Anda di halaman 1dari 16

PRAKTIK KEBOHONGAN PUBLIK DIBALIK MASA IDDAH

PEREMPUAN JANDA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Di Desa Kadudampit Kecamatan Kadudampit Kabupaten


Sukabumi)

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas individu

Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hukum

Dosen pengampu Mata kuliah : Dr. Dedi Sunardi, M.H.

Oleh :

Risa Siti Sa’diah

NIM. 191110012

KELAS A/V

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN 2021

i
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan
biologis menusia berupa seks. Selain itu, ia punya tujuan lain yang lebih mulia
sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang
berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 1 Untuk itu suami istri perlu saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya,
untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material. Oleh karena itu,
undang-undang juga menganut asas atau prinsip mempersulit terjadinya perceraian.
Perceraian hanya bisa dilakukan, jika ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan didepan
sidang pengadilan.
Dan Secara etimologis kata nikah (kawin) mempunyai beberapa arti, yaitu berkumpul,
bersatu, bersetubuh dan akad.2Pada hakikatnya , makna nikah adalah persetubuhan.
Kemudian secara majaz diartikan akad , karena termasuk pengikatan sebuah akibat.
Semua lafad nikah dalam Al Quran berarti akad, kecuali firman Allah dalam QS. Al
Baqoroh ayat ; 2303

َ ‫اح َعلَ ْي ِه َمآ َأن يَت ََر‬


‫اج َعآ‬ َ َ‫فَِإن طَلَّقَ َها فَالَ ت َِح ُّل لَهۥُ ِم ۢن بَ ْع ُد َحت َّٰى تَن ِك َح ز َْو ًجا َغ ْي َرهۥُ فَِإن طَلَّقَ َها فَالَ ُجن‬
َ‫ِإن ظَنَّآ َأن يُقِي َما ُحدُو َد ٱهَّلل ِ َوتِ ْلكَ ُحدُو ُد ٱهَّلل ِ يُبَيِّنُ َها لِقَ ْو ٍم يَ ْعلَ ُمون‬

“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu
tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain, kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kain kembali jika kedua berpendapat akan dapat

1
DR .H.Ali Imron,M.Ag, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Karya Abadi Jaya hlm.73
2
Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al Husaini, Kifayatul Akhyar, Surabaya , Syirkah Bungkul Indah, Juz 2,
hlm. 36
3
Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Taisirul Alam Syarah Umdatul Ahkam, edisi Indonesia
Syarah hadits pilihan Bukhori Muslim, Jakarta Darus Sunaah, cet. 7 2008, hlm. 739

1
menjalankan hokum-hukum Allah, itulah ukum Allah diterangkannya pada kaum yang
mau mengetahui”.
Perkawinan dalam Bahasa Indonesia, yang terdapat dari beberapa kamus diantaranya
Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan
perempuan menjadi suami istri: nikah (2) (sudah) beristri atau berbini (3) dalam bahasa
pergaulan artinya bersetubuh.1 Selain itu dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
kawin diartikan dengan “menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau istri, menikah,
melakukan hubungan seksual, bersetubuh.4
Asy-Syaikh Al-Allamah Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibary dalam karyanya Fathul
Mu’in menjelaskan bahwasannya kata nikah secara bahasa diartikan sebagai Ad
Dlommwa Al-ijtima’ yang artinya berkumpul menjadi satu. Sedangkan menurut Syara’,
nikah adalah suatu akad berisi pembolehan melakukan pertumbuhan dengan
menggunakan lafadh Inkah (menikahkan), atau lafadh Tazwij (mengawinkan). Nikah
diartikan sebagai suatu akad perjanjian antara calon suami istri untuk menjadi suami
istri yang berisi pembolehan untuk melakukan persetubuhan. 5 Setiap pasangan suami-
istri mendambakan agar ikatan lahir batin yang didahului dengan akad perkawinan itu
kokoh terpatri sepanjang hayat. Namun demikian, kenyataan hidup membuktikan bahwa
memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami-istri itu bukanlah
perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan
kehidupan yang harmonis antara suami-istri tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor
psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup, dan lain
sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan
krisis rumah tangga serta mengancam keutuhan rumah tangga.
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah
seorang suami-istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namum dalam
keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti
bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal
ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha
melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan

4
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dar al-Fikr, Beirut,1989, hlm.29
5
Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in, Menara Kudus, Kudus, hlm. 1

2
keluar yang baik.6 Meskipun perceraian itu merupakan suatu tindakan yang
menghancurkan bangunan keluarga, tetapi dalam ajaran Islam, bahwa kehancuran
tersebut merupakan kehancuran yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat
memelihara kondisi batu pada pondasi keluarga untuk selanjutnya dipindahkan dari
suatu tempat ke tempat lain yang sesuai tanpa memecahkannya atau mengabaikannya7.
Dalam istilah agama iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan
tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah bercerai dari suaminya8.
Iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata adda-ya’uddu-idatan dan
jamaknya adalah ‘idad yang secara arti kata (etimologi) berarti: ‚Menghitung‛ atau
‚Hitungan‛. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si
perempuan yang beriddah menunggu berlalunya waktu9. Selanjutnya ada kewajiban
masa „iddah bagi wanita yang mengalami perceraian. Telah ditegaskan dalam Al-
Qur‟an bahwa dalam keadaan apapun
yang dialami pihak wanita, ia wajib melaksanakan iddah dan ada beberapa adab
beriddah, yakni tidak keluar rumah dan tidak berhias, baik dikarenakan cerai hidup atau
cerai mati. Adapun seorang wanita yang sedang dalam masa iddah disebut mu’taddah.
Iddah sendiri dibagi menjadi 2, yaitu perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya
(mutawaffa ‘anha) dan wanita yang tidak ditinggal mati oleh suaminya (ghair
mutawaffa ‘anha).
Dan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (b) disebutkan:
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu:
1) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain
2) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
3) Seorang wanita yang tidak beragama islam.”10

6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, cet ke- 3,
2009), 190
7
Butsainah as-Sayyid, Menyingkap Tabir Perceraian, (Jakarta: Pustaka Al-Sofwa, 1996), 202
8
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia), 121
9
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006), 303
10
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Ditjen Pembinaan
Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001. hlm. 88

3
Sudah jelas disebutkan bahwa wanita dalam masa iddah tidaklah boleh menikah dengan
laki-laki lain sampai pada masa iddah-nya selesai. Namun sekarang banyak kita jumpai
pernikahan yang dilakukan dalam masa iddah padahal hukumnya dilarang.

Dari beberapa pernikahan dalam kasus pernikahan dalam masa iddah istri, ada salah
satu dari beberapa kasus yang terjadai di kecamatan kadudampit, kab. Sukabumi,
jawabarat. Kadudampit adalah salah satu nama Desa di kecamatan Kadudampit
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Di Antaranya ialah : pernikahan seorang
yang bernama Ibu berinisial M yang diceraikan Oleh suaminnya yang bernama S pada
tanggal 10 agustus 2004, seharusnya ibu tersebut menjalankan Masa iddah selama tiga
kali suci, akan tetapi Ibu M dalam waktu yang singkat yaitu tidak sampe satu bulan
menikah dengan laki-laki lain, mereka menikah secara Sah yang terjadi pada bulan
September akhir 2004.
Merekapun berani menikah dengan tidak menghiraukan masa iddah bagi perempuan ini
dan memberikan Surat nikah kepada pasangan yang melakukan pernikahan dalam masa
iddah. Sedangkan mereka melakukan perceraian dengan secara islam tetapi tidak
diajukan ke Pengadilan Agama. Dan diketahui oleh sebagian tokoh Masyarakat dan
masyarakat setempat.
Adapun faktor yang mendorong Hal itu terjadi karena di sebabkan faktor pengetahuan
yang minim, pergaulan bebas, faktor perekonomiaan, karena disebabkan tidak
mampunya memberi nafkah pada dirinya dan juga Anak-anaknya. Dan apabila dia
menikah lagi maka ada yang bertanggung jawab dalam keluarganya. Dalam hal ini
Islam telah menjelaskan iddah itu merupakan nama untuk masa bagi perempuan untuk
menunggu dan mencegah terjadinya pernikahan setelah wafat suaminnya atau
perpisahan dengannya. 11
Menurut terminologi syariah berarti Masa penantian seorang perempuan sebelum kawin
lagi setelah kematian suaminnya atau berpisah (cerai) dari suaminnya.
Iddah secara bahasa berasal dari kata ”adda” yang berarti menghitung. Maksudnya
adalah masalah masa menunggu atau menanti yang dilakukan wanita yang baru dicerai

