kalau
u kita
ini kan ceenderung paaguyuban. Apalagi
A anaak-anak di IIndonesia inni kan
kulturnyaa bareng-baareng itu lebih senangg. Jadi mem mang permiintaan
seperti ittu akhirnyaa coba kitaa tangani aja.
a Karenaa memang tidak
sepenuhnnya bisa, gituu.”
(Oka)
Unive
ersitas Indo
onesia
67 
 

2. Konsep bahwa setiap relawan memberikan harus menuliskan laporan


kegiatannya secara individu.
“Jadi memang harapan Pak Menteri, personil datang, melaksanakan,
balik, lapor, ini sudah melaksanakan ABCDEFG di sana gitu.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M.)
Pada praktiknya, laporan tertulis ini tidak dapat dilakukan oleh semua relawan.
“Mereka misalnya dari pihak Kemenpora minta laporan per individu.
Saya juga agak sulit untuk bisa mengarahkan mereka ketika mereka
habis pulang dari panti bikin laporan, gitu kan.”
(Oka)
Oleh karena itu, laporan dapat dibuat dalam bentuk testimoni di laman
www.relawanmudaindonesia.com, sms, celotehan di Twitter, foto, ataupun video
kegiatan.
“...waktu di website-nya kan ada laporan itu dalam bentuk testimoni,
di Twitter gitu. Bisa dalam bentuk foto, bisa dalam bentuk video
kegiatanmu, itu kan sudah laporan tidak harus dalam bentuk tertulis.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M.)
Walaupun demikian, laporan tidak dikirimkan oleh setiap relawan, melainkan
ketua kelompok dan fasilitator.
“Kalau kemarin sih, buat laporan lewat sms. Misalkan mereka abis
ngajar, di-sms-in. Tadi ngajar apa, materinya tentang apa, jumlah
pesertanya, jumlah anak-anaknya ada berapa.”
(Arnal)
“Biasanya kita nge-share foto, lagi kegiatan. Ini lagi latihan nari, di-
share. Terus di-retweet. Ini laporan. Kita per panti setiap bulan ngirim
laporan ke fasilitator kita.”
(Kun)
Selain memberikan dukungan lewat konsep, Kemenpora juga memberikan
bantuan dalam bentuk kaos bertuliskan “Yes, We Care!”. Selain sebagai identitas
relawan, kaos tersebut juga digunakan sebagai fundraising atau pengumpulan
dana.
“Itu kan kaosnya dari kita. Yang dari Kemenpora itu. Terus dijual mau
kita jual lagi…. bukan kita jual sih. Kayak jadi tiket masuk buat orang
yang pengen nyumbang. Misalnya ada orang pengen nyumbang buat
Carenaval, ya udah dapet baju.”
(Netta)
Namun dalam hal bantuan dana, pada tahun 2011 dan 2012 Kemenpora
belum dapat memberikan dananya kepada RMI. Diharapkan RMI dapat mencari
dana melalui program CSR perusahaan.

Universitas Indonesia
68 
 

“Nah, kalau maksud saya di tahun 2011 kemarin itu, merupakan pilot
project-pilot project yang saya berharap kegiatan itu, meskipun tidak
mendapatkan bantuan biaya dari Kemenpora, untuk tahun selanjutnya
mereka bisa mencari dana sendiri, apakah itu mengajukan dana ke
CSR atau gimana gitu lho.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M)
Pada tahun 2013, Kemenpora berencana untuk memberikan anggaran bagi
RMI melalui dana dekonsentrasi melalui Dinas Pemuda dan Olahraga di provinsi
yang ditujukan bagi pelaksanaan kegiatan oleh RMI di 33 provinsi. Oleh karena
itu, pada tahun 2013 RMI direncanakan akan ditempatkan di bawah Dinas
Pemuda dan Olahraga provinsi.
“Nah memang sih di tahun 2013, saya ada anggaran tapi itu untuk
dekon. Dana dekonsentrasi itu adalah anggaran di pusat yang
didaerahkan. Jadi nanti yang melaksanakan adalah dispora. Itu tidak
bisa kabupaten/kota tapi bisanya di propinsi... Kalau yang dekon itu
dalam bentuk anggaran uang untuk melaksanakan suatu kegiatan...
Ya. Dengan sendirinya dibawah dinas.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M)
Namun ada kekhawatiran jika RMI dijadikan sebagai program pemerintah.
Pada saat ini pun, RMI berupaya menghindari label Kemenpora dalam promosi
maupun kegiatannya.
“...memang itu ini terus terang kami sangat memahami kekhawatiran
itu makanya walaupun ada support tapi sebisa mungkin labelling
bahwa ini program pemerintah coba dikurangi atau memang harus kita
modif ya sehingga nampak lebih soft... Jadi, kalaupun kita memang
kemarin dapet support dari Menpora, tapi kita memang minta ijin
betul bahwa kita tidak mencantumkan ada logo Kemenpora di situ.
Apalagi foto Pak Menteri, gitu kan.”
(Oka)
Meskipun tercantum dalam laman RMI, bahwa relawan yang bergabung
dengan RMI akan mendapat benefit mengikuti kegiatan Kemenpora, hal tersebut
ternyata sengaja tidak disosialisasikan oleh RMI.
“...Karena ketika kita melakukan sosialisasi kita tidak pernah poin
yang ada di website tidak pernah kita sampaikan ya. Kalaupun mereka
tahu, ya biar baca aja, tapi itu bukan…”
(Oka)
Oleh karena itu, para relawan peserta juga tidak mengetahui hubungan kerja
sama antara RMI dan Kemenpora.

Universitas Indonesia
69 
 

“Nggak tahu. Aku malah tahu itu cuma kayak program sosialnya
mahasiswa... Nggak kepikiran ada hubungan dengan Kemenpora kita
nggak tahu.”
(Kun)

4.1.2. Keunggulan
Berdasarkan penelitian, ada beberapa keunggulan RMI yang ditawarkan
kepada para anak muda, yaitu sebagai berikut.
1. Wadah untuk beraktivitas sosial. Dengan RMI, para anak muda yang
ingin beraktivitas sosial dapat memiliki wadah yang diakui resmi.
“Kalau aku sih buat gabung kayak gini sih kan emang awalnya dari
dulu sebenernya emang pengen ngajar di panti asuhan sosial gitu.
Cuma karena kita bingung lewat mana wadahnya nggak ada harus
gimana... Tapi kalau ada wadah ini kita punya nama kan jadi enak
gitu. Kita tuh kayak resmi.”
(Kun)
2. Kegiatan pada waktu yang fleksibel, yaitu:
(a) dilakukan pada waktu luang yang benar-benar disepakati oleh sesama
relawan peserta dalam satu kelompok dan anak-anak panti asuhan;
“Kalau saya lihat sih, mereka bener-bener berkegiatan relawan di RMI
ini di waktu luangnya mereka. Bener-bener di waktu luang. Memang
pas mereka lagi luang, mereka sudah habis selesai kuliah, mereka
kumpul. Janjiannya seperti itu.”
(Oka)
“Misalnya kelompok Duren Sawit janjian. Ayo kita pertemuan
pertama, kunjungan pertama ke panti asuhan Duren Sawit. Dari
kunjungan pertama itu kenalan, anak panti sama relawan. Udah
kenalan, ya udah, terus janjian waktu.”
(Netta)
(b) tidak harus dalam waktu yang berurutan, tapi dapat dalam waktu
seminggu atau dua minggu sekali.
“...setiap sukarelawan itu melaksanakan kegiatan kesukarelawanan
selama 14 hari, tidak dalam waktu yang berurutan, tapi bisa seminggu
sekali, bisa dua minggu sekali, sesuai dengan waktu luang yang ada
pada mereka, kan gitu.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M.)
3. Kontribusi bukan berupa uang, namun dengan membagikan
kompetensi yang dimilikinya.

Universitas Indonesia
70 
 

“Biasanya kalau ke panti-panti gitu kan pasti materi ya mikirnya.


Aduh gua kan yang namanya baru mahasiswa gitu. Bingung kan kalau
ke panti nggak punya uang juga nggak enak. Tapi kalau ada wadah ini
... kita ngajar, kita tuh relawan maksudnya cuma mau ngebantu adik-
adiknya gitu. Nggak mesti dari materi sih mikirnya.”
(Kun)
Kompetensi ini dapat berupa akademis dan nonakademis, apapun itu yang
ingin dibagi oleh para relawan.
“Nah untuk melaksanakan kegiatan itu, itu sesuai dengan kompetensi
mereka masing-masing pemuda itu, gitu lho. Misalnya ooh saya
pandai di olahraga, pandai di musik, pandai di apa ya, mereka menjadi
sukarelawan di bidang itu, gitu lho.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M.)
“Yang penting… yang paling kita share cuma, kalian niat, gitu…
kalian mau, gitu. Itu sudah hal yang luar biasa, gitu. Bahkan kalaupun
mereka cuma bisa ngajarin gitar, nyanyi, itu pun boleh, gitu.”
(Oka)
4. Kerja secara kolektif.
Ada pembagian para relawan peserta menjadi beberapa kelompok. Masing-
masing kelompok bertanggung jawab terhadap satu panti asuhan atau
komunitas anak jalanan.
“Mereka per tim sih, jadi misalnya tiap hari minggu satu kelompok ini
dateng ke sana gitu rame-rame.”
(Netta)
“Praktisnya kelompok, praktisnya kelompok. Jadi misalnya kita ini
lebih bisa mencatet secara rinci, kita punya titik itu di mana aja,
kegiatannya ngapain, timnya berapa orang, lalu pengorganisasian
secara tim ada ketua kelompoknya”
(Oka)

4.1.3. Benefit
Benefit yang diperoleh oleh para relawan peserta dan relawan fasilitator
melalui program RMI ini adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan rasa kepedulian dan kesukarelaan.
“Kalau yang … terus terang orang kan macem-macem tingkat
kepribadiannya. Kalau yang paling minimal adalah mereka punya rasa
kepedulian yang akhirnya kalau saya lihat dari temen-temen ini,
mereka merasa care-nya itu lebih sangat... Mereka mau ngurusin RMI
misalnya besok kita mau adakan Carenaval itu mereka dengan

Universitas Indonesia
71 
 

sukarela jadi panitia. Itu saya pikir itu sudah… apa ya… hebatlah!
Ada perubahan sikap.”
(Oka)
2. Meningkatkan simpati kepada orang lain yang lebih menderita.
“Paling perubahan sih cenderung bisa melihat bahwa di bawah kita
ada, bukan kitalah yang paling menderita.”
(Gerry)
3. Meningkatkan komitmen dan tanggung jawab.
“Kalau jadi relawan, komitmen… lebih komitmen... Ketika dia
menyetujui untuk menjadi relawan, berarti kan dia udah sepakat untuk
punya tanggung jawab. Ya, kan? Iya, walaupun kita nggak pake
absen, kita nggak pake sistem drop out, tapi mereka tetep mau dateng,
kan? Nah, mungkin… mungkin kita harapkan sih sebenernya setelah
ini selesai, selain meningkatkan rasa kesukarelawanan, mereka jadi
lebih bisa komitmen sama apapun yang mereka kerjain.”
(Netta)
“...Komitmen. Hari ini gue harus ke sini”
(Amy)
“Kalau aku perubahannya, jadi di sini bisa mengubah kepribadian ya
jadi orang yang bertanggung jawab.”
(Kun)
4. Meningkatkan disiplin, terutama terhadap waktu. Hal ini sangat
berkaitan erat dengan tanggung jawab mereka.
Relawan fasilitator bertanggung jawab terhadap relawan peserta:
“Kalau misalkan… paling manajemen waktu soalnya kalau di Tebet
juga sebagai fasilitator kan manajemen waktu saya sendiri juga.
Misalkan kita ngatur relawan otomatis itu ngasih efek ke diri sendiri
gimana buat disiplin, kayak gitu-gitu.”
(Arnal)
Relawan peserta bertanggung jawab terhadap anak-anak panti asuhan:
“Kadang, kayak di Tebet, anak-anaknya tuh semangat banget. Kalau
kita bilang, kita nanti dateng jam 1, itu mereka jam 1 kurang 15 udah
pada pakaian. Udah pada siap. Tapi terus tiba-tiba nggak muncul, itu
mereka kecewa banget.”
(Netta)
5. Melatih jiwa kepemimpinan, terutama untuk ketua kelompok relawan.
“...dilatih jadi bener-bener sabar menangani banyak kepala beda-beda
pendapat.”
(Kun)

Universitas Indonesia
72 
 

6. Mendapatkan teman atau relasi baru, baik dari kampus-kampus lain,


komunitas-komunitas lain, maupun relawan yang sudah bekerja.
“ Dapat banyak relasi, temen baru, terus nanti kan kita juga kenalan
sama komunitas-komunitas yang lain. Banyak sih. Kita beda-beda
kampus. Unkris, STIKES, Paramadina, Unas, kadang yang udah kerja
juga.”
(Kun)
“Jadi banyak kenalan. Memperluas pergaulan gitu.”
(Amy)
7. Menghibur dan bersenang-senang.
“Saya sangat senang bisa terlibat pada kegiatan Relawan Muda
Indonesia. Karena, ternyata bukan hanya mereka yang terhibur ketika
kita datang, melainkan kita pun ikut bersenang-senang di sana.”
(Agung Solihin, Mahasiswa Universitas Paramadina, testimoni pada
Profil Relawan Muda Indonesia, 2012)

4.1.4. Biaya
Biaya atau pengorbanan yang harus dijalani oleh para relawan adalah
sebagai berikut.
1. Biaya atau pengorbanan secara kolektif
• Uang kas kelompok. Ini merupakan insiatif dari kelompok, misalnya
kelompok relawan di panti asuhan Esa Sasana Surya Duren Sawit.
Kita juga bikin uang kas. Paling buat keperluan yang misalnya…
waktu itu kita sempet bawa makanan per minggu, game sambil
mereka belajar... Minimal 5 ribu per minggu. Sekarang paling 150-an
lah.
(Kun)
Uang ini untuk membiayai hadiah agar pengajaran kepada anak-anak panti
asuhan menjadi menarik.
Kadang relawan itu juga nyumbang. Tapi misalnya di… kemarin di
panti asuhan Duren Sawit, mereka bikin lomba mengarang.
Pemenangnya dapet hadiah. Anak-anak relawan ini yang punya ide
ngasih hadiah. Mereka yang ngumpulin dananya, gitu…
(Netta)
• Waktu berkumpul. Meskipun waktu untuk datang ke panti asuhan adalah
pada waktu luang yang disepakati, namun pada praktiknya, tidak semua
relawan dapat hadir setiap minggu .

Universitas Indonesia
73 
 

“Waktu. Jadi tuh ngatur skedul yang bener-bener sama itu susah
banget. Kadang ada yang… jadi tuh setiap minggu tuh nggak
semuanya kita semua bisa hadir full team tuh nggak bisa.”
(Kun)
Untuk mengatasi semakin menurunnya jumlah relawan yang dapat hadir
setiap minggu tersebut, maka direkrutlah relawan-relawan baru.
“Pas berjalan, masing-masing ada yang sibuk kuliah. Terus misalkan
minggu ini ada yang nggak dateng. Kebetulan ada relawan yang baru
yang masuk terus digantiin posisinya. Jadi kayak fluktuatif gitu
jumlahnya.”
(Arnal)
“Jadi awal-awal baru turun ke sini ini ngajar itu cuma 15 orang.
Dibebaskan buat temen-temen lain kalau mau join nggak apa-apa. Jadi
aku nyari lagi. Sounding lagi.”
(Kun)
• Ketidaknyamanan psikologis. Ada 4 faktor, yaitu:
(1) Pengurus panti asuhan. Ada pengurus panti asuhan dan komunitas
anak jalanan yang menganggap para relawan adalah orang luar
sehingga enggan mengizinkan mereka datang mengajar.
“Ada yang pengurus panti asuhannya justru nggak mau ada
orang luar. Dia bilang,”Saya khawatir yang namanya relawan itu
dateng cuma kongkow-kongkow aja di sini”. Dan galak banget
bapak itu, jadi relawannya takut. Gitu…”
(Netta)
(2) Relawan lain dalam satu kelompok. Ketidaknyamanan psikologis
bisa datang dari relawan yang lain yang tidak ada kecocokan, tidak
ada kekompakan, tidak ada komitmen terhadap waktu yang disepakati
kelompok, serta tidak dapat dihubungi oleh anggota kelompok yang
lain.
“Mungkin cuma… kita agak nggak cocok sama timnya. Sama
orang yang ini yang ini karena dia nggak komit. Sama ini. Terus
ibaratnya nggak kompak. Saatnya udah ditentuin jadwal.
Maksudnya kita kan di sini nggak terlalu nekenin, tapi ada
kesadaranlah kalau misalnya memang ingin sekali ke sini.
Kadang cuma sekali dua kali aja gitu bener-bener nggak ada
kabar lagi. Udah dijarkomin, ditelponin dia nggak jawab.”
(Kun)
Penyebabnya adalah adanya persepsi pada para relawan peserta yang
hadir bahwa program ini bersifat tidak memaksa sehingga mereka
merasa tidak berkewajiban untuk selalu hadir.
Universitas Indonesia
74 
 

“Dan dari awalnya dijelasin kalau kita ini bergeraknya nggak


memaksa. Itulah mungkin anak-anak beranggepan ya udah ini
kan nggak memaksa, jadi nggak terlalu mengikat. Ya udah
sesuka mereka.”
(Kun)
(3) Anak-anak panti asuhan. Ada beberapa hambatan dari anak-anak
panti asuhan yang menyebabkan ketidaknyamanan secara psikologis
bagi para relawan peserta.
Pertama, sikap ketidakpedulian anak-anak panti asuhan.
“Kadang merasa kita diperluin nggak sih di sini? Kadang suka
nanya sendiri. Anak-anak seneng nggak sih kita di sini? Kadang
kita kayak dicuekin. Kita merasa diterima nggak ya? Sebenernya
kita ada manfaatnya di sini nggak ya?”
(Amy)
“Kita pernah dateng ke sini, waktu minggu udah nggak tahu
kapan, tapi dia kayak nggak pada nge-respons. Ayo dik, kita
kumpulin. Pokoknya setiap kita mulai pasti kita kumpulin di sini
untuk pembukaan. Tapi itu sama sekali nggak ada yang tergerak.
Misalnya ada yang tidur-tiduran, ada yang kegiatan masing-
masing, ada yang nonton tivi kayak gini. Belum tentu mau buat
diajak kegiatan.”
(Kun)
Kedua, sedikitnya jumlah anak-anak panti asuhan yang mengikuti
kegiatan RMI. Penyebabnya karena waktu yang digunakan untuk
kegiatan RMI adalah waktu istirahat mereka, sedangkan malam
harinya anak-anak panti asuhan itu harus belajar lagi. Selain itu,
sebagian anak ada juga yang belum pulang sekolah
“Tadinya kita dari jam 2. Biasanya setiap sabtu tuh kita rutin
jam 2 sampai jam 5 sore tapi nanti ada beberapa murid yang
belum pulang. Pulang jam 3 abis asar. Ada yang tidur siang.
Kalau tidur siangnya nggak bisa maksa untuk gabung. Karena
hari Sabtu tuh mereka emang waktunya istirahat. Kadang-
kadang Sabtu Minggu. Jadi yang makin ke sini makin sini yang
mau ikut aja gitu konsultasi... Nanti jam 9 malem mereka emang
ada waktu belajar lagi di sini.”
(Kun)
Ketiga, program 14 hari para relawan peserta tidak berjalan, terutama
program akademis.
“Kita sebenernya kan punya program. Satu tim ini punya
program. Minggu ini belajar, minggu ini... Kadang setiap hari
Sabtu kita kesini itu jadinya nggak terprogram. ...Tapi kalau
Universitas Indonesia
75 
 

dibilang, Dik hari ini belajar ya… udah cemberut semua.


Pengennya tuh yang seneng-seneng, ketawa, games.”
(Kun)
Kegiatan yang tadinya terprogram, akhirnya menjadi tidak terprogram
karena para relawan peserta terpaksa menyesuaikan diri dengan anak-
anak panti asuhan yang lebih suka program non akademis. Dari hasil
observasi langsung di lapangan, ditemukan juga bahwa kegiatan
mengajar ini dapat dibatalkan jika ada acara internal dari panti asuhan
yang bersamaan waktunya.
“Tadinya ada jobdesk-nya masing-masing. Tapi makin ke sini
udah deh nyesuain anaknya aja maunya apa. Yang penting kita
bantu mereka.”
(Kun)
Program non akademis juga lebih disukai anak-anak panti asuhan
karena mereka bosan belajar terus.
“Jadi mereka lebih suka mungkin emang hari-harinya kan
kebiasaannya tuh di sekolah, di luar, gitu-gitu aja. Pulang gini-
gini… bosen. Jadi mintanya mereka ya banyakan nonakademis.
Gambar, apa, nyanyi, gitu-gitu. Akademisnya kita ngikutin yang
konsul aja. Yang ada tugas, matematika… gitu…”
(Kun)
Selain itu juga karena jumlah relawan yang datang mengajar sedikit .
“Paling sedikit 4, 3 orang itu pernah. Jadinya nggak ngajar, main
kali. Mereka mikir gini, kak cuma sedikit ah. Males. Dah yang
lain aja.”
(Kun)
Namun penyebab utamanya adalah karena relawan peserta tidak
dibekali pelatihan mengajar sebelumnya .
“Kita belum ada basic-nya... Jadi awalnya buat kita-kita ini
ngajar nggak ada training sama sekali.”
(Kun)
(4) Fasilitator. Peran relawan fasilitator selesai begitu mereka
memperkenalkan relawan peserta kepada anak-anak panti asuhan.
Setelah itu, relawan peserta dilepas.
“Soalnya kan kalau misalkan ada relawan yang baru kan tugas
fasilitator kan dia nemenin dulu relawan barunya. Kenalin ke
adik-adiknya terus abis itu pertemuan kedua mereka ya udah,
relawannya udah dilepas.”
(Arnal)
Universitas Indonesia
76 
 

Tapi ada pula relawan fasilitator yang ikut menjalani peran sebagai
relawan peserta, yaitu mengajar di panti asuhan.
“Kebetulan saya tertarik mengajar. Saya mengajar bahasa
Perancis di panti asuhan Tebet. Jadi merangkap statusnya,
sebagai fasilitator ya sebagai relawan ya.”
(Arnal)
Bagi kelompok peserta yang dilepas begitu saja oleh fasilitator,
ketidaknyamanan psikologis dari anak-anak panti asuhan di atas
menyebabkan mereka kebingungan.
“Kalau kita dilepas, duh kita ngapain nih anak-anaknya aja
kayak gini apa yang harus kita lakuin dari fasilitatornya nggak
kayak turun langsung. Aturan masih bantu kita, tapi dia
langsung lepas. Jadi kita jadi bingung.”
(Amy)
“Dilatihnya pas hari H doang waktu briefing di TIM pertama
kali. Dateng ke panti ini ketemu minggu ini, abis itu besok-
besoknya dilepas. Aduh ngapain biar anak-anaknya? Kompromi
sama tim sendiri.”
(Kun)
Hal ini karena fasilitator menganggap bahwa relawan peserta lebih
suka dilepas, diberi kebebasan dalam melaksanakan program mereka .
“Karena kita lihat sih, mereka justru seneng digituin. Kalau
misalnya didikte jadi nggak bebas, kan? Kalau kita kasih
kebebasan, mereka jadi kayak punya rasa memiliki. Nah itu
yang bikin mereka stay, beberapa dari mereka.”
(Netta)

Secara singkat, biaya atau pengorbanan kolektif yang harus dijalani oleh
para relawan di atas dapat digambarkan sebagai berikut.

Universitas Indonesia
77 
 

Gambar 4.2 Biaya atau Pengorbanan Relawan secara Kolektif

2. Biaya atau pengorbanan secara pribadi


• Waktu luang. Dengan kehadiran mereka mengajar di panti asuhan, para
relawan peserta harus mengorbankan waktu luang mereka untuk keluarga,
tugas kampus, dan lainnya. Menurunnya jumlah relawan yang datang juga
disebabkan mereka tidak sanggup untuk mengorbankan waktu luangnya.
“Kalau aku kadang memang punya kepentingan, keperluan. Tapi
kalau jawabnya udah punya komit, terus merasa bertanggung jawab,
pengennya ya dateng ke sini. Kadang-kadang keluarga juga, kadang-
kadang tugas kampus juga.”
(Kun)

Universitas Indonesia
78 
 

“Aku sih terpaksa untuk membatalkan acara yang lain. Terutama


keluarga ya, kadang ada dadakan, cuma ditekankan karena tiap Sabtu
ya kita ke sini.”
(Gerry)
• Perjalanan yang jauh. Meskipun tempat panti asuhan dicarikan yang
terdekat dengan tempat tinggal, ternyata masih ada relawan peserta yang
rumahnya jauh dari panti asuhan, juga harus melalui lalu lintas yang macet.
Dengan pengorbanan seperti ini, relawan cenderung untuk tidak datang
mengajar.
“Kadang kendalanya juga karena aku nggak ada yang nganter karena
jauh ya. Kadang suka nggak dateng.”
(Amy)
Lokasi yang jauh pula yang menyebabkan orang menjadi enggan untuk
bergabung menjadi relawan. Namun sebenarnya hal ini dapat diatasi jika
ada orang lain yang mengalami perjalanan bersama-sama mereka.
“Mereka masih kayak gitu. Tertarik cuma… tapi jauh aahh. Gitu. Ah
jauh banget tapi itu dimana? Sebenernya mereka mau. Ada yang di
Depok pengen. Tapi kan dia dari Depok. Jauh banget, ama siapa?
Kayak kayak gitu.”
(Amy)
• Kesempatan kerja. Dengan terpakainya waktu mereka untuk datang ke
panti asuhan, para relawan peserta ini dapat kehilangan kesempatan kerja.
“Tapi emang kadang, kan aku backup jadi SPG event terus ada yang
nawarin terpaksa aku tolak karena nggak bisa kalau tiap Sabtu aku ke
panti.”
(Amy)
• Uang. Baik relawan peserta maupun relawan fasilitator, keduanya harus
mengorbankan uang untuk transportasi dan uang kas kelompok. Namun
untuk komunikasi, biaya menjadi dapat ditekan dengan BlackBerry
Messenger (BBM).
“Kalau misalkan pengorbanan mungkin iya pulsa, waktu. Soalnya
kan kalau misalkan ada relawan yang baru kan tugas fasilitator kan dia
nemenin dulu relawan barunya.”
(Arnal)
“Biasa sih. Kita BBM-an jadi jarang pulsa keluar ya. Kalau untuk
transport dan kas, untuk kas kan nggak harus tiap minggu. Kalau
nggak bisa untuk minggu ini, ya buat minggu depan dobel gitu nggak
masalah. Kalau transportasi ya tanggung jawab pribadi.”
(Kun)
Universitas Indonesia
79 
 

• Kelelahan fisik. Meski ada kelelahan fisik, namun karena mereka


mendapatkan pengalaman yang menyenangkan, terutama karena mereka
banyak berinteraksi dengan anak-anak kecil, maka kelelahan itu menjadi
suatu hal yang tetap menyenangkan bagi relawan peserta .
“Sekalipun menghabiskan waktu luang bersama adik-adik panti
asuhan itu cukup melelahkan, saya enjoy menjalaninya”
(Arisa Bachrumsyah, Staff Magang TV One, dalam Profil Relawan
Muda Indonesia, 2012)
Secara singkat, biaya atau pengorbanan pribadi yang harus dijalani oleh para
relawan di atas dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4.3 Biaya atau Pengorbanan Relawan secara Pribadi

4.1.5. Jangka Waktu Kerelawanan 14 Hari


Menurut jangka waktu partisipasinya, para relawan dalam RMI dapat
dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu
1. Relawan peserta
Dikategorikan sebagai Relawan Jangka Pendek karena bergabung dengan RMI
hanya dalam jangka waktu tertentu, yaitu 14 hari tugas kerelawanan.
2. Koordinator dan Fasilitator
Dikategorikan sebagai Relawan Jangka Panjang karena memiliki kepedulian dan
komitmen, dan dedikasi tinggi terhadap RMI dalam waktu yang panjang.
Pembahasan kali ini akan lebih banyak membahas relawan peserta daripada
koordinator dan fasilitator karena penelitian ini untuk mengetahui kemampuan

Universitas Indonesia
80 
 

merekrut (recruitabiility) dan kemampuan


k n kerelawannan (volunnteerability)) dari
program 14
1 hari menjjadi relawann.
Janggka waktu 14 hari inii ternyata tidak
t secaraa konsistenn diterapkan
n dan
dikomunikkasikan olehh RMI, yaittu sebagai berikut.
b
• Proffil organisaasi RMI meenyebutkan: “...menjaddi relawan sosial selaama 1
mingggu…”

Gambar 4.4 Jangka


J Wakktu 1 Mingg
gu yang Dikkomunikasikkan RMI
Sumber: Profil Relawan Muda
M Indonesiia 2012

• mosi melallui laman www.relaw


Prom wanmudainddonesia.com
m menyebu
utkan:
“...selama 14 hari
h uang, tempaat dan jenis kegiatan yang
dengann waktu lu
ditenntukan olehh kamu senddiri.”

Ketiidakkonsisteenan ini disebabkan pada


p awalnyya, RMI teelah menenttukan
untuk mem
mberikan peengalaman kerelawanan
k n adalah cuukup 7 hari.
“Dann kita lihatt totalnya saatu minggu
u itu hal yaang cukuplaah gitu kan.. Kita
penggennya ringan aja. KitaK pengen
nnya memantik kesaddaran kemu udian
memmberikan tuggas yang rinngan ke anaak-anak mudda gitu.”
(Okaa)
Unive
ersitas Indo
onesia
81 
 

Namun setelah berdiskusi dengan Menpora, dianggap 7 hari itu terlalu


sedikit sehingga harus ditambah menjadi 14 hari.
“Bisa jadi 14 karena permintaan dari Menteri ya... Katanya 7 terlalu sedikit
karena acuannya Menteri itu di negara-negara maju, memang kalau di
negara-negara maju volunteer ini sudah hal yang lumrah ya. Hal yang sudah
sangat populer bahkan manajemennya juga sudah rapi. Paling kalau untuk
konteks Indonesia kita pada taraf yang baru pada… taraf sosialisasi,
penyadaran, gitu.”
(Oka)
Namun, karena ada anggapan bahwa 14 hari tersebut sulit untuk
dipromosikan, berbeda dengan 7 hari, maka RMI tetap mempromosikan 7 hari
menjadi relawan tersebut.
“14 kan nggak terlalu enak. Bukan angka yang menarik. Itu sudah kita
bahas, gitu. Jadi kan, kita butuh sesuatu yang lugas, sesuatu yang enak, dan
enak dicerna. Tujuh! Dan tujuh itu seminggu.”
(Oka)

a. Tujuan dari Waktu Kerelawanan 14 Hari


Ditentukannya jumlah hari tugas kerelawanan selama 14 hari itu agar para
relawan memiliki perencanaan dalam menjalankan tugas kerelawanannya.
“Sebenernya kita pinginnya tu jadi bukannya hanya dateng sekali habis itu
sudah, gitu. Kita pinginnya walaupun kalian relawan tapi punya planning,
gitu. Jadi sebenernya angka itu tidak mengikat tapi supaya ada planning.
Ooh iya saya 14 hari itu mau ngapain? Kalaupun mereka mau membuat,
“Saya mau ajarin Inggris, gitu!” Setidaknya mereka punya gambaran ada 14
kali pertemuan lalu mereka bisa membuat rencana English study kan untuk
hari pertama apa, hari kedua apa… gitu..” 
(Oka)
Selain itu, diharapkan 14 hari ini akan dilalui oleh para relawan tanpa terasa
karena dilakukan dengan ringan dan menyenangkan. Bahkan jumlah hari ini akan
ditambah dengan sukarela oleh mereka.
“Angka ini juga bukan sebagai patokan. Kita bener-bener berada di level
yang minimal aja. Saya yakin kok, atas pengalaman saya ya, saya yakin kok
kalau mereka sudah terjun ke dunia seperti ini, itu hal yang ringan dan
menyenangkan, gitu. Saya yakin mereka dengan sendirinya akan tambah
dengan sukarela juga. Jadi bukan karena didorong-dorong juga, gitu.”
(Oka)

Universitas Indonesia
82 
 

b. Tanggung Jawab dan Tujuan Kelompok untuk Waktu


Kerelawanan 14 Hari
Status aktifnya kerelawanan selama 14 hari ini ternyata bukanlah menjadi
tanggung jawab pribadi relawan, melainkan tanggung jawab secara kelompok di
panti asuhan tersebut.
“... Itu kan kelompok ya. Temen-temen ini praktisnya di lapangan itu
kelompok. Kegiatan 14 kali itu mereka itu biasanya tetap jalan, tapi kan
setiap kelompok ini tidak selalu komplit ya. Kadang-kadang ada yang nggak
ikut satu…”
(Oka)
Artinya, tujuan 14 hari kerelawanan ini sudah tidak relevan lagi untuk
dijadikan tujuan secara individu bagi relawan peserta jika ternyata:
a) Ada fluktuasi kehadiran relawan peserta. Artinya ada relawan-relawan
peserta yang sebenarnya tidak selalu hadir setiap pekan, namun karena
kelompoknya telah menyelesaikan 14 hari, maka mereka ini dianggap telah
menyelesaikan 14 hari juga.
“Waktu daftar sih ada tujuh. Pas berjalan, masing-masing ada yang
sibuk kuliah. Terus misalkan minggu ini ada yang nggak dateng.
Kebetulan ada relawan yang baru yang masuk terus digantiin
posisinya. Jadi kayak fluktuatif gitu jumlahnya. Kalau sampai
sekarang sih sisanya ada dua. Soalnya yang lain itu katanya udah
kerja, terus sibuk kuliah.”
(Arnal)
b) Ada relawan peserta yang baru bergabung dengan kelompok yang sudah
berjalan. Jadi, kelompok tersebut memang dapat menyelesaikan 14 hari
kerelawanan, namun tidak demikian dengan relawan peserta yang baru ini
“Jadi awal-awal baru turun ke sini ini ngajar itu cuma 15 orang.
Dibebaskan buat temen-temen lain kalau mau join nggak apa-apa. Jadi
aku nyari lagi. Sounding lagi.”
(Kun)
Sedangkan pihak Kemenpora menegaskan tentang tujuan 14 hari ini sebagai
tujuan individu. Bahkan tidak sekedar itu, program 14 hari ini menjadi ujian bagi
siapapun benar-benar yang ingin menjadi relawan.
“Kalau menurut saya 14 hari itu ya cukuplah, gitu ya. Kalau dari
situlah nanti muncul siapa sih yang benar-benar ingin menjadi
relawan.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M)

Universitas Indonesia
83 
 

Pernyataan dari Kemenpora ini sekilas seakan bertentangan dengan


pernyataan salah satu Koordinator Pusat RMI, Oka, bahwa program 14 hari
menjadi relawan ini adalah agar para anak muda pernah merasakan menjadi
relawan dan kemudian menceritakannya kepada banyak orang. Dengan demikian
tujuan RMI hanya agar kerelawanan menjadi suatu tren positif di kalangan anak
muda.
“... paling minimal yang kita harapkan adalah mereka pernah
merasakan. Itu sudah penting. Itu sudah hal yang penting untuk kami.
Kemudian harapan saya pasti itu hal yang pasti bisa diceritakan ke
orang lain: ‘Saya pernah dateng ke panti asuhan.’ Itu sudah poin!”
“Harapannya buat RMI bisa… karena kita targetkan bisa
menyebarkan ide ini menjadi tren positif ya. Harapan saya RMI bisa
dikenal, semakin banyak orang yang bisa join di kegiatan
kesukarelawanan, gitu.”
(Oka)
Artinya, bagi RMI, memang target 14 hari adalah menjadi target kelompok,
bukan target secara individu. Target individu bagi para relawan peserta, meski
tidak mencapai 14 hari, yang penting adalah mereka pernah merasakan semangat
kerelawanan itu.
“Karena target saya adalah kesukarelawanan ini, rasa
kesukarelawanan ini, itu bisa menjadi… apa ya… terintegrasi di
dalam pribadi mereka... Memang kita volunteer for beginner. “
(Oka)
Namun, perbedaan pandangan Kemenpora dan RMI ini dapat dijelaskan
dengan konsep biaya dan benefit seperti pada gambar di bawah ini.

