Anda di halaman 1dari 5

Nama : Anisa Febriana

NIM : 214110302022

Kelas : 3 HKI B

REVIEW BUKU

HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA

Prof. Dr. Amir Syarifuddin

1. Pengertian Perkawinan

a. Madzhab Hanafi

Makna nikah adalah al-wat’u (bersenggama), secara majaz adalah akad. Di dalam akad
terkandung makna al-damn (berkumpul) yang artinya suami istri berkumpul menjadi satu, dan
antara keduanya seperti menjadi satu orang dalam melaksanakan kewajibannya demi
kebahagiaan dan kemaslahatan keluarga. Q.S. An-Nisa : 22

b. Madzhab Syafi’i dan Maliki

Makna hakiki adalah akad. Makna metafornya adalah al-wat’u. Q.S. Al-Baqarah : 230

c. Madzhab Hanabillah

Tidak secara spesifik membahas definisi dari perkawinan.

Rumusan akad dalam arti sebenarnya adalah :

Pertama: penggunaan lafaz akad ini untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu
perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan.
Perkawinan itu dibuat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa
biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.

Kedua: penggunaan ungkapan; (yang mengandung maksud yang membolehkan hubungan


kelamin), karena pada dasarnya hubungan laki laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali
ada hal-hal membolehkannya secara hukum syara'. Di antara hal yang membolehkan hubungan
kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara keduanya. Dengan demikian, akad itu adalah
suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh itu.

Ketiga: menggunakan kata yang berarti menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung
maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan itu
mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam awal Islam di
samping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan hubungan antara laki-laki dengan
perempuan itu, yaitu pemilikan seorang laki-laki atas seorang perempuan atau disebut juga
"perbudakan". Bolehnya hubungan kelamin dalam bentuk ini tidak disebut perkawinan atau
nikah, tetapi menggunakan kata "tasarri".

2. Hukum Nikah

Ulama Syafi’iyyah

Sunnah bagi orang yang keinginan untuk menikah dan telah pantas untuk kawin serta sudah
mempunyai perlengkapan untuk menikah.

Makruh bagi yang sudah pantas kawin tetapi belum punya keinginan untuk kawin, sedangkan
perlengkapannya juga belum ada.

Ulama Hanafiyah

Wajib bagi orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki
perlengkapan kawin dan dia takut akan terjerumus berbuat zina jika tidak kawin.

Makruh bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa akan
berbuat curang dalam perkawinannya itu.

Ulama lain :

Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan
perkawinan atau dia yakin perkawinan tidak akan mencapai pada tujuan syara, sedangkan dia
meyakini ketika terjadi pernikahan dia akan merusak pasangan.

Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan
itu tidak akan mendatangkan kemudharatan apa-apa kepada siapa pun.

3. Tujuan Perkawinan

- Memperoleh hubungan sakinah, mawaddah, warahmah

- Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan dating

- Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang

4.. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah
atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya
rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak
ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu
adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang
mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan
unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk
setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan
kriteria dari unsur-unsur rukun. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang
harus ada dalam suatu perkawinan adalah: akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin,
perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad
perkawinan, dan mahar atau mas kawin.

Menurut ulama Syafi’iyyah rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam
suatu perkawinan. Rukun perkawinan itu secara lengkap adalah :

a. Calon mempelai laki-laki

b. Calon mempelai perempuan

c. Wali dari calon mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan

d. Dua orang saksi

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.

Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, mahar itu
termasuk ke dalam syarat perkawinan. UU perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat
perkawinan, yang mana syarat-syarat itu lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur rukun
perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat pasal
14.

1. Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan
qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.

2. Laki-laki dan perempuan yang kawin

Syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah :

Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya

Keduanya sama-sama beragama Islam

Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan

Adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan

Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan

3. Wali dalam perkawinan


Wali berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan sebagai
orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. Jika mempelai
perempuan masih kecil, maka kedudukan wali sebagai rukun atau syarat dalam akad perkawinan.
Orang yang berhak menjadi wali

Pertama, wali nasab yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan
kawin. Ada dua kelompok wali : wali qarib (dekat) seperti ayah dan wali qarib (jauh) seperti
saudara laki-laki kandung.

Kedua, wali mu’tiq yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya
yang dimerdekakannya.

Ketiga, wali hakim yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau
penguasa.

Syarat-syarat wali :

Telah dewasa dan berakal sehat

Laki-laki

Muslim

Orang merdeka

Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih

Berpikiran baik

Adil

Tidak sedang melakukan ihram

4. Saksi, syarat-syaratnya :

Saksi berjumlah paling kurang dua orang

Kedua saksi itu bergama islam

Kedua saksi itu orang yang merdeka

Kedua saksi itu laki-laki

Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidsak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu
melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah (kesopanan)

Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat


5. Mahar

Hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang
perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak
menyerahkan mahar kepada istrinya. Macam-macam mahar : pertama, mahar yang disebutkat
bentuk, wujud dan nilainya secara jelas dalam akad disebut mahar musamma. Kedua, mahar
yang tidak disebutkan jenis dan jumlahnya pada waktu akad disebut mahar mistly. Kewajibannya
membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.

Anda mungkin juga menyukai