tentang
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
(Studi Analisis Metodologi Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi‟i)
O l e h:
NIM: 1813020004
Dosen Pembimbing :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin
antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan
Syari‟at Islam. Ketentuan pernikahan banyak dianut dalam Al-quran dan hadis,
namun aturan teknis bagaimana pelaksanaan suatu perkawinan yang sah hamya
dijelsakan dalam hadis. Pernikahan dianggap sah oleh syara‟ apabila memenuhi
syarat dan rukunnya, yaitu:
1. Adanya calon penganti pria dan wanita
2. Adanya wali
3. Adanya dua orang saksi
Dari ketiga rukun dalam pernikahan, wali nikah mrupakan hal yang sangat
penting dan menentukan. Wali nikah merupakan salah satu rukun nikah. Karena
wali termasuk rukun, maka pernikahan tidaklah sah tanpa adanya wali, ini adalah
pendapat Imam Syafi‟i. Namun menurut Abu Hanifah memandang sah
pernikahan tanpa adanya wali. kedua imam mazhab berbeda pendapat mengenai
apakah sah hukumnya seseorang yang menikah tanpa adanya wali. Perbedaan
pendapat itu bukanlah merupakan perselisihan pendapat, melainkan pandangan
mereka masing-masing menganai wali nikah beserta hukumnya.
Menurut Imam Syafi‟i mengataka jika seorang wanita yang baligh dan
berakal sehat masih gadis, maka hak mewakilkan dirinya ada pada wali, wali tidak
boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita
tersebut tidak dapat menikahka dirinya tanpa persetujuan dari wali.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah mengatakan, pernikahan sah saja jika
tidak ada wali. Wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri
calon suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia masih
gadis maupun janda. Tidak ada seseorangpun yang berwenang atas dirinya atau
menentang pilihannya, tetapi dengan syarat lelaki pilihannya itu harus sekufu atau
sepadan dengannya. Apabila calonnya tidak sekufu maka wali boleh menentang
pilihannya, dan meminta qadhi untuk membatalkan akad nikahnya.
Lalu, apakah wali benar-benar merupakan syarat sahnya suatu
pernikahan?. Pertanyaan ini sudah lama menjadi perdebatan dikalangan ahli fiqh,
sejak lahirnya imam-imam mazhab. Jika dilihat realitanya dalam masyarakat
Indonesia yang pada umumnya penduduk indonesia bermazhab Syafi‟i, tidak
semua pernikahan dilakukan sesuai aturan Syari‟at. Entah dengan alasan apa,
seringkali dijumpai pernikahan dilaksanakan tanpa adanya wali.
Karena itu, dalam penelitian ini penulis akan berusaha menjelaskan
Metode Istinbath apa yang digunakan oleh Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i tentang
pernikahan tanpa wali, serta pendapat hukum mereka masing- masing.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i
tentang permasalahan hukum pernikahan tanpa adanya wali ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang:
1. Menngetahui Metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi‟i tentang pernikahan tanpa wali
2. Mengetahui pendapat hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i
tentang pernikahan tanpa wali.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi wali
Kata “wali” berasal dari bahasa Arab, yaitu “al-waliy”, muannastnya “al-
waliyyah” dan bentuk jamaknya “al-awliya‟”. Wali berasal dari kata (walayali -
walyan – walayatan) yang berarti mencintai, teman dekat, sahabat, sekutu,
pengikut, pengasuh, dan orang yang mengurus perkara seseorang. Adapun yang
dimaksud perwalian dalam terminologi menurut fuqaha sebagaimana yang
dikemukakan oleh Wabbah az-Zuhaili adalah: suatu kekuasaan atau otoritas yang
dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa
harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain.1
Secara garis besar perwalian dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Perwalian terhadap jiwa (al-waliyah „alan nafs) yaitu perwalian yang
berkaitan dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan dengan
masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pendidikan anak,
kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang pengawasannya berada
ditangan ayah, kakek, dan para wali yang lain.
b. Perwalian terhadap harta (al-walayah „alal-mal) yaitu perwalian yang
berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal
pengembangan, pemeliharaan, (pengawasan), dan pembelanjaan.
c. Perwalian terhadap jiwa dan harta (al-waliyah „alan-nafsi wal mali ma‟an)
yaitu perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan harta kekayaan,
kekuasan ini hanya berada ditangan ayah dan kakek.2
Sedangkan dalam pernikahan, wali diartikan sebagai seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah
1
Muhammad Amin Suma, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 134-135.
