Anda di halaman 1dari 330

Ijtihad Maqashidi

Dalam
Ushul Fikih
Jilid I

Wahyudi Sarju Abdurrahim


Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Wahyudi Sarju Abdurrahim

Editor : Al Kautsar
Desain Cover : Ghulam
Tata Letak : Nh Soemirat

Penerbit: Al Muflihun Publishing


Redaksi: Jl. Wates Km 12 Pedusan RT 59 Argosari Sedayu
Bantul DIY 55752
Telp/HP. 0812 2539 8161
Email: almuflihunpublishing@gmail.com

Cetakan pertama: Juni 2021


ISBN : ISBN 978-623-6583-17-3 (jil.1 )

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang


memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari pener-
bit.
Persembahan

Buku ini aku persembahkan untuk mereka yang


sa­ngat aku cintai;
kedua orang tuaku, istriku dan anak-anakku. Semoga
Allah Swt. senantiasa melimpahkan rahmat dan
ampunan kepada mereka.
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Swt.


atas karunia yang diberikan kepada kita. Salawat
beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada jun-
jungan kita, Nabi besar Muhammad Saw.
Sejak selesai menulis buku ushul fikih dengan
judul, “Ijtihad Semantik Dalam Ushul Fikih” pada ta-
hun 2005, saya berjanji akan melanjutkan buku terse-
but dengan buku seri II. Hanya saja waktu itu terken-
dala karena ternyata untuk mencetak buku, ternyata
tidak mudah. Buku Ijtihad Semantik saya tawarkan ke
ba­nyak penerbit, namun semuanya menolak. Pada ta-
hun 2015, rekan saya yang mempunyai bisnis pener-
bitan, menawarkan agar buku tersebut dicetak pada
penerbitannya. Alhamdulillah setelah 10 tahun, buku
tersebut dapat dicetak. Setelah itu, saya kembali ber-
niat untuk merilis buku lanjutan, yaitu buku Ijtihad
Maqashidi dalam Ushul Fikih.
Ada beberapa alasan yang membuat saya ingin
melanjuntkan buku tersebut, di antaranya adalah bah-
wa ijtihad semantik baru satu sisi dari bahasan ushul
fikih. Ia kajian teks, sementara dalam ushul fikih masih
ada kajian lain yang terkait dengan maslahat dan kon-
teks. Jadi ijtihad semantik baru satu kaki dalam ushul
fikih.
Sesungguhnya ijtihad semantik dan ijtihad maqa-
v
shid merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya saling melengkapi satu sama
lain. Banyak sisi yang bisa dijawab oleh ilmu semantik,
namun tidak dapat dijawab oleh ilmu maqashid. De-
mikian juga sebaliknya, banyak persoalan yang dapat
dijawab oleh ilmu maqashid, namun tidak dapat di-
jawab oleh ijtihad semantik. Jika pun bisa, tidak mem-
bawa maslahat bagi hamba dan justru memberatkan
hamba.
Sebagian ulama, khususnya semenjak Ibnu Asyur
menulis buku Maqashid Syariah, kajian ilmu maqashid
semakin berkembang. Bahasan yang dikaji sudah se-
makin dalam ilmu maqashid semakin mendetail dan
terkait dengan persoalan particular. Di antara buku-
buku yang mengkaji persoalan ilmu maqashid adalah:
1. Maqashid asyariah al-Islamiyyah wa makarimiha
karya Alal al-Fasi
2. Dhawabitu al-Maslahah fi Asy-Syariah al-islami-
yyah, karya Syaikh Ramadhan al-Buthi
3. Nazhariyatul Maslahah Fil Fiqhi al-Islamiy, karya
Syaih Husain Hamid Hassan
4. Asy-Syathibi Wa Maqashid asy-Syariah, karya Syaikh
Hammadi al-Abidi
5. Al-Maqashid al-Ammah Li Asy-Syariah karya Dr. Yu-
suf Hamid Alim
6. Al-Mukhtashar al-Wajiz fi Maqashid Asy-Syariah
karya Iwad bin Muhammad Al-Qurniy
7. Atsaru Maqashidi asy-Syariah fi Ta’miqi al-Wa’yiy

vi
al-Khadhari, karya syaih Masfat al-Qathfani
8. Asraru Asy-Syariah Min I’lami al-Muwaqqi’in karya
Syaih Abdullah Bassam dan Ibrahim al-Jatili
Di atas hanya sebagian kecil dari buku-buku
karya para ulama kontemporer terkait ilmu maqashid.
Masih banyak lagi buku-buku terkait. Ini menunjuk-
kan bahwa ilmu ushul fikih, khususnya ilmu maqashid
mempunyai perkembangan luar biasa. Bahkan seba-
gian kalangan mengusulkan agar ilmu maqashid dija­
dikan sebagai cabang ilmu tersendiri. Ia lepas dari kaji-
an ilmu ushul fikih secara umum.
Meski kajian ilmu maqashidi sudah sangat
melimpah, namun saya melihat bahwa buku-buku
terkait dengan kajian ilmu maqashid, belum banyak
ditulis oleh para ulama Nusantara. Buku ini sekadar
tulisan sederhana dari penulis, untuk sedikit mem-
berikan sumbangan terhadap kajian ilmu maqashid di
tanah air. Buku ini sedikit berbeda dengan buku-buku
maqashid yang umum beredar di Timur-Tengah, yai-
tu dengan menambahkan kajian terhadap persoalan
khas Indonesia, seperti pembakaran hutan, korupsi,
nikah siri, dan lain sebagainya.
Tentu saja, buku ini masih banyak kekurangan di
sana sini. Kami akan sangat bersyukur jika kemudian
ada kritikan konstrukstif untuk memperbaiki cetakan
selanjutnya. Jika ada kebaikan, sesungguhnya dari sisi
Allah saw. Jika ada kesalahan, itu murni berasal dari
penulis sendiri. Penulis meminta maaf yang sebe-
vii
sar-besarnya. Semoga tulisan sederhana ini menjadi
amal baik dan bermanfaat bagi umat. Amin.
Cairo, 1437 H
14 Mei 2019

Al-Faqir ilallah
Wahyudi Sarju Abdurrahim

viii
Daftar Isi

Kata Pengantar v
Pengertian Maqashid Syariah 1
Perbedaan antara Ijtihad Semantik
dengan Ijtihad Maqashidi
Perbedaan Dari Sisi Epistem 7
Urgensi Ijtihad Semantik dan Ijtihad Maqashidi 19
Urgensi Maqashid Syariah 23
Antara Maqashid Syariah Dan ilmu Ushul Fikih 39
Antara Maqashid (Tujuan) dan Wasilah (Sarana) 43
Mengapa Bukan Hermeneutika? 47
Antara Hermeneutika Dan Maqashid Syariah 53
Syaikh Yusuf Qardhawi dan Hermeneutika 57
Dr. Yusuf al-Qardhawi dan Fikih Maqashid 63
Ijtihad Maqashidi Tidak Merujuk Target
Pembangunan SDM Versi PBB 73
Antara Maqashid Syariah dan MDGS 79
Benarkah Ilmu Maqashid Membuat
Hukum Syariah Jadi Fleksibel? 83
Relevansi Makna dan Spirit Kebenaran
Dalam Ilmu Maqashid 97
Berikut Ini Bukan Kerangka
Berfikir Maqashidi 107
Islam Agama Fitrah 113
Antara Maslahat dan Sikap Pragmatism 121
Antara Tsawabit dan Mutagayyirat 125
Sarana Untuk Melaksanakan Kewajiban 129
Sepintas Sejarah Ilmu Maqashid 137
ix

141

145
151

157

169

177

183
191
193
197

205
209
211
215
219
225
227
228
229
237
240
241
245
x Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Thahir Ibnu Asyur (1393) 247
Istiqra Dalam Kajian Ilmu Maqashid 251
Hujjah Istiqra 257
Kedua: Struktur Bahasa Arab 269
Sarana Mengetahui Ilmu Maqashid;
Paham Dengan Konteks Bahasa 275
Sarana Mengetahui Ilmu Maqashid;
Perubahan Terminologi Bahasa 281
Sarana Mengetahui Ilmu Maqashid; Pembicara 295
Dilalah Maqashid Asliyyah dan Tab’iyyah 301
Antara Hasanat dan Sayyiat 305
Daftar Pustaka: 312

xi
xii
Pengertian Maqashid Syariah

Secara bahasa, maqashid berasal dari fiil tsulat-


si ‫قصد يقصد قصدا‬. Kata tersebut dalam bahasa Arab
mempunyai banyak makna, di antaranya adalah Qa-
shada, al-qashdu: mendatangkan sesuatu. Qasha-
dahu, qashada lahu, qashada ilaihi: menuju kepada
sesuatu. Qashada qashdahu; berjalan menuju arah
tertentu Al-qaashid: dekat. Contoh: ‫بيننا وبني املاء ليلة‬
‫ قصيدة‬: Jarak antara aku dengan air sudah dekat.1
Menurut Imam Ghazali, maqashid prinsipnya
adalah maslahat. Jika suatu perbuatan hamba me­
ngandung maslahat, baik untuk urusan dunia maupun
akhirat, maka ia adalah bagian dari maqashid. Namun
sebaliknya jika suatu perbuatan mengandung mudarat
bagi hamba, baik mudarat di dunia maupun akhirat,
maka perbuatan tersebut bertentangan de­ngan maqa-
shid syariah.2 Dalam kitab al-Mustasfa, Imam Ghazali
mengatakan sebagai berikut: “Suatu persoalan harus
dilihat dari sisi maslahat. Inti dari maslahat adalah
mendapatkan manfaat dan mencegah mudarat. Tu-
juan dari suatu perbuatan sangat menentukan kepas-
tian hukum”. Beliau juga mengatakan sebagai berikut,
“Jika diperhatikan bahwa poin utama dari bahasan
maqashid syariah adalah perhatian ter­hadap urusan
1
Al-Mu’jam al-Wasith, dari akar kata ‫ قصد‬
2
Abu Hamid al-Ghazali, Syifaul Ghalil, 159

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 1


agama dan dunia”. Beliau menambahkan, , “Secara
pasti bahwa menjaga jiwa, akal, keturunan, dan harta
merupakan tujuan dari hukum syariat”.1
Dalam kitab tersebut, Imam Ghazali menjelas-
kan mengenai jumlah dan urutan dari kuliyatul kham-
sah, atau daruriyat khamsah. Kuliyatul khamsah atau
dharuriyatul khamsah adalah lima pokok dasar dalam
kajian ilmu maqashid. Lima pokok bahasan tersebut
harus dilindungi dan dijaga. Kajian terkait hal terse-
but juga perlu diperluas dan dikembangkan. Menurut
beliau, kuliyatul khamsah dalam kajian ilmu maqa-
shid mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Beliau berkata, “Maqashid
syariah ada lima, yaitu melindungi agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.”2
Terkait dengan urutan lima kajian pokok dalam
kuliyatul khamsah, belum menjadi kesepakatan di ka-
langan para ulama. Imam Fakhruddin ar-Razi (W. 606
H) misalnya, ketika menuliskan urutan lima prinsip
pokok tersebut, sering tidak konsisten. Dalam kitab
al-Makhshûl saja, urutannya tidak sama. Kadang beli-
au mendahulukan agama, kadang mendahulukan jiwa
atau kadang mendahulukan persoalan lainnya. Nam-
paknya beliau tidak begitu memberikan perhatian ter-
hadap urutan dari lima prinsip pokok tersebut.
Hal terpenting bagi beliau adalah dapat dilin­
1
Abu Hamid al-Ghazali, Darul Kutub al_ilmiyyah, Beirut, Tahqiq Muhammad
Abdussalam Abdusyafi, hal. 174
2
Ibid

2 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


dunginya lima prinsip pokok tadi, tanpa perlu me-
mandang mana yang harus didahulukan. Hal ini bisa
dimaklumi, karena kebutuhan tiap individu atau ma­
syarakat dalam konteks sosial tertentu, berbeda-beda.
Maslahat yang sedang dibutuhkan oleh mereka, juga
berbeda-beda. Perbedaan ini, akan berimplikasi kepa-
da perbedaan kebutuhan mana yang harus didahulu-
kan.
Selain daruriyat yang terdiri dari lima pokok ba-
hasan, ada juga hajiat dan tahsiniyat. Hajiyat sifatnya
raf’ul haraj atau meringankan kondisi hamba ketika
menghadapi suatu persoalan tertentu. Contoh seo-
rang musafir. Shalat zhuhur atau ashar misalnya, mes-
tinya empat rakaat. Namun agar tidak memberatkan
bagi dirinya, karena dalam kondisi safar, maka ia boleh
untuk menqasharnya menjadi dua rakaat. Atau seseo-
rang yang sedang jatuh sakit, boleh untuk tidak puasa
karena akan memberatkan bagi dirinya.
Tingkatan selanjutnya setelah hajiyat adalah
tahsiniyat, yaitu terkait dengan kesempurnaan suatu
perbuatan. Kesempurnaan ini bisa jadi terkait dengan
perkara dharuriyat atau hajiat. Terkait dharuriyat mis-
alnya, kewajiban melaksanakan shalat wajib. Agar leb-
ih sempurna dan lebih bagus, maka ditambah dengan
shalat sunnah.
Menurut Saifuddin al-Amidi bahwa maqashid
daruriyat lebih didahulukan dibandingkan dengan ma-
qashid hajiyat, dan maqashid hajiyat didahulukan dari
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 3
maqashid tahsiniyat. Beliau juga menambahkan bah-
wa maslahat pokok didahulukan dibandingkan den-
gan maslahat penyempurna. Maslahat penyempurna
untuk daruriyat, didahulukan dibandingkan dengan
maslahat penyempurna untuk hajiyat.1
Izuddin Ibn Abdussalam (W. 660 H) dalam kitab-
nya, “Qawaaidul Ahkam” banyak membahas menge-
nai kajian ilmu maqashid. Beliau banyak bicara terkait
dengan maslahat. Kelebihan dari buku ini, beliau tidak
hanya bicara terkait dengan teori-teori maslahat, na-
mun juga banyak memberikan contoh praktis. Dengan
demikian, pembaca akan lebih mudah memahami ka-
jian maqashid sekaligus penerapannya dalam konteks
sosial. Izz Ibnu Abdussalam yang bermadzhab Syafii,
termasuk ulama pioner dan generasi ala yang menulis
kitab spesifik terkait dengan ilmu maqahis.2
Menurut beliau bahwa tujuan diturunkannya
hukum syariat adalah untuk memperoleh maslahat
bagi hamba dan menghindari mafsadah. Menurut be-
liau, al-Quran diturunkan untuk memberikan panduan
kepada manusia agar mencari maslahat dan sarana
menuju maslahat. Al-Quran juga meminta manusia
untuk menghindari mafsadat dan semua sarana yang
kiranya dapat menimbulkan mafsadat.
Menurut Ibnu Taimiyah (661 H- 728 H/ 1263
1
Saifuddin al-Amidi, Al-Iihkam fi Ushulil Ahkam, Al- maarif, jilid 4 hal.
376
2
Taquddin Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah, Majmu Fata-
wa, Tahqiq Anwar Albaz, Darul Wafa, 2005, Jilid 1 hal. 265

4 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


M-1328 M) bahwa hukum syariah diturunkan demi
kemaslahatan umat manusia dan menghindari serta
meminimalisir mafsadah yang dapat menimpa me­
reka. Menurut Ibnu Taimiyah bahwa jika ada dua ke-
baikan, maka hukum syariat memerintahkan manusia
untuk memilih yang terbaik. Sebaliknya jika ada kebu-
rukan, hukum syariah memerintahkan agar kita memi-
lih perkara yang paling kecil mudaratnya.1
Kajian ilmu maqashid umum dibahas oleh para
ulama ushul di semua madzhab. Teori istihsan dari
madzhab Maliki, sesungguhnya adalah maslahat ini.
Artinya, istihsan di madzhab Maliki terkait erat de­ngan
maqashid syariah. Di madzhab Syafii, kajian ilmu ma-
qashid juga cukup berkembang. Ima Haramain dalam
kitab al-Burhan sudah membahas mengenai pemba-
gian maqashid menjadi lima hal. Bahasan ini dilanjut-
kan oleh Imam Ghazali dalam kitab al-Mustasfa dan
lebih dalam lagi oleh dalam Qawaidul Ahkam Fi Masa-
lihil Anam.2
Ibnu Taimiyah yang bermadzhab hambali dalam
kitab fatawanya juga banyak mengkaji dan menying-
gung ilmu maqashid. Ibnul Qayyim yang juga berma-
dzhab Hambali, dalam kitab I’lamul Muwaqiin se­
ring sekali menyinggung persoalan maslahat. Bahkan
1
Ibnu Taimiyah, Minhâjssunnah, Tahqiq Muhammad Rayad Salim, Muassasah
Qurthubah, Mesir 1986 Jilid 1, hal. 141
2
Selengkapnya, lihat, Abu Muhammad Izzuuddin Abdul Aziz bin Abdussalam
bin Abi Qasim bin Hasan As-Sulami, Qawaidul Ahkam Fi Masalihil Anam, Darul
Maarif, Beirut.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 5


menurut beliau, semua ajaran Islam adalah mashalat.
Jika tidak maslahat, berarti bukan ajaran Islam. Jadi,
bahasan maslahat sudah menjadi ijmak di kalangan
para ulama ushul.

6 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Perbedaan antara Ijtihad Semantik
dengan Ijtihad Maqashidi

Sebelumnya telah kami sampaikan bahwa antara


ijtihad semantik dengan ijtihad maqashidi adalah dua
macam ijtihad yang saling melengkapi. Ijtihad seman-
tik dan maqashidi seperti dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan. Satu sama lain saling melengkapi
dan menyempurnakan. Meski demikian, ada bebera-
pa perbedaan antara ijtihad semantik dan maqashidi,
di antaranya adalah sebagai berikut:

Perbedaan Dari Sisi Epistem


Dilihat dari sisi epistem pun, ijtihad maqashid
berbeda dengan ijtihad semantik. Ijtihad semantik
menggunakan epistem bayan, yaitu dengan menem-
patkan bahasa Arab bersama dengan berbagai cabang­
nya sebagai sumber pengetahuan. Bahasa Arab adalah
kunci dan simbul untuk mengungkapkan makna. Ba-
hasa menjadi kata kunci dalam sebuah struktur teks.
Ijtihad semantik merupakan upaya para ulama
untuk menggali berbagai kaedah ushul dengan meli-
hat dari sisi relasi antara bahasa sebagai sebuah sim-
bul, dengan makna yang terletak di balik simbul baha-
sa. Bahasa sekadar sebagai sarana, namun target dan
tujuan utama yang ingin disampaikan oleh teks baha-
sa adalah makna dibalik bahasa itu tadi.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 7


Bahasan dalam ijtihad semantik cukup luas,
di antaranya terkait dengan huruful ma’ani, majaz,
hakekat, mantuq, mafhum, dan seterusnya. Semua
bahasan tadi, merupakan kesimpulan dari kajian in-
duktif para ulama ushul terhadap kaedah bahasa
Arab. Hal ini karena para ulama ushul menyadari bah-
wa al-Quran dan sunnah nabi, tertulis dengan bahasa
Arab. Maka untuk memahami keduanya tidak boleh
lepas dari kaedah kebahasaan yang berlaku dalam ba-
hasa Arab. Mereka melakukan penelitian dari kaedah
bahasa Arab, kemudian diterapkan dan dikembangkan
untuk kajian kitab suci al-Quran dan sunnah nabi Mu-
hammad saw.
Makna-makna yang dihasilkan, muncul dari te-
ori kebahasaan. Bahasa menjadi sesuatu yang hidup
dan dapat berbicara dengan dirinya sendiri. Teks ba-
hasa seakan mengajak mujtahid untuk berdialog dan
menemukan makna.
Banyak cara yang dilakukan oleh mujtahid un-
tuk menemukan makna-makna tadi, di antaranya ada-
lah dengan makna leksikal, makna terapan suatu teks
bahasa dalam konteks sosial masyarakat, makna dari
hasil kombinasi antar teks bahasa, makna yang mun-
cul karena teks menggunakan bahasa metafor, dan de-
mikian selanjutnya.
Ijtihad semantik bersentuhan secara langsung
dengan kajian teks. Oleh karena itu, ia lebih layak jika
disebut sebagai kajian teks melalui teks. Ijtihad mod-
8 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
el ini merupakan upaya para mujtihid untuk menggali
berbagai kesimpulan hukum yang berada di balik teks,
yang kemudian diterapkan kedalam realitas kehidupan
manusia.
Umumnya, kitab ushul fikih mengupas tentang
teori kebahasaan ini, seperti yang tercantum dalam
kitab ar-Risalah karya Imam Syafii, al-Ihkam fi Ushulil
Ahkam karya Imam Amidi, al-Burhan dan al-waraqat
karya Imam Haramain, al-Mankhul dan almustasfa
Imam Ghazali, dan seterusnya.
Berangkat dari teori kebahasaan tersebut,
dirangkai dan dibuat berbagai kaedah ushuliyyah yang
dijadikan sebagai sarana untuk memahami al-Quran
dan sunnah. Ia berbicara terkait dengan relasi an-
tara makna dengan bahasa. Kaedah kebahasaan yang
terangkum dalam sistem ijtihad semantik, sering juga
disebut dengan kaidah ushuliyah lughawiyyah.
Ijtihad semantik lebih bersentuhan secara
langsung dengan kajian teks. Oleh karena itu, ijtihad
semantik lebih disebut sebagai kajian untuk memaha-
mi teks melalui teks. Kaedah ushul muncul dari kajian
induktif atas teks bahasa Arab. Jadi, berbagai makna
dan maksud dari pesan yang muncul dari wahyu, baik
al-Quran maupun sunnah nabi, berusaha dipahami
melalui kaedah bahasa yang telah mereka letakkan.
Kesimpulan hukum yang dihasilkan, lantas diterapkan
kedalam realitas kehidupan manusia.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 9


Tentu saja model ijtihad seperti ini berbeda de­
ngan ilmu ijtihad maqashidi. Ijtihad maqashid lebih
melihat kepada makna dan spirit dari wahyu. Ia ber-
pijak pada makna-makna dan sisi maslahat hamba.
Pembacaan bukan dengan melihat teks bahasa, na-
mun apa tujuan sesungguhnya yang diinginkan oleh
wahyu. Jadi point terpenting pada sisi tujuan nas dan
maslahat hamba, dan bukan relasi antara lafal dengan
makna.
Ilmu maqasid melihat bahasa sebagai pintu ma-
suk menunjuk spirit teks, dan bukan sekadar makna
teks. Spirit inilah yang kemudian dirangkai dan disis­
tematiskan yang selanjutnya disebut dengan maqashid
syariah, yaitu tujuan dasar Allah menurunkan wahyu.
Dari sini kemudian para ulama ushul membuat runtut-
an dan sistematika kajian maslahat dilihat dari mana
yang jauh lebih maslahat bagi hamba sesuai dengan
realitas kehidupan mereka di masyarakat. Tentu saja,
maslahat di lihat dari sisi agama, yaitu maslahat mere-
ka ketika masih berada di dunia, dan kelak tatkala me­
re­ka telah meniggalkan dunia.
Jika dalam ilmu semantik, perbedaan jumlah
mubtada khabar, taqdim dan takhir dalam struktur
kalimat, bahkan satu huruf ba saja dapat berimplikasi
terhadap perbedaan ulama dalam mengambil kesim-
pulan hukum, berbeda dengan ilmu maqashid yang
tidak menonjolkan pengaruh bahasa terhadap makna
dan tujuan. Semantik bergerak di ranah teks, maqa-
10 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
shid bergerak di ranah konteks.
Ilmu maqashid lebih kepada epistem burhan, yai-
tu menggunakan nalar sebagai sumber pengetahuan.
Ada kedekatan antara logika yang digunakan oleh ilmu
maqashid dengan logika Arestotelian, yaitu berangkat
dari kuliyyat, kemudian bergerak menuju juziyyat. Bah-
kan terkait pembagian daruriyat pun, Imam Syathibi
menggunakan istilah kulliyatul khamsah. Istilah ini juga
umum dipakai oleh para pakar mantiq terkait dengan
kajian tashawwurat. Logika Aresto yang berpijak pada
epistem burhan tadi, tidak melihat persoalan teks se-
cara partikular, namun mengambil makna universal.
Jika ilmu semantik lebih menitikberatkan teks,
kemudian kesimpulan hukum dari teks dijadikan se-
bagai acuan normatif dalam kehidupan, sebaliknya
ilmu maqashid lebih melihat pada persoalan realita,
dan konteks kehidupan manusia. Dari sana lantas di-
rujuk kepada kepastian hukum yang terdapat dalam
al-Quran dan Sunnah. Maka ilmu maqashid cenderung
lebih kontekstual, sementara ijtihad semantik cen­
derung tekstual.
Di antara ciri-ciri dari episteme bayan adalah
bahwa system kajian bersifat partikular. Antar satu
tema dengan lainnya, kadang bahasan terpisah sama
sekali. Satu huruf saja, sering mempunyai banyak taf-
siran partikular yang berimplikasi kepada perbedaan
dalam memahami teks. Dampak selanjutnya tentu va-
riasi ulama dalam menggali hukum fikih.
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 11
Ciri-ciri dari episteme bayan dengan tumpuan
kaedah bahasa adalah kajian yang sifatnya sangat par-
tikular. Jika disederhanakan, perbedaan antara ijtihad
semantik dan maqashid, dapat diringkas sebagai beri-
kut:
1. Jika semantik lebih bergerak dari tatanan bahasa
(baca: Arab), maka maqashid lebih bergerak dari
tatanan logika Aristetolian.
2. Jika semantik bersifat juziyat (partikular), maka ma-
qashid lebih bersifat kulliat.
3. Logika maqashid berangkat dari kulli menuju juz’iy,
sementara logika semantik dari juz’iy ke kulliy.
4. Logika maqashid ini mirip dengan logika aristeto-
lian. Bahkan Imam Syathibi menggunakan istilah
kuliyatul khamsah untuk menyebutkan mengenai
daruriyat yang lima. Ini persis yang ada dalam ilmu
mantiq yang juga ada istilah kulliyatul khamsah.
Contoh Praktis:
‫واقموا الصالة‬
Mujtahid membaca teks tadi, kemudian me­
ngambil satu kaedah yaitu
‫االمر يفيد الوجوب اال اذا صرفته قرينة‬
Kata perintah menunjukkan makna wajib kecuali
ada indikasi lain.
dengan kaidah ini, maka mujtahid mendapatkan
kesimpulan bahwa shalat hukumnya wajib. Lalu mu-
jtahid menerapkan kewajiban shalat dalam realitas ke-
12 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
hidupan
Ijtihad maqashidi
Realitas kehidupan---pembaca teks (mujtahid)---
teks (quran sunah)---kesimpulan hukum
Shalat zhuhur mestinya empat rakaat. Ia juga
harus dipisah dengan shalat ashar karena waktu yang
berbeda. Namun ada seseorang yang sedang safar.
Mujtahid membolehkan jamak taqdim atau takhir
dengan qashar karena mengambil hukum rukhsah.
Perubahan jumlah rakaat dari empat menjadi dua dan
dari dua waktu menjadi satu waktu, merupakan ijtihad
mujtahid karena melihat realita seseorang, dari kondi-
si normal ke safar. Dari realita yang berbeda ini, lantas
ditarik kepada nas. Lalu diberikanlah kesimpulan hu-
kum.
Atau seseorang yang tidak safar, namun ia se-
dang sakit. Orang sakit boleh menjamak shalat baik
jamak taqdim atau takhir. Perubahan hukum itu, bisa
berlaku karena perbedaan realita dengan melihat
pada sisi maslahat hamba. Inilah ijtihad maqashidi itu.
Contoh lain
Firman Allah:
‫اب ِحلٌّ لَ ُك ْم َوطَ َع ُام ُك ْم ِحلٌّ َلُْم‬ ِ ِ َّ
َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬ َ ‫َوطَ َع ُام الذ‬
‫ين أُوتُوا‬ ِ َّ ِ ‫ات والْمحصن‬ ِ ِ ِ َ‫ۖ والْمحصن‬
َ ‫ات م َن الذ‬ ُ َ َ ْ ُ َ َ‫ات م َن الْ ُم ْؤمن‬ ُ َ ُْ َ
ِ
‫اب ِم ْن قـَْبل ُك ْم‬ ِ
َ َ‫الْكت‬
Artinya: “Makanan (sembelihan) orang-orang

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 13


yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menga­
wini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di an-
tara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu”
[al-Maidah/5: 5]
Perhatikan lafal berikut:
Secara sharih, Allah menghalalkan umat Islam
menikahi Kitabiyyah yang muhshanat dari kalangan
ahli kitab baik Yahudi ataupun Nasrani. Apalagi di ayat
di atas secara jelas menggunakan kata ٌّ‫ِحل‬
Jika kita menggunakan ijtihad semantik maka
hukum menikahi wanita yahudi dan nasrani yang
muhsanat adalah boleh. Fatwa ini berlaku di berbagai
nega­ra baik Timur Tengah, Eropa maupun Amerika.
Namun apakah hukum ini berlaku di Indonesia?
Ternyata tidak. Para ulama besar di Indonesia meng-
haramkan laki-laki muslim menikahi wanita nasrani
apalagi yahudi. Mengapa?
Kita lihat ciri khas ijtihad maqashidi:
Bergerak dari konteks, lalu teks lalu kesimpulan
hukum.
Konteks di Indonesia, ternyata berbeda dengan
konteks di timur tengah, eropa atau amerika. Di Indo-
nesia, terjadi kristenisasi luar biasa. Salah satu sarana
kristenisasi adalah dengan melakukan nikah beda aga­
ma. Jadi pernikahan ini, kebanyakan sekadar jebakan
agar pasangan pindah ke agama lain. Ini berarti mem-
14 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
bahayakan bagi eksistensi agama suami.
Di tambah lagi dengan Kristenisasi yang luar bi-
asa. Umat Kristen melakukan berbagai macam cara
untuk memurtadkan umat Islam. Pernikahan ini men-
cari sarana efektif bagi mereka untuk mengkristenkan
umat Islam.
Dalam maqashid syariah disebutkan bahwa
menjaga agama hukumnya wajib. Segala perbuatan
yang kiranya bisa melunturkan keberagamaan harus
dicegah. Pernikahan antar agama ini menjadi sarana
efektif untuk melunturkan keberagamaan seseorang.
Untuk itu ia juga harus dicegah.
Selain itu, kita menggunakan kaedah sad- dzariah
yaitu menutup pintu kemudaratan. Artinya, pernika-
han beda agama sangat berpotensi untuk dijadikan
sarana seseorang keluar dari agama Islam. untuk itu
pintu menuju ke sana harus ditutup rapat-rapat. Salah
satunya dengan mengharamkan pernikahan beda aga­
ma ini.
Juga kaedah lain, yaitu
‫درء املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬
Menangkal mafsadah harus didahulukan daripa-
da untuk mendapatkan suatu maslahat.
Menikah dengan kitabiyah ini menimbulkan
mafsadah bagi eksistensi agama. Sementara agama
ini masuk dalam kebutuhan primer syariat atau yang
.disebut dengan adh-dharuriyat. Meski ia mengan­
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 15
dung maslahat, namun jika ditimbang antara maslahat
dengan mafsadahnya jauh lebih banyak mafsadahnya.
Untuk itu, maka pernikahan beda agama ini harus di
tutup.
Apakah ini tidak menyalahi hukum agama? Apa-
kah merubah fatwa ini diperbolehkan? Jawabnya ada-
lah kaedah berikut, seperti yang dinyatakan oleh Ibnul
Qayyim dalam kitab I’lamul Muwaqqiin:
‫تغري الفتوى واختالفها حبسب تغري االزمنة واالمكنة‬
‫واالحوال والنيات والعوائد‬
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya
terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan,
niat dan adat istiadat
Melihat kaedah tadi, maka perubahan fatawa
ini tidak dianggap menyalahi hukum syariat. Bahkan
ia sendiri bagian dari hukum syariat. Hal itu karena
hukum syariat selalu melihat maslahat hamba, sep-
erti pernyataan Ibnul Qayyim dalam kitab I’lamul Mu-
waqqiin mengatakan, “Landasan dan pondasi hukum
syariat adalah maslahat hamba baik di dunia maupun
di akhirat. Syariat semuanya adil, semuanya rahmah,
semuanya mengandung maslahat, dan semuanya
mengandung hikmah. Semua persoalan yang keluar
dari jalur keadilan menuju kezhaliman, dari rahmah
kepada sebaliknya, dari maslahat menuju mafsadat,
dan dari hikmah menuju kesia-siaan, maka itu bukan
lagi bagian dari syariat, meski itu sudah ditakwil”.

