Anda di halaman 1dari 15

PENELITIAN INDIVIDU MPH

tentang
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
(Studi Analisis Metodologi Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi‟i)

O l e h:

Nama: Ahmad Muhaiminur Rusydi

NIM: 1813020004

Dosen Pembimbing :

Dr. Yasrul Huda, M.A

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
1442 H/ 2020 M
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin
antara dua orang, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan
Syari‟at Islam. Ketentuan pernikahan banyak dianut dalam Al-quran dan hadis,
namun aturan teknis bagaimana pelaksanaan suatu perkawinan yang sah hamya
dijelsakan dalam hadis. Pernikahan dianggap sah oleh syara‟ apabila memenuhi
syarat dan rukunnya, yaitu:
1. Adanya calon penganti pria dan wanita
2. Adanya wali
3. Adanya dua orang saksi
Dari ketiga rukun dalam pernikahan, wali nikah mrupakan hal yang sangat
penting dan menentukan. Wali nikah merupakan salah satu rukun nikah. Karena
wali termasuk rukun, maka pernikahan tidaklah sah tanpa adanya wali, ini adalah
pendapat Imam Syafi‟i. Namun menurut Abu Hanifah memandang sah
pernikahan tanpa adanya wali. kedua imam mazhab berbeda pendapat mengenai
apakah sah hukumnya seseorang yang menikah tanpa adanya wali. Perbedaan
pendapat itu bukanlah merupakan perselisihan pendapat, melainkan pandangan
mereka masing-masing menganai wali nikah beserta hukumnya.
Menurut Imam Syafi‟i mengataka jika seorang wanita yang baligh dan
berakal sehat masih gadis, maka hak mewakilkan dirinya ada pada wali, wali tidak
boleh mengawinkan wanita janda tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita
tersebut tidak dapat menikahka dirinya tanpa persetujuan dari wali.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah mengatakan, pernikahan sah saja jika
tidak ada wali. Wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri
calon suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia masih
gadis maupun janda. Tidak ada seseorangpun yang berwenang atas dirinya atau
menentang pilihannya, tetapi dengan syarat lelaki pilihannya itu harus sekufu atau
sepadan dengannya. Apabila calonnya tidak sekufu maka wali boleh menentang
pilihannya, dan meminta qadhi untuk membatalkan akad nikahnya.
Lalu, apakah wali benar-benar merupakan syarat sahnya suatu
pernikahan?. Pertanyaan ini sudah lama menjadi perdebatan dikalangan ahli fiqh,
sejak lahirnya imam-imam mazhab. Jika dilihat realitanya dalam masyarakat
Indonesia yang pada umumnya penduduk indonesia bermazhab Syafi‟i, tidak
semua pernikahan dilakukan sesuai aturan Syari‟at. Entah dengan alasan apa,
seringkali dijumpai pernikahan dilaksanakan tanpa adanya wali.
Karena itu, dalam penelitian ini penulis akan berusaha menjelaskan
Metode Istinbath apa yang digunakan oleh Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i tentang
pernikahan tanpa wali, serta pendapat hukum mereka masing- masing.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i
tentang permasalahan hukum pernikahan tanpa adanya wali ?

2. Bagaimana pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i tentang hukum


pernikahan tanpa adanya wali ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tentang:
1. Menngetahui Metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi‟i tentang pernikahan tanpa wali
2. Mengetahui pendapat hukum Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i
tentang pernikahan tanpa wali.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, syarat, dan urutan wali nikah