Universitas Indonesia
84 
 

Gambar 4.5 Biaya dan Benefit yang Diperoleh Selama 14 Hari dan Sesudahnya
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa jika seorang relawan peserta
yang mendaftar, kemudian menjalani tugas kerelawanannya kurang dari 14 hari,
maka ia sesungguhnya telah mendapatkan pengalaman sebagai “Volunteer for
Beginner”. Ia telah memenuhi target individu dari RMI, yaitu merasakan
kesukarelawanan. Oleh karena itu, diharapkan ia tetap menceritakannya kepada
orang lain agar mereka mau ikut bergabung dengan RMI juga. Inilah
sesungguhnya tren positif yang diharapkan RMI. Namun relawan tersebut hanya
mendapatkan benefit yang umum seperti meningkatnya komitmen, teman baru,
dan lain-lain yang akan semakin meningkat seiring bertambahnya hari
kerelawanannya.
Sementara itu, relawan peserta yang mendaftar, kemudian menjalani tugas
kerelawanannya selama 14 hari atau lebih, maka ia sesungguhnya telah
mendapatkan pengalaman sebagai “The Real Volunteer” atau relawan yang
sesungguhnya. Selain ia telah memenuhi target individu dari RMI, yaitu
merasakan kesukarelawanan, ia juga telah memenuhi target dari kelompoknya,
yaitu sukses mengajar di panti asuhan selama 14 hari. Selain ia mendapatkan
benefit yang umum seperti meningkatnya komitmen, teman baru, dan lain-lain, ia
Universitas Indonesia
85 
 

juga berhak atas benefit yang hanya diperoleh para relawan peserta yang sukses
melampaui 14 hari. Ia berhak menjadi panitia puncak acaranya, CARENAVAL.
“... Akhirnya ayolah kita harus ngelibatin mereka. Buktinya mereka masih
bertahan. Kita kasih mereka bagian besar dari RMI, jadi panitia Carenaval.”
(Netta)
Selain itu, ia akan ditarik menjadi fasilitator program RMI berikutnya.
“… tentu kalau yang kita lihat dedikasinya bagus, kita tarik sebagai
fasilitator untuk dia ngurusin calon relawan yang baru.”
(Oka)
Untuk mereka, RMI juga menjanjikan adanya sertifikat.
“Tadinya kita juga nggak ngira bakal dapet sertifikat. Kita masih simpang
siur. Emang iya dapat sertifikat nanya kak Misbah. Iya dapat sertifikat.”
(Amy)
Selain itu, Kemenpora juga menjanjikan adanya penghargaan (reward) berupa
partisipasi mereka dalam kegiatan Kemenpora.
“...karena terus terang kalau bisa itu dilaksanakan secara terus menerus,
Kemenpora juga akan memberikan reward gitu lho. Reward apakah itu
dalam misalnya mereka bisa mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh
Kemenpora, seperti itu.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M.)
Namun dalam pelaksanaan CARENAVAL pada tanggal 1 Juli 2012,
sertifikat RMI dan reward Kemenpora tersebut belum juga diberikan. Bahkan,
tidak ada satupun perwakilan Kemenpora dalam acara CARENAVAL tersebut.

c. Pelaksanaan Sebenarnya dalam Waktu Kerelawanan 14 Hari


Pada praktiknya di lapangan, program 14 hari menjadi relawan itu sendiri
melebihi dari yang direncanakan. Dengan dijadikannya acara CARENAVAL
sebagai akhir program 14 hari tersebut, maka jika diasumsikan rentang waktu
kerelawanan 14 hari ini adalah selama 14 pekan dan efektivitas program mulai
bulan Februari 2012, maka seharusnya CARENAVAL diadakan bulan Mei 2012.
Namun CARENAVAL direncanakan malah pada akhir Juni.
“Iya, kalau efektivitas mulai ngajarnya tuh bulan kedua. Februari.”
(Arnal)
“Kayaknya udah lebih deh. Sebenernya patokan itu acara Carenaval itu
tanggal 22 (Juni). Tapi karena tanggal 22 kemarin juga banyak yang UAS,
jadi diganti akhir bulan. Kayaknya sih udah lebih.”
(Kun)

Universitas Indonesia
86 
 

Hal ini dapat dipahami karena seringkali kegiatan mengajar di panti asuhan
dibatalkan, misalnya karena ada kegiatan internal di panti asuhan, sehingga waktu
kerelawanan 14 hari tersebut tidak dapat berjalan mulus setiap minggu.

d. Penurunan Jumlah Relawan Sebelum 14 Hari


Hasil penelitian juga menemukan bahwa jumlah relawan peserta yang
mengikuti program ini sudah menurun sebelum 14 hari. Seperti yang terjadi pada
kelompok relawan di panti asuhan Esa Sasana Surya di Duren Sawit.
“Awalnya itu 15 orang. Tapi makin ke sini orang kan beda-beda, udah
makin menurun komitmennya. Ada yang keluar, ada yang bener-bener….
Mau skripsi.”
(Kun)
Hal senada tentang penurunan jumlah relawan peserta ini juga dikonfirmasi
oleh Koordinator RMI wilayah Jakarta, Netta.
“Kalau di daerah Duren Sawit, itu ada nyampe 15, tapi ada yang kena
seleksi alam. Tau-tau ilang, gitu… tapi ntar ada lagi yang baru, gitu…”
(Netta)
Pernyataan ini semakin menguatkan bahwa oleh karena menurunnya
jumlah relawan peserta sebelum target 14 hari tercapai, maka kelompok tersebut
harus mencari relawan peserta baru sendiri. Konsekuensinya, kelompok tersebut
memang dapat menyelesaikan target 14 hari kerelawanan, namun relawan peserta
yang baru ini belum mencapainya. Maka sekali lagi, tujuan 14 hari kerelawanan
ini sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan tujuan secara individu bagi relawan
peserta, melainkan sebagai tujuan kelompok.

4.1.6. Struktur Relawan Muda Indonesia


Relawan Muda Indonesia (RMI) pada saat ini tidak mempunyai struktur
organisasi secara jelas. Jika diambil contoh adalah RMI pusat dan RMI Jakarta,
maka pembagiannya adalah seperti di bawah ini:
• Koordinator pusat (3 orang)
• Koordinator wilayah Jakarta (2 orang)
• Fasilitator (2 orang)
• Ketua kelompok relawan peserta (1 orang untuk setiap panti asuhan)

Universitas Indonesia
87 
 

Ada perangkapan tugas, seperti koordinator wilayah Jakarta yang


merangkap menjadi fasilitator. Ada pula fasilitator yang merangkap menjadi
relawan yang ikut mengajar di panti asuhan seperti di panti asuhan Remaja Masa
Depan Tebet dan komunitas anak jalanan di Grogol.
Selain perangkapan tugas, pembagian tugasnya pun tidak jelas karena
semuanya dikerjakan bersama-sama.
“Abu-abu sih kalau pembagian tugasnya. Jadi rata-rata kita kerjainnya
bareng-bareng, justru... Bareng-bareng ngerjainnya...”
(Netta)
Untuk para fasilitator, hal tersebut dimungkinkan karena mereka masih satu
kampus, yaitu di Universitas Paramadina.
“Kita ngumpul, terus kita harus gimana nih, kita harus gini gini gini
langsung kita bagi tugas ya... berhubung kita satu kampus semuanya
jadi pas ketemu di kampus aja...”
(Netta)
Sedangkan kantor kesekretariatan juga belum ada. Mereka berkumpul
berpindah-pindah di kantor Oka di kawasan Rasuna Office, Epicentrum Kuningan
atau di kafe milik Mahir, salah satu koordinator RMI pusat, Coffee Institute di
Jalan Gunawarman, Jakarta.
“Kantor sih, kantor formal sih nggak ada. Kantor ngumpul ya kadang-
kadang pake di sini, kadang-kadang kita janjian di kafenya Mahir,
kadang-kadang gitu aja.”
(Oka)
Struktur yang informal ini diakui merupakan pilihan para koordinator RMI
agar lebih diterima anak muda. Anak muda tidak perlu merasa terikat, namun
melakukan sesuatu. Jadi, dianggap struktur informal inilah yang menjadi identitas
anak muda.
“Jadi apa ya, memang kita ini kan tidak pengen formal sebenernya.
Kita tidak pengen formal, anak-anak muda tidak merasa terikat, tapi
mereka melakukan sesuatu... Kita nggak pengen juga ini temporer.”
(Oka)
Namun, ternyata ada harapan dari beberapa fasilitator dan relawan peserta
agar struktur RMI dibuat lebih formal.
“Kalau saya pribadi sih kalau yang formal penting, soalnya dari situ
kan misalkan kita bisa tahu lu kerjanya apa. Jadi punya batasan gitu.
Tinggal tiap orang punya area masing-masing dan nggak melakukan
intervensi terhadap area kerja yang lainnya.”

Universitas Indonesia
88 
 

(Arnal)
“Lebih terstruktur, tersistem, lebih banyak anggotanya, lebih
komitmen, lebih diperjelas lagi harus gimana kayak gitu.”
(Amy)
“Sebenernya formal itu cenderung lebih menimbulkan kesadaran pada
tanggung jawab aja. Biar nggak langsung gitu cabut aja.”
(Fahmi)
Selain itu, pihak Kemenpora juga menginginkan agar RMI memiliki
struktur formal agar dapat berjalan baik.
“Nanti nggak bisa jalan kalau seperti itu. Organisasi seperti itu nggak
bisa jalan. Nggak bisa. Dalam jangka waktu yang panjang nggak bisa.
Apalagi kalau sukarelawannya sudah banyak. Semua sama dong?
Nggak bisa begitu. Pasti harus ada pengelolanya kan gitu. Pembagian
tugasnya juga harus jelas gitu.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M.)
Dengan tantangan agar RMI dapat memiliki perwakilan di 33 propinsi pada
tahun 2013 kelak, maka diperlukan pula sekretariat dan fasilitator yang
profesional.
“Kalau rencana ke depan, dengan anggaran dekon itu, itu untuk
sekretariat, untuk biaya sekretariat, itu di pusat dan daerah. Ada honor
untuk fasilitator, seperti itu tahun 2013 nanti.”
(Dra. Hermin Narwati, M.M.)
Bahkan, pihak Kemenpora telah merancang suatu struktur formal bagi RMI
kelak, yaitu seperti pada gambar berikut ini.

Universitas Indonesia
89 
 

Gambar 4.6 Konsep Kemenpora tentang Struktur RMI


Sumber: Narwati, Hermin. 2012.60

Berikut ini penjelasan gambaran tugasnya.


1. Penanggung Jawab
Tugasnya:
• Merumuskan dan menetapkan pelaksanaan di bidang Kesukarelawanan
Pemuda
• Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan di bidang Kesukarelawanan
Pemuda
• Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang Kesukarelawanan Pemuda

2. Sekretariat
Tugasnya adalah melaksanakan :
• Koordinasi pelaksanaan kegiatan
• Koordinasi, penyusunan rencana dan program kegiatan
• Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang meliputi
ketatausahaan, arsip, dokumentasi dan pendanaan

                                                            
60
Slide Sistem Kesukarelawanan dalam Membentuk Pemuda Berjiwa Sosial.
Dipresentasikan dalam Pelatihan dan Launching Relawan Lingkungan Hidup HMI pada
tanggal 25 April 2012 di Cibubur, Jakarta.
Universitas Indonesia
90 
 

3. Bidang Promosi dan Rekrutmen


Tugasnya adalah melaksanakan :
• Koordinasi pelaksanaan kegiatan promosi dan rekrutmen
• Koordinasi, penyusunan rencana dan program kegiatan promosi dan
rekrutmen
• Pembinaan dan penyelenggaraan program kegiatan promosi dan rekrutmen
• Pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan tentang masalah dan kegiatan
dibidang promosi dan rekrutmen kesukarelawanan pemuda

4. Bidang Pelatihan dan Pendampingan


Tugasnya adalah melaksanakan :
• Koordinasi pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pendampingan.
• Koordinasi, penyusunan rencana dan program kegiatan pelatihan dan
pendampingan
• Pembinaan dan penyelenggaraan program kegiatan pelatihan dan
pendampingan
• Pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan tentang masalah dan kegiatan
dibidang pelatihan dan pendampingan kesukarelawanan pemuda

4.1.7. Strategi Relawan Muda Indonesia dalam Meningkatkan Recruitability


dan Volunteerability
Dalam hal meningkatkan recruitability dan volunteerability, RMI Jakarta
belum menggunakan strategi yang terencana, terukur dan efektif sesuai dengan
segmen anak muda. Bahkan segmentasi pun belum tergarap.
“Kita tuh justru gimana ya… apa kita nggak memperhatikan ke sana
ya?”
(Netta)
RMI lebih terfokus kepada optimalisasi penggunaan media daripada
menjadikan media sebagai bagian dari tahapan strategi yang lebih besar.
“Kita lihat apa yang lagi ngetren, dan apa yang lebih efisien. Cara
yang efisien untuk nyampein ke anak-anak muda ini.”
(Netta)

Universitas Indonesia
91 
 

Gambar 4.7 Media Promosi dan Jejaring Sosial RMI


Sumber: Profil Relawan Muda Indonesia 2012
Ada beberapa media yang digunakan oleh RMI dalam pelaksanaan
kegiatannya, antara lain:
• Laman www.relawanmudaindonesia.com.
• Twitter @relawan_muda
• Email relawanmudaindonesia@gmail.com
• Facebook Relawan Muda Indonesia
• YouTube Channel RelawanMuda

• Laman www.relawanmudaindonesia.com
Sampai tanggal 10 Juli 2012, laman tersebut tidak dapat diakses sama sekali. Hal
ini karena sudah lewatnya masa domain berbayar laman tersebut. Oleh karena itu,
laman RMI ini tidak dapat dianalisis sama sekali.

Universitas Indonesia
92 
 

• Twitter @relawan_muda

Gambar 4.8 Profil akun Twitter RMI: @relawan_muda


Sumber: Twitter.com: @relawan_muda
Akun RMI, @relawan_muda merupakan media yang paling banyak digunakan
oleh RMI. Hampir semua aktivitas RMI diorganisasikan dan diinformasikan di
sini. Bahkan dapat dikatakan, Twitter ini adalah sekretariat RMI yang
sesungguhnya. Namun masih belum mendapatkan banyak pengikut (follower),
sampai tanggal 10 Juli 2012 baru 443 pengikut. Perlunya strategi marketing untuk
menambah jumlah follower RMI ini juga disadari oleh RMI sendiri.

Gambar 4.9 Perlunya Strategi Marketing bagi @relawan_muda


Sumber: Twitter.com: @relawan_muda
Namun sejauh ini belum ada strategi khusus untuk menambah jumlah pengikut
(follower) akun RMI ini, baru sebatas mengoptimalkan isinya.
“Kita ngebahas lebih ke gimana caranya biar account twitter kita itu
eye catching. Entah itu kita siapin kata-kata kutipan-kutipan bagus.
Gitu. Jadi kan supaya orang ngelihat…”
(Netta)
Berikut ini adalah fungsi dari akun Twitter RMI bagi segala aktivitasnya.
1. Komunikasi dengan para anggota RMI
Menyambut relawan peserta baru
Undangan agenda RMI, misalnya Gathering
Membagi pengalaman relawan peserta di panti asuhan

Universitas Indonesia
93 
 

Memberi semangat
2. Komunikasi dan informasi komunitas lain
Ajakan kepada komunitas lain untuk bekerja sama
Undangan kepada komunitas lain dalam acara RMI
Informasi agenda komunitas lain
3. Komunikasi dengan Anak Muda
Menyapa anak muda
Retweet tokoh yang memberikan semangat bagi anak muda
Menulis kutipan yang memberi motivasi dari tokoh-tokoh terkenal
4. Laporan kegiatan
Laporan kegiatan di panti asuhan (RMI Jakarta), lengkap dengan foto-foto
Laporan kegiatan RMI Jakarta seperti CARENAVAL dan Gathering
Laporan kegiatan di RMI daerah lain, misalnya RMI Yogyakarta
5. Organisasi
Fundraising
Koordinasi kegiatan
6. Informasi tentang Panti Asuhan
Informasi tentang alamat panti asuhan tempat mengajar
Informasi tentang kondisi panti asuhan tempat mengajar
Informasi tentang kebutuhan pengajar di panti asuhan
Menyampaikan hasil survei panti asuhan baru
7. Apresiasi
Apresiasi terhadap para relawan peserta
Apresiasi terhadap fasilitator dengan menyebut mereka sebagai Pegiat Muda
8. Pendaftaran
Sebagai tindak lanjut dari broadcast (BC) BlackBerry Messenger
Tanya jawab dan pengarahan pendaftaran
9. Promosi
Ajakan untuk bergabung dengan RMI
Memperkenalkan kegiatan melalui video di YouTube
Informasi tentang rencana dan pelaksanaan kampanye

Universitas Indonesia
94 
 

Penggunaan Twitter dalam aktivitas RMI ini terlalu mendominasi, sehingga


pendaftaran melalui laman www.relawanmudaindonesia.com pun harus melalui
Twitter lagi, sehingga membingungkan calon relawan peserta, seperti pada tweet
berikut ini.

Gambar 4.10 Ambigunya Pendaftaran Melalui Twitter dan Laman RMI


Sumber: Twitter.com: @relawan_muda

• Email relawanmudaindonesia@gmail.com
Alamat email ini kurang terpakai di RMI Jakarta. Jika ada calon relawan yang
mendaftar, mereka harus mengirimkan datanya kepada alamat email
za.netta@yahoo.com milik koordinator RMI Jakarta, Amelia Zanetta. Penggunaan
email untuk pengiriman data ini membuat pendaftaran menjadi berbelit-belit.
Padahal formulir pengisian data ini sudah ada di laman RMI. Akan lebih mudah
jika yang digunakan adalah formulir Google Docs yang tautannya dapat
diinformasikan di Twitter dan dilekatkan di laman RMI. Setelah diisi oleh calon
relawan peserta, formulir Google Docs ini dapat secara otomatis diubah menjadi
tabel untuk kemudahan pengolahan data.
Universitas Indonesia
95 
 

• Facebook Relawan Muda Indonesia


Fanspage Relawan Muda Indonesia ini kurang mendapat perhatian, tidak seperti
Twitter, sehingga jarang diperbarui statusnya atau menjawab pertanyaan. Tidak
heran, fanspage ini sampai tanggal 10 Juli 2012 hanya mendapat 296 “Like”.

Gambar 4.11 Profil Facebook Relawan Muda Indonesia


Sumber: www.Facebook.com

Universitas Indonesia
96 
 

• YouTube RelawanMuda channel


Film tentang RMI ini berkisah tentang seorang mahasiswa yang menyaksikan
teman mahasiswinya mengajar anak-anak di pemukiman kumuh. Film berdurasi 7
menit 15 detik di channel RelawanMuda ini sampai tanggal 10 Juli 2012 hanya
disaksikan 27 orang.

Gambar 4.12 Film tentang RMI di YouTube Channel RelawanMuda


Sumber: www.YouTube.com
Namun film tentang RMI yang sama dari channel lainnya (beberapa adalah milik
para koordinator RMI, seperti channel TheOkaaditya, BhayaXhoot, dan
khairulanom) sampai tanggal 10 Juli 2012 telah disaksikan oleh lebih dari 100
orang.

Universitas Indonesia
97 
 

Gambar 4.13 Film tentang RMI di Channel yang Lain


Sumber: YouTube.com
Untuk meningkatkan kapasitas dari relawan peserta, RMI membuat
program:
• Briefing, pengarahan dari para fasilitator sebelum relawan peserta
diterjunkan ke panti-panti asuhan. Misalkan pada tanggal 18 Februari 2012
di Taman Ismail Marzuki.
• Gathering, pelatihan tentang kerelawanan dan ketrampilan public speaking
dari para aktvis relawan muda dari komunitas lain. Misalkan pada tanggal
25 Mei 2012 di Coffee Institute.
• CARENAVAL, acara puncak dari 14 hari menjadi relawan, di mana para
relawan peserta menjadi panitianya dan anak-anak panti asuhan diundang
untuk menunjukkan bakat dan ketrampilannya. Juga ada komunitas-
komunitas relawan muda lainnya yang diundang.

Universitas Indonesia
98 
 

G
Gambar 4.144 Kegiatan CARENAV
VAL pada Tanggal
T 1 Juuli 2012
Suumber: www.pelitaonline.ccom tanggal 1 Juli 2012
Sem
mentara itu, Kemenporra juga telaah membuaat strategi kkesukarelaw
wanan
bagi RMI ini, yaitu:611
1. Pem
metaan terdirri dari :
• Lokasi
• Kompetennsi relawann
• Kebutuhaan relawan
• Kebutuhaan penerimaa manfaat
2. Prom
mosi melaluui :
• Kampanyye di pergurruan tinggi, sekolah, koomunitas
• Media sosial (websitte, Facebook
k, Twitter dsb)
d
• Media cettak dan elekktronik
• Leaflet, sppanduk dll
3. Pereekrutan melalui :
• Pendaftarran diri secaara manual saat
s promossi/sosialisassi
• Pendaftarran langsungg secara onlline
• Pelatihan
• Capacity building
• Bantuan teknis
t
• Membanggun jaringann

                                                            
61
Naarwati, Herminn, 2012.
Unive
ersitas Indo
onesia
99 
 

• Mobilisasi sumber daya.


4. Pengkaderan
Menganalisa kesiapan dasar relawan sebelum terjun dalam panggilan
kerelawanannya meliputi aspek – aspek kemauan, kemampuan, kebutuhan
dan kesempatan.
5. Pendampingan
• Fasilitator selaku pendamping relawan diwajibkan untuk mengetahui
lokasi, aktivitas para relawan.
• Fasilitator memberikan motivasi kepada relawan dalam melaksanakan
aktivitasnya.
• Fasilitator dapat menjadi penengah dan menyelesaikan permasalahan
yang terjadi selama aktivitas berlangsung.

4.2. Analisis Pemasaran Sosial terhadap Program RMI: “14 Hari Menjadi
Relawan”

Sejauh ini RMI belum memiliki strategi pemasaran untuk merekrut dan
memelihara relawan mereka. Dari delapan strategi pemasaran sosial yang
dikembangkan oleh Boehm (2009), RMI baru melaksanakan tiga hal, yaitu:
1. Mengurangi biaya untuk mendorong orang mau menjadi relawan. Hal utama
yang dipikirkan adalah kembali kepada 7 hari daripada 14 hari menjadi
relawan. Juga dengan gagasan program membuat drop box sumbangan bagi
panti asuhan ketimbang meneruskan lagi program mengajar di panti asuhan.
Selain itu, survei terhadap panti-panti asuhan di wilayah baru dilanjutkan
agar semakin banyak panti asuhan yang dekat dengan rumah para calon
relawan peserta kelak.
2. Menentukan tempat yang layak dan cukup bagi kegiatan kerelawanan.
Caranya dengan mengadakan survei terhadap panti-panti asuhan.
Menemukan panti asuhan di wilayah baru agar dekat dengan relawan-
relawan peserta baru nantinya, juga panti asuhan yang bersedia bekerja
sama dengan RMI.

Universitas Indonesia
100 
 

3. Menentukan kerelawanan sebagai produk sosial untuk mengubah perilaku


atau sikap. Cara yang dipilih dengan memberikan pengalaman terlebih dulu.
Para relawan peserta mendapatkan pengalaman yang berharga ketika
mereka berinteraksi dengan anak-anak panti asuhan, mengajarkan apapun
kompetensi mereka, meskipun mereka sama sekali belum mendapatkan
pelatihan tentang mengajar dan belum berpengalaman berorganisasi.
Merujuk pada strategi pemasaran sosial yang dikembangkan Boehm
tersebut, sangat dianjurkan agar RMI dapat mengadaptasinya sesuai kebutuhan
dan kondisi mereka. Tantangan mereka sangat jelas: sebelum tahun 2013 RMI
harus memiliki strategi sendiri yang terbukti sukses atau mereka harus mengikuti
aturan birokrasi formal dengan berada di bawah Dinas Pemuda dan Olahraga di
33 provinsi. Berikut ini lima strategi pemasaran sosial lain dari Boehm (2009)
yang perlu untuk dikembangkan RMI.
1. Membentuk tim Program for Marketing Volunteering (PMV) untuk
mengembangkan sebuah strategi pemasaran dalam merekrut dan
memelihara para relawan peserta RMI. Tim ini tidak harus formal struktural,
yang penting adalah hasilnya. RMI dapat melibatkan para relawan yang
berkompeten dalam pemasaran, pihak Kemenpora, juga konseptor
komunitas-komunitas relawan lain yang sudah sukses.
2. Mengadakan riset pasar dan mempromosikan kerelawanan dengan
mengadakan seminar atau focus group discussion (FGD) oleh grup-grup
dari relawan aktif, kalangan profesional dan kalangan anak muda seperti
mahasiswa, pelajar dan komunitas. Temuan MarkPlus Insight 2010
(Hasanuddin et al, 2011) yang menunjukkan lebih dari separuh anak muda
memilih untuk bersikap realistis daripada idealis terhadap masa depan harus
disikapi dengan baik oleh RMI. Caranya – dengan seminar atau focus group
iscussion (FGD) ini – mengajak kalangan profesional mengenalkan sikap-
sikap yang dimiliki oleh relawan, seperti komitmen, bertanggung jawab,
disiplin, sebagai sikap yang harus dimiliki oleh pemuda kelak di masa depan
agar sukses dalam karir dan bisnisnya.
3. Memilih strategi segmentasi diferensiasi, mencakup bauran pemasaran yang
berbeda untuk dua atau lebih segmen tertentu saja. Pembagiannya dapat

Universitas Indonesia
101 
 

berdasarkan usia, minat, kemampuan, pelajar/mahasiswa/pekerja muda, dan


tingkat penolakan terhadap program kerelawanan. Dari temuan tentang
empat komunitas makro anak muda Indonesia oleh MarkPlus Insight 2010
dapat dibuat strategi yang berbeda untuk setiap segmen tersebut.
• Buddy. Mereka adalah tipe anak muda yang lebih mudah diajak
menjadi relawan karena memiliki jiwa sosial, empati yang tinggi serta
memiliki banyak teman. Stategi untuk tipe Buddy adalah dengan
menyebutkan kebahagiaan yang diperoleh mereka dengan berbagi
bersama anak-anak panti asuhan yang membutuhkan.
• Patriot. Mereka adalah tipe anak muda yang lebih sulit diajak
menjadi relawan daripada Buddy, namun jika mereka berhasil
direkrut, maka mereka akan memberikan komitmen, loyalitas dan
kepemimpinan yang lebih daripada relawan-relawan yang lain.
Strategi untuk tipe Patriot ini adalah dengan menunjukkan
kepercayaan, kebebasan, dan otoritas yang dimilikinya dengan
menjadi relawan di panti asuhan. Tunjukkanlah bahwa kelak jika
berhasil mengangkat prestasi anak-anak panti asuhan dan menjadikan
anak-anak tersebut mandiri, mereka telah berkontribusi kepada
bangsa.
• Fighter. Mereka adalah tipe anak muda yang keras, punya banyak
kegelisahan, outspoken dan terkadang sedikit egois. Strategi untuk
tipe Fighter ini adalah dengan menunjukkan bahwa menjadi relawan
adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap kesenjangan sosial dan
ketidakpedulian masyarakat. Bahwa dengan menjadi relawan,
dibandingkan anak muda yang lain, mereka berbeda. Bahwa dengan
menjadi relawan yang mengajar di panti asuhan, mereka telah
melawan mainstream : “menyumbang ke panti asuhan itu hanya bagi
orang-orang kaya.”
• Star. Mereka adalah tipe anak muda yang cenderung idealis dan
populer, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelompok teman-
temannya., mempunyai tujuan hidup yang jelas bagi masa depannya,
namun cenderung fokus pada diri sendiri. Strategi untuk tipe Star ini

Universitas Indonesia
102 
 

adalah dengan menunjukkan bahwa dengan menjadi relawan, ia


mendapatkan berbagai kesempatan (misal: publikasi, pelatihan) dan
memiliki sikap-sikap dan aset jaringan yang kelak yang akan
mengantarkannya kepada kesuksesan karir dan bisnisnya. Jika berhasil
direkrut, maka mereka dapat mengajak teman-teman mereka untuk
ikut bergabung.
4. Positioning kerelawanan sebagai produk yang kredibel dan berharga.
Positioning kerelawanan yang ditempati RMI Jakarta adalah unik, yaitu
“menjadi relawan bagi anak-anak panti asuhan”. Pengalaman yang
ditawarkan adalah:
“berinteraksi dengan anak-anak panti asuhan dan berbagi bersama”
Inilah yang membedakan RMI Jakarta dengan komunitas relawan muda
lainnya mitra RMI, seperti Save Street Child yang fokus kepada
menyekolahkan anak-anak jalanan serta Berburu (Berbudaya itu Seru!) yang
fokus berbagi ilmu kepada anak-anak sekolah.
5. Meragamkan promosi dan mempertajam pesan-pesannya. Dalam hal ini,
RMI Jakarta tidak beranjak dari promosi melalui Blackbery Messenger dan
Twitter karena dianggap metode ini lebih personal. Pesan-pesan lewat
Twitter memang beragam, dari ajakan untuk ikut bergabung dengan RMI,
re-tweet atau tulisan kutipan bernuansa motivasi dari tokoh terkenal, atau
tautan foto-foto atau video kegiatan RMI di Flickr atau YouTube. Namun
ternyata jumlah pengikut akun Twitter RMI belum bertambah, masih di
bawah 500 pengikut. Lebih jelas tentang promosi akan dibahas dalam
pembahasan bauran pemasaran di bawah ini.

Analisis program RMI “14 hari menjadi relawan” berdasarkan perencanaan


pemasaran sosial yang dikembangkan oleh Wymer (2006) adalah seperti berikut
ini.

Langkah ke-1: Mengembangkan Pernyataan Tujuan (Statement of Purpose)


Berdasarkan penelitian, diperoleh bahwa RMI belum pernah menentukan
pernyataan tujuan yang merupakan kesepakatan semua pihak, baik koordinator,

Universitas Indonesia
103 
 

fasilitator, relawan maupun Kemenpora. Namun dapat diperoleh pula bahwa


semua pihak menginginkan adanya peningkatan jumlah anak muda yang menjadi
relawan. Dengan bahasa yang sederhana, ada tren positif menjadi relawan.

Langkah ke-2: Menentukan Hasil


Jika pernyataan tujuan di atas adalah tentang peningkatan jumlah anak muda yang
menjadi relawan, maka perlu diketahui jumlah anak muda yang menjadi relawan
saat ini. Namun, karena belum pernah ada penelitian tentang hal ini, yang ada
hanya data pemuda yang ikut terlibat sebagai PSM (Pekerja Sosial Masyarakat)
yang pada tahun 2009 berjumlah 152.110 orang (Penyajian Data & Informasi
Statistik Kepemudaan 2010, Kementerian Pemuda dan Olahraga). Oleh karena itu
maka dapat digunakan perbandingan penelitian di negara lain tentang jumlah
anak muda yang menjadi relawan, misalnya di Amerika.
Pada awal tahun 2005, U.S. Census Bureau dan koalisi nirlaba Independent Sector
dan The Corporation for National and Community Service mengadakan Youth
Volunteering and Civic Engagement Survey, survei nasional pertama untuk
meneliti para relawan muda di Amerika.62 Berikut ini adalah hasilnya.
• Diestimasikan 15,5 juta pemuda atau 55% dari pemuda berusia 12 s.d. 18
tahun –berpartisipasi dalam kegiatan kerelawanan.
• Sebanyak 39% dari para relawan muda adalah relawan reguler, didefinisikan
mereka yang menjadi relawan paling sedikit 12 minggu per tahun.
• Berdasarkan jangka waktu kerelawanannya, mereka dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu:
Regular Volunteer : pemuda yang menjadi relawan di suatu
organisasi selama 12 pekan atau lebih dalam
12 bulan terakhir
Occasional Volunteer : pemuda yang menjadi relawan di suatu
organisasi selama 3-8 pekan dalam 12 bulan
terakhir

                                                            
62
Sampai bulan Juli 2012, di laman http://www.nationalservice.gov, belum ada hasil survei
tentang kerelawanan pemuda di Amerika yang diperbarui.
Universitas Indonesia
104 
 

Episodic Volunteer : pemuda yang menjadi relawan di suatu


organisasi selama 2 pekan atau kurang dalam
12 bulan terakhir

Gambar 4.15 Jam/Pekan yang Dikontribusikan


Episodic Volunteer, Occasional Volunteer dan Regular Volunteer
Sumber: The Corporation for National and Community Service, 2005 (telah diolah kembali)
Jika Handy et al. (2006) menyebut bahwa Episodic Volunteer adalah kerelawanan
masa depan yang menjadi fenomena di mana-mana saat ini63, maka Episodic
Volunteer juga yang seharusnya diperkenalkan kepada anak muda di Indonesia,
apalagi untuk menjadi program Volunteer for Beginner. Oleh karena itu pula,
seharusnya RMI menjalankan programnya seperti Episodic Volunteer, yaitu
menjadi relawan di suatu organisasi selama 2 pekan atau kurang, minimal 1-2 jam
per pekan. Jadi, tidak perlu relawan itu harus menjalani 14 pekan seperti program
RMI saat ini (yang dikomunikasikan sebagai 14 hari menjadi relawan).

Langkah ke-3: Mengenali dan Memahami Sasaran Pemasaran


RMI belum pernah membuat segmentasi dalam sasaran pemasarannya. Hanya
saja, dapat dikatakan bahwa untuk kalangan mahasiswa, RMI menggunakan
media broadcast BlackBerry Messenger dan Twitter, sedang untuk pelajar SMA,
RMI bersosialisasi langsung ke sekolah-sekolah.

