Anda di halaman 1dari 13

Perspektif sa’dud dzarriyahe dimasuke neng latar belakang sebelum penulis

mengungkapkan permasalahan

Latar Belakang

‘’SESUATU YANG DIAWALI DENGAN SIFAT UMUM LALU MENJURUS


KE SESUATU YANG KHUSUS’’

1. berbicara soal mahkluq (butuh nikah dll)

2. berbicara soal perkawinan (fiqih, uud)

3. syarat perkawinan, batas usia perkawinan (fiqih, uud)

4. dispensasi kawin

5. permasalahan (hilah hukum). Penyebtan data dispensasi, rata2 permasalahan


karena apa?

6. hilah dalam keadaan memaksa

A. Rumusan Masalah

1. bagaiman ketentuan batas usia perkawinan menurut uu 16 2019 ( bab 2)

2. bagaimana konsep dispensasi perkawinan menurut uu 16 2019 ( bab 3)

3. bagaimana tinjauan sa’dudz dzariyah terhadap hilah hukum dalam batas usia
perkawinan
HILAH HUKUM DALAM BATAS USIA PERKAWINAN ( STUDI UU
NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF SA’DUD
DZARRIYAH)

BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia di muka bumi ini dilahirkan berpasang-pasangan antara


pria dan wanita. Kehidupan berpasang-pasangan bagi sebagian makhluk adalah
merupakan fitrah. Pentingnya hidup berpasangan dengan jenis kelamin yang
berbeda karena masing-masing membutuhkan yang lainnya, khususnya dalam
rangka memenuhi kebutuhan biologis dan menghasilkan generasi penerus
(keturunan). Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Adz-Dzariat ayat 49 :
(arab)Artinya :
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah. (Q.S. Adz-Dzariat:49).1
Menurut Sayyid Sabiq, perkawinan adalah suatu akad yang menyebabkan
halalnya bermesraan antara suami isteri dengan cara yang sudah ditentukan oleh
Allah SWT.2
Muhammad Abu Ishrah seorang ulama fiqh, mendefinisikan perkawinan
adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong
serta memberikan batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-
masing.3
Melakukan perkawinan merupakan suatu anjuran dari Rasulullah SAW
kepada umatnya yang di dalamnya mengandung berbagai maksud dan tujuan
perkawinan, yakni untuk beribadah kepada Allah SWT serta untuk menjaga
keturunan agar dapat melanjutkan estafet kehidupan sampai masa yang telah
ditentukan. kemudian dalam Al-Qur‟an juga ditegaskan untuk melaksanakan
1
Adz-dzariat (49): 522.
2
Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunna (Beirut libanon: Dar al-fikr, juz 2, 1983), hlm. 7.
3
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 9.
perkawinan. Karena dengan adanya perkawinan manusia dapat memperoleh
ketentraman, kedamaian hidup, serta kasih sayang yang tentu dibutuhkan dalam
kehidupan pribadi dan keluarga. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT surah
Aruum ayat 21, yang berbunyi:
(arab)Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(Q.S. Aruum:21)4
Oleh sebab itu, dengan adanya hubungan perkawinan diharapkan terciptanya
rumah tangga yang bahagia, penuh dengan cinta kasih, saling pengertian,
tenggang rasa, tentram damai, dan tentu dengan suasana keluarga yang sejuk,
akrab, serta tidak mementingkan kehidupan pribadi. Seperti ini menunjukan
bahwa kelanggengan perkawinan merupakan bentuk dari tujuan keluarga yang
bahagia dan kekal.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “mitsaqon
gholidan” atau akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan perintah ibadah.55 Tujuanya jelas agar manusia
dapat melanjutkan keturunan, membina kehidupan yang penuh dengan cinta dan
kasih sayang. Hal ini sesuai dan senada dengan Kompilasi hukum Islam (KHI)
pasal 2 yang berbunyi: “perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholidan untuk menaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.”6 Kemudian pasal 3 Kompilasi Hukum
Islam, yang berbunyi: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.”7
Dalam bahtera rumah tangga tentu adanya perkawinan menjadi suatu
ikatan perjanjian yang sangat kuat diantara kedua belah pihak, yakni antara suami
dan istri. Ikatan perjanjian tersebut akan selalu berkesinambungan dalam menjalin