1. Definisi wali
Kata “wali” berasal dari bahasa Arab, yaitu “al-waliy”, muannastnya “al-
waliyyah” dan bentuk jamaknya “al-awliya‟”. Wali berasal dari kata (walayali -
walyan – walayatan) yang berarti mencintai, teman dekat, sahabat, sekutu,
pengikut, pengasuh, dan orang yang mengurus perkara seseorang. Adapun yang
dimaksud perwalian dalam terminologi menurut fuqaha sebagaimana yang
dikemukakan oleh Wabbah az-Zuhaili adalah: suatu kekuasaan atau otoritas yang
dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa
harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain.1
Secara garis besar perwalian dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Perwalian terhadap jiwa (al-waliyah „alan nafs) yaitu perwalian yang
berkaitan dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan dengan
masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pendidikan anak,
kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang pengawasannya berada
ditangan ayah, kakek, dan para wali yang lain.
b. Perwalian terhadap harta (al-walayah „alal-mal) yaitu perwalian yang
berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal
pengembangan, pemeliharaan, (pengawasan), dan pembelanjaan.
c. Perwalian terhadap jiwa dan harta (al-waliyah „alan-nafsi wal mali ma‟an)
yaitu perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan harta kekayaan,
kekuasan ini hanya berada ditangan ayah dan kakek.2
Sedangkan dalam pernikahan, wali diartikan sebagai seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah

1
Muhammad Amin Suma, Hukum keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 134-135.
2
Ibid hlm. 134-136.
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh dirinya sendiri
dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Atas dasar pengertian kata
wali diatas, dapat dipahami bahwasanya hukum islam menetapkan bahwa orang
yang paling berhak menjadi wali bagi kepentingan anak perempuannya adalah
ayah. Hal ini dikarenakan ayah merupakan orang terdekat, siap menolong, bahkan
yang selama ini mengasuh dan membiayai anak-anaknya.jika tidak ada ayah,
maka hak-hak perwalian akan jatuh kepada orang terdekatnya.3

2. Syarat-syarat wali
Para imam mazhab sepakat bahwa terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi seorang wali, adapun beberapa syaratnya yaitu sebagai
berikut:
a. Beragama Islam
Orang yang tidak beragama Islam (non muslim) tidak diterima sebagai
wali dan tidak sah perwaliannya bagi orang Islam (muslim). Jika wali dari
kalangan non muslim maka ditakutkan ia akan memilihkan jodoh yang tidak
segama dengan anak perempuannya.
b. Telah dewasa dan berakal sehat
Orang dewasa dan berakal sehat ialah orang yang dibebani hukum dan
dapat mempertanggungjawaban perbuatannya. Artinya, anak kecil dan orang gila
tidak diterima sebagai wali. Hal ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang
melakukan akad.
c. Laki-laki
Orang yang berhak menjadi wali ialah pihak laki-laki, pihak wanita tidak
diperkenankan. Menurut imam Hanafi perempuan dewasa yang berakal sehat
dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri, dan perempuan lain yang mengharuskan
adanya wali.
d. Merdeka
Merdeka yang dimaksud disini adalah tidak berada dalam pengampunan
atau mahjur alaih, alasannya yaitu karena orang yang berada dibawah

3
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan islam di Indonesia, kencana, jakarta,2006, hlm. 69.
pengampunan tidak bisa berbuat hukum dengan dirinya sendiri, sedangkan
kedudukan sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
e. Adil
Adil yang dimaksud disini adalah tidak pernah berbuat dosa besar dan dan
tidak sering berbuat dosa kecil, serta tetap memelihara muru‟ah atau sopan
santun. Adapun mengenai syarat adil terdapat perbedaan dikalangan mazhab.
Imam Syafi‟i mensyaratkan seseorang wali haruslah adil, sedangkan imam Hanafi
membolehkan orang fasik (orang islam yang tidak taat menjalankan agamanya)
bertindak sebagai wali. Karena sifat fasik tidak mempengaruhi seseorang dalam
penilaian fisik dari calon pengantin anaknya. Menurutnya yang terpenting bagi
seorang wali itu adalah ia mampu memilihkan jodoh yang tepat bagi wanita yang
berada dibawah perwaliannya. Semua itu dilakukan tanpa mempersoalkan laki-
laki atau perempuan dan adil atau fasiknya seorang wali tersebut. Mengenai
perbedaan adil bagi sang wali dalam perwalian merupakan hal yang tidak bisa
dipungkiri tanpa memandang kriteria adil untuk memilih pasangan yang berada
dibawah perwaliannya. Karena keadilan para wali sangat menentukan dalam
pemilihan pasangan bagi anak perempuanya. Jika sang wali tidak adil
dikhawatirkan ia akan memilihkan pasangan yang tidak sekufu (tidak setara atau
sederajat) dengan wanita yang ada dibawah perwaliannya.
f. Tidak sedang melakukan ihram haji atau umrah
Menurut mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali, berpendapat orang yang
sedang melaksanakan ihram haji atau umrah tidak dapat menikah dan menikahkan
orang lain, jika pernikahan dilakukan saat sedang ihram pernikahan tersebut batal.
Sedangkan menurut imam Hanafi, ihram tidak menjadi penghalang dalam
perkawinan.4