                                                            
63
Rochester (2010)
Universitas Indonesia
105 
 

Langkah ke-4: Mengembangkan Bauran Pemasaran

Product (Produk).
Program “14 hari menjadi relawan” merupakan produk dari RMI yang
merefleksikan ide-ide agar anak muda menjadi lebih peduli terhadap sesama
dengan cara membagikan kompetensi yang dimilikinya. Pola perilaku baru yang
didorongnya adalah meluangkan waktu yang dimilikinya untuk menjadi relawan,
datang ke panti asuhan atau tempat-tempat lain yang ada orang-orang yang lebih
menderita daripadanya, kemudian berbagi dan bergembira bersama mereka. 
Perubahan perilaku dilakukan dengan memberikan pengalaman sebagai langkah
pertama untuk mendukung perubahan sikap. Perubahan sikap ini prioritasnya
adalah rasa kepedulian dan kesukarelaan. Diharapkan dengan mengikuti program
ini, ada tren positif dari anak muda untuk seterusnya bersikap peduli dan bersikap
sukarela, juga memiliki komitmen dan tanggung jawab.
Menurut Kotler et al., 2002 (dalam Boehm, 2009), ada dua ciri yang dapat
mengidentifikasi kerelawanan sebagai produk sosial dari pemasaran sosial. Oleh
karena itu, dapat dikatakan dua ciri inilah yang menjadikan strategi produk dari
RMI.
• Produk-produk sosial dalam pemasaran sosial, sama seperti kerelawanan,
merefleksikan ide-ide dan mendorong pola perilaku baru. Program RMI “14
hari menjadi relawan” merefleksikan ide-ide agar anak muda menjadi lebih
peduli terhadap sesama dengan cara membagikan kompetensi yang
dimilikinya. Pola perilaku baru yang didorongnya adalah meluangkan waktu
yang dimilikinya untuk menjadi relawan, datang ke panti asuhan atau
tempat-tempat lain yang ada orang-orang yang lebih menderita daripadanya,
kemudian berbagi dan bergembira bersama mereka.
• Perubahan pola perilaku (dalam hal ini: kegiatan kerelawanan) adalah tujuan
utama dari pemasaran sosial. Dalam membuat perubahan perilaku, program
14 hari menjadi relawan merupakan pengalaman sebagai langkah pertama
untuk mendukung perubahan sikap. Perubahan sikap ini prioritasnya adalah
rasa kepedulian dan kesukarelaan. Diharapkan dengan mengikuti program

Universitas Indonesia
106 
 

ini, ada tren positif dari anak muda untuk bersikap peduli dan bersikap
sukarela dalam berbagi kepada orang lain yang lebih menderita.

Gambar 4.16 Perubahan Perilaku Menuju Perubahan Sikap


dengan Program “14 Hari Menjadi Relawan”

Berikut ini adalah keunggulan dari program RMI : “14 hari menjadi relawan”
• Wadah untuk beraktivitas sosial
• Kegiatan pada waktu yang fleksibel,
• Kontribusi bukan berupa uang, namun dengan membagikan kompetensi
yang dimilikinya
• Kerja secara kolektif.
Benefit yang dirasakan oleh para relawan adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan rasa kepedulian dan kesukarelaan.
2. Meningkatkan simpati kepada orang lain yang lebih menderita.
3. Meningkatkan komitmen dan tanggung jawab.
4. Meningkatkan disiplin, terutama terhadap waktu. Hal ini sangat berkaitan
erat dengan tanggung jawab mereka.
5. Melatih jiwa kepemimpinan, terutama untuk ketua kelompok relawan.
6. Mendapatkan teman atau relasi baru, baik dari kampus-kampus lain,
komunitas-komunitas lain, maupun relawan yang sudah bekerja.
7. Menghibur dan bersenang-senang.
Seperti dijelaskan di atas, ada benefit yang diberikan jika relawan peserta berhasil
melalui 14 hari kerelawanannya, meski 14 hari tersebut adalah target per
kelompok, bukan individu. Namun benefit bagi mereka seperti menjadi fasilitator,
mendapatkan sertifikat dan lainnya itu adalah benefit individu. Seharusnya benefit
kelompok juga mereka dapatkan, misalkan dengan sekedar hadiah ataupun liputan
khusus di media.
RMI juga harus menyadari bahwa menjadikan 14 hari tersebut sebagai target per
kelompok adalah solusi temporer disebabkan menurunnya jumlah relawan peserta
Universitas Indonesia
107 
 

yang datang ke panti asuhan sebelum 14 hari. RMI harus membuat konsep benefit
berupa pengalaman yang luar biasa setiap minggunya bagi setiap individu relawan
peserta sehingga mereka menjadikan program 14 hari menjadi relawan tersebut
adalah target individu mereka, bukan sekedar target kelompok. Dengan demikian,
benefit yang pantas diberikan kepada mereka juga benefit individu.

Price (Harga/Biaya)
Biaya yang dirasakan oleh para relawan adalah sebagai berikut.
1. Biaya atau pengorbanan secara kolektif
• uang kas kelompok,
• waktu berkumpul,
• ketidaknyamanan psikologis (dari pengurus panti asuhan, relawan lain
dalam satu kelompok, anak-anak panti asuhan, dan fasilitator).
2. Biaya atau pengorbanan secara pribadi
• waktu luang,
• perjalanan yang jauh,
• kesempatan kerja,
• uang,
• kelelahan fisik.
RMI memiliki strategi untuk menurunkan biaya atau pengorbanan secara pribadi
yang diketahui berperan besar dalam penurunan jumlah relawannya, yaitu
menurunkan pengorbanan waktu luang dan perjalanan yang jauh. Untuk
mengurangi pengorbanan waktu luang, misalnya pada RMI Jakarta, dengan
membuat rencana program untuk mengkoordinasikan drop box tempat sumbangan
berupa uang, barang, maupun buku-buku untuk panti asuhan. Sementara untuk
mengurangi pengorbanan perjalanan yang jauh, RMI terus melakukan survei-
survei panti asuhan di wilayah baru agar kelak lebih dekat dengan tempat tinggal
para relawan peserta.

Place (Tempat)
Dengan terus mencari panti-panti asuhan dan komunitas anak jalanan baru, RMI
Jakarta telah melakukan strategi untuk menambah distribusi relawan-relawan

Universitas Indonesia
108 
 

pesertanya. RMI Jakarta juga menambah tempat kampanye pemasarannya dengan


melakukan sosialisasi secara langsung kepada SMA-SMA di Jakarta, seperti SMA
Negeri 65 Jakarta Barat, SMA Negeri 78 Jakarta Barat, SMA Negeri 34 Jakarta
Selatan dan lain-lain. Kegiatan RMI yang di berbagai tempat, seperti peluncuran
perdana di Panti Sosial Muhammadiyah ― Tanah Abang, briefing di Taman
Ismail Marzuki, Gathering di Coffee Institute, CARENAVAL di Warung
Apresiasi ― Bulungan, serta rapat-rapat RMI Jakarta di berbagai tempat
memberikan akses yang terbuka bagi para anak muda yang ingin melihat secara
langsung kegiatan-kegiatan RMI.
Terhadap tempat panti asuhan ini masih dirasakan oleh relawan permasalahan
dalam hal: (1) jarak panti asuhan yang jauh dari rumah relawan dan (2) kemacetan
lalu lintas menuju panti asuhan. Namun RMI berupaya untuk terus melakukan
survei terhadap panti-panti asuhan di wilayah baru. Hasil riset MarkPlus 2012
yang menyebutkan bahwa sekitar 70% anak muda memiliki kendaraan sendiri,
baik itu motor, mobil atau keduanya dapat membuat RMI tidak perlu terlalu
khawatir akan masalah lokasi ini.
Namun tidak sekedar tempat panti asuhan. RMI pada akhirnya harus juga
memiliki kantor sekretariat atau dapat disebut sebagai “home base”. Leroux Miller
(2010) menyatakan pentingnya “home base” itu agar RMI dapat secara mudah
dicari dan program-programnya dapat terhubung kepada semua pihak.

Promotion (Promosi)
Strategi promosi yang telah dilakukan RMI dapat diperinci sebagai berikut.
• Slogan “Yes, We Care!” yang bersifat informal dirasakan cocok untuk anak
muda.
• Komunikasi langsung (secara personal) ke sekolah-sekolah.\
• Hubungan masyarakat (humas) misal dengan membuat tulisan berjudul
“Hello. May I Help You? I’m a Volunteer” di Kompasiana tanggal 26
Desember 2011. Juga aktif mengundang berbagai komunitas relawan muda
lain dalam agendanya, dan sebaliknya terlibat juga dalam agenda komunitas
relawan lain tersebut.

Universitas Indonesia
109 
 

• Penggunaan media sosial seperti Twitter dan broadcast BBM. Relawan


dipromosikan dalam Twitter dengan pesan-pesan yang mempromosikan
RMI dengan implisit, yaitu menyapa anak muda, retweet tokoh yang
memberikan semangat bagi anak muda, dan menulis kutipan yang memberi
motivasi dari tokoh-tokoh terkenal. Sedangkan pesan-pesan yang
mempromosikan RMI secara eksplisit berisi ajakan untuk bergabung dengan
RMI dan memperkenalkan kegiatan melalui video dari tautan di YouTube.
• Memperkenalkan kegiatan melalui video di YouTube
• Penggunaan pesan-pesan promosi yang lebih menjual kegiatannya, misal
perkenalan kegiatan melalui video di YouTube; foto-foto kegiatan,
testimoni di Twitter; sapaan bagi anak muda di Jakarta, retweet tokoh yang
memberikan semangat bagi anak muda, dan kutipan motivasi dari tokoh-
tokoh terkenal. Namun laman RMI, www.relawanmudaindonesia.com dan
Facebook Relawan Muda Indonesia masih kurang dioptimalkan dengan
baik. Selain itu, RMI perlu juga mempertimbangkan radio sebagai media
promosi alternatif.
• Atribut identitas bagi para relawan peserta berupa kaos RMI berwarna
merah, dilengkapi logo dan slogan RMI di bagian depannya.
Berdasarkan Boehm (2009), maka strategi promosi dapat diperinci sebagai
berikut.
• Komunikasi langsung (secara personal). RMI tidak melakukan pendekatan
dengan dialog langsung kecuali memang kampanye sosialisasi seperti ke
sekolah-sekolah. Tidak adanya kantor sekretariat juga membuat kesulitan
orang untuk datang dan berdialog langsung dengan para relawan RMI. Oleh
karena itu RMI, perlu membuat semacam Duta Kerelawanan di sekolah-
sekolah, bekerja sama dengan Organisasi Intra Sekolah (OSIS).
• Periklanan. RMI masih fokus pada media sosial seperti Twitter dan
broadcast BBM.
• Hubungan masyarakat (humas). Koordinator RMI Jakarta membuat tulisan
berjudul “Hello. May I Help You? I’m a Volunteer” di Kompasiana tanggal

Universitas Indonesia
110 
 

26 Desember 2011.64 Selain itu, RMI juga aktif mengundang berbagai


komunitas relawan dalam agendanya, juga terlibat dalam agenda komunitas
relawan lain tersebut.
• Insentif (promosi penjualan). Benefit langsung dengan memberikan diskon
sejumlah produk atau outlet belum dilaksanakan oleh RMI. Informasi
terakhir pada 1 Juli 2012, RMI akan bekerja sama dengan LAZIS
Muhammadiyah untuk membuat program insentif ini.
Boehm juga menyebutkan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi agar strategi
promosi ini berhasil.
Pertama, kebutuhan akan diversifikasi dan integrasi strategi promosi di atas,
yaitu komunikasi langsung, periklanan, hubungan masyarakat (humas), dan
program insentif ketimbang berfokus hanya pada satu strategi promosi. Selain itu,
media sosial yang sudah ada seperti laman www.relawanmudaindonesia.com,
Facebook dan YouTube dimaksimalkan kembali, tanpa harus berfokus kepada
Twitter saja.
RMI harus waspada terhadap hasil riset MarkPlus Insight tahun 2012 yang
menyebutkan bahwa Facebook dan Twitter masih populer di kalangan anak muda,
namun cenderung turun. Selain itu, RMI juga harus memahami anak muda
semakin aktif mengakses portal-portal berita di internet dan memberikan
komentar. Oleh karena itu, sangat wajar jika laman RMI, akun Facebook dan
Twitter RMI juga memasukkan berita-berita yang menarik untuk anak muda.
Kedua, kebutuhan akan pesan-pesan promosi yang tajam, sesuai dengan aktivitas
yang dipromosikan, medianya, dan sasaran.
Perlu adanya perubahan paradigma promosi RMI selama ini yang menjual
aktivitasnya. Daw (2011) menyebutkan ada pergeseran dari mengkomunikasikan
aktivitas kepada benefit. Daripada sekedar melaporkan aktivitas, suatu terobosan
dapat dilakukan dengan berfokus pada mengkomunikasikan benefit dan nilai yang
diperoleh. Hal ini dilakukan dengan membuat hubungan yang emosional dan
pribadi dengan konstituennya.

                                                            
64
http://unik.kompasiana.com/2011/12/26/hello-may-i-help-you-im-a-volunteer/
Universitas Indonesia
111 
 

Cara Penyampaian Pesan Promosi


Gutsche (2009) mengatakan, apapun yang Anda sedang berusaha komunikasikan,
ada serangkaian dampak berdasarkan cara Anda menyampaikan pesan Anda. Ada
beberapa tingkat cara penyampaian pesan yang akan berdampak nyata.
1. Fungsional
2. Insentif
3. Emosional
4. Kultural
Misalkan, untuk mencegah orang membuang sampah di jalan tol Texas pada
tahun rentang waktu tahun 1970 hingga 1980-an, dibuatlah serangkaian pesan-
pesan dengan tingkat di atas.

Gambar 4.17 Tingkat Cara Penyampaian Pesan dan Dampaknya


Sumber: Gutsche, 2009 (telah diolah kembali)
Menurut Gutsche, pada contoh di atas, pada level fungsional orang diminta untuk
tidak membuang sampah sembarangan. Lebih jauh, pada level insentif, diberikan
denda jika orang membuang sampah sembarangan. Pada level berikutnya, dibuat
pesan yang mengarah pada hubungan emosional. Dampaknya adalah ingatan

Universitas Indonesia
112 
 

emosional. Tapi, untuk benar-benar menghasilkan dampak, perlu diciptakan


hubungan kultural.
Dengan diciptakannya hubungan kultural, suatu produk sosial tidak dianggap lagi
oleh orang sebagai suatu produk saja, melainkan sebagai bagian dari identitas
mereka, menjadi refleksi dari gaya hidup mereka. Hasilnya, lima tahun program
pesan kultural itu diluncurkan (1986-1990), orang yang membuang sampah
berkurang 72%.
Gutsche juga menyebutkan beberapa tips agar pesan-pesan promosi dapat menular
dengan cepat.
• Gambar dan media merebut perhatian, tapi pada akhirnya ceritalah yang
membuat orang ingat.
• Sampaikan segala sesuatunya dalam 7 kata atau kurang.
• Pilihan kata secara cermat dapat menghasilkan dampak luar biasa pada
potensi penularan pesan.
• Kerangka pesan yang dipakai adalah:
1. Sederhana. Karena pesan sederhana menyebar lebih cepat.
2. Langsung. Dari pesan 7 kata di atas, atribut unik yang menjelaskan
mengapa produk atau ide ini dipilih, harus dapat ditangkap dengan
cepat.
3. Berbobot. Pesan 7 kata di atas tersebut harus lolos tes “saya-harus-
memberitahu-seseorang.”
Oleh karena itu, RMI juga perlu untuk membuat pesan promosi yang tidak
sekedar tajam, sederhana, namun juga bernuansa kultural, dekat dengan anak
muda. Slogan “Yes, We Care!” masih bernuansa emosional. Alasan bahwa bahasa
Inggris dekat dengan anak muda bisa jadi hanya berlaku di lima kota besar yang
sekarang menjadi pilot project. Untuk ke depannya, slogan tersebut cukup
dijadikan identitas RMI saja. Tapi dengan tantangan di 33 provinsi di Indonesia,
pesan promosinya harus dalam bahasa Indonesia, sederhana, lugas tentang
menjadi relawan dan memang berkarakter anak muda. Misalkan:
“JADI RELAWAN, BERANI BEDA!”

Universitas Indonesia
113 
 

Cara Penyebaran Pesan Promosi


Gladwell (2000) mengetengahkan konsep Tipping Point, yaitu suatu titik di mana
terjadi epidemi sosial. Pada epidemi sosial, terjadi penyebaran ide, produk, pesan
dan perilaku seperti virus. Pada dasarnya suatu hal dinyatakan sebagai epidemi
bila memiliki tiga kaidah khusus yaitu 1) bersifat menular, 2) perubahan kecil
yang membawa perubahan besar, dan 3) perubahannya dramatis, tidak gradual.
Ada tiga faktor utama terjadinya epidemi sosial ini, yaitu
1. The Law of the Few (hukum tentang yang sedikit).
Ada tiga peran yang dimiliki oleh sedikit orang dari sekian banyak orang yang ada
di lingkaran epidemi dalam penyebaran virus ini.
• Connector, yaitu orang yang berperan sebagai penghubung, melihatnya
sebagai hal yang menarik dan mengasyikkan dan mulai memakainya (ini
adalah orang-orang yang pertama kali akan terpengaruh oleh ide atau
produk tersebut). Mereka berfungsi sebagai perekat sosial dan penyebar
pesan.
• Maven, orang bijak yang mengesahkannya sebagai hal yang baik dan
bermanfaat. Ia memiliki informasi, berfungsi sebagai penyimpan data dan
menyediakan pesan.
• Salesman, orang yang membuatnya lebih bernilai lewat upaya penyebaran
yang mereka lakukan dan berperan dalam membujuk orang lain untuk
memakainya.
2. The Stickiness Factor atau faktor kelekatan.
Artinya sebuah pesan atau gagasan yang berhasil menembus pikiran, kesadaran,
dan tersimpan di memori kepala, hingga merasuk ke hati. Untuk menyampaikan
sebuah paket informasi, biasanya ada suatu cara sederhana yang dalam situasi
tepat dapat membuatnya tak terbendung. Hal sederhana itulah diidentifikasi
sebagai faktor kelekatan. Proses pelekatan itu biasanya dilakukan dengan paparan
yang berulang-ulang atau terus menerus. Contoh sehari-hari adalah tayangan iklan
di TV.
3. The Power of Context atau kekuatan konteks.
Konteks dalam pengertian ini adalah situasi atau kondisi yang melingkupinya.
Bisa juga berarti waktu yang tepat atau tempat yang mendukung. Dengan

Universitas Indonesia
114 
 

demikian, Power of Context mengatakan kita tidak harus memecahkan masalah-


masalah besar untuk mencapai hal yang besar asalkan ada konteks yang tepat.
Godin (2000) mengatakan bahwa penyebaran virus ide (disebut “Ideavirus”)
adalah berbeda dengan pemasaran tradisional. Pemasaran tradisional
mengharuskan pemasar untuk berbicara kepada konsumen, menawarkan produk.
Dengan penyebaran virus ide, maka pemasar membantu konsumen untuk
membicarakannya satu sama lain. Pemasar dengan menciptakan lingkungan yang
tepat (mirip dengan The Power of Context), suatu ide dapat tersebar luas.

Gambar 4.18 Pemasaran Tradisional vs Pemasaran dengan Penyebaran Virus Ide


Sumber: Godin, 2000 (telah diolah kembali)
Bagi RMI yang menginginkan agar terjadi penyebaran virus tren anak muda
menjadi relawan, Tipping Point di atas dapat diadaptasi sedemikian rupa. Peran
Connector dapat dijalani oleh para relawan peserta. Peran Maven dijalani oleh
koordinator pusat, koordinator wilayah dan pihak Kemenpora. Sedangkan peran
Salesman dapat dijalani oleh para fasilitator RMI saat ini. Atau jika menggunakan
struktur yang direkomendasikan oleh Kemenpora: bidang Promosi dan
Perekrutan.
The Stickiness Factor dapat menggunakan logo RMI, yaitu logo “Yes, We Care!”
dalam produk-produk seperti kaos, pin, stiker atau gantungan sepeda, seperti
gantungan sepeda milik komunitas “Bike to Work”. Diharapkan Stickiness Factor
ini dapat membuat para anggota RMI merasa bangga dengan keanggotaannya dan
mengidentifikasi diri mereka sendiri ke dalamnya. Tak ada salahnya pula, jika
mereka mendapatkan kartu nama atau kartu anggota, sesuai rekomendasi dari
Griffiths (2006).

Universitas Indonesia
115 
 

Sedangkan The Power of Context dapat diperoleh RMI jika senantiasa mengikuti
perkembangan apapun yang terjadi, baik secara lokal maupun nasional, dan
berusaha untuk berkontribusi, tanpa harus terikat selalu dengan programnya
sendiri. Misalkan keikutsertaan mereka dalam membantu korban bencana alam,
kebakaran, atau kecelakaan. Selain itu, RMI dapat juga menciptakan lingkungan
bagi penyebaran virus ide kerelawanan ini dengan membuat seminar-seminar dan
Focus Group Discussion tentang kerelawanan. Griffiths (2006) menyebutnya,
“the benefits of ‘brainstorming”. Selain itu, Grifftihs juga menggagas adanya
perlombaan-perlombaan berhadiah untuk menciptakan lingkungan bagi
penyebaran virus ide tersebut.

Policy (Kebijakan).
Pada Pasal 1 UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemuda adalah warga
negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan
perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun
memiliki jiwa kesukarelawanan, kepeloporan, kepemimpinan, kemandirian, dan
kepedulian sosial. Atas dasar itulah Kemenpora membentuk RMI dan pada tahun
2013 akan disebarluaskan di 33 propinsi di Indonesia. Namun kebijakan ini
dirasakan memberatkan RMI sendiri karena belum adanya struktur organisasi
yang disepakati serta masih kurangnya jumlah relawan yang bertahan di RMI.

Langkah ke-5: Mengembangkan Rencana Implementasi


Langkah ke-6: Merencanakan Anggaran
Langkah ke-7: Kendali dan Umpan Balik

Ketiga langkah tersebut tidak dilakukan oleh RMI karena memang RMI
tidak membuat strategi pemasaran untuk merekrut relawannya sehingga tidak ada
implementasi, anggaran, dan kendali serta umpan balik. Khusus untuk ketiadaan
anggaran ini, dapat diketahui dari minimnya dana untuk acara CARENAVAL.
Panitia CARENAVAL mencari dana dari para donatur, penjualan kaos RMI dan
mengamen di sekitar GOR Bulungan. Hasilnya terkumpul sekitar Rp 2 juta.

Universitas Indonesia
116 
 

4.3. Strategi Pemasaran Sosial yang Dapat Meningkatkan Kemampuan


Merekrut (Recruitability) dan Kemampuan Kerelawanan
(Volunteerability)

4.3.1. Kemampuan Merekrut (Recruitability)


Ada tiga komponen dalam recruitability menurut Haski-Leventhal dan
Meijs (2010), yaitu:
1. Kemudahan akses. Dengan adanya rencana Kemenpora untuk
menyebarkan RMI ke 33 provinsi, hal ini jangan dianggap sebagai suatu
hambatan, melainkan sebagai kemudahan akses RMI untuk bergerak. Selain
itu, dengan dukungan Kemenpora, maka RMI layak untuk menjadi
perwakilan Indonesia dalam agenda kerelawanan internasional.
2. Sumber daya. Adanya rencana Kemenpora untuk mengadakan anggaran
bagi RMI dengan dana dekonsentrasi pada tahun 2013 dapat dianggap
sebagai seuatu tambahan sumber daya keuangan. Terutama bila nantinya
fasilitator RMI mendapat honor, maka jumlah SDM yang bergerak untuk
merekrut relawan nanti akan semakin banyak.
3. Jaringan dan kerja sama. Semuanya komponen di atas akan menjadi
terwujud dengan keluasan jaringan dari Kemenpora. Hanya saja kerja sama
dengan Kemenpora ini harus dinyatakan oleh RMI, bukan ditutupi seperti
saat ini. RMI tidak perlu khawatir menunjukkan hubungannya dengan
Kemenpora karena yang hendak dijual RMI adalah pengalaman
kerelawanan, bukan independensi terhadap pemerintah. Yang penting, RMI
tidak menyatakan bahwa RMI adalah bagian dari program pemerintah,
melainkan bekerja sama dengan pemerintah. Selain itu, RMI juga perlu
untuk mempertimbangkan pendirian badan hukum dengan bentuk seperti
yayasan, agar lebih mudah dalam melakukan kerja sama seperti:
• Sosialisasi ke kampus-kampus dan sekolah-sekolah;
• Sosialisasi ke organisasi-organisasi kepemudaan, karang taruna dan
komunitas-komunitas anak muda;
• Fundraising dan sponsorship dari perusahaan-perusahaan

Universitas Indonesia
117 
 

• Mitra program corporate volunteerism dengan perusahaan-


perusahaan.
• Mitra program kerelawanan pemerintah daerah (seperti yang telah
dilakukan oleh RMI Lampung).

a. Segmentasi
RMI perlu melakukan segmentasi calon relawan dan melakukan pendekatan
langsung dengan menanyakan kepada anak muda kesediaan mereka untuk
menjadi relawan. Metode ini dianggap sangat efektif oleh Pearce (1993), Wilson
(2000) dan Penner (2004). Caranya dengan turun langsung ke kampus-kampus
bekerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa dan ke sekolah-sekolah bekerja
sama dengan OSIS. Juga dengan turun ke organisasi-organisasi kepemudaan,
karang taruna dan komunitas-komunitas anak muda. Jika hanya menunggu
mereka menjadi pengikut akun Twitter RMI, maka dipastikan jumlah peserta RMI
tetap sedikit. Leroux Miller (2010) menyatakan bahwa pemasaran yang baik
adalah dengan percakapan. Anak muda harus ditanya tentang apa yang mereka
pedulikan dan RMI harus menghubungkan apa yang dilakukannya terhadap apa
yang mereka pedulikan itu.
Leroux Miller juga menyebutkan bahwa tidak ada yang namanya
masyarakat umum. Atau jika dalam konteks RMI, anak muda secara umum. RMI
harus fokus pada kelompok-kelompok anak muda secara spesifik dan bekerja
membangun komunikasi dengan mereka untuk mengetahui kebutuhan dan nilai-
nilai mereka. Leroux Miller menyebut tiga kelompok utama, yaitu berdasarkan:
1. Demografi dasar (jenis kelamin, usia, tempat tinggal, tempat kerja, suku,
pendidikan, dan lain-lain)
2. Perilaku (berhubungan atau tidak dengan garapan RMI),
3. Tahapan perubahan, diperlukan untuk memecah target audiens ke dalam
kelompok-kelompok kecil berdasarkan respons mereka terhadap perubahan
perilaku.

Universitas Indonesia
118 
 

Tabel 4.1 Tahapan Perubahan

Tahap Deskripsi Tipe Pemikiran


Prekontemplasi Tidak mengenali masalah "Bukan masalah
dan tidak berniat berubah saya."

Kontemplasi Mengenali masalah, "Saya akan pikirkan


mempertimbangkan tindakan itu."
Persiapan Pada ujung mengambil "Saya perlu
tindakan untuk membuat melakukan sesuatu.
perubahan Saya akan
mencobanya."
Tindakan Membuat perubahan "Saya siap. Ayo
kita lakukan."
Pemeliharaan Mencoba memelihara "Saya sedang
perubahan melakukannya."

Sumber: Leroux Miller (2010)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang


Kepemudaan Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pemuda adalah warga negara
Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang
berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.” Sedangkan menurut
Gunarsa (2004), tahapan perkembangan remaja dapat dikelompokkan sebagai
berikut: remaja awal (12-14 tahun); remaja (15-17 tahun); dan remaja lanjut (18-
21 tahun). Sedangkan seseorang berusia 21 tahun ke atas dapat dikategorikan
sebagai dewasa.
Oleh karena itu, dapat dibuat suatu pembagian segmen kelompok anak
muda berdasarkan kombinasi kedua pendapat di atas, misalkan sebagai berikut.
1. Kelompok usia 16-17 tahun (remaja)
2. Kelompok usia 18-21 tahun (remaja lanjut)
3. Kelompok usia 21-30 tahun (dewasa)
Strategi terhadap ketiga kelompok usia tersebut tentunya berbeda. Misalkan
kelompok remaja akan lebih memandang keikutsertaan mereka dalam RMI untuk
menambah teman, kelompok remaja lanjut akan mencari pengalaman bagi masa
depan mereka, dan kelompok dewasa yang umumnya sudah bekerja akan mencari
kegiatan sebagai pelepas kepenatan mereka bekerja.

Universitas Indonesia
119 
 

Segmentasi terhadap pendidikan juga perlu untuk dibuat. Beberapa


penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak orang berpendidikan yang
berpartisipasi dalam sebuah kerelawanan ketimbang mereka yang kurang
berpendidikan (Wilson & Musick, 1999 dan Muthcler, Burr & Caro, 2003 dalam
Atensi, 2008).

b. Positioning

Gambar 4.19 Matriks Positioning Kerelawanan: Biaya vs Kualitas Pengalaman


Sumber: Haski-Leventhal dan Meijs, 2010 (telah diolah kembali)
Positioning RMI adalah relawan tipe C karena dengan program menjadi
relawan hanya dalam 14 hari, dapat dipastikan para relawan mendapatkan kualitas
kerelawanan yang kurang pada biaya yang rendah, yang umumnya terjadi pada
episodic volunteer. Karena episodic volunteer umumnya terjadi pada kelompok
(Hustinx et al., 2008; Haski-Leventhal dan Cnaan, 2009) maka ada kualitas
tambahan dalam proses sosial yang terjadi di antara para relawan tipe C. Hal ini
sesuai dengan keunggulan program “14 hari menjadi relawan” yang dilakukan
secara berkelompok. Namun, agar kualitas tambahan dengan berkelompok ini
semakin meningkat, RMI perlu juga mendekati kelompok-kelompok anak muda
seperti kampus-kampus, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi kepemudaan,
karang taruna dan komunitas-komunitas anak muda agar mereka mendaftar
menjadi relawan peserta secara kolektif.
Universitas Indonesia
120 
 

Ada dua hal yang dapat dipertimbangkan RMI dalam menerapkan dan
mengkomunikasikan positioning “14 hari menjadi relawan” tersebut.
Pertama, kerelawanan jangka pendek saat ini memang menjadi suatu
fenomena baru. Hustinx (2001) menyebutkan kerelawanan ini sebagai
“kerelawanan baru” (new volunteerism) yang kontras dengan “kerelawanan
klasik” (classic volunteerism). Evans dan Saxton (2005) menyebutkan bahwa oleh
karena telah terjadinya penurunan jumlah relawan yang berorientasi pada waktu
(time-driven) dan meningkatnya relawan yang berorientasi pada amal (cause-
driven), daripada memperlakukan kerelawanan dalam hal mengisi waktu, orang
sekarang cenderung lebih mencari pengalaman dan penghargaan yang lebih
spesifik. 65 Oleh karena itu, untuk menarik anak muda dalam mengikuti program
RMI, daripada mengkomunikasikan waktu dari tugas kerelawanan tersebut –
sehari, 7 hari, atau 14 hari; berturut-turut atau tidak harus berturut-turut – akan
lebih baik jika RMI mengkomunikasikan pengalaman dan penghargaan apa yang
akan diperoleh anak muda dalam aktivitas ini. Hustinx (2001) menyebutkan
bahwa pilihan aktivitas dalam “kerelawanan baru” bersifat seimbang antara
pilihan pribadi dan kebutuhan organisasi, berdasarkan analisis biaya/benefit, dan
lebih pragmatis.66 Tentang 14 hari kerelawanan, akan lebih baik jika hal tersebut
tidak perlu dikomunikasikan dalam promosi, cukup dalam pelaksanaan program
dan monitoringnya.
Kedua, jika pun memang diharuskan mengkomunikasikan berapa lama
tugas kerelawanan di RMI, dapat dipilih alternatif yang lebih baik daripada
mempertentangkan antara 7 hari atau 14 hari tersebut. Jumlah hari minimal – 7
hari – menjadi relawan, bisa jadi tetap merupakan waktu yang lama bagi benak
sebagian besar anak muda. Tanpa penjelasan lebih lanjut, banyak yang akan
berpikir bahwa 7 hari itu adalah 7 x 1 hari = 7 x 24 jam = 168 jam. Lalu mereka
berpikir bahwa selama 7 x 24 jam mereka juga harus berada di tempat tugas
kerelawanan. Padahal kegiatan tersebut sebenarnya hanya 2 jam x 7 hari = 14 jam.
Greg Lassonde, Director of Gift Planning, San Francisco Symphony mengatakan
bahwa, “Saran saya untuk orang yang baru memulai suatu planned giving
program adalah membuatnya sederhana. Anda dapat memulai program dengan
                                                            
65
Rochester, 2010.
66
Ibid, 2010.
Universitas Indonesia
121 
 

sedikitnya 5% dari waktu Anda – itu adalah 2 jam per minggu.”67  Hal ini sesuai
dengan hasil Youth Volunteering and Civic Engagement Survey (2005) di atas,
dengan popularitas dari Episodic Volunteer, yaitu menjadi relawan di suatu
organisasi selama 2 pekan atau kurang, minimal 1-2 jam per pekan.
Oleh karena itu, mencermati pembahasan positioning berdasarkan strategi
pemasaran sosial Boehm (2009) sebelumnya, positioning ini dapat lebih diperkuat
dengan:
“berinteraksi dengan anak-anak panti asuhan dan berbagi bersama
hanya dalam 2 jam per minggu”

c. Pemasaran untuk Calon Relawan


Sebagai komunitas relawan yang baru berdiri, untuk merekrut para relawan,
RMI harus memperhatikan tentang bagaimana mengidentifikasi dan menarik
mereka dengan strategi yang lebih sistematis. Wymer (2006) menyebutkan unsur-
unsur di bawah ini membantu pemasaran untuk merekrut calon relawan.

Membangun Amal
RMI masih berfokus pada membangun amal agar orang bersedia
memberikan waktunya untuk menjadi relawan. Sejauh ini, RMI Jakarta masih
mencari-cari bentuk amal apakah yang sesuai untuk mereka. Pengalaman
terdahulu para inisiator RMI yang menjadi relawan dengan mengajar di panti
asuhan setelah diadaptasi menjadi program RMI Jakarta belum menunjukkan
perkembangan tren anak muda menjadi relawan sebagaimana tujuan mereka.
Selain itu, terjadi penurunan jumlah peserta karena permasalahan komitmen
terhadap waktu. Oleh karena itu, program RMI Jakarta 14 hari menjadi relawan
pada gelombang ke-2 akan direncanakan dibuat lebih mudah lagi dengan sekedar
mengkoordinasikan drop box tempat sumbangan berupa uang, barang, maupun
buku-buku untuk panti asuhan. RMI Jakarta masih fokus tentang bagaimana
menurunkan biaya atau pengorbanan untuk menjadi relawan. Bukan fokus tentang
bagaimana memberikan pengalaman yang luar biasa bagi relawan-relawan
pesertanya.

                                                            
67
Bray, 2005.
Universitas Indonesia
122 
 

Kegiatan yang lebih luwes dilakukan oleh RMI Yogyakarta. Dengan


proyek-proyek seperti alat pembuatan bioethanol dari limbah, pembuatan pompa
air, pembuatan laman desa bagi karang taruna, dan pembersihan bantaran sungai,
mereka membuat kegiatan yang keberhasilannya dapat diukur dengan mudah dan
memberikan efek “kemenangan kecil” bagi para relawan. Hal ini karena kegiatan
tersebut menghasilkan barang yang sifatnya konkrit dan memiliki nilai manfaat
yang tinggi. Ini adalah pengalaman yang luar biasa menarik, sebenarnya. Jika
memang program mengajar di panti asuhan diteruskan, maka sangat penting bagi
para koordinator untuk menemukan “kemenangan kecil” apa nantinya yang
ditemukan setiap minggunya oleh relawan peserta bersama anak-anak panti
asuhan. Bukan sekedar mengajarkan apa yang menjadi kebutuhan anak-anak panti
asuhan ini.
Menurut Tomasko (2008) dalam bukunya “Bigger Isn't Always Better”, ide
tentang kemenangan kecil ini adalah hal penting. Karena kemenangan awal yang
terbatas lebih berguna untuk tujuan motivasional dibandingkan kemenangan awal
yang lebih besar. Pengelolaan harapan adalah bagian penting dari penciptaan
momentum. Kesuksesan para relawan peserta dalam setiap minggunya adalah
lebih berguna daripada kesuksesan mereka melewati 14 hari kerelawanan.
Di samping itu, dengan jumlah relawan peserta tersisa saat ini yang
berjumlah sekitar 20 orang, para koordinator RMI Jakarta tidak perlu memutuskan
sendiri program berikutnya, namun juga memutuskannya bersama-sama 20 orang
yang telah sukses membuktikan komitmen mereka menjadi relawan.

