Anda di halaman 1dari 15

FIQIH LIMA MADZHAB

BOOK REPORT

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah

Ilmu fiqih

Dosen Pengampu:

Pupu Fakhrurozzi M.Pd

Oleh:

Shera Shoraya (212203015)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MANGGALA

BANDUNG

2022
A. IDENTITAS BUKU
1. Judul lengkap : Fiqih Lima Madzhab
2. Penulis : Muhammad Jawad Mughniyah
3. Penerbit : Basrie Press
4. Kota Penerbit : Surabaya
5. Tahun terbitan : 1994
6. ISBN :-
7. Jumlah halaman : 459 halaman
8. Ukuran : 15×21 cm
9. Copy jilid :

B. INTI MASALAH

Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus mem
bahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Allah,Tuhannya.Dalam disiplin ilmu fiqih, lahir
berbagai macam golongan yang memiliki satu Imam. Imam tersebut memiliki istinbath
hukum,istidlal,dan ijtihad yang ia tetapkan.
5 madzhab diantaranya adalah Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafii, Madzhab
Hambali, dan Madzhab Imamiyah.Karena setiap madzhab memiliki karakter metode istinbath
hukum, istidlal, dan ijtihadnya masing-masing. Maka banyak terjadi perbedaan pendapat dan
kesepakatan antar Madzhab pada permasalahan-permasalahan Fiqih.

NIKAH

1. AKAD NIKAH DAN SYARAT-SYARAT NYA

kesepakatan madzhab:

Sah nya nikah, karena adanya akad ijab qabul antara mempelai wanita atau wakil atau wali dan
mempelai pria.

Keabsahan nikah, terjadi karena adanya redaksi zawwajtu atau ankahtu ketika ijab, dan qobiltu
atau rodhitu.

Madzhab Hanafi: akad boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud
menikah,bahkan sekalipun dengan lafal al-tamlik (pemilikan), al-hibah (penyerahan),al-bay’
(penjualan),al-‘atha’ (pemberian),al-ibahah (pembolehan).

Madzhab Maliki dan Hambali: sah juga dengan lafal-lafal al-hibah.

Madzhab Imamiyah,Syafi’i dan Hambali: disayaratkan kesegeraan dalam akad,sedangkan Hanafi


tidak mensyaratkan hal tersebut.

Imamiyah dan tiga madzhab lainnya: sah mendahulukan qabul dari pada ijab sedangkan hambali
tidak sah.

Syafi’i,Hanafi,dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi,

Tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang lelaki,atau seorang laki-laki

Dengan dua orang perempuan,tanpa di syaratkan harta adil.Namun mereka berpendapat

Bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa lelaki dinyatakan tidak sah.

Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa: perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki,

Muslim dan adil.

Imamiyah berpendapat bahwa: kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah istihbab.

2. SYARAT BAGI KEDUA PIHAK YANG MELAKUKAN AKAD NIKAH

Para ulama madzhab sepakat bahwa: berakal dan baligh merupakan syarat dalam per-

Kawinan ,kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai.

Kecuali Hanafi yang membolehkan akad dengan paksaan,seluruh madzhab sepakat bahwa akad
harus dilakukan secara sukarela dan atas kehendak sendiri.

Keempat madzhab sepakat bahwa: akad yang dilakukan dengan bermain sekalipun

Mengesahkan perkawinan.

Sementara Imamiyah mengatakan bahwa:segala yang bersifat main-main adalah tidak


Berarti.

Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa: akad nikah yang dilakukan oleh orang yang safih
(dungu) adalah sah,baik memperoleh izin dari walinya atau tidak.

Syafi’i dan Imamiyah menyatakan bahwa orang tersebut harus memperoleh izin dari walinya.

Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa:perkawinan dapat ditetapkan berdasarkan pengakuan


seseorang yang berakal sehat dan baligh.

3.SYARAT YANG DITETAPKAN ISTRI ATAS SUAMI

Hambali berpendapat apabila seorang suami mensyaratkan atas dirinya,maka suami wajib

Memenuhi syarat tersebut.

Hanafi,Syafi’i dan Maliki berpendapat: syarat seperti itu batal tetapi akad nikahnya sah.

4.KLAIM PERKAWINAN

Kalau seorang laki-laki mengklaim bahwa seorang perempuan tertentu adalah istrinya,tetap

Tetapi perempuan itu menolak,atau sebaliknya,maka orang yang mengklaim harus


mengemukakan bukti,sedangkan yang menolak harus bersumpah.