3. Urutan wali nikah


Wali yang berhak mengawinkan perempuan adalah „ashbah yaitu keluarga
laki-laki dari jalur ayah, bukan dari jalur ibu. Ini adalah pendapat jumhur ulama

4
Ibid hal. 76-78.
(sebagian besar ulama) selain Abu Hanifah yang memasukan kerabat dari ibu
dalam daftar wali.5

Adapun urutan wali menurut para imam mazhab sebagai berikut:


a. Imam Abu Hanifah, menurutnya urutan wali nikah yaitu:
1) Anak laki-laki (dari wanita yang akan menikah, sekalipun hasil zina)
2) Cucu laki-laki (dari pihak laki-laki)
3) Ayah
4) Kakek (dari pihak ayah)
5) Saudara kandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak saudara laki-laki sekandung
8) Anak saudara laki-laki seayah
9) Paman (saudara ayah)
10) Anak paman

b. Imam Syafi‟i, menurutnya urutan wali nikah yaitu:


1) Ayah
2) Kakek (dari pihak ayah)
3) Saudara laki-laki kandung
4) Saudara laki-laki seayah
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
6) Paman (saudara ayah)
7) Anak paman
8) Wali hakim

Dari urutan para wali yang dituulis diatas, pendapat yang berbeda diantara
imam-imam mazhab hanyalah menurut imam Hanafi. Menurutnya semua kerabat
dari wanita yang akan menikah dibenarkan menjadi wali, baik dekat maupun jauh.
5
Abu malik kamal, “Shahih Fiqh As-sunnah Wa Adillatuhu Wa Taudhih Madzahib Al-A’Immah”,
penerjemah Khairu Amru Harahap dan Faisal Saleh, Shahih fiqh sunnah, Pustaka Azzam, Jakata,
2007, hlm. 221.
Wanita juga boleh menikahkan dirinya sendiri dan menikahkan orang lain.
Berbeda dengan pendapat imam Syafi‟i, yaitu suatu pernikahan baru dianggap
sah apabila dinikahkan oleh wali yang dekat terlebih dahulu. Jika tidak ada wali
yang dekat maka disesuaikan dengan urutannya secara tertib. Selanjutnya bila
wali yang jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali. Perlu
juga diketahui, bahwa wali yang dekat, yang ditahan atau ditawan, sama dengan
wali yang jauh, walaupun berada dalam satu kota.

Tetapi, kedua imam mazhab sepakat bahwa hakim adalah urutan terakhir
dari perwalian. Namun tetap ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih
dahulu untuk seorang hakim yang akan menjadi wali. Seperti, memiliki sifat adil,
pintar, memahami ilmu fiqh, dan yang terpenting menguasai ilmu munakahat
(ilmu hukum-hukum pernikahan). Adapun yang menyebabkan hakim menjadi
wali karena dua hal, yaitu: pertama, apabila terjadi perselisihan antara sesama
wali mengenai jodoh wanita itu, atau wali tidak menyetujui pilihan jodohnya.
Namun wanita tetap bersikeras menikah dengan laki-laki pilihannya. Agar
terhindar dari perbuatan maksiat, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali
yang kita kenal dengan sebutan “wali hakim”. Kedua, apabila wanita memang
tidak mempunyai wali sama sekali, maka hakim yang menjadi walinya. Pendapat
ini disetujui oleh jumhur ulama dan ulama Hanafiyah.6