Mempersiapkan Organisasi
Sebelum proses rekrutmen relawan diteruskan lagi, RMI harus dapat
mempersiapkan internalnya terlebih dahulu.
Apakah mereka mengetahui seberapa pentingnya relawan itu? Bukan
sekedar karena kepedulian mereka terhadap anak-anak panti asuhan sehingga
mereka lalu merekrut dan mempekerjakan para relawan peserta untuk datang ke
panti asuhan.
Apakah para koordinator dan relawan fasilitator yang ada mau membuat
para relawan peserta baru merasa disambut dan dihargai?

Universitas Indonesia
123 
 

Semua orang dalam RMI harus merasa dihargai. Jika relawan peserta yang
lama ataupun relawan fasilitator yang ada merasa dihargai dan diberikan tugas
yang bermakna, mereka akan lebih mudah menerima relawan baru.

Menentukan Kebutuhan akan Relawan


Bidang-bidang yang membutuhkan para relawan harus dikenali. Program-
program yang dipersiapkan juga harus diketahui kebutuhan tugasnya untuk
relawan yang spesifik dan sesuai. Bisa jadi, kompetensi para relawan tersebut
tidak harus disalurkan dengan mengajar anak-anak. Karena untuk mengajar anak-
anak memang harus melalui pelatihan khusus dengan pendekatan pedagogi agar
mereka benar-benar mendapatkan manfaatnya. Motif altruisme atau menunjukkan
kepedulian terhadap orang lain yang kurang beruntung memang penting, namun
memberikan manfaat sehingga mereka terangkat nilai dan kemandiriannya, itu
jauh lebih penting. Selain itu, para relawan peserta juga harus dibantu dalam
mengenali kompetensi mereka agar mereka tidak kalah terangkat nilainya juga,
bukan hanya anak-anak panti asuhannya.

Gambaran Tugas (Job Description) Relawan


Gambaran tugas relawan yang jelas akan membantu RMI untuk berfokus
pada kebutuhannya akan relawan, baik dari segi kebutuhan SDM maupun
kebutuhan pemasaran untuk perekrutan relawan. Sejauh ini, gambaran tugas para
relawan peserta di RMI Jakarta adalah mengajar di panti asuhan sesuai dengan
kompetensi mereka dan kebutuhan di panti asuhan. Namun kondisi anak-anak
yang alaminya dinamis harus membuat mereka lebih siap untuk memiliki
kompetensi yang lain untuk itu. Kecenderungan anak-anak panti asuhan yang
lebih suka kegiatan nonakademis daripada kegiatan akademis tidak boleh
membuat para relawan peserta yang berkompetensi akademis menjadi mundur,
melainkan mereka harus belajar memiliki kompetensi nonakademis juga.

4.3.2. Kemampuan Kerelawanan (Volunteerability)


Meijs et al. (2006a, 2006b) menyatakan bahwa volunteerability dapat
ditingkatkan dengan cara pelatihan bagi para relawan agar dapat melaksanakan

Universitas Indonesia
124 
 

tugasnya ataupun dengan cara perubahan tugas relawan yang sesuai dengan
ketrampilan dan keahlian relawan.
Melalui program mengajar di panti asuhan, pelatihan yang dibutuhkan bagi
para relawan peserta adalah pelatihan pedagogi. Pedagogi adalah ilmu dan seni
mengajar anak-anak.68
Keinginan anak-anak di panti asuhan untuk mengikuti kegiatan non
akademis saja tanpa kegiatan akademis dapat diatasi seandainya para relawan
peserta dapat mengajarkan akademis secara lebih menyenangkan namun mudah
dipahami oleh anak-anak tersebut.
Dalam hal mengembangkan kemampuan dan kecerdasan anak-anak panti
asuhan, para relawan peserta tidak harus mengajarkan kurikulum baku di sekolah.
Armstrong (2004) telah berhasil memunculkan puluhan kiat, strategi, dan contoh
praktis mengajar dengan pendekatan baru berdasarkan teori kecerdasan majemuk
dari Howard Gardner (1993) tentang tujuh kecerdasan manusia – linguistik,
matematik-logis, spasial, kinestetis, musikal, interpersonal, dan intrapersonal.
Selain itu, dapat juga pengajaran ini memberi alternatif kepada pendidikan
kecakapan hidup (life skills) agar anak-anak panti asuhan ini dapat
mengembangkan ketrampilan yang akan dipergunakannya untuk bekerja atau
wirausaha mandiri kelak.

a. Perubahan Perilaku dengan Menjadi Relawan


Misalkan perilaku baru adalah mengikuti kegiatan kerelawanan pada waktu
luang mereka, sedangkan perilaku sekarang adalah menghabiskan waktu luang
tanpa ada kepedulian dan berbagi dengan orang lain. Maka strategi perubahan
perilaku yang dapat diterapkan RMI adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan persepsi B/C(perilaku baru) dengan cara:
• Meningkatkan persepsi keuntungan dari perilaku baru. Caranya
dengan menunjukkan bahwa benefit yang diperoleh dari kegiatan
kerelawanan akan berbanding lurus dengan kesuksesan mereka di
masa depan. Misalkan sikap komitmen, disiplin, luasnya relasi, dan
kesempatan mengikuti program khusus dari Kemenpora. Juga

                                                            
68
Cross (1981) dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI (2007)
Universitas Indonesia
125 
 

kebahagiaan yang mereka dapatkan dengan mengajar anak-anak di


panti asuhan. Benefit langsung seperti publikasi media, insentif
(promosi penjualan) dengan mendapatkan diskon juga akan menarik
mereka.
• Menurunkan persepsi biaya dari perilaku baru. Caranya dengan
mencari panti-panti asuhan baru untuk diajak kerja sama sehingga
semakin banyak relawan yang dekat rumahnya dengan panti asuhan
tersebut. Selain itu, RMI perlu juga melakukan pendekatan terhadap
kelompok-kelompok pelajar, mahasiswa dan perkumpulan anak muda
lainnya sehingga mereka mengikuti kerelawanan secara bersama-
sama. Dengan keikutsertaan mereka dalam program kerelawanan
secara bersama-sama, akan mengurangi penurunan komitmen atau
keengganan datang ke panti asuhan yang jauh jaraknya.
2. Menurunkan persepsi B/C(perilaku sekarang) dengan cara:
• Menurunkan persepsi keuntungan dari perilaku sekarang.
Caranya dengan mengkomunikasikan tentang kondisi dari anak-anak
panti asuhan yang tidak banyak dipedulikan oleh orang lain dan
adanya sekelompok anak muda yang berbeda – mereka meluangkan
waktunya untuk berbagi bersama anak-anak tersebut.
• Meningkatkan persepsi biaya dari perilaku sekarang. Cara ini sulit
untuk diterapkan karena perilaku sekarang dengan menghabiskan
waktu luang tanpa ada kepedulian dan berbagi dengan orang lain
bukanlah merupakan perilaku yang berdampak buruk secara
signifikan, berbeda misalnya dengan perilaku orang yang merokok.

b. Model Determinan Kerelawanan


Relawan Muda Indonesia memfokuskan diri dalam menyebarkan tren anak
muda sebagai relawan. Oleh karena itu, perlu diketahui apa saja yang
mempengaruhi pribadi seorang anak muda menjadi relawan (determinan
kerelawanan).
Menurut Gunarsa (2004), tahapan perkembangan remaja dapat
dikelompokkan sebagai berikut.

Universitas Indonesia
126 
 

12-14 tahun: remaja awal


15-17 tahun: remaja
18-21 tahun: remaja lanjut
Istilah remaja yang masih digunakan bagi “pemuda” atau “anak muda” yang
sudah berumur 18, 19, 20 dan bahkan 21 tahun menunjukkan bahwa mereka
masih pada tahapan peralihan dari dunia remaja ke dunia dewaasa.
Jika pengertian dewasa mengandung berbagai arti, antara lain meliputi:
• kemampuan untuk berdiri sendiri,
• menentukan tindakan sesuai dengan kedewasaanya, dan
• melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang lain,
maka tahapan remaja lanjut ini dapat dianggap belum mencapai dunia dewasa.
Mahasiswa tingkat I, II, dan III belum dianggap “dewasa penuh” (sesuai dengan
umurnya) sekalipun dalam hal-hal lain, misalnya berpikir rasional, objektif,
pengendalian diri, hubungan-hubungan sosial, sudah mencapai tingkat
kedewasaan.
Ciri-ciri perkembangan remaja lanjut ini dapat dilihat dalam tugas-tugas
perkembangan (developmental tasks), yaitu
• Menerima keadaan fisiknya (perubahan fisiologis-organis),
• Memperoleh kebebasan emosional (melepaskan diri dari orang tua),
• Mampu bergaul (baik dengan teman sebaya maupun dengan orang lain yang
berbeda tingkat kematangan sosialnya),
• Menemukan model untuk identifikasi (seorang tokoh untuk ditiru dan
diikuti pengarahannya)
• Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
• Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
(menyesuaikan nilai pribadi dengan norma sosial)
• Meninggalkan reaksi dan cara penyesuaian kekanak-kanakan (mandiri, dan
mulai memikirkan falsafah dan tujuan hidup)
Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa masa remaja lanjut
adalah masa persiapan menuju tahapan perkembangan berikutnya, yaitu masa
dewasa muda.

Universitas Indonesia
127 
 

Dengan menjadi relawan, seorang anak muda diharapkan dapat terbantu


mengatasi transisi tahap kehidupannya (life stage) menuju masa dewasa muda ini.
Kerelawanan dapat membantunya menemukan nilai/keyakinan (values/beliefs)
pribadinya, disesuaikan dengan norma sosial (social norms). Kerelawanan juga
akan memberinya pengalam pribadi (personal experiences). Oleh karena itu, tetap
perlu adanya pendampingan bagi mereka (facilitation) agar mereka dapat melalui
hal ini dengan baik. Kecenderungan fasilitator RMI untuk melepas para relawan
peserta begitu saja harus dikurangi, paling tidak harus tetap ada monitoring dan
membantu mereka dalam mengatasi masalah-masalah sebagai relawan. Dengan
demikian, mereka akan tetap konsisten menjadi relawan dan berikutnya, mereka
mampu melakukan apa saja W.A. Goethe mengingatkan, “If we take people as
they are, we make them worse. If we treat them as they were that ought to be, we
help them become what they are capable of becoming.”69

Gambar 4.20 Model Determinan Kerelawanan


Sumber: Wymer, Walter et al., 2006 (telah diolah kembali)

c. Penataan Kerelawanan
Dalam upaya untuk meningkatkan volunteerability, maka berikut ini hal-hal
yang harus diperhatikan oleh para koordinator pusat RMI dan koordinator RMI
Jakarta.

                                                            
69
Gunarsa, 2004
Universitas Indonesia
128 
 

• Profesionalisme dalam penataan kerelawanan. RMI perlu untuk


mementingkan penataan para relawan agar mereka merasa bahwa semua
aktivitas kerelawanan yang dilakukan benar-benar setimpal dengan
pengorbanan waktu luang dan aktivitas rekreasi mereka. Caranya dengan
selalu meningkatkan benefit yang dapat diberikan bagi para relawan dan
berupaya mencari solusi jika ada permasalahan yang dihadapi oleh para
relawan, baik peserta maupun fasilitator.
• Persepsi jumlah relawan yang ada. Perekrutan calon relawan yang
potensial dapat dilakukan melalui lingkaran terdekat seperti keluarga,
teman, dan tetangga dari para relawan. Dapat juga melalui program
corporate volunteering yang diselenggarakan perusahaan-perusahaan yang
bekerja sama dengan RMI. Oleh karena itu, sangat penting bagi RMI
untuk dapat melakukan pendekatan personal dengan para relawannya,
mengetahui tempat tinggal, kampus, dan tempat kerja mereka.
• Mempertahankan vs Merekrut. Merekrut relawan sebanyak-banyaknya
memang penting, namun mempertahankan relawan yang masih ada jauh
lebih penting. Pengalaman, dedikasi dan komitmen mereka sangat
berharga bagi RMI. Oleh karena itu, perlu adanya apresiasi yang cukup
bagi para relawan yang ada tersebut, tidak sekedar apresiasi lewat Twitter,
namun juga apresiasi yang sifatnya menjadikan mereka sebagai
perwakilan dan bagian penting dari RMI. Menjadikan mereka sebagai
panitia operasional CARENAVAL adalah awalnya. Dapat dilanjutkan
dengan mempercayakan mereka sebagai konseptor program-program dan
sebagai perwakilan RMI yang menjalin kerja sama dengan berbagai pihak.

d. Pemasaran Internal
Bennett (2005) mengemukakan bahwa pemasaran internal digunakan dalam
organisasi kerelawanan untuk meningkatkan volunteerability dengan cara
meningkatkan komitmen dan kepuasan para relawan dalam organisasi agar tetap
bertahan di dalamnya, yaitu menginformasikan, mendidik, mengembangkan dan
memotivasi para relawan untuk dapat bertugas secara lebih efektif.

Universitas Indonesia
129 
 

Bagi RMI, perlu lebih dari sekedar Twitter untuk dapat memotivasi para
relawan. Mereka nyata, orang individual, dan harus diajak bicara secara personal.
Dengan demikian, para relawan peserta akan berbicara satu sama lain tentang
pekerjaan bagus yang dilakukan RMI dan merasa berkontribusi baik terhadap
sesuatu yang lebih besar daripada mereka sendiri (Leroux Miller, 2010).
Begitu juga untuk para “mantan” relawan peserta. Akan lebih baik jika
mereka ditanyakan lagi kontribusi yang dapat mereka berikan. Kerelawanan
daring (online) dapat menjadi salah satu alternatifnya. Hal ini sudah diterapkan
oleh mereka, salah satunya adalah dengan re-tweet, ikut membantu
mempromosikan RMI Jakarta.

Universitas Indonesia
 

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Relawan Muda Indonesia (RMI) adalah suatu komunitas relawan anak muda
yang potensial. Kemunculannya sejak bulan Desember 2011 hingga kini
merupakan bukti bahwa jiwa kepedulian belum mati dari para pemuda di
Indonesia. Meski RMI ini baru berjalan hampir 8 bulan, penelitian ini mencoba
untuk menganalisis komunitas ini mengingat tingkat urgensinya. Bahwa baru 1
tahun RMI berjalan dengan pilot project di 5 kota besar, pada tahun berikutnya
(2013), RMI sudah harus tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Apalagi
dapat dikatakan pula bahwa penelitian tentang kerelawanan pemuda di Indonesia
masih sangat sedikit, sementara isu kerelawanan pemuda yang telah digariskan
dalam UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan dan Rencana Strategis
Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun 2010-2014 menjadi sangat mendesak
untuk diaplikasikan.
Namun, seperti dikatakan oleh Kotler, 1970 (dalam Haski-Leventhal dan
Meijs, 2010) “hal menarik tentang pemasaran adalah bahwa semua organisasi
melakukannya meskipun mereka mengetahuinya ataupun tidak.” Hal ini berlaku
pula bagi RMI, suatu organisasi yang masih belia. Strategi pemasaran telah
digunakan meskipun tidak diketahui olehnya, ataupun meski tidak ada struktur
organisasi atau tim yang secara khusus bertanggung jawab terhadap
pemasarannya.
Berdasarkan analisis pada Bab IV di atas, hanya tiga dari delapan strategi
pemasaran sosial Boehm (2009) yang dijalankan oleh RMI, yaitu
1. Mengurangi biaya untuk mendorong orang mau menjadi relawan.
2. Menentukan tempat yang layak dan cukup bagi kegiatan kerelawanan.
3. Menentukan kerelawanan sebagai produk sosial untuk mengubah perilaku
atau sikap.
Sedangkan dari tujuh langkah perencanaan pemasaran sosial yang
dikembangkan oleh Wymer (2006), diperoleh pula bahwa RMI hanya berhasil

130 Universitas Indonesia


131 
 

mengembangkan langkah ke-4, yaitu mengembangkan strategi bauran pemasaran.


Itupun belum dijalankan sebagai sebuah strategi pemasaran terhadap yang spesifik
terhadap kelompok-kelompok segmen anak muda.
Dari strategi RMI di atas, ternyata RMI telah melakukan pendekatan
pemasaran sosial dalam melakukan perekrutan para relawan, meskipun RMI tidak
mengetahuinya. Hanya saja, strategi pemasaran sosial yang dilakukan baru sebatas
strategi bauran pemasaran yang berdiri masing-masing, belum ada langkah-
langkah yang terintegrasi.
Oleh karena itu, penulis merekomendasikan strategi pemasaran sosial yang
dapat meningkatkan kemampuan merekrut (recruitability) dan kemampuan
kerelawanan (volunteerability) RMI.
Ada tiga komponen dalam recruitability menurut Haski-Leventhal dan
Meijs (2010), yaitu kemudahan akses, sumber daya, jaringan dan kerja sama.
Semuanya akan lebih meningkat jika rencana Kemenpora untuk menyebarkan
RMI ke 33 provinsi benar-benar dijalankan. Tinggal bagaimana RMI dapat
mempersiapkan diri, termasuk dengan menjalankan strategi pemasaran seperti
segmentasi dan positioning dan membentuk badan hukum seperti yayasan agar
dapat melakukan kerja sama dan sosialisasi dengan lebih mudah.
Volunteerability dapat ditingkatkan dengan cara memberikan pelatihan
mengajar bagi para relawan agar dapat melaksanakan tugasnya. Selain itu,
perubahan perilaku yang diharapkan dari para relawan juga dapat dilakukan
dengan strategi meningkatkan rasio biaya dan benefit dari perilaku baru dan
menurunkan rasio biaya dan benefit dari perilaku sekarang. Dengan mengetahui
tahapan perkembangan anak muda, dapat pula diketahui apa yang menjadi
determinan anak muda untuk menjadi relawan. Selain itu, penataan kerelawanan
harus memperhatikan profesionalisme, persepsi jumlah relawan yang ada, dan
memprioritaskan mempertahankan relawan yang masih ada daripada merekrut
relawan yang baru. Dengan meningkatkan komitmen dan kepuasan para relawan,
diharapkan para relawan yang ada dapat bertahan di dalam RMI.

Universitas Indonesia
132 
 

5.2 Saran
Sesuai analisis di atas, berikut ini adalah beberapa saran bagi RMI agar
dapat meningkatkan kemampuan RMI dalam hal merekrut (recruitability) dan
kemampuan kerelawanan (volunteerability).
Peningkatan kemampuan merekrut (recruitability):
• program 14 hari tidak perlu dikomunikasikan untuk merekrut para relawan,
cukup untuk kepentingan evaluasi dan monitoring;
• pesan yang dikomunikasikan adalah tentang menjadi relawan, berbagi
bersama anak-anak panti asuhan cukup selama 2 jam per pekan;
• pengadaan seminar atau focus group discussion (FGD) untuk menciptakan
lingkungan bagi penyebaran virus ide kerelawanan;
• segmentasi calon relawan dan melakukan pendekatan langsung dengan
menanyakan kepada anak muda kesediaan mereka untuk menjadi relawan;
• daripada promosi yang menjual kegiatan, lebih baik berfokus
mengkomunikasikan benefit dan nilai yang diperoleh para relawan.
Peningkatan kemampuan kerelawanan (Volunteerability):
• bantuan kepada para relawan peserta dalam mengenali kompetensi mereka
dan pemberian pelatihan-pelatihan mengajar;
• monitoring dan bantuan fasilitator kepada para relawan peserta;
Saran-saran kepada Kemenpora agar program kerelawanan pemuda ini
berjalan dengan baik:
• apresiasi kepada para relawan peserta agar mereka memahami dukungan
Kemenpora dan benefit yang mereka dapatkan dari Kemenpora dan RMI;
• tinjauan program mana yang terbaik dari 5 kota pilot project RMI dan
pembenahan struktur organisasi dalam RMI, namun tetap dalam pendekatan
dan komunikasi yang baik kepada para koordinator dan fasilitatornya.
Saran-saran lain terkait dengan akademis, adalah seperti berikut.
• perlu adanya penelitian tentang data statistik kerelawanan pemuda;
• perlu diperbanyaknya buku-buku bidang kerelawanan di Indonesia yang
membahas tentang bagaimana merekrut dan memelihara relawan sehingga
akan semakin banyak organisasi kerelawanan yang berhasil dalam
tujuannya.
Universitas Indonesia
133 
 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alston, Margaret dan Wendy Bowles. Research for Social Workers: An


Introduction to Methods. Routledge, 2003

Armstrong, Thomas. Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di


Dunia Pendidikan. Terj. Yudhi Murtanto. Bandung: Kaifa, cet.ke-3, 2004.
Terj. dari Multiple Intelligences in the Classroom – 2nd edition, 2000.

Azra, Azyumardi, Dari Harvard sampai Mekkah. Jakarta: Penerbit Republika,


2005.

Bray, Ilona. Effective Fundraising for Nonprofits: Real-World Strategies That


Work. Berkeley: Nolo, 2005.

Daw, Jocelyne et al. Breakthrough Nonprofit Branding: Seven Principles to


Power Extraordinary Results, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc, 2011.

Gladwell, Malcolm. The Tipping Point: How Little Things Can Make A Big
Difference, Boston: Little, Brown and Company, 2000.

Griffiths, Andrew. 101 Ways to Market Your Business: Building a Successful


Business with Creative Marketing. New South Wales: Allen & Unwin, 2006.

Gunarsa, Singgih. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta:


Gunung Mulia, 2008.

Gutsche, Jeremy. Exploiting Chaos: 150 Jurus Pelacak Tren dan Pemicu Inovasi.
Jakarta: Gamedia, 2009.

Hasanuddin et al. Anxieties/Desires: 90 Insights for Marketing to Youth, Women,


Netizen. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Kartajaya, Hermawan. Seri 9 Elemen Marketing: Hermawan Kartajaya On


Positioning, Jakarta: Mizan Pustaka, 2004.

Katsirikou, Anthi dan Christos H. Skiadas. Qualitative and Quantitative Methods


in Libraries: Theory and Applications. Singapore: World Scientific Publishing
Co. Pte. Ltd., 2010.
Universitas Indonesia
134 
 

Kidder, Louise dan Charles M. Judd.. Research Methods in Social Relations, 6th
edition. New York: Holt Rinehart & Winston, 1991.

Leroux Miller, Kivi. The Nonprofit Marketing Guide: High-Impact, Low-Cost


Ways to Build Support for Your Good Cause, New Jersey: John Wiley & Sons,
Inc, 2010

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2010.

Pranowo, M. Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. Jakarta: Pustaka


Alvabet, 2010.

Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik, dan Keunggulannya.


Jakarta: Grasindo, 2010.

Rochester, Colin et al. Volunteering and Society in the 21st Century. New York:
Palgrave Macmillan, 2010.

Savitri, Nurani Galuh. Panduan Manajemen Kerelawanan: Teknik dan Kiat


Sukses Mengelola Program Kerelawanan. Depok: Piramedia, 2005.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian
2. Pendidikan Praktis. Jakarta: Grasindo, 2007.

Tomasko, Robert. Bigger Isn't Always Better: Inspirasi Sukses Para Pemimpin
Bisnis untuk Menang dalam Persaingan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian Sosial.


Jakarta: Bumi Aksara 2008.

Wymer, Walter et al. Nonprofit Marketing: Marketing Management for


Charitable and Nongovernmental Organizations, Thousand Oaks: SAGE
Publications, 2006.

Universitas Indonesia
135 
 

Jurnal

Haski-Leventhal, Debbie dan Lucas C. P. M. Meijs, The Volunteer Matrix:


Positioning of Volunteer Organizations, International Journal of Nonprofit and
Voluntary Sector Marketing, Int. J. Nonprofit Volunt. Sect. Mark, 2010

<http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/nvsm.406/pdf>

Boehm, Amnon. Applying Social Marketing in the Development of a Volunteer


Program, Social Marketing Quarterly, 15:3, 67-84, 2009

<http://dx.doi.org/10.1080/15245000903131376>

Tesis

Kaniati, Nia Dewi. Peran Pengasuhan Orang Tua dan Keberagamaan pada
Perilaku Altruistik Remaja: Pendekatan Studi Kasus pada Relawan Remaja,
Depok: Universitas Indonesia, 2006.

Majalah

Marketeers. “Kemana Saja Uang Konsumen Anak Muda?”. Jakarta, edisi Mei
2012.

Artkel di Website

Zanetta, Amelia. “Hello. May I Help You? I’m a Volunteer” Kompasiana. 26 Des.
2011 <http://unik.kompasiana.com/2011/12/26/hello-may-i-help-you-im-a-
volunteer/>

Buku Online

Godin, Seth. Unleashing the Ideavirus. Do You Zoom, Inc., 2000.

< http://www.sethgodin.com/ideavirus/01-getit.html>

Universitas Indonesia
136 
 

Laporan Online

Kementerian Pemuda dan Olahraga. Penyajian Data & Informasi Statistik


Kepemudaan 2010, Jakarta: 2010.

< http://kemenpora.go.id/index/page/statistik/1>

The Corporation for National and Community Service. Fact Sheet on “Youth
Helping America: The Role of Social Institutions in Teen Volunteering". New
York, November 2005.

<http://www.nationalservice.gov/pdf/05_1130_LSA_YHA_SI_factsheet.pdf>

___________. Youth Helping America Series. Building Active Citizens: The Role
of Social Institutions in Teen Volunteering". New York, November 2005.

< http://www.nationalservice.gov/pdf/05_1130_LSA_YHA_study.pdf>

United Nations Volunteers, State of the World’s Volunteerism Report 2011:


Universal Values for Global Well-being, United Nations Volunteers, 2011

<www.unv.org/en/swvr2011.html>

Universitas Indonesia
137 
 
 
Lampiran I: Pedoman Wawancara

 
Koordinator Pusat
1. Apa tujuan RMI dibentuk?
2. Apa manfaat dari RMI?
3. Bagaimana tujuan & manfaat RMI ini dikomunikasikan untuk menarik peserta?
4. Mengapa kegiatan RMI dikonsepkan hanya 14 hari dengan waktu luang, tempat
dan jenis kegiatan yang ditentukan oleh peserta sendiri?
5. Dengan konsep seperti ini, apa yang menjadi biaya/pengorbanan peserta dalam
mengikuti kegiatan RMI?
6. Perubahan perilaku seperti apa yang diharapkan dari peserta pada saat atau setelah
mengikuti RMI? Bagaimana cara mengetahuinya?
7. Bagaimana struktur organisasi dari RMI? Apakah ada yang khusus menangani
pemasaran/ perekrutan relawan peserta (arah: recruitability), dan pemeliharaan
relawan fasilitator (arah: volunteerability)?
8. Bagaimana perencanaan dalam memasarkan/mempromosikan RMI? Berapa
anggarannya? Bagaimana pula pelaksanaannya?
9. Apa media & strategi dalam mempromosikan RMI? Apa pula pesan promosinya?
1. Apakah sudah ada pembagian segmen anak muda yang menjadi sasaran RMI? Lalu
strategi untuk semua segmen tersebut bagaimana?
10. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kampanye dari dalam maupun dari
luar RMI?
11. Di antara banyaknya kompetitor seperti ekskul sekolah, komunitas atau organisasi
pemuda/pelajar lain, bagaimana RMI memposisikan diri terhadap anak muda?
12. Bagaimana cara RMI agar para relawan peserta dan fasilitator betah di RMI?
13. RMI baru ada di 5 kota besar. Apakah RMI hanya cocok untuk kota-kota
besar?Apakah ada rencana untuk ekspansi ke kota-kota lain?
14. Apakah ada strategi dan program-program khusus untuk RMI di setiap kota besar
tersebut?
15. Sejauh ini, bagaimana perkembangan jumlah relawan yang mendaftar dan
mengikuti kegiatan RMI?
16. Bagaimana mengetahui bahwa program RMI telah sukses dijalankan? Apa
parameternya?

Universitas Indonesia
138 
 
 
(Lanjutan)

 
Koordinator Wilayah Jakarta
1. Apa saja yang menjadi bidang garapan RMI Jakarta, misal perekrutan peserta,
perencanaan dan pelaksanaan program, dll?
2. Apakah ada program-program khusus untuk RMI Jakarta dibandingkan RMI di
kota-kota lain?
3. Apakah latar belakang atau alasan RMI Jakarta mengadakan kegiatan di PA Esa
Sasana Surya (Duren Sawit), PA Ulul Ilmi (Cibubur), Yayasan Remaja Masa
Depan/PA Tebet (Tebet), dan Komunitas Anak Jalanan?
4. Apakah ada rencana RMI Jakarta untuk mengadakan kegiatan di tempat-tempat
lain?
5. Bagaimana perencanaan dalam memasarkan/mempromosikan RMI Jakarta? Berapa
anggarannya? Bagaimana pula pelaksanaannya?
6. Apa media dalam mempromosikan RMI Jakarta? Apa pula pesan promosinya?
7. Apakah sudah ada pembagian segmen anak muda yang menjadi sasaran RMI
Jakarta? Lalu strategi untuk semua segmen tersebut bagaimana?
8. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan program-program RMI Jakarta?
9. Di antara banyaknya kompetitor seperti ekskul sekolah, komunitas atau organisasi
pemuda/pelajar lain, bagaimana RMI Jakarta memposisikan diri terhadap anak
muda Jakarta?
10. Bagaimana cara RMI Jakarta agar para relawan peserta dan fasilitator betah di RMI
Jakarta?
11. Sejauh ini, bagaimana perkembangan jumlah relawan yang mendaftar dan
mengikuti kegiatan RMI Jakarta?
12. Bagaimana mengetahui bahwa program RMI Jakarta telah sukses dijalankan? Apa
parameternya?

Universitas Indonesia
139 
 
 
(Lanjutan)

 
Relawan Fasilitator
1. Darimana mengetahui tentang RMI?
2. Mengapa mengikut program RMI? Ikut sendiri atau bersama-sama teman?
3. Apakah sudah paham tentang konsep kerelawanan?
4. Apakah sudah paham tentang tujuan dari RMI ini sendiri?
5. Apa motivasi yang mendorong untuk tetap mengikuti program RMI? Semangat
untuk peduli terhadap orang lain? Atau ada manfaat/benefit lain yang dianggap
menarik? Misal untuk meningkatkan prospek kerja?
6. Apakah ada penjelasan tentang peranan & job desc sebagai fasilitator?
7. Apakah ada apresiasi terhadap apa yang dilakukan? Dari RMI? Dari teman? Dari
keluarga? Dari sekolah? Apa bentuknya?
8. Apa biaya/pengorbanan yang telah diberikan? Waktu, keuangan, kelelahan fisik,
ketidaknyamanan psikologis, reaksi sosial?
9. Apa perubahan yang dirasakan setelah mengikuti program RMI sebagai peserta?
Apa pula perubahan yang dirasakan pada saat mengikuti program RMI sebagai
fasilitator?

Universitas Indonesia
140 
 
 
(Lanjutan)

 
Relawan Peserta
1. Darimana mengetahui tentang RMI?
2. Mengapa mengikut program RMI? Ikut sendiri atau bersama-sama teman?
3. Apakah sudah paham tentang konsep kerelawanan?
4. Apakah sudah paham tentang tujuan dari RMI ini sendiri?
5. Apa motivasi yang mendorong untuk mengikuti program RMI? Semangat untuk
peduli terhadap orang lain? Atau ada manfaat/benefit lain yang dianggap menarik?
Misal untuk meningkatkan prospek kerja?
6. Apakah ada penjelasan tentang peranan & job desc sebelum diterjunkan ke lokasi?
7. Apakah ada apresiasi terhadap apa yang dilakukan? Dari RMI? Dari teman? Dari
keluarga? Dari sekolah? Apa bentuknya?
8. Apakah kegiatan mereka diunggah ke facebook, twitter? Bagaimana komentar-
komentarnya?
9. Apa biaya/pengorbanan yang telah diberikan? Waktu, keuangan, kelelahan fisik,
ketidaknyamanan psikologis, reaksi sosial?
10. Apakah lokasi jauh dari rumah? Bagaimana transportasinya? Aman, nyaman?
11. Apa persepsi tentang kondisi lokasi dan tugas kerelawanannya? Ada keluhan?
12. Apa perubahan yang dirasakan pada saat mengikuti program RMI?

Universitas Indonesia
141 
 
 
Lampiran II: Hasil Wawancara

 
Informan : Amelia Zanetta (koordinator RMI Jakarta)
Tempat : J-Co Senayan City
Hari/Tanggal : Selasa/12 Juni 2012
Waktu : Pukul 10.30 – 11.39 WIB

Bagaimana ceritanya awal mula bergabung dengan RMI?


Ceritanya waktu itu ditawarin sama koordinator RMI-nya langsung, Misbah.
Beliau itu koordinator Jakarta sekaligus temen sekampus. Nah jadi, iya senior di
kampus. Terus dia cerita ada program ini ini ini tentang RMI. Aku bilang... jadi
fasilitator tertarik atau nggak. Terus aku bilang OK, boleh. Terus udah mulai dari
situ baru kita sama-sama sesama fasilitator yang lain ngumpul bikin program.
Gitu awalnya... program, perekrutan…

Sebelumnya pernah ikut program kerelawanan?


Iya, pernah, jadi yang para fasilitator ini begitu kita nyari panti asuhan, komunitas
anak jalanan, dari kita nyari rekrut relawan, tiba-tiba kita jadi pengen aja. Pas kita
nemu panti asuhan yang pas...ah gue pengen ngajar... akhirnya kita pada mencar-
mencar ngajarnya. Ada yang di Tebet, kalau aku yang di komunitas anak jalanan
Grogol. Gitu...

Kalau sekarang, mbak Netta jadi koordinator di RMI Jakarta?


Berdua sama Misbah, sama-sama di Jakarta.

Pembagian tugasnya?
Abu-abu sih kalau pembagian tugasnya. Jadi rata-rata kita kerjainnya bareng-
bareng, justru... Bareng-bareng ngerjainnya...

Ada struktur secara formal?


Kalau struktur fasilitator secara formal, nggak... kita nggak gitu. Jadi kita
misalnya berempat, empat fasilitator, aku, Misbah, Agung, Arnald. Kita ngumpul,
terus kita harus gimana nih, kita harus gini gini gini langsung kita bagi tugas ya...
berhubung kita satu kampus semuanya jadi pas ketemu di kampus aja...

Kalau sekarang bagaimana? Jarang ke kampus?


Jarang ke kampus, jadi, aku banyak mendelegasikan tugas aku ke temen-temen
yang lain.
Kemudian…

Kalau yang digarap RMI Jakarta apa? Rekrutmen itu dilakukan RMI
Jakarta atau pusat?
Rekrutmen itu per wilayah...