16 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Dalam kitabnya, Iz Ibnu Abdussalam dalam kitab
Qawaidul Ahkam berkata, “Mendahulukan maslahat
yang kemungkinan besar akan didapatkan dari mafsa-
dah yang kemungkinan kecil akan muncul merupakan
perbuatan baik yang terpuji. Menutup mafsadah yang
kemungkinan besar akan muncul, dari maslahat yang
kemungkinan kecil akan muncul itu perbuatan baik
dan terpuji” Jadi, inilah yang menjadi alasan menga-
pa pernikahan dengan wanita Kristen di Indonesia di
haramkan.
Ulasan tadi dapat kita ringkas sebagai berkut:
No Ijtihad Semantik Ijtihad Maqashidi
1. Bayan Burhan
2. Bahasan Partikular Bahasan Universal
(Juziyat) (Kulliyat)
3. Relasi antara lafal Maslahat hamba du­
dengan makna nia dan akhirat
4. Lebih Tekstual Lebih Kontekstual

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 17


18 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Urgensi Ijtihad Semantik
dan Ijtihad Maqashidi

Dengan dua piranti tadi (ijtihad semantik dan ij-


tihad maqashidi), para ulama ushuli dapat menyele-
saikan berbagai persoalan manusia, kapan dan di-
manapun. Fikih menjadi produktif dan umat dapat
tegak berdiri tanpa harus khawatir bahwa persoalan
kontemporer yang sedang mereka hadapi tidak dapat
diatasi oleh nas. Umat tetap mampu berijtihad dan
mencari berbagai solusi alternatif atas berbagai per-
soalan dengan merujuk kepada al-Quran dan sunnah
nabi.
Dengan dua ijtihad tadi, sesungguhnya umat
Islam tidak membutuhkan piranti pembacaan teks
dari Barat yang oleh sebagian kalangan dianggap le­
bih modern, padahal jika tidak jeli, banyak yang ber-
tentangan dengan karakter bahasa al-Quran. Pemba-
caan teks model Barat dengan Hermenutika beserta
variannya, sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan
karakter bahasa al-Quran dan tidak cocok untuk dija­
dikan sebagai metodologi tafsir alternatif.
Sarjana muslim yang selalu meengusung her-
meneutika, bisa jadi karena tidak memahami benar
dengan metodologi ijtihad yang sudah ada di turas
Islam, seperti dalam ilmu ushul fikih. Atau mereka

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 19


tau, namun tidak menyelami dan sekadar tau kerak
luarnya saja. Atau paham, namun terlalu silau dengan
berbagai perkembangan peradaban Barat modern,
termasuk di antaranya dalam sistem pembacaan teks
modern. Mereka mengalami sikap inferior terhadap
peradaban Barat sehingga apapun yang datang dari
Barat di­anggap baik dan harus diikuti. Umat diminta
untuk menerima peradaban Barat apa adanya, baik
atau buruk, manis atau pahit seperti yang pernah di­
sampaikan oleh Thaha Husain.
Ulama ushul mempunyai kajian teks yang lebih
sesuai dengan karakter kitab suci al-Quran dan sunnah
nabi dan sudah dirumuskan oleh para ulama kita se-
jak ratusan tahun silam. Hingga saat ini, metodologi
ilmu ushul fikih masih sangat relevan sehingga tidak
perlu melakuan dekonstruksi metodologi ijtihad. Ba­
nyak ulama kontemporer seperti Abu Zahrah, Imam
al-Buthi, Yusuf al-Qaradhawi, Ali Jumah dan sederet
ulama besar lainnya mampu memberikan fatwa ter-
kait isu kontemporer dengan tetap menggunakan us­
hul fikih sebagai piranti ijtihad.
Para ulama besar itu mampu menulis puluhan
buku dengan tema yang sangat bervariasi dan menja-
di rujukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Me­
reka tetap modern dengan “keklasikan” mereka. Bah-
kan berbagai muammalah maliah (transaksi keuangan
modern) baik terkait dengan perbankan, pasar modal,
investasi syariah, atau lainnya, banyak yang merujuk
20 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
dari buku-buku hasil karya mereka, dan bukan dari
para intelektual pengusung aliran hermeneutika. Jika
demikian, masihkah kita ingin menjadikan hermeneu-
tika sebagai pengganti dari ushul fikih?

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 21


22 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Urgensi Maqashid Syariah

Dalam buku “ijtihad semantik dalam ushul fikih”


saya sampaikan bahwa ada dua model ijtihad:
Pertama, ijtihad semantik, yaitu ijtihad yang ber-
tumpu pada hubungan antara lafal dengan makna. Ij-
tihad model ini berusaha mengesplorasi bahasa untuk
kemudian diambil kesimpulan hukumnya. Ijtihad se-
mantik menghasilkan kaedah ushuliyyah lughawiyah.
Ijtihad samantik bergerak dari ranah teks menuju kon-
teks.
Kedua, ijtihad maqashidi yaitu model ijtihad yang
bahasannya fokus pada makna dan maqashid nas. Ij-
tihad maqashidi melihat dari sisi maslahat seorang
hamba. Ijtihad ini bergerak dari ranah konteks menu-
ju teks. Jadi ia kebalikan dari ijtihad semantik. Ijtihad
maqashidi akan menghasilkan kaedah ushuliyyah yang
disebut dengan maqashid syariah.
Baik ijtihad semantik maupun maqashidi mem-
punyai ranah ijtihadnya masing masing. Keduanya sa­
ling melengkapi satu sama lain. Jika terlalu ke seman-
tik akan sangat literal, dan jika terlalu maqashidi tanpa
standar yang jelas akan liberal.
Di sini, ijtihad maqashidi berfungsi untuk me-
lengkapi model ijtihad semantik. Ijtihad maqashidi
bersifat humanis namum tetap dalam koridor syariat.
Selain itu, ada dua fungsi lain mengemai urgensi
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 23
ijtihad maqashidi ini, yaitu yang terkait dengan perso-
alan eksternal umat dan kedua internal.
Untuk eksternal, ijtihad maqashidi bisa menjadi
benteng pertahanan umat dari berbagai paham pe-
mikiran modern yang berasal dari luar islam.
Sebagaimana maklum bersama bahwa sistem
pembacaan teks yang sedang ngetren di Barat, ba­nyak
mempengaruhi para sarjana muslim kontemporer.
Sistem pembacaan teks modern, terutama yang mem-
bahas masalah sejarah dan sosiokultural pembentuk­
an teks mulai digandrungi para intelektual muslim.
Lalu mereka menggunakan pisau analisis barat terse-
but untuk dijadikan sebagai sarana mengkaji kitab suci.
Akibatnya muncul pemikiran dekontruksi teks.
Kitab suci dianggap teks sastra yang tidak ada bedan-
ya dengan teks teks sastra buatan manusia. Mere­
ka berangkat dari teori kesejarahan teks dan bah-
wa teks muncul tidak dari ruang hampa. Teks sangat
dipengaruhi oleh psikologi penulis, juga ruang waktu
penulis. Oleh karenanya, memahami teks tidak boleh
dilepaskan dari sejarah dan ruang waktu teks serta
memahami psikologi penulis.
Teks quran juga sama. Teks kitab suci tersebut
karena muncul dari ruang waktu, sejarah dan juga
penulis tertentu, maka kajiannya juga tidak bisa dile-
paskan dari berbagai faktor tadi.
Dengan kondisi berbeda, ruang waktu dan seja-

24 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


rah yang berbeda, perlu penafsiran dan pemahaman
yang berbeda. Jika tidak maka kita akan terkungkung
dengan pemahaman teks yang kaku. Kita menjadi ma-
nusia sejarah karena tidak mampu menangkap spirit
teks.
Pemahaman teks yang sudah tidak relevan per-
lu dirombak. Jadi dekonstruksi atas pemahaman teks
menjadi hal yang niscaya. Pemahaman teks yang kira-
nya sudah tidak sesuai dengan kehidupan kontempo­
rer harus dibuang.
Itulah paham hermeneutika. Sejarah menjadi
tuhan baru dalam rangka memahami teks. Semua di-
ukur dari sisi kesejarahan. Itu akibat pandangan me­
reka yang menyamakan antara teks sastra dengan teks
dalam kitab suci.
Maka tidak ada lagi qatiyat dalam al quran. Hu-
kum waris, hudud, dan hukum islam lainnya yang oleh
ulama islam dianggap baku, mereka tafsir ulang.
Sejarah teks itu lantas dikaitkan dengam ke-
maslahatan manusia. Teks hanya dianggap relevan
dan mengandung maslahat dizamannya. Dengan pe-
rubahan ruang waktu, sesuatu yang dianggap masla-
hat di waktu itu sudah tidak lagi maslahat di zaman
sekarang.
Hukum waris dianggap maslahat di zamannya
dengan pembagian setengah banding satu untuk pe­
rempuan dan laki laki. Hal itu karena perempuan di-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 25


waktu itu belum bekerja seperti sekarang ini. Tatkala
wanita sudah mandiri dan independen,maka tinjauan
tentang pembagian hukum waris perlu ditunjau ulang.
Pembagian seperti itu sudah tidak maslahat lagi untuk
saat ini.
Demikian juga dengan hukum hudud. Waktu itu
memang tradisi bangsa arab dengan memberikan hu-
kuman yang tegas dan keras. Namun untuk konteks
kontemporer, model hudud dan qishahs itu sangat ke-
jam. Bahkan bertentangam dengan hak asasi manua-
sia. Demikian seterusnya.
Sesungguhnya kita punya pisau analisis yang le­
bih sesuai dengan karakter kitab suci. Kita punya mod-
el pembacaan teks yang bergerak dari sisi maslahat
manusia. Hanya saja standarnya jelas. Standar masla-
hat tidak diukur dari logika manusia semata tanpa ada
panduan kitab suci. Standarnya berdasarkan sistem
kajian induktif dari teks suci baik quran maupun sun-
nah.
Ilmu maqashid dalam melihat teks bukan seka-
dar dari sisi ruang waktu dan kesejarahan saja. Namun
melihat teks sebagai satu kesatuan yang tak terpisah-
kan. Lebih dari itu tetap merupakan kalamullah, firman
Tuhan yang sakral dan bukan teks buatan manusia.
Dalam teori hermeneutika, ada yang disebut
dengan teks profan dan non profan. Teks profan ada-
lah teks pertama. Atau teks asli hasil tulisan empunya.

26 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Sebagian aliran hermeneutika menganggap bah-
wa tatkala teks profan ini muncul, maka ia telah le­pas
dari ruang waktu dan sejarah. Teks menjadi indepen-
den. Makna teks tidak ditentukan oleh penulis atau
ruang waktu sejarah teks, namun makna teks menjadi
otoritas penuh pembaca teks.
Tatkala teks sudah dipahami oleh pembaca,
maka pemahaman pembaca akan menjadi teks kedua.
Secara otoritas makna ia benar adanya sebagaimana
teks profan.
Satu teks profan bisa saja dibaca oleh sekian
orang yang berbeda. Semua pemahaman itu akan me-
munculkan teks teks baru dan makna dari semua teks
tadi benar adanya. Jika terjadi benturan pemahaman
antara satu pembaca dengan pembaca lainnya, maka
semua pemahaman itu semuanya benar. Pada akhir­
nya yang muncul adalah relativitas kebenaran.
Di sini tidak ada standar kebenaran mutlak.
Semua bergantung pada pembacanya masing-masing.
Model pembacaan teks seperti ini dipopulerkan oleh
Derida yang selanjutnya sering dinamai dengan istilah
dekonstruksi.
Sayangnya pemahaman Derida ini oleh seba-
gian sarjana muslim dijadikan alat bantu untuk meng­
kaji teks kitab suci. Pembaca kitab suci punya otoritas
penuh untuk memahami teks dan ia punya kebenaran
mutlak. Di dunia islam, di antara pemikir mu­slim yang

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 27


gandrung menggunakan teori ini adalah muhammad
arkoun. Ia muslim prancis yang berasal dari aljazair.
Jelas pembacaan teks seperti ini berbeda de­ngan
ilmu maqashid. Dalam kajian maqashid, mujtahid se-
bagai pembaca teks tidak punya otentitas mutlak.
Standar pembacaan teks dan maslahat selalu dipandu
dari kitab suci sendiri. Ada standar yang jelas dan ram-
bu-rambu yang pasti sehingga mujtahid sebagai pem-
baca teks bisa berijtihad sesuai dengan koridor syariat.
Benar bahwa Imam Syathibi sebagai bapak ilmu
maqashid ingin menjadikan pemahaman fikih bersifat
qat’iy. Meski demikian, para ulama tetap dianggap se-
bagai pembaca teks yang hasilnya bisa salah dan be-
nar.
Teks non profan yang dihasilkan dari para mujta-
hid (pembaca teks) tidak punya kebenaran mutlak. Ia
bahkan bisa dikritisi oleh pembaca teks lainnya. Di sini
masih ada ruang benar dan salah.
Sebelumnya telah kami sampaikan mengenai
model pembacaan teks, baik model pembacaan teks
yang berkembang di barat dan mempengaruhi para
sarjana muslim, juga sistem pembacaan teks dalam
ushul fikih. Kemudian urgensi ilmu maqashid yang
dibagi menjadi dua, yaitu eksternal untuk melawan
berbagai varian pembacaan teks ala Barat, dan inter-
nal.
Untuk internal, maksudnya adalah urgensi ilmu

28 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


maqashid sebagai salah satu sarana untuk menghasil-
kan berbagai kesimpulan hukum dan solusi alternatif
atas persoalan umat.
Dalam berijtihad, ilmu maqashid mempunyai po-
sisi sangat penting, di antaranya
A. Ilmu maqashid dapat membantu para mujtahid
dalam menentukan pilihan ketika menghadapi dalil
yang saling bertentangan. Contoh:
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ada seo-
rang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah me­
ngenai perbuatan terbaik. Rasul menjawab bahwa
perbuatan terbaik adalah berjihad. Di hadis lain dise-
butkan bahwa perbuatan terbaik adalah jihad fi sabi-
lillah, sementara hadis lain lagi menyatakan bahwa
perbuatan terbaik adalah shalat pada waktunya. Tiga
hadis tadi merupakan jawaban Rasulullah saw dari
tiga pertanyaan yang sama. Namun Rasulullah mem-
berikan jawaban yang berbeda.
Bagaimana kita dapat mengkompromikam ber­
bagai hadits tadi?
Secara zhahir 3 hadis di atas saling bertentangan.
Namun ketika kita melihat dari sisi maqashid syariah,
kita akan mendapatkan mengenai makna dan spirit
yang berbeda dari tiap hadis, bergantung kepada situ-
asi dan kondisi yang sedang berkembang saat itu.
Seperti yang pernah kami sampaikan bahwa pi-
jakan dari ilmu maqashid adalah kajian konteks, baru
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 29
kemudian melihat teks untuk diambil kesimpulan hu-
kumnya.
Dalam kondisi perang, tentu perbuatan terbaik
adalah jihad fi sabilillah, karena jihad menjadi priori-
tas perbuatan seorang muslim pada waktu itu. Apalagi
jika terkait dengan jihad karena serangan musuh kepa-
da negara muslim
Jihad di sini bisa menjadi fardu ain bagi tiap laki
laki muslim.
Di sini kita harus melihat pada konteks tiap hadis,
mengapa hadits ini muncul.
Hadits jihad muncul karena kebutuhan umat un-
tuk berjihad pada waktu itu. Karena jihad menjadi pri-
oritas maka jihad menjadi amalan utama.
Beda lagi ketika kondisi negara stabil. Shalat pada
waktunya jadi lebih utama. Apalagi di saat seperti se-
karang ini, dimana masyarakat sering lalai dan bahkan
meninggalkan shalat. Jadi pahala shalat jamaah di
awal waktu punya nilai yang lebih spesial.
Untuk birrul walidain, atau berbakti kepada
orang tua, jika kita lihat konteks hadits, sahabat pe­
nanya punya orang tua yang sudah lanjut usia. Ia men-
jadi tumpuan keluarga. Ia ingin ikut berjihad. Karena ji-
had islam di madinah pada waktu itu merupakan jihad
“menyerang musuh”, ia bukan lagi fardhu ain. Oleh
karenanya rasul melihat bahwa berbakti kepada orang
tua, jauh lebih baik bagi dirinya. Rasul melihat konteks

30 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


dan kebutuhan penanya.
Jadi, hadits tadi sesuai dengan konteksnya ma­
sing-masing. Hadits tadi menunjukkan bahwa dalam
menentukan suatu persoalan kita harus berpijak dari
sisi prioritas. Untuk menentukan mana yang lebih uta-
ma dari perbuatan utama, sangat bergantung pada
situasi dan kondisi.
Ini tidak hanya berlaku pada individu setiap mu­
slim. Namun juga berlaku bagi sebuah komunitas baik
keluarga, organisasi, atau juga negara. Sisi prioritas
dapat diketahui dari kajian kita terhadap konteks dan
kebutuhan individu atau komunitas tadi.
Di sini maqashid sangat berperan. Pengamalan
sebuah hadits nabi yang seakan bertentangan bukan
dengan cara memilih salah satu hadits sesuka hati, na-
mun ditentukan dari sisi lain, dari konteks kebutuhan
hidup umat manusia.
Ilmu maqashid berperan penting untuk menen-
tukan hadits mana yang harus dirajihkan dan diamal-
kan dalam kondisi tertentu
B. Ilmu maqashid dapat membantu para mujtahid
dalam memahami hukum syariat.
Pemahaman ilmu maqashid sangat penting, uta-
manya dalam rangka membantu para mujtahid untuk
memahami hukum syariat. Ilmu maqashid tidak seba-
tas pada pemahaman tekstual sebagaimana dengan
membaca teks secara literal. Ilmu maqashid melihat
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 31
dari sisi nilai dan spirit yang terkandung dalam nas.
Spirit nas ini nantinya akan menjadi pondasi dasar un-
tuk pengembangan pemahaman terhadap berbagai
tema yang “terdiamkan” oleh nas.
Contoh:
‫اقرء ابسم ربك الذي خلق‬
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencip-
takan
Jika menggunakan ijtihad semantik dengan me-
lihat pada literal teks dalam ayat di atas, kita akan
memahami bahwa ayat tadi merupakan perintah bagi
setiap insan muslim untuk membaca. Kesimpulan ini
didapat dari lafal teks yang menggunakan fiil amr, yai-
tu
‫اقرء‬
Dalam kaidah ushuliyah lughawiyah dikatakan
bahwa
‫االمر يفيد الوجوب اال اذا صرفته قرينة‬
Kata perintah menunjukkan makna wajib kecuali
jika ada indikator memalingkan kata perintah kepada
makna lainnya.
Dalam memahami teks si atas, Ilmu maqashid ti-
dak sebatas melihat pada bangunan struktur kebaha-
saan saja. Dengan kata lain, bahwa ayat tadi sekadar
sebagai perintah membaca saja, namun juga melihat
pada sisi lain, yaitu sesuatu yang “didiamkan” oleh

32 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


teks.
Membaca merupakan salah satu sarana manusia
mendapatkan ilmu pengetahuan. Poin dan spirit ayat
tadi adalah bahwa pengetahuan menjadi hak bagi se-
tiap manusia. Dengan pengetahuan, manusia dapat
menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.
Inilah tugas utama manusia untuk membangun pera­
daban.
Memberikan bekal ilmu pengetahuan bagi umat
manusia merupakan sebuah kewajiban. Hanya saja,
untuk bisa menyampaikan ilmu pengetahuan secara
efektif membutuhkan sarana dan prasarana yang me-
madai. Untuk itu, membangun sarana dan prasarana
tersebut hukumnya menjadi wajib. Di sini yang digu-
nakan adalah kaedah berikut:
‫ما ال يتم الواجب اال به فهو واجب‬
Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana ke-
cuali dengan membuat suatu sarana, maka memba­
ngun sarana tadi hukumnya menjadi wajib.
Jika memberikan bekal ilmu pemgetahuan kepa-
da umat manusia merupakan sebuah kewajiban, maka
membangun fasilitas pendidikan baik sekolahan, uni-
versitas, lembaga riset, dan sarana pendukungnya,
menjadi wajib. Selain itu, memberikan dorongan bagi
penuntut ilmu juga merupakan sebuah kewajiban.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa
pengetahuan merupakan hak setiap individu. Bagi

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 33


mereka yang tidak mendapatkan haknya karena fak-
tor ekonomi, maka menjadi tugas negara dan lembaga
swasta yang kompeten untuk memberikan bantuan
finansial kepada mereka, baik berupa beasiswa atau
lainnya.
Pemahaman teks seperti ini, terkesan melakukan
loncatan atas makna teks. Namum sesungguhnya ia
bukan loncatan. Hal ini karena maqashid bergerak dari
ranah konteks. Jadi, kondisi social sangat berperan un-
tuk membantu dalam upaya pembacaan teks tadi.
Perintah membaca tadi, dalam konteks sosial
ternyata bukan persoalan yang sederhana. Perintah
membaca yang seakan simpel dan sederhana, jika di-
lihat dari kacamata maqashid dapat dimenej menjadi
sebuah “amal usaha” beskala besar. Ia menjadi pen-
dorong kemajuan umat dalam upaya pengembangan
dan kemajuan peradapan umat Islam.
Hanya saja pendidikan seperti apa yang diingin­
kan dari ayat tadi? Tentu saja pendidikan “yang ber-
karakter”. Pendidikan ini, adalah model pendidikan
yang selalu terkait dengan Tuhan.
‫ابسم ربك الذي خلق‬
Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan
Jadi, kesadaran tentang ketuhanan tidak boleh
lepas dari sistem pendidikan. Bahkan, “nilai ketu-
hanan” ini tidak terpisahkan sama sekali dari sistem
pendidikan umat. Tidak seperti sekarang ini yang di

34 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


mana sekularisasi merebak di berbagai sistem pendi-
dikan nasional.
Ini sekadar contoh sederhana terkait ilmu ma-
qashid yang sangat penting dalam membantu bagi
para mujtahid untuk memahami teks al-Quran atau
al-Ha­dits. Pemahaman teks dengan ilmu maqashid
akan memunculkan banyak makna lain yang sangat
konteks­tual. Di sinilah makna pembumian al-Quran
sehingga mampu menjadi pendorong dalam pengem-
bangan peradaban Islam kontemporer.
C. Ilmu maqashid dapat membantu mujtahid dalam
menentukan sebuah fatwa
Fatwa adalah memberikan putusan hukum ter-
hadap suatu persoalan yang sedang dihadapi oleh
personal atau instansi atau masyarakat. Fatwa mun-
cul biasanya karena adanya suatu persoalan yang di-
tanyakan, atau sikap ulama dalam menentukan hu-
kum suatu persoalan tertentu meski tidak ada yang
meminta fatwa. Untuk mengeluarkan sebuah fatwa,
dibutuhkan banyak syarat di antaranya adalah menge-
tahui persoalan secara baik, mengetahui kondisi psikis
orang yang minta fatwa dan juga pengetahuan terha-
dap lingkungan peminta fatwa.
Fatwa berbeda dengan undang-undang. Fatwa
sifatnya tidak mengikat sementara undang-undang si-
fatnya mengikat. Karena fatwa tidak mengikat, maka
boleh terjadi perbedaan pendapat dalam fatwa ter­

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 35


hadap satu persoalan. Perbedaan muncul disebabkan
banyak faktor, di antaranya sistem istidlal yang berbe-
da, perbedaan dalam cara pandang suatu persoalan,
perbedaan dalam menentukan obyek persoalan dan
lain sebagainya.
Di sini, ilmu maqashid mempunyai peranan pen­
ting untuk membantu mujtahid dalam menentukan
ketetapan hukum syariat. Seorang mujtahid akan me-
lihat persoalan secara obyektif, kondisi sosial pena­nya
baik individu, instansi dan lainnya, dan juga kondisi
psikologis penanya. Jika semuanya sudah jelas, baru
akan dilihat hukum fikihnya.
Contoh: Apakah seorang pencuri harus dipotong
tangannya?
Seorang mufti akan melihat kepada kondisi pen-
curi, apakah ia orang mampu, profesinya sebagai pen-
curi ataukah ia terpaksa mencuri?
Jika pencurinya orang tidak mampu, bisa jadi ia
mencuri karena terpaksa. Seorang yang mencuri kare-
na keterpaksaan dan untuk menyambung hidup, serta
barang curiannya sekadarnya, maka pencuri seperti ini
layak dibebaskan. Ia mencuri dalam kondisi darurat,
maka hukum yang berlaku adalah:
‫الضرورات تبيح احملظورات‬
Kondisi darurat itu membolehkan seseorang
melakukan perbuatan terlarang.
Apalagi ia mencuri untuk bisa bertahan hidup.
36 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Sementara dalam ilmu maqashid syariah disebutkan
bahwa menjaga jiwa dari kerusakan hukumnya wajib.
Seorang mufti juga akan melihat kondisi sosial di
mana ia hidup. Jika ia hidup di lingkungan masyarakat
yang berkecukupan atau bahkan hidup mewah, se-
mentara ia kelaparan bahkan sampai mencuri, maka
yang harus menerima hukuman adalah masyarakat
sekitar. Hal itu karena masyarakat telah melakukan
kesalahan besar dengan tidak memberikan hak peng-
hidupan kepada si miskin. Hak tersebut bisa berupa
zakat atau sedekah.
Tentu fatwa seperti ini berbeda dengan seorang
yang memang hobinya mencuri, atau bahkan peram-
pok jalanan seperti yang sering kita baca di media
masa. Para pelaku pencurian seperti ini, hukumannya
adalah potong tangan. Jika perampokan, apalagi sam-
pai membunuh korban, maka hukumannya dibunuh
dan disalib.
Jadi, meski kasusnya sama, yaitu sama-sama
mencuri, namun karena kondisi sosial, lingkungan dan
juga psikis pencuri yang berbeda, maka hukum yang
berlaku bagi mereka juga berbeda. Untuk mengetahui
perbedaan hukuman tersebut, dibutuhkan pemaham­
an ilmu maqashid. Jika tidak, maka seorang mufti bisa
mengeluarkan fatwa yang salah, meski dalil dan kasus-
nya benar.
Dalil dan kasus saja, dalam pandangan ilmu ma-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 37


qashid belum mencukupi. Konteks dari suatu mas-
yarakat menjadi bagian sangat penting untuk menjadi
pertimbangan seorang mufti bisa mengeluarkan fat-
wa. Pemahaman yang baik terhadap konteks sosial ke-
masyarakatan, akan sangat membantu seorang mufti
dalam melakukan ijtihad. Kajian konteks ini, menjadi
bahasan penting dalam ilmu maqashid syariah. Ini se-
suai dengan kaedah ushul:
‫فإن الفتوى تتغري بتغري الزمان واملكان والعوائد واالحوال‬
Bahwa fatwa dapat berubah sesuai dengan wak-
tu, tempat, tradisi dan kondisi (yang berbeda).1
Jika kita memahami ini, maka tidak akan heran
jika kemudian membaca madzhab syafii, ada yang qa-
dim dan jadid. Fikih syafii ketika berada di bagdad, ada
sedikit “revisi” tatkala beliau ada di mesir. di antara
persoalan yang melatarbelakangi adalah kondisi social
kemasyarakatan yang berbeda.

1
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, I’lmul Muwaqin An Rabbil Alamin, Darul Jail,
Beirut, jilid 4. hal 205

38 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Antara Maqashid Syariah
Dan ilmu Ushul Fikih

Sesungguhnya Ilmu ushul fikih berkembang se-


jak awal, yaitu pasca Rasulullah saw. wafat. Ushul fikih
muncul sebagai metodologi ijtihad sahabat untuk
menggali hukum fikih. Hal ini karena persoalan umat
yang selalu muncul tanpa batas, sementara teks Qu-
ran dan sunnah sangat terbatas. Persoalan umat selalu
bertambah dan wahyu sudah berakhir. Banyak perso-
alan yang membutuhkan ijtihad sehingga umat dapat
memperoleh jawaban serta solusi alternatif atas berb-
agai persoalan mereka.
Untuk menggali hukum baik dari Quran maupun
sunnah, membutuhkan metodologi yang jelas dan
terstruktur. Metodologi ini kelak disebut dengan ilmu
ushul fikih. Hanya saja, pada masa sahabat meski me­
reka sudah menggunakan kaedah ushul, ilmu ini be-
lum terbukukan. Metodologi ijtihad ada dalam dada
para sahabat. Ilmu ini baru menjadi sebuah ilmu yang
independen, tertulis secara rapi dan sistematis di ta­
ngan imam Syafii dengan kitab yang sangat terkenal
yaitu Arrisalah. Jadi, Arrisalah ini merupakan pioner
awal ilmu ushul fikih. Dari sini lantas terdapat per­
kembangan, penambahan dan penyempurnaan oleh
generasi setelahnya.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 39


Sangat banyak yang dibahas oleh Imam Syafii
dalam kitab tersebut. Salah satunya adalah terkait
dengan kaedah yang diambil dari kajian ilmu baha-
sa Arab. Teori-teori tersebut lantas dijadikan sebagai
pisau analisis untuk menggali ketetapan hukum dari
al-Quran dan sunnah.
Teori kebahasaan tadi disebut dengan ilmu
dilalah atau ilmu semantik yang mengkaji tentang
relasi antara bahasa dengan makna. Dari sini, banyak
berkembang mengenai kaedah ushulyyah lughawioii-
yah. Kaedah ini sering disebut dengan lubbul ushul,
karena merupakan inti dari pada ilmu usul fikih.
Selain terkait dengan kaedah bahasa, sesungguh­
nya imam Syafii juga telah membahas kajian terkait
dengan maslahat. Namun porsinya dalam ilmu ushul
fikih, tidak sebesar kajian lain seperti kajian semantik.
Kajian agak spesifik terkait dengan maslahat atau ilmu
maqashid dan dikaji secara rapi dengan pembagian
dharuriya, hajiyat dan tahsiniyat, di tangan Imam Ha-
ramain. Kemudian kajian maqashid tersebut dilanjut-
kan oleh imam Ghazali, ‘Iz Ibnu Abdussalam dan pun-
caknya pada masa Imam Syathibi. Di tangan Syathibi,
ilmu ini lebih spesifik serta mendapatkan porsi kajian
secara luas dan mendetail. Bahkan ilmu ini menjadi
“ilmu baru” dalam kajian ushul fikih.
Karena tema bahasan Imam Syathibi sangat luas
dan mendetail, maka Ibnu Asyur, salah seorang pa-
kar ilmu maqahsid kontemporer mengusulkan supaya
40 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
ilmu ini menjadi ilmu independen dan lepas dari ilmu
ushul fikih. Alasan adalah bahwa bahasan dalam ma-
qashid, berbeda dengan bahasan dalam ilmu ushul
fikih secara umum.1
Saya sendiri berpendapat bahwa ilmu ushul fikih
yang bergerak dalam ranah bahasa, dengan ilmu ma-
qashid yang bergerak dalam ranah maslahat meru­
pakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kedua­
nya tetap dari satu rahim “ilmu ushul fikih”. Memang
keduanya terdapat perbedaan manhaj, namun de-
mikian tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Ushul fikih bahasa, disebut dengan “Ijtihad Semantik
Dalam Ushul Fikih”, sementara ushul fikih maqashidi
disebut dengan “Ijtihad Maqashidi Dalam Ushul Fikih.

1
Imam Ibnu Asyur, Maqashid Asyariah al-Islaiyyah, Darul Kutub sl-Masri, hal.
8

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 41


42 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Antara Maqashid (Tujuan)
dan Wasilah (Sarana)

Sering kita mendengar bahwa hukum potong


tangan dan rajam merupakan wasilah (sarana). Tujuan
utamanya adalah agar para pelaku kejahatan bisa jera
dari perbuatannya. Jika dua macam hukuman tadi tu-
juan utamanya sekadar sebagai efek jera, maka sarana
bisa berubah sesuai dengan ruang waktu. Utamanya
adalah tujuan tetap bisa tercapai.
Alasan yang biasanya dikemukakan adalah bah-
wa pada zaman dahulu sarana yang paling efektif
bagi orang yang mencuri adalah dengan memotong
ta­ngannya. Sementara bagi para pezina yang sudah
beristri dengan hukum rajam. Hukum ini sangat sesuai
dengan masyarakat Arab keras.
Benarkah demikian? Memang benar bahwa hu-
kum potong tangan dan rajam merupakan sarana. Tu-
juan utama dari hukum potong tangan adalah untuk
menjaga harta. Sementara tujuan utama dari huku-
man rajam adalah untuk menjaga kehormatan.
Apakah sarana bisa berubah sesuai ruang wak-
tu? Di sini kita harus melihat kepada teks al-Quran­
nya. Ada sarana yang bisa berubah sesuai dengan ru-
ang waktu, namun ada sarana yang sudah ditentukan
oleh Allah dengan menurunkan ayat yang sudah qat’i
dilalah. Artinya, penafsiran ayat tadi tidak ada perbe-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 43


daan pendapat di kalangan para ulama. Jika sarana tadi
sudah jelas ketentuannya dengan dalil qat’iy tsubut
dilalah, maka seorang mujtahid tidak bisa melakukan
ijtihad lagi. Artinya, sarana tadi tetap harus dterapkan
kapan dan dimanapun. Contohnya adalah hukum po-
tong tangan dan rajam tadi.
Hanya yang harus diperhatikan adalah ma­
salah persyaratan, apakah memang seorang pencu-
ri benar-benar mencuri karena tindakan kriminal,
karena kebutuhan, atau karena apa? Lalu seberapa
besar barang yang dia curi? Hal ini penting karena ti-
dak semua pencuri harus dipotong tangannya. Jika ia
mencuri karena kebutuhan mendesak, maka ia tidak
boleh dihukum. Bahkan masyarakat sekitar yang harus
dihukum karena telah kehilangan kepekaan terhadap
saudaranya sesama muslim yang kelaparan. Ini pernah
terjadi di zaman Umar.
Terkait hukum rajam, syaratnya lebih berat
lagi. Harus ada empat saksi yang bisa dipercaya dan
benar-benar melihat pelaku dalam kondisi berzina.
Syarat ini tidak bisa digantikan dengan apapun juga,
bahkan dengan dengan sarana modern seperti CCTV
sekalipun. Jadi persyaratannya sangat berat. Maka­
nya dalam sejarah islam sangat jarang terjadi hukum
rajam. Jika ada, umumnya karena pengakuan pelaku,
dan bukan karena tertangkap basah.
Mayoritas sarana bisa berubah. Contoh bahwa
untuk shalat disunnahkan adzan. Dulu Bilal menaiki
44 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
tempat yang tinggi untuk beradzan. Sekarang pakai
pengeras suara. Jadi ini sebagai sarana saja. Sama
dengan wudhu untuk mendapatkan air, bisa dengan
menggali sumur, bisa dengan ledeng atau lainnya.
Intinya air bisa didapatkan dengan sarana apa saja.
Shalat harus menutup awrat, bisa dengan memakai
jubah, sarung dan baju takwa, celana panjang dan lain
sebagainya. Jadi sarana yang tidak tertulis oleh nash
secara qati dilalah, bisa berubah sesuai ruang waktu.
Banyak kelompok Islam yang mengatasnamakan
sarana untuk menggugurkan berbagai hukum Islam.
Bahkan tidak hanya hukum jinayat, hukum waris pun
mereka persoalkan. Menurutnya, tujuan waris ada-
lah untuk mendapatkan keadilan. Waktu itu bagi ma­
syarakat Arab dengan pembagian laki-laki satu dan
perempuan setengah sudah sangat adil. Namun bagi
masyarakat modern di mana wanita sudah bekerja,
maka ini sudah tidak sesuai lagi dan tidak ada nilai
keadilan. Maka hukum waris harus dirubah.
Mereka yang berpendapat demikian umumnya
tidak paham dengan hukum syariat dan ushul fikih.
Ada istilah qati dilalah dan zhanni dilalah. Ada sesuatu
yang boleh kita berijtihad dan ada tempat di mana
para mujtahid tidak boleh berijtihad. Standar seper-
ti ini harus dipahami secara benar. Jika tidak, maka
seluruh hukum al-Quran bisa berubah sesuai dengan
keinginan manusia. Pada akhirnya, hukum Islam hanya
dijadikan bulan-bulanan semata.
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 45
46 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Mengapa Bukan Hermeneutika?