4
Ar-Rum (30): 406.
5
A. Zuhdi Muhdor, Memahami Hukum Perkawinan (Bandung: Al-Bayan, 1994), get. Ke-1, hlm.
118.
6
Pasal 2, kompilasi Hukum Islam.
7
Ibid., Pasal 3.
kehidupan rumah tangga, dan tentu akan saling membutuhkan dalam status
keterikatan dan kebersamaan. Sebagimana dalam surah al-Baqarah ayat 187, yang
berbunyi:
(arab) Artinya:
Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka.(Q.S. Al-Baqarah:187)8
Perkawinan dalam pengertian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9 Dalam proses perkawinan, maka tidak
ada suatu masyarakat yang tidak memiliki aturan tentang perkawinan, sesuai
dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Meskipun hukum ataupun norma tentang perkawinan antar masyarakat yang satu
dengan yang lain berbeda, baik yang berkaitan dengan persyaratan maupun
tatacara perkawinan, tetapi semua aturan bertujuan mewujudkan kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat yang teratur sehingga terwujud keharmonisan dan
ketentraman dalam hidup.

Untuk menjembatani terwujudnya pernikahan yang sesuai dengan tujuan


dari pernikahan, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
telah menentukan dan menetapkan dasardasar yang harus dilaksanakan dalam
perkawinan. Salah satu di antaranya adalah Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan,
bahwa: ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun”,
dan dalam ayat selanjutnya menyatakan bahwa bila terdapat penyimpangan pada
Pasal 7 ayat (1) dapat meminta dispensasi pada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua belah pihak baik dari pihak pria atau pihak wanita. Batas
umur di Indonsia relatif rendah dan dalam pelaksanaannya sering tidak dipatuhi
sepenuhnya, padahal diharapkan agar orang melangsungkan pernikahan di atas
batas umur terendah, namun dalam praktiknya pernikahan justru terjadi diusia
kurang dari usia yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
8
Dadan Muttaqien, Cakap Hukum : Bidang Perkawinan Dan Perjanjian (Yogyakarta: Insania Cita
Press, 2006), hlm. 62.
9
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 Ayat (2).
1974, sehingga untuk hal tersebut Pasal 6 ayat (2) telah memberikan suatu
pengaturannya dengan menyatakan sebagai berikut: ”Untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua”. Di dalam Al-qur`an memang tidak secara
sepesifik membahas tentang usia perkawinan hanya menetapkan dengan tanda-
tanda dan isyarat, sehingga diserahkan kepada ranah fiqh dan kepada kaum
muslimin untuk menentukan batas umur yang sebaiknya yang sesuai dengan
syarat dan tanda-tanda yang telah ditentukan, dan disesuaikan dengan tempat di
mana hukum itu akan diundangkan.10 . Namun dalam hal peraturan tentang usia
perkawinan Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan disebutkan bahwa batas minimal
usia bagi calon mempelai laki-laki adalah 19 tahun dan batas minimal bagi calon
mempelai perempuan adalah 19. Artinya di dalam undang-undang yang baru telah
disamaratakan bagi minimal usia calon mempelai untuk melakukan suatu
perkawinan adalah 19 tahun.

Demikian juga dalam hukum adat tidak ada ketentuan batas umur untuk
melakukan pernikahan, namun biasanya kedewasaan seseorang dalam hukum adat
diukur dengan tanda-tanda bagian tubuh, apabila anak wanita sudah haid (datang
bulan), buah dada sudah menonjol berarti sudah dewasa. Bagi laki-laki ukurannya
dilihat dari perubahan suara, postur tubuh dan sudah mengeluarkan air mani atau
sudah mempunyai nafsu seks.11

Bagi seorang pemuda, usia untuk memasuki gerbang perkawinan dan


kehidupan berumah tangga pada umumnya dititik beratkan pada kematangan
jasmani dan kedewasaan pikiran orang serta kesanggupannya untuk memikul
tanggung jawab sebagai suami dalam rumah tangganya, itu merupakan patokan
umur bagi para pemuda kecuali ada faktor lain yang menyebabkan harus
dilaksanakannya pernikahan lebih cepat, bagi seorang gadis usia perkawinan itu
karena berkaitan dengan kehamilan dan kemungkinan besar setelah
melangsungkan perkawinan akan terjadi kehamilan. Oleh karena itu, perlu
10
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm.
44.
11
Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan
Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 53.
memperhitungkan kematangan jasmani dan rohaninya yang memungkinkan dapat
menjalankan tugas sebagai seorang istri dan sekaligus sebagai seorang ibu yang
sebaik-baiknya, jika diambil patokan yang paling bagus bagi seorang gadis untuk
menjalankan perkawinan yang sesuai dengan keadaan di Indonesia batas terendah
bagi bagi seorang gadis adalah 19 tahun karena ada umur 19 seorang wanita
sudah mencapai tinggkat kematangan biologis seorang wanita.

