Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Munakahat

Dosen Pengampu :
Dr. Ita Musarrofa, S.H.I., M.Ag
Disusun oleh : Kelompok 3
Azizah Selima Akmal (C01219011)
Farah Fuada (C01219016)
M. Cholil Muzakki (C01219030)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya pernikahan. Sebab,
pernikahan akan menyebabkan manusia memounyai keturunan. Pernikahan atau
perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia.
Pernikahan dilaksanakan dengan maksud agar manusia mempunyai keluarga yang sah
untuk mencapai kehidupan bahagia didunia dan akhirat dibawah ridha Allah SWT. hal
ini sudah banyak dijelaskan di dalam al-qur’an.
Tujuan dari pernikahan sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
biologis, akan tetapi yakni menaati perintah Allah dan Rasulnya bernilai ibadah yaitu
membina keluarga sejahtera yang mendatangkan kemaslahatan bagi para pelaku
perkawinan, anak keturunan, juga kerabat. Perkawinan sebagai suatu ikatan yang
kokoh, dituntuk untuk membuat kemaslahatan bagi masyarakat juga bangsa pada
umumnya. 1
Dalam perkawinan terdapat rukun yang merupakan hal pokok yang tidak
boleh ditinggalkan. Seperti hal nya syarat dalam perkawinan juga harus terpenuhi
dalam menentukan sah atau tidaknya pernikahan tersebut. Berbicara mengenai syarat
ini harus dipenuhi oleh kedua mempelai dan keluarga mempelai.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja rukun perkawinan didalam islam?
2. Apa saja syarat-syarat pada setiap rukun perkawinan dalam islam?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa saja rukun perkawinan didalam islam.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat pada setiap rukun perkawinan dalam islam.

1
Aisyah Ayu Musyafah, Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum Islam, (Semarang : Jurnal Crepido,
Vol.02, No 02, 2020) Hal. 112
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 RUKUN PERNIKAHAN


Dalam sebuah pernikahan terdapat hal-hal dasar yang menjadi sebuah
anjuran untuk dilakukan demi keabsahan dari pernikahan tersebut. Hal dasar
tersebut dapat dikatakan ialah Rukun yang mana menurut jumhur ulama ialah hal
yang menyebabkan berdiri dan keberadaan sesuatu, yang sesuatu tersebut tidak
akan terwujud melainkan dengannya.
Salah satu rukun didalam sebuah pernikahan ialah ijab dan qabul. Menurut
ulama hanafiah ijab merupakan perkataan yang keluar pertama kali dari salah satu
kedua pihak yang berakad. Sedangkan qabul ialah perkataan yang kedua dari salah
satu pihak yang berakad. Seperti contoh kalimat “nikahkanlah dirimu kepadaku”
lalu si istri menjawab “saya terima” maka ucapan yang pertama disebut ijab dan
ucapan istri disebut qabul. Berbeda dengan hanafiah, menurut jumhur ulama justru
kebalikan dari hal tersebut, karna wali perempuan lah yang memberikan hak
kepada suami.
Rukun pernikahan menurut para ulama hanafiyah hanya ijab dan qabul
saja. Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat, yaitu :
1. Suami.
2. Istri.
3. sighat (ijab dan qabul).
4. wali .

sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat menentukan


dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil
bolehnya menikah dengan cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan
syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun
menurut istilah yang beredar dikalangan sebagian ahli fiqih.2

Dalam ijab dan qabul ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
rukun pernikahan, diantarannya ialah :

A. Shigat Pernikahan

2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillathuhu Juz 9, (Jakarta : Gema Insani, 2011) Hal.45
1) Lafal-Lafal Pernikahan
Menurut para ahli fikih, lafal-lafal pernikahan yang telah disepakati
akan ketidakabsahannya ialah seperti lafal aku nikahkan atau aku kawinkan,
itu karena keduanya telah terdapat dalam nash Al-Quran. Dan lafal yang
disepakati terkait keabsahannya ialah lafal yang tidak menunjukkan akan
pemberian hak milik sesuatu dalam masa sekarang, juga tidak menunjukkan
akan langgengnya hak milik sepanjang hidup, seperti meminjamkan dan
lainnya. Dan hal itu menjadi perselisihan para ulama, yang menurut ulama
hanabilah dan syafii lafal tersebut tidak sah sedangkan menurut hanafiah itu
diperbolehkan.