Biasanya pakai apa?


Karena kita targetnya anak muda, apa yang lagi dipake anak muda sekarang?
Twitter? Kita pake Twitter...

Universitas Indonesia
142 
 
 
(Lanjutan)

 
Tapi beda ya akun Twitter-nya dengan pusat?
Sama, sih. RMI satu: @relawan_muda.

Tapi nanti dibaginya per wilayah?


Ya, nanti misalnya ada yang nanya ke webnya,saya mau daftar, nanti admin,
bukan web… Twitter… bakal nanya balik. Kamu tinggal di mana. Kalau kamu di
Jakarta bisa hubungin ini, kalau kamu di Lampung bisa hubungi ini, gitu...
Lewat account Twitter juga. Nanti kita yang si.. web…admin Twitter itu dia bakal
langsung dah punya contact fasilitator kan? Per kota… nanti dia langsung
hubungin…ini ada yang mau daftar, namanya ini, gitu…

Apakah RMI Jakarta ada program khusus? Misalnya RMI Lampung


program menanam kopi? Ini sesuai kebutuhan atau keinginan?
Sesuai kebutuhan sebenernya. Kalau kayak tadi, kalau Jogja kalau aku nggak
salah itu dia bikin ini ya pompa air apa, ya kan… di desa. Sesuai kebutuhan…
Jadi dari hasil obrolan para fasilitator, apa sih masalah yang paling penting di
Jakarta? Sebenernya masalah penting di semua wilayah. Tapi menurut kita, apa
sih yang lebih seksi sekarang? Indonesia mengajar tadi kata mas Teguh kan?
Terus kita terinspirasi dari situ, kenapa kita nggak ngajar aja? Gitu… tapi lebih
difleksibelinlah ngajarnya nggak cuman formal tapi juga ada nonformal lebih ke
sesuatu yang anak-anak muda suka lakuin. Mereka suka musik ya mereka ngajarin
musik supaya nggak ada beban.

Apakah pernah bertanya ke anak-anak muda di Jakarta, misal seribu


orang?
Belum. Kita belum pernah nanya ke situ.

Kalau sekarang program RMI Jakarta adalah mengajar di panti asuhan dan
komunitas anak jalanan. Berarti akan ada kemungkinan program selain itu?
Akan ada memang. Kita pengen ngembangin ke hal-hal yang lain. Kalau aku sih
sama temen-temen lain udah mikirin gimana kalau kita bikin… kalau kayak
ngajar itu nggak mungkin cuma 1 hari, nggak mungkin cuma 1 bulan. Pasti
panjang. Kita tuh mikirin gimana kita bisa bikin program yang cuman 1 hari aja,
accidental. Misalnya kita seminggu kita ngumpulin, kita taruh dropbox di tempat-
tempat yang strategis supaya orang bisa nyumbang buku di sana. Nanti pada akhir
minggu kita kumpulin semua dropbox-nya, mungkin bisa kita jual, uangnya kita
bisa donasiin, atau bukunya langsung bisa kita donasiin. Lebih ke accidental kan?
Lebih cepet. Aku sih pengennya gitu untuk berikutnya.

Ada latar belakang empat panti asuhan dan komunitas jalanan yang menjadi
tempat kegiatan RMI Jakarta?
Sebenernya hasil seleksi alam (tertawa). Tadinya ada 10, ber 12 bahkan. Kita
observasi dulu, kan. Observasi tempat. Kita lihat data lokasi panti asuhan dari data
Kemensos di internet, kita cetak, kita bagi-bagiin ke semua fasilitator terus kita
lihat kira-kira, kita pilih aja, kita bagi-bagi siapa yang ngecek keJakarta mana

Universitas Indonesia
143 
 
 
(Lanjutan)

 
siapa siapa siapa gitu kan. Dah dibagi pembagian tugasnya, terus kita tawarin
ceritain tentang RMI. Ini gini RMI tuh gini. Visi kita kayak gini, ini kita mau
lakukan, ini konsep programnya. Ternyata ada yang menolak, misalnya ada yang
well nggak dikasih tahuin secara langsung sih… cuman dia kayak seperti kita
kayaknya lebih memilih bantuan materi. Kayak gitu. Jadi kita mau nggak mau
harus mundur dong. Terus, ada juga yang tempatnya sudah setuju, tapi
relawannya nggak pernah muncul. Kayak di daerah… Tebet. Tebet itu agak susah.
Tempatnya welcome… yayasan Remaja Masa Depan. Panti asuhan Tebet. Tapi
relawannya relawannya jadi susah, padahal tempatnya terbuka, welcome banget.
Ada yang pengurus panti asuhannya justru nggak mau ada orang luar. Dia
bilang,”Saya khawatir yang namanya relawan itu dateng cuma kongkow-kongkow
aja di sini”. Dan galak banget bapak itu, jadi relawannya takut. Gitu…

Observasinya bulan apa? Sebelum atau sesudah launching?


Dari Desember 24, launching program. Setelah itu, setelah launching.

Sesudah para relawan dikumpulkan di TIM?


Di TIM… sebelum itu. Jadi TIM itu udah lama banget. Jadi observasi udah lama
sebelum itu.

Hasil observasi masih ada?


Nggak kita nggak nyatet. Jadi kita cuma nyiapin satu surat endorsement atas nama
RMI. Pas kita dateng ke penanggung jawab panti, kita kasih surat endorsement-
nya, mereka baca. Kayak gitu aja…udah…

Ada surat formal dari RMI? Pakai tandatangan?


Justru kalau tandatangan itu, kayak di panti asuhan Duren Sawit itu nggak mau
tandatangan. Kalau mau dateng, dateng aja. Dia masih abu-abu sih. Kalau mau
dateng silakan dateng, tapi saya nggak mau tandatangan ini, dan gak usah terikat
berapa bulan, dia bilang…

Kalau panti asuhan yang lain, terikatnya berapa lama?


Setelah sampai program ini selesai, bulan Juni ini harusnya.

Berarti ada semacam surat kontrak?


Surat itu yang kita bikin yang RMI itu, ada. Terus yang tandatangannya itu,
kayaknya kita yang pegang deh.
Boleh nanti, aku minta tolong. Itu pun aku nggak inget. Aku lupa siapa yang
megang. Tapi nggak semua panti akhirnya kita kasih surat endorsement itu. Ada
beberapa panti yang cuman akhirnya kita ngobrol aja, nggak pake surat.

Kalau mau dibuat program yang seperti itu, prosesnya sama?


Observasi dulu, berjalan paralel dengan perekrutan… beda lagi mungkin
caranya…

Universitas Indonesia
144 
 
 
(Lanjutan)

 
Promosi lewat twitter apakah sudah ada rencananya sebelumnya? Misalnya
ada langkah kesatu, kedua… atau karena twitter yang sedang ngetren?
Iya, seperti itu. Yang kedua. Kita lihat apa yang lagi ngetren, dan apa yang lebih
efisien. Cara yang efisien untuk nyampein ke anak-anak muda ini.

Artinya tidak pernah ada rencana langkah-langkah promosi?


Oh nggak. Kita nggak begitu.

Bagaimana dengan evaluasi twitter-nya? Misalnya jumlah follower twitter-


nya.
Kita ngebahas lebih ke gimana caranya biar account twitter kita itu eye catching.
Entah itu kita siapin kata-kata kutipan-kutipan bagus. Gitu. Jadi kan supaya orang
ngelihat…

Sekarang ada berapa jumlah follower twitter-nya?


Ada 400. 500-an.

Jadi media promosinya lewat twitter. Ada lagi yang lain?


Twitter, website, kalau facebook udah jarang banget. Memang ada facebook, kita
punya. Cuman itu dia, jarang banget yang ngelihat.

Apakah juga ada sosialisasi ke kampus-kampus, sekolah-sekolah?


Nggak, kalau cara paling gampang mendekati mahasiswa itu, bukan lewat
kampusnya, tapi langsung ke mahasiswanya ya pake twitter, kecuali kalau SMA

Pakai BBM juga pernah?


BBM, iya BBM pernah. Yang dikirim itu, broadcast message.

Tanggal 30 Juni ada Carenaval. Bagaimana dengan promosinya?


Carenaval itu promosinya tetep kita lewat twitter, justru lewat gencar lagi lewat
blackberry messenger, tapi sekarang lebih banyak orangnya, jadi nggak cuman
fasilitator yang promosi, tapi juga relawannya. Karena relawannya kita kumpul
jadi panitia. Panitia Carenaval.

Jadi semua pihak terlibat?


Iya, diharapkan sih diharapkan marketingnya lebih rame.

Pesannya bagaimana, dalam mempromosikan RMI Jakarta? Misalnya, “


Ayo jadi relawan!”
Nggak, mungkin lebih baik kalau kita jangan kayak gitu kali ya. Jangan .. yang
nggak ayoo,…jadi ini … kita lebih ke dengan menceritakan aktivitas kita. Dan
dibikin seseru mungkin kalimatnya, dibahasakan semenarik mungkin. Aku sering
denger banget dari relawan, “Kak aku pengen masuk ke Relawan Muda Indonesia,
dong. Aku sering lihat twitternya, kayaknya seru banget, gitu. Kita nggak ngajak

Universitas Indonesia
145 
 
 
(Lanjutan)

 
mereka ayo masuk, nggak, kita cerita. Kita abis gini, kita abis gini, kita abis
gini… terus mereka jadi tertarik sendiri, itu apa sih?

Jadi lebih banyak promosi tentang kegiatannya?


Kegiatannya.

Apakah ada segmentasi anak muda dalam mempromosikan RMI Jakarta?


Nggak, langsung relawan semua. Begitu lu tertarik, lu dianggap jadi relawan.
Nggak. Jelas, nggak ada. Kalau bisa sih nggak usah.

Soalnya meski RMI inginnya semua, tapi kenyataannya ada segmentasi.


Iya, bener sih. Bener…

Kalau ada seperti itu, bagaimana?


Kita tuh justru gimana ya… apa kita nggak memperhatikan ke sana ya?

Belum terpikirkan?
Mungkin sih, mungkin…

Kegiatannya setiap minggu sekali?


Seminggu sekali, weekend. Kalau nggak sabtu, minggu.

Itu semua tempat panti asuhan dan komunitas anak jalanan?


Iya, bener.

Relawannya ganti-ganti?
Mereka per tim sih, jadi misalnya tiap hari minggu satu kelompok ini dateng ke
sana gitu rame-rame. Jadi kan satu kelompok ini kan nggak bisa hadir semuanya
juga.

Ada berapa orang?


Beda-beda. Kalau di daerah Duren Sawit, itu ada nyampe 15, tapi ada yang kena
seleksi alam. Tau-tau ilang, gitu… tapi ntar ada lagi yang baru, gitu…

Hambatannya apa?
Hambatannya waktu dan kayaknya kita semua tahu deh kalau jadi relawan itu,
relawan itu harus settle secara materi. Karena kita kan nggak mungkin juga
ngebantu orang ketika kita sendiri juga susah, gitu. Jadi rata-rata yang ikut itu
biasanya yang secara keluarganya berkecukupan.

Pernah menanyakannya?
Nggak pernah nanyain, cuman saya merhatiin aja. Rata-rata pasti punya
kendaraan pribadi. Entah itu motor, entah itu apa, ya kan? Dan mereka semangat,
misal dari Bekasi dateng buat panitia Carenaval dimana seminggu bisa nyampe
dua kali pertemua. Itu kan lumayan juga berkorban waktu, berkorban biaya.

Universitas Indonesia
146 
 
 
(Lanjutan)

 
Ada lagi hambatannya?
Ini sih, komitmen. Komitmennya relawan. Kadang, kayak di Tebet, anak-anaknya
tuh semangat banget. Kalau kita bilang, kita nanti dateng jam 1, itu mereka jam 1
kurang 15 udah pada pakaian. Udah pada siap. Tapi terus tiba-tiba nggak muncul,
itu mereka kecewa banget. Besok telat 15 menit aja, aku ngajar, aku sempet ngajar
di sana, aku telat setengah jam karena kebetulan aku kurang tahu daerah situ,
kemarin-kemarin naik motor terus sama temen. Terus pas aku telat setengah jam,
mereka cemberut, terus, “Kakak ke mana sih? Telat setengah jam.” Nah itu,
kadang ada anak-anaknya yang nggak semangat, relawannya semangat. Anak-
anaknya udah pada males-malesan, gitu… susah nemu yang dua-duanya
semangat.

Apakah biasanya relawan itu datang dengan perjanjian dulu atau waktunya
memang sudah rutin?
Iya itu, udah dibikin perjanjian. Jadi, tahapnya kan gini. Pertama kita observasi,
observasi tempat, tempat udah fix, perekrutan. Ngumpulin semua relawan,
direkrut, diceritain tentang RMI-nya. Udah selesai. Terus setelah dibagi per tim,
ketua tim berdasarkan panti asuhan, si ketua tim ini tugasnya mengumpulkan
relawan yang memilih tempat ini. Tempat Duren Sawit, misalnya. Siapa yang
memilih Duren Sawit. Sepuluh orang. Ngumpul, mereka janjian, jadi kelompok
kecil kan?

Jadi mereka mengadakan perjanjian sesama kelompoknya mereka dulu?


Misalnya kelompok Duren Sawit janjian. Ayo kita pertemuan pertama,
kunjungan pertama ke panti asuhan Duren Sawit. Dari kunjungan pertama itu
kenalan, anak panti sama relawan. Udah kenalan, ya udah, terus janjian waktu.
Apa aja yang mau diajarin.

Waktunya fix atau berubah-ubah?


Dibikin fix. Kecuali kalau ada kegiatan dadakan, misalkan.

Jadi setiap panti dan komunitas itu berbeda-beda waktunya?


Iya, menyesuaikan waktunya. Siang sampai sore. Pagi nggak ada.

Bagaimana RMI Jakarta menempatkan dirinya di mana di antara anak


muda? Misalnya RMI lebih memberikan yang lain dibandingkan ekskul?
Kalau kita mengatakan seperti itu ke relawan atau pihak sekolah, nggak pernah.
Kita lebih menawarkan, ini lho, kami komunitas, kami mau ini, komunitas kami
seperti ini, gitu.

Pernah mengatakan, daripada kamu tidak jelas di mall, lebih baik ikut
kami?
Itu pernah, tapi nggak segamblang itu juga ngomongnya. Kita cuma bilang, kalian
kan punya waktu 10 jam seminggu untuk di mall. Gimana kalau 3 jam dari 10 jam

Universitas Indonesia
147 
 
 
(Lanjutan)

 
itu dikasih untuk berbagi ke temen-temen kita yang nggak beruntung? Ekskul kali
ya, masuknya ke ekskul. Ekskul sosial.

Ada anak SMA?


Anak SMA ada. SMA 78.

Ada cara para peserta relawan itu tetap komitmen, tetap betah di RMI?
Sebenernya itu kita juga masih jadi tanda tanya besar. Semua relawan yang masih
bertahan sampai sekarang, yang sekarang menjadi panitia Carenaval, itu kenapa
kita jadiin mereka panitia, karena kita pengen mereka terlibat langsung. Karena
setelah beberapa bulan, yang lain pada kena seleksi alam, tiba-tiba mundur,
mereka-mereka ini masih bertahan, kan? Akhirnya ayolah kita harus ngelibatin
mereka. Buktinya mereka masih bertahan. Kita kasih mereka bagian besar dari
RMI, jadi panitia Carenaval.

Carenaval itu nanti Pak Menpora datang juga?


Belum tahu.

Pernah disampaikan, mau tidak menggarap event skala nasional yang


dihadiri Pak Menteri?
Itu pasti mereka lebih seneng lagi. Tapi belum.

Yang jelas RMI mau mengadakan Carenaval, seperti itu?


Lagi progress sih sekarang.

Carenaval dari RMI Jakarta saja?


Carenaval Jakarta aja. Produk Jakarta aja.

RMI dari daerah lain mau mengadakan Carenaval?


Kayaknya aku belum denger mereka mau ngadain.

Panitianya ada berapa orang? Sebelumnya yang mendaftar jadi relawan


berapa?
Sekitar 20. Sebelumnya 87.

Ada perlakuan untuk mereka selain dijadikan panitia?


Mereka jadi gini sih. Misalnya mereka kelompok relawan panti asuhan Tebet.
Mereka dikasih pegang kendali. Mereka mau ngapain. Gitu. Lebih diberikan
kebebasan. Sesuka mereka. Jadi wilayah mereka. Kita cuman membantu aja.
Karena kita lihat sih, mereka justru seneng digituin. Kalau misalnya didikte jadi
nggak bebas, kan? Kalau kita kasih kebebasan, mereka jadi kayak punya rasa
memiliki. Nah itu yang bikin mereka stay, beberapa dari mereka.

Di Carenaval itu anak-anak panti asuhan yang tampil?


Iya, rencananya gitu. Ada yang udah dilatih, kan? Dilatih untuk menari.

Universitas Indonesia
148 
 
 
(Lanjutan)

Akan jadi kebanggaan untuk mereka menampilkan apa yang diajarkan. Apa
saja yang diajakan relawan?
Olah raga ya pasti, futsal. Ada futsal, ada yang taekwondo, yang perempuannya
nari, nyanyi, baca puisi, ada yang mengarang, lomba mengarang.

Kalau begitu Carenaval ada lomba-lombanya?


Pengennya sih gitu. Jadi ada edutainment. Aku denger dari panitianya, mereka
mau bikin ada seminar kecil, tapi ada juga kayak pameran. Di sana hasil
menggambarnya anak-anak. Nanti dipamerin. Terserah mungkin apa anak-anak
itu hasilnya mau dijual, dilelang atau gimana.

Tapi konsep acara ditentukan panitia? Bukan dari RMI?


Hasil berembuk aja. Kita nggak gitu. Jadi kita ngumpul. Terus kalau aku sih,
kemarin kan kita bikin gathering. Ya kan? Setelah gathering itu, anak-anak yang
dateng, tanggal 26. Dua minggu yang lalulah. Kita ngumpul, terus gimana nih
Carenaval, mau kita bawa ke mana? Terus, satu satu ngasih idenya. Mungkin
harusnya gini. Mungkin harusnya gini. Lebih ke arah brainstorming. Bukan
mendikte.

Tadi disebutkan ada seminar kecil, tentang apa? Apakah ada konsep
memperkenalkan kerelawanan di Carenaval dengan seminar itu?
Belum tahu. Mungkin itu yang temen-temen yang dengan maksud dibikin seminar
itu, mungkin itu maksudnya. Tapi belum tahu detailnya.

Sisa 57 yang sudah tidak aktif ini bagaimana perlakuannya? Apakah masih
ada kontak dengan mereka?
Beberapa dari mereka sih suka nanya. Misalnya kita naruh di twitter kan, acara
baru. Kadang suka nanya, ini acara apa. Terus kita jelasin. Tapi kebetulan sih
memang masalah waktu, kembali. Rata-rata mereka udah kerja. Ada yang lagi
tugas akhir mahasiswa.

Ada pernyataan mereka ingin membantu dengan hal yang lain, selain
menjadi panitia?
Itu sih belum ada. Cuman mereka beberapa… banyak yang bilang, mau dong
gabung lagi, tapi belum ada waktunya. Nah di situ aku dah mulai perkenalin
program yang accidental itu. Nanti deh kita bikin program yang cepet, jadi nggak
nyita banyak waktu. Gitu.

Kalau membantu mempromosikan RMI Jakarta, apakah mereka mau?


Mau. Bantu re-tweet biasanya. Dengan bantu re-tweet.

Salah satu parameter sukses program RMI Jakarta, misalnya Carenaval.


Ada parameter sukses lainnya?

Universitas Indonesia
149 
 
 
(Lanjutan)

 
Sebenernya bisa dibilang sukses itu kalau dari… dari 87 kan dah ngurang nih jadi
20-an? Dari 20-an ini udah paham aja arti dari kerelawanan itu sendiri. Itu
sebenarnya dah dinyatakan sukses.

Biasanya pemahaman tentang kerelawanan yang diberikan itu seperti apa?


Oh, pemahaman yang pembekalan yang kita kasih tentang kesukarelawanan itu
pas gathering, justru. Karena di situ kita ngundang salah satu komunitas inisiatior
dari Save Street Child. Itu dia ngumpulin anak-anak jalanan dan sekarang dah
agak-agak booming padahal baru setahun berdirinya. Nah di situ mereka sama-
sama sharing kenapa sih mereka mau sama-sama jadi relawan.

Berarti ada praktisi yang sudah sukses?


Sama-sama baru, cerita kenapa dia mau jadi ini. Terus mereka di situ aku lihat..
ya udah kayaknya mereka memang suka jadi relawan, gitu. Mereka memang suka
terjun di dunia sosial ini, untuk saat ini.

Kerelawanan itu mengubah perilaku. Hal itu bisa dijadikan parameter


sukses. Apakah ada perubahan perilaku yang dilihat dari seorang relawan?
Kalau jadi relawan, komitmen… lebih komitmen... Ketika dia menyetujui untuk
menjadi relawan, berarti kan dia udah sepakat untuk punya tanggung jawab. Ya,
kan? Iya, walaupun kita nggak pake absen, kita nggak pake sistem drop out, tapi
mereka tetep mau dateng, kan? Nah, mungkin… mungkin kita harapkan sih
sebenernya setelah ini selesai, selain meningkatkan rasa kesukarelawanan, mereka
jadi lebih bisa komitmen sama apapun yang mereka kerjain.

Kalau begitu yang dilihat adalah relawan itu sendiri. Bagaimana dengan
kesuksesan program dari RMI Jakarta sendiri? Bagaimana caranya supaya
benar-benar terukur?
Kita nggak pernah bicarakan ke sana sih ya. Bener, anggapannya non formal. Kita
cuman punya konsep, punya ide, punya temen, punya sumber daya, kita
kumpulin, terus kita jalanin aja dulu. Gitu. We’ll see gimana caranya.

Apa harapan mbak Netta buat RMI Jakarta?


Harapannya… mas Teguh tau nggak kalau di setiap kota tuh permasalahan-
permasalahan tiap RMI di tiap kota itu beda. Aku kalau ngelihat di Lampung kok
mereka bisa, misalnya, sama bupatinya. Langsung menggandeng bupatinya
langsung, gitu. Kayaknya mereka lebih gampang, sedangkan kita nggak. Susah.
Lebih hierarki, kan? Apalagi di Jakarta. Jadi setiap masalahnya beda-beda. Karena
Jakarta itu unik, kita harap sih sebenernya semua pihak mungkin, harapan saya,
lebih terbuka sama program-program sosial.

Sejauh ini ada pihak selain Kemenpora yang diajak kerja sama? Sponsor?
Belum ada lagi. Belum.

Kaos RMI itu dari mana?

Universitas Indonesia
150 
 
 
(Lanjutan)

 
Itu kan kaosnya dari kita. Yang dari Kemenpora itu. Terus dijual mau kita jual
lagi…. bukan kita jual sih. Kayak jadi tiket masuk buat orang yang pengen
nyumbang. Misalnya ada orang pengen nyumbang buat Carenaval, ya udah dapet
baju.

Bajunya seperti apa? Carenaval?


Oh, nggak. Relawan Muda Indonesia.

Anggaran dari Kemenpora untuk RMI dibagi per wilayah atau dikasih ke
koordinator pusat untuk dibagi-bagi?
Nah, kalau masalah anggaran boleh ditanyakan ke Mas Oka. Aku nggak tahu
soalnya. Apalagi per wilayah gitu. Aku nggak tahu.

Pernah tidak, ada iuran dari sesama relawan atau semua anggaran dari
Kemenpora?
Kita belum pernah sih, minta dari relawan. Saweran gitu. Nggak. Karena mereka
mau dateng ke sana, waktu, tenaga, itu dah bagus banget. Kadang relawan itu juga
nyumbang. Tapi misalnya di… kemarin di panti asuhan Duren Sawit, mereka
bikin lomba mengarang. Pemenangnya dapet hadiah. Anak-anak relawan ini yang
punya ide ngasih hadiah. Mereka yang ngumpulin dananya, gitu…

Universitas Indonesia
151 
 
 
(Lanjutan)

 
Informan : Oka Aditya (koordinator RMI Pusat)
Tempat : Rasuna Office, Kawasan Epicentrum
Hari/Tanggal : Rabu/13 Juni 2012
Waktu : Pukul 14.30 – 15.30 WIB

Bagaimana cerita RMI bisa dibentuk?


Kalau cerita sih sebenernya ini mereproduksi. Saya dulu kebetulan waktu di Jogja
adalah mahasiswa biasa yang sama temen-temen seneng… seneng untuk ke panti.
Jadi dulu itu kita mahasiswa teknik itu ngajar di panti Muhammadiyah… salah
satu panti Muhammadiyah di Jogja, jadi ya kita dateng ngajar, biasanya abis
maghrib sampai sekitar jam-jam 9. Mereka… memang jam-jam belajarnya
mereka. Jadi kita dateng, ngajarin, udah, pulang sekitar jam-jam 9 jam setengah
10, ngobrol sama yang punya panti, terus abis itu pulang. Jadi begitu saya di
Jakarta, saya punya kenangan tersebut kemudian berusaha mereproduksi lagi.
Sepertinya bagus, gitu. Dan karena ini trennya adalah nge-pop jadi kita
berusaha… saya sama temen-temen berusaha membentuk sebuah wadah yang
warnanya juga lebih anak muda ya. Nge-pop. Jadi kita pilih ada jargonnya “Yes,
We Care!” Itupun kita juga sudah bahas agak-agak lama, gitu kan? Kayaknya mau
pakai jargon yang bau anak muda itu yang seperti apa. Kayaknya bagusan yang
singkat, keinggris-inggrisan, boleh lah. Jadi akhirnya seperti itu. Terbentuklah ini.
Kita memang berusaha memberikan branding ya karena biar lebih massif, gitu.

Berapa orang yang membentuk?


Sama temen-temen awal untuk mikirin ini cuma bertiga aja. Saya sendiri, sama
Mahir, sama Anom. Kebetulan Anom itu sudah lama berkecimpung di dunia
media, kalau si Mahir itu karena itu memang dia anak Jakarta, jadi ya istilahnya
gaya-gaya gaul anak Jakarta dia pahamlah. Gitu.

Bisa berhubungan dengan Kemenpora itu bagaimana ceritanya?


Bisa ke Kemenpora karena awalnya itu Mahir itu kan alumni Belanda. Dia dapet
degree alumni Belanda. Saya tidak tahu cerita tepatnya bagaimana, nampaknya
PPI ya? Perhimpunan Pelajar. Kan PPI itu kan pas ada acara-acara urusannya
sama Kemenpora kayaknya yang mungkin awalnya kenalnya omongannya
mungkin dari situ.

Akhirnya yang megang itu Bu Hermin, ya?


Ya.

Bu Hermin itu statusnya pembina?


Kita juga nggak paham. Ketika kita mungkin awalnya si Mahir ada cerita-cerita
abis itu dilempar ke Bu Hermin. Kebetulan kalau ngomongin Bu Hermin, dia
sedang butuh... sedang… Menteri sedang butuh program kesukarelawanan.
Kebetulan klop gitu. Jadi, kalau nggak salah, empat atau tiga program utama dari
Menteri ya. Apa itu ya saya lupa. Kayaknya ada entreprenuer, apa, apa, salah
satunya… kesukarelawanan.

Universitas Indonesia
152 
 
 
(Lanjutan)

Apakah nama Relawan Muda Indonesia itu dari Kemenpora atau Mas Oka
dan teman-teman?
Itu diskusi panjang itu. Jadi ketemu sama Bu Hermin. Jadi dari ketemu awal
sampai akhirnya Kemenpora OK itu diskusi awal itu Maret. Program jalan itu
Desember. Jadi, nyaris satu tahun ya? Sembilan bulan ya. Sepuluh bulan.

Jika ini reproduksi, sebelum bertemu Bu Hermin, apakah hal ini sudah
dilakukan di Jakarta?
Sudah jalan tapi dalam skala yang lebih kecil. Temen-temen aja…. Abis itu
kebetulan ketika kita dapet tantangan ini, dan memang diminta untuk ada pilot
project, gitu kan, kita push untuk lebih kenceng lagi.

Berarti sebelumnya belum ada namanya? Berjalan saja?


Belum ada namanya. Jalan aja, iya… jalan aja…

Artinya dipilihnya nama Relawan Muda Indonesia itu hasil diskusi dengan
Kemenpora?
Hasil diskusi Menpora.

Siapa saja yang ikut dalam diskusi ini dari Kemenpora?


Ada Bu Hermin itu kan, Bu Hermin kan eselon III sama eselon II. Eselon II itu
siapa saya lupa. Pak siapa… pokoknya atasnya Bu Hermin... Deputi… Eselon II
berarti… pokoknya atasnya Bu Hermin, timnya Bu Hermin kita cukup panjang…

Dari nama Relawan Muda Indonesia ini, lebih dulu mana daripada slogan
“Yes, We Care!”?
Ya, awalnya kita lebih … kita duluan muncul slogan daripada nama, tapi kan…
karena kosakata sukarelawan dan relawan saat di awal itu sempat ribet… rancu…
karena sesuai di kamus bahasa Indonesia yang betul itu sukarelawan, bukan
relawan. Jadi ketika kita awalnya mau pake kata sukarelawan itu kan panjang.
Sukarelawan kan panjang. Sebenarnya kata di kamus bahasa Indonesia boleh
dicek itu yang baku itu sukarelawan sebenernya. Sempet-sempet bingung terus
okelah ini nggak apa-apa karena relawan itu bahasa umum yang sering dipake.

Penggunaan Relawan Muda Indonesia itu sesuai segmennya?


Itupun sebetulnya kalau kita cek di Google itu ternyata ada dulu Relawan
Indonesia Muda. Kita sempet agak ragu juga kok sudah ada. Ah tapi itu program
sudah nggak muncul lagi. Gitu.

Nama Relawan Muda Indonesia kesannya formal. Apakah sudah diketahui


konsekuensi dari nama itu?
Ya, makanya itu kita tutupi dengan slogan yang lebih spontan, yang lebih lugas
dengan “Yes We Care” gitu. Karena kita kalau yel-yelnya juga… “Do you care?
Yes, we care!” Jadi kita tutup dengan itu. Karena ini agak bersentuhan dengan

Universitas Indonesia
153 
 
 
(Lanjutan)

 
Kemenpora makanya judulnya agak formal. Tapi untuk masuk ke segmen anak
mudanya, kita tutupi dengan slogan.

Apakah ada dukungan dari Kemenpora, seperti konsep, anggaran atau


kantor?
Ini sebenernya agak sedikit ini dalam kajian akademis ya, agak sedikit… ada
kekhawatiran karena anak muda biasanya agak menjauhi… tidak terlalu senang
yang berbau pemerintah. Berbau formal dan yang lain-lain… memang itu ini terus
terang kami sangat memahami kekhawatiran itu makanya walaupun ada support
tapi sebisa mungkin labelling bahwa ini program pemerintah coba dikurangi atau
memang harus kita modif ya sehingga nampak lebih soft. Terus terang program
ini jauh lebih berharga, semangat anak-anak muda ini jauh lebih berharga
daripada dijadikan programnya pemerintah, gitu. Sebenernya terus terang ada
ketakutan itu, dan itu yang kita jaga sampai sekarang. Jadi, kalaupun kita memang
kemarin dapet support dari Menpora, tapi kita memang minta ijin betul bahwa kita
tidak mencantumkan ada logo Kemenpora di situ. Apalagi foto Pak Menteri, gitu
kan. Nggak sama sekali karena kita memang memahami itu, gitu. Jadi kalaupun
tidak di-support lagi oleh Kemenpora, kita nanti cari yang lain lagi. Cari donasi
yang lain lagi.

Berarti sejauh ini dukungan Kemenpora baru sebatas konsep. Apakah ada
dukungan dengan koordinasi secara struktural dari Kemenpora?
Sekarang sih belum ada. Tapi mereka merencanakan 2013. Terus terang itu
semakin menimbulkan kekhawatiran. Jadi agak sulit membayangkan untuk
Indonesia saat ini program-program yang anak muda yang sifatnya sukarela
dikoordinir oleh dinas-dinas… yang agak sulit membayangkan…. Ini cuma
bentuk kekhawatiran…

Awalnya lima kota pelaksana RMI itu kesepakatan atau memang ditentukan
dari Kemenpora atau ditentukan dari SDM-nya?
Kesepakatan sih. Hasil diskusi bareng juga sih. Jadi representasi Sumatera kita
ambil satu, representasi Jawa diambil dua, representasi timur kita ambil satu di
Makassar.

Kecenderungannya kalau begitu Kemenpora sekedar support saja?


Support aja. Bahkan kalau branding Kemenpora kita nggak bawa sama sekali.
Kalau bisa nggak.

Mengapa aspek manfaatnya membawa nama Kemenpora?


Memang itu untuk apa ya kita sebutnya mungkin gerakan anak muda seperti ini
kayaknya kurang ya dalam kutip. Sedangkan brand… kok brand sih… image
pemerintah lagi sangat buruk apalagi menterinya pas lagi bermasalah. Sebenernya
tidak terlalu bagus. Sayang banget kita udah bikin program ini tiba-tiba karena
kena itu, jadi terimbas image.

Universitas Indonesia
154 
 
 
(Lanjutan)

 
Kalau begitu Kemenpora hanya sekedar support, termasuk pada saat
launching?
Sejak launching ini… support. Iya

Termasuk ada pejabat Kemenpora, termasuk Bu Hermin pada waktu di


Lampung?
Oh, nggak. Itu sudah jalan. Itu sudah jalan, baru Bu Hermin mungkin pas saat itu
lagi di Lampung terus dateng. Tapi itu sudah jalan. Itu sudah jalan. Itu sudah
jalan.

Untuk acara RMI apakah ada support dari Kemenpora? Atau ini asli dari
RMI sendiri?
Nggak, nggak. Asli RMI.

Termasuk dananya juga?


Dana, ya. Dana tidak ada kucuran dari Kemenpora.

Karena saya mendapat informasi bahwa Kemenpora akan berikan anggaran


dana.
Makanya, nggak. Karena kata Bu Hermin, 2012 ini cuma untuk internal mereka.
Untuk… entahlah. Kita nggak paham.

Informasi yang lain, Kemenpora akan membuat program training for


trainer untuk seluruh dinas.
Mereka punya target 2013 di seluruh dinas. Jadi mereka harus … tapi ya terus
terang kita sebagai anak muda agak under estimate memang ya. Aduh kalau ini
yang menjalankan dinas, jadinya kayak apa gitu. Terus terang ada kekhawatiran
itu. Ada kekhawatiran itu.

Apa yang menjadi sesuatu yang menarik peserta? Satu, kepedulian. Kedua,
RMI dari Kemenpora. Ketiga, konsep kegiatan RMI.
Kalau untuk menarik peserta kita bener-bener menjual RMI-nya. Kegiatannya.
Karena ketika kita melakukan sosialisasi kita tidak pernah poin yang ada di
website tidak pernah kita sampaikan ya. Kalaupun mereka tahu, ya biar baca aja,
tapi itu bukan… karena kita paham betul soal volunteerism untuk di Indonesia
bukan sesuatu yang dikenal luas. Tetapi bibit-bibit ini sudah bisa dilihat gitu kan.
Misalnya ketika bulan puasa itu ada sahur on the road. Ketika mau buka yang
bagi-bagi juga banyak. Klub-klub motor atau klub-klub apalah itu, pada dateng ke
panti asuhan atau dateng ke pesantren walaupun mereka dengan gayanya bawa
motor besar, pake jaket hitam tapi tetep bawa makanan. Karena kita nggak tahu
itu puasa atau nggak, tapi setidaknya kita harus ber-positive thinking bahwa itu
ada bibit-bibit kepedulian, gitu kan. Kita sadar betul bahwa ini bukan hal yang
mudah seperti membalikkan tangan. Ini ada apa namanya… ada… proses apa
istilahnya… persuasif atau malah edukatif kepada khalayak ramai bahwa ketika
kita menjadi volunteer itu hal yang hebat. Hal yang hebat. Kenapa seperti itu?