Para Ulama Madzhab Sepakat bahwa bukti itu harus berupa saksi dua orang laki-laki yang
adil.Imamiyah dan Hanafi menganggap bahwa kesaksian seorang saksi untuk menetapkan suatu
perkawinan sudah dipandang cukup.

Imamiyah,Hanafi,Syafi’i dan Hambali berpendapat: perkawinan itu dianggap terbukti adanya


melalui berita yang tersebar.

5.WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI

Para Ulama Madzhab sepakat bahwa wanita-wanita tersebut di bawah ini haram dikawini

Karena hubungan nasabnya:

1.Ibu,termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu.

2.Anak-anak perempuan,termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau anak


perempuan,hingga keturunan di bawahnya.

3. Saudara-saudara perempuan,baik saudara seayah,seibu,maupun seayah dan seibu.

4. Saudara perempuan ayah,termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak

Ayah,dan seterusnya.

5. Saudara perempuan ibu,termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ibu,

Dan seterusnya.

6. Anak-anak perempuan saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.

7. Anak-anak perempuan saudara perempuan hingga keturunan di bawahnya.

Adapun yang dilarang karena sebab lain adalah berikut ini:


A.karena ikatan perkawinan ( mushaharah):

 Istri ayah haram dinikahi oleh anak ke bawah


 Istri anak laki-laki
 Ibu istri
 Anak perempuan istri

• Tentang Zina

Syafi’i dan Maliki berpendapat: seorang laki-laki boleh mengawini anak perempuannya dari hasil
zina.hanafi,imamiyah,dan Hambali menyatakan anak perempuan hasil zina itu haram di kawini
sebagaimana keharaman anak perempuan yang sah.

Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa,zina itu menyebabkan keharaman mushaharah.

•Jumlah Istri

Semua Madzhab sepakat bahwa seorang laki-laki boleh beristri empat dalam waktu bersamaan.

Imamiyah dan Syafi’i mengatakan bahwa manakala salah seorang diantara keempat istri itu dicerai
dalam bentuk talak raj’i,maka laki-laki itu tidak boleh melakukan akad nikah dengan wanita lain.

• Jumlah Talak

Para Ulama Madzhab Sepakat bahwa apabila seorang suami menceraikan istrinya untuk ketiga
kalinya,yang didahului oleh dua talak raj’i,maka haramlah istrinya itu baginya.

Imamiyah berpendapat bahwa,kalau seorang wanita ditalak sebanyak sembilan kali dalam bentuk
talak ‘iddah,maka dia haram bagi bekas suaminya selama-lamanya.

•Perbedaan Agama

Semua Madzhab Sepakat bahwa,laki-laki dan perempuan muslim tidak boleh kawin dengan orang-
orang yang tidak mempunyai kitab suci atau yang dekat dengan kitab suci (syibh kitab).

Keempat Madzhab Sepakat bahwa orang-orang yang memiliki kitab yang dekat dengan kitab suci
seperti orang-orang majusi,tidak boleh dikawini.

Keempat Madzhab juga Sepakat bahwa seorang laki-laki Muslim boleh mengawini wanita ahli
kitab,yakni wanita-wanita Yahudi dan Nasrani,dan tidak sebaliknya.

Kecuali Maliki,Seluruh Madzhab Sepakat bahwa perkawinan yang diselenggarakan oleh orang-orang
non-Muslim adalah sah seluruhnya,sepanjang perjawinan itu dilaksanakan sesuai dengan ajaran
yang mereka yakini.

Maliki mengatakan bahwa,perkawinan yang diselenggarakan oleh orang-orang non-Muslim tidak


sah.

• ‘Iddah

Seluruh Madzhab Sepakat bahwa wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah tidak boleh dinikahi.

•Ihram

Imamiyah,Syafi’i,Maliki,dan Hambali berpendapat bahwa,orang yang sedang ihram,baik untuk haji


maupun umrah,tidak boleh kawin dan mengawinkan orang lain,menjadi wakil atau wali nikah,dan
bila perkawinan dilakukan dalam keadaan ihram,maka perkawinan tersebut batal.
Madzhab-Madzhab Lain mengatakan bahwa,wanita tersebut haram dikawini untuk sementara
waktu dan tidak selamanya.

6.WALI NIKAH

Wanita yang baligh dan berakal sehat

Syafi’i,Maliki,dan Hambali berpendapat: jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih
gadis,maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali,akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada
keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya.

Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali.

Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri
suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri,baik dia perawan maupun janda.