Akan tetapi sekarang ini terkadang anak belum mencapai umur 19 tahun
sudah melangsungkan pernikahan karena alasan-alasan tertentu, untuk itu bagi
yang masih di bawah umur untuk melangsungkan pernikahan, maka harus
mendapat dispensasi nikah dari Pengadilan Agama setempat. Dari pasal tersebut
jelas bahwa suatu perkawinan baru dapat dilaksanakan apabila telah terpenuhinya
syarat-syarat yang telah ditentukan. Akan tetapi dalam hal tertentu walaupun salah
satu atau kedua calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan Undang-undang, bukan berarti mereka tidak dapat melakukan
perkawinan karena dapat dimintakan dispensasi kepada pengadilan. Meskipun
undang-undang memberikan kelonggaran bagi calon suami istri yang belum
mencapai umur untuk mengadakan perkawinan, hal ini bukan berarti setiap
permohonan dispensasi dapat dikabulkan. Karena pengadilan berwenang untuk
menolak permohonan dispensasi jika telah dilakukan pemeriksaan ternyata masih
terdapat hal-hal yang memungkinkan dicegahnya perkawinan dibawah umur.

Pengadilan dalam hal ini mempunyai peranan penting dalam menentukan


layak tidaknya calon suami istri yang masih dibawah umur untuk melaksanakan
perkawinan dengan jalan pemberian dispensasi sebagai kelengkapan syarat-syarat
perkawinan. Dalam UUP tidak disebutkan secara jelas apa saja yang dijadikan
alasan dalam pemberian dispensasi. Sehingga timbul suatu anggapan bahwa
dispensasi itu diberikan seolah-olah hanya karena belum mencapai umur saja,
bukan pada alasan apa yang mendorong mereka melakukan perkawinan dibawah
umur, sehingga mengharuskannya meminta dispensasi kepada Pengadilan. Untuk
itu perlu kiranya diadakan sosialisasi tentang dispensasi yang sesuai dengan
Undang-undang.
Dispensasi nikah diberikan atas dasar mempertimbangkan kemaslahatan
apabila terdapat tujuan yang benar-benar dapat diharapkan untuk menyampaikan
tujuan pernikahan. Maslahah mursalah adalah kebaikan yang tidak disinggung
syara‟ dalam mengerjakannya atau meninggalkannya. Kalau mengerjakannya
akan membawa manfaat atau menghindari keburukan. Pemberian dispensasi
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemadharatan yang
lebih besar dengan berpijak pada metode maslah mursalah dan sadz adz-dzariah.

Hilah secara bahasa berarti kecerdikan, tipu daya, dan yang dicari untuk
melepaskan diri dari suatu beban dan tanggung jawab. Secara istilah hilah
didefinisikan sebagai suatu siasat yang digunakan untuk menghindari kewajiban
syar‟iat.12 Hilah secara definisi diungkapkan oleh para ulama diantaranya:
menurut Ali Hasbalah hilah merupakan tindakan yang menyebabkan pelakunya
mengalami perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain. Kemudian
penggunaan kata tersebut mengalami penyempitan makna yakni cara terselubung
yang mengantarkan kepada tujuannya. Seseorang tidak dapat sampai kepada
tujuannya kecuali melalui kecerdikan dan kecerdasan.13

Kemudian Ibn al-Qayyim al-Jauziyah mengemukakan definisi hilah adalah sebuah


tindakan khusus yang menyebabkan pelakunya mengalami perubahan dari satu
keadaan ke keadaan yang lain. Kemudian penggunaan kata tersebut berkembang
menjadi istilah yang lebih khusus dengan mengalami penyempitan makna yakni
kiat atau cara terselubung yang mengantarkan seseorang untuk mencapai tujuan
dan maksudnya. Cara ini tidak ditemukan kecuali hanya dengan kecakapan dan
keahlian khusus.14 Menurut Ibnu Taimiyah, hilah adalah suatu cara cerdik untuk
dapat sampai ke tujuan, yang baik ataupun yang buruk.15
Berdasarkan definisi hilah yang diungkapkan oleh para ulama di atas dapat
dipahami bahwa perbuatan hilah pada dasarnya mengandung makna yang sama,
yakni pelaku hilah dalam upayanya berusaha merubah substansi hukum syar‟i.
Adapun syar’iyyah yang berarti peraturan atau tata hukum, dan apabila kedua kata
itu digabungkan menjadi hilah syar’iyyah, dapat diartikan menjadi suatu taktik