11
Ali Yusub As-Subki, Fikih Keluarga, (Jakarta : Amzahjl.saworaya No 18,2010),h.384

4
oleh suaminnya, dia tidak boleh menikah atau kawin dengan orang lain sebelum habis
waktu menunggu tersebut.12
Tidak seorang pun dibolehkan melamar apalagi menikahi wanita yang dalam menjalani
masa iddah, baik karena perceraian maupun kematian suaminya, jika ada seseorang
yang menikahinya sebelum masa iddahnya selesai, maka nikahnya dianggap tidak sah.
Selain itu, tidak ada hak waris diantara keduanya dan tidak ada kewajiban memberi
nafkah serta mahar. Yang dimaksud dengan wanita yang sedang menjalani masa iddah
itu ada tiga macam yaitu :
1. Wanita menjalani iddah karena ditinggal mati suaminya.
2. Menjalani iddah karena dijatuhi talak tiga oleh suaminya.
3. Menjalani iddah karena batalnya pernikahan disebabkan adanya suatu hal yang
mengharamkan pernikahan mereka

Di dalam surat Al-baqarah ayat 228 Allah SWT Berfirman :

‫ق هّٰللا ُ فِ ْٓي اَ ْر َحا ِم ِهنَّ اِنْ ُكنَّ يُْؤ ِمنَّ بِاهّٰلل ِ َوا ْليَ ْو ِم‬ َ َ‫س ِهنَّ ثَ ٰلثَةَ قُ ُر ۤ ْو ۗ ٍء َواَل يَ ِح ُّل لَ ُهنَّ اَنْ يَّ ْكتُ ْمنَ َما َخل‬
ِ ُ‫صنَ بِا َ ْنف‬ ْ َّ‫َوا ْل ُمطَلَّ ٰقتُ يَتَ َرب‬
ۗ ٌ‫ف َولِل ِّر َجا ِل َعلَ ْي ِهنَّ َد َر َجة‬ ْ ِ‫ق بِ َر ِّد ِهنَّ فِ ْي ٰذلِ َك اِنْ اَ َراد ُْٓوا ا‬
ْ ‫صاَل ًحا ۗ َولَ ُهنَّ ِم ْث ُل الَّ ِذ‬
ِ ۖ ‫ي َعلَ ْي ِهنَّ بِا ْل َم ْع ُر ْو‬ ُّ ‫ااْل ٰ ِخ ۗ ِر َوبُ ُع ْولَتُ ُهنَّ اَ َح‬
‫ࣖ وهّٰللا ُ َع ِز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
َ

Artinya : “ wanita-wanita yang di talak hendaknnya menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnnya, dan suami-suaminnya berhak merujuknnya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tigkatan kelebihan daripada istrinnya. Dan Allah maha perkasa lagi
Maha bijaksana.” (QS. Al-Baqarah ayat :228).13
Tidak diperbolehkan seorang pun Melamar atau Menikahi wanita yang dalam menjalani
masa iddah, baik karena perceraian maupun karena kematian. Jika ada sesorang yang
menikahinnya sebelum masa pasal 153, 154, 155, pasal 153 Ayat (1) kompilasi
menyatakan : “ Bagi seorang istri yang putus perkawinan nya berlaku waktu tunggu
12
Tim penyusun al-Manar, Fikih Nikah (bandung : Citra media, 2008) h. 147
13
Terjemah al-qur’an , (QS. Al-Baqarah ayat :228).