Sebelumnya telah kami sampaikan mengenai


karakteristik ushul fikih terkati dengan sistem pem­
bacaan teks, baik dari sisi ijtihad semantik maupun
maqashidi. Keduanya mempunyai kelebihan ma­
sing-masing dan punya porsi ijtihad masing-masing.
Keduanya saling melengkapi satu sama lain, dan bu-
kan saling menegasikan. Hanya menggunakan salah
satu dari dua model ijtihad tadi, dan menegasikan
yang lain akan mengakibatkan pada kepincangan da-
lam sistem ijtihad.
Belakangan muncul berbagai pemikiran yang
menyatakan bahwa pembacaan teks yang ada dalam
turas Islam telah ketinggalan jaman. Metodologi mau-
pun tafsir, sangat dipengaruhi oleh sosiokultural suatu
masyarakat di sekitarnya. Hal ini bukan saja berlaku
pada turas Islam, namun juga wahyu baik Quran mau-
pun hadits nabi.
Kondisi kehidupan kita saat ini, tentu berbeda
dengan kondisi sosiokultural pada waktu al-Quran dan
hadits turun. Juga berbeda waktu para mufassir beru-
saha untuk menggali hukum dari al-Quran dan sunah
nabi. Perbedaan ini, mengharuskan adanya pemba-
ruan dalam memahami teks. Metodologi ijtihad ha-
rus juga berkembang dan menyesuaikan zaman. Saat

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 47


ini sudah muncul sistem pembacaan teks yang lebih
modern yang berkembang di dunia Barat, yaitu yang
dikenal dengan hermeneutika. Oleh karena itu, me-
nerima hermeneutika sebagai pisau analisis dalam
pembacaan teks, menjadi sebuah keharusan.
Jelas pernyataan seperti ini menyesatkan. Her-
meneutika yang merupakan sistem pembacaan teks
dan lahir dari rahim Barat, memiliki karakteristik
tersendiri yang tidak sesuai dengan turas Islam. Ia ba­
nyak kelemahan tatkala dijadikan sebagai pisau ana­
lisis dan sistem pembacaan teks kitab suci. Berikut di
antara kelemahannya tersebut:
1. Kajian teks Barat muncul di Barat yang sesuai
dengan karakter dan struktur bahasa Barat. Herme-
neutika sebagai model pembacaan teks, juga muncul
sesuai dengan sosiokultural masyarakat Barat. Tentu
ini tidak bisa diimpor dan ditransfer begitu saja untuk
dijadikan sebagai model pembacaan kitab suci al-Qu-
ran yang mempunyai latar belakang berbeda.
2. Setiap bahasa mempunyai karakter sendi-
ri-sendiri baik dari sisi stuktur, gramatikal, morfologi,
sejarah dan lain sebagainya. Karakter teks Barat, ber-
beda dengan karakteristik dan struktur yang ada da-
lam bahasa al-Quran. Dengan demikian, sistem pem­
bacaan ala Barat ini tidak bisa diterapkan dalam kajian
teks al-Quran.
3. Hermeneutika sendiri, lebih pas sebagai pisau

48 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


analisis teks Barat, termasuk kitab suci mereka (baca:
Bibel). Ini bisa dilakukan karena memang terjadi pro­
blem pada Bibel yang harus dicarikan akar persoalan-
nya. Antara bible dengan al-Quran jelas sangat ber-
beda. Bibel telah mengalami berbagai macam revisi
dan terjemahan yang menyesuaikan bahasa tempat­
an, sementara al-Quran sejak awal diturunkan sama
sekali belum pernah terjadi perubahan. Al-Quran saat
ini yang kita baca, merupakan al-Quran yang turun 14
abad yang lalu.
4. Terkait Bibel ini, memang di antara problemnya
adalah soal sejarah. Jadi, kajian sejarah Bibel sangat
penting untuk mengetahui mengenai orisinalitas Bibel
yang sesungguhnya. Ini terkait dengan variasi Bibel
yang sangat banyak di dunia ini. Lagi-lagi, ini berbeda
dengan al-Quran yang tidak pernah mengalami peru-
bahan. Al-Quran yang ada di dunia Arab, adalah al-Qu-
ran yang ada di Indonesia, Amerika, Rusia dan belahan
dunia lainnya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara
satu al-Quran dengan lainnya. Terjemahan al-Quran
sendiri, harus disertai dengan teks Arabnya dan tidak
diperkenankan satu mushaf al-Quran diterjemahkan
dengan bahasa tertentu secara independen tanpa
menyertai teks asli. Ini untuk menjaga orisinalitas
al-Quran hingga akhir zaman. Terjemahan al-Quran
pun, tidak disebut sebagai al-Quran, namun tafsir dari
al-Quran. Interaksi dengan terjemahan al-Quran, ber-
beda dengan interaksi dengan terjemahan al-Quran.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 49


5. Memang benar bahwa dalam kajian al-Quran
ada asbabun nuzul. Hanya saja, ia sekadar sebagai
alat bantu untuk memahami kandungan al-Quran dan
bukan sebagai sarana untuk mengetahui mengenai
“pembentukan” al-Quran. Itu karena al-Quran sifatnya
azal dan tidak pernah terpengaruh oleh ruang waktu.
Al-Quran adalah kalamullah yang merupakan bagian
dari sifat Allah yang azal. Al-Quran tidak dibentuk dan
dipengaruhi oleh sejarah dan sosiokultural suatu ma­
syarakat tertentu. Ia bukan budaya dan bukan ciptaan.
Ia sifatnya qadim.
6. Hermeneutika sendiri banyak varian dan aliran.
Ada yang “mentuhankan” pembaca, atau menyatakan
kebenaran berada di teks, atau kebenaran ada dalam
konteks (ruang waktu). Menentukan letak kebenaran
makna teks tadi, terkait erat dengan sebuah per-
tanyaan, siapakah atau apa sesungguhnya yang punya
otoritas mutlak terhadap suatu kebenaran teks? Pem-
bacakah, teks kah, sosiokulutral teks, ataukah sejarah
dari teks itu sendiri?
Lagi-lagi, ini tidak sesuai dengan pembacaan ki-
tab suci al-Quran. Karena al-Quran lepas dari ruang
waktu. Selain itu, dalam memahami teks dan mencari
kaedah kebenaran, para ulama ushul telah meletak-
kan kaedah yang sesungguhnya lebih sesuai dengan
kajian al-Quran.
Dalam ushul fikih ada qati zanni, ada kebenaran
multi tafsir, namun ada kebenaran tunggal. Kebenaran
50 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
tunggal tersebut, ada di ranah ghaibiyat, tasyriiyat dan
etika. Ia sifatnya pasti dan tidak bisa berubah kapan-
pun dan dimanapun. Maka diharamkan menafsir ulang
tentang Tuhan yang Esa, tentang keberadaan hari kia-
mat, tentang surga dan neraka. Barang siapa yang ing­
kar terhadap hal-hal diatas, dengan alasan karena taf-
sir menyesuaikan ruang waktu, maka ia telah keluar
dari Islam. Ia dianggap kafir.
Maka, kembalilah kepada metodologi ijtihad
yang telah dirumuskan para ulama kita. Karena ia lebih
sesuai dengan kajian kitab suci al-Quran dan lebih bisa
menjaga akidah umat.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 51


52 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Antara Hermeneutika
Dan Maqashid Syariah

Sebagaimana maklum bersama bahwa sistem


pembacaan teks yang sedang ngetren di Barat, ba­nyak
mempengaruhi para sarjana muslim kontemporer.
Sistem pembacaan teks modern, terutama yang mem-
bahas masalah sejarah dan sosiokultural pembentuk­
an teks mulai digandrungi para intelektual muslim.
Lalu mereka menggunakan pisau analisis Barat terse-
but untuk dijadikan sebagai sarana mengkaji kitab
suci.
Akibatnya muncul pemikiran dekontruksi teks.
Kitab suci dianggap teks sastra yang tidak ada beda­
nya dengan teks-teks sastra buatan manusia. Mereka
berangkat dari teori kesejarahan teks dan bahwa teks
muncul dari ruang waktu. Teks sangat dipengaruhi
oleh psikologi penulis, juga sosiokultural yang melatar
belakangi penulis. Menurut mereka, memahami teks
tidak boleh dilepaskan dari sejarah dan ruang waktu
teks serta memahami psikologi penulis.
Bagi mereka, teks al-Quran juga sama. Teks kitab
suci tersebut karena muncul dari ruang waktu, seja­
rah dan juga penulis tertentu, maka kajiannya juga ti-
dak bisa dilepaskan dari berbagai faktor tadi. Dengan
kondisi berbeda, ruang waktu dan sejarah yang berbe-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 53


da, perlu penafsiran dan pemahaman yang berbeda.
Jika tidak, maka kita akan terkungkung dengan pema-
haman teks yang kaku. Kita menjadi manusia sejarah
karena tidak mampu menangkap spirit teks. Asbabun
nuzul dalam kajian tafsir, merupakan bagian dari upa-
ya untuk menyingkap kesejarahan al-Quran itu.
Oleh karena teks terikat dengan ruang waktu,
maka segala aturan hukum juga terikat oleh ruang
waktu. Sesuatu yang baik di masanya, belum tentu
sesuai untuk konteks sekarang. Bisa saja ada pema-
haman yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu,
pemahaman yang tak relevan itu harus juga dirombak
dan disesuaikan. Tafsir ulang atas bangunan pemikiran
teks menjadi sebuah keniscayaan. Pemahaman teks
yang kiranya sudah tidak sesuai dengan kehidupan
kontemporer, harus dibuang.
Tiap manusia pun, sesungguhnya mempunyai
otoritas yang sama dalam memahami teks. Sesuatu
yang dipahami oleh seseorang, belum tentu sama jika
ditafsirkan oleh orang lain. Lagi-lagi penafsir dan ru-
ang waktu memberikan pengaruh signifikan atas pe-
mikiran penafsiran seseorang. Semua penafsiran itu
benar adanya. Ia menjadi teks-teks baru yang memuat
pemaknaan tertentu atas teks. Jadi,kebenaran menja-
di relatif. Karena semua menjadi benar.
Itulah paham hermeneutika. Sejarah dan ruang
waktu menjadi Tuhan baru untuk dijadikan sarana in-
terpretasi atas nas. Teks-teks tersebut selalu diukur
54 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
dari sisi kesejarahan dan ruang waktu. Teks wahyu
benar-benar tidak ada bedanya dengan teks manusia.
Nilai sakralitas teks menjadi sirna.
Maka tidak ada lagi qatiyat dalam al-Quran. Hu-
kum waris, hudud, dan hukum Islam lainnya yang oleh
ulama Islam dianggap baku, mereka tafsir ulang. Se-
jarah teks itu lantas dikaitkan dengan kemaslahatan
manusia. Teks hanya dianggap relevan dan mengan­
dung maslahat dizamannya. Dengan perubahan ruang
waktu, sesuatu yang dianggap maslahat di waktu itu
sudah tidak lagi maslahat di zaman sekarang.
Hukum waris dianggap maslahat di zamannya
dengan pembagian setengah banding satu untuk pe­
rempuan dan laki laki. Hal itu karena perempuan di
waktu itu belum bekerja seperti sekarang ini. Tatkala
wanita sudah mandiri dan independen, maka tinjauan
tentang pembagian hukum waris perlu ditinjau ulang.
Pembagian seperti itu sudah tidak maslahat lagi untuk
konteks kita saat ini.
Demikian juga dengan hukum hudud. Waktu itu
memang tradisi bangsa Arab dengan memberikan hu-
kuman yang tegas dan keras. Namun untuk konteks
kontemporer, model hudud dan qishahs itu sangat ke-
jam. Bahkan bertentangam dengan hak asasi manua-
sia. Demikian seterusnya.
Dengan pemahaman seperti ini, yang terjadi
adalah dekonstruksi teks. Wahyu bukan hanya sirna,

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 55


namun dapat berubah sesuai kehendak pembaca. Tu-
han, Nabi, hari akhir, surga, neraka, berbagai hukum
Islam, semua bisa ditafsir ulang.
Dalam ilmu ushul fikih, memang kita melihat sisi
sejarah dan ruang waktu. Kita juga melihat dari sisi lain
di luar teks, yaitu konteks kehidupan umat manusia.
Hanya saja, dalam ijtihad maqashidi tetap berpegang
dengan sandaran dan kaedah yang baku yang sesuai
dengan karakter kitab suci. Standar maslahat tidak di-
ukur dari logika manusia semata tanpa ada panduan
wahyu. Maka tidak ada dekonstruksi al-Quran.
Wahyu dapat dipahami dan diterapkan sesuai
dengan maslahat manusia. Waktu dapat bersinergi
dengan kehidupan kontemporer. Pemahaman manu-
sia atas wahyu selalu up to date, dan tidak mening-
galkan nilai sakralitas al-Quran. Tidak ada relativitas
kebenaran, karena semua diukur dengan standar yang
jelas.
Ilmu maqashid dalam melihat teks bukan seka-
dar dari sisi ruang waktu dan kesejarahan saja. Ilmu
maqashid tidak memisahkan teks-teks wahyu ber-
dasarkan ruang sejarah saja, karena pada dasarnya
teks al-Quran dan sunnah nabi adalah satu kumpulan
sempurna yang satu sama lain saling mempengaruhi
dan melengkapi. Al-Quran tetap kalamullah, firman
Tuhan yang sakral dan bukan teks buatan manusia.

56 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Syaikh Yusuf Qardhawi
dan Hermeneutika

Ada sebuah penelitian yang ditulis oleh Bisri Tan-


jung dan dirilis jurnal Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah
Imam Syafi’I Jember. Judul penelitiannya sangat unik,
yaitu “HERMENEUTIKA HADITS YUSUF QARDAWI (Stu-
di Analisa Terhadap Metodologi Interpretasi Qardawi).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa beliau adalah
seorang tokoh Hermeneutika yang “moderat-eklek-
tis. Penulis juga menyebutkan bahwa Qardhawi da-
lam sebagian metodenya masih komitmen menelusu-
ri metode dan prinsip interpretasi para ulama klasik
yang berkutat pada urusan ibadah. Namun semangat
interpretasi kaum liberal telah mendominasi kerangka
berpikir beliau
Lalu penulis menukil hasil penelitian lain, den-
gan mengatakan “Analisa ini juga menjawab hasil pe-
nelitian Mir’atun Nisa’ “Hermeneutika Hadits Yusuf
Qardawi dalam Hermeneutika al-Qur’an dan Had-
its”, yang menyimpulkan bahwa Qardhawi belum
menyentuh pada langkah menganalisa pemahaman
teks-teks hadits dengan teori sosial, politik, ekonomi,
dan sains terkait. Justru dari analisa yang kami temu-
kan Qar­dhawi juga telah menyentuh teori hermeneu-
tika sains, ekonomi, politik apalagi sosial dan agama”

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 57


Ia juga menambahkan, Bahkan beliau dikatakan
mengamini metode hermeneutika hadits yang diusung
oleh para tokoh “intelek” Islam masa kini yang akrab
didengar adalah metode kaum Liberal. Pasalnya, in-
terpretasi hadits beliau lebih mengarah pada konteks
kekinian.”
Nurun Najwah sebagaimana yang dikutip oleh
Mir’atun Nisa menjelaskan, di antara langkah konkrit
hermeneutik yang diambil oleh Yusuf Qardawi ada-
lah memaknai teks dengan menyarikan ide dasar de­
ngan membedakan wilayah tekstual dan kontekstual.
Prosedur membedakan wilayah tekstual dan konteks­
tual yang ditawarkan oleh Yusuf Qardawi adalah den-
gan metode membedakan antara sarana yang beru-
bah-ubah (wasilah) dengan sarana yang tetap (gayah).
Paradigma normatifnya terletak pada gayah sedang
historisnya terletak pada wasilah. Dengan demikian
beliau terkesan mengamini metode kaum liberal.
Penulis juga menukil tulisan Mir’atun Nisa yang
berkesimpulan bahwa Yusuf Qardawi telah menyentuh
sisi Hermeneutik teks dari beberapa sisi, di antaranya
memahami aspek bahasa, memahami konteks sosio
historis, mengkorelasikan secara tematik-komperhen-
sif dan integral, serta memaknai teks dengan menyari-
kan ide dasar dengan membedakan antara wilayah
tekstual dan kontekstual.
Saya sendiri telah lama berinteraksi dengan
buku-buku Qaradhawi. Barangkali puluhan buku beli-
58 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
au sudah saya lahap. Biasanya saya membacanya dari
awal, dari judul buku, mukadimah, daftar isi sampai
pada tulisan kecil di sampul belakang buku. Dari ha-
sil pembacaan saya tersebut, saya tidak menemukan
satu katapun terkait hermeneutika yang kemudian
dijadikan sebagai pisau analisis untuk membaca teks.
Bahkan Qaradhawi tidak pernah menukil pendapat
para tokoh hermeneutika seperti F.D.E. Schleiermach-
er, Jurgen Habermas, Hans-Georg Gadamer, Wilhelm
Dilthey, Edmund Husserl, Heidgger, Gadamer, Derrid-
am Ricouer dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika kita
buka laman buku-bukunya, yang sering dinukil adalah
pendapatnya Imam Syathibi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qa-
yyim, Ibnu Asyur dan para ulama ushul fikih lainnya.
Dari kandungan pun, yang muncul adalah
kaedah-kaedah ushul fikih, terutama yang terkait de­
ngan ushul fikih maqashid. Bahkan biasanya, di a­wal
-awal buku sebelum masuk kepada bahasan yang lebih
jauh, beliau menuliskan sandaran teoritis yang diam-
bil dari kaedah-kaedah ushul fikih. Lihatlah misalnya di
buku fiqhul awlawiyat, Fiqhul Aqalliyaat al-Muslimah,
Fiqhul Muqazanat, Min Fiqhiddaulah fil Islam dan lain
sebagainya.
Mungkin akan timbul pertanyaan, bukankah
Qardhawi sering menggunakan konteks sejarah dan
juga sosio kultural masyarakat tempatan sebagai ba-
gian dari pertimbangan ijtihad? Benar memang itu
dilakukan oleh Qardhawi. Benar juga bahwa Qardha-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 59
wi sering membedakan antara tujuan (ghayat) dan sa-
rana (wasilah). Hanya saja, Qardhawi merujuknya ke
kitab kitab ushul fikih dan bukan kepada para tokoh
hermeneutik.
Bisa saja di sini ada irisan antara ilmu ushul fikih
dengan hermeneutika, terutama terkait dengan teks
dan konteks serta sosiokulutral masyarakat tempatan.
Hanya saja, ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan bah-
wa beliau menggunakan teori hermeneutika.
Dalam ushul fikih, terutama yag terkait dengan
ushul fikih maqashid, realita sosial suatu masyarakat
sangat penting. Ia bahkan menjadi kunci utama untuk
dijadikan pertimbangan dalam menentukan kepastian
hukum fikih. Jadi, realitas sosial itu memang menjadi
rumusan teoritis ilmu ushul fikih. Memang ada kesa-
maan, namun sisi perbedaan antara ilmu ushul fikih
dengan hermeneutika jauh lebih besar.
Upaya penulis menarik-narik Qardhawi dengan
menyatakan bahwa tulisannya menggunakan metode
hermeneutika sungguh mengada-ada. Bahkan bisa
saya katakan bahwa penulis sekadar latah saja. Atau
mungkin ia tidak memahami hermeneutika secara
utuh.
Lucunya lagi, penulis menyebutkan beberapa
sandaran teoritis yang menurutnya dari hermeneutika,
padahal itu murni dari ushul fikih. Perhatikan kutipan
di bagian sub “Apa dan Bagaimana Prosesi Interpreta-

60 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


si Teks-teks Hadits yang Disebut Metode Hermeneu-
tik; Manhaj syumuli, manhaj mutawazin, dan manhaj
muyassar, karakter teks ala Qardhawi”.
Sejak kapankah hermeneutika mengenal Manhaj
syumuli, manhaj mutawazin, dan manhaj muyassar?
Siapakah tokoh-tokoh Barat yang memperkenalkan
hermeneutika dengan berbagai terminology tersebut?
Di buku apa bisa kita dapatkan?
Sebaliknya jika kita buka kitab ushul, kita akan
menemukan sandaran teoritis tersebut banyak dise-
butkan. Bahkan ia bagian dari kata kunci dalam ilmu
maqashid. Ia adalah bagian kecil dari rumusan teoritis
dari kaedah maqashid syariah.
Di sini nampaknya penulis “gagal paham”, baik
dengan teori hermeneutika, maupun ushul fikih. Keti-
dakmampuan atas penguasaan dua sistem pemba-
caan teks tadi, menjadikan tulisannya sangat rancu.
Kaedah ushul ditarik-tarik menjadi kaedah hermeneu-
tika. Jadi, penulis semacam sedang mengalami “pu-
bertas pemikiran” sehingga gagap terhadap berbagai
macam pemikiran baru yang muncul.
Umumnya mereka ini adalah orang-orang yang
tidak paham dan tidak menguasai kitab kuning, khu-
susnya terkait dengan metodologi para ulama terda-
hulu. Bagi orang yang biasa berinteraksi dengan ki-
tab kuning, terutama ushul fikih, kajian terkait teks,
konteks, sosiokultural masyarakat tempatan dan lain

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 61


sebagainya, bukanlah sesuatu yang asing. Semua itu
menjadi bagian tak terpisahkan dari ilmu ushul fikih.
Hanya saja, ushul fikih tetap mengacu pada kaedah
yang berasal dari kajian induktif terhadap teks al-Qu-
ran.
Para ulama kita terdahulu tidak mengenal istilah
hermeneutika. Istilah ini baru muncul belakangan di
abad 19. Meski demikian, kajian terkait system pem-
bacaan teks di kalangan ulama kita terdahulu sudah
sangat berkembang. Bahkan buku-buku terkait rumu-
san sistem ijtihad tersebut serasa sangat melimpah.
Bahasannya pun sangat mendetail dan lebih sesuai
dengan karakteristik bahasa al-Quran.
Ketidak mampuan dalam mengenal terhadap
turas Islam inilah yang mengakibatkan pemikir Islam
kontemporer mudah latah dan “gumunan”. Maka
kembalilah kepada turas Islam. Pelajari lagi ilmu ush-
ul fikih niscaya kita tidak akan kaget dengan berbagai
varian pembacaan teks kontemporer.

62 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Dr. Yusuf al-Qardhawi
dan Fikih Maqashid

Maqashid syar’i adalah tujuan umum dari ber­


bagai hukum dalam syari’ah. Menurut Ibnu Qoyim bah-
wa tujuan utama diturunkannya hukum syar’i adalah
demi kemaslahatan manusia serta menghindari segala
sesuatu yang dapat menimbulkan kesengsaraan (mad-
lorot) bagi manusia. Namun demikian bukan berarti
maslahat di sini berdasarkan penilaian manusia, na-
mun maslahat dalam pandangan syari’at. Manusia se­
ring terpengaruhi oleh hawa nafsu sehingga penilaian
terhadap suatu mashlahah sangat subyektif. Manusia
sering kali mengira bahwa sesuatu dapat memberi-
kan manfaat bagi dirinya, padahal yang terjadi adalah
sebaliknya, dapat menimbulkan kesengsaraan. Kalau-
pun dapat memberikan manfaat, madhorotnya lebih
besar. Manusia juga sering mengedepankan kepen­
tingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan
umum, atau mencari maslahat yang bersifat temporal
dengan mengorbankan maslahat yang bersifat abadi.
Bagaimanapun juga, kondisi psikologis manusia akan
berpengaruh terhadap sikap dan arah pemikirannya.
Oleh karena itu, menurut Qardhâwî, maslahat yang
sebenarnya adalah maslahat yang dilandasi dari hu-
kum syar’i.1
1 Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati
wa Maqashidihâ, Maktabah Wahbah hal. 101 dan hal 230

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 63


Maslahat dalam suatu hukum syar’i dapat
diketahui dari zhahir nas yang bersifat sharih (jelas).
Hanya saja, nas tidak mencakup semua tujuan dasar
dari ketentuan hukum. Menurutnya, hanya mereka
yang mempunyai pemahaman mendalam mengenai
ilmu maqhashid yang dapat mengetahui kandungan
yang tersirat dari nas tersebut. Khusus mengenai fikih
ibadah, para ulama tidak merasa perlu mencari tujuan
dasar atas perintah ibadah, karena ibadah berkaitan
dengan interaksi manusia dengan Tuhan. Maka dalam
fikih ibadah para ulama meletakkan kaidah fikih
ِ ‫صل ِف اْلعِبَ َادة التـًَعبًُّد َواِْللتَِزام الن‬
‫َّص‬ ُ ْ َ‫ْال‬
Artinya: Landasan hukum dalam beribadah ada-
lah menyembah Allah serta mengikuti apa yang ter-
tera dalam nas.
Lain halnya dengan fikih mu’amalah yang me-
merlukan pemahaman terhadap illah serta tujuan ta-
syri’inya. Dalam hal ini para ulama ushul meletakkan
kaidah fikih:
‫ات اِ َل اْمل َع ِان‬
ِ ‫ت اْ ِاللْتِ َف‬
ِ ‫ات واملعام َل‬
َ َ َ
ِ ‫األصل ِف اْلعاد‬
ََ ُْ
َ ُ ِ ‫واْمل َق‬
‫اصد‬ َ
Artinya: Prinsip hukum mengenai tradisi dan َin-
teraksi dengan manusia adalah melihat maksud dan
tujuan.1
Maslahat dikelompokkan ke dalam tiga tingkat­
an:
1
Ibid. hal 272-273

64 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


1. Dharûriyât (kebutuhan primer)
2. Hâjiyât (kebutuhan sekunder)
3. Tahsîniyât (kebutuhan eksekutif)
Dharûriyat adalah segala sesuatu yang dibutuh-
kan manusia, dan jika hal itu hilang dari manusia akan
menimbulkan ketimpangan dan kekacauan dalam
masyarakat sehingga manusia akan sengsara baik di
dunia maupun di akhirat.1 Para ulama klasik menge-
lompokkan dhorûriyât ke dalam lima tingkatan:2
1. Hifdz al-din (menjaga agama)
2. Hifdz al-nafs (menjaga jiwa)
3. Hifdz al-aql (menjaga akal)
4. Hifdz al-nasl (menjaga keturunan)
5. Hifdz al-mâl (menjaga harta)
Imam Ibnu Asyur menambahkan“al-hurriyah”
(kebebasan), sementara Muhammad al-Ghazali
menambahkan “al‘adâlah” (keadilan) wa’lmasâwah
(kesetaraan).3 Qardhawi juga menyerukan rekon-
struksi ilmu maqashid baik dalam tataran metodolo-
gi ataupun materi.4 Contoh dharûriyât adalah kewa-
jiban melaksanakan shalat, memerangi para penyebar
bid’ah dan lain sebagainya demi menjaga eksistensi
agama, ketentuan hukuman qishas bagi pembunuh
1
Dr. Abdul Karîm Zaidân, al Wajîz Fî ushûli’l Fikihi. Mu’assasah al Risâlah hal
378
2
Op. cit. hal. 87
3
Bin Zaghîbah Izzudin, al maqashid al Ammah li al Syarî’ah al Islâmiyah. Dâru
al shofwah hal. 166
4
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân
Wassunnah. Maktabah Wahbah hal 42

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 65


demi menjaga keselamatan jiwa, kewajiban memo-
tong tangan pencuri demi menjaga keselamatan har-
ta, dilarang meminum khamer karena dapat meru-
sak akal, dan dilarang berzina karena dapat merusak
keturunan, dan demikian seterusnya.1
Dhorûriyât yang merupakan kebutuhan primer
bagi umat manusia tidak hanya terdapat dalam aja-
ran Islam, namun juga agama samawi lainnya. Karena
memang berkaitan erat dengan keselamatan dan kea-
manan manusia. Maka Islam sebagai agama samawi
terakhir sangat memperhatian dan memberikan prior-
itas pada masalah ini.2
Kaidah dasar dalam ilmu ushul, termasuk juga
kaidah fikih sebenarnya muncul dari pemahaman
ulama atas maqashid ‘ammah (tujuan global) dalam
syari’at. Kaidah ushul dan kaidah fikih merupakan lan-
dasan teoritis bagi para mujtahidin dalam melakukan
penggalian hukum. Qardhawi sebagai salah seorang
mujtahid, dalam penggalian hukum syar’i tidak per-
nah lepas dari kaidah dasar tersebut, sebagaimana
dapat kita lihat jelas dari berbagai karyanya.
Demi menjaga eksitensi lima hal di atas, para
ulama meletakkan berebapa kaidah fikih, diantaranya
adalah “al dhorûrot tubîhu al mahdhûrot, al dlorûrot
tuqaddaru bi qadrihâ, idzâ dhoqot ittasa’at” dll. Maka
sesuatu hal yang sebenarnya diharamkan syari’at jika
1
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati
wa Maqashidihâ, Maktabah Wahbah hal 87
2
Ibid. hal 88

66 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


memang kondisi mendesak dan merupakan satu-sa­
tunya jalan untuk menyelamatkan jiwa, seperti makan
daging babi di tengah padang pasir, hukumnya menja-
di wajib.
Dalam banyak bukunya, Qardhawi memberikan
perhatian lebih terhadap maqashid ‘ammah (tujuan
global) dalam syari’at serta selalu mengaitkan nas-nas
al juz’iyah, yaitu nas yang sudah menjelaskan secara
rinci mengenai suatu hukum, dalam ruang lingkup
nusus maqasid syar’i al kuliyât, yaitu nas yang hanya
memberikan rincian global.1
Menurutnya, memahami ilmu maqashid bagi
seorang musjtahid, adalah suatu keharusan. Namun
demikian ilmu maqashid belum mendapatkan kajian
secara serius. Qardhawi dalam berbagai karyanya se-
lalu mengingatakan pentingnya pendalaman ilmu ini
serta selalu menghimbau para tokoh cendekia agar
memposisikan ilmu maqashid sebagaimana mestinya.
Karena menurutnya, pemahaman yang salah terhadap
ilmu maqashid akan berdampak pada pemberian fat-
wa yang salah juga.2
Qardhawi membagi pemahaman para ulama ter-
hadap nas menjadi tiga aliran;
1. Kaum literalis. Mereka yang memahami nas secara
literal tanpa melihat lebih jauh tujuan dasar di-
turunkannya hukum syari’i. Qardhawi menamakan
1
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân
Wassunnah. Maktabah Wahbah hal 90
2
Ibid. hal 92-93

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 67


aliran ini dengan istilah neo Zahiriyyah (dhahîri-
yatu’l judud). Mereka seperti penganut mazhab
dhahîrî klasik yang menolak ‘illah dalam hukum
syariat serta enggan untuk mengaitkan hukum
dengan ilmu maqashid. Bagi Qardhawi, pamaham­
an tekstualitas seperti ini dapat berakibat pada ke-
bekuan pemikiran umat Islam.
2. Kaum liberalis. Kebalikan dari aliran pertama, yai-
tu mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang
yang salalu memahami nas sesuai dengan ilmu
maqashid. Jargon yang sering mereka dengung-
kan adalah bahwa yang terpenting dalam urusan
agama adalah pemahaman substansi dari teks dan
bukan teks redaksi dari nas. Mereka tidak mem-
bedakan antara dalil qath’i dan dzanni. Bahkan
mereka cenderung menafsirkan nas sesuai de­ngan
kepen­tingan me­reka. Jika mereka menghadapi
nas sharih, sementara bertentangan dengan arah
pemikiran mereka, maka nas tersebut akan ditak-
wil. Akibatnya adalah pemahaman yang salah dan
terkesan ngawur ter­hadap tek-teks al-Qur’ân mau-
pun Sunnah. Ironisnya mereka mengklaim dirinya
sebagai kaum reformis. Corak pemikiran mereka
menjadi sangat liberal.
3. Moderat. Mereka adalah aliran yang memahami
nas secara moderat, tidak literal namun juga tidak
liberal. Mereka memahami nas juz’î sesuai den-
gan maqashid kulî, mengembalikan permasalahan