Mayoritas Ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang wanita baligh dan berakal
sehat,disebabkan oleh kebalighan dan kematangannya itu,baik dia masih perawan maupun Ko.

Hanafi mengatakan bahwa,manakala ayah atau kakek mengawinkan anak gadis mereka yang masih
kecil dengan orang yang tidak se-Kufu atau kurang dari mahar mitsil,maka akad nikahnya sah jika ia
tidak dikenal sebagai pemilih yang jelek.Akan tetapi bila yang mengawinkannya bukan ayah atau
kakeknya,dengan oranh yang tidak sepadan (se-Kufu) atau kurang dari mahar mitsil,maka akad nikah
tersebut tidah sah sama sekali.

Hambali dan Maliki berpendapat bahwa seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya yang
masih kecil kurang dari mahar mitsil,sedang Syafi’i mengatakan bahwa ayah tidak berhak atas
itu,dan bila dia melakukanya juga,maka si anak boleh menuntut mahar mitsil bagi dirinya.

Kesepadanan (ke-Kufuan)

Arti kesepadanan (kafa’ah) bagi orang-orang yang menganggap nya syarat dalam perkawinan,adalah
hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita (yang akan menjadi
istrinya) dalam beberapa hal.

Hanafi,Syafi’i,dan Hambali sepakat bahwa kesepadanan itu meliputi: islam,merdeka,keahlian,dan


nasab.Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal harta dan kelapangan hidup.Hanafi dan Hambali
menganggapnya sebagai syarat,tapi Syafi’i tidak.

Sedangkan Imamiyah dan Maliki tidak memandang keharusan adanya kesepadanan kecuali dalam
hal agama.

7.BEBERAPA CACAT

Kalangan Madzhab-Madzhab Fiqih terdapat rincian-rincian dan jumlah cacat yang menyebabkan
terjadinya faskh ( kerusakan) perkawinan.

•Impotensi

Impotensi adalah penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki yang menyandangnya tidak mampu
melaksanakan tugas seksualnya.Dalam keadaan seperti itu,menurut pendapat seluruh madzhab,istri
dapat membatalkan perkawinan.

•Al-Jubb dan Al-Khasha’


Al-jubb, adalah terpotongnya dzakar,sedangkan Al-khasa’ adalah kehilangan atau pecahnya buah
dzakar.Adanya dua hal ini pada seorang laki-laki,menurut Kesepakatan semua
madzhab,menyebabkan istri berhak membatalkan perkawinan.

•Gila

Maliki,Syafi’i,dan Hambali sepakat bahwa suami boleh mem-Faskh Akad karena penyakit gila yang
diderita istrinya.

•Al-Ritq,Al-Qarm,Al-‘Afal,dan Al-Ifdha’

Al-ritq adalah tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan bersenggama.Al-
qarn Adalah benjolan yang tumbuh pada kelamin wanita yang mirip tanduk domba,dan Al-‘afal
adalah daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu mengeluarkan cairan,sedangkan Al-
ifdha’ adalah menyatunya kedua saluran pembuangan.

8.MAHAR

Mahar adalah satu di antara hak istri yang didasarkan atas kitabullah,Sunnah Rasul dan ijma’ kaum
Muslimin.Mahar ada dua macam:

1.Mahar musamma.

2.Mahar mitsil.

a.Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang
disebutkan dalam redaksi akad.Para Ulama Madzhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal
dalam mahar tersebut.

Syafi’i,Hambali,dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar.

Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham.

Maliki mengatakan,jumlah minimal mahar adalah tiga dirham.

Syarat Mahar

Mahar boleh berupa uang,perhiasan,perabot rumah tangga,binatang,jasa,harta perdagangan,atau


benda-benda lainnya yang mempunyai harga Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas
dan detail,misalnya seratus lire,atau secara global semisal sepotong emas,atau sekarung
gandum.kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan
jumlah mahar,maka menurut seluruh madzhab kecuali Maliki,akad tetap sah,tetapi maharnya batal.

b.Mahar Mitsil

Para ulama madzhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad,sebagaimana halnya
dalam jual-beli,tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad.Karena itu,akad nikah boleh
dilakukan tanpa (menyebut) mahar,dan bila terjadi percampuran,ditentukanlah mahar mitsil.