2
Ibid hlm. 134-136.
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh dirinya sendiri
dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Atas dasar pengertian kata
wali diatas, dapat dipahami bahwasanya hukum islam menetapkan bahwa orang
yang paling berhak menjadi wali bagi kepentingan anak perempuannya adalah
ayah. Hal ini dikarenakan ayah merupakan orang terdekat, siap menolong, bahkan
yang selama ini mengasuh dan membiayai anak-anaknya.jika tidak ada ayah,
maka hak-hak perwalian akan jatuh kepada orang terdekatnya.3
2. Syarat-syarat wali
Para imam mazhab sepakat bahwa terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi seorang wali, adapun beberapa syaratnya yaitu sebagai
berikut:
a. Beragama Islam
Orang yang tidak beragama Islam (non muslim) tidak diterima sebagai
wali dan tidak sah perwaliannya bagi orang Islam (muslim). Jika wali dari
kalangan non muslim maka ditakutkan ia akan memilihkan jodoh yang tidak
segama dengan anak perempuannya.
b. Telah dewasa dan berakal sehat
Orang dewasa dan berakal sehat ialah orang yang dibebani hukum dan
dapat mempertanggungjawaban perbuatannya. Artinya, anak kecil dan orang gila
tidak diterima sebagai wali. Hal ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang
melakukan akad.
c. Laki-laki
Orang yang berhak menjadi wali ialah pihak laki-laki, pihak wanita tidak
diperkenankan. Menurut imam Hanafi perempuan dewasa yang berakal sehat
dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri, dan perempuan lain yang mengharuskan
adanya wali.
d. Merdeka
Merdeka yang dimaksud disini adalah tidak berada dalam pengampunan
atau mahjur alaih, alasannya yaitu karena orang yang berada dibawah
3
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan islam di Indonesia, kencana, jakarta,2006, hlm. 69.
pengampunan tidak bisa berbuat hukum dengan dirinya sendiri, sedangkan
kedudukan sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
e. Adil
Adil yang dimaksud disini adalah tidak pernah berbuat dosa besar dan dan
tidak sering berbuat dosa kecil, serta tetap memelihara muru‟ah atau sopan
santun. Adapun mengenai syarat adil terdapat perbedaan dikalangan mazhab.
Imam Syafi‟i mensyaratkan seseorang wali haruslah adil, sedangkan imam Hanafi
membolehkan orang fasik (orang islam yang tidak taat menjalankan agamanya)
bertindak sebagai wali. Karena sifat fasik tidak mempengaruhi seseorang dalam
penilaian fisik dari calon pengantin anaknya. Menurutnya yang terpenting bagi
seorang wali itu adalah ia mampu memilihkan jodoh yang tepat bagi wanita yang
berada dibawah perwaliannya. Semua itu dilakukan tanpa mempersoalkan laki-
laki atau perempuan dan adil atau fasiknya seorang wali tersebut. Mengenai
perbedaan adil bagi sang wali dalam perwalian merupakan hal yang tidak bisa
dipungkiri tanpa memandang kriteria adil untuk memilih pasangan yang berada
dibawah perwaliannya. Karena keadilan para wali sangat menentukan dalam
pemilihan pasangan bagi anak perempuanya. Jika sang wali tidak adil
dikhawatirkan ia akan memilihkan pasangan yang tidak sekufu (tidak setara atau
sederajat) dengan wanita yang ada dibawah perwaliannya.
f. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umrah
Menurut mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali, berpendapat orang yang
sedang melaksanakan ihram haji atau umrah tidak dapat menikah dan menikahkan
orang lain, jika pernikahan dilakukan saat sedang ihram pernikahan tersebut batal.