68 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


furu’iyah ke dalam nas kuliyah, selalu berpegang
kepada nas qoth’i tsubut dan dalâlah, menghindari
nas mutasyabbihât dan kembali kepada nas muh-
kamât. Qardhawi sendiri mengklaim dirinya se-
bagai pengikut aliran ini. Menurutnya, aliran inilah
yang paling mampu mengekspresikan hakikat Islam
serta dapat menyelamatkan ajaran Islam dari pe-
rubahan dan penyelewengan yang dilancarkan mu-
suh Islam.
Aliran pertama, yaitu mereka yang terlalu literal,
menurut Qardhawi banyak merugikan dakwah Islam
dan menghalangi penerapan syari’ah Islam. Di sam­
ping itu, pemahaman literal dapat merusak citra Islam
dari pandangan kaum pemikir kontemporer karena
terkesan bahwa Islam adalah agama jumud dan tidak
dapat berkembang sesuai dengan tempat dan waktu.
Pemahaman tekstualitas juga berakibat pada
ketidak-mampuan mereka dalam menghadapi prob-
lematika kontemporer, seperti soal ekonomi, politik,
sikap deskriminatif terhadap kaum wanita, mengha-
ramkan wanita memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum, dan lain sebagainya. Parahnya lagi mereka be-
rusaha menerapkan fikih klasik dalam realitas kontem-
porer tanpa melihat perubahan tempat dan waktu.
Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka me-
nolak segala hal yang berasal dari luar Islam meskipun
dapat memberikan nilai positif bagi umat Islam den-
gan argumentasi bahwa hal itu berarti menambah
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 69
dalam urusan agama (bid’ah). Maka tidak heran jika
mereka juga menolak partai politik, demokrasi, dan
lain sebagainya karena anggapan bid’ah itu tadi. Lebih
parah lagi, mereka menolak zakat dengan mata uang
karena dianggap tidak sesuai dengan nas. Bahkan se-
bagian ulama dari mereka menganggap bahwa harta
yang berbentuk uang kertas tidak dikenakan zakat.
Alasannya adalah bahwa uang pada masa nabi terbuat
dari emas atau perak yang mempunyai nilai tersendiri.
Di sisi lain, terdapat pemikir yang terlalu sub-
stansionalis, bahwa segala sesuatu dalam syari’at
mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Mereka kurang
memperhatikan dan bahkan cenderung berpaling dari
nas-nas juz’iyah dengan argumentasi demi kemasla-
hatan umum dan sesuai dengan maqashid syar’i.
Qardhawi menyebut aliran ini sebagai “neo-
substansionalis” mewarisi pemikiran substansionalis
klasik yang mengingkari asma Allah dari arti yang se-
benarnya.
Mereka tidak mau melihat nas al Qur’ân secara
menyeluruh, namun hanya sekedar mengambil nas
yang dapat mendukung argumentasi mereka. Pa-
dahal nas qoth’i tidak pernah bertentangan dengan
maslahat. Menurut Qadhâwî, menghentikan hukum­
an hudud, membolehkan minuman keras, berzina,
menghapuskan zakat, melarang poligami, memboleh­
kan pelacuran, menyamakan pembagian waris atara
anak laki-laki dengan anak perempuan, sama sekali
70 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
tidak mengandung unsur-unsur maslahat. Menurut­
nya, mereka yang menyeru kepada hal-hal di atas se-
benarnya hanya terpengaruhi oleh pemikiran dan bu-
daya Barat. Jika saja para tokoh intelektual Barat tidak
mengatakan hal itu tentu mereka juga tidak akan ber-
pendapat seperti itu.1
Bagi Qardhâwî, solusi terbaik adalah dengan
mengambil jalan tengah. Tidak terlalu tekstualitas dan
juga substansionalitas. Dengan demikian akan terhin-
dar dari pengguguran terhadap nas-nas qoth’i tsubût
dan dalâlah. Dan hal itu dapat direalisasikan dengan
mengaitkan pemahaman nas yang bersifat juz’î dalam
kerangka maqashid kullî.2

1
Lebih lengkapnya lihat, Dr Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî
Dhou’i Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ, Maktabah Wahbah hal 230-
286
2
Dr Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân
Wassunnah. Maktabah Wahbah hal 90

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 71


72 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Ijtihad Maqashidi Tidak Merujuk Target
Pembangunan SDM Versi PBB

Sebelumnya pernah kami sampaikan terkait de­


ngan kerangka berfikir dalam ijtihad maqashidi. Di situ
kami sampaikan bahwa standar daripada ijtihad ma-
qashidi, atau berfikir dalam kerangka maqashid sya-
riah bertumpu pada maslahat. Hanya saja, maslahat
yang menjadi timbangan dan standar adalah masla-
hat seperti yang sudah digariskan oleh al-Quran dan
sunnah nabi. Jadi, bukan maslahat atas pertimbangan
subyektif manusia. Terlebih lagi merujuk pada target
penggunaan sumber daya manusia (SDM) versi Barat.
Juga tidak merujuk pada hasil-hasil dari konferensi
Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal ini mengingat manusia sering mengedepan­
kan ego dan juga terpaku pada maslahat pribadi dan
golongannya saja. Juga mausia sering menggunakan
pertimbangan maslahat yang sifatnya materialistik
dibanding dengan maslahat inmateri, atau maknawi.
Sering juga mausia mengedepankan maslahat duniawi
dibandingkan dengan ukhrawi.
Jadi, kerangka berfikir maqashidi bukan seperti
maslahat subyektif tadi. Akal pemikiran seseorang da-
lam kerangka ijtihad maqashidi merupakan kerangka
berfikir yang tetap mengacu pada spirit dan tujuan
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 73
utama diturunkannya hukum syariat. Maslahat dalam
kerangka ijtihad maqashidi merupakan maslahat yang
sifatnya komperhensif dengan melihat dari semua sisi
kehidupan manusia demi maslahat manusia di dunia
dan akhirat.
Berdasarkan pada standar dan rambu-rambu
yang jelas dari hukum syariat, kerangka berfikir dalam
ijtihad maqashidi akan selalu berputar dan berkisar
di sekitar nas. Jadi, naslah kiblat dari pemikiran akal
maqashidi. Nas menjadi imam, sementara pemikiran
manusia menjadi makmum. Kerangka berfikir dalam
ijtihad maqashidi tidak akan pernah mendahului nas
atau melampaui nas. Ia benar-benar makmum yang
sifatnya mengikuti semua aktivitas dan pergerakan
imam (hukum syariat).
Akal sepenuhnya tunduk dengan hukum syari-
at. Akal menjadi komandan dari hawa nafsu dan sifat
ego manusia. Jadi, dalam kerangka berfikir ijtihad ma-
qashidi, tidak ada justifikasi ijtihad sementara tujuan
utamanya adalah kepentingan subyektif. Sikap seperti
ini bukan pribadi dan karakter dari pelaku ijtihad ma-
qashidi.
Belakangan ini sering sekali kita menerima
berbagai “ijtihad abal-abal”, yang mengklaim sebagai
pengikut kerangkan ijtihad maqashidi, namun pada
dasarnya sebagai wujud subordinat dari pemikiran
Barat. Standar dari kerangka maqashid bukan lagi
standar seperti yang telah dirumuskan dan diletak-
74 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
kan oleh para ulama klasik, namun mengacu pada
hasil konferensi Hak Asasi Manusia model Barat dan
berbagai keputusan yang dihasilkan oleh Perserikat­
an Bangsa-Bangsa. Bagi mereka ini, ilmu maqashid,
dianggap sebagai ilmu yang sifatnya humanisme dan
berpihak pada sisi kemanusiaan berdasarkan masla-
hat manusia. Lagi-lagi, maslahat di sini dengan standar
HAM dan keputusan PBB.
Berbagai produk ijtihad dalam kerangka maqa-
shidi dimaknai sesuai dengan kepentingan mereka.
Maka, melindungi agama diterjemahkan sebagai ke-
bebasan beragama, melindungi akal diterjemahkan
dengan kebebasan berfikir, melindungi kehormatan
diterjemahkan sebagai kebebasan berinteraksi den-
gan sesama manusia dan demikian seterusnya.
Pokok-pokok pemikiran maqashid syariah se­
perti yang sudah digariskan oleh ulama kita terdahu-
lu dianggap usang dan perlu direformasi. Dalam me-
mahami maqashid shariah ini pun menurut mereka,
menggunakan perspektif maqashid kontemporer
yang bernuansa pengembangan (tanmiyah/ develop-
ment) dan pemuliaan Human Rights (‘Hak-hak Asa-
si’) dari­pada maqashid yang bernuansa ‘protection’
(penja­gaan) dan preservation (‘pelestarian’). Menurut
mereka, penggunaan metode kontemporer ini akan
mendorong isu ‘pengembangan sumber daya manu-
sia’ sebagai salah satu tema bagi kemaslahatan publik
masa kini. Konsekuensi dari penggunaan metode kon-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 75
temporer ini, realisasi maqashid dapat diukur secara
empiris melalui metode ilmiah dan merujuk pada ‘tar-
get-target pembangunan SDM versi PBB atau lembaga
lain yang kredibel.
Ijtihad dalam kerangka berfikir maqashidi tentu
sah-sah saja. Hanya saja, rumusannya juga harus ber-
dasarkan pada kajian induktif terhadap nas al-Quran
dan hadits Rasulullah saw. Tidak bisa kerangka dalam
ijtihad maqashidi hanya berdasarkan pada pemikiran
manusia secara subyektif lepas dari kajian induk-
tif terhadap nas, apalagi sekadar mengacu dari pro-
duk Barat. Sikap seperti ini bukan mengembangkan
kerangka berfikir maqashidi, namun justru menghan-
curkan ilmu maqashidi itu sendiri.
Kerangka berfikir maqashidi menjadi kerangka
berfikir yang liberal. Pada akhirnya, reformasi atas
kerangka berfikir maqashidi sekadar pembaratan ilmu-
ilmu keislaman. Ijtihad maqashidi menjadi gambar­an
atas inferioritas terhadap peradaban Barat. Tidak he­
ran jika kemudian kerangka berfikir ijtihad maqashidi
tersebut sangat rancu dan acapkali bertentangan den-
gan nas.
Terma maqashidi seperti yang mereka dengung-
kan tersebut, selain mengacaukan kerangka berfikir
maqashidi, juga akan membuat bingung masyarakat.
Ia dapat menimbulkan kegamangan berfikir terutama
bagi mereka yang tidak akrab dengan ilmu maqashid.
Terminologi yang dipakai adalah terminologi ilmu ma-
76 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
qashid, namun maknanya bukan dari maqashid. Mak-
na telah dirubah sesuai dengan pemikiran Barat.
Dari model maqashid terbaratkan ini, tidak heran
jika kemudian menghasilkan kota Islami yang sangat
kontroversi. Kota islami yang diklaim menggunakan
kerangka maqashid, namun tidak menggunakan vari-
able terpenting dalam ilmu maqashid, yaitu melin­
dungi agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan sesuai
dengan standar yang telah diletakkan para ulama ter-
dahulu. Pada akhirnya, kerangka maqashid sarat de­
ngan nilai keduniawiyahan dan jauh dari nilai ukhrawi.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 77


78 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Antara Maqashid Syariah dan MDGS

Millennium Development Goals (MDGs) atau da-


lam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Tujuan
Pembangunan Milenium”, adalah sebuah paradigma
pembangunan global yang dideklarasikan Konferensi
Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Pers-
erikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bu-
lan September 2000. Semua negara yang hadir dalam
pertemuan tersebut berkomitmen untuk menginte-
grasikan MDGS sebagai bagian dari program pemban-
gunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian
terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang
pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perda-
maian, keamanan, dan pembangunan.
Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota
PBB mengenai sebuah paket arah pembangunan glob-
al yang dirumuskan dalam beberapa tujuan yaitu:
1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan,
2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua,
3. Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pember-
dayaan Perempuan,
4. Menurunkan Angka Kematian Anak,
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu,
6. Memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit
Menular Lainnya,

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 79


7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan
8. Membangun Kemitraan Global untuk Pemban-
gunan
(https://siregarsiti.wordpress.com/2014/10/03/
apa-itu-mdgs-2015/)
Jika kita tinjau 8 butir kesepakatan di atas,
poin-poinnya sangat manusiawi dan membawa masla-
hat bagi manusia. Ia merupakan nilai universal yang
patut diperjuangkan bagi setiap bangsa. Tentu de­ngan
harapan untuk mendapatkan pola kehidupan yang
lebih baik. Ia adalah etika kemanusiaan, yang harus di-
junjung tinggi. Ia dianggap sebagai nilai luhur, sehing-
ga sebagian kalangan menganggapnya sangat “islami”.
Karena nilai kemanusiaan dan etika yang luhur
ini, barangkali yang menjadikan sebagian intelektual
muslim menjadikannya sebagai rujukan dalam rumu-
san kerangka maqashid syariah. Delapan poin pen­ting
itu, menjadi legitimasi untuk “merombak” makna da-
lam kerangka maqashid syariah. Mereka pun tak se-
gan-segan untuk menjadikan delapan poin itu sebagai
bagian dari variable kota Islami dan dianggap bagian
penting dalam kerangka maqashid syariat.
Benar bahwa sebagian besar, masuk dalam
ranah ilmu maqashid, tapi sifatnya sangat kecil. selain
itu, delapan poin itu bukan segalanya dan sangat tidak
mencakup jika dibandingkan dengan ilmu maqashid.
Disamping juga ada poin yang problematik, yaitu ter-

80 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


kait dengan kesetaraan gender. Lihatlah misalnya me-
lindungi agama, sama sekali tidak masuk dari delapan
poin di atas. Melindungi akal, jiwa, harta dan kehor-
matan, sifatnya juga sangat parsial dan tidak kompre-
hensif.
Ini sangat dimaklumi, karena ia sekadar piagam
atas kesepakatan bersama. Poin-poin kemanusiaan si-
fatnya praksis dan sederhana. Ia adalah nilai universal,
yang menjadi kebutuhan bagi setiap manusia.
Tentu beda jika kita melihat dari kerangka
ilmu maqashid. Cakupannya sangat luas dan sangat
komperhensif. Ia mencakup keinginan untuk menca-
pai kebahagiaan manusia, tidak hanya di dunia na-
mun juga di akhirat. Maka, agama menempati urutan
nomor satu. Melindungi agama, maksudnya adalah
melindungi agar agama tetap eksis, dan juga meng­
hindari agar agama tidak sirna. Berbagai kegiatan yang
sifatnya menopang akan eksistensi agama akan selalu
digalakkan. Agama bukan dianggap sebagai persoalan
sampingan dan personal, namun ia adalah kebutuhan
mendasar bagi manusia. Agama sebagai syarat mut-
lak akan diterima atau tidaknya amal manusia kelak di
akhirat.
Perbedaan lain adalah dari sisi episteme. Ma-
qasid syariah murni dari kajian induktif terhadap nas
al-Quran dan sunnah nabi Muhammad saw. Ia beras-
al dari aturan Tuhan demi maslahat manusia. Perlin­
dungan agama, jiwa, akal, harta dan juga kehormatan,
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 81
tidak akan pernah lepas dari nuansa ketuhanan. Se-
mentara itu, MDGS berasal dari keprihatinan bang-
sa-bangsa akibat krisis sosial di dunia.
Dari sana, maka sangat tidak tepat jika kemudi-
an kerangka berfikir dalam ilmu maqashid menggu-
nakan timbangan dan standar dari deklarasi MDGs.
Jika MDGs ini yang dijadikan sebagai kerangka maqa-
shid, maka akan banyak lagi ketentuan hukum syariat
yang terlewatkan dan terabaikan. Padahal ia banyak
mengandung maslahat dan kebahagiaan bagi manu-
sia. Agama yang menjadi kunci kebahagiaan dunia
akhirat, akan ditanggalkan. Barangkali dengan standar
ini, maka kota Islami sama sekali tidak memasukkan
agama sebagai variabel penelitian.

82 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Benarkah Ilmu Maqashid Membuat
Hukum Syariah Jadi Fleksibel?

Dalam sebuah diskusi, ada yang menyatakan


bahwa “Dengan ilmu makashid syariah ini terkesan
syariat Islam itu jadi fleksibel. Terutama jika memba-
has hukum pidana (qisos, rajam dll). Juga ketika mem-
bahas masalah bid’ah serta khilafiyah”.
Benarkah demikian?
Maqashid syariah berpijak pada maslahat. Ha-
nya saja, maslahat di sini bukan maslahat tanpa ada
standar yang jelas dan hanya berdasarkan dari kepen­
tingan individu saja. Maslahat di sini, berpijak dari
hasil kajian induktif terhadap nas al-Quran dan hadis
Rasulullah saw.
Imam Syathibi membagi maslahat menjadi tiga,
yaitu dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Dharuriyat
adalah maslahat yang terkait dengan kehidupan pri­
mer umat manusia. Jika ia tidak terpenuhi, maka akan
terjadi ketimpangan bagi dirinya baik di dunia maupun
di akhirat. Untuk maslahat dharuriyat ini, Imam Syathi-
bi membagi menjadi lima, yaitu menjaga agama, jiwa,
harta, akal dan kehormatan atau keturunan.1
Hajiyat adalah maslahat yang terkait dengan ke-
1
Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Gharnathi Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat,
Dar Ibnu Afan, jilid 2, hal. 17

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 83


butuhan manusia, di mana jika ia tidak dilaksanakan
maka akan memberatkan bagi dirinya. Hajiyat ini lebih
kepada sifat rahmat Allah kepada manusia agar dapat
melaksanakan berbagai macam perintah-Nya tanpa
beban yang melebihi kemampuannya. Dalam istilah
ilmu ushul, kebutuhan ini disebut dengan raful haraj.
Contoh: ketika safar, agar tidak ada masyaqqah dan
kesempitan bagi hamba, maka seorang hamba diberi-
kan dispensasi dengan melaksanakan shalat jama’ dan
qashar. Bagi orang tua yang sudah tidak bisa berpuasa,
maka ia diperkenankan untuk tidak puasa dan cukup
membayar fidyah saja. Maslahat hajiat ini di antaranya
berlandaskan dari firman Allah:
﴾٧٨﴿ ‫كم ِف ال ِّدي ِن ِم ْن َحَرٍج – احلج‬
ْ ‫َوَما َج َع َل َعلَْي‬
Artinya: ”Dia sekali-kali tidak menjadikan un-
tuk kamu dalam agama suatu kesempitan”, (Qs al-hajj
ayat: 78)
Tahsiniyat adalah kebutuhan tambahan, di mana
jika tidak ia laksanakan, maka tidak akan mempen-
garuhi eksistensi dia di dunia. Tahsiniyat sekadar kebu-
tuhan tambahan untuk memberikan penyempurnaan
terhadap kebutuhan lainnya, baik yang terkait dengan
dharuriyat atau tahsiniyat. Contoh, shalat yang wajib
adalah shalat lima waktu. Namun ia diberi keleluasaan
untuk memberikan tambahan shalat sunnah. Puasa
yang wajib adalah puasa ramadhan, namun ia diberi
keleluasaan untuk melaksanakan berbagai puasa sun-

84 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


nah. Jika ia tidak melakukan shalat sunnah, atau tidak
melaksanakan puasa sunnah, maka ia tidak mendapa-
tkan dosa. Ibadah yang telah dilakukan tetap sempur-
na. Jadi, shalat sunnah dan puasa sunnah ini masuk
dalam tahsiniyat terkait dengan dharuriyat.
Bagaimana dengan qishash, hudud dan rajam?
Apakah ia fleksibel? Seperti yang dipertanyakan di
atas? Jawabannya sebagai berkut:
Kalangan liberal sering menyatakan bahwa huku-
man hudud, qishash atau rajam, sesungguhnya sudah
tidak layak diterapkan di zaman kontemporer. Ia se­
suai dengan maslahat di zaman Rasulullah saw, mengi­
ngat penjara belum membudaya. Sementara itu, saat
ini penjara sudah sangat membudaya sehingga ben-
tuk-bentuk hukuman tadi tidak relevan lagi.
Sebagian orang berpendapat bahwa hukuman
hudud, qishash dan rajam bertentangan dengan prin-
sip hak asasi manusia. Ia adalah hukuman yang sa­
ngat kejam dan hanya cocok di zaman badui pada era
Nabi Muhammad dan sahabat saja. Mereka ini sering
menggunakan dalil Umar yang pernah tidak menghu-
kum potong tangan bagi pencuri.
Benarkah demikian? Mari kita lihat. Hukuman
hudud, qishash dan rajam telah termaktub dalam
al-Quran secara jelas. Hukuman tersebut ditujukan un-
tuk menjaga harta, jiwa atau kehormatan seseorang.
Hukuman potong tangan bagi pencuri, untuk

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 85


menjaga harta agar harta yang milik seseorang tidak
mudah diganggu. Ini sesuai dengan Firman Allah beri-
kut:
‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِديـَُه َما َجَزاءً ِبَا َك َسبَا نَ َك ًال‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
‫َصلَ َح فَِإ َّن‬ ِ ِ ِ ِ ‫الل ع ِزيز ح ِكيم فَمن َت‬ َِّ ‫ِمن‬
ْ ‫ب من بـَْعد ظُْلمه َوأ‬ َ َ ٌ َ ٌ َ َُّ ‫الل ۗ َو‬ َّ
ِ
‫ور َّرح ٌيم‬ َّ ِ ِ
ٌ ‫اللَ َغ ُف‬
َّ ‫وب َعلَْيه ۗ إن‬ ُ ُ‫اللَ يـَت‬
َّ
Artinya: “Lelaki yang mencuri dan wanita yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pem-
balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pen-
curi-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan
memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah meneri-
ma taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Ma’idah: 38-39)
Juga hadits Rasulullah saw:
‫روي انه ىف زمن النيب صلى هللا عليه وسلم اهتمت امرأة‬
‫من نيب خمزوم ابلسرقة فلما ثبتت عليها اجلرمية امر النيب بقطع‬
‫ وقد فزع بنو خمزوم هلذا العار الذى سيناهلم من تطبيق‬.‫يدها‬
‫ فقصدوا أسامة بن زيد‬,‫حكم السرقة على امرأة من اشرافهم‬
‫الذى كان مقراب من النيب صلى هللا عليه وسلم ليشفع هلم بشأن‬
: ‫ فكان جواب النيب‬,‫هذه املرأة فلكم النيب ىف العفو عنها‬
‫(اتشفع ىف حد من حدود هللا) مث دعا املسلمني وخطبهم قائال‬
‫ (أيها الناس إمنا أهلك من كان قبلكم اهنم كانوا يقيمون احلد‬:
86 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
‫ والذي نفسى بيده لو ان فاطمة‬,‫على الوضيع ويرتكون الشريف‬
‫(اي بنت النيب) فعلت ذلك لقطعت يدها (رواه البخارى‬
Artinya: “Diceritakan bahwa di zaman Nabi SAW,
seorang wanita dari Bani Makhzum dituduh mencuri.
Ketika terbukti bahwa ia telah melakukan pencurian,
Rasulullah SAW memerintahkan agar ia segera dihu-
kum potong tangan. Orang-orang Bani Makhzum ter-
kejut mendengar berita memalukan yang akan menim-
pa salah seorang wanita keturunan terhormat mereka
karena pasti akan dipotong tangannya. Lalu mereka
menghubungi sahabat Utsamah ibnu Zaid yang men-
jadi kesayangan Nabi, agar ia mau memintakan grasi
dari Rasulullah terhadap wanita kabilahnya. Kemudian
Utsamah memohon grasi untuk wanita tersebut, dan
ternyata jawaban beliau: “Apakah kamu meminta gra-
si terhadap salah satu hukuman had Allah?”. Kemudi-
an Nabi memanggil semua kaum muslimin lalu beli-
au berpidato : “Wahai umat manusia, sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian telah hancur, karena mer-
eka menerapkan hukuman had terhadap orang yang
lemah, sedangkan yang mulia, mereka biarkan saja.
Demi Dzat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya,
seandainya Fathimah (anak Nabi) mencuri, maka pasti
akan ku potong tangannya”(HR. Bukhari).
Jadi potong tangan bukan tujuan. Ia adalah sa-
rana untuk menjaga harta. Menurut ar-Raisuni bah-
wa hukuman potong tangan sesungguhnya hukuman

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 87


yang paling simpel dan ekonomis. Ia tidak membutuh-
kan banyak waktu dan dana yang besar. Namun efek­
nya sangat nyata. Ia mengandung unsur jera baik bagi
pelaku maupun bagi orang lain. Para pelaku kriminal
menjadi berpikir dua kali untuk melakukan tindakan
pencurian.
Beda dengan hukuman penjara, yang membu-
tuhkan dana besar, sementara tidak menimbulkan
efek jera. Bahkan banyak yang keluar penjara dalam
melakukan tindakan kriminal lebih profesional. Pen-
jara menjadi tempat efektif bagi dia untuk menimba
ilmu dari para penjahat kakap lainnya.
Mengapa Umar bin Khatah ra. pernah tidak men-
ghukum potong tangan bagi pencuri? Jawab­nya ada-
lah bahwa pencuri tersebut belum memenuhi syarat.
Oleh karena itu, ia belum bisa dikenai hukuman potong
tangan. Jadi tidak semua pencuri langsung dijatuhi hu-
kuman potong tangan. Jika salah dalam memberikan
hukuman, tangan yang sudah terlanjur lepas tidak bisa
disambung lagi.
Syarat hukuman potong tangan cukup ketat,
baik terkait dengan kondisi sosial, prilaku pencuri dan
barang yang dicuri. Pelaku pencurian bukan karena
terpaksa untuk menyambung hidup. Pencuri itu me-
mang benar-benar pelaku kriminal. Ia adalah sampah
masyarakat yang layak untuk mendapatkan hukuman.
Barang yang dicuri harus sudah sampai pada

88 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


takaran tertentu. Jadi tidak bisa orang mencuri sebi-
ji pisang lalu tangannya dipotong. Satu saja syarat ti-
dak terpenuhi, maka hukuman potong tangan ditang-
guhkan. Bisa saja ia tetap dihukum, namun sifatnya
hukuman ta’zir yang ukurannya ditentukan oleh pe­
ngadilan. Ini artinya, Umar tidak menggugurkan nas,
namun menerapkan hukuman sesuai dengan perintah
nas. Ini terkait dengan kaedah ushul:
“‫”درء احلدود ابلشبهات‬
“Hukuman diangkat karena adanya syubuhat
(Sesuatu yang meragukan)”
kaedah ini diambil dari hadis riwayat Tirmidzi
yang berbunyi:
‫ادرؤوا احلدود عن املسلمني ما استطعتم‬
Sedapat mungkin kalian tidak menerapkan
hudud bagi orang muslim.
Atau hadis lain dalam kitab Kanzul Ummal:
‫ادرؤوا احلدود ابلشبهات‬
Angkatlah hudud karena ada syubuhat (sesuatu
yang meragukan)”
Ini juga berlaku pada hukuman qishash. Se­
seorang membunuh, tidak bisa langsung dihukum qi-
shash. Harus dilihat terlebih dahulu latar belakangnya.
Apakah ia membunuh karena sengaja, apakah karena
terpaksa, atau membunuh karena salah? Jadi, syarat-
syarat tadi harus terpenuhi sebelum hukuman qishash

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 89


diterapkan.
Hukuman Qishash sendiri, sesungguhnya un-
tuk menjaga jiwa. Dengan hukuman yang sepadan ini,
maka seseorang tidak akan mudah untuk membunuh
orang lain. Menjaga jiwa sendiri merupakan salah satu
dari maqashid dharuriyat yang terkait dengan hifzun-
nafs. Firman Allah:
ِ ‫ُول األَلْب‬ ِ
‫اب لَ َعلَّ ُك ْم تـَتـَُّقو َن‬َ ْ ِ ‫اص َحيَاةٌ َيْ أ‬
ِ ‫ص‬َ ‫َولَ ُك ْم ِف الْق‬
“Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsun-
gan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 179).
‫اص ِف الْ َقتـْلَى‬ ِ ِ ِ َّ
ُ ‫ص‬ َ ‫ب َعلَْي ُك ُم الْق‬ َ ‫ين َآمنُواْ ُكت‬ َ ‫َي أَيـَُّها الذ‬
ِ ‫الُّر ِب ْل ِر والْعب ُد ِبلْعب ِد واألُنثَى ِبألُنثَى فَمن ع ِفي لَه ِمن أ‬
‫َخ ِيه‬ ْ ُ َ ُ َْ َ َْ َْ َ ُّ ُْ
ِ ِ‫ان َذل‬ ِ
‫يف ِّمن‬
ٌ ‫ك َتْف‬ َ ٍ ‫َش ْيءٌ فَاتِّبَاعٌ ِبلْ َم ْعُروف َوأ ََداء إِلَْي ِه بِِ ْح َس‬
‫ َولَ ُك ْم ِف‬. ‫اب أَلِ ٌيم‬ٌ ‫ك فـَلَهُ َع َذ‬
ِ
َ ‫َّربِّ ُك ْم َوَر ْحَةٌ فَ َم ِن ْاعتَ َدى بـَْع َد َذل‬
ِ ‫ُول األَلْب‬
‫اب لَ َعلَّ ُك ْم تـَتـَُّقو َن‬ ِ
َ ْ ِ ‫اص َحيَاةٌ َيْ أ‬ ِ ‫ص‬ َ ‫الْق‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, qi-
sas diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merde-
ka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka, barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengi-
kuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu ada-
lah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat.
90 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qisas itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
(QS. al-Baqarah: 178-179).
Sedangkan dalil dari as-Sunnah di antaranya ada-
lah hadits Abu Hurairah Ra. Rasulullah saw bersabda:
‫يل فـَُه َو ِبَِْي النَّظََريْ ِن إِ َّما أَ ْن يـُْف َدى َوإِ َّما أَ ْن‬ِ ِ
ٌ ‫َم ْن قُت َل لَهُ قَت‬
‫يـُْقتَل‬
Artinya: “Barangsiapa yang menjadi keluarga
korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa
memilih diyat dan bisa juga dibunuh (qisas).” (HR.
al-Jama’ah).
Rajam atau cambuk adalah hukuman bagi pe­
zina muhsan yang tujuannya adalah untuk menjaga
keturunan atau kehormatan. Dalam istilah ilmu ma-
qashid ia masuk dalam dharuriyatul khamsah terkait
dengan hifz annasl atau hifz al irdh. Dilaksanakannya
hukuman rajam atau cambuk agar perzinaan tidak me-
raja lela. Perzinaan merupakan penyakit sosial yang
sangat berbahaya dan harus dihindari. Ia bisa merusak
nasab (keturunan), menghancurkan keluarga, meru-
sak nama baik seseorang dan merusak kehormatan.
Islam sangat menjaga kehormatan seseorang.
Islam memberikan hukuman yang sangat tegas terkait
mereka yang melanggar kehormatan. Oleh karena itu,
Islam menjatuhkan hukuman berat bagi pezina. Bagi
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 91
pezina muhshan, yaitu pezina yang sudah berkeluarga
hukumannya adalah di rajam sampai mati. Sementara
bagi pezina ghairu muhsan, pezina yang belum berkel-
uarga hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus
kali.
Terkait perzinaan tersebut, dalil yang digunakan
sebagai berikut:
ِ َ‫الزَن ۖ إِنَّه َكا َن ف‬
‫اح َشةً َو َساءَ َسبِ ًيل‬ ُ ِّ ‫َوَل تـَْقَربُوا‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesung-
guhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk”. (QS: al-Isrâ:32)
ٰ َِّ ‫والَّ ِذين َل ي ْدعو َن مع‬
‫س‬ َ ‫الل إِ َلًا‬
َ ‫آخَر َوَل يـَْقتـُلُو َن الِنـَّْف‬ ََ ُ َ َ َ
‫ك يـَْل َق أَ َث ًما‬ ٰ
َ ‫اللُ إَِّل ِب ْلَ ّق َوَل يـَْزنُو َن ۚ َوَم ْن يـَْف َع ْل َذل‬
ِ َّ ‫الَِّت َحَّرَم‬
ً ‫اب يـَْوَم الْ ِقيَ َام ِة َوَيْلُ ْد فِ ِيه ُم َه‬
‫ان‬ ُ ‫ف لَهُ الْ َع َذ‬
ْ ‫اع‬ َ‫ض‬
َ ُ‫ي‬
“Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah
yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan
(alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa
yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gan-
dakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan
kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina”. (QS.
al-Furqân: 68-69)
Dalam hadits, Nabi juga mengharamkan zina
seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ûd
Ra., beliau berkata:

92 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


‫ب‬ِ ْ‫الذن‬
َّ ‫َي‬ُّ ‫ أ‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َِّ ‫سأَلْت رسوَل‬
َ ‫الل‬ ُْ َ ُ َ
ِ ِ ِ
‫َي ؟‬
ُّ ‫ثَّ أ‬:
ُ‫ت‬ ُ ‫ قـُْل‬، ‫ك‬ َ ‫ أَ ْن َْت َع َل َّلل نداً َوُه َو َخلَ َق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫أ َْعظَ ُم ؟‬
‫َي ؟‬ُّ ‫ثَّ أ‬:
ُ‫ت‬ ُ ‫ قـُْل‬، ‫ك‬ َ ‫ أَ ْن تـَْقتُ َل َولَ َد َك َخ ْشيَةَ أَ ْن يَطْ َع َم َم َع‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
‫ أَ ْن تـَُزِانَ َحلِيـْلَةَ َجا ِرَك‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
“Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallal-
lahu ‘alaihi wa sallam: Dosa apakah yang paling be-
sar? Beliau menjawab: Engkau menjadikan tandingan
atau sekutu bagi Allah , padahal Allah Azza wa Jalla
telah menciptakanmu. Aku bertanya lagi : “Kemudian
apa?” Beliau menjawab: Membunuh anakmu karena
takut dia akan makan bersamamu.” Aku bertanya lagi
: Kemudian apa ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab lagi: Kamu berzina dengan istri tetang-
gamu”. (HR. Bukhari)
Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelas-
kan dalam khuthbahnya :
ُ‫إِ َّن هللاَ أَنـَْزَل َعلَى نَبِيِّ ِه الْ ُق ْرآ َن َوَكا َن فِْي َما أُنْ ِزَل َعلَْي ِه آيَة‬
‫هللا صلى هللا‬ ِ ‫الرج ِم فـ َقرأْ َنها ووعيـناها وع َق ْلناها ورجم رسو ُل‬
ْ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َْ َ َ َ َ َ َ ْ َّ
ِ ‫ال ِبلن‬
‫َّاس َزَما ٌن أَ ْن‬ َ َ‫َخ َشى إِ ْن ط‬ ْ ‫عليه وسلم َوَر َجْنَا بـَْع َدهُ َو أ‬
‫ض ٍة أَنـَْزَلَا‬ ِ ِ ‫اب هللا فـي‬
َ ْ‫ضلُّ ْوا بِتـَْرك فَ ِري‬ ََ
ِ َ‫الر ْجم ِف كِت‬ ِ
ْ َ َّ ‫ الَ َن ُد‬: ‫يـَُق ْولُْوا‬
ِ ِ ‫الرجم ح ٌّق َثبِت ِف كِت‬
‫ص َن‬
َ ‫َح‬ ْ ‫اب هللا َعلَى َم ْن َزَن إِ َذا أ‬ َ ْ ٌ ِ
َ َ ْ َّ ‫هللاُ َو ِإ َّن‬
‫الَبَل أ َْو ا ِإل ْعِ َتاف‬ ْ ‫ت الْبـَيِّنَةُ أ َْو َكا َن‬ ِ ‫إِ َذا قَام‬.
َ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menurun­
kan al-Qur`an kepada Nabi-Nya dan diantara yang di-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 93


turunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami te­
lah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan
hukuman rajam dan kamipun telah melaksanakan­nya
setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah ber-
lalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan:
“Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam ki-
tab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran mening-
galkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turun­
kan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada
dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila
telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbuk-
ti de­ngan persaksian atau kehamilan atau pengakuan
sendiri”. (HR. Bukhari)
Sedangkan lafadz ayat rajam diriwayatkan dalam
Sunan Ibnu Mâjah berbunyi:
ِ ‫والشَّيخ والشَّيخةُ إِ َذا زنـيا فَار ُجو ُها الْبـته نَ َكالً ِمن‬
‫هللا َو‬ َ ْ ََ َ ُْ ْ ََ َ َ ْ َ ُ ْ َ
‫هللاُ َع ِزيـٌْز َح ِكْي ٌم‬
Artinya: “Syaikh lelaki dan perempuan apabila
keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai
balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah
maha perkasa lagi maha bijaksana (HR. Ibnu Majah)
‫اح ٍد ِمنـْ ُه َما ِمائَةَ َج ْل َد ٍة‬
ِ ‫الزِان فَاجلِ ُدوا ُك َّل و‬
َ ْ َّ ‫الزانِيَةُ َو‬
َّ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seo-
rang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)”. (QS.
An-Nur:2)
94 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Hanya saja, tidak setiap orang yang diisukan
zina langsung bisa dihukum. Syaratnya sangat ketat
supaya pengadilan tidak salah dalam menerapkan hu-
kuman. Jika masih ada suatu yang meragukan, maka
hukuman harus ditangguhkan. Di antaranya syaratnya
adalah adanya 4 orang saksi yang benar-benar meli-
hat pelaku berzina. Kurang satu saksi saja, ia bisa lepas
dari jeratan hukuman rajam. Atau ada 4 saksi, namun
yang satu tidak pasti melihatnya, maka ia bisa lepas
dari hukuman rajam.
Jadi, pelepasan hukuman baik bagi pencuri, pem-
bunuh ataupun pezina, bukan karena ilmu maqashid.
Ilmu ini tidak mentolerir hukuman bagi semua tindak
kriminal yang telah menyalahi hukum syariat. Hanya
saja, semua hukuman dalam Islam tidak bisa dite­
rapkan begitu saja. Ada syarat yang harus dipenuhi.
Manakala pelaku kriminal tidak memenuhi syarat yang
telah ditentukan oleh syariat, maka sesorang tadi bisa
lepas dari jerat hukum.
Untuk kasus khilafiyah, memang kita harus to­
leran. Persoalan khilafiyah muncul dari sistem istidlal
yang berbeda, baik dengan ilmu maqashid maupun
ilmu semantik. Sikap toleran terkait khilaffiyah sudah
diajarkan sejak zaman sahabat. Jadi, toleransi dengan
persoalan khilafiyah itu bukan karena disebabkan oleh
ilmu maqashid.
Dari paparan singkat di atas, jelas kiranya bah-
wa ilmu maqashid sama sekali tidak membuat sebuah
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 95
hukuman hilang begitu saja, atau ilmu maqashid tidak
membuat hukuman rajam, qishash atau pencurian
diganti dengan penjara. Pengangkatan hukuman bagi
pelaku kriminal, lebih terkait karena syarat-syarat yang
belum terpenuhi. Jika semua syarat sudah terpenuhi
dan bukti-bukti sudah jelas, maka hukuman qishash,
hudud dan rajam tetap harus dilaksanakan.
Bagaimana dengan bid’ah? Apakah ia jadi fleksi-
bel? Tentu saja tidak. Bahkan Imam Syathibi, yang
disebut sebagai bapaknya ilmu maqashid mengarang
buku yang berjudul “il-I’tisham”. Buku ini member-
ikan penjelasan secara gamblang terkait bid’ah serta
perbedaan antara bidah dengan maslahat mursalah.
Hanya saja kita harus jeli, manakah persoalan yang be-
nar-benar bidah, mana persoalan yang terkait dengan
maslahat mursalah dan mana persoalan fikih yang si-
fatnya khilafiyah akibat sistem istidlal yang berbeda.
Jadi, tidak semua yang berbeda dengan kita itu bid’ah.
Bisa saja itu akibat perbedaan dalam sistem istidlal
atas suatu nas.

96 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Relevansi Makna dan Spirit Kebenaran
Dalam Ilmu Maqashid

Sebelumnya telah kita sampaikan mengenai per-


bedaan antara semantik dan maqashid. Kemudian juga
telah kita bahas antara ilmu ushul fikih secara umum
dan sistem pembacaan teks kontemporer, seperti her-
meneutika. Lalu saya sampaikan mengenai kesalahan
beberapa tokoh yang menganggap Dr. Yusuf Qardhawi
menggunakan sistem pembacaan teks hermeneutika
karena ada irisan yang sama. Lalu pendapat ini saya
tolak dengan berbagai argument di atas.
Sekarang kita akan menginjak pada pembahasan
terkait dengan spirit dan makna kebenaran serta rele-
vansinya makna dengan maqashid syariah. Maqashid
syariat mengkaji tentang makna, substansi dan spirit
hukum Allah. Makna dan spirit sendiri, kaitannya den-
gan maqashid syariah dapat dibagi menjadi empat se-
bagaimana berikut ini:
1. Sipirt Kebenaran Hakiki (makna haqiqiy)
2. Sipirit Kebenaran Tradisi (Makna ‘urfiyyah)
3. Spirit Kebenaran Praduga (Makna wahmiyyah)
4. Spirit Kebenaran Khayalan ( Makna khayaliyyah)
Spirit Haiki
Spirit hakiki atau makna/ ma’aniy haqiqiyah ada-
lah suatu perbuatan yang menurut logika manusia
mengandung manfaat atau mudarat sehingga ia akan

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 97


dianggap mempunyai sisi positif atau negatif, baik atau
buruk. Jika ada sesuatu tadi ternyata me­ngandung
manfaat dan dapat memberikan faedah bagi hamba,
seseorang cenderung akan mengatakan apa adanya
bahwa ia memang bermanfaat dan mengandung man-
faat bagi hamba. Manusia secara rasional, akan memi-
lih dan melakukan berbagai perbuatan dan tindakan
yang secara faktual memberikan manfaat dan faedah
bagi dirinya.
Sepirit atas makna hakikiyah sifatnya abstrak dan
terkait dengan sifat baik manusia, seperti kejujuran,
kedermawanan, keadilan dan lain sebagainya. Sifat-si-
fat tadi merupakan perbuatan terpuji yang diakui oleh
akal manusia. Segala perbuatan terpuji, mengandung
maslahat dan kebaikan yang juga kembali kepada ham-
ba. Secara rasional, karena ia merupakan perbuatan
baik dan terpuji, maka pada umumnya akal manusia
akan mendorong dan menganjurkan orang lain untuk
melakukan perbuatan tersebut.
Memang dalam realitanya, kita seringkali melihat
seseorang yang menyalahi dan tidak melakukan ber­
bagai perbuatan terpuji tersebut, meski dalam diri­nya,
sesungguhnya memberikan pengakuan akan man-
faat dan kebaikan. Di masyarakat, kita masih melihat
para pencuri, koruptor, pelaku kriminal, penipuan dan
berbagai perbuatan buruk lainnya. Hal itu bukan kare-
na akal manusia menganggap bahwa perbuatan baik
tadi tidak bermanfaat, namun karena manusia kalah
98 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
dengan hawa nafsunya. Jika ditanya kepada hati nu-
raninya atas perbuatan tidak terpuji yang ia lakukan,
ia tetap akan mengatakan bahwa perbuatan buruk­
nya tersebut tidak terpuji. Akal dan logikanya menolak
atas perbuatan buruk yang ia lakukan. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah saw berikut ini:
ٍ ‫ث مَّر‬ ِ ‫ك واستـ ْف‬ ِ
‫ات‬ َ َ ‫ك ثََل‬ َ ‫ت نـَْف َس‬ َ ْ َ َ َ‫استـَْفت قـَْلب‬ ْ ُ‫صة‬ َ ِ‫َي َواب‬
‫س َوتـََرَّد َد ِف‬
ِ ‫اك ِف النـَّْف‬ ِْ ‫ت إِلَْي ِه النـَّْفس و‬
َ ‫ال ْثُ َما َح‬ ْ َّ‫الِْ ُّب َما اطْ َمأَن‬
َُ
‫َّاس َوأَفـْتـَْو َك‬
ُ ‫اك الن‬َ َ‫الص ْد ِر َوإِ ْن أَفـْت‬
َّ
Artinya: “Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada
hatimu (3x), karena kebaikan adalah yang membuat
tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang mem-
buat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walau-
pun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan
mereka memberimu fatwa” (HR. Ahmad)
Spirit atau sifat baik yang ada pada diri manusia,
sesungguhnya bersifat umum dan universal. Semua
manusia dari berbagai agama, memberikan penga-
kuan atas sifat baik tersebut. Tidak ada perbedaan
antar ras, suku, bangsa dan lain sebagainya. Jadi, sifat
baik yang ada pada diri manusia, sudah menjadi kese-
pakatan tak tertulis pada semua umat manusia.
Spirit Kebenaran Tradisi (Makna Urfiyyah)
Kedua, makna dan spirit terkait dengan tra-
disi (makna urfiyyah) yaitu suatu perbuatan, dimana
baik atau buruknya suatu perbuatan tersebut dinilai

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 99


melalui kacamata tradisi dan kebiasaan yang berlaku
dalam suatu masyarakat. Jika suatu masyarakat me­
nganggap suatu perbuatan itu baik, maka perbuatan
tadi menjadi baik dan dilaksanakan oleh masyarakat
tersebut. Sebaliknya jika suatu perbuatan dianggap
buruk oleh masyarakat, maka perbuatan tadi akan
ditinggalkan. Jadi, yang menentukan nilai baik buruk
suatu kegiatan adalah kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.
Contoh, di masyarakat jawa, pada bulan Syu-
ra, sering dilaksanakan budaya nyadran, yaitu makan
bersama yang umummya dilaksanakan di pekuburan
leluhur. Perbuatan tersebut, oleh suatu masyarakat
tertentu dianggap baik sehingga akan selalu dilak-
sanakan pada bulan Syura. Jika satu atau dua orang
dalam masyarakat tersebut tidak ikut melaksanakan,
biasanya akan dianggap aneh dan asing. Hal ini mengi­
ngat nyadran dianggap baik oleh suatu masyarakat.
Menyikapi spirit tradisi ini, dalam ushul fikih su-
dah ada standarnya, yaitu jika suatu tradisi tidak ber-
tentangan dengan hukum syariat, maka ia boleh di-
jalankan. Sementara jika tradisi bertentangan dengan
hukum syariat, meski ia merupakan warisan leluhur
yang telah dilaksanakan secara turun-temurun, maka
ia harus dihapuskan. Jadi, spirit baik atau buruk suatu
tradisi, tetap harus mempunyai timbangan hukum,
yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi.

100 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Ketiga, Spirit Kebenaran Praduga
Spirit kebenaran praduga (makna wahmiyyah),
yaitu suatu anggapan akan kebenaran sesuatu, namun
hanya berdasarkan pada praduga dan persepsi sendi-
ri saja. Antara satu orang dengan orang lain, bisa jadi
praduga dan persepsi atas sesuatu tersebut berbeda.
Bisa saja seseorang merasa bahwa tidak ada sesuatu,
sementara orang lain merasa ada sesuatu. Karena ia
sifatnya praduga dan sekadar persepsi subyektif, maka
kebenarannya pun tidak dapat dipertanggungjawab-
kan.
Contoh praduga dan persepsi subyektif ini ada-
lah, seperti Anda berjalan di pinggir kuburan pada
malam hari. Waktu itu gelap gulita, disertai dengan hu-
jan dan angin. Di jalan yang ia lalui, beberapa hari se-
belumnya pernah terjadi kecelakaan yang mematikan.
Tatkala Anda menyusuri jalan tersebut, ada perasaan
takut pada diri Anda. Anda merasa ada sesuatu yang
mengintai anda. Anda merasa seakan ada seseorang
yang berjalan di belakang Anda.
Perasaan yang menghampiri Anda tersebut, me­
ru­pakan perasaan sendiri, praduga dan perspektif su-
byektif seseorang terhadap apa yang sedang dialamin-
ya. Dia merasa ada seseorang, padahal realitanya tidak
ada siapapun yang mengintai Anda. Anda percaya ada
hantu, padahal itu sekadar perasaan yang menghantui
Anda. Akibat praduga dan persepsi anda atas sesuatu
yang menyeramkan, Anda pun merasa menjadi takut.
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 101
Dengan praduga Anda, Anda akan memutuskan
untuk melakukan perbuatan sesuatu, seperti berlari,
minta tolong rekan untuk menemani, atau anda akan
berteriak minta tolong. Inilah yang disebut dengan
spirit kebenaran praduga atau ma’ani wahmiyyah itu.
Keempat, Spirit Kebenaran Khayalan ( Makna Khay-
aliyyah)
Spirit kebenaran Khayalan (ma’ani khayaliyyah),
maksudnya adalah gambaran dan abstraksi tertentu
dalam otak manusia. Hanya saja, sesuatu tersebut ti-
dak ada di alam realita. Anda sekadar membayangkan
sesuatu dan mengandai-andai atas suatu perbuatan
tertentu.
Misal, Anda miskin. Lalu Anda berkhayal men-
jadi orang kaya. Anda membayangkan dapat mem-
beli mobil mewah, belanja asesoris yang indah, dan
bertamasya ke luar negeri. Khayalan Anda, akan ber-
implikasi pada ekspresi tertentu pada tubuh Anda.
Anda sendiri dan duduk termenung. Mata Anda me-
nerawang jauh ke angkasa. Namun yang nampak dari
mata Anda, bukan gemerlapnya bintang, tapi abstraksi
emas permata. Mulut Anda juga ikut tersenyum sea­
kan itu adalah kejadian di alam nyata. Abstraksi atas
sesuatu yang ada dalam otak Anda yang dapat mem-
pengaruhi ekspresi dalam tubuh Anda, adalah Spirit
kebenaran Khayalan (ma’ani khayaliyyah).
Dengan empat bagian spirit kebenaran tersebut,

102 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


kiranya di manakah posisi ilmu maqashid? Dari em-
pat macam spirit kebenaran atau abstraksi yang ada
dalam otak manusia tadi, yang akan dikaji oleh ilmu
maqashid adalah bagian satu dan dua saja, yaitu ter-
kait dengan sipirt Kebenaran Hakiki (makna haqiqiy)
dan sipirit Kebenaran Tradisi (Makna ‘urfiyyah) saja.
Sementara bagian tiga dan empat, bukan bagian dari
kajian ilmu maqashid.
Maqashid syariah akan menilai sesuatu baik atau
buruk, hanya saja timbangannya bukan berdasarkan
kepada akal saja, atau tradisi yang berlaku dalam suatu
masyarakat saja, namun lebih dari itu dan yang paling
utama timbangannya adalah nas al-Quran dan sunnah
nabi Muhammad saw. Dalam ilmu maqashid, dan se­
suai dengan paham ahli sunnah wal jamaah bahwa
wahyu yang akan menjadi timbangan dan standar da-
lam menentukan baik buruk suatu perbuatan.
Mengapa bagian kedua dan ketiga, spirit kebe-
naran praduga (makna wahmiyyah) dan spirit kebe-
naran khayalan (makna khayaliyyah) tidak masuk da-
lam kajian maqashid syariah? Karena poin tersebut
sekadar lintasan yang ada dalam abstraksi otak ma-
nusia. Ia tidak mempunyai implikasi hukum dan tidak
dapat dijadikan sebagai timbangan dalam menentukan
kebijakan hukum.1 Bahkan meski suatu masyarakat
percaya dan menganggap suatu kawasan sebagai dae­
1
Abu Hamid Al-Ghazali, Almustasfa Fi Ilmil Ushul, Darul kutub al-Ilmiyyah,
Beirut, hal. 37

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 103


rah yang “angker”, tetap saja kesimpulan masyarakat
tersebut sekadar khayalan atau asumsi belaka. Ia tidak
dapat dijadikan sebagai timbangan untuk menentukan
hukum fikih. Ia sama sekali tidak mempengaruhi ter­
hadap rumusan yang ada dalam ilmu maqashid.
Maqashid syariah merupakan spirit hukum yang
sangat rasional dan tidak bisa berasal dari abstraksi
pikiran manusia yang bersifat hayalan, renungan atau
impian kosong saja. Ia dibangun di atas landasan il-
miah dan studi empirik sehingga kebenarannya bisa
dipertanggungjawabkan. Ia mempunyai sandaran te-
oritis yang bisa diterapkan dalam berbagai kondisi.
Opini atau sekadar abstraksi dalam otak manu-
sia, bisa bersifat personal atau menjadi kesepakatan
bersama dalam suatu masyarakat. Contoh sederhana,
dalam suatu masyarakat telah ada “kesepakatan ber-
sama” yang tak tertulis karena sudah menjadi warisan
turun temurun bahwa di kawasan tertentu merupa-
kan tempat angker dan banyak dihuni makhluk halus.
Meski ini sudah menjadi pengetahuan bersama, kare-
na ia sifatnya khayaliyah semata, maka ia tetap tidak
dapat dijadikan sebagai timbangan dalam menentu-
kan hukum syariat.
Jadi, kajian maqashid syariat terikat dengan ma-
qasid dan spirit dari tujuan dasar diturunkannya wahyu
(al-Quran dan sunnah nabi), bukan pada hal lainnya.
Kajian ilmu maqashid sifatnya sangat rasional dan ber-
sifat empiris. Ia adalah kajian ilmiah yang dilandaskan
104 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
pada fakta dan penelitian. Ia bukan sekadar kha­yalan
dan abstraksi dalam bayangan otak manusia saja. Ia
mempunyai sandaran teoritis yang bisa diterapkan da-
lam berbagai kondisi masyarakat.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 105


106 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Berikut Ini Bukan Kerangka
Berfikir Maqashidi

Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu Fatawanya


menyatakan bahwa salah besar anggapan orang yang
mengira bahwa syariah Islam tidak mengandung aja-
ran terkait maslahat hamba dan nilai kebaikan bagi
hamba. Karena jika kita teliti lebih dalam, kandungan
yang terdapat dalam hukum syariat tujuan utamanya
adalah untuk mencapai kebahagiaan bagi umat manu-
sia baik di dunia maupun di akhirat.1
Dalam kitab Dar’u Ta’arud, Ibnu Taimiyah me-
nam­­­­bah­­kan bahwa kebahagiaan sejati bagi seorang
hamba, manakala hidupnya hanya menjadikan Allah
sebagai tujuan utama. Semua aktivitas dilakukan seka-
dar untuk mencari ridha Allah. Berbagai amal perbua-
tan yang dia lakukan di dunia selalu mengacu terhadap
hukum Allah. Ia selalu mempertimbangkan boleh dan
tidak boleh, layak dan tidak layak dengan mengacu ke-
pada hukum syariat. Ia tidak menjadikan tatanan nilai
dan hukum manusia sebagai pijakan dalam hidupnya.
Allah lah semata-mata Tuhan yang menurunkan kitab
suci sebagai panduannya untuk meninti kehidupan di
dunia.2
1
Taquddin Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah, Majmu Fata-
wa, Tahqiq Anwar Albaz, Darul Wafa, 2005, Jilid 8 hal. 38
2
Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Taimiyah al-Harrani, Dar’u Ta’arudil Aqli Wan-
naqli, Tahkik Muhammad Rashad Salim, Darul Kunuz al-Arabiyyah, Jilid 2 hal.
46

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 107


Jadi hukum syariat yang dibawa oleh Nabi Mu-
hammad saw sesungguhnya untuk kemaslahatan
umat manusia. Jika ada aturan yang bertentangan
dengan maslahat manusia, maka aturan itu jelas ber-
tentangan dengan hukum syariat. Sebaliknya jika ada
aturan yang menjunjung tinggi maslahat manusia di
dunia dan akhirat, maka ia adalah tatanan hukum yang
sesuai dengan syariat.
Di sini yang harus digaris bawahi adalah bahwa
pijakan pemikiran dalam kerangka ilmu maqashid ada-
lah acuan nas syar’i. Kerangkan dalam ilmu maqshid,
tidak bisa membuat rumusan ijtihad yang melampaui
dan melangkahi hukum syariat, meski dengan da-
lih maslahat. Dengan kata lain bahwa maslahat yang
menjadi pijakan utama dalam ijtihad maqashidi ada-
lah maslahat yang menjadikan nas sebagai rumusan
dalam berfikir. Nas menjadi titik awal untuk melaku-
kan ijtihad maqashidi yang dapat dijadikan sebagai
pelita dalam melangkah menuju kehidupan manusia
yang lebih berperadaban.
Jika seseorang beranggapan menggunakan
kerangka berfikir maqashidi dengan menyatakan bah-
wa syariat mengedepankan maslahat hamba, namun
ia menggunakan maslahat kemanusiaan saja, atau
maslahat yang sifatnya sangat subyektif, dan tidak
menggunakan timbangan maslahat sebagaimana yang
diatur dalam hukum syariat, maka kerangka berfikir
yang ia rumuskan telah bertentangan dengan model
108 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
ijtihad maqashidi.
Sikap seperti ini sering kita jumpai di masyarakat.
Banyak pemikir Islam kontemporer yang selalu meng-
gaungkan maslahat dan menganggap bahwa hukum
syariat selalu berputar di sekitar maslahat manusia.
Lalu mereka membuat rumusan sendiri dan mele-
takkan standar subyektif atas maslahat manusia yang
dimaksud. Sebagian dari mereka bahkan menjadikan
tradisi suatu masyarakat tempatan sebagai inti dari
timbangan maslahat. Lalu ia beranggapan bahwa apa
yang ia lakukan sesungguhnya merupakan kerangka
berfikir ijtihad maqashidi.
Ia tidak melihat pada sisi qatiyyat dan zhanni-
yat suatu hukum. Ia beranggapan bahwa qatiyat dan
zhaniyat adalah hasil ijtihad manusia yang bisa beru-
bah sesuai dengan maslahat manusia. Bahkan mereka
menggunakan teori sejarah dan sosio-kultural suatu
masyarakat untnuk menjadi justifikasi atas maslahat
yang dimaksud. Sederhananya, mereka menggunakan
teori hermeneutika untuk menafsirkan teks al-Quran,
namun yang digembar-gemborkan di masyarakat ada-
lah kerangka berfikir maqashidi.
Contoh ril seperti ini nampak dari apa yang di-
tulis oleh Amin Abdullah tentang pemikiran tentang
maqashid sebagaimana termuat dalam buku fikih
kebhinekaan. Beliau mengklaim telah menggunakan
kerangka ijtihad maqashidi, padahal sesungguhnya
yang digunakan adalah rumusan dari teori hermeneu-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 109
tikan.
Sayangnya sikap seperti ini sering tidak disadari.
Maqashid syariah pada akhirnya hanya dijadikan se-
bagai tameng untuk justifikasi atas berbagai kesimpu-
lan hukum. Ditinjau dari hukum syariat, kesimpulan
hukum yang dihasilkan sangat hambar dan lemah.
Bahkan banyak kesimpulan hukum yang bertentang­
an dengan nas qat’iy. Muncullah pemikiran mengenai
hukum waris yang harus disamakan antara laki-laki
dan perempuan, tidak diperkenankan melakukan poli-
gami, hukum potong tangan dan hukum mati diha-
puskan, zakat bisa diganti dengan pajak dan sederet
kesimpulan hukum lainnya yang sangat kontraproduk-
tif. Qatiyyat dan zhanniyat benar-benar ditiadakan.
Semua nas mempunyai kekuatan hukum yang sama
dan bisa diinterpretasikan sesuai dengan ruang waktu
tertentu berdasarkan pada perbedaan sosio-historis
suatu masyarakat.
Bahasa dan terminologi yang digunakan selalu
menggunakan terminologi yang dipakai dalam ijti-
had maqashidi. Mereka pun beralasan bahwa al-Qu-
ran dapat diinterpretasikan sesuai dengan kondisi
di zamannya. Padahal sesungguhnya mereka telah
melakukan dekonstruksi total terhadap hukum syariat.
Manusia sebagai pembaca teks dianggap mempunyai
wewenang mutlak untuk memberikan tafsiran sesuai
dengan kemampuan dan kemauannya masing-ma­
sing. Pada akhirnya hukum syariat bisa berubah ses-
110 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
uai dengan keinginan pembaca. Jika sudah demikian,
maka yang terjadi adalah kekacauan pemikiran Islam
dan menghancur leburkan hukum syariat.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 111


112 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Islam Agama Fitrah

Fitrah adalah ketetapan Allah yang sudah pasti.


Ketetapan tadi tidak dapat dirubah oleh manusia. Fi-
trah menjadi kehendak mutlak Allah Yang Maha Kua-
sa. Jika ada perubahan pada ciptaan-Nya, itu murni
karena kehendak Allah yang Maha Mutlak.
Fitrah seorang laki-laki bersikap layaknya laki-la-
ki yang maskulin, demikian juga seorang perempuan
bersikap seperti seorang perempuan yang feminim.
Jika ada seorang laki-laki yang sikapnya seperti per-
empuan, maka ia dianggap telah menyalahi fitrah.
Demikian juga jika ada seorang perempuan lagaknya
seperti laki-laki, maka ia juga dianggap telah melang-
gar fitrah.
Adam diciptakan dengan hawa. Adam laki-laki
dan hawa perempuan. Jadi sebagai fitrah manusia,
laki-laki dipasangkan dengan perempuan. Dengan de-
mikian, hubungan antar manusia akan terjalin secara
harmonis dan seimbang. Manusia juga akan beranak
pinak untuk melangsungkan tugas mulia sebagai khali­
fah Allah di muka bumi. Jika ada laki-laki menyukai
dan mencintai laki-laki, atau perempuan menyukai
dan mencintai perempuan, berarti mereka telah me­
nyalahi fitrah. Mereka telah melanggar apa yang su-
dah ditentukan Allah kepada manusia. Pelanggaran
terhadap fitrah manusia, akan menimbulkan banyak

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 113


mudarat bagi umat manusia.
Kejadian seperti ini pernah terjadi pada masa
Nabi Luth. Karena mereka menyalahi fitrah manusia
yang sudah digariskan Allah, dan menimbulkan ba­
nyak mudarat bagi secara akhlak,sosial maupun kese-
hatan, maka Allah menghukum mereka dengan mem-
binasakannya. Hal ini diabadikan dalam firman Allah
sebagaimana berikut ini:
‫اح َشةَ َما َسبـََق ُك ْم ِبَا‬ ِ ‫ال لَِقوِم ِه إِنَّ ُكم لَتَأْتُو َن الْ َف‬ ِ
ْ ْ َ َ‫َولُوطًا إ ْذ ق‬
‫يل‬ ِ َّ ‫ال وتـَْقطَعُو َن‬ ِّ ‫ أَئِنَّ ُك ْم لَتَأْتُو َن‬. ‫ني‬ ِ ِ ٍ ‫ِمن أ‬
َ ‫السب‬ َ َ ‫الر َج‬ َ ‫َحد م َن الْ َعالَم‬
ِ
َ ْ
َِّ ِ ِ ِ
‫اب قـَْومه إل أَ ْن قَالُوا‬ َ ‫َو َتْتُو َن ف َندي ُك ُم الْ ُمْن َكَر ۖ فَ َما َكا َن َج َو‬
ِ ِ َّ ‫الل إِ ْن ُكْنت ِمن‬ َِّ ‫اب‬ِ ‫ائْتِنَا بِع َذ‬
‫ص ْرِن َعلَى‬ ُ ْ‫ب ان‬ ِّ ‫ال َر‬َ َ‫ ق‬. ‫ني‬
َ ‫الصادق‬ َ َ َ
‫ين‬ ِ ِ ِ
َ ‫الْ َق ْوم الْ ُم ْفسد‬
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata ke-
pada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar
mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat
sebelum kamu”. Apakah sesungguhnya kamu pa-
tut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerja-
kan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?
Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan:
“Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu ter-
masuk orang-orang yang benar”. Luth berdoa: “Ya Tu-
hanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas
kaum yang berbuat kerusakan itu.” (Qs al-‘Ankabut:
28-30).

114 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Fitrah juga bisa bermakna ketentuan Allah yang
pasti di alam raya. Allah sendiri telah meletakkan hu-
kum al’adah terkait segala sesuatu yang ada di dunia.
Hukum al adalah kebiasaan yang terjadi di alam raya
secara terus menerus dan tidak berubah contohnya
adalah bahwa sifat api itu panas dan membakar. Air
sifatnya cair. Jika ada yang makan, maka implikasinya
seseorang akan kenyang dan demikian seterusnya.
Hukum al-adah ini umumnya disebut sebagai sunatul-
lah, sebagaimana firman Allah berikut ini:
َِّ ‫الل ِف الَّ ِذين خلَوا ِمن قـبل ولَن َِت َد لِسن َِّة‬
(‫الل‬ َِّ َ‫سنَّة‬
ُ ْ َ ُ َْ ْ ْ َ َ ُ
ِ
‫)تـَْبديال‬
Artinya: “Sebagai sunnatullah yang berlaku atas
orang-orang yang terdahulu sebelum (kamu) dan
kamu sekali-kali tidak akan menjumpai perubahan
pada sunnatullah” (QS al-Ahzab 33: 62).
Manusia diperintahkan Allah untuk selalu ber-
jalan sesuai dengan hukum al-adah ini. Kita mencari
“sebab” untuk menghasilkan sebuah “akibat”. Jika
kita berpangku tangan dan tidak mencari kuasa Allah
melalui hukum alam yang telah diletakkannya, maka
kita tidak akan mendapatkan sesuatu seperti yang kita
kehendaki, kecuali muncul kuasa Allah yang melam-
paui hukum al-adah tadi.
Mengambil kesimpulan hukum melalui hukum
“al-adah” juga bagian dari fitrah. Jika kita mengambil
kesimpulan hukum dari sesuatu dengan mengesam­

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 115


pingkan hukum al adah, maka kita dianggap telah
menyalahi fitrah. Dalam ushul fikih, sistem pengambil­
an hukum seperti ini masuk dalam bagian qiyas, dan
masuk dalam bahasan masalikul illat.
Air ketika dipanaskan sampai sekian derajat,
ia akan mendidih. Ini terjadi berulang-ulang sehing-
ga kita mengambil kesimpulan bahwa air akan men-
didih jika dipanaskan sampai 100 derajat. Ini artinya
kita melakukan penelitian sesuai dengan fitrah Allah
yang diletakkan di alam raya. Hukum yang berlaku
yang te­lah diletakkan Allah di alam raya, selamanya
tidak akan berubah. Jika berubah, seperti halnya api
yang mesti­nya panas, tiba-tiba jadi dingin seperti ke-
jadian di masa nabi Ibrahim, ini namanya hukum yang
khariqun lil adah, yaitu kejadian luar biasa yang bera-
da di luar kebiasaan. Hanya kuasa Allah yang mampu
melampaui dan merubah hukum al adah (kebiasaan)
menjadi hukum yang luar biasa.
Dengan fitrah atau sunatullah yang diletakkan
di alam raya, ilmu pengetahuan akan dapat berkem-
bang. Peradaban manusia bisa maju pesat. Penelitian
ilmiah bisa digalakkan dan dihasilkan. Untuk itulah da-
lam al-Quran sering disebutkan bahwa sunatullah ti-
dak akan berubah. Sunatullah yang merupakan bagian
dari fitrah, berlaku di alam raya termasuk juga dalam
diri manusia dan tabiat umat manusia.
Fitrah manusia juga berlaku di masyarakat. Tra-
disi yang sesuai dengan fitrah adalah tradisi yang tidak
116 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
bertentangan dengan aturan syariat dan tidak mem-
buat mudarat bagi manusia, baik di dunia atau di akhi­
rat. Tradisi yang buruk, merupakan kebiasaan suatu
masyarakat, yang tidak sesuai dengan akal dan ke-
maslahatan, yang juga bertentangan dengan apa yang
sudah digariskan oleh syariat. Contohnya adalah tra-
disi minum-minuman keras dalam suatu masyarakat
Barat.
Tentang fitrah ini, Allah sendiri berfirman
َّ َِّ ‫ك لِل ِّدي ِن َحنِي ًفا فِطْرَة‬ ِ
َ ‫الل ال ِت فَطََر الن‬
‫َّاس‬ َ َ ‫فَأَق ْم َو ْج َه‬
َِّ ‫علَيـها ال تـب ِديل ِل ْل ِق‬
‫الل‬ َ َ َْ َْ َ
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Ruum
: 30-31)
Agama Islam disebut sebagai agama fitrah, kare-
na semua ajaran Islam selalu sesuai dengan fitrah ma-
nusia dan membawa kebaikan bagi hamba. Jika Islam
melarang terhadap suatu perbuatan, pasti perbuatan
tersebut mengandung mudarat bagi manusia. Jika Is-
lam memerintahkan suatu perbuatan, bisa dipastikan
suatu perbuatan tersebut mengandung unsur man-
faat bagi manusia. Jadi, agama Islam disebut sebagai
agama fitrah, karena tidak pernah menyalahi aturan
Allah yang telah diletakkan untuk umat manusia.
Mabuk-mabukan, berzina, narkoba, mencuri,
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 117
berbohong, merampok dan sederet perbuatan ja-
hat lainnya diharamkan oleh Islam karena membawa
mudarat. Sebalikya, besedekah, berlaku jujur, meno-
long orang lain, makan makanan yang baik, semua itu
membawa maslahat bagi umat manusia. Utuk itulah
maka semua perbuatan tadi dianjurkan oleh Islam.
Tradisi yang berlaku di masyarakat, selama tidak
mengandung mudarat bagi manusia dan tidak ber-
tentangan dengan nilai syariat, hukumnya dibolehkan.
Contohnya seperti makan dengan sendok, bepergian
dengan berbagai sarana modern, mengundang sanak
saudara untuk menghadiri makan bersama sebagai
rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepadan-
ya dan lain sebagainya. Namun jika suatu tradisi ber-
tentangan dengan maslahat manusia dan juga hukum
syariat, maka ia diharamkan. Sedekah bumi dengan
menyembelih kerbau lalu membawa sesajen untuk
dihanyutkan ke sungai jelas bertentangan dengan ra-
sionalitas manusia serta tauhid murni kepada Allah.
Perbuatan tersebut menjadikan manusia terkungkung
oleh mahkluk dan tunduk hanya kepada mahluk. Per-
buatan tidak rasional yang juga bertentangan dengan
ketauhidan tadi, bertentangan dengan maslahat ma-
nusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena­
nya ia diharamkan oleh Islam. Ia bertentangan dengan
fitrah manusia.
Pada prinsipnya manusia mengetahui dan me­
nyadari mengenai fitrah yang ada pada dirinya. Ha­nya
118 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
saja, terkadang manusia kalah dengan hawa nafsu seh-
ingga melakukan suatu perbuatan yang bertentang­an
dengan fitrah yang telah diberikan Allah kepada­nya.
Berbagai perbuatan yang dapat merugikan dirinya dan
umat manusia, sebenarnya merupakan perbuatan
yang melanggar fitrah. Merokok, mabuk-mabukan,
mengkonsumsi narkoba, mencuri, merampok dan
lain sebagainya adalah perbuatan mudarat. Manusia
melakukan itu, namun hati kecilnya tetap menolak. Fi-
trah manusia tidak menerimanya. Jika ia tetap melaku-
kan, sesungguhnya karena terbawa oleh hawa nafsu.
Jika manusia mengumbar hawa nafsu dan mengesam­
pingkan fitrahnya, maka yang terjadi di dunia adalah
kerusakan. Oleh karenanya Allah sering memerintah-
kan manusia untuk menghindari perintah hawa nafsu
ini.
‫فَال تـَتَّبِعُوا ا ْلََوى‬
Artinya: Janganlah Kalian memperturutkan hawa
nafsu. (QS. An-Nisa: 135).
Selain hawa nafsu, manusia juga memiliki syah-
wat, yaitu keinginan manusia untuk melakukan sesu­
atu. Syahwat sangat bergantung kepada manusianya.
Jika ditempatkan pada tempatnya, maka ia menjadi
baik. Sebaliknya jika ia tidak ditempatkan pada tem-
patnya maka ia menjadi perbuatan yang terlarang.
Melakukan hubungan badan dengan istri adalah
prilaku syahwat. Namun ia baik karena dilakukan den-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 119


gan istrinya yang sudah halal. Sebaliknya, jika dilaku-
kan kepada orang lain yang tidak halal, bukan dengan
istrinya yang sah, maka ia menjadi perbuatan buruk. Ia
adalah perbuatan zina yang diharamkan Allah.
ِ َ‫الزَن ۖ إِنَّه َكا َن ف‬
‫اح َشةً َو َساءَ َسبِ ًيل‬ ُ ِّ ‫َوَل تـَْقَربُوا‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs al-Isra’: 32).
Tradisi kita sehari-hari, yang tidak bertentan-
gan dengan fitrah hukumnya mubah, seperti makan
menggu­nakan sendok, naik kendaraan dan lain se-
bagainya. Berbagai prilaku tadi boleh dilakukan, bah-
kan dalam kondisi tertentu menjadi wajib. Makan
dengan tujuan untuk menjaga jiwa agar tidak binasa
hukumnya wajib, meski harus memakan makanan
yang dilarang dalam kondisi darurat.