9.MUT'AH

Para ulama Sunni dan Syai’i sepakat bahwa nikah mut’ah,berdasarkan keputusan Nabi Saw,adalah
halal,dan bahwasanya kaum Muslimin telah melakukannya pada masa hidup beliau.Akan tetapi
mereka berbeda pendapat tentang ada atau tidaknya naskh (penidakberlakuan hukum).Madzhab
Sunni mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan dan diharamkan sesudah pernah
dihalalkan.

Sementara itu Syi’ah berpendapat naskh seperti itu tidak ada.

10.MENGASUH ANAK

Hadhanah adalah perkara mengasuh anak,dalam arti mendidik dan menjaganya untuk masa ketika
anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh.Dalam hal ini,mereka sepakat.

Orang-orang yang berhak Mengasuh

Hanafi: hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu,ibunya ayah,saudara-
saudara perempuan kandung,saudara-saudara perempuan seibu,saudara-saudara perempuan
seayah,anak perempuan dari suadara seibu,dan demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu
dan ayah.

Syafi’i: Hak atas asuhan,secara berturut-turut adalah,ibu,ibu nya ibu dan seterusnya hingga ke atas
dengan syarat mereka itu adalah pewaris-pewaris si anak.sesudah itu adalah ayah,ibunya ayah,ibu
dari ibunya ayah,dan seterusnya.selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu,dan disusul
kerabat-kerabat dari ayah.

Syarat Asuhan

Imamiyah dan syafi’i: seorang kafir tidak boleh mengasuh anak yang beragama islam.sedangkan
madzhab-madzhab lainnya tidak mensyaratkannya.Hanya saja Ulama madzhab Hanafi mengatakan
bahwa,kemurtadan wanita atau laki-laki yang mengasuh,menggugurkan hak asuhan.

Imamiyah berpendapat: pengasuh harus terhindar dari penyakit-penyakit menular.

Hambali: pengasuh harus terbebas dari penyakit lepra dan belang dan yang penting,dia tidak
membahayakan kesehatan si anak.

Masa Asuhan

Hanafi berpendapat: Masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan sembilan tahun untuk
wanita.

Syafi’i mengatakan: Tidak ada batasan tertentu bagi asuhan.

Maliki berpendapat: masa asuh anak laki-laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh,sedangkan anak
perempuan hingga menikah.

Hambali: masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah tujuh tahun.

Imamiyah: Masa asuh untuk anak laki-laki dua tahun,sedangkan anak perempuan tujuh tahun.

11.PERKIRAAN NAFKAH

Para ulama Madzhab sepakat bahwa nafkah untuk istri itu wajib,yang meliputi tiga
hal:pangan,sandang,dan papan.

Hambali dan Maliki mengatakan:Apabila keadaan suami-istri berbeda,yang satu kaya dan lainnya
miskin,maka besar nafkah yang ditentukan adalah tengah-tengah antara dua hal itu.

Syafi’i mengatakan: Nafkah diukur berdasar kaya dan miskinnya suami,tanpa melihat keadaan istri.
Hanafi terdapat dua pendapat.pertama, diperhitungkan berdasar kondisi suami-istri,dan yang kedua
dengan dasar kondisi suami saja.

Ulama madzhab imamiyah mengeluarkan pendapat bahwa,nafkah itu diukur berdasarkan


kebutuhan istri.

Tempat tinggal bagi istri

Imamiyah,Hanafi,dan Hambali mengatakan: Tempat tinggal istri harus merupakan tempat tinggal
yang layak dengan kondisi suami-istri.

Maliki mengatakan:Apabila istri berasal dari kalangan bawah yang tidak mampu,maka dia tidak
berhak menolak untuk tinggal bersama kerabat suami.

Syafi’i mengatakan:suami wajib menyediakan tempat tinggal yang layak bagi istrinya dan bukan
berdasar kondisi suami,sekalipun suaminya itu orang tidak mampu.

12.NAFKAH UNTUK KAUM KERABAT

Hanafi berpendapat:Syarat utama bagi wajibnya nafkah terhadap kaum kerabat oleh kerabat yang
lain adalah,hendaknya hubungan kekerabatan antara mereka itu merupakan hubungan yang
menyebabkan keharaman nikah antara mereka.

Maliki mengatakan: Nafkah hanya wajib bagi dua orang tua dan anak-anak yang merupakan
keturunan langsung,dan tidak mencakup orang-orang lain yang berada pada jalur keturunan pokok
maupun cabang.

Hambali mengatakan: para ayah-dan seterusnya ke atas-wajib memberi dan berhak atas nafkah.

Imamiyah dan Syafi’i mengatakan: para anak wajib memberi nafkah kepada orangtua mereka-dan
seterusnya ke atas-baik mereka itu laki-laki maupun perempuan.