Lafal-lafal dalam akad nikah ada 4 macam yaitu :


1. Lafal " ankahtu" (aku nikahkan) dan" zawwajtu" (aku
kawinkan). Lafal yang secara mutlak akad menjadi sah,
baik orang yang berakad menyebutkan mahar atau tidak.
Menurut ulama syafiiyah dan hanabilah hanya akad ini saja
yang dianggap sah karna telah terdapat didalam al-Quran
2. Lafal "wahabat" (aku hadiahkan). Lafal ini menjadi sah bila
dengan disebutkan mahar.
3. Lafal yang masih mengandung keraguan, yaitu setiap lafal
yang mengandung arti langgeng seumur hidup, seperti
perkataan, 'Aku menjual putriku kepadamu dengan mahar
sekian", atau perkataan,'Aku memberimu hal milik
atasnya", atau aku halalkan, aku berikan dia kepadamu. Ada
yang mengatakan bahwa akad nikah tersebut sah jika
menyebutkan mahar. Pendapat lain berkata bahwa akad
tersebut secara mutlak tidak sah.
4. Lafal yang telah disepakati tidak sah untuk melakukan
akad, yaitu semua lafal yang tidak mengandung pengertian
langgeng seumur hidup, seperti meminjamkan
menyewakan.
 Al-Mu’aatha (saling memberi)
Para ulama sepakat bahwa akad nikah tidak sah bila menggunakan al-Mu’aatha. Akad
nikah tidak sah kecuali menggunakan lafal yang sharih atau kinayah
 Lafal-lafal yang diubah
Menurut hanafi akad tersebut tidak sah seperti contoh lafal ُ‫ُزوزث‬،
َّ ‫ُجوزث‬،
َّ ُ‫حجوث‬
َّ sebagai
pengganti dari lafal ُ‫ حسَ َّوجْ ج‬karna tidak benar maksudnya. Namun sekiranya dengan
lafal salah tersebut mereka bermaksud untuk penghalalan bersenang-senang dengan
perempuan, dan itu timbul dari maksud dan kehendak mereka, maka akad nikahnya
sah. Menurut ulama syafiiyah pun berkata bahwa akadnya sah.
 Lafal-lafal bukan bahasa arab
Para ahli fikih sepakat bahwa orang yang bukan Arab dan tidak mampu mengucapkan
bahasa arab, maka akad nikah nya sah dengan menggunakan bahasanya sendiri yang
ia pahami dan pakai dalam sehari-hari. Oleh karna itu orang tersebut harus
mengucapkan kata yang memiliki makna “mengawinkan”. Namun menurut para
ulama hanabilah “akad nikah tidak boleh dilakukan kecuali dengan menggunakan
bahasa arab. Barangsiapa yang mampu menggunakan lafal nikah dengan bahasa arab
maka akad nikahnya tidak sah jika dilakukan dengan bahasa lainnya.”
2) Shighat Fi’il (Bentuk kata kerja)
Terkadang bentuk fi’il dalam ijab dan qabul berupa madhi (lampau),
Mudhari’ (masa sekarang) dan amr (kata perintah). Menurut para ulama
Syafi'iah dan Hanabilah, akad dengan menggunakan fi'il mudhaari' tidak sah.
Menurut mereka harus menggunakan bentuk fiil maadhi yang berasal dari kata
dasar “nikaakhun” atau “ zaawwajun”. Tidak boleh akad dilakukan dengan
kata sindirian, seperti, “Aku halalkan putriku." Karena para saksi tidak dapat
mengetahui akan niat orang yang mengucapkan kalimat tersebut. Seandainya
wali perempuan mengatakan,”Aku kawinkan kamui” lantas si lelaki
menjawab,”Aku terima,”maka tidak sah menurut para ulama Syafi'iah, dan sah
menurut jumhur ulama selain Syafi'iah.
Sedangkan menurut para ulama Hanafiah dan Malikiah, akad nikah sah
dengan menggunakan fi'il amr. Seperti seorang lelaki mengatakan kepada
Seorang perempuan, "Nikahkanlah dirimu denganku!" dengan perkataan itu
dia bermaksud untuk melakukan akad nikah bukan khitbah. Kemudian si
perempuan menjawab, “Aku nikahkan kamu dengan diriku" maka pernikahan
keduanya sah. Menurut ulama Hanafiah hal tersebut mengandung ijab qabul
dengan perkataan si lelaki yang mengandung pemberian hak wakil kepada
perempuan untuk menikahkan dengan dirinya. Dan jawaban perempuan
merupakan ijab qabulnya. Sedangkan ulama malikiyah bentuk fiil amr
dianggap sebagai ijab qabul dalam akad secara adat.
3) Terlaksananya Pernikahan dengan Akad Satu Orang
Ulama hanafiah berkata akad dengan satu orang ialah sah.3 Sedangkan
menurut imam Syafii sah pernikahan pada kondisi ketika orang yang akad
tersebut merupakan wali dari kedua belah pihak. Ulama malikiyah
membolehkan anak paman, wakil wali dan hakim untuk menikahkan
perempuan dengan dirinya sendiri. Ada beberapa pejelasan terkait sahnya akad
yang dilakukan oleh satu orang sebagai pengecualaian prinsip berbilangnya
orang yang akad.
 Atsar yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Abdurrahman bin
Auf bahwasanya dia berkata kepada Ummu Hakim, “Apakah kamu
mewakilkan dirimu kepadaku ?” Ummu Hakim menjawab, "lya."
Lantas Abdurrahman berkata, 'Aku telah menikahimu. Hal ini
merupakan dalil bagi orang yang berakad mempelai sekaligus wakil.
 Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Uqbah bin Amir : ُ‫أح َْرضى‬
ُ‫ ُوعم ُفسوج‬:ُ ‫زوجك ُفالواً؟ ُفقالج‬
ِّ ‫ ُوقال ُللمرأةِّ ُأحرضيهَ ُأن ُأ‬،‫ ُوعم‬:ُ ‫ ُقال‬.‫زوجك ُفالوت؟‬
ِّ ‫أن ُأ‬
‫أحدهماُصاحبه‬
“Apakah kamu ridha aku nikahkan dengan si Fulanah?" Lelaki tersebut
menjawab, "lya." Kemudian beliau berkata kepada si perempuan,
'Apakah kamu ridha aku nikahkan dengan si fulan?" Ia
menjawab,"lya!'Lantas mereka berdua dinikahkan. Ini dalil bagi
keadaan dimana orang yang mengakadkan menjadi wakil bagi kedua
belah pihak.
 Keadaan-keadaan lain yang dikiaskan dengan kedua dalil di atas,
karena mempunyai kesamaan dalam makna, yaitu orang yang
melakukan akad dalam semua keadaan tersebut mempunyai sifat syar'i
ketika berlangsungnya akad, baik itu sebagai wali orang lain, wakil
orang lain atau sebagai mempelai itu sendiri.
 Terlaksananya akad nikah dengan tulisan surat atau isyarat.
Sebagaimana dirincikan, berikut :