120 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Antara Maslahat dan Sikap Pragmatism

Imam Syathibi menyebutkan bahwa tujuan di-


turunkannya hukum syariah adalah untuk melindu­
ngi tiga masalah penting, yaitu terkait dengan urusan
urusan yang sifatnya dharuri, hajiy dan tahsiniy. Kes-
impulan Imam Syathibi tadi berdasarkan pada kajian
empiris terhadap nas al-Quran. Dari sana lantas disim-
pulkan mengenai spirit dari kandungan kitab suci.
Jadi, kesimpuan yang diambil oleh Imam Syathi-
bi tidak berangkat dari ruang kosong. Beliau melaku-
kan kajian induktif atas ayat-ayat al-Quran secara ke-
seluruhan. Dari sana beliau membuat pemetaan atas
makna-makna yang terkandung di dalamnya. Baru
kemudian dianalisa dan dibuatlah rumusan mendasar
terkait dengan tujuan dasar diturunkannya hukum
syariat.
Kajian induktif terhadap nas al-Quran tadi tidak
dilakukan secara parsial, melainkan mengkaji secara
komperhensif dengan melihat dari berbagai sudut pan-
dang. Beliau juga mengkaji sunnah nabi yang kemudi-
an dikomparasikan dan dijadikan sebagai pelengkap
terhadap kandungan al-Quran. Jadi Quran dan sunnah
adalah dua sumber utama yang tidak bisa dipisahkan
dalam kajian ilmu maqashid.
Menurut Syathibi bahwa seluruh hukum syariah
merupakan satu kesatuan yang utuh. Beliau meneliti

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 121


ayat per ayat dengan melihat satu ayat dengan ayat
lainnya, kemudian keterkaitan antara ayat al-Quran
dengan hadits nabi Muhammad saw. Dari sini lantas
muncul sebuah kesimpulan yang terangkum dalam
rumusan ilmu maqashid, yang terbagi ke dalam tiga
pokok besar yaitu daruriat, hajiat dan tahsiniat.
Jadi poros kajian maqashid tentang mashalat
hamba, sesungguhnya adalah kajian al-Quran dan
sunnah Nabi Muhammad saw. Artinya, hukum syari-
ah yang menentukan sesuatu mengandung maslahat
atau tidak. Jika suatu perbuatan dianggap haram oleh
syariat, dipastikan ia tidak mengandung maslahat.
Namun sebaliknya, jika suatu perbuatan diwajibkan
atau dianjurkan untuk dikerjakan, maka ia mengan­
dung maslahat. Hal ini sesuai dengan madzhab Asyari,
bahwa penentu baik dan buruk adalah nas, dan bukan
akal. Akal manusia fungsinya melakukan ijtihad untuk
melihat sisi-sisi maslahat tadi. Akal membuat standar
normatif yang dapat dijadikan sebagai pijakan masla-
hat sesuai dengan ruh syariat. Tentu ini sesuai dengan
paham
Jadi, maslahat bukan berdasarkan pada akal
murni, seperti pendapat kalangan Muktazilah. Juga
bukan pada penilaian subyektif dan ego pribadi se-
mata, seperti yang sering digaungkan oleh kalangan
libe­ral. Jika maslahat berdasarkan pada nilai subyektif,
yang terjadi adalah sikap egoisme dan individualisme.
Sesuatu yang dianggap baik oleh seseorang, maka ia
122 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
menjadi baik. Sebaliknya jika menurut dirinya, suatu
perbuatan jelek, maka ia adalah jelek. Egoisme dan
individualisme, pada ahirnya hanya akan menimbul-
kan sikap pragmatis dalam kehidupan. Dampak lebih
jauh lagi adalah, sikap menghalalkan segala cara untuk
menggapai kepentingan diri sendiri.
Sikap pragmatis yang bermula dari egoism dan
individualism, sudah jamak dan berkembang di ma­
syarakat. Kita bisa saksikan panggung sandiwara
para politisi, berbagai macam janji diumbar guna
mendapat­kan jabatan. Bukan hanya itu, mereka juga
melakukan praktik politik kotor dengan menyuap atau
prilaku keji lainnya yang tidak sesuai dengan etika ke-
manusiaan. Setelah menjabat, mereka inkar janji dan
bahkan melakukan korupsi dan kolusi. Rakyat menjadi
korban sikap pragmatis dan egois mereka. Pada akhir­
nya, ratusan kepala daerah dan anggota dewan, ma-
suk bui.
Pragmatisme bukan hanya muncul di panggung
politik, namun juga menjalar di masyaraka luas. Bisnis
dan interkasi sosial, dibangun di atas jiwa pragmatis.
Tidak tanggung-tanggung, travel umrah dan haji yang
sesungguhnya punya proyek mulia, banyak yang ter-
kena kasus penipuan. Sebagian travel umrah dan haji,
ternyata hanya untuk mengeruk uang rakyat.
Itulah maslahat semu. Maslahat yang menghan-
curkan tatanan masyarakat. Maslahat yang digunakan
untuk menipu dan memanipulasi orang lain. Maslahat
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 123
yang muncul dari kepentingan pribadi, bukan dari nas
syar’iy. Pada akhirnya, moral tergadaikan. Manusia
mentuhankan dirinya sendiri dan materi.
Jadi, akal maqashidi adalah kerangka berfikir
yang tetap mengacu pada spirit dasar dan tujuan uta-
ma diturunkannya hukum syariat. Ia mengedepan­
kan maslahat bagi hamba, namun mengacu pada nas
al-Quran. Akal maqashidi tetap berada dalam kerang-
ka nas syar’iy. Akal tetap tunduk dengan berbagai
ketentuan dalam nash dan tidak mengikuti hawa naf-
su dengan dalih ijtihad. Maslahat dan mafsadah tetap
harus ditimbang dengan kacamata syariat. Selama nas
secara jelas dan sharih memberikan keterangan terha-
dap suatu persoalan, maka akal manusia harus tunduk
dan mengikuti nas. Jika ternyata ada suatu persoalan
yang belum disebutkan secara sharih oleh nas, maka
tugas seorang fakih adalah melakukan ijtihad untuk
mencari ketetapan hukum dan solusi alternatif atas
suatu persoalan tadi.

124 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Antara Tsawabit dan Mutagayyirat

Sebelas point yang disebutkan oleh Ibnu Taimi­


yah merupakan persepsi dan kaedah terpenting da-
lam pembahasan maqashid syariah. Hanya perlu
di­garisbawahi bahwa dalam penerapan ijtihad maqa-
shidi harus memperhatikan kaedah yang berlaku. Ja­
ngan sampai mengatasnamakan maslahat kemudian
mengorbankan dan melampaui nas. Karena pada prin-
sipnya, nas adalah poros dari rujukan ilmu maqasid.
Kita juga harus memberikan perhatian terhadap
tsawabit dan mutaghayyirat dalam syariat. Ada hal-
hal yang tetap dan tidak dapat berubah serta tidak
bisa dipengaruhi oleh ruang waktu, namun ada juga
persoalan yang bersifat elastis dengan mengacu pada
maslahat hamba. Persoalan tadi terkadang dapat be-
rubah serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi
hamba.
Untuk menentukan mana persoalan yang tidak
dapat berubah dan mana perkara yang bisa berubah,
mana yang tsawabit dan mana yang mutaghayyirat,
para ulama mujtahidun melakukan kajian induktif ter-
hadap dalil dalil syariat serta melihat indikator (qarain)
dan pratanda dalam setiap hukum syariat. Pengeta-
huan atas suatu indikasi dalam nas ini penting, mengi­
ngat terdapat nas yang mempunyai makna hakiki,
ada pula nas yang mempunyai makna majazi. Ada nas

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 125


yang sifatnya masih umum, ada pula nas yang sifat­
nya khusus. Ada nas yang mutlak, ada yang muqayyad,
ada yang global, ada pula yang spesifik. Semua itu ada
porsinya masing-masing dan punya ketetapan hukum
masing-masing.
Perkara-perkara yang tidak dapat berubah de­
ngan perubahan ruang waktu, kondisi dan tradisi, per-
kara-perkara yang dianggap sebagai persoalan yang
sudah bersifat aksiomatis dan memang tidak bisa
direvisi atau dilakukan peninjauan ulang dengan da-
lih demi maslahat manusia, perkara tadi oleh ulama
ushul disebut dengan masalah qat’iyat. Sementara
perkara yang masih ada kemungkinan berubah sesuai
dengan ruang waktu, kondisi dan tradisi dan masih
ada kemungkinan terjadi perbedaan makna dengan
melihat pada sisi maslahat manusia, perkara tadi oleh
ulama ushul disebut dengan zhanniyat.
Di antara qat’iyat yang tidak dapat berubah
adalah, perkara yang terkait dengan urusan akidah,
ibadah, muammalat seperti yang terkait dengan uku-
ran-ukuran tertentu yang sudah ditentukan oleh syari-
at se­perti pembagian waris, masa idah, kafarat dan
hudud, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan
perkara yang berasal dari nas qat’i yang ketentuan
rincinya telah dijelaskan oleh nas berdasarkan beri-
ta mutawatir dan ijmak para ulama. Perkara qat’iyat
juga terkait dengan akhlak seorang muslim seperti
larangan berdusta, larangan sumpah palsu, perintah
126 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
bersikap jujur, bersikap baik kepada orang lain dan lain
sebagainya.
Perkara yang bersifat qat’iy menjadi “ruang ter-
tutup’. Dengan kata lain bahwa mujtahid tidak dapat
melakukan tafsirat ulang atas pemahaman nas tadi.
Maslahat manusia terakomodir dari nas qat’iy. Tentu
tidak bisa dibalik dengan memaksa nas agar mengikuti
subyektifitas maslahat manusia.
Selain qat’iyat di atas, terdapat perkara zanniyat,
di mana ia masih ada ruang lingkup ijihad. Di antara
perkara zhaniyat tersebut adalah:
1) Sarana yang dapat membantu untuk menyebarkan
akidah Islam. Jika pada masa Nabi, sarana dakwah
banyak bertumpu dengan lisan, seperti dialog, cera-
mah, pendidikan langsung dan lain sebagainya, maka
masa setelahnya berkembang dengan berbagai ma-
cam sarana, seperti karya tulis ilmiah. Untuk saat ini,
sarana dakwah sudah semakin bervariasi, dari peng-
gunaan media modern seperti televisi, radio, internet,
whatsapp, facebook, telegram, tv jejaring, youtube
dan lain sebagainya. Semua sarana terebut, bisa beru-
bah sesuai dengan perkembangan zaman. Setiap da’i
dapat menggunakan berbagai macam sarana sesuai
dengan kemampuannya masing-masing.
2). Sarana yang dapat membantu untuk memper-
mudah melakukan ibadah, seperti dengan speaker
sewaktu azan, menentukan bulan-bulan haji dengan

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 127


penanggalan yang bertumpu pada ilmu hisab, atau
seperti membangun jembatan dan jalan layang untuk
tempat thawaf, sai dan lempar jumrah dengan tujuan
untuk menghindari desakan masa akibat jamaah yang
membludak sehingga dapat menghindari berbagai
bencana yang mungkin terjadi. Dengan ini, ibadah haji
dapat berjalan dengan lancar dan aman.
3.) Detail-detail urusan muamalat. Contoh, terkait ke-
wajiban melaksanakan amar makruf dan nahi mun­
kar. Dalam prakteknya, dakwah amar makruf dan nahi
munkar dpat dilakukan dengan berbagai macam sa-
rana sesuai dengan situasi dan kondisi dalam suatu
masya­rakat. Juga dapat disesuaikan dengan perkem-
bangan teknologi modern. Contoh lain terkait dengan
cara memilih pimpinan umat Islam (khalifah) yang
dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat
kita saat ini. Contoh lain terkait dengan pengemban-
gan ekonomi umat, ini terkait dengan upaya mense-
jahterakan masyarakat. Ia dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara dan sarana yang memungkin­
kan. Detail detail persoalan tadi, masih memerlukan
ijtihad maqashidi.

128 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Sarana Untuk Melaksanakan Kewajiban

Sebelumnya telah kami sampaikan mengenai


perkara qat’iyyadn dan zhanniyat. Terkait hal ini bisa
dirujuk artikel sebelumnya dengan judul, “Antara
Qat’iyyat dan Zhaniyat”. Di antara qat’iyyat itu adalah
ibadah wajib, seperti shalat, puasa dan haji bagi yang
mampu. Tiga perkara itu menjadi sebuah kewajiban
bagi setiap insan muslim.
Jika ada orang Islam mengingkari kewajiban
salat, puasa atau haji, oleh para ulama mereka dihu-
kumi kafir. Mereka dianggap telah keluar dari ajaran
Islam. Namun jika mereka tidak menjalankan perintah
dan kewajiban di atas, karena malas atau lalai, hanya
saja masih meyakini mengenai kewajiban ibadah terse-
but, para ulama menghukumi mereka sebagai muslim
yang ashi (pelaku maksiat). Mereka diberi waktu un-
tuk bertaubat. Jika tidak, maka mereka dapat dijatuhi
hukuman takzir. Hal itu karena ia telah melakukan
pelanggaran terhadap pokok hukum syariat. Ia telah
melakukan perbuatan dosa besar.
Untuk melaksanakan suatu kewajiban, umumn-
ya dituntut untuk melaksanakan sarana menuju kewa-
jiban tadi. Bahkan terkadang, sarana menjadi sa­ngat
vital sehingga suatu ibadah yang dijalankan tanpa
melaksanakan sarana lain di luar ibadah tadi, maka

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 129


ibadahnya menjadi tidak sah. Ia harus melaksanakan
sarana menuju kewajiban ibadah tertentu. Misalnya
seseorang hendak melaksanakan shalat wajib. Kewa-
jiban yang harus dilakukan sebelum shalat adalah ber-
wudhu. Tanpa wudhu, maka shalat seseorang tidak
sah. Wudhu menjadi syarat sahnya salat. Meski wu­
dhu berada di luar shalat dan sekadar menjadi sarana,
maka ia wajib dilaksanakan.
Pakaian shalat harus suci. Jika terkena najis,
maka ia harus dibersihkan dulu dengan mencucinya.
Maka mencuci pakaian agar tetap suci dan agar shalat-
nya dapat diterima, hukumnya juga wajib.
Untuk menyebarkan akidah Islam membutuhkan
berbagai sarana modern. Zaman nabi, ceramah hanya
dengan suara dan tanpa speaker karena ini yang ma-
sih memungkinkan di zamannya. Saat ini, jika jamaah
banyak, ceramah membutuhkan sarana lain agar dak-
wahnya dapat didengar semua kalangan, seperti ce-
ramah dengan pengeras suara. Bahkan untuk saat
ini, sarana-sarana semakin modern seperti dengan
mengugah video ceramah melalui FB, youtube, web,
blog, WA dan lain sebagainya. Semua sarana terebut,
bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman
Sarana-sarana tersebut memang tidak sampai dera-
jat wajib, kecuali memang menjadi kebutuhan yang
mendesak. Jika tuntutan zaman sudah sangat mende-
sak, karena ajaran Islam dan umat Islam diserang dan
digerogoti dengan media sosial, maka perlawanan
130 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
melalui media sosial tadi, menjadi wajib hukumnya.
Memanfaatkan media dakwah untuk menjaga akidah
umat dari kehancuran menjadi sebuah keniscayaan.
Tentu saja setiap da’i dapat menggunakan berbagai
macam sarana sesuai dengan kemampuannya mas-
ing-masing.
Ada juga sarana yang dapat membantu untuk
mempermudah melakukan ibadah, seperti adzan den-
gan speaker, menentukan bulan-bulan haji, ramadhan,
dan syawal dengan penanggalan yang bertumpu pada
ilmu hisab, membangun jembatan dan jalan layang
untuk tempat thawaf, sai dan lempar jumrah. Tujuan-
nya adalah untuk menghindari desakan masa akibat
jamaah yang membludak sehingga dapat terhindar
berbagai bencana. Dengan ini, ibadah haji dapat ber-
jalan dengan lancar dan aman. Menjaga jiwa yang
merupakan bagian dari maqashid syariah juga dapat
terealisasikan. Mewujudkan berbagai sarana seperti
ini sangat perlu.
Bisa juga, sarana terkait dengan detail-detail
urusan muamalat. Transaksi jual beli, dulu harus sa­
ling bertatap muka. Penjual dan pembeli bisa langsung
bertransaksi di tempat. Namun untuk saat ini, perkem-
bangan zaman tidak menuntut demikian. Banyak tran-
saksi jual beli yang hanya lewat wa, fb atau online.
Ucapan akad jual beli menggunakan tradisi modern.
Orang sudah berburu dengan kecepatan dan kemu-
dahan. Selama transaksi tersebut tidak mengandung
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 131
riba, penipuan atau perjudian, tentu saja ia dibenar-
kan secara syariat, karena ia mengandung maslahat
bagi umat manusia. Terkait muammalah ini, dalam
kaedah fikih dikatakan:
‫االصل يف املعامالت االلتفات ايل املعاين واملقاصد‬
Prinsip dalam muammalat itu melihat kepada
spirit dan maqashid
Jadi, sarana terkait detail-detail muammalat
dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman. Bisa
saja, perubahan sarana menjadi sebuah keharusan
karena sudah menjadi budaya dan tradisi di suatu ma­
syarakat modern. Hebatnya, fikih Islam sangat fleksibel
sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat manusia
kapan dan dimanapun. Urusan manusia yang terkait
dengan kebutuhan dunia, diserahkan sepenuhnya ses-
uai dengan kebutuhan manusia. Sabda Rasulullah saw:
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َمَّر بَِق ْوٍم يـُلَ ِّق ُح ْو َن‬ َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫س أ‬ٍ َ‫َع ْن أَن‬
َ ‫صا فَ َمَّر بِِ ْم فـََق‬
‫ال َما‬ ِ
ً ‫ال فَ َخَر َج شْي‬ َ َ‫صلُ َح ق‬
َ َ‫ال لَ ْو َلْ تـَْف َعلُ ْوا ل‬
َ ‫فـََق‬
‫ال أَنـْتُ ْم أ َْعلَ ُم ِب َْم ِر ُدنـْيَا ُك ْم‬
َ َ‫ت َك َذا َوَك َذا ق‬ ِ ِ
َ ‫لنَ ْخل ُك ْم قَالُْوا قـُْل‬
Artinya: Dari Anas ra bahwa Nabi saw pernah
melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan po-
hon kurma lalu beliau bersabda: Sekiranya mereka ti-
dak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik. Tapi
setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam
keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melewati mereka lagi dan melihat hal

132 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


itu beliau bertanya: ‘Ada apa dengan pohon kurma ka-
lian? Mereka menjawab; Bukankah anda telah menga-
takan hal ini dan hal itu? Beliau lalu bersabda: ‘Kalian
lebih mengetahui urusan dunia kalian.’ (HR. Muslim).
Bisa jadi, persoalan terkait erat dengan kewajiban
melaksanakan amar makruf dan nahi munkar. Dalam
prakteknya, dakwah amar makruf dan nahi munkar
dapat dilakukan dengan berbagai macam sarana ses-
uai dengan situasi dan kondisi suatu masyarakat. Juga
dapat disesuaikan dengan perkembangan teknologi
modern.
Media sosial yang berkembang pesat saat ini,
menjadi sarana efektif guna pengembangan dakwah
Islam untuk amar makruf dan nahi munkar. Pembua­t­
an film atau kartun Islami, meme dan lain sebagainya,
juga menjadi media efektif. Dai kontemporer memang
harus selalu hidup di zamannya sehingga tidak kaku
dan tergilas zaman. Dai kontemporer dituntut untuk
lebih kreatif dan mengikuti arus milenia agar dak-
wahnya tidak dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Terkait persoalan politik, seumpama cara memi-
lih presiden, kepada daerah dan lainnya. Sistem pemi-
lihan ini, tentu bisa disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat kita saat ini. Tidak mesti sistem pemilihan
dengan contoh generasi sahabat saja, kemudian me-
nutup kemungkinan-kemungkinan lain yang sesuai.
Kemungkinan dan tata cara baru, termasuk mem-
bentuk lembaga pemilihan, menjadi tuntutan negara
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 133
modern yang ideal untuk diadopsi dalam sistem politik
Islam. hal seperti ini tentu belum pernah dibahas oleh
al-Mawardi dalam kitab politiknya, al-Ahkam as-Sul-
taniyyah, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, As-Siyasah
as-Sar’iyyah, Ibnul Qayyim daam kitab Turuqul Hukmi-
yyah dan lain sebagainya.
Hanya saja, aturan dan syarat calon pemimpin
ideal tetap menggunakan nilai dan norma yang telah
digariskan oleh Syariat Islam. Memilih pemimpin tetap
menjunjung mereka yang mempunyai sifat amanah,
jujur, kepandaian dalam mengelola Negara, bukan non
muslim dan lain sebagainya. Syarat-syarat tersebut su-
dah ada dalam kitab-kitab politik Islam klasik. Barang-
kali tinggal disesuaikan dengan kondisi kontemporer,
dengan menambahkan poin-poin yang diperlukan.
Nilai dan norma tersebut tidak bisa dilanggar begitu
saja. Jika dilanggar, maka yang akan rugi adalah umat
Islam sendiri. Jadi yang berubah sekadar sarana saja,
namun norma dan nilai tetap mengacu kepada apa
yang telah digariskan oleh syariat Islam.
Persoalan juga bisa terkait dengan ekonomi umat
yang merupakan bagian dari melindungi jiwa dan me-
lindungi harta. Dalam ilmu maqashid, pengembangan
ekonomi umat masuk ranah hifdzu mal min janibil
wujud (melindungi harta agar tetap eksis). Ia menja-
di kewajiban yang harus ditegakkan. Jadi, menaikkan
kesejahteraan masyarakat sesungguhnya adalah ke-
wajiban hukum syariat. Beban utama guna peningkat­
134 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
an ekonomi umat, menjadi tanggung jawab pemerin-
tah sebagai ulil amri, orang kaya, tidap individu dalam
suatu masyarakat dan juga masyarakat sekitar. Sarana
untuk mewujudkan kesejahteraan itu, tentu berma-
cam-macam dan dapat berubah sesuai dengan ruang
waktu. Termasuk di dalamnya dalam pengembangan
dan pengelolaan dana zakat, wakaf, sedekah dan lain
sebagainya. Jadi, umat dituntut untuk mampu me­
ngambil berbagai sarana modern guna mencapai tu-
juan dasar dari maqashid syariah, yaitu melindungi
harta (hifzhul mal).
Berbagai contoh sederhana di atas sekadar un-
tuk menuntun kita bahwa ijtihad adalah sebuah kebu-
tuhan mendesak. Ijtihad bukan saja berasal dari nas
yang bersifat zhanni, atau yang belum tertera dalam
nas saja (la-maskut anhu), namun juga terkait dengan
sarana untuk memperolah suatu kewajiban.
Jika sarana tidak ada pembaruan, maka umat
akan tetap terpuruk dalam keterbelakangan. Bangsa
lain jauh lebih maju kedepan, sementara umat Islam
masih di belakang gerbong peradaban. Peradaban Is-
lam masa lalu dapat berkembang pesat dan menjadi
pusat peradaban dunia, karena para ulama dulu mam-
pu melakukan berbagai macam pembaruan sarana-sa-
rana tersebut. Sarana ini sangat fital dan harus diraih
dan diadakan. Jika kita bahas terkait maqashid syari-
ah serta sarana-sarana menuju terlaksananya hukum
Islam tadi, tentu akan sangat luas dan banyak seka-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 135
li. Seluruh komponen umat, baik dari ulil amri, mas-
yarakat, individu, organisasi keislaman dan lainnya,
butuh tenaga ekstra dan saling bahu membahu dalam
rangka mewujudkan masyarakat Islam yang ideal, atau
yang dikenal oleh Muhamadiyah dengan istilah ma­
syarakat utama. Ia adalah masyarakat yang oleh al-Qu-
ran disebut dengan baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur.
Para ulama ushul meyadari bahwa pembaruan
suatu sarana merupakan hal yang sangat urgen. Me­
reka menyadari bahwa dunia selalu bergerak maju
ke depan. Mereka tidak terkungkung oleh kehidupan
masyarakat di masanya saja, namun juga memikir-
kan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, para ulama ushull meletakkan sebuah
kaedah yang berbunyi sebagai berikut:
‫ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب‬.
Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana
ke­cuali dengan meraih sarana tertentu, maka me­
ndatangkan sarana itu menajdi wajib. Wallahu a’lam

136 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Sepintas Sejarah Ilmu Maqashid

Para ulama ushul generasi awal umumnya tidak


menggunakan satu kata yang disepakati bersama un-
tuk memaknai maqashid syariah. Kata yang diguna-
kan bervariasi dan bermacam-macam sesuai dengan
apa yang ada pemikiran masing-masing ulama. Hanya
saja, makna dan spirit yang diinginkan sama, yaitu
maqa-shid syariah.
Perbedaan terminologi yang digunakan oleh
para ulama sangat lumrah, karena waktu itu ilmu ma-
qashid masih menjadi bahasan yang tercecer dalam
ilmu ushul fikih. Belum ada rumusan komperhensif
terkait tema ini. Apalagi menjadi ilmu yang indepen-
den, tentu masih jauh. Ilmu maqashid baru sekadar
sebagai benih yang tumbuh dan belum membentuk
suatu pohon utuh. Meski demikian, para ulama kita
tetap memberikan kajian mendalam, meski tidak se-
cara spesifik.
Barangkali Imam Haramain (478 H/1085 M) yang
mulai jelas mengkaji dan memberikan gambaran se-
cara utuh terkait ilmu maqashid. Bahkan beliau te­lah
membagi maqashid menajdi tiga, yaitu dharuriyat, ha-
jiyat dan tahsiniyat. Kemudian istilah ilmu maqashid
dipopulerkan lagi oleh muridnya, Imam Ghazali (505
H/1111 M) dalam kitab al-Mustasfa.
Para ulama-ulama mutaakhirin kemudian mem-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 137


berikan kajian lebih intensif dan spesifik terkait ilmu
ini, seperti yang dilakukan oleh Imam Syathibi (w.790
H/1388 M). Beliau menulis buku khusus ilmu maqashid
yang sangat ternama, yaitu kitab muwafaqat. Buku ini
sangat lengkap dan komperhensif. Karena buku ini,
banyak orang yang memberikan julukan kepada beliau
sebagai pendiri ilmu maqashid.
Selain Imam Syathibi, sesungguhnya ada ulama
lain yang juga banyak konsen ke kajian ilmu maqashid,
yaitu Ibnu Taimiyah (W 728 H/1328 M ) dan muridn-
ya Ibnul Qayyim (751 Hijriyah/23 September 1350 M).
Ibnu Taimiyah memang tidak mempunyai buku sendiri
terkait ilmu maqashid, namun dalam banyak karyanya
sering menyinggung bahasan maqashid syariah. Se-
mentara itu, murid beliau, Ibnul Qayyim menulis buku
I’lamul Muwaqqiin yang sangat spesifik mengkaji ilmu
maqashid. Setelah itu agak vakum beberapa waktu,
lalu muncul Imam Ibnu Asyur dari Tunisia di era kon-
temporer (wafat: 1973) Sejak itu, kajian ilmu maqa-
shid semakin banyak dan berkembang hingga saat ini.
Ulama kontemporer sendiri masih berselisih
pendapat terkait ilmu maqashid, apakah ia menjadi
ilmu yang independen ataukah masih bagian dari ilmu
ushul fikih. Dengan demikian, bahasan di dalamnya
masih terikat dengan bahsan ushul fikih secara umum?
Ada yang menginginkan ia independen, ada pula yang
menganggap ia masih bagian dari ilmu ushul fikih.
Dr. Amru Wardani, salah seorang ulama Azhar
138 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
menyatakan bahwa ilmu maqashid tidak bisa dipisah-
kan dari ilmu ushul fikih. Ia sekadar manhaj ijtihad
yang masih memungkinkan adanya pengembangan
dan ijtihad baru. Rumusannya belum final dan bisa
menerima penambahan.1
Berbeda dengan beliau, ulama Maroko lainnya
seperti Ala Fasi lebih melihat bahwa ilmu maqashid
merupakan ilmu yang independen. Kajian maqashidi
dapat berdiri sendiri lepas dari ilmu maqashid. Beli-
au banyak menulis buku maqashid dan kajiannya juga
cukup luas, di antar bukunya adalah Kuliyatusyariah.2
Saya sendiri memandang bahwa ilmu ushul fikih
terdiri dari dua bagian, yaitu pertama terkait dengan
kaidah fiqhiyyah lughawiyyah, atau biasa disebut den-
gan ilmu semantik dan kedua, adalah ilmu maqashid
syariah. Ijtihad semantik dan ijtihad maqashidi me­
rupakan dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Itjihad semantik bergerak dalam tataran teks, semen-
tara ijtihad maqashidi bergerak dalam ranah konteks.
Dalam sistem penerapan, harus terjadi perimbangan.
Tidak bisa satu sama lain saling menegasikan. Terlalu
semantik saja bisa literal, sementara terlalu jauh pada
ilmu maqashid tanpa melihat pada standar yang jelas,
dapat terjatuh kepada paham liberal. Jadi posisi kita
berada di tengah-tengah dan moderat.
1
Pernyataan ini beliau sampaikan tetkala memberikan pengarahan tentang
metodologi fatwa yang dilaksanakan mahasiswa pasca sarjana universitas al-
Azhar bertempat di ruang Bhineka KBRI Cairo tahun 2017.
2
Lihat, Ala Fasi, Kuliyatusyariah, Darul Kalimah li An-Nasyr wa At-Tauzi, Cairo
hal. 55