Universitas Indonesia
155 
 
 
(Lanjutan)

 
Karena memang anak muda zaman sekarang kan maunya begitu, akhirnya ya
sudah kita hasil diskusi itu kita harus masuk dari gaya anak muda. Makanya kita
siapkan untuk publikasi itu di twitter, lalu kita juga punya video-video yang
memang kita siapkan yang kita buat juga dengan gaya anak muda juga gitu,
sehingga harapannya itu dapat dicerna. Dan alhamdulillah nya dua video yang kita
buat, terus dan ada tambahan satu lagi karena liputan di Kompas TV ternyata
cukup… ketika saya tes langsung ke mahasiswa umum atau siswa sekolah mereka
pun ngasih sambutan yang positif.

Konsep RMI adalah 14 hari jadi relawan, dilakukan pada waktu luang,
tempat dan jenis kegiatan ditentukan sendiri, bagaimana cerita konsep itu
dibuat?
Awalnya itu tujuh hari, kebetulan awalnya 7 hari. Kita ini kan yaitu berangkat dari
kesadaran bahwa ini hal yang ini yang….hal yang bukan anak-anak muda
Indonesia belum biasa lah. Ini bukan hal yang populer. Awalnya kita hanya kasih
waktu 7 hari. Tujuh hari itupun bukan 7 hari yang full dan bukan 7 hari yang
berturut-turut. Awalnya kita hanya ingin 7 hari aja. Kalau ditanya kenapa angka
7? Karena angka 7 itu cantik.

Bukan karena angka 7 itu seminggu? Artinya tidak harus berturut-turut?


Itu juga ya, karena hari itu ada 7. Senin sampai hari minggu. Tidak berturut-turut.
Memang sengaja kita pilih angka 7 ini kan salah satu branding juga kan? Tujuh!
Gitu kan? Tujuh termasuk angka bagus kan. Dan kita lihat totalnya satu minggu
itu hal yang cukuplah gitu kan. Kita pengennya ringan aja. Kita pengennya
memantik kesadaran kemudian memberikan tugas yang ringan ke anak-anak muda
gitu. Bisa jadi 14 karena permintaan dari Menteri ya. Karena dia funding, saat itu
posisinya sudah sebagai funding, jadi kita ikuti ya.

Pertemuan dengan Pak Menteri itu sebelum launching bulan Desember?


Sebelum! Sebelum! Jadi kita rubah itu. Katanya 7 terlalu sedikit karena acuannya
Menteri itu di negara-negara maju, memang kalau di negara-negara maju
volunteer ini sudah hal yang lumrah ya. Hal yang sudah sangat populer bahkan
manajemennya juga sudah rapi. Paling kalau untuk konteks Indonesia kita pada
taraf yang baru pada… taraf sosialisasi, penyadaran, gitu.

Dengan pengalaman Mas Oka, sebenarnya 14 hari itu berat untuk anak
muda?
Ya, kita ini kan namanya juga relawan. Angka ini juga bukan sebagai patokan.
Kita bener-bener berada di level yang minimal aja. Saya yakin kok, atas
pengalaman saya ya, saya yakin kok kalau mereka sudah terjun ke dunia seperti
ini, itu hal yang ringan dan menyenangkan, gitu. Saya yakin mereka dengan
sendirinya akan tambah dengan sukarela juga. Jadi bukan karena didorong-dorong
juga, gitu.

Universitas Indonesia
156 
 
 
(Lanjutan)

 
Salah satu definisi relawan itu punya kebebasan untuk memilih. Kalau
begitu 14 hari itu harus atau tidak?

Empat belas itu… kita kan pengennya … konsep awalnya ada sebuah rangkaian
yang mereka buat, gitu. Mungkin tujuh kali pertemuan itu saat mereka mau ujian
nasional atau istilahnya...sekarang apa sih… ujian semester ya? Kita pengennya
tuh awalnya itu seperti … temen-temen relawan yang join itu punya program gitu.
Masing-masing dari relawan atau kelompok relawan yang turun itu dengan kita
kasih tujuh hari itu punya program. Mereka mau ngapain, misalnya kita pengen
tujuh kali memberikan les kepada anak-anak panti, gitu. Sebenernya kita
pinginnya tu jadi bukannya hanya dateng sekali habis itu sudah, gitu. Kita
pinginnya walaupun kalian relawan tapi punya planning, gitu. Jadi sebenernya
angka itu tidak mengikat tapi supaya ada planning. Ooh iya saya 14 hari itu mau
ngapain? Kalaupun mereka mau membuat, “Saya mau ajarin Inggris, gitu!”
Setidaknya mereka punya gambaran ada 14 kali pertemuan lalu mereka bisa
membuat rencana English study kan untuk hari pertama apa, hari kedua apa…
gitu.

Bagaimana jika perencanaannya tidak sampai 14 hari? Boleh tidak?


Kalau memang… ini kan relawan. Sebenernya sih boleh-boleh aja. Sebenernya
kalaupun mereka cuma mau sekali pun boleh-boleh aja. Gitu kan. Tapi kan kita
mengarahkan untuk kelompok relawan yang turun ini punya plan gitu. Sehingga
selain mereka bekerja sebagai relawan, benefitnya bisa lebih banyak juga kalau itu
apa yang mereka kerjakan itu ter-planning baik.

Karena relawan RMI menyumbangkan berdasarkan apa yang mereka miliki


sendiri, apakah berdasarkan pengalaman mas Oka dan teman-teman atau
memang arahan dari Kemenpora?
Sekali lagi… pengalaman saya juga ya. Saya tu waktu mahasiswa tu kan juga
macem-macem. Ada yang… Kebetulan saya teknik, ada temen yang ekonomi, ada
temen yang psikologi, gitu kan. Ketika kita terjun yaa… tentu kita akan bekerja
sesuai dengan background lebih besar. Misalnya saya orang teknik, anak-anak itu
lebih seneng belajar IPA sama saya, misalnya. Saya punya temen yang psikologi,
anak-anak itu ketika bermanja-manja, bercurhat, tentu mereka lebih nyaman
dengan temen saya yang orang psikologi itu. Berangkat dari situ bahwa kita yakin
bahwa setiap orang dengan kemampuan yang mereka punya bisa berbagi ke orang
lain.

Karena relawan di RMI menyumbangkan apa yang dimilikinya, apakah ada


peningkatan kapasitas dari relawan?
Karena kita nggak ngincar di sisi itu ya. Karena memang ini volunteer for
beginner betul. Jadi kita juga tidak mengarahkan para relawan kita untuk ke
tempat-tempat yang sulit juga. Tidak. Karena target saya adalah kesukarelawanan
ini, rasa kesukarelawanan ini, itu bisa menjadi… apa ya… terintegrasi di dalam
pribadi mereka. Saya kira itu yang penting, gitu ya kan untuk RMI itu. Karena

Universitas Indonesia
157 
 
 
(Lanjutan)

 
memang kita tidak pengen mensyaratkan macem-macem untuk calon relawan.
Yang penting… yang paling kita share cuma, kalian niat, gitu… kalian mau, gitu.
Itu sudah hal yang luar biasa, gitu. Bahkan kalaupun mereka cuma bisa ngajarin
gitar, nyanyi, itu pun boleh, gitu. Memang kita volunteer for beginner.

Adakah konsep untuk para peserta atau anak muda yang pernah ikut
kegiatan RMI, atau sebut saja ini alumni RMI? Selain menjadi fasilitator
RMI. Misalkan ESQ dengan forum alumninya.
Konsep awalnya sih kita pengennya tentu dari sekian banyak relawan yang ada,
ada yang semangat betul, ada yang… kan levelnya macem-macem… tentu kalau
yang kita lihat dedikasinya bagus, kita tarik sebagai fasilitator untuk dia ngurusin
calon relawan yang baru. Tapi misalnya tidak, paling minimal yang kita harapkan
adalah mereka pernah merasakan. Itu sudah penting. Itu sudah hal yang penting
untuk kami. Kemudian harapan saya pasti itu hal yang pasti bisa diceritakan ke
orang lain. Saya pernah dateng ke panti asuhan. Itu sudah poin! Kalau buat saya
pribadi sebagai pembuat program itu sudah poin yang bagus. Saya sudah pernah
ke panti asuhan… saya ngajarin kok, saya ikut main kok. Saya pikir itu hal yang
bagus, ya.

Artinya setelah itu mereka tidak mengurusi RMI, tidak apa-apa?


Kalaupun mereka tidak mengurusi RMI, tapi mereka punya pengalaman itu, itu
hal yang luar biasa.

Sejauh ini apa yang diminta Pak Menteri dari RMI selain dari 7 hari
menjadi 14 hari? Misalkan kegiatan berkelompok, diminta menjadi kegiatan
pribadi.
Karena acuannya pak Menteri itu Amerika, ya. Jadi di negara-negara maju. Kalau
di sana itu sudah terkoordinir rapi juga gitu. Mungkin ketika orang dateng secara
sendiri juga bisa, gitu kan. Nah kalau kita ini kan cenderung paguyuban. Apalagi
anak-anak di Indonesia ini kan kulturnya bareng-bareng itu lebih senang. Jadi
memang permintaan seperti itu akhirnya coba kita tangani aja. Karena memang
tidak sepenuhnya bisa, gitu. Mereka misalnya dari pihak Kemenpora minta
laporan per individu. Saya juga agak sulit untuk bisa mengarahkan mereka ketika
mereka habis pulang dari panti bikin laporan, gitu kan. Nulis, gitu kan. Kesannya
kok gak ini banget gitu. Karena konsep seperti ini sudah terlalu jamak misalnya
ketika orang kuliah atau ketika berpuasa, ketika dateng sholat tarawih anak-anak
harus bawa kertas, buku, yang kemudian diminta tandatangan ke si khotib. Kan
jadi formal dan memori untuk melakukan hal itu kalau kita boleh cek bukan
memori yang baik ya. Kalau kita lihat juga akhirnya kan mereka titip bukulah…
Kalau anak-anak tarawih atau apa, akhirnya kalau boleh kita cek tidak menjadi
memori yang baik. Bukan sebagai pembelajaran yang baik. Menurut kita seperti
itu, tapi mungkin cara pandang dari Kemenpora, bahkan salah satu staf ahli deputi
itu menyarankan ada sebuah kantor dengan judul “Volunteer Center… apa gitu.”

Universitas Indonesia
158 
 
 
(Lanjutan)

 
Dan itu juga cara pandang yang struktural dan formal, ini ya. Itu yang agak sulit
untuk diterapkan.

Kalau permintaan Pak Menteri yang lain ada tidak?


Ya, itu. Agak struktural. Permintaannya agak struktural. Sifatnya lebih struktural
dan formal. Misalnya harus ada kantor.

Kantor RMI ada atau tidak? Biasanya berkumpul di mana?


Kantor sih, kantor formal sih nggak ada. Kantor ngumpul ya kadang-kadang pake
di sini, kadang-kadang kita janjian di kafenya Mahir, kadang-kadang gitu aja.
Jadi apa ya, memang kita ini kan tidak pengen formal sebenernya. Kita tidak
pengen formal, anak-anak muda tidak merasa terikat, tapi mereka melakukan
sesuatu. Kita pengennya gitu. Kita nggak pengen terlalu banyak label apa-apa.
Kasarannya, lo semua pada janjian setiap Sabtu atau hari Minggu di mana itu
sudah hal yang luar biasa juga. Dan kalian “do something for others”. Itu sudah
hal yang luar biasa.

Berarti memang disengaja bahwa struktur RMI tidak formal. Adakah plus
minusnya?
Plus minusnya, kalau orang melihat dari target harus ada acara formal, lalu ada
apa ya, acara misalnya kalau orang pake ukuran organisasi pada umumnya, tentu
ini minus gitu kan. Tapi kita memang pengennya bukan yang seperti itu dulu, gitu.
Ini masih baru, ini memang kita targetnya juga simpel, gitu. Kita tak muluk-
muluk, kita pengennya ya asalkan mereka bisa kumpul, mereka bisa ngobrol dan
mereka bisa melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa dipaksa dengan kesadaran
sendiri itu sudah… kita cuma seperti itu aja, gitu. Terus terang gitu… kita terus
terang pengennya cuma ada… kita pengennya ada tren positif. Gitu aja. Seperti
Bike to Work. Akhirnya, karyawan yang biasanya ribet naik motor, mungkin naik
mobil tiba-tiba mereka dengan sadar oh iya, berangkat ke kantor naik sepeda
ternyata menyenangkan, gitu kan. Ternyata sehat, gitu. Kita “as simple as that”.
Kita pengennya ada tren positif. Untuk membangun ini sudah sangat cukup
dengan modal seperti ini.

Kesan yang diperoleh, Kemenpora ingin struktur secara formal. Sementara


target 2013, RMI harus formal di Dinas-dinas di 33 propinsi. Artinya ke
depan RMI punya pilihan: mau tetap Kemenpora tapi harus formal, atau
tidak bersama Kemenpora lagi tapi tetap nonformal tapi bisa menyebar luas.
Apakah hal ini disadari oleh RMI?
Sangat disadari. Justru karena itu, kita masih mau menggodok format yang pas
agar ini tetap warnanya anak muda, gitu kan. Anak muda, tidak terlalu formal, dan
pihak Kemenpora dengan dinas-dinasnya hanya sebagai… mungkin bahasanya
supporting aja, ya semacam bapak asuhlah. Semacam bapak asuh yang melihat
anak-anaknya punya sebuah kekreatifan sendiri, pengen melakukan ya dibantu.
Kita pengen akan kita arahkan seperti itu, gitu. Karena jangan sampe terlalu warna
dinasnya muncul, Kemenporanya muncul.

Universitas Indonesia
159 
 
 
(Lanjutan)

 
Pernah terpikirkan bahwa peluang RMI untuk semakin besar memang ada
sisi-sisi yang harus diformalkan? Misalkan RMI dibuat sebagai yayasan agar
aksesnya lebih banyak.
Kalau soal untuk mem-badanhukum-kan, kepikiran juga sih sebenernya.
Kepikiran tapi belum kita jalankan. Belum kita jalankan. Tapi memang sempet
kepikiran. Kita sempet kepikiran untuk memformalkan ini karena pasti ke
depannya mungkin kita dapet kerjasama dengan pihak mana, pihak mana, dan
butuh status hukum. Kepikiran. Tapi sementara ini belum.

Apakah status nonformal ini temporer?


Kita nggak pengen juga ini temporer. Karena mungkin kita pengen… misalnya
ada gerakan Bike to Work. Dan kita juga tidak pernah tahu ketua umum Bike to
Work dan bagi mereka juga nggak penting. Nggak penting. Yang penting kita
sama-sama berada pada frame yang sama, kita naik sepeda ke kantor… dengan
bangga mereka menggantungkan bulet kuning di belakang sepedanya dengan
tulisan “Bike to Work” dan itu buat mereka sudah hal yang cukup. Dan sepertinya
buat kami juga pengennya juga...

Konsepnya jadi RMI itu menyebarkan ide?


Kita pengennya ada tren positif.

Jadi yang terpenting, anak muda itu bangga merasakan pernah jadi
relawan?
Ya.

Sejauh ini peserta relawan ini memberikan pengorbanan apa?


Kalau sampai saat ini ya yang mereka paling banyak korbanin adalah tenaga dan
waktu. Sesekali, kalau saya lihat tuh temen-temen sambil bawa kue, sambil bawa
buku. Paling gitu. Sambil… Nggak. Tentu itu juga mereka ambilkan dari uang
saku, ini sisihan kan? Gitu.
Apakah ada perubahan yang terlihat dari peserta relawan setelah mengikuti
kegiatan RMI?
Kalau yang … terus terang orang kan macem-macem tingkat kepribadiannya.
Kalau yang paling minimal adalah mereka punya rasa kepedulian yang akhirnya
kalau saya lihat dari temen-temen ini, mereka merasa care-nya itu lebih sangat.
Kemudian namanya anak muda kemudian mereka bangga, kemudian mengajak
teman-temannya. Mereka mau ngurusin RMI misalnya besok kita mau adakan
Carenaval itu mereka dengan sukarela jadi panitia. Itu saya pikir itu sudah… apa
ya… hebatlah! Ada perubahan sikap.

Perubahan sikap perilaku dan pengorbanan para peserta relawan ini apakah
karena peserta memprioritaskan kegiatan RMI atau karena memang mereka
tidak ada kegiatan di waktu luang?

Universitas Indonesia
160 
 
 
(Lanjutan)

 
Kalau saya lihat sih, mereka bener-bener berkegiatan relawan di RMI ini di waktu
luangnya mereka. Bener-bener di waktu luang. Memang pas mereka lagi luang,
mereka sudah habis selesai kuliah, mereka kumpul. Janjiannya seperti itu.

Apakah dalam mempromosikan RMI itu masih terpusat di Jakarta atau


sudah upaya untuk mempromosikannya di setiap kota?
Jakarta itu twitter, kalau di luar Jakarta facebook. Karena kalau twitter lebih
populer untuk kota-kota besar ya. Kalau di daerah mereka lebih prefer facebook.

Promosi dengan kaos RMI, “May I help you I’m volunteer” apakah dari
pusat atau dari daerah-daerah?
Kalau yang kemarin kan memang kita diminta untuk mem-booming-kan itu kan.
Memang itu dari Jakarta kita ke daerah.

Ke depannya daerah-daerah yang mempromosikan sendiri?


Kita pengennya seperti itu.

Apakah RMI hanya cocok saja di kota besar? Apakah RMI akan dikonsep
lagi supaya bisa diterima semua anak muda, bukan hanya di kota besar?
Kalau sejauh ini sih, apa ya… yang bisa masuk untuk sampai ke pedesaan itu di
Jogja ya. Jogja itu, tapi kebetulan karena relawannya mahasiswa ketika mereka
melakukan kegiatan kerelawanan di desa, ada sesuatu yang bisa ditransfer kan
gitu. Misalnya bagaimana membuat biogas, bagaimana membuat pompa
sederhana. Jadi kebetulan itu bisa pegang kalau di Jogja itu terus kerjasama
dengan karang taruna di desa-desa itu sehingga ada pemberdayaan ke pemuda
setempat juga, gitu. Jadi memang modelnya jadi seperti itu. Karena kan kalau di
desa memang… desa itu kan kegotongroyongan masih menjadi habit ya. Jadi
mungkin bukan lagi di sisi situnya akan kita kuatkan tapi mungkin dari mahasiswa
ilmu apa yang bisa dibagi. Akhirnya bentuknya menjadi seperti itu. Mirip KKN.

Artinya ini menjadi kreativitas setiap daerah? Yang penting bisa


menyebarkan tren positif kerelawanan?
Paling ketika nanti diperkenalkan di daerah-daerah itu, paling hanya kita berikan
portofolio-portofolio yang pernah kita kerjakan. Gitu aja.

Tadinya pertanyaan yang akan diajukan adalah bagaimana para relawan


bisa betah di organisasi RMI, tapi karena RMI hanya untuk menyebarkan
tren positif, bisa jadi hal ini menjadi tidak penting?
Jadi misalnya nanti permintaannya adalah organisasi, itu memang agak mikir-
mikir karena memang sebenernya… sebenernya sih memang bukan itu.

Sejauh ini sudah berapa banyak yang ikut RMI secara nasional?
Oh nanti kalau data fix-nya bisa dilihat di… nanti saya kasih ya. Misalnya untuk
Bandung itu sekitar terakhir yang data yang saya terima itu 50-an. Kabarnya data
yang terbaru bisa sampai 80. Kalau di Jogja itu malah lebih itu… lebih dari 100.

Universitas Indonesia
161 
 
 
(Lanjutan)

 
Mungkin kalau di rata-rata aja ya mungkin sekarang ada sekitar 300… 400 dari
lima kota ini ya.

Yang masih aktif sampai 14 hari?


Itu ada. Itu kan kelompok ya. Temen-temen ini praktisnya di lapangan itu
kelompok. Kegiatan 14 kali itu mereka itu biasanya tetap jalan, tapi kan setiap
kelompok ini tidak selalu komplit ya. Kadang-kadang ada yang nggak ikut satu…

Kalau begitu parameternya adalah kelompok?


Praktisnya kelompok, praktisnya kelompok. Jadi misalnya kita ini lebih bisa
mencatet secara rinci, kita punya titik itu di mana aja, kegiatannya ngapain,
timnya berapa orang, lalu pengorganisasian secara tim ada ketua kelompoknya.

Jadi, parameter pelaksanaan 14 hari adalah secara kelompok?


Iya, praktisnya di lapangan kelompok.

Jika selesainya pelaksanaan 14 hari di Jakarta adalah dengan Carenaval,


bagaimana dengan daerah-daerah lain?
Daerah lain ini yang kita tantang juga karena ide Carenaval ini memang ide dari
temen-temen RMI di Jakarta. Tentu yang daerah lain juga kita tantang ya.
Sementara ini kita tidak mengarahkan untuk punya konsep yang sama, tapi kalau
misalnya akhirnya mereka lihat ini bagus dan mereka pengen mirip itu sih, boleh
aja. Karena memang ini murni dari temen-temen Jakarta, gitu. Kita punya target
untuk publikasi juga. Biar orang-orang tahu, gitu kan.

Apakah para peserta relawan mengirimkan laporan kegiatannya?


Nggak. Nggak. Nggak. Tapi mereka ini kan seneng sharing di twitter ya. Bisa
mereka… gambar foto-foto mereka upload.

Kalau begitu, laporan kegiatan ini sulit dijalankan?


Sulit dijalankan. Iya, terus terang sulit dijalankan. Laporan resmi sulit dalam
artian mereka harus nulis dalam bentuk esai, apa itu, sulit… tapi kalau cuma
celotehan di twitter…
Tapi ada yang mengumpulkan?
Nggak, nggak.

Termasuk RMI di Jakarta?


Memang kita nggak minta itu.

Tapi kalau foto-foto di Twitter?


Ada. Ada. Ada.

Apakah RMI pernah membuat proposal, misal untuk Carenaval?

Universitas Indonesia
162 
 
 
(Lanjutan)

 
Kita akhirnya, ya kita memang harus bersiap untuk itu ya. Misalnya kita kemarin
lagi berusaha masuk ke swasta memang. Kemarin kita juga tidak memberikan
proposal. Kita lebih memberikan profil.

Seperti yang ada di website?


Kalau kita kemarin kita berikan profil yang terbaru. Dengan… kota yang sudah
jalan dengan timnya siapa aja, titiknya ke mana aja.

Jika RMI dikonsepkan seperti komunitas, bisa jadi seperti Bike to Work,
orang senang dengan logonya.
Kita juga coba buat logo yang lucu. Bulet itu aja. Kan juga cuma lambang orang
lagi gandengan tangan. Ini lingkaran, tengahnya tulisan “Yes, We Care!”, dengan
kekuningan dominan warna merah putih.

Apakah RMI juga menggandeng sponsor? Ke mana saja?


Lagi berusaha. Kebetulan baru ke donatur perorangan sama kemarin kita coba
masuk ke Telkomsel. Itu juga karena ada yang kerja di sana.

Benefit yang ditawarkan kepada sponsor apa?


Belum. Belum. Belum. Jadi kita cuma memperkenalkan ini profil kita, kita minta
agar pihak Telkomsel mau untuk bekerja sama. Terus terang kita juga belum gitu
kan. Paling yang kita tawarkan logonya mereka nanti bisa dipasang di kaos atau
apa. Tapi terus terang belum. Baru profil aja.

Apakah ada kemungkinan bahwa RMI menjadi mitra dalam program


kerelawanan perusahaan?
Itu salah satu yang arahkan juga karena mereka juga tren-tren bahwa karyawan
mereka itu melakukan baksos di mana, gitu… ternyata itu menjadi tren, gitu. Itu
juga apa… tapi kita juga sudah sampaikan secara lisan.

Apa harapan untuk RMI?


Harapannya buat RMI bisa… karena kita targetkan bisa menyebarkan ide ini
menjadi tren positif ya. Harapan saya RMI bisa dikenal, semakin banyak orang
yang bisa join di kegiatan kesukarelawanan, gitu. Saya sih targetnya itu aja.

Apakah ada rencana publikasi di media, misal dalam acara yang sifatnya
inspiratif seperti Kick Andy?

Kepikiran juga sih, kita kepikiran juga bisa publikasi di acara-acara populer
seperti itu, bahkan icon artis siapa gitu kita coba kepikiran. Karena ini baru. Kita
baru sejak, kalau dihitung sejak launching sejak Desember sampai sekarang Juni.

Apakah ada perencanaan sebelumnya dalam program pemasaran atau ini


hanya letupan ide-ide?

Universitas Indonesia
163 
 
 
(Lanjutan)

 
Sudah ada omong-omong awal bahwa kita perlu ada icon, kita perlu ada jingle
gitu kan, perlu ada lagu gitu kan. Tapi memang belum. Tapi sudah ada omongan
di awal bahwa kita perlu icon artis, kita punya model pertemuan relawan muda se-
Indonesia, misalnya. Kita ada jingle, gitu. Itu sejak omongan waktu kita bentuk .
OK prioritasnya mana dulu. Oh, ya film. Ok, kita buat film dulu.

Apakah ada catatan perencanaan pemasaran tersebut?


Ada, tapi nggak rapi-rapi amat. Ya, itu. Cuma hasil nongkrong gitu kan. Oh ya
kita butuh film untuk promosi, gitu kan. Kita butuh jingle, gitu kan. Istilahnya
mars lah atau apapun apa. Tapi anak muda yang gampang jingle. Lagu iklan.
Ketika ngumpul ada yang dinyanyiin bareng. Terus ada icon artis misalnya.
Catetan formalnya saya lupa. Kalau omongan sih ada. Kalau di proposal awal kita,
ada itu. Ke pihak Kemenpora. Mereka mau membuat kemah relawan Indonesia,
gitu.

Kembali lagi ke angka 7. Angka itu sepertinya lebih menjual?


Kita sudah kepikiran itu. Slogan, itu sudah kita pikirkan. Angka 7 itu juga kita…
kita sampai omong-omongan, angka yang bagus itu ya 7. 1, 3, 5, 7, 9, 10 kan gitu
kan. Angka-angka yang orang enak untuk mengucapkan, kan? 14 kan nggak
terlalu enak. Bukan angka yang menarik. Itu sudah kita bahas, gitu. Jadi kan, kita
butuh sesuatu yang lugas, sesuatu yang enak, dan enak dicerna. Tujuh! Dan tujuh
itu seminggu. Selesai.

Universitas Indonesia
164 
 
 
(Lanjutan)

 
Informan : Dra. Hermin Narwati (Asdep Tenaga Kepemudaan
Kemenpora, Pembina RMI)
Tempat : Kantor Kemenpora
Hari/Tanggal : Jumat/15 Juni 2012
Waktu : Pukul 14.00 – 15.00 WIB

Bagaimana penjelasan konsep RMI?


Sebetulnya ini adalah gagasan Pak menteri ya, tapi konsepnya ini belum bisa
berjalan gitu lho, karena memang nampaknya agak susah juga, untuk bisa
dilaksanakan di lapangan gitu, nah coba, nah ini ya.. nanti ini apa… ini kalau
yang ini hanya ini aja…sistem kesukarelawan apa.. kemudian ini kan karena
pada waktu itu saya di minta dengan judul… sistem kesukarelawanan dalam
membentuk pemuda berjiwa sosial karena topiknya seperti itu, tapi sebetulnya
yang akan saya sampaikan yang ke mas teguh adalah ini… strateginya aja …
strateginya itu adalah 7P.
Karena tadi yang diminta semacam strateginya bagaimana kan gitu kan..?

Apakah RMI dan Kemenpora sama-sama memahami tujuan RMI?


Kalo aku sih tujuan ini nih ada pada paparan pertama, ya…tapi disini tidak ada,
tapi ini strategi aja untuk membentuk kesetaraan pemuda itu ya,.. itu ada. Ini ya,
ya udah, monggo.
Jadi konsep kesukarelawanan ini dalam pelaksanaannya itu awalnya ada
pemetaan, ada promosi, ada perekrutan. Itu untuk pelaksanaannya, namun
sebetulnya ini adalah awalnya idenya Pak Menteri itu untuk mengisi waktu luang
para pemuda. Mengisi waktu luang itu sudah sangat-sangat diperlukan, karena ada
dimana-mana terjadi tawuran, atau bentrokan seperti itu.
Makanya ini idenya pak Menteri itu, setiap sukarelawan itu melaksanakan
kegiatan kesukarelawanan selama 14 hari, tidak dalam waktu yang berurutan, tapi
bisa seminggu sekali, bisa dua minggu sekali, sesuai dengan waktu luang yang
ada pada mereka, kan gitu.
Nah untuk melaksanakan kegiatan itu, itu sesuai dengan kompetensi mereka
masing-masing pemuda itu, gitu lho. Misalnya ooh saya pandai di olahraga,
pandai di musik, pandai di apa ya, mereka menjadi sukarelawan di bidang itu, gitu
lho.
Makanya di website itu menu untuk kegiatannya kan banyak. Ada pendidikan, ada
kesehatan, macam-macamlah di situ. Memang pak Menteri menghendaki sangat
luas, karena misalnya sukarelawan yang ingin jadi sukarelawan kemudian datang
ke Dispora atau datang ke Kemenpora, saya punya waktu nih kompotensi saya
misalnya sebagai dokter gitu ya, apa yang bisa saya lakukan, kan gitu. Jadi, oh
berarti kalau dokter ya misalnya, bisalah misalnya ngajar di sekolah-sekolah untuk
P3K seperti itu, atau mendidik anak-anak menjadi dokter kecil seperti itu, atau
juga… ooh misalnya bisa ke panti asuhan, seperti itu… idenya itu seperti itu,
awalnya gitu. Nah tapi dia harus membuat dalam pelaksanaan tugas itu dia harus
membuat semacam laporan – tuntutan kita seperti itu – setelah mereka
melaksanakan kegiatan kesukarelawanan dia harus membuat laporan, gitu lho.

Universitas Indonesia
165 
 
 
(Lanjutan)

 
Namun dalam pelaksanaan yang di lima daerah itu untuk membuat laporan itu
masih sulit gitu lho. Mereka mau menjadi sukarelawan itu sudah bagus, kalau
diminta dituntut untuk membuat laporan kan nampaknya susah. Sehingga saya
setelah diskusi panjang dengan Mas Oka, okelah kalau gitu apa testimoni mereka?
Kalau laporan mereka males, testimoni mereka. Akhirnya dibuatlah di situ ada
facebook, ada twitter, yang di website, seperti itu. Nah, kemudian fasilitator-
fasilitator ini mereka di kelembagaannya itu harus ada sekretariatnya. Sekretariat
itulah yang nantinya… misalnya, oh ini di bawah… misalnya si A, fasilitatornya
siapa, gitu. Jadi pada saat mereka melaksanakan aktivitas kesukarelawanan itu, si
fasilitator ini harus tahu. Gitu lho. Oh aku lagi melaksanakan kegiatan misalnya
dokter tadi, mendidik anak-anak menjadi dokter kecil di sekolah A, dari jam
berapa sampai jam berapa, fasilitator harus tahu, karena kalau misalnya terjadi hal
yang tidak diinginkan, misalnya oh sekolah kurang nyaman dengan personil
sukarelawan tersebut, jadi bisa langsung menghubungi pihak sekreatariat
fasilitator yang ada di sekretariat tersebut, gitu. Kemudian begitulah rencana
awalnya seperti itu. Nah jadi akhirnya saya membuat… untuk bisa melaksanakan
itu, saya buat 7 strategi ini, awalnya. Pemetaan, promosi, ada perekrutan,
kemudian ada pelatihan, pengkaderan, terus pendampingan, yang saya sebutkan
fasilitator harus tahu sukrealawannya ada dimana, sedang melaksanakan apa, dari
jam berapa sampai jam berapa, seperti itu. Nah kemudian setelah pendampingan,
kemudian ada kelembagaannya, gitu. Nah, kalau maksud saya di tahun 2011
kemarin itu, merupakan pilot project-pilot project yang saya berharap kegiatan itu,
meskipun tidak mendapatkan bantuan biaya dari Kemenpora, untuk tahun
selanjutnya mereka bisa mencari dana sendiri, apakah itu mengajukan dana ke
CSR atau gimana gitu lho. Karena kalau menurut saya banyak sih industri atau
perusahaan yang mau memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga yang
memang bergerak bidang kesukarelawan seperti itu. Nah namun nampaknya
karena ini baru satu tahun, kemudian masih jalannya juga masih tertatih-tatih,
antara jalan dan tidak, jadi mungkin ya CSR yang mau bantu kan juga belum ini.
Jadi saya berharap adik-adik yang sudah mendapat bantuan itu, bisa berjalan
setelah mendapat bantuan dari Kemenpora gitu. Nah memang sih di tahun 2013,
saya ada anggaran tapi itu untuk dekon, dana dekonsentrasi itu adalah anggaran di
pusat yang didaerahkan. Jadi nanti yang melaksanakan adalah Dispora. Itu tidak
bisa kabupaten/kota tapi bisanya di propinsi. Kalau anggaran dekonsentrasi itu
adanya di propinsi. Kalau tugas perbantuan itu bisa sampai kabupaten/kota tapi
Kemenpora tidak punya anggaran untuk tugas perbantuan. Tugas perbantuan itu
biasanya dalam bentuk fisik. Bantuan gedung, bantuan apa, gitu lho. Kalau yang
dekon itu dalam bentuk anggaran uang untuk melaksanakan suatu kegiatan.
Rencana saya, kalau di 5 kota ini berjalan dengan baik, ini nanti saya buat
semacam contoh, gitu lho untuk tahun 2013, untuk melaksanakan kegiatan
kesukarelawanan tersebut. Jadi kegiatan kesukarelawanan ini tidak temporer, tapi
berjalan terus, gitu. Jadi kalau misalnya sukarelawan A sudah melaksanakan
kegiatan selama 14 hari, kemudian juga sudah membuat laporan-laporan
kegiatannya, kalau dia sudah selesai 14 hari, dia akan menjadi… bisa menjadi
fasilitator. Seperti itu.

Universitas Indonesia
166 
 
 
(Lanjutan)

 
Artinya setelah 14 hari itu, peserta relawan bisa lanjut tetap di RMI?
Lanjut, lanjut. Diharapkan meskipun programnya 14 hari tapi setelah selesai
mereka melaksanakan 14 hari, mereka diharapkan tetap bergabung dengan RMI,
gitu lho. Apakah dia akan lanjutkan… karena terus terang kalau bisa itu
dilaksanakan secara terus menerus, Kemenpora juga akan memberikan reward
gitu lho. Reward apakah itu dalam misalnya mereka bisa mengikuti kegiatan yang
dilaksanakan oleh Kemenpora, seperti itu. Ya, jadi kan dia harus berapa kali 14
hari, misalnya 14 hari dapat pin, misalnya 14 hari lagi dapat apa lagi, seperti itu.
Rencananya seperti itu.