Syarat-syarat kewajiban memberi nafkah kepada kerabat

1.orang yang wajib nafkah itu membutuhkan nafkah tersebut.

2.menurut kesepakatan seluruh madzhab,kecuali Hanafi,disyaratkan bahwa orang yang memberi


nafkah itu haruslah orang yang berkecukupan.

3.Disyaratkan harus seagama.jika berbeda agama maka menurut Hambali,tidak ada kewajiban
memberikan nafkah.

1.TALAK

Disyaratkan bagi orang yang menalak hal-hal berikut ini:

1.Baligh

2.Berakal sehat,tetapi para ulama madzhab berbeda pendapat tentang talak yang di jatuhkan oleh
orang mabuk.imamiyah mengatakan bahwa,talak orang mabuk sama sekali tidak sah.sementara
itu,madzhab empat berpendapat bahwa,talak orang mabuk itu sah manakala dia mabuk karena
minuman yang di haramkan atas dasar keinginannya sendiri.

Hanafi dan maliki secara jelas menyatakan sahnya talak yang dijatuhkan orang mabuk,sedangkan
imam syafi’i mempunyai dua pendapat.yang lebih kuat adalah talak itu jatuh.
Sementara itu talak orang yang sedang marah dianggap sah manakala terbukti bahwa dia memang
mempunyai maksud menjatuhkan talak.Akan tetapi bila ucapan talaknya itu keluar tanpa dia
sadari,maka hukumnya sama dengan hukum talak yang dijatuhkan orang gila.

3.Atas kehendak sendiri.

4.Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak.

Talak yang di jatuhkan wali

Imamiyah,Hanafi,dan Syafi’i mengatakan: seorang ayah tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan
talak untuk anaknya yang masih kecil.

Maliki mengatakan:seorang ayah berhak memisahkan istri anak laki-laki yang masih kecil.

Seluruh ulama madzhab sepakat bahwa seorang safih (idiot) dipandang sah talak dan khulu'-nya.

Wanita yang ditalak

Kesepakatan para ulama madzhab,wanita yang ditalak disyaratkan harus seorang istri.

Imamiyah memperbolehkan mencarai lima jenis istri berikut ini,baik dalam keadaan haidh maupun
tidak,yaitu:

 Istri yang masih anak-anak yang belum mencapai usia sembilan tahun.
 Istri yang belum dicampuri oleh suami,baik dia gadis maupun janda.
 Istri yang telah memasuki masa menopousa.
 Istri yang sedang hamil.
 Istri yang suaminya tidak ada kabar beritanya dalam waktu sebulan penuh.

Redaksi Talak

Imamiyah mengatakan:Talak dianggap tidak jatuh,kecuali dengan menggunakan redaksi


khusus,yaitu Anti thaliq (engkau adalah orang yang diceraikan),fulanah thaliq (menyebutkan nama
istrinya),atau '’hiya thaliq ( dia perempuan)

Madzhab-madzhab lain membolehkan talak dengan menggunakan redaksi apa pun,asal terkandung
maksud talak,dalam bentuk tulisan ataupun lisan.

2.TALAK RAJ’I DAN TALAK BA’IN

Talak terbagi menjadi dua:Talak raj’i dan talak ba’in.para ulama madzhab sepakat bahwa yang
dinamakan talak raj’i ialah talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya
(rujuk) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa ‘iddah,baik istri tersebut bersedia dirujuk
maupun tidak.Salah satu diantara syaratnya adalah bahwa si istri sudah dicampuri,tidak mempunyi
masa ‘iddah.

Wanita yang ditalak raj’i hukumnya seperti istri.Mereka masih mempunyai hak-hak suami-istri,sepeti
hak waris-mewarisi antara keduanya (suami-istri) manakala salah satu diantara keduanya ada yang
meninggal sebelum selesai masa ‘iddah.

Talak ba’in adalah talak yang suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada wanita yang
ditalaknya,yang mencakup beberapa jenis:

1.Wanita yang ditalak sebelum dicampuri (jenis ini disepakati oleh semua pihak).
2.Wanita yang dicerai tiga (juga ada kesepakatan pendapat).

3.Talak khulu’.Sebagian ulama madzhab mengatakan bahwa khulu’ adalah faskh nikah,bukan talak.

Talak tiga

Para ulama mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki yang mencerai-tiga istrinya,maka istrinya
tersebut tidak halal lagi baginya sampai ia kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain dengan cara
yang benar, lalu dicampuri dalam arti yang sesungguhnya.