5
atau iddah kecuali qabbla al-dkhul dan perkawinan putus bukan karena kematian
suami” (pasal 39 PP nomor 9 tahun 1975).14 Dan dalam peraturan pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 masalah ini telah dijelaskan dalam BAB VII Pasal 39 sementara dalam
Kompilasi Hukum Islam dijelaskan Pasal 153, 154, 155. Pasal 153 ayat (1) kompilasi
menyatakan : “bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
iddah kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami”
(lihat pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975).15
Dari beberapa penjelasan-penjelasan yang telah di paparkan diatas bahwa iddah itu
adalah salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan. Dengan demikian juga karena itu
adalah suatu hal yang wajib dalam syari’at islam. Atas dasar inilah penulis menjadikan
ini sebagai masalah yang akan dikaji dan diteliti dengan judul “PRAKTIK
KEBOHONGAN PUBLIK DIBALIK MASA IDAAH PEREMPUAN JANDA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Desa Kadudampit Kecamatan
Kadudampit Kabupaten Sukabumi).
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalah yang akan di Uji dalam Proposal skripsi ini dapat di rumuskan
sebagi beriku:
1. Bagaimana pelaksanaan nikah dalam masa iddah di KUA Di Desa Kadudampit
Kecamatan Kadudampit?
2. Faktor apa saja yang mendorong masyarakat melakukan nikah dalam masa iddah?
3. Bagaimana dampak dari terjadinya nikah dalam masa iddah?
4. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap permasalahan diatas?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini diantarannya adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Nikah dalam masa Iddah di KUA Di Desa
Kadudampit Kecamatan Kadudampit?
2. Untuk mengetahui Faktor apa saja yang mendorong masyarakat melakukan nikah dalam
masa iddah?
3. Untuk mengetahui tinjauan hukum islam terhadap permasalahan nikah dalam masa
iddah ?
14
Ahmad Rmafiq, Hukum Islam di Indonesia, (jakarta : Raja Grafindo Persada,1995) h. 310
15

6
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan
a. Penelitian terdahulu yang dilakukan Oleh Siti Anisah pada tahun 2012 dengan
mengambil judul “ Pelaksanaan Pernikahan Dalam Masa Iddah Ditinjau Menurut
Hukum Islam (Studi Kasus Di Tanjung Samak Kecamatan Rangsang Kabupaten
Kepulauan Meranti)”.
Permasalah yang di bahasa pada penelitian ini adalah hanya terbatas pernikahan dalam
masa iddah pada masyarakat tanjung sama menurut Hukum islam. dan penelitian
tersebut dilakukan di Tanjung samak kasus ini terjadi pada tahun 2008-2009.
Adapun populasi dalam penelitian ini terdiri dari Masyarakat yang melakukan
pernikahan dalam Massa iddah , pegawai KUA, dan Tokoh Masyarakat. Sampel
ditentukan sebanyak 10 orang dari masyarakat yang melaksanakan pernikahan dalam
masa iddah dengan menggunakan Teknik Purposif sampling 5 orang dari tokoh
Masyarakat dan 5 orang dari Ulama. Metode penelitian dengan menggunakan data
wawancara lansung mengenai permasalah yang di teliti, menggunakan Angket,
Observasi dengan terjun langsung ketempat penelitian, dan melakukan Studi pustaka.
Adapun perbedaan penelitain ini dangan penelitian yang akan teliti ialah dari segi
permasalah penelitian ini hanya terbatas pada pernikahan masa iddah dan dari segi
hukum islamnnya. Dan Adapun dengan penelitian yang akan saya teliti ialah adanya
permasalah mengenai kebohongan yang dilakukan perempuan tersebut dalam
melakukan pernikahan dalam masa iddah.
Dan kesimpulan dari penelitian dan hasil dilapangan bahwa pelaksanaan pernikahan
dalam masa iddah di desa Tanjung Samak Kecamatan Rangsang, Pernikahan tersebut
berlangsung di rumah Pribadi dan juga di kantor KUA, Adapun Faktor-Faktor yang
mendorong Masyarakat Melakukan pernikahan dalam masa iddah yaitu, Faktor
pengetahuaan yang minim, Pergaulan yang bebas, faktor perekonomiaan.
Sedangkan pandangan hukum islam tentang pelaksanaan pernikahan dalam masa iddah
oleh Masyarakat desa Tanjung Samak Kecamatan Rangsang samak adalah Tidak sah,
Karena wanita yang dinikahi masih dalam masa iddah tidak boleh dilamar apalagi
dinikahi dan dinikahkan. 16