Tapi apakah itu sudah sama-sama dipahami dengan RMI?


Ya sudah. Sudah. Saya udah menyampaikan ini bolak-balik ke Mas Oka, Mas
Mahir, tapi selalu dia menyampaikan memang dalam pelaksanaan di lapangan
susah. Seperti saya waktu di Lampung. Di Lampung banyak anggota RMI itu, tapi
setelah saya tanya mereka tidak melaksanakan dalam bentuk… Kan kalau Pak
Menteri lebih ke arah personil, jadi pribadi 14 hari. Nah tapi yang ada di
Lampung itu tidak personil namun komunal, gitu lho. Jadi kelompok, misalnya ke
panti asuhan, semacam membuat hiburan adik-adik yang ada di panti asuhan,
gitu. Seperti itu,.

Sebenarnya konsep RMI itu datangnya ide dari Pak Menteri dulu atau
memang dari Mas Oka dan teman-teman yang sudah pernah mengadakan
yang datang ke Kemenpora?
Nggak, jadi mereka saya undang, jadi saya… oleh pak Menteri untuk membuat
kegiatan tentang kesukarelawanan. Memang itu hal yang baru di tahun 2011 itu.
Nah kemudian saya ketemu dengan mas Mahir. Saya ngobrol dengan Mas Mahir,
Pak Menteri menghendaki seperti ini, seperti ini, seperti ini. Nah kemudian
mereka membentuk kelompok-kelompok , di antaranya ada Mas Oka, Mas Anom.
Diolahlah mereka, rapat dengan saya. Nggak mungkin itu ide murni dari dia,
nggak. Bukan. Jadi itu ide… bagaimana kita menerapkan ide yang sudah ada dari
pak Menteri gitu lho. Nah tapi misalnya… it’s OK logo adik-adik yang
memunculkan ide itu, kemudian slogannya, ya tapi ide dari seluruh kegiatan itu
dari Pak Menteri. 14 hari itu, tadinya 7 hari. Tapi setelah di konsultasikan dengan
Pak Imam Prasodjo, nampaknya kalau 14 hari, kalau 7 hari masih kurang.
Sehingga ada baiknya itu menjadi 14 hari. Jadi memang harapan Pak Menteri,
personil datang, melaksanakan, balik, lapor, ini sudah melaksanakan ABCDEFG
di sana gitu. Tapi nampaknya karena mungkin juga karena di kita bukan budaya
kita bukan budaya individual gitu, jadi agak susah juga untuk melaksanakan itu.

Pendapat teman-teman di RMI, jika langsung menawarkan 14 hari, anak


muda akan langsung mundur. Apakah ada kekhawatiran seperti itu atau
memang sudah pas 14 hari?
Kalau menurut saya lho ya, secara pribadi, kalau itu 7 hari memang kayaknya
kurang. Kalau menurut saya 14 hari itu ya cukuplah, gitu ya. Kalau dari situlah
nanti muncul siapa sih yang benar-benar ingin menjadi relawan. Naah. Jadi kan

Universitas Indonesia
167 
 
 
(Lanjutan)

 
kalau 7 hari selesai, selesai. Jadi belum muncul… sebetulnya sukarelawan itu kan
bukan hanya karena diajak, terus kemudian dilatih jadi sukarelawan kan nggak.
Sebenarnya itu lebih ke arah sentuhan hati, kan? Memang aku pengin gitu lho.
Ada unsur itu. Ada unsur aku pingin kok jadi relawan gitu ya. Contohnya seperti
itu. Karena kadang kita jalan ya, kita jalan. Ada barang jatuh misalnya, itu kalau
kita nggak ada keinginan hati – ada pantek kalau orang Jawa bilang – untuk
membantu lho ini lho ada barang jatuh diberikan kepada orang yang barangnya
jatuh tadi. Kalau cocok nggak akan melakukan itu kan? Nah tapi kalau misalnya
memang dia ada di situ ada jiwa sukarela, pasti dia akan melakukan itu. Kalau
menurut saya lho. Memang ini tidak mudah gitu, karena apa, sebetulnya
masyarakat kita itu masyarakat yang gotong royong, gitu. Namun dengan
berjalannya waktu, sedikit demi sedikit jiwa kegotongroyongan itu kan dikikis
habis dengan budaya dari luarlah, pengaruh budaya dari luarlah, seperti itu. Nah
akhirnya muncullah mereka menjadi individu-individu. Nah bagaimana,
maksudnya mendorong lagi gitu lho semangat gotong royong yang sudah terkikis
itu bagaimanalah kita hidupkan lagi. Seperti itu.

Struktur yang diharapkan di RMI bagaimana?


Ya ini ide saya saja. Nanti ada di pusat itu… saya ingin membuat semacam
lembaga yang kecil gitu, tapi dia bertanggung jawab untuk pelaksanaan kegiatan
kesukarelawanan ini gitu lho.

Arahnya ke RMI diharapkan seperti itu?


Ya RMI, harapan saya seperti itu. Di daerah ada, di pusat ada.

Strukturnya mirip seperti ini?


Apapun nanti namanya, tapi fungsi itu ada, gitu lho. Fungsi ada sekretariat, itu
yang nantinya menjalankan website itu, meng-update website, kemudian dia harus
data sukarelawannya, juga harus ada di situ. Kemudian data fasilitatornya berapa,
kemudian lokasinya ada dimana saja, seperti itu. Nah itu untuk fungsi
administrasi kan yang di sekretariat itu.
Promosi dan rekruitmen, itu kan untuk campaign ke sekolah-sekolah, perguruan
tinggi, sekaligus untuk rekrutmen sukarelawan, gitu. Nah setelah mereka direkrut,
kemudian dilatih, meskipun hanya pelatihan singkat. Misalnya memperkenalkan
ini lho kode etiknya, ini lho kalau kamu mau melaksanakan kesukarelawanan. Jadi
ini harus bawa bekal bukunya, atau mungkin seragam kaosnya, jadi bisa
diketahui identitasnya dengan pasti, gitu..

Struktur ini akan dijalankan RMI?


Ini memang belum, ini bayangan saya ke depan gitu lho. Belum disampaikan
dengan RMI, karena ini nanti tahun 2013 nanti kan ada di daerah-daerah. Nah ini
baru akan saya sampaikan kalau misalnya di tahun 2013 itu di daerah sudah ada,
itu di pusat juga sudah ada.
Informasi dari teman-teman RMI inginnya sifatnya informal saja, segala
sesuatu dilakukan sama-sama.

Universitas Indonesia
168 
 
 
(Lanjutan)

 
Nanti nggak bisa jalan kalau seperti itu. Organisasi seperti itu nggak bisa jalan.
Nggak bisa. Dalam jangka waktu yang panjang nggak bisa. Apalagi kalau
sukarelawannya sudah banyak. Semua sama dong? Nggak bisa begitu. Pasti harus
ada pengelolanya kan gitu. Pembagian tugasnya juga harus jelas gitu.

Maksud pemetaan ini apa?


Pemetaan, kan sebelum melaksanakan aktivitasnya itu, maksud saya dulu adik-
adik itu harus memetakan dulu lokasi, misalnya oh lokasi mana yang akan
dilaksanakan kegiatan sukarelawanan. Apakah itu di daerah kumuh, apakah itu di
panti asuhan, apakah di sekolah, atau dimana, gitu. Harus ada itu, peta dulu
lokasinya di mana.
Terus kemudian kompetensi harus ada pemetaan kompetensi relawan, ya. Dari
pendaftaran itu nanti bisa dilihat, ya tho. Ooh ini misalnya lulusan SMA, ooh ini
sarjana lulusan S1 ekonomi ooh ini sarjana lulusan kimia, kan gitu? Kemudian
kebutuhan relawan itu apa aja tho? Kebutuhan penerima manfaat, panti asuhan
butuh apa, nah kita punya apa, kalau ada kan bisa match, seperti itu.

Perekrutan relawan bisa melalui program Kemenpora yang lain, dilakukan


bersamaan seperti PSB3? Atau ini khusus program kerelawanan untuk
RMI?
Kalau menurut saya bisa saja tho. Bisa saja. Kalau menurut saya PSB3 itu juga
relawan, lho. Dia dapat gaji, kalau yang ide dari Pak Menteri ini, relawan ini
bener-bener nggak dapet dapat uang saku, tidak ada uang transport, tidak ada uang
makan, jadi memang benar-benar sukarelawan bener. Gitu.

Sejauh ini pelatihan sudah berjalan?


Ini konsepnya seperti itu. Jadi misalnya si A mau melaksanakan kegiatan
misalnya apa ya… adik-adik itu yang di Lampung misalnya itu penanaman pohon.
Saya ngomong, lho bulan begini kok menanam? Bulan Maret? Apa nggak keliru?
Saya bilang gitu kan? Nah itu berarti dia nggak ngerti tho secara teknis menanam?
Gitu lho. Mestinya harus ada pelatihannya dulu. Gini, misalnya oh kalau mau
menanam misalnya oh ini kerjasama dengan kehutanan menanam pohon. Pohon
apa, gitu ya? Dimana, gitu ya? Lihat bulannya, bulannya pas nggak? Kalau
menanam itu kan sekitar bulan Oktober-November, kalau bulan Maret dapat
hujan dari mana? Nah kalau ditanam di bulan Oktober, Allah sudah memberi
hujan gratis, tapi kalau ditanam di bulan Maret sudah mulai kemarau. Tanaman
kan mati. Udah itu tadi dari waktu penanaman. Kemudian dari cara menanam,
seperti itu. Nah, kalau misalnya bantuan singkat, kalau sukarelawanan itu sudah
mempunyai kemampuan misalnya tadi dokter, kemudian dia melatih sekolah
menjadi dokter kecil, berarti dia kan sudah mempunyai kompetensi, pelatihannya
mungkin kita cuma menyodorkan ini lho kode etiknya. Seperti itu. Ini lho aturan
main yang ada di RMI, seperti itu.

Sejauh ini sudah dilakukan seperti itu? Maksudnya pemberian pengertian


kerelawanan, kode etiknya, atau langsung terjun ke lapangan?

Universitas Indonesia
169 
 
 
(Lanjutan)

 
Kalau yang melihat, mendaftar melalui website, di website itu ada kode etiknya
seperti itu.

Konsep kode etik itu munculnya bagaimana?


Kemenpora punya konsep, kemudian saya lemparkan ke adik-adik, saya
diskusikan dengan adik-adik, yang ada di situlah kemudian muncul ada kode
etiknya.

Arahan ke depan akan ada kesekretariatan RMI. Ada rencana untuk


bantuannya?
Kalau rencana ke depan, dengan anggaran dekon itu, itu untuk sekretariat, untuk
biaya sekretariat, itu di pusat dan daerah. Ada honor untuk fasilitator, seperti itu
tahun 2013 nanti.

Ada kecenderungan RMI untuk tetap informal, tanpa kesekretariatan.


Padahal tantangannya lebih berat ke depan untuk 33 provinsi.
Ya, 33 provinsi. Kalau seperti itu tadi kita kan sama-sama ya nggak bisa namanya
organisasi yang besar. Kan gitu.

Laporan masih dianggap sesuatu yang formal. Akhirnya tidak dikerjakan.


Akhirnya solusinya dibuat sebagai testimoni.
Kalau menurut saya, yang namanya laporan itu memang tidak harus dalam bentuk
tulisan, makanya kan ada laporan dalam bentuk foto, dalam bentuk video, kan
gitu. Boleh, boleh, waktu di website-nya kan ada laporan itu dalam bentuk
testimoni, di twitter gitu. Bisa dalam bentuk foto, bisa dalam bentuk video
kegiatanmu, itu kan sudah laporan tidak harus dalam bentuk tertulis. Tapi
memang itu menurut saya itu menjadi tugas fasilitator, untuk membuat itu.
Pesertanya membuat laporan pribadi, kan? Bisa dalam bentuk foto, bisa dalam
bentuk video, kan gitu. Yang merangkum itu mereka yang fasilitator.
Fasilitatornya merangkum untuk membuat laporan. Lha kan nggak ada laporannya
lah gimana nanti kegiatannya apa? Kan nggak bisa diketahui? Kita bisa tau ooh
Relawan Muda Indonesia sudah melakukan ini ini ini dari mana kalau nggak ada
laporan? Misalnya udah nggak usah bikin apapun, nggak usah bikin foto, nggak
usah bikin video, nggak usah bikin testimoni, kan nggak ada artinya? Kan gitu?
Jadi menurut saya laporan itu penting, tapi mungkin bisa tidak dalam bentuk
tulisan. Bisa dalam bentuk testimoni di twitter, bisa dalam bentuk foto, video,
gitu. Tapi itu sudah menjadi kewajiban, mereka yang ada di sekretariat itulah
nantinya yang membuat laporannya. Gitu lho.

Untuk mengetahui keberhasilan program RMI dengan membuat laporan.


Ada lagi parameter keberhasilan, misal dari jumlah relawan, ditargetkan?
Sebenarnya sih karena ini masih program yang masih baru, jadi terus terang saya
tidak menentukan target adik-adik yang di luar daerah itu, tapi secara fungsi

Universitas Indonesia
170 
 
 
(Lanjutan)

 
secara tugas di kedinasan saya ada target, gitu lho sampai tahun 2014 jumlahnya
sekian. Ada tuh lihat di website, tagihannya berapa untuk sukarelawan itu. Tapi
kalau yang di Rentra itu sukarelawannya di daerah perbatasan, di daerah terpencil,
di daerah konflik, seperti itu. Nah sementara kalau yang di RMI ini kita juga
mengadakan pelatihan-pelatihan relawan di daerah perbatasan, di daerah konflik,
itu kita mengadakan pelatihan, tapi ini adalah model yang diciptakan oleh Pak
Menteri.

Ada kekhawatiran bahwa RMI hanya cocok di kota besar karena pilot
project-nya di 5 kota besar. Bagaimana menurut Ibu?
Nggak juga. Yang di Jogja itu, yang mereka melakukan kegiatan semacam
meremajakan kopi, itu di desa. Jadi kegiatan ini tidak hanya diperuntukkan
mereka yang ada di kota, di desa pun juga bisa, gitu. Kalau menurut saya,
kegiatannya itu misalnya… di daerah konflik misalnya, itu mereka bisa kok…
relawannya itu memberikan semacam… kemarin kita sudah melaksanakan kan
kegiatan pelatihan untuk daerah konflik. Jadi mereka nantinya misalnya ke depan
itu bisa menjadi semacm informan, gitu kalau oh di daerah sana ada konflik.
Bagaimana mereka ikut secara sukarela meredakan, bagaimana supaya konflik itu
tidak terjadi.

Bagaimana mengetahui kesiapan para relawan?


Nah itu di tahun 2012 ini saya berusaha untuk bisa membuat semacam pelatihan.
Pelatihan TOT itu yang saya undang nanti adalah kepala bidang kepemudaan dari
33 propinsi. Yang saya harapkan mereka mengikut sertakan 1 orang sukrelawan
yang ada dii daerah tersebut. Gitu.

Artinya Ibu tidak menunggu target tercapai, tapi mempersiapkan segala


sesuatu untuk tahun 2013?
Jadi memang harapannya begini, jadi kalau misalnya ada pemuda yang kemudian
berminat untuk menjadi relawan, datang ke dinas, apa yang bisa saya bantu? Nah
seperti itu, jadi dinas itu tahu, kompetensiku apa, gitu. Oh misalnya saya cocok di
bidang ini, oh silakan Anda melakukan kegiatan kesukarelawan di daerah kami
sesuai kompetensinya, gitu lho.
Nantinya tahun 2013, apa hubungan RMI dengan Dispora? Sekedar
koordinasi atau RMI diletakkan di bawah dinas? Bagaimana strukturnya?
Ya. Dengan sendirinya dibawah dinas.

Ada kekhawatiran nanti jika di bawah dinas, agak birokratis. Bagaimana


menurut Ibu?
Itu memang, sejak awal, pembicaraan saya dengan Mas Mahir, Mas Oka, Mas
Anom, mereka menyampaikan bahwa nampaknya pemuda itu agak apalah gitu
dengan program yang dibuat pemerintah gitu. Agak resisten yang dibuat oleh
pemerintah. Itu terus terang, ,pada saat saya paparkan, saya diminta Asdep
Promosi untuk menyampaikan paparan tentang konsep kesukarelawan yang ada di
Menpora, itu ada pertanyaan yang mengarah ke sana gitu. Tapi aku sampaikan

Universitas Indonesia
171 
 
 
(Lanjutan)

 
bahwa ini memang program untuk bagaimana kita memberikan penyadaran
kepada pemuda, memberdayakan pemuda yang di waktu luangnya mereka nggak
punya kegiatan gitu lho. Jadi mereka supaya memanfaatkan waktu luangnya
untuk kegiatan yang positif, yang produktif gitu lho. Jadi memang, saya rasa
saya terus terang nggak yakin dengan apa yang di sampaikan adik-adik, belum
tentu semua secara general semua pemuda itu resisten dengan program yang
dibuat oleh pemerintah, kan gitu lho. Kalau menurut saya nggak lah gitu, pasti ada
pemerintah… kalau membuat program itu kan pasti juga nggak mungkin
membuat program yang nggak bagus untuk pemuda kan gitu.

RMI sudah dimasukkan ke Renstra? Bentuknya seperti apa di Renstra?


Ada kan kesukarelawanan? Maksudku di poin-poinnya di Rentra itu ada,
kesukarelawanan itu, malah tenaga kepemudaannya yang nggak ada. Jadi tidak
sekalimatpun bunyi tenaga kepemudaan itu ada di Undang-undang maupun di
Restra. Tapi kesukarelawanan justru ada. Bahkan tagihannya ada di Rentra. Jadi
kalau saya diberi tugas untuk kesukarelawanan ini, saya malah bersyukur karena
ini memperkuat struktur di tempat saya, karena kesukarelawanan disebut dalam
Undang-undang nomor 40 maupun di dalam Restra. Gitu.
Nah ini di Pendahuluan ada. Di Bab 1. Di sini juga ada. Di halaman 46.
Pengembangan kepedulian pemuda, antara lain melalui fasilitasi sarjana kader
pembangunan perdesaan juga fasilitasi kader kesukarelawanan di daerah
tertinggal, bencana, konflik... Terus ada lagi disebutkan di bab 1 juga ada.

RMI ini baru dievaluasi dari berapa bulan? Baru 7 bulan?


7 bulan, Juni lah Desember sampai Juni. Desember itu juga akhir juga itu. Kick
off aja baru 24.

Apa harapan Ibu sendiri terhadap RMI ini? Apakah RMI ini bisa go
international?
Iya, kalau saya mimpi di tengah kepemudaan bagaimana saya melayani
kepemudaan di daerah dan di pusat, sesuai dengan konsep dengan .. saya berharap
ini tidak hanya dilakukan di Indonesia saja, pertukaran atau fasilitator ikut
pelatihan di Negara mana, kita bisa go international, kenapa tidak.., seperti itu,
kalau menurut saya, beberapa waktu yang lalu, dari Inggris, katanya sudah
melaksanakan kerelawanan di NTT dan di Makasar , saya ingin menambah
konsep kerelawanan itu, saya ingin belajar juga, …, saya merasa karena ini masih
baru, masih premature menurut saya, saya harus memperkaya konsep dan
manfaatnya baik buat pemuda, bisa dilaksanakan tidak hanya konsep saja, dalam
pelaksanaannya tidak lebih mudah.

Universitas Indonesia
172 
 
 
(Lanjutan)

 
Informan : Arnaldi (fasilitator dan ketua kelompok relawan di PA Tebet)
Tempat : Universitas Paramadina
Hari/Tanggal : Rabu/20 Juni 2012
Waktu : Pukul 16.30 – 17.00 WIB

Ikut program kerelawanan sejak kapan?


Ikut komunitas kerelawanan SMA pernah ikut tapi itu cuma berlangsung sebulan.
Nah pas nyampe di Jakarta nemu lagi komunitas kerelawanan namanya RMI,
kebetulan temen-temen banyak sih yang ikut RMI, jadi nyoba-nyoba dapat feel-
nya gitu.

Jadi ikut RMI karena banyak teman kampus?


Sebenernya karena ikut temen-temen nggak juga sih. Karena ada keterrtarikan
dari dalem, karena SMA pernah ikut organisassi kerelawanan. Tepatnya di
kabupaten Bulukumba. Kalau dulu sih berkaitan dengan PMR. Tapi kita juga
buka jaringan di luar. Masih di naungan sekolah sih.

Tapi namanya bukan PMR?


Dulu sih namanya PMR. Tapi istilahnya, kita sayapnya lebih diluasin lagi gitu.

Kerelawanan di SMA itu sifatnya mengajar juga?


Sifatnya sih bukan cuman mengajar. Kalau di RMI sifatnya mengajar gitu. Kalau
di SMA kita juga bantu adik-adik, kita ngumpulin buku.

Jadi memang dari awal sudah terlibat dalam organisasi kerelawan, lalu di
kampus banyak yang ikut RMI. Ada berapa orang dari Paramadina yang
ikut?
Dari Paramadina pada waktu itu lebih dari 10 orang.

Semuanya menjadi fasilitator?


Mereka statusnya menjadi relawan. Pada saat awal terbentuknya RMI kita semua
masih dalam status relawan, belum ada fasilitator. Nah pada waktu kita bikin
agreement dengan panti asuhan, baru ada sistem fasilitator. Jadi ada yang berperan
sebagai fasilitator dan ada yang berperan sebagai relawan.

Kamu berperan sebagai fasilitator dan relawan sekaligus?


Jadi kemarin itu kebetulan saya yang ditunjuk sebagai fasilitator panti asuhan di
Tebet. Relawan di panti asuhan Tebet awalnya sih ada enam. Kebetulan
relawannya masih agak sibuk, jadi jadwalnya kosong. Kebetulan saya tertarik
mengajar. Saya mengajar bahasa Perancis di panti asuhan Tebet. Jadi merangkap
statusnya, sebagai fasilitator ya sebagai relawan ya.

Belajar bahasa Perancis di mana?


Kebetulan di Paramadina juga sempet mengambil second foreign language. Jadi
bahasa asing kedua gitu. Ngambil bahasa Perancis. Masih dasar.

Universitas Indonesia
173 
 
 
(Lanjutan)

Misalkan, tidak ada teman di RMI yang mengajak, tapi tahu RMI, tetap ikut
tapi tidak?
Tetap ikut. Karena memang sudah tertarik dari awal.

Tapi jika bersama teman-teman jadi berbeda ya?


Istilahnya kalau sama teman-teman… Pertama nih, pasti bakal sama pemikiran,
soalnya kita sering diskusi sih mengenai RMI. Terus kedua, makin semangat gitu,
karena kita bareng sama orang-orang yang kita kenal. Istilahnya walapun kita
belum bergabung dengan RMI, kita udah kenalan gitu.

Artinya Arnald sudah tahu konsep kerelawanan? Artinya apa menjadi


relawan?
Relawan kan atas dua kata. Sebenarnya sih sudah jadi wacana yang luas gitu. Rela
dan wan. Rela berarti sukarela tanpa pamrih. Wan berarti orang. Berarti orang-
orang yang memang secara sukarela mereka meluangkan waktu untuk berbagi
dengan orang lain. Artinya sih kayak gitu.

Kalau tujuan RMI sudah tahu? Untuk mengembangkan jiwa kerelawanan


anak muda?
Gimana menumbuhkan rasa kepedulian dari anak muda terhadap orang lain, gitu.
Soalnya dari pemikiran masyarakat kan anak muda itu cuma identik sama
kekerasan, hura-hura. Semacam kayak gitu. Jadi kita di RMI coba menarik anak
muda. Kita tahu mereka punya waktu luang yang banyak dan dari waktu luang itu
kita mengajak mereka untuk berbagi dengan orang lain seperti kayak mengajar di
panti.

Berarti sejauh ini RMI Jakarta sejak bulan Januari?


Kalau kick off nya sendiri sih dari Desember.

Kalau kegiatan di PA Tebet dari bulan apa?


Dari Tebet itu akhir Januari.

Berarti sudah hampir 5 bulan lebih?


Iya, kalau efektivitas mulai ngajarnya tuh bulan kedua. Februari. Kalau Januari
kita masih bikin komunikasi awal. Terus kemudian sinkronisasi waktu luang
relawan sama waktu luang anak-anak panti.

Sebenarnya apa motivasi Arnaldi mengikuti program RMI? Apakah karena


kepedulian terhadap orang lain atau karena yang lain seperti ini program
dari Kemenpora?
Kalau saya sih, saya salah satu orang yang punya banyak waktu luang dan
melihat di panti asuhan kan banyak anak kecil. Kebetulan saya juga senang sih
sama anak kecil. Jadi waktu denger RMI, sempet mikir juga sih, ngapain juga
kalau misalkan tinggal di kontrakan nggak ngapa-ngapain mending buat berbagi

Universitas Indonesia
174 
 
 
(Lanjutan)

 
aja sama anak-anak panti asuhan. Istilahnya kita punya sesuatu buat dibagiin,
mengapa nggak?

Sebelum masuk panti asuhan, apakah Arnaldi terlibat survei ke panti


asuhan?
Udah mulai terlibat. Survei ke panti asuhan sama rekrutmen relawan. Jadi kita
pernah mengunjungi salah satu sekolah di Jakarta. Kita ngajakin anak SMA buat
jadi relawan di RMI. Yang itupun dengan mahasiswa di universitas.

Jika dibandingkan dengan panti asuhan yang lain, berapa banyak relawan di
panti asuhan Tebet?
Yang terakhir itu, kalau dibandingkan sama panti asuhan yang lain sih, Tebet
terbilang dikit relawannya. Waktu daftar sih ada tujuh. Pas berjalan, masing-
masing ada yang sibuk kuliah. Terus misalkan minggu ini ada yang nggak dateng.
Kebetulan ada relawan yang baru yang masuk terus digantiin posisinya. Jadi
kayak fluktuatif gitu jumlahnya. Kalau sampai sekarang sih sisanya ada dua.
Soalnya yang lain itu katanya udah kerja, terus sibuk kuliah.

Paling banyak pernah berapa?


Pernah tuh paling banyak enam.

Ada yang sudah sampai 14 hari jadi relawan? Berapa orang?


Ada. Istilahnya 14 hari itu dua minggu. Dia kan setiap minggu ngajar. Kalau
itungannya dua minggu, banyak sih yang udah lebih dari dua minggu.

Sekarang masih ada yang meneruskan?


Sekarang masih ada yang nerusin.

Sekarang paling banyak dua orang itu?


Soalnya kita juga sekarang kalau ngajar gitu masih berjalan dan disamping itu kan
ada persiapan juga buat acara gedenya RMI, Carenaval.

Jadi sekarang lebih fokus ke Carenaval?


Kita sih sekarang lebih fokus ke Carenaval. Walaupun di samping itu masih ada
relawan yang ngajar di panti asuhan.

Kapan mereka mengajar?


Jadwal ngajarnya dua orang itu Selasa sama Jumat.

Arnaldi sekarang kapan mengajar?


Kalau saya sendiri sih lagi nggak ngajar sekarang. Karena fokus ke Carenaval.
Sebenarnya saya sih saya berjalannya cuma sebulan soalnya waktu itu jadwal
ngajar Perancisnya kebetulan dipakai acara anak-anak panti asuhan gitu. Jadi
jadwalnya nggak berjalan.

Universitas Indonesia
175 
 
 
(Lanjutan)

 
Sebelum ikut berbagai kegiatan RMI, apakah sudah diterangkan prosesnya
sebelumnya?
Awalnya itu diterangin sih sama Bang Misbah. Proses rekrutmen, proses survei.
Jadi kita bikin forum gitu buat diskusi langkah-langkah rekrutmen kayak gimana.
Terus nanti kita kalau survei kayak gimana juga.

Dari kegiatan yang sudah dilakukan, apakah ada apresiasi yang diberikan?
Misalnya ucapan terima kasih melalui sms.
Kalau saya kan statusnya sebagai fasilitator, paling saya sih yang ngasih ucapan
terimakasih ke relawan. Misalkan, tadi gimana? Jadi ngajar nggak? Ya, jadi.
Anak-anaknya gimana? Pokoknya diceritain. Terus nanti di akhir, oh ya makasih
ya. Jangan bosen gitu ngajar di panti asuhan.

Dalam hal ini Arnald berperan sebagai fasilitator yang mewakili RMI?
Ya mungkin pimpinan cabang lah.

Apakah ada apresiasi yang lain? Misal lewat twitter?


Di twitter sering… tapi secara umum gitu. Misalkan relawan gini terima kasih
udah sempet ngajar gitu. Terus dalam acara Carenaval yang nanti dibentuk itu
juga sebagai bentuk apresiasi terhadap relawan yang udah ngajar beberapa bulan,
termasuk ucapan terima kasih kepada adik-adik panti asuhan, misalnya.

Apakah ada apresiasi dari keluarga atau teman-teman


Yang relawannya? Belum sih, belum pernah.

Apakah ada relawan yang pernah bercerita tentang apresiasi dari keluarga
atau teman-teman?
Kalau sama saya sih belum ada yang cerita. Mungkin kalau sama Netta kali ya.
Soalnya Netta istilahnya lebih cair gitu sama anak-anak.

Sejauh mana Arnald punya kedekatan dengan peserta?


Kalau dari segi ketemu, mungkin ketemunya pas lagi mereka ngajar di panti.
Terus kita lagi konsolidasi, artinya kita ngumpul pas nyatet data relawan, sama
paling lewat kontak HP. Mastiin besok ngajar nggak?

Apakah pernah ada yang bercerita tentang internal mereka sendiri atau
keluarga?
Kalau cerita mengenai internal mereka di keluarga, nggak pernah sih. Cuma
mereka pas yang gue inget tuh pas hari pertama ada yang sempet cerita, kak ini
merasa nggak siap nih buat ngajar. Nggak taunya sayanya yang kurang atau
merekanya yang udah cerdas banget tuh. Jadi kita sebagai fasilitator ngasih
semangat gitu ke mereka. Coba aja dulu. Hari pertama mungkin perlu perkenalan,
saling mengenal satu sama lain. Gitu-gitu aja sih.

Ada hambatan di PA Tebet?

Universitas Indonesia
176 
 
 
(Lanjutan)

 
Mereka justru menerima banget. Kalau dari segi panti asuhannya sih, mereka
menerima. Bahkan mereka seneng gitu kalau anak-anak relawan ngajar. Bahkan
kalau misalkan ada yang nggak dateng, ibunya tuh cerita kalau adik-adiknya adaa
yang sedih gitu kalau misalnya relawannya nggak dateng. Soalnya kalau misalkan
antara relawan dan anak-anak panti asuhan dekat.

Berapa jumlah anak-anak di panti asuhan Tebet?


Macem-macem sih Kalau SD ada sekitar 14. Yang SMP cuma 4 apa 5 gitu. SMA
ada 7. Sekitar gitulah.

Apa pengorbanan yang diberikan oleh Arnald sebagai fasilitator? Pulsa


misalnya.
Kalau misalkan pengorbanan mungkin iya pulsa, waktu. Soalnya kan kalau
misalkan ada relawan yang baru kan tugas fasilitator kan dia nemenin dulu
relawan barunya. Kenalin ke adik-adiknya terus abis itu pertemuan kedua mereka
ya udah, relawannya udah dilepas.

Setelah mengikuti program RMI, sebagai fasilitator atau relawan yang


mengajar, ada efek perubahan yang dirasakan Arnald?
Efek yang paling terasa sih, pertama emang selalu pengen berbagi, gitu. Kalau
misalkan… paling manajemen waktu soalnya kalau di Tebet juga sebagai
fasilitator kan manajemen waktu saya sendiri juga. Misalkan kita ngatur relawan
otomatis itu ngasih efek ke diri sendiri gimana buat disiplin, kayak gitu-gitu.

Kalau untuk kekompakan tim relawan di panti asuhan Tebet?


Kalau untuk relawan sendiri, ada sih beberapa relawan yang misalkan dia bikin
janji sama anak-anak panti asuhan, tapi relawannya mungkin sibuk terus punya
urusan lain, dia nggak dateng, terus konfirmasinya agak telat. Jadi anak-anaknya
sih ada yang agak kecewa gitu. Misalkan ada relawan yang dia ngajar olahraga,
Sabtu Minggu sih jadwalnya. Tapi Sabtu Minggu tuh dia sering balik ke rumah
gitu. Dia nggak dateng, terus kata ibu-ibu pantinya, anak-anaknya itu udah
bangun pagi, pake sepatu, terus kakaknya ditungguin terus kakaknya nggak
dateng. Malahan katanya tuh anak-anak panti asuhannya mereka pengen dibeliin
sepatu. Udah dibeliin sama ibu-ibu panti asuhannya buat olahraga. Malahan
pernah nggak dateng. Tapi kita bangun lagi mereka. Jangan sampai gara-gara itu
mereka kecewa bahkan nggak mau diajar lagi sama relawan.

Peserta relawan diharuskan membuat laporan. Apakah mereka memang


membuat laporan atau Arnald yang membuatkan?
Kalau kemarin sih, buat laporan lewat sms. Misalkan mereka abis ngajar, di-sms-
in. Tadi ngajar apa, materinya tentang apa, jumlah pesertanya, jumlah anak-
anaknya ada berapa. Misalkan ngajar, Citra, dia ngajar matematika buat anak SD.
Saya tanyain misalkan tema materinya apaan, perkalian pembagian. Jadi bagi
fasilitator, saya juga punya jadwal buat mereka. Jadi hari ngajarnya kapan, terus
materinya apa, jumlah anak-anak yang diajar berapa. Kayak gitu-gitu.

Universitas Indonesia
177 
 
 
(Lanjutan)

 
Jadi selama ini laporan lewat SMS. Apakah diteruskan kepada koordinator
RMI Jakarta?
Jadi, saya bikinin laporan bulanan. Nah, nanti saya kirim ke Netta.

Apa harapan Arnaldi untuk RMI? Terutama tantangan RMI disebarkan di


33 provinsi?
Kalau saya sendiri sih, RMI kalau misalkan dia pengen disebarin ke 33 provinsi,
mending RMI Jakarta istilahnya kita konsolidasi dulu. Kita evaluasi. Terus kita
buat manajemen yang emang mapan gitu sebelum kita keluar. Nah kan kemarin
ada cabang RMI ya bukan cuma di Jakarta. Ada lima. Dan sepengetahuan saya,
ada beberapa yang nggak berjalan. Sampai sekarang malahan. Kemarin saya sih
setahu saya ada di Makassar deh, kalau nggak salah. Mungkin untuk sumbernya
dikonfirmasi aja kalau misalkan… itu kan salah satu buktinya RMI memang harus
manajemen yang mapan, termasuk gimana maintain relawan yang udah ada.
Gimana rekrutmen dan survei ke panti asuhan kalau memang fokusnya ngajar
gitu.

Sekarang struktur RMI masih nonformal. Apa pendapat Arnaldi tentang


kebutuhan struktur formal untuk menghadapi tantangan ke depan?
Kalau ditanyain formalitas dari struktur, kalau ada struktur kan berarti setiap tugas
dari komponen dari sebuah organisasi bakalan jelas gitu. Dan kalau misalkan
informal kan istilahnya ngacak aja. Misalkan lu bisa bisa nutupin apa, ya udah
kerjain aja. Kalau saya pribadi sih kalau yang formal penting, soalnya dari situ
kan misalkan kita bisa tahu lu kerjanya apa. Jadi punya batasan gitu. Tinggal tiap
orang punya area masing-masing dan nggak melakukan intervensi terhadap area
kerja yang lainnya.