Maliki,Syafi’i,dan Hambali mengatakan: Akad tersebut batal sama sekali manakala ada syarat tahlil
(perpisahan) di dalamnya,bahkan Maliki dan Hambali mengatakan: Apabila ada kehendak tahlil
walaupun tidak diucapkan akad nikah batal.

Keraguan dalam jumlah talak

Para ulama madzhab sepakat bahwa,manakala terjadi keraguan dalam jumlah talak,apakah baru
satu kali atau lebih,maka yang ditetapkan adalah jumlah yang sedikit,kecuali Maliki.madzhab yang
disebut terakhir ini mengatakan bahwa yang ditetapkan adalah jumlah yang paling banyak.

3.KHULU

Khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri untuk menebus dirinya dari (ikatan)
suaminya.

•Pembayaran khulu’ lebih dari jumlah mahar

Para ulama madzhab sepakat bahwa harta tebusan (dalam khulu’) hendaknya mempunyai nilai,dan
bahwa jumlahnya boleh sama,kurang atau lebih banyak daripada mahar.

•Syarat-syarat pengganti khulu’

Madhab empat mengatakan: khulu’ boleh dilakukan oleh selain istri.Apabila seorang laki-laki lain
mengatakan kepada suami (si wanita), “ceraikan istrimu dengan uang pengganti seribu dirham yang
saya bayarkan,”lalu si suami menalak istrinya atas dasar itu,maka khulu’ tersebut sah,sekalipun
istrinya tidak mengetahuinya,dan tidak pula rela menerima khulu’ tersebut sesudah dia
mengetahuinya.

4.’IDDAH

‘Iddah Wanita Yang Ditalak

Para ulama sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum dicampuri dan sebelum melakukan
khalwat,tidak mempunyai ‘iddah.

Hanafi,Maliki dan Hambali mengatakan: Apabila suami telah ber-Khalwat Dengannya,tetapi dia
tidak sampai mencampurinya,lalu istrinya tersebut ditalak,maka si istrinya harus menjalani ‘iddah,
persis seperti istri yang telah dicampuri.

Imamiyah dan Syafi’i mengatakan: khalwat tidak membawa akibat apa pun.Hal ini telah
dikemukakan sebelumnya.Juga,seperti yang telah dikemukakan ketika berbicara tentang pembagian
talak dalam talak raj’i dan talak ba’in,bahwa menurut Imamiyah, wanita menopousa yang pernah
dicampuri tidak wajib melakukan ‘iddah,berikut dalil-dalil yang mereka jadikan sandaran.
Para ulama madzhab sepakat atas wajibnya ‘iddah bagi wanita yang ditalak sesudah dia dicampuri
oleh suaminya,dan bahwasanya ‘iddah yang harus dijalaninya adalah salah satu di antara ketiga
bentuk ‘iddah yang dirincikan berikut ini:

1.wanita tersebut harus menjalani ‘iddah dalam bentuk hingga melahirkan bayi yang
dikandungnya,apabila dia sedang hamil.

2.’iddah tiga bulan hilaliah (berdasarkan perhitungan bulan),yakni bagi wanita yang baligh tetapi
tidak pernah mengalami haidh.

3. ‘iddah tiga quru',yaitu bagi wanita yang telah mencapai usia sembilan tahun,tidak hamil,bukan
menopousa,dan telah mengalami haidh. Demikian Seluruh ulama madzhab.

Imamiyah,maliki dan Syafi’i menginterpretasikan quru’ dengan masa suci (tidak haidh).

Hanafi dan Hambali menginterpretasikannya dengan masa haidh.

Batas maksimal ‘iddah

Seorang wanita telah dewasa tetapi dia belum pernah mangalami haidh sama sekali,maka apabila
dia dicerai suaminya, ‘iddah-nya menurut kesepakatan para ulama madzhab adalah tiga bulan.Akan
tetapi bila dia mengalami haidh,lalu berhenti akibat menyusui atau karena penyakit,maka Hambali
dan Maliki mengatakan,bahwa, 'iddah-Nya adalah setahun penuh.sedangkan Syafi’i,dalam qaul
jadid diantara dua pendapatnya mengatakan bahwa,wanita tersebut selamanya berada dalam
‘iddah hingga dia mengalami haidh,atau memasuki usia menopousa,dan sesudah itu ber-‘iddah
selama tiga bulan.