12
84 Abdul Aziz Dahlan, et. All. Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 2 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
1996), hlm. 553.
13
Elimartati, “Hilah Al-Syari'ah Sebagai Upaya dalam Mewujudkan Maqashid Syari'ah,” Juris, Vol.
9 No. 1 (Juni 2010), hlm. 22
14
Lutfi Nur Fadilah, Al-Hilah Al-Syar‟iyyah dan kemungkinan penerapanya,” Elfalaky, Vol. 3 No. 1
(2019), hlm. 107.
15
Ibid., hlm. 108.
atau siasat untuk merubah bentuk hukum syara‟ dengan cara tipu daya. Dengan
tujuan dari melakukan hilah adalah untuk melepaskan diri dari suatu kewajiban
syara‟ dengan melakukan hukum syara’ yang jika dilihat sepintas terlihat benar
namun bila dicermati terlihat adanya suatu penyimpangan.88
Pengertian hilah yang dikemukakan di atas dapat diambil pemahaman bahwa:
a. Persoalan hilah terkait dengan tindakan yang mengakibatkan gugurnya
kewajiban yang disyariatkan terhadap mukallaf dengan melakukan suatu tindakan
yang pada dasarnya dibolehkan, namun tindakan itu terlarang karena ada maksud
tertentu.
b. Tujuannya adalah agar bisa mengubah substansi hukum syar‟i melalui
kecerdasan dan kecerdikan yang dimliki atau dengan kata lain melalui cara yang
terselubung yang sulit terdeteksi dari luar.
c. Tindakan tersebut dilakukan agar seseorang terbebas dari tuntutan syara’.

Jadi itulah mengapa penulis memasukan hilah disini, dikarenakan


dispensasi perkawinan pada saat ini bisa dijadikan menjadi celah atau cara agar
dapat mensyiasati peraturan tentang batas usia perkawinan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan batas usia perkawinan menurut UU No 16 tahun 2019

2. bagaimana konsep dispensasi perkawinan dalam uu no 16 tahun 2019 jo uu no


1 tahun 1974?

3. Bagaimana hilah hukum dalam batas usia perkawinan di Indonesia perspektif


Sadd Al-dzar’iyah?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui batas usia perkawinan dalam uu no 16 tahun 2019

2. Untuk mengetahui konsep dispensasi perkawinan dalam uu no 16 tahun 2019

3. Untuk mengetahui hilah hukum di dalam batas usia perkawinan di Indonesia


dengan menggunakan perspektif Sadd Al-Dzar’iyah

D. Kegunaan Hasil Penelitian


Penelitian ini sangat penting dibuat agar mengetahui bagaimana ketentuan
batas-batas usia perkawinan di Indonesia, dan konsep adanya dispensasi di
indonesia. Sehingga masyarakat di indonesia benar-benar sadar akan hukum dan
menjalankannya bukan hanya untuk menjadikan hukum sebagai rekayasa atas
pasal-pasal yang dinilai bisa menjadi celah dalam perkawinan di Indonesia.
Penelitian ini juga bisa digunakan sebagai bahan wacana bagi akademisi yang
ingin mengembangkan atau memperdalam keilmuannya.

E. Tinjauan Pustaka

Kajian kajian terhadap usia perkawinan di Indonesia telah banyak


dilakukan. Adapun kajian terhadap usia perkawinan di indonesia dalam skripsi
Hotmartua Nasution yang berjudul “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam
Tentang Usia Perkawinan Di Indonesia (Studi atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan)”, membahas tentang proses pembaharuan hukum keluarga islam
tentang batas usia perkawinan, batasan-batasan usia perkawinan di Indonesia, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya Undang-Undang No 16 Tahun 2019.
Perbedaan dngan skripsi yang saya tulis adalah terkait masalah penelitiannya yaitu
tentang hilah hukum atau celah hukum dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019
atas perubahan Undang-Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kemudian
yang kedua adalah skripsi dari Fuat Mubarok yang berjudul “ Dispensasi Nikah
Bagi Anak Dibawah Umur (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga Tahun
2013-2016). Ada kesamaan yang akan penulis buat dalam skripsi ini yaitu terletak
didalam hukum yang berlaku dimasyarakat mengenai perkawinan dibawah umur.
Namun tentunya ada hal yang membedakan dengan skripsi yang penulis buat
yaitu tentang bagaimana hukum ini seharusnya dilakukan atau dilaksanakan
artinya bukan hanya fenomena di masyarakat tetapi skripsi yang saya buat adalah
memahami dan menelaah bagaimana seharusnya peraturan itu diberlakukan.
Selanjutnya untuk yang ketiga adalah skripsi dari Muhammad Syaifudin Assyafi’i
yang berjudul “Hilah Hukum Dalam Perkawinan Beda Agama Di Dusun
Thekelan, Batur, Getasan Kabupaten Semarang Dalam Perspektif Hukum Islam”.
Ada kesamaan permasalahan dengan skripsi itu akan tetapi objek yang penulis
buat berbeda dengan skripsi yang ada pada sebelumnya.
F. Penegasan Istilah