B. Metode istinbath hukum pernikahan tanpa wali menurut imam


Hanafi dan Imam Syafi’i
1. Imam Abu Hanifah
Menurut mazhab Hanafi, wali nikah bukan merupakan syarat sahnya suatu
pernikahan. Menurutnya keberadaan wali dalam suatu perkawinan hukumnya
sunat. Ia juga berpendapat, bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya tanpa
wali, asalkan calon kedua mempelai tersebut sekufu (mempunyai kedudukan atau
derajat yang sama). Abu Hanifah dan pengikut mazhab Hanafi mengatakan wanita
yang baligh dan berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perenpuannya yang

6
M. Ali hasan, perbandingan mazhab fiqh, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2000, hal. 139-140.
masih belum dewasa dan dapat pula menjadi wali bagi orang lain. Tetapi jika
wanita tersebut ingin menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka wali
dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, jika maharnya lebih kecil
(rendah) dari mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar). Apabila
wanita tersebut tidak mempunyai wali, dan yang ada hanya wali hakim, maka wali
hakim tidak dapat menghalangi wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang
tidak sekufu atau yang maharnya tidak sesuai tadi, karena wewenang berada
ditangan wanita itu sepenuhnya.
Dalil yang menjadi landasan imam Abu Hanifah yaitu:

a. QS Al-baqarah ayat 230, yang artinya:


“kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya, sehingga dia kawin dengan calon
suaminya yang lain....”

b. QS Al-baqarah ayat 231, yang artinya:


“apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka
janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya yang
baru....”

c. QS Al-baqarah ayat 234, yang artinya:


“kemudian apabila telah habis masa iddahnya, tiada dosa bagimu (para
wali), membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut....”
Jika dilihat sepintas dalil yang digunakan oleh imam Abu Hanifah dengan
dalil yang digunakan oleh jumhur ulama adalah sama. Namun yang menjadi
pembeda adalah pemahaman mereka tentang ayat tersebut sehingga terjadi
perbedaan. Menurut imam Hanafi kedua ayat tersebut ditujukan kepada suami,
bukan kepada wali. Jadi kewajiban pada ayat diatas ditujukan kepada suami,
bukan kepada wali, hal inilah yang menjadi perbedaan mutlak antara pendapat
imam Hanafi dengan pendapat jumhur ulama yang memahami subjek ayat
tersebut secara berlawanan. Sedangkan ayat ketiga jelas, bahwa wewenang itu
berada pada diri wanita itu sendiri, para wali tidak dipersalahkan (berdosa), bila si
wanita tersebut bertindak atas namanya sendiri.

d. Hadis Rasulullah SAW.


1). HR. Abu Dawud, yang artinya:

“ janda berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan gadis itu


diminta izinnya, dan diamnya menunjukan izinnya” (HR. Abu Dawud)

2). HR. Ahmad, yang artinya:

“ Dari Ibnu Abbas, bahwa, seorang gadis datang kepada Rasulullah,


lalu ia menceritakan kepada beliau tentang bapaknya yang menikahkannya
dengan laki-laki yang tidak ia sukai. Kemudian Rasululah menyuruhnya untuk
memilih (manerima atau menolak)” (HR. Ahmad)

Menurut imam Abu Hanifah berdasarkan kedua hadis tersebut kekuasaan


sepenuhnya berada pada sang wanitanya, hal ini dibuktikan dengan sikap
Rasulullah yang mempersilahkan wanita dalam hadis tersebut untuk memilih
antara menerima atau menolak lelaki pilihan ayahnya selaku wali. Berdasarkan Al
Quran dan Hadis Rasul tersebut, hak sepenuhnya berada ditangan wanita
mengenai urusan dirinya dengan meniadakan campur tangan orang lain (wali)
dalam urusan pernikahan. Artinya hak sepenuhya berada ditangan sang anak
gadis.