Hanafi mengatakan: Apabila seorang wanita mengalami satu kali haidh,lalu karena sakit atau
menyusui,haidh-nya terputus sama sekali,dan dia tidak lagi pernah mengalami haidh,maka wanita
tersebut dinyatakan tidak keluar dari ‘iddah-nya sampai kelak dia memasuki masa
menopousa.Dengan demikian,menurut Hanafi dan Syafi’i masa ‘iddah dapat berlanjut selama 40
tahun.

‘Iddah wafat

Para ulama madzhab sepakat bahwa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya,sedangkan dia
tidak hamil,adalah empat bulan sepuluh hari,baik wanita tersebut sudah dewasa maupun masih
anak-anak,dalam usia menopousa atau tidak,sudah dicampuri atau belum.

Madzhab empat mengatakan: ‘iddah bagi wanita hamil yang di tinggal mati suaminya adalah sampai
dia melahirkan bayinya.

‘Iddah bagi wanita yang berzina

Hanafi,Syafi’i dan mayorita ulama madzhab imamiyah mengataka: Wanita yang berzina tidak wajib
ber-‘iddah.

Hanafi mengatakan: boleh melakukan akad nikah dengan wanita hamil akibat zina,tetapi tidak boleh
mencampurinya hingga melahirkan.

Maliki mengatakan: Wanita yang dicampuri dalam bentuk zina,persis sama hukumnya dengan
wanita yang dicampuri secara syubhat.Dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan
‘iddah, kecuali bila dikehendaki untuk dilakukan hadd (hukuman) atas dirinya.pada saat itu,dia
menyucikan dirinya satu kali haidh.
Hambali mengatakan:Wanita yang berzina wajib menjalani ‘iddah sebagaimana halnya pada orang
yang ditalak.

Tempat Ber-‘iddah seorang wanita yang ditalak

Para ulama madzhab sepakat bahwa wanita yang ditalak raj’i menjalani ‘iddah -nya di rumah
suaminya.

Madzhab empat mengatakan:Wanita yang ditalak ba’in ber ‘iddah di rumah mantan
suaminya,seperti halnya dengan wanita yang ditalak raj’i,tanpa ada perbedaan sedikit pun.

5.RUJUK

Rujuk (ruju’), dalam istilah para ulama madzhab,adalah menarik kembali wanita yang ditalak dan
mempertahankan (ikatan) perkawinannya.Hukumnya,menurut kesepakatan para ulama
madzhab,adalah boleh.Rujuk tidak membutuhkan wali,mas kawin,dan tidak pula kesediaan dari istri
yang ditalak.

Para ulama madzhab sepakat bahwa,wanita yang dirujuk itu hendaknya berada dalam masa ‘iddah
dari talak raj’i.Dengan demikian,wanita yang ditalak bai’in -sekalipun belum dicampuri tidak boleh
dirujuk,sebab wanita tersebut tidak mempunyai ‘iddah.juga tidak diperbolehkan merujuk wanita
yang ditalak tiga karena untuk kembali kepadanya dibutuhkan seorang muhallil.

Syafi’i mengatakan:Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan.

Maliki mengatakan:Rujuk boleh (sah) dilakukan melalui perbuatan yang disertai niat untuk
rujuk.Akan tetapi bila suami mencampuri istrinya tersebut tanpa niat rujuk,maka wanita tersebut
tidak bisa kembali (menjadi istrinya) kepadanya.

Hambali mengatakan:Rujuk hanya terjadi melalui percampuran.

Hanafi mengatakan:Rujuk bisa terjadi melalui percampuran,sentuhan dan ciuman,dan hal-hal sejenis
itu,yang dilakukan oleh laki-laki yang menalak dan wanita yang ditalaknya,dengan syarat semuanya
itu disertai dengan birahi.

Imamiyah mengatakan:Rujuk bisa terjadi melalui percampuran,berciuman dan sentuhan,yang


disertai syahwat atau tidak dan lain sebagainya yang tidak halal dikakukan oleh suami istri.

Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Ba’in

Rujuk terhadap wanita yang ditalak ba’in terbatas hanya terhadap wanita yang ditalak melalui
khulu’, dengan tebusan,dengan syarat dicampuri,dan hendaknya talaknya itu bukan merupakan talak
tiga.

Madzhab empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri)
yang untuk mengawininya kembali disyaratkan adanya akad,mahar,wali,dan kesediaan si wanita.