3
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillathuhu Juz 9, Hal. 51
1. Orang yang mampu berbicara dan hadir dalam majlis akad,
maka para ulama sepakat bahwa akad yang dilakukan dengan
tulisan atau isyarat tidak sah.
2. Orang yang mampu berbicara namun tidak hadir. Menurut
ulama hanafiah jika salah satu pihak yang melakukan akad
tidak hadir, maka akad sah dilakukan dengan tulisan atau
isyarat karna tulisan dari orang yang tidak berada ditempat
akad setara dengan biacaranya orang yang hadir. Namun para
ulama syafiiyah, malikiyah dan hanabilah berkata akad nikah
tersebut tidak sah, baik hadir maupun tidak. Karna tulisan
merupakan sindiran.
3. Orang tuna wicara (bisu), jika salah satu orang yang melakukan
akad merupakan orang tuna wicara, maka dia melakukannya
dengan tulisan/isyarat, maka akad tersebut sah. Hal ini
disepakati oleh para ulama termasuk syafiiyah. Namun menurut
hanafiah hal tersebut tidak sah jika dilakukan dengan isyarat
dan para ulama mensetujuinya karna tulisan dipandang lebih
tinggi dari pada isyarat karna hal tersebut lebih jelas. Namun
jika ia adalah orang bisu atau sejenisnya dan tidak mampu
menulis, maka akad nikahnya sah dengan isyarat.
2.2 Syarat-Syarat Pernikahan
Syarat – syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itau sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.4
a) Syarat-Syarat Pengantin Pria
Syariat islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon
suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu :
1. Calon suami beragama islam.
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum islam laki-laki
dalam rumah tangga merupakan pengayom, maka pokok hukum itu
dikembalikan pada hukum pengayom. Karena perkawinan itu