Abu Hanifah dikenal debagai ahlu ra‟yi, yaitu seorang ulama yang lebih
dominan menggunakan pertimbangan akalnya dibanding hadis Rasulullah dalam
menetapkan hukum. Pertimbangan yang logis juga dikemukakan olehnya yaitu
mengenai ijab qabul suatu akad pernikahan. Menurtnya, ijab dalam suatu akad
nikah lazimnya diucapkan oleh wanita, jadi pengantin wanitalah yang
menawarkan dirinya untuk dinikahkan kepada seorang laki-laki, sedangkan qabul
(penerimaan) diucapkan oleh pengantin laki-laki. Hal itu terjadi karena
menurutnya fitrah seorang wanita adalah memiliki sifat pemalu, maka dari itu dia
harus diwakili oleh orang tuanya yang bertindak sebagai wali baginya (wakil
pengantin perempuan). Berdasarkan hadis Rasul SAW. dan juga logikanya
tersebut, ia membuktikan bahwa wali dalam pernikahan bukan merupakan syarat
mutlak sahnya nikah, melainkan hanya untuk mempermudah pengantin
perempuan saja dalam menjalankan akad nikah tersebut.7

2. Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak sah tanpa adanya
wali. Sebagai dalil dasar yang mereka gunakan adalah firman Allah:

1. QS.Al-baqarah ayat 232, yang artinya:


“.....maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan calon suaminya.....” (QS. Al-baqarah:232).
Ayat di atas menjelaskan, bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu
memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan atau dinafikan.
Apabila seorang wanita bersikeras ingin menikah maka, keharusan para wali
adalah merestuinya, terutama bagi wanita yang masih gadis (perawan).

2. QS.Al-baqarah ayat 231, yang artinya:


“.....dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu‟min) sebelum mereka beriman.....” (QS. Al-baqarah:231).

Ayat di atas juga menunjukan kepada para wali agar jangan menikahkan
wanita yang beriman dengan laki-laki musyrik.

3. Hadis Rasulullah SAW.


Suatu perkawinan tidak dipandang sah, kecuali dengan adanya wali,
sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis, yang artinya:
“Rasul SAW. bersabda : „wanita manapun yang menikah tanpa izin
walinya, maka pernikahannya batal” (HR.Muttafaqun alaih).

7
Mohd. Idris Ramulyo, op. Cit. hlm. 218-222.
Berbeda dengan imam Hanafi, imam Syafi‟i mengatakan bahwa adanya
wali dalam suatu pernikahan hukumnya wajib. Imam Syafi‟i mempunyai pendapat
yang berbeda dengan pendapat imam Hanafi. Menurut Imam Syafi‟i pernikahan
tidak sah jika tidak ada wali, dan juga wanita tidak boleh menikahkan dirinya
tanpa adanya wali. Wanita juga tidak boleh menikahkan wanita lain tanpa izin dari
walinya, karena ia tidak mempunyai wewenang untuk itu. Demikian juga wanita
tidak boleh mewakilkan kepada seseorang untuk menikahkan dirinya, karena ia
tidak mempunyai wewenang atas hal tersebut. Pendapat Imam Syafi‟i tidak
seperti Imam abu hanifah yang menambahkan pemikiran logikanya dalam
menetapkan hukum wali tersebut. Pendapat Imam Syafi‟i dilandaskan pada dalil-
dalil Al-Quran dan Hadis Rasul, yaitu sebagai berikut:

a. QS.Al-baqarah ayat 232, yang artinya:


“.....maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan calon suaminya.....” (QS. Al-baqarah:232)
Ayat di atas menjelaskan, bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu
memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan atau dinafikan.
Apabila seorang wanita bersikeras ingin menikah, maka keharusan para wali
adalah merestuinya, terutama bagi wanita yang masih gadis (perawan).

b. QS.Al-baqarah ayat 231, yang artinya:


“.....dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu‟min) sebelum mereka beriman.....” (QS. Al-baqarah:231)

Ayat di atas juga menunjukan kepada para wali agar jangan menikahkan
wanita yang beriman dengan laki-laki musyrik dan sebaliknya. Mereka tidak
boleh dinikahkan sebelum kedua pasangan tersebut beriman. Menurut pendapat
imam Syafi‟i, ayat tersebut ditujukan kepada wali, karena urusan nikah
(perkawinan) itu merupakan urusan wali, maka larangan dan perintah untuk
menikahkan wanita tersebut ditujukan kepada wali. Jadi wali berhak melarang
anak gadisnya jika ia ingin menikah dengan laki-laki yang tidak seiman
dengannya. Dengan adanya hak wali seperti ini semakin menegaskan kedudukan
wali itu merupakan syarat utama sahnya suatu pernikahan.

c. HR. At-Tirmidzi, yang artinya:


“barangsiapa diantara perempuan yang menikah dengan tidak seizin
walinya, maka nikahnya itu batal.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadis tersebut Rasulullah mengisyaratkan bahwa perempuan yang
hendak menikah harus memakai wali, berarti tanpa adanya wali pernikahan
tersebut batal atau tidak sah menurut hukum islam.

d. HR. Ibnu Majah, yang artinya:


“seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lain, dan seorang wanita
tidak boleh menikahkan dirinya.” (HR. Ibnu Majah)
Hadis tersebut juga ditujukan kepada wali, seperti yang sudah dijelaskan
di dalam Hadis, maka mereka menetapkan bahwa wanita yang menikahkan wanita
lain dan menikahkan dirinya sendiri hukumnya haram (dilarang). Alasanya karena
wewenang wanita tersebut berada ditangan walinya, sedangkan siwanita tidak
punya wewenang untuk melakukan itu. Hal ini semakin menegaskan bahwa
keberadaan wali harus ada dalam suatu pernikahan. Wali merupakan syarat
sahnya nikah, tanpa adanya wali maka pernikahan dianggap batal secara agama
8
dan tidak sah secara hukum islam.

8
Ibid, hlm.216-218.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut pendapat Imam Syafi‟i penikahan yang dilakukan tanpa adanya
wali hukumnya adalah haram (dilarang). Sedangkan menurut imam Abu Hanifah
wali dalam pernikahan hukumnya adalah sunat, artinya wali tidaklah menentukan
sahnya suatu pernikahan. Tetapi menurutnya baik itu laki-laki maupun perempuan
yang hendak menikah sebaiknya mendapatkan restu atau izin dari walinya.
Menurut penulis sendiri sependapat dengan Imam syafi‟i bahwa wali dalam
pernikahan hukumnya adalah wajib, artinya tidak sah pernikahan tanpa adanya
wali. Oleh karena itu keberadaan wali dalam pernikahan merupakan hal yang
mutlak dan tidak bisa terbantahkan. Wali yang telah memenuhi syarat-syaratnya
pasti akan menikahkan anak perempuan dengan pilihan yang terbaik dan demi
kebahagiaan anaknya dunia dan akhirat.
B. Daftar Pustaka
Al- Jaziry, Abdurrahman. Kitabul fiqh „ala madzahib al-arba‟ah.

Hasan, M. Ali. (2000) Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta: PT. Raja


Grafindo.

Kamal, Abu Malik. Shahih Fiqh Sunnah, penerjemah Khairul Amru


Harahap dan Faisal Saleh. Judul asli “Shahih Fiqh As-sunnah Wa
Adillatuhu Wa Taudhih Madzahib Al-A‟Immah”. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007.

Ramulyo, Mohd. Idris. (1974) Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT.


Bumi Aksara.

Suma, Muhammad Amin. (2005) Hukum Keluarga Islam, Jakarta: PT.


Raja Grafindo Persada.

Syarifudin, Amir. (2006) Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta:


Kencana.

Anda mungkin juga menyukai