Imamiyah mengatakan:Wanita yang ditalak melalui ‘khulu berhak meminta kembali tebusan yang
pernah diberikannya,sepanjang dia masih dalam ‘iddah,dengan syarat si suami mengetahui hal
itu,tidak mengawini saudara perempuannya atau sudah beristri empat.

6.TALAK YANG DIJATUHKAN HAKIM


Abu Hanifah mengatakan: Hakim tidak punya hak untuk menjatuhkan talak kepada seorang
wanita,apa pun alasannya,kecuali bila suami wanita tersebut impoten,zakarnya terputus,dan pecah
atau hilang buah zakarnya.

Maliki,Syafi’i dan Hambali memperbolehkan seorang wanita menuntut talak dari hakim karena
adanya sebab-sebab berikut ini:

1.Tidak diberi nafkah

2.istri merasa terancam baik berupa ucapan atau perbuatan suami.

3.Terancamnya kehidupan istri karena suami tidak berada di tempat menurut Maliki dan
Hambali,sekalipun si suami meninggalkan nafkah yang cukup untuk selama masa ketidakhadirannya.

4.Istri terancam kehidupannya karena suami berada dalam penjara.

Mayoritas ulama madzhab imamiyah mengatakan: Tidak ada hak sama sekali bagi hakim untuk
menjatuhkan talak,kecuali terhadap istri yang ditinggalkan suaminya tanpa berita,sepanjang
persyaratan-persyaratan yang telah kami sebutkan terdahulu telah terpenuhi,karena berpijak pada
arti lahiriah ketentuan (nash) yang menyatakan bahwa talak itu merupakan hak pengendali (suami).

7.ZHIHAR DAN ILA’

Zhihar

dimaksud dengan zhihar ialah,apabila ada seorang laki-laki berkata kepada istrinya,

“bagiku,engkau seperti punggung ibuku”.Para ulama madzhab sepakat bahwa,apabila seorang laki-
laki mengatakan hal seperti itu kepada istrinya,maka laki-laki itu tidak halal lagi mencampuri istrinya
sampai dia memerdekakan seorang budak.Kalau tidak mampu,dia harus berpuasa dua bulan
berturut-turut.Kalau tidak mampu pula,dia harus memberi makan 60 orang miskin.

Para ulama madzhab juga sepakat bahwa,apabila laki-laki tersebut mencampuri istrinya sebelum
dia membayar kifarat,maka perbuatannya itu dinyatakan sebagai kemaksiatan.

Imamiyah mensyaratkan bagi sahnya zhihar,hadirnya dua yang adil yang mendengarkan ucapan
(zhihar) laki-laki tersebut,dan istrinya dalam keadaan suci dan belum dicampuri lagi semenjak
sucinya,sebagian ulama imamiyah bahkan mengatakan,hendaknya wanita tersebut sudah pernah
dicampuri.Kalau persyaratan-persyaratan tersebut tidak dipenuhi,zhihar dianggap tidak jatuh.

Ila’

Ila’ ialah sumpah seorang suami dengan nama Allah untuk tidak mencampuri istrinya.

Imamiyah mensyaratkan (untuh sahnya ila’),hendaknya istrinya sudah pernah dicampuri,sedangkan


bila belum dicampuri,ila’ tersebut tidak jatuh.

Seluruh madzhab sepakat bahwa,ila’ dipandang jatuh manakala suami bersumpah untuk tidak
mencampuri istrinya seumur hidup,atau untuk masa lebih dari empat bulan.

Hanafi mengatakan: ila’ tersebut jatuh,tetapi tidak jatuh menurut seluruh madzhab lainnya.

Maliki,Syafi’i dan Hambali mengatakan:Apabila lewat empat bulan,dan dia tidak mencampuri
istrinya,persoalannya diajukan kepada hakim,supaya hakim menyuruh laki-laki itu mencampuri
istrinya.kalau dia menolak,hakim memerintahkannya untuk menjatuhkan talak,dan kalau dia juga
menolak,hakimlah yang menjatuhkan talaknya,dan talaknya adalah talak raj’i .
Seluruh ulama madzhab Sepakat bahwa,kafarat untuk sumpah adalah,hendaknya orang yang
bersumpah itu memilih antara memberi makan sepuluh orang miskin,memberi pakaian kepada
mereka,atau memerdekakan seorang sahaya.kalau tidak bisa dia boleh berpuasa selama tiga hari.

Seterusnya,Imamiyah berpendapat bahwa,setiap orang yang bersumpah tidak dianggap mengikat


sepanjang sumpah tersebut tidak menggunakan nama Allah yang maha suci.

Anda mungkin juga menyukai