16
Siti Anisah, “Pelaksanaan Pernikahan Dalam Masa Iddah Ditinjau Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Di
Tanjung Samak Kecamatan Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti)”, sekripsi sarjana, Riau:
Universitas Islam Negri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau, 2012,Td

7
b. Hasil penelusuran kedua adalah sebuah skripsi seorang mahasiswi Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Tulungagung bernama Fyna Khairunnisa Rahmawati dengan judul
Tinjauan Hukum Islam terhadap Dispensasi Menikah dalam Masa Iddah (Studi Kasus
Putusan Nomor 005/Pdt.P/2013/PA.TA di Pengadilan Agama Tulungagung, yang di
dalam penelitiannya juga membahas permohonan seorang janda untuk melakukan
perkawinan, namun ditolak pihak KUA karena masih dalam masa ‘iddah. Kemudian
wanita janda tersebut mengajukan permohonan dispensasi perizinan perkawinan dalam
masa ‘iddah dikarenakan dirinya hamil (dengan kekasihnya) pada Pengadilan Agama
setempat, namun tetap ditolak karena harus menyelesaikan ‘iddah terlebih dahulu.17
Persamaan dari penelitian ini ialah sama-sama membahas mengenai pernikahan dalam
masa iddah, adapun perbedaan dari penelitian ini ialah dalah penelitian ini alasan
dibalik pernikahan dalam masa iddah yang dilakukan adalah hamil diluar nikah,
sedangkan penelitian yang akan saya lakukan lebih condok terhadap kebohongan yang
dilakukan juga dari persfektif hukum islmanya.
c. Terakhir adalah dari Munasir, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Palangka Raya pada tahun 2014 dengan judul “Penetapan Masa Iddah Wanita yang
Dicerai dalam Perspektif Empat Imam Mazhab Fikih dan Hakim Pengadilan Agama
Kota Palangkaraya”. Secara garis besar skripsi ini meneliti dengan pendekatan kualitatif
normatif yuridis, dengan berlandaskan Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat ke 228 dan PP.
No. 9 Tahun 1975 Pasal 39 Ayat 3 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974.18
Persamaan dari penelitian ini ialah sama-sama membahas mengenai pernikahan dalam
masa iddah, adapun perbedaan dari penelitian ini ialah dalah penelitian ini ialah tinjauan
yang dikakukan penelitian ini terhadap persfektif empat madzhab sedangkan penelitian
yang akan saya lakukan ialah ditinjau dari persfektif hukum islamnya melalui tokoh
agama di kampung sungapan, kecamatan kadudampit.
E. Kerangka Teoritis
1. Kebohongan publik

17
ipsi Fyna Khairunnisa Rahmawati. Lihat: BAB IV.pdf (iain-tulungagung.ac.id), di akses tanggal 04
november 2021
18
Benri, “Pengabaian Masa Idah (Studi Kasus di Kecamatan Kurun Kabupaten Gunung Mas”, Skripsi
Sarjana, Palangkaraya: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palangkaraya, 2007, t.d

8
Bohong adalah memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan
secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau mengangguk.
Ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang memiliki kemiripan arti dengan
bohong, misalnya tipu, dusta, gombal dan bual. Secara bergantian orang sering
memakai kata-kata tersebut untuk hal yang sama. Misalnya ketika seorang pemuda
berjanji akan datang membawakan bunga untuk gadis pujaannya namun tidak ditepati,
maka cukup lazim jika si pemuda dikatakan, bohong, atau, gombal, atau, bual. Kata tipu
dan dusta sangat jarang digunakan.19 Kata, “bohong” (kata kerjanya adalah berbohong)
cenderung digunakan untuk kasus-kasus yang bernuansa netral dan biasa. Sebaliknya
kata, “tipu” biasa digunakan pada kasus-kasus yang cenderung menimbulkan kerugian
pihak yang dibohongi atau yang ditipu. Nuansanya cenderung lebih suram atau berbau
kriminalitas daripada kata “bohong”.
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Peraturan Hukum Pidana (UU No. 1/1946) “Barang siapa, dengan menyiarkan berita
atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat,
dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun. “ Pasal 14 ayat (2)
UU No. 1/1946 “Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan
pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut
dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan
penjara setinggi-tingginya tiga tahun.“ Pasal 15 UU No. 1/1946 “Barang siapa
menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak
lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar
demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum
dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun.” dan menjadi hal lumrah dan
menjadi alasan.
2. Masa iddah
Iddah dengan mengkasrahkan huruf hin dan jama'nya adalah tdad. Maknanya secara
bahasa adalah hitungan, diambil dari kalimat ab'adad karena biasanya mencakup
hitungan bulan. Dikatakan “ AdadtuAsy Sya’i' a’iddatan" maknanya aku menghitung
sesuatu dengan hitungan. luga disebutkan kepada yang dihitung dikatakan, iddatu al-
19
http://www.psikoterapis.com/?en_apa-beda-bohong-tipu-dusta-gombal-dan-bual- , 112 diakses pada
31 0ktober 2021.

9
mar'ah, maknanya, hari-hari hitungan masa iddahnya Maknanya secara istilah menurut
pendapat mazhab Hanafi adalah, masa yang ditentukan secara syariat dengan
berakhirnya berbagai dampak perkawinan yang masih tersisa. Dengan ibarat yang lain,
masa menunggu yang harus dilakukan oleh istri ketika ikatan pernikahan atau
syubhatnya hilang.
Menurut pendapat jumhur iddah adalah masa menunggu yang dijalani oleh seorang
perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya, untuk ibadah, atau untuk menjalani
masa dukanya atas kepergian suaminya. Ini adalah masa menunggu yang sama. Kedua
jenis iddah ini tidak bercampur dalam satu orang. Si perempuan menjalani masa iddah
yang pertama sampai habis. Kemudian dia mulai masa iddah yang lain. Kedua iddah ini
bercampur dalam satu orang walaupun dari dua jenis.
Definisi iddah dapat dipaparkan dengan definisi yang paling jelas, yaitu masa yang telah
ditetapkan oleh Allah setelah terjadi perpisahan yang harus dijalani oleh si istri dengan
tanpa melakukan perkawinan sampai masa iddahnya. Tidak ada masa iddah bagi
perempuan yang melakukan zina menurut mazhab Hanafi dan Syaf i, bertentangan
dengan pendapat mazhab Maliki dan Hambali. Dan menurut pendapat jumhur selain
mazhab Syafi'i diwaijibkan iuga iddah bagi istri yang ditalak oleh suaminya setelah
teriadi khalwat. Kaidahnya adalah, setiap talak atau fasakh yang diwajibkan padanya
semua mahar maka diwajibkan masa iddah. Sedangkan perpisahan yang membuat
semua mahar iatuh atau hanya diwaiibkan setengah bagiannya saja tidak diwajibkan
masa iddah.20
3. Perempuan janda
Janda berarti perempuan yang tidak bersuami lagi, baik karena cerai maupun karena
ditinggal mati oleh suaminya (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 457). Janda
merupakan perempuan yang tidak memiliki pasangan dan status kesendirian karena
berpisah dengan suami setelah dikumpuli, baik berpisah karena dicerai maupun karena
ditinggal mati. Pria maupun perempuan yang telah menikah dan telah bercampur
kemudian berpisah, baik disebabkan karena perceraian maupun kematian adalah
berstatus sama. Hanya karena frame budaya yang memberikan kekuasaan kepada pria

20
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Cet 1. Jakarta: Gema
Insani, 2011

10
atas perempuan dan lebih lebih banyak menunjuk status kaum perempuan sebagai janda
(Munir, 2009: 33).
Status janda bukanlah posisi yang menguntungkan bagi perempuan secara biologis,
psikologis, maupun sosiologis. Kondisi yang melingkupi diri kaum perempuan
seringkali mengundang bargaining position kaum ini ketika berhadapan dengan kaum
pria. Kaum janda kadang ditempatkan sebagai perempuan pada posisi yang tidak
berdaya, lemah, dan perlu dikasihani sehingga dalam kondisi sosial budaya yang
patriarkhi seringkali terjadi ketidakadilan terhadap kaum perempuan, khususnya kaum
janda (Munir, 2009: 144). Secara ilmiah, janda dapat diartikan seorang perempuan yang
pernah melakukan hubungan biologis, tapi dengan alasan tertentu harus hidup tanpa
suami. Sedangkan berdasar filsafat, bahwa janda adalah perempuan yang pernah
merasakan cinta kasih dan melakukan hubungan intim, tapi merelakan cinta kasihnya
tidak berlanjut dikarenakan masing-masing memilih jalan hidup sendiri-sendiri untuk
memperoleh kebebasan masing-masing tanpa suatu ikatan pernikahan. Secara ontologis,
janda merupakan sosok
perempuan yang tidak bersuami, harus menanggung penderitaan secara fisik dan psikis
dari berbagai persepsi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Secara epistimologi,
janda adalah perempuan yang mempunyai fungsi ganda. Perempuan di satu sisi sebagai
ibu dari keturunan yang ditinggalkan ayahnya, baik melalui perceraian ataupun
kematian dan di sisi lain, merupakan perempuan yang pernah melakukan hubungan
biologis dengan lawan jenisnya, tetapi tidak mendapat perlakuan yang lazim dari
pasangannya sehingga harus melaksanakan fungsi sebagai kepala keluarga.
4. Persfektif Hukum islam
Menurut Leonardo da Vinci, perspektif adalah sesuatu yang alami yang menampilkan
yang datar menjadi relative dan yang relative menjadi datar. Perspektif adalah suatu
system matematikal untuk memproyeksikan bimdang tidak dimensi ke dalam bidang
dua dimensional, seperti kertas atau kanvas. Kata “perspektif” berasal dari bahasa Italia,
“prospettiva” yang berarti “gambar pandangan”.
Adapun definisi dari Hukum Islam merupakan rangkaian kata “hukum” dan “islam”.
Secara terpisah hukum dapat diartikan sebagai seperangkat perturan tentang tingkah
laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi

11
wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. Bila kata
“hukum” di gabungkan dengan kata “islam”, maka hukum islam adalah seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama islam. Dalam
hal ini dari udul yang telah penulis uraikan definisinya dapat disimpukan bahwa
peraktik kebohongan publik yang dilakukan perempuan yang bersetatus janda ditinjau
dari persfektif hukum islam itu sangatlah di perlukan terlebih di kalangan masyarakat
banyak seklai faktor terjadinya pernikahan dalam Masa iddah dengan demikian penulis
mengambil judul sepert yang telah diuraikan diatas.
F. Metode
1. Pendekatan
Pendekatan dan jenis penelitian yaitu termasuk ke dalam studi kasus serta dilakukan
pendekatannya termasuk dalam kualitatif (Penelitian yang dilakukan untuk
menggambarkan konsep secara menyeluruh), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti dan mengadakan penelusuran berbagai literatur. Jenis penelitian dalam
penelitian sekripsi termasuk kedalam kategori jenis penelitian yang bersifat sosiologi
empiris. Penelitian empiris ialah penelitian hukum yang di konsepkan sebagai suatu
gejala empiris yang dimana dapat di amati dalam gejala kehidupan sehari-hari.
Peneliti melakukan penelitian terhadap data primer yang merupakan data empiris
yang diperoleh langsung dari sumber data, yakni pandangan beberapa ulama dan
tokoh masyarakat tentang ,pernikahan janda dalam masa ‘iddah di kabupaten
sukabumi ini. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research dengan
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yakni penelitian dengan menggunakan
bahan-bahan lapangan seperti hasil wawancara, hasil observasi yang mendalam
dengan menggunakan pedoman interview wawancara yang sesuai dengan kondisi
lapangan.
2. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian empiris dikenal teknik-teknik pengumpulan data. Dengan Teknik-
teknik pengumpulan data tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Dalam metode
pendekatan penelitian kualitatif yang diambil dari penelitian sumber observasi atau

12
terjun langsung pada masyarakat. Yaitu meliputi sejumlah hal dalam kepustakaan
dengan cara meneliti dan mengadakan penelusuran berbagai literatur yang ada
relevansinya dengan permasalahan dibahas pada skripsi ini serta menganalisa data
sekunder untuk memperoleh data atau kebenaran yang akurat sesuai dengan peraturan
yang berlaku.21 pengumpulan data yang sering digunakan di dalam penelitian hukum
terutama skripsi yang akan dibahas diatas adalah studi dokumen, wawancara,
observasi..
3. Analisis data
Dalam penelitian hukum yang bersifat empiris dikenal model-model analisis yaitu :
analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.22 Dan pada penelitian skripsi di atas
digunakan analisis penelitian kualitatif karena sifatnya ploratif dan deskriftif. Karena
pada penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas
kata-kata yang tidak diolah menjadi Angka-angka. Sample yang digunakan bersifat
non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan
observasi.
4. Sumber data
a) Sumber primer
Sumber data Primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data.23 Data dalam penelitian ini diperoleh dari sempel data pelaku
pernikahan dalam masa iddah tokoh agama, tokoh masyarakat serta warga kampong
setempat.
b) Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data.24 Data
sekunder dalam penelitian ini adalah Al-Qur’an, terjemah Kitab fiqh, buku dan hadist
tentang pernikahan, Jurnal tentang masa iddah, dan buku-buku tentang pernikahan
perceraian dan masa iddah lainnya.

21
Noeng Muhadjir, “Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV”, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000, h:18.
22
Made pasek diantha, Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum, (Jakarta :
Prenada media grup,2019),h.199

23
Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R dan D”, (Bandung: Alfabeta, 2014), Cet ke-
23, h.225.
24
Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R dan D”,….. h. 225

13
Daftar Pustaka
A. Buku-Buku

Ali Yusub As-Subki, Fikih Keluarga, Jakarta, Amzahjl.saworaya No 18,2010. Tim penyusun
al-Manar, Fikih Nikah bandung, Citra media, 2008

Ahmad Rmafiq, Hukum Islam di Indonesia, jakarta, Raja Grafindo Persada,1995

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Teori. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Cet
1. Jakarta: Gema Insani, 2011

Made pasek diantha, Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum,
Jakarta : Prenada media grup,2019

B. Peraturan Perundang- undangan

Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum


Pidana (UU No. 1/1946)

C. Jurnal, Artikel, Makalah, Skripsi, Tesis

Siti Anisah, “Pelaksanaan Pernikahan Dalam Masa Iddah Ditinjau Menurut Hukum Islam
(Studi Kasus Di Tanjung Samak Kecamatan Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti).”, Skripsi
sarjana, Fakultas Syariah Dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau2012.

Benri, “Pengabaian Masa Idah (Studi Kasus di Kecamatan Kurun Kabupaten Gunung Mas”,
Skripsi Sarjana, Palangkaraya: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palangkaraya,
2007.

14
Munasir, “Penetapan Masa Iddah Wanita yang Dicerai dalam Perspektif Empat Imam
Mazhab Fikih dan Hakim Pengadilan Agama Kota Palangkaraya”. Sekripsi sarjana,
Palangkaraya: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palangkaraya, 2014.

Ismail Habib,Khotamin alfi nur, “Faktor dan Dampak Perkawinan dalam Masa Iddah (Studi
Kasus di Kecamatan Trimurjo Lampung Tengah”, Mahkama, Vol. 2, No.1, (Juni 2017) Institut
Agama Islam Ma’arif NU Metro Lampung, Indonesia.

Ibnu Jazari, Pandangan Dan Hukum Islam Terhadap Wanita Dalam Masa Iddah Yang
Berhubungan Dengan Pria Lain Melalui Media Sosial, JAS: Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah
Vol. 1 No. 2, Tahun 2019 Universitas Islam Malang.

Abdur Rahman Indikator Terjadinya Pernikahan dalam Masa Iddah di Kecamatan


Bolangitang Barat, El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol. 3 No.1 (Januari-Juni 2020) Insitut
Agama Islam Negri IAIN Sultan Amai Gorontalo.

15

Anda mungkin juga menyukai