Dosen Pengampu :
Dr. Ita Musarrofa, S.H.I., M.Ag
Disusun oleh : Kelompok 3
Azizah Selima Akmal (C01219011)
Farah Fuada (C01219016)
M. Cholil Muzakki (C01219030)
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Apa saja rukun perkawinan didalam islam.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat pada setiap rukun perkawinan dalam islam.
1
Aisyah Ayu Musyafah, Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum Islam, (Semarang : Jurnal Crepido,
Vol.02, No 02, 2020) Hal. 112
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam ijab dan qabul ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
rukun pernikahan, diantarannya ialah :
A. Shigat Pernikahan
2
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillathuhu Juz 9, (Jakarta : Gema Insani, 2011) Hal.45
1) Lafal-Lafal Pernikahan
Menurut para ahli fikih, lafal-lafal pernikahan yang telah disepakati
akan ketidakabsahannya ialah seperti lafal aku nikahkan atau aku kawinkan,
itu karena keduanya telah terdapat dalam nash Al-Quran. Dan lafal yang
disepakati terkait keabsahannya ialah lafal yang tidak menunjukkan akan
pemberian hak milik sesuatu dalam masa sekarang, juga tidak menunjukkan
akan langgengnya hak milik sepanjang hidup, seperti meminjamkan dan
lainnya. Dan hal itu menjadi perselisihan para ulama, yang menurut ulama
hanabilah dan syafii lafal tersebut tidak sah sedangkan menurut hanafiah itu
diperbolehkan.
3
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillathuhu Juz 9, Hal. 51
1. Orang yang mampu berbicara dan hadir dalam majlis akad,
maka para ulama sepakat bahwa akad yang dilakukan dengan
tulisan atau isyarat tidak sah.
2. Orang yang mampu berbicara namun tidak hadir. Menurut
ulama hanafiah jika salah satu pihak yang melakukan akad
tidak hadir, maka akad sah dilakukan dengan tulisan atau
isyarat karna tulisan dari orang yang tidak berada ditempat
akad setara dengan biacaranya orang yang hadir. Namun para
ulama syafiiyah, malikiyah dan hanabilah berkata akad nikah
tersebut tidak sah, baik hadir maupun tidak. Karna tulisan
merupakan sindiran.
3. Orang tuna wicara (bisu), jika salah satu orang yang melakukan
akad merupakan orang tuna wicara, maka dia melakukannya
dengan tulisan/isyarat, maka akad tersebut sah. Hal ini
disepakati oleh para ulama termasuk syafiiyah. Namun menurut
hanafiah hal tersebut tidak sah jika dilakukan dengan isyarat
dan para ulama mensetujuinya karna tulisan dipandang lebih
tinggi dari pada isyarat karna hal tersebut lebih jelas. Namun
jika ia adalah orang bisu atau sejenisnya dan tidak mampu
menulis, maka akad nikahnya sah dengan isyarat.
2.2 Syarat-Syarat Pernikahan
Syarat – syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila
syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itau sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.4
a) Syarat-Syarat Pengantin Pria
Syariat islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon
suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu :
1. Calon suami beragama islam.
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum islam laki-laki
dalam rumah tangga merupakan pengayom, maka pokok hukum itu
dikembalikan pada hukum pengayom. Karena perkawinan itu
4
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2019) Hal.35
didasarkan hukum islam maka berlaku kebiasaan hukum istri dan anak
mengikuti hukum kepala rumah tangga.
2. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3. Orangnya diketahui dan tertentu.
4. Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul
calon istrinya halal baginya.
Kalau laki-laki itu ada hubungan mahram, maka
melaksanakannya merupakan dosa dan hukumnya pun tidak sah,
karena larangan itu termasuk haram lidzatihi.
5. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
6. Tidak sedang melakukan ihram.
Orang yang sedang ihram, tidak boleh melakukan perkawinan
dan juga tidak boleh mengawinkan orang lain, bahkan melamar juga
tidak boleh. Hukum ini didasarkan kepada larangan yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW. Menurut riwayat imim muslim dari sahabat
usman bin affan “ tidak boleh kawin orang yang sedang ihram, dan
tidak boleh mengawinkan serta tidak boleh melamar”. Menurut
madzhab hanafiyah yang diharamkan bukan kawinnya, tetapi
berkumpulnya diwaktu ihram.5
b) Syarat-Syarat Calon Pengantin Perempuan
1. Baragama islam.
2. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci).
3. Wanita itu tentu orangnya.
4. Halal bagi calon suami.
5. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam
iddah.
Sesuai dengan pengertian iddah yaitu waktu tunggu bagi wanita
yang dicerai suaminya atau ditinggal mati, untuk dapat kawin lagi
dengan laki-laki lain. Apalagi kalu iddahnya talak raj’I dimana pada
waktu wanita itu menjaani masa iddah boleh diruju’ kembali oleh
bekas suaminya, hal ini tentu saja menghalangi adanya perkawinan
baru dengan orang lain.
5
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Hal 38
6. Tidak dipaksa.
7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah. 6
c) Syarat-Syarat Ijab Qabul :
1. Perkawinanan wajib dilakukan ijab dan qabul secara lisan.
Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian
perkawinan). Bagi orang yang bisu, sah perkawinannya dengan isyarat
tangan atau kepala yang bisa dipahami.
2. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya,
sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki.
Menurut pendirian madzhab hanafi, boleh juga ijab oleh pihak
mempelai laki-laki atau wakilnya dan qabul oleh pihak perempuan
(wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal,
boleh sebaliknya.
3. Ijab dan qabul dilakukan didalam satu majelis.
Maksudnya tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan
qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan
masing-masing ijab dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua
belah pihak dan dua orang saksi.
Namun, madzhab hanafi membolehkan ada jarak antara ijab
dan qabul asal masih didalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang
menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad itu.
4. Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau
tazwij.
Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam al-quran dan sunnah.
Demikan menurut madzab syafi’I dan hambali. Adapun hanafi
membolehkan dengan kalimat lain yang tidak dari al-qur’an, misalnya
dalam (shigat kinayah) menggunakan kalimat hibah, sedekah,
pemilikan, dan sebagainya. Dengan alas an , kata-kata ini adalah majas
yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya
perkawinan. 7
d) Syarat-Syarat Wali :
6
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Hal 39-40
7
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Hal 41
Wali menjadi syarat penting dalam sebuah pernikahan dan perkawinan,
keberadaan wali menjadi syarat mutlak keabsahannya, hal ini bersandar pada
hadis nabi yang diriwayatkan oleh imam ahmad, “tidak ada sebuah
pernikahan tanpa adanya wali” .yang bisa dijadikan syarat wali, yaitu :
1) Muslim laki-laki & mukallaf (sehar akal, baligh, dan merdeka).
2) Adil.
3) Tidak dipaksa.
4) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
5) Mempunyai hak perwalian. 8
e) Syarat-Syarat Saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki,
muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan
maksud akad nikah.
Tetapi menurut golongan hanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu
orang lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut hanafi, boleh dua orang
buta atau dua orang fasik (tidak adil). Orang tuli, orang tidur dan orang mabuk
tidak boleh menjadi saksi.9
Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai
berikut:
1) Berakal, bukan orang gila.
2) Baligh, bukan anak-anak.
3) Merdeka, bukan budak.
4) Islam.
5) Kedua orang saksi itu mendengar.
8
M. Dahlan R, Fikih Munakahat, ( Yogyakarta : Deepublish, 2015) Hal. 71
9
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2019) ,Hal. 46
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Rukun yang mana menurut jumhur ulama ialah hal yang menyebabkan berdiri dan
keberadaan sesuatu, yang sesuatu tersebut tidak akan terwujud melainkan dengannya. Rukun
pernikahan menurut para ulama hanafiyah hanya ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut
jumhur ulama ada empat, yaitu : Suami, Istri, sighat (ijab dan qabul), wali .
sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad.
Mahar hanyalah merupakan syarat seperti saksi. Itu dengan dalil bolehnya menikah dengan
cara diwakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan
demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah yang beredar dikalangan sebagian
ahli fiqih.
Dalam ijab dan qabul ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rukun
pernikahan, diantarannya ialah :
Lafal-Lafal Pernikahan, (Lafal " ankahtu" (aku nikahkan), Lafal "wahabat" (aku
hadiahkan), Lafal yang masih mengandung keraguan, Lafal yang telah disepakati
tidak sah untuk melakukan akad).
Shighat Fi’il (Bentuk kata kerja)
Terlaksananya Pernikahan dengan Akad Satu Orang
Syarat-Syarat Pengantin Pria: Calon suami beragama islam, Terang (jelas) bahwa calon
suami itu betul laki-laki, Orangnya diketahui dan tertentu, Calon mempelai laki-laki
tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya, Calon suami rela
(tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu, Tidak sedang melakukan ihram.
Syarat-Syarat Ijab Qabul: Perkawinanan wajib dilakukan ijab dan qabul secara lisan, Ijab
dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan qabul dilakukan
oleh mempelai laki-laki, Ijab dan qabul dilakukan didalam satu majelis, Lafadz yang
digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij.
Syarat-Syarat Wali : Muslim laki-laki & mukallaf (sehar akal, baligh, dan merdeka), Adil,
Tidak dipaksa, Tidak sedang melaksanakan ibadah haji, Mempunyai hak perwalian.
Aisyah Ayu Musyafah, Perkawinan Dalam Perspektif Filosofis Hukum Islam, (Semarang : Jurnal
Crepido, Vol.02, No 02, 2020)
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillathuhu Juz 9, (Jakarta : Gema Insani, 2011)