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 139


140 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Sinonim Istilah Maqashid
Dalam Kitab Ushul

Sebelumnya telah kami singgung terkait perkem-


bangan ilmu maqashid. Di antaranya adalah bahwa
para ulama sering menyinggung ilmu maqashid, na-
mun kadang menggunakan terminologi yang berma-
cam-macam. Berikut beberapa contoh terminologi
yang sering digunakan oleh para ulama:
1. Maslahah
Maksud dari maslahat adalah suatu upaya atau
perbuatan yang kiranya dapat mendatangkan manfaat
dan menghindari mafsadah. Di antara yang menggu-
nakan maslahat dengan maksud maqashid adalah
Ibnu al-Arabi, salah seorang fakih bermadzhab Maliki.
Dalam kitab Akhkamul Quran, beliau berkata, “Me­
ngenai persoalan maqashid dan mashalih, sudah se­
ringkali kita ingatkan dalam berbagai persoalan furu’
di antaranya adalah terkait dengan larangan melaku-
kan berbagai aktivitas pada saat shalat jumat demi un-
tuk mendapatkan maslahat”.
Para ulama ushul, tatkala berbicara mengenai
kuliyatul khamsah, juga sering menggunakan kata
maslahat seperti perkataan Ibnul Qayyin dalam kitab
I’lamul Muwaqiin sebagai berikut, “Sesungguhnya
maslahat dibangun di atas landasan maslahat dunia
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 141
akhirat. Semua hukum syariat itu adil, rahmah, me­
ngandung maslahat, dan hikmah. Semua persoalan
yang keluar dari maslahat menuju kezhaliman, dari
rahmah menuju kekejaman, dari maslahat menu-
ju mafsadat, dari yang mengandung hikmah kepada
se­suatu yang sia-sia, maka ia tidak termasuk hukum
syariat, meski telah dilakukan takwil.1 Pernyataan ma-
sla­hat yang dimaksudkan oleh Ibnul Qayyim tadi, mak-
nanya adalah maqashid syariah.
2. Hikmah
Terkadang para ulama ushul menggunakan kata
hikmah, namun maksudnya adalah maqashid syariah.
Ini bisa dilihat dari ungkapan Ibnu Rusy al-Hafid dalam
kitab Bidayatul Mujtahid berikut ini, “Maslahat seper-
ti ini dapat diketahui oleh para ulama dengan melihat
pada hikmah diturunkannya syariat”. Kata-kata hikmah
yang dimaksudkan oleh Ibnu Rusyd adalah maqashid
syariah.2 Kata-kata hikmah juga digunakan oleh Abdul
Wahab Khilaf dalam kitabnya Ushul al-Fiqh.3
Juga bisa dilihat dari pernyataan Qadhi Iyad da-
lam kitab Tartibul Madarik, sebagai berikut: “Yang ke-
tiga, dengan melihat kepada kaedah umum syariah,
yaitu hikah dari diturunkannya hukum syariah”.4 Hik-
1
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul muwaqqiin An Rabbil Alamin, Dar Al-Jail,
Beirut Jilid 2 hal. 26
2
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Maktabah Musta-
fa Albab Alhalabi, Mesirm Jilid 2 hal 49
3
Abdul Wahab Khilaf, Ilmu Ushul Fikih, Maktabah Dakwah, hal. 160
4
Qadhi Iyadh, Tartibul Al-Madarik Wa Taqribul Masalik Lima’rifati A’lami wa
Madzhabi Malik, jilid 6 hal. 185

142 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


mah seperti yang beliau sebutkan, sesungguhnya ada-
lah maqashid syariah.
3. Raf’udarar
Terkadang, ulama menggunakan kata raf’udda-
rar (menghilangkan mudarat) sebagai ganti dari lafal
maqashid syariah.1 Raf’uddarar maksudnya adalah
mengangkat dan menghindari mafsadah yang mun-
gkin dapat menimpa hamba. Terkait terminologi mqa-
shid dengan istilah raf’uddharar dapat dilihat dari per-
nyataan Qadhi Iyad sebagaimana di nukil oleh Ibnu
Rusyd dalam kitab bidayatul Mujtahid sebagai berikut,
“Hukum menghilangkan mudarat (raf’u adarar) itu
wajib”.2
4. Raf’ul Masyaqqah
Terkadang, para ulama menggunakan kata “raf’ul
masyaqqah (menghilangkan kesulitan), yang prin-
sipnya adalah menghilangkan mudarat pada diri ham-
ba. Hal ini seperti yang oleh dikutip oleh Syaih Sya’rawi
sebagaimana berikut ini, “Allah SWT yang selalu me­
ngangkat kesulitan dari hambanya (raf’ul masyaqqa-
h)”.3
5. Ma’quliyatusyariah
Kadang digunakan kata-kata ma’quliyatusyari-
1
Muhammad Asyarbini al-Khathib, Al-Iqna Fi Halli Alfazhi Abi Suja, Darul Fikri,
Beirut, jilid 2 hal. 452
2
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Maktabah Musta-
fa Albab Alhalabi, Mesirm Jilid 2 hal. 368
3
Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi al-Khawathir, Mathabi Akh-
baril Youm, Jilid 8 hal. 4800

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 143


ah (rasionalisasi syariah), ta’lilusyariah (illat syariah),
dan asraaru asyariah (rahasia syariah). Kadang juga
digunakan kata raf’ul haraj waddayyiq (menghilang-
kan kesulitan), dan lainnya. istihbabu allayyin (anjuran
melakukan perkara yang mudah). Kadang digunakan
istilah kulliyatul khamsah yaitu menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Kadang menggunakan lafal
al-awaqib (akibat), al-ghayat (tujuan), al manafi (man-
faat), al-maqashid, al-hikam, al-mathalib (tuntutan),
al-mashalih, al-mahasin, dan lain sebagainya.
Berbagai macam terminologi di atas bertebaran
dalam kitab-kitab ushul, khususnya sebelum masa
Imam Syathibi. Hal ini, karena ilmu maqashid belum
menjadi bahasan yang spesifik. Setiap ulama berusa-
ha mengungkapkan prinsip maqashid sesuai dengan
bahasanya masing-masing. Hanya saja, makna yang
terkandung di dalamnya sama, yaitu tujuan dasar dari
tujuan diturunkannya hukum syariah.
Beberapa prinsip yang dijadikan pijakan adalah,
pertama bahwa dalam menciptakan makhluknya, Al-
lah mempunyai tujuan tertentu. Kedua, bahwa perin-
tah dan larangan, baik yang terdapat dalam al-Quran
maupun Sunnah Nabi Muhammad saw juga mem-
punyai tujuan tertentu. Tiga, bahwa tujuan tersebut
mengandung kemaslahatan hamba baik di dunia mau-
pun akhirat. Empat, bahwa maqashid syariah terkan­
dung dalam setiap hukum Allah baik yang terkait de­
ngan akidah, ibadah, maupun muamalah.
144 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Landasan dan Argumen Maqashid
dari Al-Quran dan Sunnah Nabi

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya


bahwa tujuan diturunkannya hukum syariah adalah
demi maslahat umat manusia. Kesimpulan ini ber-
dasarkan pada penelitian ayat-ayat al-Quran dan sun-
nah nabi Muhammad saw. Jadi, apa yang disampaikan
para ulama, bukan tanpa landasan, namun mempu-
nyai sandaran kuat dari nas, di antaranya adalah se-
bagai berikut ini:
‫يد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر‬
ُ ‫اللُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوَل يُِر‬ ُ ‫يُِر‬
َّ ‫يد‬
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (QS.
Al-Baqarah: 185).
‫ضعِي ًفا‬ ِْ ‫ف َعْن ُكم ۚ و ُخلِ َق‬
َ ‫النْ َسا ُن‬
ِ
َ ‫اللُ أَ ْن ُيَّف‬ ُ ‫يُِر‬
َّ ‫يد‬
َ ْ
Artinya: Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-
nisa: 28)
. ‫اع إِلَْي ِه َسبِ ًيل‬ ِ ِِ
ِ ِ ‫ل علَى الن‬
ْ ‫َّاس ح ُّج الْبـَْيت َم ِن‬
َ َ‫استَط‬ َ َّ ‫َو‬
Artinya:” Dan (di antara) kewajiban manusia ter-
hadap Allah adalah menunaikan ibadah haji ke Baitul-
lah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan
perjalanan ke sana…” (QS. Ali- Imraan: 97)
ِّ ‫وما جعل علَي ُكم ِف‬
‫الدي ِن ِم ْن َحَرٍج‬ ْ ْ َ َ َ َ ََ
Artinya: Sesungguhnya (Allah) tidak menjadikan
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 145
untuk kalian beban dalam agama (QS. Al haj: 78)
‫ال يكلف هللا نفسا اال وسعها‬
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak membebani
seseorang melebihi kemampuannya (Qs. Al baqarah;
286).
‫اجتـَبَا ُك ْم َوَما َج َع َل‬ ِِ ِ ِ ‫وج‬
َِّ ‫اه ُدوا ِف‬
ْ ‫الل َح َّق ج َهاده ُه َو‬ ََ
ِّ ‫علَي ُكم ِف‬
‫الدي ِن ِم ْن َحَرٍج‬ ْ َْ
Artinya: “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memi-
lih kamu, dan Dia sekali-kali tidak menjadikan satu ke-
sulitan pun untukmu dalam agama”. (QS. Al-Hajj: 78)
Dalam shalat khauf (ketika perang), Allah Ta’ala
berfirman:
ِ ِ
ّ ْ‫فَإ ْن خ ْفتُ ْم فَ ِر َجاالً أ َْو ُرْكبَاانً فَِإ َذا أَمنتُ ْم فَاذْ ُك ُروا‬
‫اللَ َك َما‬
‫َعلَّ َم ُكم َّما َلْ تَ ُكونُواْ تـَْعلَ ُمو َن‬
Artinya: “Jika kamu dalam Keadaan takut (ba-
haya), maka shalatlah sambil berjalan atau berken­
daraan. kemudian apabila kamu telah aman, maka se-
butlah Allah (shalatlah)” (QS. Al Baqarah: 239)
Bukan hanya al-Quran, namun juga banyak ha­
dits nabi yang terkait erat dengan kemaslahatan umat
manusia. Di antaranya adalah sebagaimana berikut ini:
‫ال إِ َّن‬
َ َ‫ ق‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّب‬ ِ ِ‫َع ْن أَِب ُهَريـَْرَة َع ِن الن‬
ّ
‫ فَ َس ِّد ُدوا َوقَا ِربُوا‬، ُ‫َح ٌد إِالَّ َغلَبَه‬
َ ‫ين أ‬
ِ
َ ‫ َولَ ْن يُ َش َّاد ال ّد‬، ‫ين يُ ْسٌر‬
ِ
َ ‫ال ّد‬
ْ ‫الرْو َح ِة َو َش ْى ٍء ِم َن الد‬
‫ُّلَِة‬ َّ ‫استَعِينُوا ِبلْغَ ْد َوِة َو‬ ِ
ْ ‫ َو‬، ‫َوأَبْشُروا‬
146 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW ber­
sabda, “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah
seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam aga­
ma melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu ker-
jakanlah dengan semestinya, atau mendekati semes-
tinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan
mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan se-
bagian malam” (HR. Bukhari)
Terkait perintah shalat, Rasulullah saw bersabda:
‫صل قائما فإن مل تستطع فقاعدا فإن مل تستطع فعلى‬
‫جنب‬
Artinya: “Shalatlah dengan berdiri, kalau engkau
tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mam-
pu maka dengan berbaring (miring).”(HR. al-Bukhari,
Abu Dawud, dan at-Tirmidzi).
Ada pula kisah para sahabat yang merasa iba-
dahnya sangat jauh jika dibandingkan dengan Rasu-
lullah saw. Mereka lantas berjanji untuk meningkat-
kan ibadah dengan shalat malam selamanya, puasa
selamanya dan tidak menikah selamanya. Hanya saja,
sikap seperti ini mendapatkan penolakan dari Rasulul-
lah saw.
‫صلَّى‬ ِ ‫ال جاء ثَالَثَةُ ره ٍط إِ َل بـي‬
ِ ِ‫وت أ َْزَو ِاج الن‬ ٍ َ‫َع ْن أَن‬
َ ‫َّب‬ ّ ُُ َْ َ َ َ َ‫س ق‬
،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫َّب‬ِ ِ‫ يَ ْسأَلُو َن َع ْن ِعبَ َاد ِة الن‬،‫هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
ّ
‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ِّ ِ‫ َوأَيْ َن َْن ُن ِم َن الن‬:‫ فـََقالُوا‬،‫وها‬ َ ُّ‫ُخِبُوا َكأَنـَُّه ْم تـََقال‬
ْ ‫فـَلَ َّما أ‬
َّ ‫َّم ِم ْن َذنْبِ ِه َوَما َت‬ ِ ِ
‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫َخَر‬ َ ‫هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم؟ قَ ْد غُفَر لَهُ َما تـََقد‬
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 147
‫وم‬
ُ ‫َص‬ ُ ‫ أ ََن أ‬:‫آخ ُر‬ َ ‫ال‬ َ َ‫ َوق‬،‫ُصلِّي اللَّْي َل أَبَ ًدا‬ َ ‫ أ ََّما أ ََن فَِإِّن أ‬:‫َح ُد ُه ْم‬
َ‫أ‬
،‫ أ ََن أ َْعتَ ِزُل النِّ َساءَ فَالَ أَتـََزَّو ُج أَبَ ًدا‬:‫آخُر‬ َ ‫ال‬ َ َ‫ َوق‬،‫َّهَر َوالَ أُفْ ِطُر‬ ْ ‫الد‬
ِ َّ َ ‫ فـََق‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم إِلَْي ِه ْم‬ َِّ ‫ول‬
َ ‫ «أَنـْتُ ُم الذ‬:‫ال‬
‫ين‬ َ ‫الل‬ ُ ‫فَ َجاءَ َر ُس‬
‫ لَ ِك ِّن‬،ُ‫ل َوأَتـَْقا ُك ْم لَه‬َِِّ ‫الل إِِن َلَخشا ُكم‬ ِ
ْ َ ْ ّ َّ ‫ أ ََما َو‬،‫قـُْلتُ ْم َك َذا َوَك َذا‬
ِ ِ ِ ‫ وأ‬،‫أَصوم وأُفْ ِطر‬
‫ب َع ْن‬ َ ‫ فَ َم ْن َرغ‬،َ‫ َوأَتـََزَّو ُج النّ َساء‬،‫ُصلّي َوأ َْرقُ ُد‬ َ َ ُ َُ ُ
‫س ِم ِّن‬ ُِ
َ ‫»سنَّت فـَلَْي‬
Dari Anas ia berkata, “Ada tiga orang yang datang
ke rumah istri-istri Nabi Muhammad saw. untuk ber-
tanya tentang ibadah Nabi saw. Saat mereka diberita-
hu, maka sepertinya mereka menganggapnya sedikit,
lalu mereka berkata, “Bagaimanakah keadaan kami
dibanding Nabi saw yang telah diampuni dosa-dosan-
ya yang lalu dan yang akan datang.” Salah seorang dari
mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat
malam selama-lamanya.” Yang lain berkata, “Saya
akan berpuasa selama-lamanya dan tidak akan berbu-
ka.” Sedangkan yang lain lagi berkata, “Saya akan men-
jauhi wanita dan tidak akan menikah selama-laman-
ya.” Maka datanglah Rasulullah saw kepada mereka
dan bersabda, “Kalian yang berkata begini dan begitu.
Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah orang yang pa­
ling takut kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya.
Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan
aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang
tidak suka sunnahku, maka ia bukan termasuk golon-
ganku.” (HR. Bukhari dan Muslim).
148 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Berbagai ayat dan hadis di atas, merupakan san-
daran bagi para ulama ushul dalam merumuskan lan-
dasan ilmu maqashid. Tentu saja masih banyak ayat
lain yang dapat dijadikan sebagai hujah. Jadi, ketika
ulama ushul memberikan perhatian kepada aspek
kemudahan dan mashalat bagi hamba, bukan berarti
mereka berijtihad dari ruang hampa. Bukan pula para
ulama memudah-mudahkan atau menganggap sepele
hukum syariat. Namun memang karena hukum syariat
sendiri yang menginginkan kemudahan pada diri ham-
ba.
Sebagaimana kami sampaikan sebelumnya bah-
wa dalam ilmu maqashid, ada tiga pembagian ilmu
maqashid, yaitu dharuriyat, hajiat dan tahsiniat. Ter-
kait keterangan detail mengenai tiga bahasan tersebut
akan dibahas kemudian. Di sini kita hanya ingin meli-
hat dari sisi pertama, yaitu dharuriyat dengan melihat
dalil dan sandaran yang dijadikan sebagai pijakan para
ulama.
Dari sisi dharuriyat, ilmu maqashid bertujuan un-
tuk melindungi lima hal pokok, yaitu melindungi aga­
ma, jiwa, akal, harta dan kehormatan. Melindu­ngi di
sini bisa berarti melindungi agar lima hal pokok tadi
tidak terancam musnah, atau melindungi agar ia tetap
eksis dan selalu berkembang. Dalam istilah ulama
maqashid, mereka menyebutnya dengan hifzhu adh-
haduriyatul khamsah min janibil wujud wa min jan-
ibil adam (‫حفظ الضرورايت اخلمسة من جانب الوجود ومن‬
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 149
‫ )جانب العدم‬.
Tujuan utama terkait dengan perlindungan hal-
hal di atas, demi maslahat manusia dan kebahagiaan
manusia baik ketika masih hidup di dunia maupun
tatkala ia telah meninggal dunia. Semua hukum Allah,
baik yang terkait dengan hukum taklifi dan wadh’iy,
semua demi kemaslahatan manusia.
Para rasul membawa ajaran dengan memerin-
tahkan manusia untuk melaksanakan suatu amal per-
buatan, dan juga meninggalkan amalan lainnya, tentu
dengan hikmah dan rahasia tertentu. Sebagian hik-
mah tersebut sebagian tersembunyi dan sebagian lagi
dapat disingkap illatnya oleh para ulama mujtahidun.
Prinsipnya, hidup ini sekadar untuk beribadah kepa-
da-Nya:
ِ ‫النْس إَِّل لِيـعب ُد‬
‫ون‬ ِ ِْ ‫ت‬
ُ َْ َ ْ ‫ال َّن َو‬ ُ ‫َوَما َخلَ ْق‬
Artinya; “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepa-
da-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Berikut kami cantumkan hujah dan sandaran
tersebut sesuai dengan adh-dharuriyatul khamsah,
yaitu sebagai berikut:

150 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Maqashid Syariah Pada Masa Sahabat

Tatkala Rasulullah SAW masih hidup, segala


persoalan dapat ditanyakan langsung kepada beliau.
Umat Islam tinggal menunggu jawaban, ketentuan hu-
kum dan solusi yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
Apa yang disampaikan Rasulullah saw, sesungguhnya
adalah wahyu Allah. Karena beliau tidak akan mem-
berikan ketetapan hukum, kecuali telah mendapatkan
wahyu dari Allah saw. Terkait hal ini, Allah swt berfir-
man:
ِ ِ ِ
َ ُ‫) إ ْن ُه َو إَّل َو ْح ٌي ي‬3( ‫َوَما يَنط ُق َع ِن ا ْلََو ٰى‬
)4( ‫وح ٰى‬
ُ ‫َعلَّ َمهُ َش ِد‬
‫يد الْ ُق َو ٰى‬
Artinya: Dan ia tidak memperkatakan menurut
kemauan dan pendapatnya sendiri. () Segala yang
diperkatakannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya. () wahyu itu (disampaikan
dan) diajarkan kepadanya oleh (malaikat jibril) yang
amat kuat gagah (QS. An-Najm: 3-5)
Kondisi berubah setelah Rasulullah saw wafat.
Persoalan masyarakat terus bermunculan. Apalagi
telah terjadi perluasan wilayah Islam yang luar biasa.
Umat Islam mulai berinteraksi dengan bangsa-bangsa
lain. Banyak hal baru bagi umat Islam. Mereka mene-
mukan sesuatu, yang belum pernah ada di masa Ra-
sulullah SAW atau di daerah mereka tinggal. Banyak
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 151
pula pertanyaan dari para muallaf dari bangsa-bangsa
itu, yang notabene merupakan bekas peradaban besar
seperti peninggalan wilayah Romawi dan Persia yang
sebelumnya telah memiliki hukum sendiri. Kawasan
itu juga mempunyai kondisi dan tradisi yang berbeda
dengan kawasan Arab.
Berbagai persoalan yang muncul harus dipecah-
kan, sementara Rasululah sudah tidak berada di te­
ngah-tengah mereka. Kondisi seperti ini menuntut
para sahabat untuk selalu berijtihad guna melangsung-
kan risalah kenabian. Ijtihad tersebut untuk membe­
rikan kepastian hukum dan solusi atas persoalan yang
sedang mereka hadapi.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh para saha-
bat adalah dengan menggali spirit dan ruh dari ayat
al-Quran dan sunah nabi Muhammad saw. Spirit dan
ruh nas itu, kemudian dijadikan sebagai salah satu
acu­an dan standard dalam berijtihad.
Bagaimana mereka dapat mengetahui ruh, ma-
qashid dan spirit wahyu? Tentu saja dengan ilmu alat
yang mereka miliki secara fitrah dan bawaan. Para sa-
habat adalah manusia yang hidup di tengah-tengah
Rasulullah saw. Mereka mengetahui kondisi tatkala
suatu ayat turun. Mereka juga menyaksikan sebab-se-
bab turunnya ayat, sebab Rasulullah bersabda, sebab
diamnya Rasulullah, ketegasan nabi, kelemah lem-
butan nabi, kapan nabi marah, kapan tersenyum, ka-
pan nabi bertindak sebagai hakim, pemimpin perang,
152 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
sebagai bagian dari masyarakat dan lain sebagainya.
Mereka paham tatkala Rasulullah saw memberikan
ketetapan hukum atas suatu persoalan, karena di-
dasari dengan portimbangan tertentu. Para sahabat,
paham benar terkait dengan sosiokultural turunnya
teks al-Quran atau hadits nabi.
Selain itu, sahabat juga paham dengan konstruk-
si bahasa Arab. Ini tidak heran karena teks al-Quran
dan sunnah nabi adalah bahasa mereka sehari-hari.
Bahasa kitab suci itu, bukan hal yang asing bagi mere-
ka. Al-Quran sendiri meyatakan dengan sharih bahwa
ia turun dengan bahasa Arab yang jelas, yaitu bahasa
yang digunakan oleh para penduduk Arab.
‫آن َعَربِيًّا لَ َعلَّ ُك ْم تـَْع ِقلُو َن‬
ً ‫إِ َّن أَنـَْزلْنَاهُ قـُْر‬
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya. (QS Yusuf: 2)
ِ ِ
َ ‫ك أَنـَْزلْنَاهُ ُح ْك ًما َعَربِيًّا َولَئ ِن اتـَّبـَْع‬
‫ت أ َْه َواءَ ُه ْم بـَْع َد َما‬ َ ‫َوَك َذل‬
‫ل َوَل َو ٍاق‬ ِ ِ َِّ ‫ك ِم َن‬ َ َ‫َجاءَ َك ِم َن الْعِْل ِم َما ل‬
ٍّ ‫الل م ْن َو‬
Artinya: Dan demikianlah, Kami telah menurun­
kan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam
bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa
nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu,
maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara
bagimu terhadap (siksa) Allah. (QS. Ar-Ra’d: 37)
‫َولََق ْد نـَْعلَ ُم أَنـَُّه ْم يـَُقولُو َن إَِّنَا يـَُعلِّ ُمهُ بَ َشٌر لِ َسا ُن الَّ ِذي‬
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 153
ٌّ ِ‫يـُْل ِح ُدو َن إِلَْي ِه أ َْع َج ِم ٌّي َوَه َذا لِ َسا ٌن َعَر‬
ٌ ِ‫ب ُمب‬
‫ني‬
Artinya: Dan sesungguhnya Kami mengetahui
bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya Al Quran itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muha­
mmad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduh-
kan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa
‘Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab
yang terang. (QS. An-Nahl: 103)
Mereka menyadari mengenai tingginya nilai ke-
susastraan bahasa al-Quran, karena ia turun dengan
bahasa mereka. Jadi, mereka pakar bahasa Arab, se-
cara fitrah dan bawaan. Dari kemampuan bahasa ini,
menjadi unsur dan faktor sangat penting seorang da-
lam melakukan ijtihad.
Berbagai faktor di atas, dan Interaksi langsung
dengan Rasulullah menjadi sarana penting menge-
nai kemampuan ijtihad para sahabat. Jadi, berijtihad
bagi sebagian sahabat, seperti fitrah dan bawaan lahir.
Alat-alat untuk melakukan ijtihad sudah mereka mi-
liki secara baik tanpa mereka disadari. Dengan bekal
di atas, mereka dapat menangkap ruh, maqashid dan
spirit al-Quran dan sunnah nabi Muhammad saw.
Mengenai kemampuan ijtihad sahabat ini, Imam
Ahmad bin Hambal berkata, “Setiap persoalan yang
ditanyakan (kepadaku), selalu aku jumpai jawaban-
nya dari kalangan para sahabat. Dalam menentukan
kesimpulan hukum, para sahabat berpijak pada nas.

154 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Para sahabat juga melakukan ijtihad dengan akal dan
memutuskan perkara dengan menggunakan dalil qi-
yas”. (Ibnu Taimiyah, Majmu’[ fatawa 19/285)

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 155


156 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Sisi Maqashid Suksesi Pertama
Kepemimpinan Islam

Sebagaimana kami paparkan sebelumnya bah-


wa sebagian sahabat mempunyai kemampuan un-
tuk melakukan ijtihad maqashidi secara alami. Hal ini
mengingat mereka mempunyai kemampuan bahasa
Arab secara alami, mereka berinteraksi langsung de­
ngan Rasulullah SAW dan mereka mempunyai penge-
tahuan mengenai sebab turunnya teks al-Quran atau
hadis nabi. Berikut ini di antara contoh ijtihad maqa-
shidi sahabat Nabi:
Setelah Rasulullah saw wafat, kaum muslim
bermusyawarah di Madinah untuk mencari peng-
ganti Rasulullah saw yang dapat memimpin umat Is-
lam. Kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqi-
fah bani Sa’idah. Di sana terjadi perdebatan panjang
terkait siapa yang berhak untuk menjadi khalifah.
Masing-ma­sing kubu, baik dari Muhajirin atau Anshar
mengajukan calonnya masing-masing disertai den-
gan argumentasi politik mereka. Kaum Anshar sendiri
mencalonkan Said bin Ubaidillah. Ia adalah pemuka
dari suku al-Khajraj.
Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan
Abu Ubaidah menyampaikan pendapatnya terkait
pemimpin yang layak menjadi khalifah. Bagi mereka,