4
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2019) Hal.35
didasarkan hukum islam maka berlaku kebiasaan hukum istri dan anak
mengikuti hukum kepala rumah tangga.
2. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3. Orangnya diketahui dan tertentu.
4. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istrinya halal baginya.
Kalau laki-laki itu ada hubungan mahram, maka
melaksanakannya merupakan dosa dan hukumnya pun tidak sah,
karena larangan itu termasuk haram lidzatihi.
5. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
6. Tidak sedang melakukan ihram.
Orang yang sedang ihram, tidak boleh melakukan perkawinan
dan juga tidak boleh mengawinkan orang lain, bahkan melamar juga
tidak boleh. Hukum ini didasarkan kepada larangan yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW. Menurut riwayat imim muslim dari sahabat
usman bin affan “ tidak boleh kawin orang yang sedang ihram, dan
tidak boleh mengawinkan serta tidak boleh melamar”. Menurut
madzhab hanafiyah yang diharamkan bukan kawinnya, tetapi
berkumpulnya diwaktu ihram.5
b) Syarat-Syarat Calon Pengantin Perempuan
1. Baragama islam.
2. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci).
3. Wanita itu tentu orangnya.
4. Halal bagi calon suami.
5. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam
iddah.
Sesuai dengan pengertian iddah yaitu waktu tunggu bagi wanita
yang dicerai suaminya atau ditinggal mati, untuk dapat kawin lagi
dengan laki-laki lain. Apalagi kalu iddahnya talak raj’I dimana pada
waktu wanita itu menjaani masa iddah boleh diruju’ kembali oleh
bekas suaminya, hal ini tentu saja menghalangi adanya perkawinan
baru dengan orang lain.

5
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Hal 38
6. Tidak dipaksa.
7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah. 6
c) Syarat-Syarat Ijab Qabul :
1. Perkawinanan wajib dilakukan ijab dan qabul secara lisan.
Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian
perkawinan). Bagi orang yang bisu, sah perkawinannya dengan isyarat
tangan atau kepala yang bisa dipahami.
2. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya,
sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki.
Menurut pendirian madzhab hanafi, boleh juga ijab oleh pihak
mempelai laki-laki atau wakilnya dan qabul oleh pihak perempuan
(wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal,
boleh sebaliknya.
3. Ijab dan qabul dilakukan didalam satu majelis.
Maksudnya tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan
qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan
masing-masing ijab dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua
belah pihak dan dua orang saksi.
Namun, madzhab hanafi membolehkan ada jarak antara ijab
dan qabul asal masih didalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang
menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad itu.
4. Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau
tazwij.
Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam al-quran dan sunnah.
Demikan menurut madzab syafi’I dan hambali. Adapun hanafi
membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari al-qur’an, misalnya
dalam (shigat kinayah) menggunakan kalimat hibah, sedekah,
pemilikan, dan sebagainya. Dengan alas an , kata-kata ini adalah majas
yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya
perkawinan. 7
d) Syarat-Syarat Wali :

6
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Hal 39-40
7
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Hal 41
Wali menjadi syarat penting dalam sebuah pernikahan dan perkawinan,
keberadaan wali menjadi syarat mutlak keabsahannya, hal ini bersandar pada
hadis nabi yang diriwayatkan oleh imam ahmad, “tidak ada sebuah
pernikahan tanpa adanya wali” .yang bisa dijadikan syarat wali, yaitu :
1) Muslim laki-laki & mukallaf (sehar akal, baligh, dan merdeka).
2) Adil.
3) Tidak dipaksa.
4) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
5) Mempunyai hak perwalian. 8
e) Syarat-Syarat Saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki,
muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan
maksud akad nikah.
Tetapi menurut golongan hanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu
orang lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut hanafi, boleh dua orang
buta atau dua orang fasik (tidak adil). Orang tuli, orang tidur dan orang mabuk
tidak boleh menjadi saksi.9
Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai
berikut:
1) Berakal, bukan orang gila.
2) Baligh, bukan anak-anak.
3) Merdeka, bukan budak.
4) Islam.
5) Kedua orang saksi itu mendengar.

8
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, ( Yogyakarta : Deepublish, 2015) Hal. 71
9
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2019) ,Hal. 46
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Rukun yang mana menurut jumhur ulama ialah hal yang menyebabkan berdiri dan
keberadaan sesuatu, yang sesuatu tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya. Rukun
pernikahan menurut para ulama hanafiyah hanya ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut
jumhur ulama ada empat, yaitu : Suami, Istri, sighat (ijab dan qabul), wali .

sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad.
Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil bolehnya menikah dengan
cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan
demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah yang beredar dikalangan sebagian
ahli fiqih.

Dalam ijab dan qabul ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rukun
pernikahan, diantarannya ialah :

 Lafal-Lafal Pernikahan, (Lafal " ankahtu" (aku nikahkan), Lafal "wahabat" (aku
hadiahkan), Lafal yang masih mengandung keraguan, Lafal yang telah disepakati
tidak sah untuk melakukan akad).
 Shighat Fi’il (Bentuk kata kerja)
 Terlaksananya Pernikahan dengan Akad Satu Orang

Syarat-Syarat Pengantin Pria: Calon suami beragama islam, Terang (jelas) bahwa calon
suami itu betul laki-laki, Orangnya diketahui dan tertentu, Calon mempelai laki-laki
tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya, Calon suami rela
(tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu, Tidak sedang melakukan ihram.

Syarat-Syarat Calon Pengantin Perempuan: Baragama islam, Terang bahwa ia wanita,


bukan khuntsa (banci), Wanita itu tentu orangnya, Halal bagi calon suami, Wanita itu tidak
dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah, Tidak dipaksa, Tidak dalam keadaan
ihram haji atau umrah.

Syarat-Syarat Ijab Qabul: Perkawinanan wajib dilakukan ijab dan qabul secara lisan, Ijab
dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan qabul dilakukan
oleh mempelai laki-laki, Ijab dan qabul dilakukan didalam satu majelis, Lafadz yang
digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij.

Syarat-Syarat Wali : Muslim laki-laki & mukallaf (sehar akal, baligh, dan merdeka), Adil,
Tidak dipaksa, Tidak sedang melaksanakan ibadah haji, Mempunyai hak perwalian.

Syarat-Syarat Saksi : Berakal(bukan orang gila), Baligh(bukan anak-anak), Merdeka, bukan


budak, Islam, Kedua orang saksi itu mendengar
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah Ayu Musyafah, Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum Islam, (Semarang : Jurnal
Crepido, Vol.02, No 02, 2020)

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillathuhu Juz 9, (Jakarta : Gema Insani, 2011)

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2019)

M. Dahlan R, Fikih Munakahat, ( Yogyakarta : Deepublish, 2015)

Anda mungkin juga menyukai