Sedangkan menurut imam Hanafi, ihram tidak menjadi penghalang dalam
perkawinan.4
4
Ibid hal. 76-78.
(sebagian besar ulama) selain Abu Hanifah yang memasukan kerabat dari ibu
dalam daftar wali.5
Dari urutan para wali yang dituulis diatas, pendapat yang berbeda diantara
imam-imam mazhab hanyalah menurut imam Hanafi. Menurutnya semua kerabat
dari wanita yang akan menikah dibenarkan menjadi wali, baik dekat maupun jauh.
5
Abu malik kamal, “Shahih Fiqh As-sunnah Wa Adillatuhu Wa Taudhih Madzahib Al-A’Immah”,
penerjemah Khairu Amru Harahap dan Faisal Saleh, Shahih fiqh sunnah, Pustaka Azzam, Jakata,
2007, hlm. 221.
Wanita juga boleh menikahkan dirinya sendiri dan menikahkan orang lain.
Berbeda dengan pendapat imam Syafi‟i, yaitu suatu pernikahan baru dianggap
sah apabila dinikahkan oleh wali yang dekat terlebih dahulu. Jika tidak ada wali
yang dekat maka disesuaikan dengan urutannya secara tertib. Selanjutnya bila
wali yang jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali. Perlu
juga diketahui, bahwa wali yang dekat, yang ditahan atau ditawan, sama dengan
wali yang jauh, walaupun berada dalam satu kota.
Tetapi, kedua imam mazhab sepakat bahwa hakim adalah urutan terakhir
dari perwalian. Namun tetap ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih
dahulu untuk seorang hakim yang akan menjadi wali. Seperti, memiliki sifat adil,
pintar, memahami ilmu fiqh, dan yang terpenting menguasai ilmu munakahat
(ilmu hukum-hukum pernikahan). Adapun yang menyebabkan hakim menjadi
wali karena dua hal, yaitu: pertama, apabila terjadi perselisihan antara sesama
wali mengenai jodoh wanita itu, atau wali tidak menyetujui pilihan jodohnya.
Namun wanita tetap bersikeras menikah dengan laki-laki pilihannya. Agar
terhindar dari perbuatan maksiat, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali
yang kita kenal dengan sebutan “wali hakim”. Kedua, apabila wanita memang
tidak mempunyai wali sama sekali, maka hakim yang menjadi walinya. Pendapat
ini disetujui oleh jumhur ulama dan ulama Hanafiyah.6
6
M. Ali hasan, perbandingan mazhab fiqh, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2000, hal. 139-140.
masih belum dewasa dan dapat pula menjadi wali bagi orang lain. Tetapi jika
wanita tersebut ingin menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka wali
dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, jika maharnya lebih kecil
(rendah) dari mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar). Apabila
wanita tersebut tidak mempunyai wali, dan yang ada hanya wali hakim, maka wali
hakim tidak dapat menghalangi wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang
tidak sekufu atau yang maharnya tidak sesuai tadi, karena wewenang berada
ditangan wanita itu sepenuhnya.