Apakah sekarang ada tumpang tindih tugas?


Kalau sekarang sih, kalau tumpang tindih tugas nggak juga sih. Soalnya anak-
anak juga kompak gitu.

Universitas Indonesia
178 
 
 
(Lanjutan)

 
Informan : Kun Dwi Sundari, Amy, Gerry, Fahmi
(relawan RMI wilayah Duren Sawit)
Tempat : Panti Asuhan Esa Sasana
Hari/Tanggal : Sabtu/23 Juni 2012
Waktu : Pukul 16.00-17.00 WIB

Tahu RMI dari mana?


Amy:
Waktu itu aku di-broadcast sama kakak kelas aku. Nah kakak kelas aku itu
saudaranya kak Netta. Nah waktu itu aku sebarin lagi kalau broadcast itu ke
orang-orang, nah Kun tertarik. Ya udah dari situ ini kak ini gimana caranya, ini
kumpul di mana briefing. Disuruh follow twitternya. Nah udah dari situ mulai
aktif, mulai tahu.

Bulan apa itu?


Amy:
Bulan Januari.

Pertama dari orang yang dikenal dekat dulu ya?


Dari kakak kelas nge-broadcast, ada yang mau bantu anak-anak panti asuhan
ngajar? Non akademik atau akademik. Nah dari situ aku pengen coba.

Sudah pernah mengajar sebelumnya?


Amy:
Belum pernah. Baru pertama kali ngajar.

Kun:
Ngajar udah. Tapi di sanggar tari.

Jadi prosesnya follow twitternya, lalu dihubungi?


Amy:
Dihubungi sih. Disuruh kirim CV ya. Di twitter dikasih tau kirimnya ke emailnya
ke Kak Netta waktu itu. Terus nanti dari kak Netta udah kirim CV kita konfirmasi
disuruh dateng briefing ke TIM. Dibagi-bagi kelompok.

Itu lewat twitter atau email?


Amy:
Lewat twitter dan email.

Setelah itu dibagi-bagi kelompoknya?


Kun:
Di tempat briefing dibagi ada beberapa panti. Dari wilayah terdekat, kita tuh
wilayah apa. Kita dapet Jakarta Timur karena rumah kita deket sama wilayah
Jakarta Timur.

Universitas Indonesia
179 
 
 
(Lanjutan)

 
Jadi wilayah di Jakarta Timur dikasih tahu panti asuhannya di sini?
Kun:
Iya, tadinya sih ada di Condet, tapi… karena temen-temen yang pindah ke sini, ya
ke sini.

Ada alasan khusus tergerak ikut RMI?


Amy:
Aku emang pengen nyoba kayak gimana sih suatu organisasi yang relawan kayak
gini kan belum pernah nyoba tuh ya. Relawan-relawan. Nah terus aku pengen
ngebantu orang kan mungkin kita nggak bisa dari materi tapi pengen bisa
membantu lewat ilmu atau apa yang bisa diajarin. Kebetulan dikasih tahu ada
kayak gini, ya kenapa nggak ngikutin? Mau ada kegiatan juga.

Pernah ikut organisasi sebelumnya?


Amy:
Nggak. Aku jarang ikut.

Jadi baru ikut organisasi?


Amy:
Iya.

Kun:
Kalau aku sih buat gabung kayak gini sih kan emang awalnya dari dulu
sebenernya emang pengen ngajar di panti asuhan sosial gitu. Cuma karena kita
bingung lewat mana wadahnya nggak ada harus gimana. Biasanya kalau ke panti-
panti gitu kan pasti materi ya mikirnya. Aduh gua kan yang namanya baru
mahasiswa gitu. Bingung kan kalau ke panti nggak punya uang juga nggak enak.
Tapi kalau ada wadah ini kita punya nama kan jadi enak gitu. Kita tuh kayak
resmi, kita ngajar, kita tuh relawan maksudnya cuma mau ngebantu adik-adiknya
gitu. Nggak mesti dari materi sih mikirnya. Itu juga dapet relasi, banyak, kenal
sama temen-temen yang baru. Gitu aja sih.

Ada hubungan yang sifatnya lebih pragmatis? Benefit langsung. Misalnya


dikasih kaos.
Amy:
Nggak kepikir kayak gitu.

Atau ikut karena nanti bisa ikut program Kemenpora?


Amy:
Nggak kepikiran Kemenpora.

Kun:
Nggak tahu. Aku malah tahu itu cuma kayak program sosialnya mahasiswa. Rata-
rata kan yang kemarin diriin itu anak-anak Paramadina. Aku tahu dari kak kayak
Misbah, Netta, Arnald itu kan anak-anak Paramadina. Karena Paramadina itu

Universitas Indonesia
180 
 
 
(Lanjutan)

 
katanya rata-rata keluar komunitas-komunitas sosial yang berguru semua dan RMI
ini tuh baru. Nah kita mau coba mau gabung. Mau rasain gimana gitu. Nggak
kepikiran ada hubungan dengan Kemenpora kita nggak tahu.

Soalnya di website disebutkan bisa ikut Kemenpora? Mungkin saja tahu.


Kita nggak ngeh.

Atau kemungkinan ini dapat dipakai untuk melamar kerja?


Amy:
Nggak juga. Tadinya kita juga nggak ngira bakal dapet sertifikat. Kita masih
simpang siur. Emang iya dapat sertifikat nanya kak Misbah. Iya dapat sertifikat.
Nah baru dibilang itu, berarti lumayan lah kita ada tandanya, kayak gitu. Tapi
tujuannya tetap sosial.

Kun dan Amy sudah paham tentang jadi relawan itu seperti apa? Sudah
dikasih tahu?
Amy:
Kita dikasih tahu kita di sini adalah relawan. Dikasih tahu di TIM. Udah di-
briefing di TIM.
Kun:
Kalau gabung ke situ tuh, mereka emang nggak bisa ngasih apa-apa. Nggak
ngebayarin kita gitu. Paling cuma ini awalnya bilangnya kita cuma bisa kasih ini
kok. Selesai. Kita dibagiin satu-satu. Yang bener-bener baru dateng cuma 20
orang. Cuma makin ke sini makin ke sini kita juga nawarin temen-temen di
kampus kalau kita udah join ke sini mereka juga interest, ya udah makin lama
makin banyak yang ikut walaupun cuman sampai baru berapa sih ya? Sekarang
kurang lebih… kurang tahu sih misalnya kalau jumlahnya. Soalnya kita beda-beda
belum pernah ketemu yang beda panti.

Siapa saja fasilitatornya?


Kun:
Misbah. Baru Misbah, Netta, Arnald. Itu. Tapi setelah acara ini kan seperti aku
bilang periode gitu kan mau nanti hitungannya per semester 14 sks kita yang udah
turun kayak gini mungkin nanti pas ada temen-temen baru masuk kita bisa
gantian jadi fasilitator katanya gitu.

Pernah dikasih tahu sebelumnya tentang gambaran tugas menjadi relawan


sebelum diterjunkan di panti asuhan?
Amy:
Dikasih tau. Kita ngajar atau kita ngajarin, yang punya keahlian bisa nari ngajarin
nari. Akademi dan non akademi. Cuma dari lama kelamaan dari itunya… kayak
jadi kurang tersistem. Kan mereka kan kadang dari pantinya pulang sekolah jam
3. Mereka pengennya jangan cuma belajar terus kak.
Kun:

Universitas Indonesia
181 
 
 
(Lanjutan)

 
Kita sebenernya kan punya program. Satu tim ini punya program. Minggu ini
belajar, minggu ini... Kadang setiap hari Sabtu kita kesini itu jadinya nggak
terprogram. Tadinya kita dari jam 2. Biasanya setiap sabtu tuh kita rutin jam 2
sampai jam 5 sore tapi nanti ada beberapa murid yang belum pulang. Pulang jam 3
abis asar. Ada yang tidur siang. Kalau tidur siangnya nggak bisa maksa untuk
gabung. Karena hari Sabtu tuh mereka emang waktunya istirahat. Kadang-kadang
Sabtu Minggu. Jadi yang makin ke sini makin sini yang mau ikut aja gitu
konsultasi.

Kun:
Kalau aku sih ngajar nari juga. Apa aja sih yang sebenernya mereka kalau
misalnya mintanya apa.
Amy:
Bahasa Inggris. Tapi itu juga yang kalau konsultasi yang pengen.
Kun:
Pokoknya makin ke sini makin ya udah ibaratnya… sesuai konsuling mereka aja.
Maunya apa.
Amy:
Kita kan baru banget ya. Kita langsung dilepas sama fasilitatornya jadi kita masih
kayak ngeraba-ngeraba. Jadi harus gimana nih ngadepin anak-anak ini.
Kun:
Dilatihnya pas hari H doang waktu briefing di TIM pertama kali. Dateng ke panti
ini ketemu minggu ini, abis itu besok-besoknya dilepas. Aduh ngapain biar anak-
anaknya? Kompromi sama tim sendiri. Tadinya ada jobdesk-nya masing-masing.
Tapi makin ke sini udah deh nyesuain anaknya aja maunya apa. Yang penting kita
bantu mereka.

Sekarang sudah lebih dari 14 hari?


Kun:
Kayaknya udah lebih deh. Sebenernya patokan itu acara Carenaval itu tanggal 22.
Tapi karena tanggal 22 kemarin juga banyak yang UAS, jadi diganti akhir bulan.
Kayaknya sih udah lebih.

Ada berapa orang tim di sini?


Kun:
Awalnya itu 15 orang. Tapi makin ke sini orang kan beda-beda, udah makin
menurun komitmennya. Ada yang keluar, ada yang bener-bener…. Mau skripsi.

Ada berapa yang masih tersisa?


Kun:
Sebut saja, paling 7-orangan. Kadang-kadang gitu aja. Jadi kan awalnya emang ini
komunitas. Dan dari awalnya dijelasin kalao kita ini bergeraknya nggak memaksa.
Itulah mungkin anak-anak beranggepan ya udah ini kan nggak memaksa, jadi
nggak terlalu mengikat. Ya udah sesuka mereka. Kalau aku sendiri sebenernya
kalau sebenernya kayak gini gimana ya tanggung jawab kalau misalnya nggak

Universitas Indonesia
182 
 
 
(Lanjutan)

 
dateng. Mereka kan kalau Sabtu itu punya handphone dikasih, sedangkan hari-hari
reguler ada yang megang. Kalau hari Sabtu mereka megang, semua sms kak ke
sini dong, ke sini nggak. Jadi gimana ya kalau nggak ke sini. Temen-temen yang
lain, ya udah deh nggak apa-apa nggak dateng. Kadang kita cuma bertiga,
berempat.

Siapa yang sering dikontak?


Kun:
Aku.

Amy:
Kan dia kan ketua kelompok di panti ini.

Dulu di TIM berapa orang yang kumpul?


Kun:
Sekitar 20, nggak ada 19, 20 lah.

Jadi paling banyak dari kelompok ini?


Kun:
20-an pokoknya cuma sedikit. Kan beda-beda daerahnya. Kan ada 5 kota. Jakarta
Pusat, Jakarta Timur. Dibagi 20 orang itu. Kebetulan waktu di Jakarta Timur ini,
kayaknya kita doang ya My, sama cowok dua. Cuma sama Gerry sama Firman.
Berempat kan Jakarta Timur. Otomatis aku nyari lagi. Di sekitar sini. Temen kita
sendiri.
Amy:
Jadi tambahan. Kalau yang 15 orang kita ini tambahan.
Kun:
Jadi awal-awal baru turun ke sini ini ngajar itu cuma 15 orang. Dibebaskan buat
temen-temen lain kalau mau join nggak apa-apa. Jadi aku nyari lagi. Sounding
lagi.

Jadi fasilitatornya melepas begitu saja?


Kun:
Iya, ngelepas.

Tapi Kun dulu kasih briefing ke mereka?


Kun:
Sebenernya ngasih. Kadang tiap kita ada misalnya problem dikit, kita pasti tiap
Sbtu ya… ketemu sebelum turun ngajar ini kan kadang ini mereka sholat asar
dulu. Janjian dulu. Kita briefing. Itu perpustakaan di situ. Di situ ada meja besar.
Kita diskusi.
Amy:
Misalnya Kun ngajak temen. Dikenalin. Ikut join. Tapi cuma 2,3,4 kali dateng
selesai.

Universitas Indonesia
183 
 
 
(Lanjutan)

 
Pernah dikomplain oleh pihak panti asuhan?
Kun:
Nggak. Jadi panti asuhan itu ibaratnya welcome. Malah seneng. Kalau makin
banyak makin seneng. Tapi kadang kalau ada masalah sedikit ya cuman paling
kita belum tahu peraturan di sini ya. Kan pernah tuh maghrib, jadi orang-orang
sholat ada beberapa yang merokok.. kena teguran. Anak-anak cowoknya, nggak
ikut jamaah. Jadi pas sholat maghrib, di sini kan pasti sholatnya jamaah.

Pernah disampaikan tentang peraturan di panti asuhan ini?


Kun:
Nggak sih. Paling yang ringan-ringan aja. Sebenernya merokok kan emang nggak
boleh di kawasan kayak gini.
Amy:
Tapi karena kita nggak ditekankan jadi anak-anak cowok-cowoknya waktu ya
udahlah merokok-merokok gitu Karena nggak ditekankan dilarang merokok
padahal sebenernya kesadaran sendiri.
Kun:
Enak kok orangnya. Jadi dia tuh ngajar boleh, kita juga bebas nih kayak gini. Ini
masuk-masuk aja. Terus kata anak-anak sih kalau memang hari-hari reguler biasa,
main-main aja nggak apa-apa kok aku juga pernah main hari reguler. Kecuali hari
kita ngajar. Enak.

Ada kemajuan anak-anak panti asuhan setelah mendapat pengajaran


relawan?
Amy:
Jadi waktu itu aku pernah ngajarin bahasa Inggris. Dia nggak bisa. Kak ini salah
aku, karena dia mau remid tapi aku ajarin aku ajarin. Terus pas minggu depannya
juga dia bilang bisa nggak ye cuma salah satu nih. Kayak gitu sih. Kan kita nggak
tiap minggu ngajar bahasa Inggris. Ini materinya hari ini minggu ini tenses. Kita
kan nggak tau ya tingkat kebisaan dia bahasa Inggris sudah sampai mana, cuma
sekedar dia konsultasi aja. Jadi udah, ya sebatas itu aja.
Kun:
Kadang durasi ya. Misalnya kita cuma dari jam 2 sebenernya. Tapi kan karena
jam 2 belum semuanya ngumpul akhirnya abis asar. Dan kita tuh sampai jam 5.
Iya jadi nggak bisa. Kita tuh punya dua program, jadi akademik dulu gitu non
akademik. Jadi biar merekanya nggak bosen gitu lho. Abis belajar, ngapain nih.
Entah main, games atau apa yang nari nari, yang futsal futsal gitu. Jadi mereka
lebih suka mungkin emang hari-harinya kan kebiasaannya tuh di sekolah, di luar,
gitu-gitu aja. Pulang gini-gini… bosen. Jadi mintanya mereka ya banyakan
nonakademis. Gambar, apa, nyanyi, gitu-gitu. Akademisnya kita ngikutin yang
konsul aja. Yang ada tugas, matematika… gitu…

Jadi kemajuan anak-anak ini tidak bisa diketahui?


Kun:

Universitas Indonesia
184 
 
 
(Lanjutan)

 
Karena kita iya… itu tadi. Pokoknya durasi selama seminggu sekali ke sininya.
Dan mereka belum tentu mereka mau semua. Tapi kalau dibilang, Dik hari ini
belajar ya… udah cemberut semua. Pengennya tuh yang seneng-seneng, ketawa,
games.
Amy:
Soalnya mereka udah capek belajar duluan. Katanya aduh kak capek kak belajar
terus.
Kun:
Nanti jam 9 malem mereka emang ada waktu belajar lagi di sini. Jadi bosen.
Belajar sendiri-sendiri. Waktunya belajar.

Apakah ada apresiasi yang diberikan karena melakukan aktivitas relawan


ini? Mungkin dari RMI seperti dari fasilitatornya? Dari teman, atau dari
keluarga?
Kun:
Cuma baju sih, ibaratnya buat ibaratnya penyemangat. Kita ada tandanya kita
udah masuk ke komunitas ini.
Amy:
Kalau ngasih sertifikat sih kayaknya nanti abis Carenaval.
Kalau di twitter pernah ada kata-kata apresiasi?
Amy:
Paling kayak semangat yaaa. Mendukung aja.
Kun:
Semangat yaa pemuda-pemuda Indonesia. Gitu-gitu aja.

Secara personal ada tidak?


Kun:
Personal… pernah ya? Gue aja nggak inget. Kayaknya sih pernah. Iya.
Kayak gathering kemarin. Terima kasih ya udah bantu. Istilahnya adalah beberapa
orang di komunitas di kita ini angkatan kita ini, maksudnya yang bener-bener
komitlah gitu yang bener-bener nanti jadi pilar buat tetep ada di komunitas ini.
Kan suka ada yang nggak komit terus keluar keluar keluar gitu.

Informasi sebelumnya, apresiasi yang diberikan antara lain adalah


menjadikan relawan sebagai panitia Carenaval. Apakah semua di sini
menjadi panitia Carenaval?
Iya.

Apresiasi dari keluarga bagaimana?


Gerry:
Dari saya pribadi sih misalnya support yang utama dari keluarga itu juga buat
apresiasi tersendiri. Nggak mesti yang dapat pujian segala macem. Ya cukup dari
keluarga support, dukung ya buat saya itu apresiasi tersendiri.

Artinya pengertian dari keluarga?

Universitas Indonesia
185 
 
 
(Lanjutan)

 
Gerry
Mau mengerti juga sih. Waktu lebih lama di luar.

Teman-teman kampus tahu juga?


Amy:
Temen-temen tahu. Sekelas tahu kok. Ya pernah kayak gini. Ada temen saya, iya
lu sih My, kok lu tau acara kayak gini bisa ikut gini-gini gitu… Mereka mau
ikutan tapi gue pengen lho, tapi gue ngajar apa? Mereka masih kayak gitu.
Tertarik cuma… tapi jauh aahh. Gitu. Ah jauh banget tapi itu dimana? Sebenernya
mereka mau. Ada yang di Depok pengen. Tapi kan dia dari Depok. Jauh banget,
ama siapa? Kayak kayak gitu.

Pernah ada yang daftar?


Kun:
Pernah sih. Mau kok. Dapet. Ada yang langsung join.
Mungkin dia itu baru join. Ini kan kita lagi UAS. Paling jadi panitia Carenaval-
nya dulu. Abis itu nanti bakalan kegiatan periode berikutnya kita bakal arrange
kegiatan selain kegiatan di panti asuhan apa. Karena di setiap periode selain
masuk temen-temen baru, kita juga ganti kegiatan. Mungkin ada yang ke panti
asuhan lagikah atau kemana atau kemana gitu.
Setelah kegiatan, ditulis di twitter?
Kun:
Biasanya kita nge-share foto, lagi kegiatan. Ini lagi latihan nari, di-share. Terus di-
retweet. Ini laporan. Kita per panti setiap bulan ngirim laporan ke fasilitator kita.

Mengirimkannya lewat email?


Kun:
Iya. Kan laporan itu banyak. Setiap minggunya gimana. Minggu pertama ngapain,
minggu kedua ngapain, minggu ketiga ngapain.

Laporan itu dimasukkan ke twitter atau website?


Amy:
Kita nggak tahu kalau… kita ngasih laporan aja ya. Soalnya ada yang megang
website, ada yang megang twitter…

Jadi tidak tahu laporan itu dimasukkan ke twitter atau website?


Kun:
Nggak. Setiap laporan kan kita ngirim nih. Jadi gini lho. Setiap panti ngirim
laporan. Setelah kemarin, aku ditarget jadi laporan semua gabungan semua panti.
Kan ini kan aku ngirimnya laporan panti aku doang kan? Nanti pas Netta ngirim
itu udah semua panti, jadi di situ udah ada dari Esa Sasana, Ulil Ilmi, gitu yang
udah lengkap masuknya. Kalau di aku cuma di panti asuhan di sini aja.

Pernah foto-foto kegiatan diunggah di facebook atau twitter masing-masing?


Kun:

Universitas Indonesia
186 
 
 
(Lanjutan)

 
Nggak. Di BB. Ada grupnya. Grup RMI. Kelompok kita. RMI yang besarnya
sama buat yang kelompok sini aja.

Di wall facebook atau twitter sendiri pernah?


Amy:
Nggak. Gimana ya? Paling kalau misalnya dari admin RMI mention kita, terus
kita retweet aja gitu. Kita nge-retweet sendiri. Tapi kalau yang nge-share foto.

Mengapa?
Kun:
Nggak kepikiran. Kalau ini juga sih emang sibuk sih masalahnya. Jadi nggak ada
buat ngetweet ngetweet gituan.

Pengorbanan apa yang telah dilakukan? Pertama, secara kelompok?


Kun:
Uang kas. Waktu. Jadi tuh ngatur skedul yang bener-bener sama itu susah banget.
Kadang ada yang… jadi tu setiap minggu tuh nggak semuanya kita semua bisa
hadir full team tuh nggak bisa. Paling banyak 10 orang. Tapi cuma dateng sekali
doang. Sebentar ngajar gitu. Paling sedikit 4, 3 orang itu pernah. Jadinya nggak
ngajar, main kali. Mereka mikir gini, kak cuma sedikit ah. Males. Dah yang lain
aja. Ngapain. Ngerujak kan. Jambunya kan dah banyak.

Memangnya sekali datang, berapa orang anak panti asuhan?


Amy:
Empat puluh lima orang. Paling sedikit 20 orang. Ada yang lain bantuin kantin,
bantuin nyapu-nyapu halaman… Jadi yang bisa ajalah.

Uang kas untuk apa? Sekarang sudah berapa?


Kun:
Kita juga bikin uang kas. Paling buat keperluan yang misalnya… waktu itu kita
sempet bawa makanan per minggu, game sambil mereka belajar. Tapi sekarang
karena jarang pada dateng, jadi jarang bayar uang kas. Paling nanti patungan buat
perpisahan. Minimal 5 ribu per minggu. Sekarang paling 150-an lah.

Ada pengorbanan secara psikologis? Ketidakcocokan?


Kun:
Pernah. Ada. Tapi nggak secara langsung. Mungkin cuma… kita agak nggak
cocok sama timnya. Sama orang yang ini yang ini karena dia nggak komit. Sama
ini. Terus ibaratnya nggak kompak. Saatnya udah ditentuin jadwal. Maksudnya
kita kan di sini nggak terlalu nekenin, tapi ada kesadaranlah kalau misalnya
memang ingin sekali ke sini. Kadang cuma sekali dua kali aja gitu bener-bener
nggak ada kabar lagi. Udah dijarkomin, ditelponin dia nggak jawab.

Universitas Indonesia
187 
 
 
(Lanjutan)

 
Apakah ada yang terpaksa mengorbankan waktu untuk keluarga atau hobi
atau kegiatan yang lain atau memang ini benar-benar di waktu luang yang
sudah disepakati?
Fahmi:
Kalau aku sih bener-bener di waktu luang. Karena niatnya untuk ngisi kegiatan di
waktu luang.
Kun:
Kalau aku kadang memang punya kepentingan, keperluan. Tapi kalau jawabnya
udah punya komit, terus merasa bertanggung jawab, pengennya ya dateng ke sini.
Kadang-kadang keluarga juga, kadang-kadang tugas kampus juga.
Amy:
Karena memang libur kampus hari Sabtu, ya udah. Tapi emang kadang, kan aku
backup jadi SPG event terus ada yang nawarin terpaksa aku tolak karena nggak
bisa kalau tiap Sabtu aku ke panti. Kadang kendalanya juga karena aku nggak ada
yang nganter karena jauh ya. Kadang suka nggak dateng.
Gary:
Aku sih terpaksa untuk membatalkan acara yang lain. Terutama keluarga ya,
kadang ada dadakan, cuma ditekankan karena tiap Sabtu ya kita ke sini.

Pengorbanan berupa uang, misal pulsa telepon, kas?


Kun:
Biasa sih. Kita BBM-an jadi jarang pulsa keluar ya. Kalau untuk transport dan
kas, untuk kas kan nggak harus tiap minggu. Kalau nggak bisa untuk minggu ini,
ya buat minggu depan dobel gitu nggak masalah. Kalau transportasi ya tanggung
jawab pribadi.

Pengorbanan berupa kecapekan?


Kun:
Capek sih, tapi ya karena dibawa seneng sama enak dijalanin jadi biasa aja.

Ada merasa tidak nyaman secara psikologis, misal dengan pengurus panti
asuhan?
Amy:
Kadang merasa kita diperluin nggak sih di sini. Kadang suka nanya sendiri. Anak-
anak seneng nggak sih kita di sini? Kadang kita kayak dicuekin. Kita merasa
diterima nggak ya? Sebenernya kita ada manfaatnya di sini nggak ya?

Sudah terjawab?
Kun:
Kita waktu itu untuk ngatasinnya dengan cara dengan kita bikin kuesioner untuk
mereka. Kita pernah dateng ke sini, waktu minggu udah nggak tahu kapan, tapi
dia kayak nggak pada nge-respons. Ayo dik, kita kumpulin. Pokoknya setiap kita
mulai pasti kita kumpulin di sini untuk pembukaan. Tapi itu sama sekali nggak
ada yang tergerak. Misalnya ada yang tidur-tiduran, ada yang kegiatan masing-

Universitas Indonesia
188 
 
 
(Lanjutan)

 
masing, ada yang nonton tivi kayak gini. Belum tentu mau buat diajak kegiatan.
Jadi ya kita coba bikin kuesioner, nanya, kita ini maksudnya di sini ada gunanya
apa nggak? Seneng nggak ada kehadiran kita di sini. Terus terjawab, seneng. Ada
yang bilang kakaknya kurang tegas, pilih kasih. Ada yang bilang kakaknya kurang
lengkap sih, jadi kita agak males. Maunya dateng rame-rame.

Hasilnya paling banyak bilang apa?


Amy:
Seneng aja sih sama dapet ada manfaatnya. Ada yang katanya dapet temen curhat.

Pernah tidak curhat kepada fasilitator?


Kun:
Iya paling sama yang deket-deket aja sih. Kak Netta, Kak Misbah, kadang kalau
ada kendala problema kecil di sini sama anak-anak. Gitu-gitu aja.

Pernah tidak, curhat kepada fasilitator tentang hal di luar RMI? Misal
tentang keluarga, kampus?
Kun:
Kadang sama siapa aja. Yang penting nyaman nggak masalah. Kalau masalah di
luar RMI pernah. Ke Kak Netta. Pokoknya intinya nguatin aja, bikin tegar
gimana.

Ada pengorbanan reaksi sosial? Misal ada keluhan dari keluarga?


Kun:
Nggak ada. Keluarga support.

Lokasi bagaimana? Jauh dari rumah?


Amy:
Kalau waktu itu kan, gimana ya. Masih ada temen bareng. Terus, papa mama
nggak ada di rumah jadi nggak ada yang nganter jadi nggak bisa ke sini. Terus
emang jauh sih. Apalagi macet di Pangkalan Jati. Macet banget. Dan jadi nggak
enak sama anak-anaknya.

Ada persepsi tentang tempat? Ada sesuatu yang menghambat?


Fahmi:
Tempatnya terlalu enak. Anak-anaknya jadi manja.
Kun:
Makanya kita suka nanya, apa kita dibutuhin karena mereka agak cuek.

Apakah pernah diajarkan ilmu mengajar?


Kun:
Kita belum ada basic-nya. Malah itu abis Carenaval baru diadain training buat jadi
fasilitator kayak gimana. Karena mungkin itu juga awalnya aku ngomong kalau
kita kendala langsung dilepas gitu aja. Jadi baru nanti. Jadi awalnya buat kita-kita
ini ngajar nggak ada training sama sekali.

Universitas Indonesia
189 
 
 
(Lanjutan)

 
Apakah ada perubahan yang dirasakan selama mengikuti kegiatan RMI?
Kun:
Kalau aku perubahannya, jadi di sini bisa mengubah kepribadian ya jadi orang
yang bertanggung jawab dilatih jadi bener-bener sabar menangani banyak kepala
beda-beda pendapat. Dapat banyak relasi, temen baru, terus nanti kan kita juga
kenalan sama komunitas-komunitas yang lain. Banyak sih. Kita beda-beda
kampus. Unkris, STIKES, Paramadina, Unas, kadang yang udah kerja juga. Anak
SMA belum, baru planning untuk periode berikut. Tapi kadang SMA itu susah.
Cara sounding-nya, terus juga mereka kan belum mengerti kayak gini dan bagi
waktunya mungkin anak sekolah itu lebih padat. Dan mereka mungkin mikirnya
itu cuman sekedar main-main. Jadinya kayak gitu. Tapi nanti bakalan dicoba
objeknya anak SMA juga.

Bertemu komunitas lain maksudnya apa?


Kun:
Ya jadi kan kayak acara kayak gini kan Carenaval kita kan disuruh buat ketemu
sama komunitas lain. Maksudnya sosialisasi sama minta mereka untuk ngisi acara.
Jadi kita kan ketemu saling sharing, komunitas lain kayak gimana kita tuh kayak
gimana gitu. Ada Save Street Child, sama Berburu, Berbudaya itu Seru. Itu rata-
rata anak Paramadina. Ini ada juga yayasan yang bener-bener ibaratnya udah
besar, Kusuma Bangsa, yang ada di Kota Tua setiap hari Sabtu pagi.

Ada komunitas yang seperti RMI mengajar di panti asuhan?


Kun:
Nggak ada sih. Kalau Save Street Child dia anak-anak jalan. Jadi dia bener-bener
ngehidupin anak jalanan. Ngajar di kolong jembatan. Itu buat sekolah sih. Ngajar.
Waktu itu memang awal-awalnya belum sekolah yang mereka ajak. Tapi mereka
juga udah ngeset program. Ibaratnya dana-dananya udah jelas, jadi mereka
menyekolahkan juga. Jadi ngehidupin juga, nyekolahin juga. Kemarin baru
denger, katanya abis bagi raport.
Amy:
Disiplin waktu. Komitmen. Hari ini gue harus ke sini. Jadi banyak kenalan.
Memperluas pergaulan gitu.
Gery:
Paling perubahan sih cenderung bisa melihat bahwa di bawah kita ada, bukan
kitalah yang paling menderita.

Apa harapan untuk RMI?


Amy, Kun, Fahmi:
Lebih terstruktur, tersistem, lebih banyak anggotanya, lebih komitmen, lebih
diperjelas lagi harus gimana kayak gitu, relawan jadi budaya.

Harapannya RMI lebih formal, dengan pembagian tugas?


Fahmi:

Universitas Indonesia
190 
 
 
(Lanjutan)

 
Sebenernya formal itu cenderung lebih menimbulkan kesadaran pada tanggung
jawab aja. Biar nggak langsung gitu cabut aja.

Amy:
Minggu ini kita pengen ngapain ya? Kalau kita dilepas, duh kita ngapain nih anak-
anaknya aja kayak gini apa yang harus kita lakuin dari fasilitatornya nggak kayak
turun langsung. Aturan masih bantu kita, tapi dia langsung lepas. Jadi kita jadi
bingung.

Ada ide agar kerelawanan jadi budaya?


Fahmi:
Kalau saya sih dari masukan buat pemuda-pemuda ini. Karena sekarang mulai
dari TV, tayangannya aja banyak yang melenceng gitu kan. Terus jarang keliatan
bahwa yang ada relawan yang di kegiatan ini ini jarang disorot. Maksud saya
disorot itu bukan biar kita dikenal tapi biar pemuda ini pada tahu juga, oh ternyata
ada dunia relawan juga. Ternyata ada komunitas yang ngerjain ini ini ini gitu.
Selama ini kan ada yang nggak tahu juga, dan pengen ikutan cuman bingung
gimana caranya.

Sejauh ini masih kurang promosinya?


Amy:
Kurang dikenal.

Kun:
Buat nanti tuh, aku selalu kalau misalnya briefing sama kakak-kakak lain tuh
kalau misalnya beneran ada buat periode baru lagi itu soundingnya lebih di…
maksudnya promosinya lebih ditekanin lagi. Kalau kemarin kita lihat cuma
sekedar twitter, broadcast, gitu-gitu aja sedangkan sebenernya masih banyak yang
mau join kalau misalnya mereka tahu misalnya kayak dateng ke kampus kah apa
gimana. Selama ini belum cuma sekedar network social aja. Banyak sebenernya
yang mau. Karena kalau per individu pun mereka banyak yang tertarik. Kayak
misalnya lu ikut apa sih Kun, sibuk banget. Kita ceritain mereka tertarik. Seru
juga, Gue kapan bisa join? Karena sekarang kalau dilihat tuh di zaman sekarang
anak-anak muda tertarik jadi sosial sosial gitu peran aktif sosial. Sekarang anak
muda sekarang keliatannya jadi trade mark banget peran aktif sosial.

Universitas Indonesia
191 
 
 
Lampiran III: Twitter @relawan_muda

 
Berikut ini adalah fungsi dari akun twitter RMI bagi segala aktivitasnya.
1. Komunikasi dengan para anggota RMI
Menyambut relawan peserta baru

Undangan agenda RMI, misalnya Gathering

Membagi pengalaman relawan peserta di panti asuhan

Memberi semangat

2. Komunikasi dan informasi komunitas lain


Ajakan kepada komunitas lain untuk bekerja sama
 

Universitas Indonesia
192 
 
 
(Lanjutan)

Undangan kepada komunitas lain dalam acara RMI

Informasi agenda komunitas lain

3. Komunikasi dengan Anak Muda


Menyapa anak muda

Universitas Indonesia
193 
 
 
(Lanjutan)

Retweet tokoh yang memberikan semangat bagi anak muda

Menulis kutipan yang memberi motivasi dari tokoh-tokoh terkenal

4. Laporan kegiatan
Laporan kegiatan di panti asuhan (RMI Jakarta), lengkap dengan foto-foto

Laporan kegiatan RMI Jakarta seperti CARENAVAL dan Gathering


CARENAVAL

Universitas Indonesia
194 
 
 
(Lanjutan)

Gathering

Laporan kegiatan di RMI daerah lain, misalnya RMI Yogyakarta

5. Organisasi
Fundraising

Universitas Indonesia
195 
 
 
(Lanjutan)

Koordinasi kegiatan

6. Informasi tentang Panti Asuhan


Informasi tentang alamat panti asuhan tempat mengajar

Informasi tentang kondisi panti asuhan tempat mengajar

Universitas Indonesia
196 
 
 
(Lanjutan)

Informasi tentang kebutuhan pengajar di panti asuhan

Menyampaikan hasil survei panti asuhan baru

Universitas Indonesia
197 
 
 
(Lanjutan)

 
7. Apresiasi
Apresiasi terhadap para relawan peserta

Apresiasi terhadap fasilitator dengan menyebut mereka sebagai Pegiat Muda

8. Pendaftaran
Sebagai tindak lanjut dari broadcast (BC) Blackberry Messenger

Tanya jawab dan pengarahan pendaftaran

Universitas Indonesia
198 
 
 
(Lanjutan)

Universitas Indonesia
199 
 
 
(Lanjutan)

 
9. Promosi
Ajakan untuk bergabung dengan RMI

Memperkenalkan kegiatan melalui video di YouTube

Informasi tentang rencana dan pelaksanaan kampanye

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai