Anda di halaman 1dari 7

Nama : Alfiyah Nur Andirani

Nim : 2017304006

Kelas : 5 PM

Mata Kuliah : Fikih Munakahat

Tema 1 PERNIKAHAN

1. Pengertian Pernikahan

- Menurut Mazhab Hanafi Makna nikah adalah al-wat’u (bersenggama), secara majaz adalah akad, di
dalam akad terkandung makna al-damn (berkumpul) yang artinya suami istri berkumpul menjadi satu,
dan antara keduanya seperti menjadi satu orang dalam melaksanakan kewajibannya demi kebahagiaan
dan kemaslahatan keluarga.

- Menurut Mazhab Hanabillah : Tidak secara spesifik membahas definisi dari perkawinan.

- Kata "nikahl' di dalam bahasa Arab, menurut para ahli fiqih, dari para senior empat madzhab
merupakan kata yang digunakan secara haqiqah (sebenarnya) dalam mengungkapkan makna akad,
sedangkan digunakan secara majaz (kiasan) ketika mengungkapkan makna hubungan intim. Karena itu
sudah masyhur di dalam Al-Qur'an dan hadits. Az-Zamal syari dari kalangan ulama madzhab Hanafi
berkata, "Di dalam Al-Qur'an tidak ada kata nikah yang berarti hubungan intim, kecuali fir-man Allah
SWT yang artinya, "Hingga dia kawin dengan suami yang lain."(alBaqarah: 230) (Sumber : Wahbah Al
Zuhaily: alFiqhul Islam Wa Adilatuhu hal 38-39 )

2. Tujuan Perkawinan

- Memperoleh kehidupan Sakinah, Mawaddah, Warahmah


- Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi kelanjutan generasi yang akan datang
- Untuk mendapatkan keluarga Bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang

3. Dasar Hukum Perkawinan

QS. Ali ‘Imran/3: 38, QS. Al-Anbiyaa’/21: 89, QS. Ar-Ra’d/13: 38, QS. An-Nuur/24: 32, QS. An-Nisa/4 22-
23

4. Hukum Nikah

- Menurut Ulama Syafiiyah

a. Sunnah, bagi orang yang berkeinginan untuk nikah telah pantas untuk kawin dan dia telah
mempunyai perlengkapan untuk kawin
b. Makhruh, bagi yang sudah pantas kawin, tetapi belum punya keinginan untuk kawin,
sedangkan perlengkapannya juga belum ada

- Menurut Ulama Hanafiyyah

a. Wajib, bagi orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki
perlengakapn kawin dan dia takut akan terjerumus berbuat zina jika tidak kawin.
b. Makhruh, bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa akan
berbuat curang dalam perkawinannya itu.

Tema 2 BALIGH (USIA NIKAH) MENURUT IMAM MAZHAB

Batas usia minimal untuk melangsungkan pernikahan adalah 15 tahun yang didasarkan kepada
riwayat Ibnu Umar, dan 9 tahun didasarkan kepada pernikahan Rasulullah Saw., dengan Aisyah.
Berdasarkan hal ini, para madhab fikih berbeda menerapkan batas usia, sebagaimana berikut ini:

Para ulama Mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti kebalighan seorang wanita, hamil
terjadi karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haidh kedudukan-nya sama dengan
mengeluarkan sperma bagi laki-laki. Imâmiyah, Mâliki, Syâfi’i dan Hanbali mengatakan: tumbuhnya bulu-
bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Sedangkan Hanâfi menolaknya, sebab bulu-bulu
ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syâfi’i dan Hanbali
menyatakan: usia baligh anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Mâliki
menetapkannya tujuh belas. Sementara itu, Hânafi menetapkan usia baligh bagi anak-anak adalah
delapan belas tahun, sedangkan anak perempuan tujuh belas tahun. Pendapat Hanafi dalam usia bâligh
di atas adalah batas maksimal sedangkan usia minimalnya adalah dua belas tahun untuk anak laki-laki
dan sembilan tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia tersebut seorang anak laki-laki dapat
mimpi mengeluarkan sperma, menghamili atau mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedang pada anak
perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil, atau haidh. (Sumber : Achmad Ashori Batas Usia
Perkawinan Menurut Fuqaha).

Di dalam kitab-kitab fikih, para fukaha berbeda pendapat tentang batasan usia seseorang untuk
dapat disebut baligh. Menurut ulama Hanâfi, anak laki-laki dipandang baligh apabila usianya telah
mencapai 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Mazhab Syâfi’i memberikan batas 15 tahun untuk laki-laki
dan 9 tahun untuk perempuan. Hanbali, baik laki-laki dan perempuan 15 tahun. Sedangkan ulama Mâliki
menandai kedewasaan dengan tumbuhnya rambut di beberapa tempat/anggota tubuh.

Tema 3 PENGERTIAN WALI NIKAH DAN URUTAN WALI NIKAH MENURUT


ULAMA MADZHAB

Berikut ini adalah pengertian wali menurut ulama madzab dan urutan wali menurut ulama
madzhab .
1. Madzab hanafi

Wali nikah adalah orang yang berkuasa mengurus, memelihara yang ada dibawah
perwaliannya atau perlindungannya.

2. Madzab Maliki

Wali adalah rukun dari sebagian rukun nikah, tidak sah akad nikah tanpa adanya wali".
Dasar keharusan wali dalam nikah dalam madzhab Maliki dan madzhab yang sepakat terhadap
wali sebagai syarat sahnya pernikahan adalah surat Al-Baqarah ayat 232 dan 221.

3. Madzab Syafi'i

Wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad
nikah. Dan wali sering dimaknai dengan pengasuh pengantin perempuan yang akan menikah
yaitu yang akan melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.

4. Madzab Hanbali

mazhab Hanbaliyah menetapkan bahwa wali itu wajib dan harus ada dalam pernikahan. Ia
menjadi rukun diantara rukun-rukun nikah. Pernikahan tanpa wali adalah tidak sah baik kepada
orang yang sudah dewasa atau belum dewasa.

Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukanya
berwenang untuk bertindak terhadap dari atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak dan atas
nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang
tidak memungkinkan dia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta
atau atas dirinya. Dalam perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama
mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak
laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan
atau diwakilkan dengan walinya. (Sumber : Skripsi milik Achmad Hadi Sayuti Tahun 2011. Wali
Nikah dalam Perspektif Dua Madzhab dan Hukum Positif)

Urutan Wali menurut ulama madzhab

1. Mazhab Hanafiyah mengemukakan teori bahwa perwalian didasari oleh aspek kekerabatan
dan ke-’aṣābah-an serta yang paling dekat kepada perempuan yang akan dinikahkan.

2. Madzab Maliki

Kewalian khusus ada lima jenis ayah, orang yang diberi wasiat oleh si ayah, golongan
aṣābah, mawla, dan penguasa Perwalian ini muncul karena ada enam penyebab: hubungan
kebapakan (al-abwah), wasiat (al-iysā’), asābah (al- ‘uṣubah), perhambaan (almilk),
pemeliharaan (al-kafālah), dan kekuasaan (alsultānah) .
Tema 4 PENGERTIAN DAN BESARANNYA MAHAR MENURUT ULAMA MADZHAB

Mahar Menurut Imam Hanafi adalah harta yang menjadi hak dari seorang perempuan karena
adanya ikatan perkawinan atau hubungan badan. Menurut Imam Malik Mahar adalah sesuatu
yang dapat menjadikan seorang isteri halal untuk digauli, baik secara lahir maupun batin.
Menurut imam Syafi'i Mahar adalah sesuatu yang diwajibkan sebab adanya hubungan badan atau
lewatnya kehormatan bagi perempuan dengan keadaan tanpa daya,seperti mundurnya para saksi.
Menurut Imam Hambali Mahar adalah sebuah imbalan dari perkawinan sebagai kehalalan dari
hubungan badan.

Adapun ukurannya, para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan tentang maksimalnya. Dan
mereka mereka berbeda pendapat tentang minimalnya:

1. Syaf i, Ahmad, Ishaq, Abu kalangan tabi'in berpendapat Semua yang bisa menjadi
menjadi mahar, pendapat ini yang termasuk para pengikut Tsaur dan para fuqaha
Madinah dari tidak ada batas tentang minimalnya.harga dan nilai bagi sesuatu boleh
dikemukakan pula oleh Ibnu Wahb Malik.
2. Sekelompok ulama menyatakan wajibnya menentukan batas minimalnya dan mereka
berselisih dalam penentuannya, yang masyhur dalam hal itu ada dua madzhab; Pertama,
madzhab Malik dan para pengikutnya dan Kedua, madzhab Abu Hanifah dan para
pengikutnya.

Malik berkata, "Minimalnya seperempat dinar berupa emas atau tiga dirham berupa perak atau
yang senilai dengan tiga dirham (maksudnya dirham takaran saja, menurut riwayat yang
terkenal) dan dikatakan: atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya". Sedangkan Abu
Hanifah berkata, "Minimalnya sepuluh dirham.Dikatakan, lima dirham. Dan dikatakan, empat
puluh dirham."Sebab perbedaan mereka dalam menentukan ukuran ada dua sebab: pertama,
ketidakjelasan pernikahan ini antara sebagai salah satu penukaran yang diakui dengan kerelaan
baik dengan sedikit atau banyak seperti dalam kasus jual beli dan antara sebagai ibadah maka hal
itu sudah ditentukan. Hal itu dilihat dari satu sisi, bahwa dengan mahar seorang laki-laki bisa
memiliki manfaat seorang wanita untuk selamanya menyerupai tukar menukar. Dan dari sisi
bahwa tidak boleh saling ridha untuk menggugurkannya menyerupai ibadah.

Kedua, kontradiksi qiyas yang mengandung arti pembatasan berdasarkan pemahaman hadits
yang tidak mengandung arti pembatasan. Adapun qiyas yang mengandung arti pembatasan ialah
sebagaimana kami katakan bahwa hal itu merupakan ibadah dan ibadah sudah ditentukan.
(Sumber : Ibn Rusyd Bidayah AlMujtahid hal 33-35)
Tema 5 NAFKAH MENURUT ULAMA MAZHAB

1. Pengertian Nafkah

- Menurut Imam Hanafi mencukupi nafkah istri merupakan kewajiban kedua dari suami setelah
membayar mahar dalam sebuah pernikahan. Nafkah diwajibkan bagi suami selama istri sudah
balig.

- Menurut Imam Syafi'i hak istri sebagai kewajiban suami kepada istrinya adalah membayar
nafkah. Nafkah tersebut meliputi, pangan,sandang, dan tempat tinggal. Nafkah wajib diberikan
kepada istrinya yang sudah balig.

- Menurut Hambali suami wajib membayar atau memenuhi nafkah terhadap istrinya jika pertama
istri tersebut sudah dewasa dan sudah dikumpuli oleh suami, kedua, istri (wanita) menyerahkan
diri sepenuhnya kepada suaminya.
- Menurut Imam Malik mencukupi nafkah keluarga merupakan kewajiban ketiga dari seorang
suami setelah membayar mahar dan berlaku adil kepada istri. Kalau terjadi perpisahan antara
suami dan istri, baik karena cerai atau meninggal dunia maka harta asli istri tetap menjadi milik
istri dan harta asli milik suami tetap menjadi milik suami,

- Menurut madzhab Maliki waktu berlakunya pemberian nafkah wajib apabila suami sudah
mengumpuli istrinya. Jadi nafkah itu tidak wajib bagi suami sebelum ia berkumpul dengan istri.

2. Besaran Nafkah

- Menurut imam Maliki Bawa ukuran nafkah tidak dibatasi dengan syariat, dan itu kembali
kepada keadaan yang dialami oleh suami dan istri. Hal itu berbeda berdasarkan perbedaan
tempat, waktu dan kondisi, dan pendapat ini juga dikemukakan oleh abu Hanifah tentang
kewajiban nafkah.Nafkah ini wajib diberikan kepada istri yang tidak nusyuz. Jika suami ada atau
masih hidup tetapi dia tidak ada di tempat atau sedang bepergian suami tetap wajib
mengeluarkan nafkah untuk istrinya.

- Menurut imam Syafi'i Berpendapat bahwa nafkah bisa dikira-kira, bagi orang yang memiliki
kelapangan, 2 mod bagi orang sedang, satu setengah menit dan bagi orang yang mengalami
kesulitan. Dan juga nafkah wajib diberikan kepada istri dan keluarga serta kepada kerabatnya
menurut kemampuan yang dimiliki.

- Menurut Mazhab Hanafi Pembedaan jumlah nafkah itu berdasarkan pada pekerjaan suami, jadi
kadar atau jumlah nafkah bisa berbeda-beda antara keluarga yang satu dengan yang lain.
Pendapat Imam Hanafi menyebutkan bahwa nafkah wajib diberikan kepada istri yang tidak
nusyuz.Tetapi jika suami masih hidup dia tidak berada di tempat maka suami tidak wajib
memberikan nafkah kepada istri.
- Menurut madzhab Syafi'i dan Hanafi Bahwa sumber ulama, seperti imam Syafi'i dan imam
Hanafi telah mewajibkan atas naskah kerapatan apabila kerapatan tersebut semuhrim, bahkan
selain semurni tidak diwajibkan apa karena imam Syafi'i dan imam Hanafi mengambil dalil dari
firman Allah SWT dengan surah an-nisa: 36.

Tema 6 HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

1. Hak dan Kewajiban Isteri

Ada beberapa hak isteri yang harus di tunaikan oleh suami yaitu yang pertama menggauli isteri
dengan baik. Wajib bagi suami bersikap baik dalam bersikap dengan isterinya serta memberikan
sesuatu yang dapat menyenangkan hatinya. Dalam Q..S An – Nisa ayat 19 yang berbunyi “ dan
bergaullah dengan mereka secara patut “. Yang kedua yaitu bersikap adil. Jika seorang suami
memiliki beberapa isteri (poligami) maka termasuk hak isteri adalah bersikap adil dalam giliran
di antara para isterinya, dalam hal bermalam, pakaian dan nakah.
Kewajiban isteri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari istrinya tidak ada
yang berbentuk materi secara langsung. Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk nonmateri.
Kewajiban yang bersifat nonmateri itu adalah :

- Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya. Hal ini dapat dipahami dari ayat
yang menuntut suami yang menggauli istrinya dengan baik, karena perintah untuk menggauli itu
berlaku untuk timbal balik.

- Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan memberikan rasa cinta dan
kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya.

- Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada dirumah.

2. Hak dan Kewajiban Suami

Adapun hak suami yaitu

- Di taati dalam hal-hal yang tidak maksiat


- Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami
- Tidak bermuka masam di hadapan suami
- Tidak menunjukkan keadaan yang tidak di senangi suami.

Kewajiban Suami pada Istri


- Memberi nafkah dan pelayanan
- Bersikap lapang saat sendiri
- Memaafkan isteri ketika berbuat salah
- Menunjukkan kasih sayang

Anda mungkin juga menyukai