1. Hilah Hukum adalah Hilah secara bahasa berarti kecerdikan, tipu daya, dan
yang dicari untuk melepaskan diri dari suatu beban dan tanggung jawab. Secara
istilah hilah didefinisikan sebagai suatu siasat yang digunakan untuk menghindari
kewajiban syar‟iat.

2. Batas Usia Perkawinan adalah batas minimal seorang calon mempelai apabila
ingin melaksanakan perkawinan di Indonesia. Yang mana batas Usia minimal
yang diatur dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019 adalah 19 tahun bagi calon
mempelai laki-laki dan 19 tahun bagi calon mempelai perempuan.

3. Sadd Al-dzar’iyah adalah suatu metode istinbath hukum dalam kajian ushul
fiqih untuk mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan
mafsadah (kerusakan). Penggunaan terhadap mafsadah dilakukan karena ia
bersifat terlarang.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah, penelitian yang dibuat


penulis termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (library reseach) atau
kualitatif. Yaitu dengan cara membaca, mempelajari peraturan dan buku-buku
yang berkaitan dengan batasan usia nikah dan dispensasi nikah.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah normatif,


yaitu analisis data didekati dari norma-norma hukum. Maksudnya menganalisis
dalil hukum positif yang berlaku di indonesia tentang batasan usian perkawinan
dan dispensasi perkawinan.

3. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber


data yaitu:
a. Sumber data primer

Sumber data primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini sebagai
berikut :

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2) INPRES Nomor. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum


Islam.

3) PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan


Dispensasi Kawin

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah
literatur yang terkait dengan pembahasan ini, bisa dari literatur buku-buku fiqih
munakahat berbahasa Indonesia dan literatur-literatur lainnya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan


metode study library. Yaitu dengan membaca dan memahami peraturan dan buku
yang dijadikan objek penelitian yang ada di perpustakaan maupun koleksi penulis.
Kemudian dalam hal pengumpulan data bisa juga didapat dari pendapat-pendapat
tokoh atau penelitian tokoh yang sesuai dengan topik pembahasan kemudian
menganalisisnya.

5. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh akan dianalisis dan disusun secara sistematis
dengan metode analitik deskriptif. Pertama penulis menganalisis terkait hilah atau
celah hukum yang ada di Undang-Undang perkawinan Indonesia. Kemudian
untuk selanjutnya penulis menggunakan teori sa’dud dzarriyat untuk menganalisis
dispensasi perkawinan yang ada di Undang-Undang Perkawinan Indonesia.
Umtuk yang terakhir penulis mendeskripsikan hasil analisis yang bersifat umum
lalu ditarik kesismpulan khusus dari data-data tersebut.

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian

E. Penegasan Istilah

F. Tinjauan Pustaka

G. Metode Penelitian

H. Sistematika Penulisan

BAB II KETENTUAN BATAS USIA PERKAWINAN DI INDONESIA


MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2019

A. Pengertian Batas Usia Perkawinan

B. Dasar Hukum Batas Usia Perkawinan

C. Hilah Hukum Batas Usia Perkawinan Pada UU No. 16 Tahun 2019

D. Pengertian Sadd Al-Dzar’iyah

E. Dasar Hukum Sadd Al-Dzar’iyah

F. Macam-Macam Sadd Al-Dzar’iyah

G. Syarat-Syarat Sadd Al-Dzar’iyah

H. Implementasi Sadd Al-Dzar’iyah

BAB III KETENTUAN DISPENSASI PERKAWINAN MENURUT HUKUM


POSITIF DI INDONESIA
A. Pengertian Dispensasi Perkawinan

B. Asas Dan Tujuan Dispensasi Perkawinan

C. Konsep Dispensasi Perkawinan

D. Prosedur Pengajuan Dispensasi Perkawinan

E. Data Pelaku Dispensasi Di Pengadilan Agama Kota Salatiga Tahun 2020

BAB IV ANALISIS DATA

A. Hilah Hukum Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Perubahan Atas


Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

B. Hilah Hukum Batas Usia Perkawinan Perspektif Sadd Al-dzar’iyah

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Anda mungkin juga menyukai