Dalil yang menjadi landasan imam Abu Hanifah yaitu:
Abu Hanifah dikenal debagai ahlu ra‟yi, yaitu seorang ulama yang lebih
dominan menggunakan pertimbangan akalnya dibanding hadis Rasulullah dalam
menetapkan hukum. Pertimbangan yang logis juga dikemukakan olehnya yaitu
mengenai ijab qabul suatu akad pernikahan. Menurtnya, ijab dalam suatu akad
nikah lazimnya diucapkan oleh wanita, jadi pengantin wanitalah yang
menawarkan dirinya untuk dinikahkan kepada seorang laki-laki, sedangkan qabul
(penerimaan) diucapkan oleh pengantin laki-laki. Hal itu terjadi karena
menurutnya fitrah seorang wanita adalah memiliki sifat pemalu, maka dari itu dia
harus diwakili oleh orang tuanya yang bertindak sebagai wali baginya (wakil
pengantin perempuan). Berdasarkan hadis Rasul SAW. dan juga logikanya
tersebut, ia membuktikan bahwa wali dalam pernikahan bukan merupakan syarat
mutlak sahnya nikah, melainkan hanya untuk mempermudah pengantin
perempuan saja dalam menjalankan akad nikah tersebut.7
2. Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tanpa adanya
wali. Sebagai dalil dasar yang mereka gunakan adalah firman Allah:
Ayat di atas juga menunjukan kepada para wali agar jangan menikahkan
wanita yang beriman dengan laki-laki musyrik.
7
Mohd. Idris Ramulyo, op. Cit. hlm. 218-222.
Berbeda dengan imam Hanafi, imam Syafi‟i mengatakan bahwa adanya
wali dalam suatu pernikahan hukumnya wajib. Imam Syafi‟i mempunyai pendapat
yang berbeda dengan pendapat imam Hanafi. Menurut Imam Syafi‟i pernikahan
tidak sah jika tidak ada wali, dan juga wanita tidak boleh menikahkan dirinya
tanpa adanya wali. Wanita juga tidak boleh menikahkan wanita lain tanpa izin dari
walinya, karena ia tidak mempunyai wewenang untuk itu. Demikian juga wanita
tidak boleh mewakilkan kepada seseorang untuk menikahkan dirinya, karena ia
tidak mempunyai wewenang atas hal tersebut. Pendapat Imam Syafi‟i tidak
seperti Imam abu hanifah yang menambahkan pemikiran logikanya dalam
menetapkan hukum wali tersebut. Pendapat Imam Syafi‟i dilandaskan pada dalil-
dalil Al-Quran dan Hadis Rasul, yaitu sebagai berikut:
Ayat di atas juga menunjukan kepada para wali agar jangan menikahkan
wanita yang beriman dengan laki-laki musyrik dan sebaliknya. Mereka tidak
boleh dinikahkan sebelum kedua pasangan tersebut beriman. Menurut pendapat
imam Syafi‟i, ayat tersebut ditujukan kepada wali, karena urusan nikah
(perkawinan) itu merupakan urusan wali, maka larangan dan perintah untuk
menikahkan wanita tersebut ditujukan kepada wali. Jadi wali berhak melarang
anak gadisnya jika ia ingin menikah dengan laki-laki yang tidak seiman
dengannya. Dengan adanya hak wali seperti ini semakin menegaskan kedudukan
wali itu merupakan syarat utama sahnya suatu pernikahan.
8
Ibid, hlm.216-218.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut pendapat Imam Syafi‟i penikahan yang dilakukan tanpa adanya
wali hukumnya adalah haram (dilarang). Sedangkan menurut imam Abu Hanifah
wali dalam pernikahan hukumnya adalah sunat, artinya wali tidaklah menentukan
sahnya suatu pernikahan. Tetapi menurutnya baik itu laki-laki maupun perempuan
yang hendak menikah sebaiknya mendapatkan restu atau izin dari walinya.
Menurut penulis sendiri sependapat dengan Imam syafi‟i bahwa wali dalam
pernikahan hukumnya adalah wajib, artinya tidak sah pernikahan tanpa adanya
wali. Oleh karena itu keberadaan wali dalam pernikahan merupakan hal yang
mutlak dan tidak bisa terbantahkan. Wali yang telah memenuhi syarat-syaratnya
pasti akan menikahkan anak perempuan dengan pilihan yang terbaik dan demi
kebahagiaan anaknya dunia dan akhirat.
B. Daftar Pustaka
Al- Jaziry, Abdurrahman. Kitabul fiqh „ala madzahib al-arba‟ah.