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 157


yang paling berhak untuk menjadi khalifah pasca Ra-
sulullah saw wafat, adalah utusan dari kaum Muha-
jirin. Hal ini mengingat bahwa kaum Muhajirin yang
membela Rasulullah saw sejak awal. Kaum Muhajirin
yang menerima siksaan, cacian dan tekanan luar biasa
dari kaum Qurasiy saat awal-awal dakwah Islam. kaum
Muhajirin yang setia mendampingi Rasulullah saw da-
lam perjuangan Islam pertama yang sangat berat dan
penuh dengan rintangan.
Pendapat kaum Muhajirin ini mendapat per-
tentangan dari al-Hubab bin munzir dari kalangan An-
shar. Bagi mereka, kaum anshar lebih berhak. Kaum
anshar yang menolong Rasulullah saw tatkala beliau
melaksanakan hijrah ke Madinah. Kaum anshar yang
memberikan tempat bernaung bagi Rasulullah saw
dan para sahabatnya dari kalangan Muhajirin.
Di tengah perdebatan sengit tersebut, Abu Ba-
kar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah
bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh
ini menolak usulan tersebut. Terjadi perdebatan yang
sangat alot antara kaum Muhajirin dengan Anshar.
Kedua kelompok merasa paling berhak untuk men-
duduki pimpinan tertinggi bagi umat Islam. keduanya
sama-sama mengajukan argumentasi politik terkait
jasa mereka semasa Rasulullah saw masih berada di
tengah-tengah mereka. Dengan mengungkap kedekat­
an dan jasa mereka tersebut, diharapkan salah satu
dari dua kelompok dapat bersikap legowo dan mau
158 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
menerima kepemimpinan dari kelompok lain. Namun
ternyata, hal ini tidak terjadi. Keduanya tetap sama-sa-
ma bersikukuh untuk menjadi pemimpin umat.
Jika hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan akan
menimbulkan dampak negatif bagi umat Islam. bisa
saja, terjadi perpecahan yang membahayakan dan
merugikan umat Islam secara keseluruhan. Perpecah-
an politik, yang memang tidak semestinya terjadi. Me-
lihat kondisi tersebut, Umar bin Khattab segera maju
ke depan. Beliau tidak ingin memperpanjang persoal­
an di kalangan umat Islam. Dengan suara yang sangat
lantang, beliau berdiri lalu membaiat Abu Bakar un-
tuk menjadi khalifah bagi kaum muslimin. Sikap Umar
tersebut lantas diikuti oleh Abu Ubaidah dari kalangan
Muhajirin. Kemudian proses pembaiatanpun berlan-
jut dan dilakukan oleh sahabat lainnya seperti Basyir
bin Saad beserta mereka yang hadir dalam pertemuan
tersebut. Kaum Muhajirin yang pada awalnya meng-
inginkan khalifah dari kubu mereka, pada akhirnya
juga mengikuti jejak kaum Muhajirin dan memberikan
baiat kepada Abu Bakar ash-Shidik. Sejak itu, resmilah
Abu Bakar menjadi khalifah kaum muslimin.
Di manakah posisi ijtihad maqashidi dalam pemi-
lihan khalifah di atas? Poin yang dapat kita lihat adalah
sikap Umar bin Khatab yang berijtihad untuk memilih
Abu Bakar sebagai khalifah. Di antara alasan yang di­
sampaikan oleh Umar bin Khatab adalah perintah Nabi
Muhammad saw yang meminta Abu Bakar ash-Shidiq
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 159
‫‪untuk menjadi Imam shalat menggantikan posisi Ra-‬‬
‫‪sulullah saw sewaktu beliau sakit keras. Perintah Ra-‬‬
‫‪sulullah saw tersebut menjadi isyarat bahwa Abu Ba-‬‬
‫‪kar merupakan orang yang paling layak untuk menjadi‬‬
‫‪pemimpin umat Islam menggantikan Rasulullah saw.‬‬
‫­‪Pemimpin dalam Islam, bukan sekadar kewajiban du‬‬
‫‪nia, namun juga tanggungjawab agama. Imam shalat,‬‬
‫‪menjadi salah satu indikasi tersebut.‬‬
‫‪Berikut hadits yang menjadi dalil dan sumber‬‬
‫‪ijtihad maqashidi para sahabat dengan memilih Abu‬‬
‫‪Bakar sebagai khalifah:‬‬
‫ت َعلَى َعائِ َشةَ‬ ‫الل ب ِن عب ِد َِّ‬ ‫ِ ِ‬
‫ال ‪َ :‬د َخ ْل ُ‬ ‫الل ‪ ،‬قَ َ‬ ‫َع ْن عُبـَْيد َّ ْ َْ‬
‫ض رس ِ‬ ‫ِِ‬ ‫‪َ ،‬ر ِض َي َّ‬
‫ول‬ ‫ت َلَا ‪ :‬أََل ُتَ ّدث ِين َع ْن َمَر ِ َ ُ‬ ‫اللُ َعنـَْها ‪ ،‬فـَُق ْل ُ‬
‫صلَّى‬ ‫الل صلَّى َّ ِ‬ ‫ِ‬
‫َّب َ‬ ‫ت ‪ :‬بـَلَى ‪ ،‬ثـَُق َل النِ ُّ‬ ‫اللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ؟ فـََقالَ ْ‬ ‫َّ َ‬
‫َّاس ؟‬
‫َصلى الن ُ‬
‫ال ‪ ” :‬أ َ َّ‬ ‫اق فـََق َ‬‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَأُ ْغ ِم َي َعلَْي ِه ‪ ،‬فَأَفَ َ‬‫َّ‬
‫وف‬
‫َّاس عُ ُك ٌ‬ ‫الل ‪َ ،‬والن ُ‬
‫ول َِّ‬ ‫ك َي َر ُس َ‬ ‫يل ‪َ :‬ل ‪ُ ،‬ه ْم يـَنـْتَ ِظُرونَ َ‬ ‫َ‬ ‫” فَِق‬
‫ول َِّ‬ ‫لِ ِ ِ ِ ِ‬
‫اللُ‬‫صلَّى َّ‬ ‫الل َ‬ ‫ت ‪ :‬فَأ َْر َس َل َر ُس ُ‬ ‫ص َلة الْع َشاء ْالخَرِة ‪ ،‬قَالَ ْ‬ ‫َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫َّ‬
‫َعلَْيه َو َسل َم إ َل أَِب بَ ْكر َرض َي َّ‬ ‫ِ‬
‫صلّ َي بلنَّاس ‪،‬‬ ‫اللُ َعْنهُ بَ ْن يُ َ‬
‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َيْ ُم ُرَك‬
‫صلَّى َّ‬ ‫ول َِّ‬ ‫ال ‪ :‬إِ َّن َر ُس َ‬ ‫فَأَتَى َّ‬
‫الل َ‬ ‫ول فـََق َ‬‫الر ُس ُ‬
‫ال أَبُو بَ ْك ٍر َوَكا َن َر ُج ًل َرقِي ًقا‬ ‫ت ‪ :‬فـََق َ‬ ‫َّاس ‪ ،‬قَالَ ْ‬ ‫صلِّي ِبلن ِ‬
‫َ‬ ‫أَ ْن تُ َ‬
‫ِ‬
‫ال‬ ‫ك قَ َ‬ ‫َح ُّق بِ َذل َ‬‫تأَ‬ ‫ال لَهُ عُ َم ُر ‪ :‬أَنْ َ‬ ‫َّاس فـََق َ‬‫ص ِّل ِبلن ِ‬ ‫‪َ :‬ي عُ َم ُر َ‬
‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ‫صلَّى َّ‬ ‫ول َِّ‬ ‫صلَّى أَبُو بَ ْك ٍر بِِ ْم ‪ُ ،‬ثَّ إِ َّن َر ُس َ‬
‫الل َ‬ ‫‪ :‬فَ َ‬
‫ص َل ِة‬ ‫ي أَح ُد ُها الْعبَّ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ ِِ ِ‬
‫اس ل َ‬ ‫ي َر ُجلَ ْ َ َ َ ُ‬ ‫َو َج َد م ْن نـَْفسه خ َّفةً فَ َخَر َج بـَْ َ‬
‫ب لِيـَتَأ َّ‬
‫َخَر‬ ‫صلِّي ِبلن ِ‬
‫َّاس فـَلَ َّما َرآهُ أَبُو بَ ْك ٍر َذ َه َ‬ ‫الظُّ ْه ِر َوأَبُو بَ ْك ٍر يُ َ‬
‫‪160‬‬ ‫‪Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih‬‬
: ‫ال َلَُما‬ َّ ‫اللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَ ْن َل يـَتَأ‬
َ َ‫َخَر َوق‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬
ِ
ُّ ِ‫ فَأ َْوَمأَ إِلَْيه الن‬،
‫ب أَِب بَ ْك ٍر فَ َج َع َل‬ ِ ‫َجلَساهُ إِ َل َجْن‬ ِِ ِ ِ ِ ‫” أ‬
َ ْ ‫ فَأ‬. ” ‫َجل َسان إ َل َجْنبه‬ ْ
َّ ِ
‫اللُ َعلَْيه َو َسل َم‬ َّ ‫صلى‬ َّ ِ
ِ ِ‫ص َلة الن‬ ِ ِ ِ ٍ
َ ‫َّب‬
ّ َ ‫صلّي َوُه َو قَائ ٌم ب‬ َ ُ‫أَبُو بَ ْكر ي‬
ِ َ‫الل علَي ِه وسلَّم ق‬ َّ َ ‫َّب‬ ِ ِ‫والنَّاس يصلُّو َن ب‬
‫اع ٌد‬ َ َ َ ْ َ َُّ ‫صلى‬ ُّ ِ‫ص َلة أَِب بَ ْك ٍر َوالن‬ َ َُ ُ َ
‫ أََل‬: ‫ت‬ ٍ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫الل بْن َعبَّاس فـَُق ْل‬ َّ ‫ت َعلَى َعْبد‬ ُ ‫ فَ َد َخ ْل‬: ‫الل‬ َّ ‫ال عُبـَْي ُد‬ َ َ‫ ق‬،
‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫ض رس‬ ِ ِِ
َ ‫الل‬ ُ َ ِ ‫ك َما َح َّدثـَْت ِن به َعائ َشةُ َع ْن َمَر‬ َ ‫ض َعلَْي‬ ُ ‫أ َْع ِر‬
‫ت َعلَْي ِه َح ِديثـََها فَ َما أَنْ َكَر‬ ُ‫ض‬ ْ ‫ات فـََعَر‬ ِ ‫ ه‬: ‫ال‬ ِ َّ
َ َ ‫اللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم فـََق‬
‫ال‬
َ َ‫اس ق‬ ِ َّ‫الر ُجل الَّ ِذي َكا َن َم َع الْ َعب‬ َ َ‫ِمْنهُ َشيـْئًا َغيـَْر أَنَّهُ ق‬
َ َّ ‫ت‬ َ ‫ َسَّْي‬: ‫ال‬
َّ ‫ فـَُه َو َعلِ ٌّي َر ِض َي‬: ‫ال‬
‫اللُ َعنـْ ُه َما‬ َ َ‫ َل ق‬: ‫ت‬ ُ ‫ قـُْل‬: .
Diriwayatkan dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah r.a.:
Saya mendatangi ‘Aisyah r.a., saya berkata kepadan-
ya, “Sudikah engkau menceritakan tentang sakit Ra-
sulullah saw?” Dia menjawab, “Ya, setelah Nabi SAW
sakit parah, beliau bertanya, ‘Apakah orang orang su-
dah shalat?’ Kami menjawab, ‘Belum, mereka sedang
menunggu engkau wahai Rasulullah.’ Beliau berkata,
‘Ambilkan air untukku di bejana itu!’
Kami pun melaksanakannya, lalu beliau mandi.
Setelah itu, beliau berusaha untuk bangun, tetapi be-
liau pingsan. Setelah siuman, beliau bertanya, ‘Apakah
orang orang sudah shalat?’ Kami menjawab, ‘Belum,
mereka sedang menunggu engkau wahai Rasulullah.’
Beliau bersabda, ‘Ambilkan air untukku di bejana itu!’
Kami pun melaksanakannya, lalu beliau man-
di. Setelah itu, beliau berusaha bangun, tetapi be­liau
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 161
pingsan kembali. Setelah siuman, beliau bertanya,
‘Apakah orang orang sudah shalat?’ Kami menjawab,
‘Belum, mereka sedang menunggu engkau wahai Ra-
sulullah.’ Beliau bersabda, ‘Ambilkan air untukku di be-
jana itu!’
Kami pun melaksanakannya, lalu beliau mandi.
Setelah itu beliau berusaha untuk bangun, tetapi beli-
au pingsan kembali. Setelah siuman, beliau bertanya,
‘Apakah orang orang sudah shalat?’ Kami menjawab,
‘Belum, mereka sedang menunggu engkau wahai Ra-
sulullah.’”
‘Aisyah berkata, “Waktu itu orang orang sedang
berdiam di masjid menunggu Rasulullah saw menger-
jakan shalat isya’nya yang terakhir. Lalu Rasulullah
SAW mengutus seseorang kepada Abu Bakar agar dia
mengimami orang orang shalat berjamaah. Utusan itu
pergi kepadanya dan memberitahukan bahwa Rasulul-
lah saw memerintahkannya untuk mengimami orang
orang shalat berjamaah. Lalu Abu Bakar r.a., seo-
rang yang sangat halus perasaannya, berkata, ‘Wahai
‘Umar, shalatlah bersama orang orang menjadi imam!’
‘Umar berkata, ‘Engkaulah yang lebih berhak menjadi
imam.’
Lalu Abu Bakar menjadi imam dalam bebera-
pa hari itu. Setelah Rasulullah SAW merasa sakitnya
berkurang, beliau menuju masjid dengan dipapah
oleh dua orang laki laki, salah satunya ‘Abbas, untuk
mengerjakan shalat zuhur, sedangkan Abu Bakar wak-
162 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
tu itu sedang mengimami orang orang shalat berja-
maah. Setelah Abu Bakar melihat beliau, dia mundur
dari tempatnya, tetapi Nabi SAW memberi isyarat agar
dia tetap di tempatnya. Lalu beliau berkata kepada
dua orang yang memapahnya agar beliau diduduk-
kan di samping Abu Bakar. Lalu beliau pun diduduk-
kan di samping Abu Bakar, ketika itu Abu Bakar berdi-
ri mengikuti shalat Nabi SAW, orang orang mengikuti
shalat Abu Bakar, sedangkan Nabi SAW mengerjakan
shalat sambil duduk.”
‘Ubaidullah berkata, “Saya menemui ‘Abdul-
lah bin Abbas r.a dan berkata kepadanya, ‘Maukah
saya sampaikan kepada engkau mengenai cerita ‘Ai-
syah tentang sakit Nabi saw?’ Dia menjawab, ‘Ya,
sampaikanlah kepadaku!’ Lalu saya ceritakan hadits
‘Aisyah itu kepadanya, tetapi dia sama sekali tidak
menyangkalnya, tetapi dia berkata, ‘Apakah ‘Aisyah
menyebutkan nama orang yang bersama ‘Abbas itu?’
Saya menjawab, ‘Tidak.’ ‘Abdullah bin Abbas berkata,
‘Dia adalah ‘Ali r.a.’” (HR. Muslim)
Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khali­
fah pertama, menunjukkan betapa pentingnya umat
Islam mempunyai satu pucuk pemimpin. Para saha-
bat sangat serius dalam melakukan suksesi kepemi-
mpinan dengan sistem musyawarah yang sangat ter-
buka. Para sahabat memberikan teladan politik moral
yang sa­ngat berharga bagi kita umat Islam. Pemilihan
kepemimpinan didasarkan pada sisi maslahat, kualitas
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 163
kea­gamaan dan kemampuan mengelola masyarakat
secara profesional. Apalagi waktu itu, negara Islam
sedang dalam posisi berat. Banyak wilayah yang me-
merdekakan diri dan tidak tunduk pada negara Ma-
dinah. Banyak pembesar suku yang mengaku sebagai
nabi dan lepas dari kepemimpinan khalifah Islam. da-
lam rentang yang tidak lama, yaitu kisaran dua tahun,
Abu Bakar teruji dan mampu menyelesaikan persoa-
lan berat tersebut secara baik dan mengagumkan.
Proses pemilihan juga menunjukkan bahwa
kepemimpinan dalam Islam, bukanlah melihat dari sisi
garis keturunan dan kekeluargaan. Meski Ali bin Abi
Thalib karamallahu wajhah adalah orang yang sangat
dekat dengan Rasulullah saw dan merupakan kera-
bat nabi, namun tidak secara otomatis beliau menja-
di khalifah bagi umat Islam. Para sahabat tetap ber-
musyawarah dengan melakukan debat terbuka untuk
menentukan pemimpin ideal yang dapat mengayomi
umat.
Artinya bahwa seorang putra presiden, atau
pendiri partai politik, atau saudara dan keluarga pre­
siden, tidak serta merta bisa diajukan untuk menjadi
pemimpin bangsa. Semua harus melalui mekanisme
yang berlaku, yaitu musyawarah dengan standar kom-
petensi yang memadai. Inilah sistem suksesi yang di-
contohkan oleh para sahabat. Suksesi penuh moral
yang menjadi teladan umat sepanjang zaman. Suk-
sesi yang penuh kejujuran, jauh dari intrik politik dan
164 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
kepentingan individu. Jauh dari pencitraan, politik
uang, menghancurkan karakter lawan, menyebar beri­
ta palsu atau lainnya. Suksesi yang damai tersebut,
pada ahirnya membawa berkah bagi umat Islam se-
cara keseluruhan.
Hal ini karena para sahabat menyadari bahwa
kepemimpinan, bukan sekadar upaya untuk meraih
kekuasaan. Kepemimpinan adalah sebuah amanah
berat yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban
di akhirat. Pemimpin membawa tanggungjawab be-
sar terhadap semua rakyat yang dia pimpin. Jika ia
dapat bersikap adil, maka jaminannya adalah surga
sebagaimana sabda nabi Muhammad saw berikut ini:
: ‫عن أيب هريرة رضي هللا عنه عن النيب صلى هللا عليه‬
‫اللُ ِف ِظلِّ ِه يـَْوَم الَ ِظ َّل إِالَّ ِظلُّهُ ا ِإل َم ُام‬
َّ ‫وسلم قال َسبـَْعةٌ يُ ِظلُّ ُه ُم‬
‫الْ َع ِاد ُل‬
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: Ada tujuh
golongan orang yang akan mendapat perlindungan
dari Allah (pada hari kiamat) di mana pada hari itu ti-
dak ada perlindungan selain perlindungan-Nya. Salah
satu dari ketujuh orang tersebut adalah pemimpin
yang adil.”
Namun sedikit ia tergelincir dan melakukan te-
bang pilih, cepat memanjarakan orang yang tidak
sependapat dengannya, sementara di sisi lain, membi-
arkan pelaku kejahatan, atau melepas koruptor kakap
yang keluar dari nilai keadilan, maka proses pertang­
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 165
gungjawaban kelak di akhirat sangat berat. Jika tidak
ada ampunan dari Yang Maha Kuasa, maka ia dapat
masuk neraka karena sikap ketidakadilan yang dia
lakukan di dunia. Ketidak adilan ini muncul, sering­
kali karena ketidaksukaan kita kepada seseorang atau
lawan politik. Padahal perbedaan pandangan dalam
politik, adalah sesuatu yang lumrah. Pemimpin, harus
tetap adil, tanpa pandang bulu dan tebang pilih. Fir-
man Allah:
‫َوال َْي ِرَمنَّ ُك ْم َشنَآ ُن قـَْوٍم َعلَ ٰى أَال تـَْع ِدلُوا‬
Artinya: “Janganlah sekali-kali kebencianmu ter­
hadap sesuatu kaum mendorongmu berlaku tidak
adil.”
Jangan sampai menjadi pemimpin, hukum tum-
pul ke atas, sementara tajam ke bawah, Jika ini men-
jadi karakter suatu pemimpin, maka itu bertanda bah-
wa kepemimpinan tidak akan lama. Kepemimpinan
seperti ini, akan hancur dengan sendirinya. Pemimpin
yang tidak adil, dan hanya menerapkan hukum kepada
kaum lemah dan lawan politik, sama halnya membuat
kuburan untuk diri sendiri. terkait hal ini, Rasulullah
saw bersabda:
‫ين قـَبـْلَ ُك ْم أَنـَُّه ْم َكانُوا إِ َذا َسَر َق‬ ِ َّ َ‫أَيـُّها النَّاس إَِّنَا أَهل‬
َ ‫ك الذ‬ َ ْ ُ َ
ِ ِ ِ ِ َّ ‫فِي ِه ْم‬
‫الَ َّد‬
ْ ‫يف أَقَ ُاموا َعلَْيه‬ُ ‫يف تـََرُكوهُ َوإ َذا َسَر َق في ِه ْم الضَّع‬ ُ ‫الش ِر‬
Artinya: “Wahai sekalian manusia, sesungguh­
nya yang membuat rusak orang-orang sebelum kalian
adalah, ketika orang-orang terpandang mencuri, mer-
166 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
eka tidak menghukumnya, sementara jika orang-orang
yang rendahan dari mereka mencuri mereka menega-
kkan hukuman had.”
Pemimpin bukan sekadar mengurusi perkara
dunia. Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Imam Mawardi
dan para fuqaha lainnya bersepakat bahwa pemim­
pin punya tugas untuk mengurus agama dan dunia.
Oleh karena itu, memilih pemimpin, harus memper-
timbangkan dua hal tersebut. Dalam Islam, tidak ada
pemisahan antara pemimpin dunia dengan akhirat.
Pemimpin pada hakekatnya adalah upaya untuk mem-
bahagiakan dan mensejahterakan rakyatnya, di dunia
dan akhirat.
Inlah sesungguhnya sisi maqashid dari suksesi
tersebut, yaitu maslahat dunia dan akhirat. Sisi ini,
yang sekarang hilang dari belantara perpolitikan tanah
air. Suksesi kepemimpinan tidak lagi mengedepan­
kan politik moral, tidak mementingkan kemaslahatan
dunia dan akhirat, namun sekadar melihat dari sisi
pragmatis semata. Partai politik banyak disusupi oleh
sistem politik uang. Mengusung bakal calon, lebih me-
lihat pada sisi kemungkinan kemenangan jagoan, le­
pas apakah bakal calon yang kita usung jauh dari aga­
ma atau tidak. Lepas pula dari pertimbangan, apakah
bakal calon tersebut mempunyai kualitas keilmuan
dan kemampuan kepemimpinan atau tidak. Yang
dikedepankan adalah sisi “menjual” dengan memben-
tuk sebuah pencitraan yang memuakkan.
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 167
Antar sesama kelompok, terkadang saling serang
hingga menohok pada sisi-sisi pribadi yang tidak layak
untuk diekspos di masyarakat. Lebih fatal lagi, saling
fitnah, caci maki, dan menebar berita hoaks. Tentu suk-
sesi seperti ini tidak pernah dicontohkan oleh para sa-
habat nabi yang mempunyai jiwa moral tinggi. Sistem
suksesi yang penuh kejujuran dan mengedepankan sisi
maslahat dunia dan akhirat. Pemilihan Khalifah Abu
Bakar menjadi pealajaran bagi kita, bagaimana para
sahabat melihat sisi maqashid dalam menentukan pi-
lihan mereka untuk menentukan pemimpin umat.

168 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Umar bin Khathab Menangguhkan
Hukuman Hudud

Allah telah menitipkan harta kepada umat ma-


nusia. Harta titipan tersebut menjadi hak bagi pemilik­
nya untuk digunakan sebagaimana mestinya. Dalam
al-Qur’an dan hadis nabi, banyak sekali keterangan
yang memberikan penjelasan mengenai sikap kita ter-
hadap harta, baik harta yang menjadi milik kita, mau-
pun orang lain. Aturan penggunaan harta, cukup rinci.
Prinsipnya, harta harus didapat dari jalan yang halal,
serta dikeluarkan ke jalan yang juga halal.
Bagi pemilik harta, agar menggunakan uang se-
cara baik. Sementara bagi orang lain, tidak diperke-
nankan mengambil harta saudaranya dengan cara
yang tidak sesuai dengan hukum syariat, seperti
mencuri, korupsi, manipulasi, riba, judi dan lain se-
bagainya. Perolehan harta dengan cara-cara seperti
itu diharamkan. Pelakunya berhak untuk mendapat-
kan hukuman setimpal. Bagi pencuri yang mengambil
harta orang lain secara tidak halal dan sampai pada
kadar tertentu, maka ia bisa dikenai hukuman hudud,
yaitu dipotong tangannya. Bagi para perampok, dalam
kondisi tertentu bisa dikenai hukuman mati dengan
disalib. Hukuman mati, juga bisa diberlakukan kepada
para koruptor yang telah merampok uang rakyat.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 169


Hukuman potong tangan bagi para pencuri yang
telah mengambil harta orang lain dalam kadar ter-
tentu, diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya se-
bagai berikut:
‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِديـَُه َما َجَزاءً ِبَا َك َسبَا نَ َك ًال‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
‫َصلَ َح فَِإ َّن‬ ِ ِ ِ ِ ‫الل ع ِزيز ح ِكيم فَمن َت‬ َِّ ‫ِمن‬
ْ ‫ب من بـَْعد ظُْلمه َوأ‬ َ َ ٌ َ ٌ َ َُّ ‫الل َو‬ َّ
ِ
‫ور َّرح ٌيم‬ َّ ِ ِ
ٌ ‫اللَ َغ ُف‬
َّ ‫وب َعلَْيه إن‬ ُ ُ‫اللَ يـَت‬
َّ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan se-
bagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di an-
tara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejaha-
tan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pe­
ngampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Mâidah:38-39)
Meski para pencuri harus mendapatkan huku-
man setimpal, namun dalam kondisi tertentu bisa di-
tangguhkan. Hal ini jika pencurian tersebut belum me-
menuhi standar yang berlaku, seperti mencuri sedikit
saja, atau dia mencuri dalam kondisi sangat terpaksa.
Hukuman hudud tidak berlaku bagi mereka yang ke-
laparan dan terpaksa harus mencuri untuk menye-
lamatkan jiwanya.
Hal ini pernah terjadi pada masa Umar bin
Khattab. Di masa beliau, pernah ada seseorang yang
melakukan tindakan pencurian. Waktu itu, sedang
170 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
terjadi musim paceklik sehingga mengakibatkan gagal
panen. Pencuri itu berhasil diringkus dan dihadapkan
kepada Khalifah Umar bin Khattab ra.
Umar bin Khattab ra tidak serta merta memberi-
kan hukuman potong tangan kepada seorang pencuri.
Umar bin Khattab ra mempertanyakan dulu, apa se-
bab yang melatarbelakangi dan menyebabkan orang
tersebut melakukan tindak pencurian. Dari penelusu-
ran tersebut, diketahui bahwa seseorang tadi mencuri
karena terpaksa. Ia dan keluarganya dalam posisi bu-
tuh makan. Hal ini bisa dimaklumi, karena waktu itu
kondisi sedang paceklik. Panas berkepanjangan me­
ngakibatkan para petani gagal panen. Dengan kondisi
seperti itu, Umar lantas membuat keputusan bebas
kepada pencuri. Ia tidak dijatuhi hukuman potong ta­
ngan.
Apakah Umar Bin Khattab ra menggugurkan
nas? Tentu saja tidak. Apa yang dilakukan Umar Bin
Khattab ra sesungguhnya karena sikap Umar Bin Kha­
ttab ra yang memahami ruh, spirit dan maqashid nas.
Umar Bin Khattab ra tidak membaca nas secara literal,
atau sekadar memahami nas dengan tinjauan seman-
tik saja. Karena jika pemahaman literal tanpa meli-
hat ruh dari hukum syariah, pencuri, siapapun ia dan
bagaimanapun kondisinya, asal sudah mencapai batas
minimal, maka ia dapat dikenakan hukum potong ta­
ngan.
Bagi Umar Bin Khattab ra, hukum potong tangan
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 171
tidak serta merta bisa diterapkan. Ada persyaratan
yang cukup ketat agar seseorang bisa dipotong ta­
ngannya, di antaranya adalah bahwa ia mencuri bukan
karena terpaksa karena untuk menyambung hidupnya.
Bahkan pencuri seperti, justru harus mendapat-
kan santunan dan perhatian. Ia harus mendapatkan
hak dari baitul mal. Penghidupannya sesungguhnya
mendapatkan dijamin negara. Bukankah di negeri ini
berlaku, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipeli-
hara oleh negara”, seperti klausul pada Pasal 34 ayat
(1) UUD 1945?
Pencuri juga tidak dipotong tangan ketika kondisi
negara dalam keadaan kelaparan. Hal ini, karena ter-
dapat kemungkinan bahwa pencuri melakukan tindak
kriminal karena kebutuhan mendesak. Kecuali jika ter-
dapat pengakuan dari dirinya, atau ada indikasi tertu
yang menunjukkan bahwa ia mencuri bukan karena
terpaksa dan bukan karena kebutuhan, maka ia layak
untuk mendapatkan hukuman potong tangan. Terkait
gugurnya hukuman bagi pencuri karena faktor di atas,
terdapat kaedah yang umum digunakan oleh ulama
ushul yaitu:
‫احلدود تدرأ ابلشبهات‬
Hudud dapat dihindari karena adanya syubuhat.
Di sini, yang dimaksudkan dengan syubuhat ada-
lah ketidakjelasan kondisi pencuri karena faktor-faktor
di atas. Kaedah tersebut diambil dari oleh hadits Rasu-

172 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


lullah SAW:
‫ادرؤوا احلدود ابلشبهات عن املسلمني ما استطعتم فان‬
‫وجدمت املسلم خمرجا فخلوا‬
Artinya: Hindarilah hukuman-hukuman dari
orang-orang islam semampumu. Apabila engkau
mene­mui jalan keluar (selain had), maka bebaskanlah
mereka. (HR. Timidzi)
Maka sangat miris ketika kita membaca berita
bahwa pada tahun 2015, terdapat kasus hukum yang
menimpa seorang nenek berusia 63 tahun. Dia ada-
lah Nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara dengan
masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500
ribu subsider 1 hari hukuman percobaan.
Nenek Asyani divonis bersalah setelah ia didakwa
mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk
dijadikan tempat tidur. Sementara itu, si Nenek beral-
asan bahwa batang pohon jati yang ia tebang diambil
dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya 5 ta-
hun silam.
Atau cerita seorang nenek warga Banyumas, Jawa
Tengah, divonis oleh majelis hakim dengan hukuman 1
bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan tanpa
menjalani kurungan tahanan. Nenek bernama Minah
tersebut didakwa mencuri tiga buah kakao (cokelat)
di perkebunan milik persuhaan PT Rumpun Sari Antan
pada tahun 2009 lalu.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 173


Hukum, sesungguhnya tidak sekadar bicara soal
benar salah. Ada sisi moral dan kemanusiaan yang
ber­ada di balik hukum sehingga hukum tidak dapat
dijatuhkan secara hitam putih. Motif pelaku tindakan
kriminal, menjadi salah satu pertimbangan dalam me-
nentukan dan menjatuhkan suatu hukuman. Seperti
halnya Umar mengancam untuk menghukum orang
yang kecurian, karena si pencuri adalah orang miskin
yang kelaparan.
Selain faktor motif, ada standar minimal atas
barang yang dicuri. Batas minimal harta yang dicu-
ri sehingga seseorang dapat dipotong tangan ada-
lah 3 dihram atau sepertempat dinar. 1 dinar sekitar
1.400.000,- (1 juta empat ratus ribu rupiyah). Jika
seperempat dinar, berarti setara dengan 350 ribu. Ia
mencuri bukan karena kebutuhan, namun mencuri
untuk memenuhi kebutuhan hidup sekunder. Ia men-
curi untuk bermegah-megah dan bermewah-mewah,
seperti yang kita saksikan pada para koruptor negeri
ini.
Atau para pencuri yang memang melakukan tin-
dakan pencurian sudah menjadi profesinya. Ia hidup
hanya bergantung dari tindakan kriminal yang diha-
ramkan agama dan malas untuk bekerja. Ia mencuri
karena faktor narkotika dan rekan-rekannya sesama
preman dan geng. Barang yang dicuri, juga tersimpan
rapi, seperti di rumah, di tempat penitipan seper-
ti bank, atau mencuri account, membobol ATM, dan
174 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
modus lainnya.
Saat ini banyak pencuri yang jauh lebih menger-
ikan. Mereka tidak mengambil uang dengan kisaran
sebesar 350 ribu, namun jutaan, milyaran bahkan tril­
yunan rupiah. Mereka adalah para pejabat korup yang
semestinya dapat hidup berkecukupan dari gaji bulan­
an. Namun karena sikap tamak dan jiwa materialistis­
nya, gaji besar serasa kecil. Itulah akibat sikap tamak
dan upaya untuk menumpuk harta dengan hidup ber-
mewah-mewah. Mereka ini adalah para pejabat yang
untuk meraih kekuasaan, dilakukan dengan cara yang
tidak baik. Dia mengeluarkan hingga milyaran rupiah,
sehingga ketika menjadi pegawai pemerintahan, yang
dipikirkan oleh dirinya adalah upaya untuk mengem-
balikan modal yang telah ia keluarkan. Tidak ada jalan
lain bagi mereka selain mencuri dan merampok uang
negara.
Jika dibandingkan dengan batas minimal pencuri-
an yang hanya sekadar 350 ribu, maka sesungguhnya
mereka sudah tidak layak lagi menyandang gelar pen-
curi. Mereka tidak masuk orang yang hukumannya
dipotong tangannya. Mereka adalah para perampok
uang rakyat. Dalam Islam, perampok, hukumannya
sangat berat, yaitu dibunuh dan disalib dengan dipo-
tong tangan dan kakinya. Hal itu, karena mereka telah
melanggar amanah, mengkhianati rakyat dan negara.
Dengan prilaku korup ini, jutaan masyarakat hidup
di bawah garis kemiskinan. Hukuman perampok se-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 175
bagaimana firman Allah berikut ini:
‫ض‬ ِ ‫اللَ َوَر ُسولَهُ َويَ ْس َع ْو َن ِف ْال َْر‬ َّ ‫ين ُيَا ِربُو َن‬ ِ َّ َِّ
َ ‫إنَا َجَزاءُ الذ‬
‫صلَّبُوا أ َْو تـَُقطَّ َع أَيْ ِدي ِه ْم َوأ َْر ُجلُ ُه ْم ِم ْن‬
َ ُ‫فَ َس ًادا أَ ْن يـَُقتـَّلُوا أ َْو ي‬
‫الدنـْيَا َوَلُْم ِف‬
ُّ ‫ي ِف‬ ِ َ ِ‫ض َذل‬ ِ ‫ف أ َْو يـُنـَْف ْوا ِم َن ْال َْر‬ ٍ ‫ِخ َل‬
ٌ ‫ك َلُْم خ ْز‬
‫اب َع ِظ ٌيم‬ ِ
ٌ ‫ْالَخَرِة َع َذ‬
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka secara silang, atau dibuang dari negeri (tem-
pat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat me­
reka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al Maidah: 33)
Di negeri ini, terlalu banyak para perampok uang
negara. Ratusan kepada daerah banyak yang terja­
ring KPK. Sayangnya, hukuman yang dijatuhkan kepa-
da mereka, rasanya tidak setimpal. Akibatnya korupsi
tetap menjadi budaya dan profesi menggiurkan. Ba-
rangkali, korupsi yang menjadi momok masyarakat
akan berkurang jika mereka mendapatkan hukuman
mati dengan disalib. Orang akan berfikir seribu kali un-
tuk mengambil harta negara, apalagi sampai jumlah­
nya trilyunan rupiah. Kapankah kondisi itu bisa terjadi?

176 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Ijtihad Umar Bin Khattab
Terkait Pembagian Ghanimah

Khalifah Umar Bin Khattab ra. terkenal sebagai


pemimpin umat yang banyak melakukan ijtihad fikih.
Beliau melakukan banyak terobosan yang membawa
banyak maslahat bagi umat Islam. dalam berijtihad,
beliau selalu melihat dari sisi maqashi atau tujuan di-
turunkannya hukum syariat. Spirit teks, selalu menjadi
landasan dalam pemikiran dan ijtihad Umar Bin Khat-
tab ra. Ijtihad Khalifah Umar tersebut, banyak menjadi
inspirasi bagi para ulama ushul.
Terkadang, beliau melakukan ijtihad yang secara
kasat mata, seakan-akan kontraversi karena dianggap
bertentangan dengan nas. Namun sesungguhnya, ijti-
had tersebut mencerminkan spirit dari nas. Di antara
ijtihad khalifah Umar tersebut adalah pembagian gha­
nimah berupa tanah rampasan yang tidak dibagikan
kepada para militer. Padahal tanah tersebut diperoleh
dengan peperangan hasil pembukaan wilayah ter-
tentu. Bukankah harta tersebut bukan sebagai harta
fa’i yang pembagiannya murni otoritas Rasulullah saw,
Kholifah atau Ulil Amri? Bukankah masalah ghanimah
aturannya sudah dijelaskan secara rinci dalam al-Qu-
ran dan harus dibagi kepada para tentara yang ikut
andil dalam peperangan?
Terkait pembagian ghanimah di atas, Umar

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 177


bin Khatab ra melihat dua maslahat sekaligus, yaitu
maslahat bagi negara dan maslahat bagi penduduk.
Masalahat untuk negara, dapat dilihat dari sisi keputu-
san Umar Bin Khattab yang membiarkan tanah menja-
di milik penduduk. Hanya saja, Umar mewajibkan pa-
jak tanah (kharraj) yang sifatnya tahunan. Uang pajak
ini masuk ke kas Negara. Secara ekonomi, jelas pajak
menjadi masukan negara yang sifatnya berkelanju-
tan. Tentu saja, pajak tadi akan kembali kepada umat
masya­rakat secara umum.
Ia juga menguntungkan bagi pendududuk. De­
ngan membiarkan tanah menjadi milik penduduk,
berarti memberikan sumber kehidupan bagi masya­­­
rakat. Mereka mempunyai pekerjaan tetap yang dapat
menjadi jaminan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak
tergolong miskin yang menjadi beban negara. Mereka
juga tidak menimbulkan masalah sosial akibat kemis­
kinan yang menimpanya.
Apa yang dilakukan oleh khalifah Umar Bin
Khattab, sesungguhnya karena kedalaman ilmu pen-
getahuan Umar Bin Khattab dalam memahami nas.
Umar melihat ruh dan spirit nas terkait dengan masla-
hat hamba. Alasan Umar membiarkan tanah pada
pemilik­nya agar mereka punya sumber penghidupan.
Ini ar­tinya Umar Bin Khattab tidak mau membiarkan
mereka mati kelaparan. Dalam ilmu maqashud mem-
berikan jaminan penghidupan hukumnya wajib dan
disebut dengan istilah hifzhunnafsi min janibil wujud
178 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
(menjaga jiwa agar tetap eksis). Sikap tersebut juga
menguntungkan Negara karena menjadi sumber kas
Negara. Pengembangan keuangan ini terkait erat den-
gan menjaga harta atau hifz al-mal. Jadi, Umar Bin
Khattab ra. tetap mengacu pada maslahat.
Khalifah Umar Bin Khattab menggunakan dalil
maslahat dengan melihat pada “upaya menutup pin-
tu bencana kebinasaan”. Jadi Umar menggunakan
kaedah Sadd Adzariah dengan melihat dari sisi eksis-
tensi penghidupan penduduk (hifz annafs).
Andai harta itu diberikan kepada militer, kira-kira
apa yang akan terjadi? Akan muncul banyak masalah
sosial. Akan ada orang yang tidak mempunyai sumber
penghidupan. Ia menjadi orang miskin. Bisa jadi, ia
akan menjadi pengemis sehingga menjadi sumber ma-
salah bagi negara. Atau bisa jadi malah ia melakukan
tindakan kriminal. Jika ini terjadi, maka yang dirugikan
adalah negara. Mafsadah yang akan ditimbulkan jauh
lebih besar dan ini harus dihindari. Dalam kaedah us­
hul dikatakan:
‫تقدم املصلحة الكبرية على املصلحة الصغرية‬
Didahulukan maslahat besar dari maslahat kecil
‫تقدم املصلحة الدائمة على املصلحة العريضة او املؤقتة‬
Didahulukan kepentingan yang lebih abadi dari
pada kepentingan yang bersifat temporal
‫تقدم املصلحة املتيقنة على املصلحة املظنونة‬
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 179
Didahulukan maslahat yang sudah pasti dari
maslahat yang masih meragukan.
‫درء املفسدة مقدم على جلب املصلحة‬
Menutup mafsadah didahulukan daripada untuk
mendapatkan maslahat
Dr. Yusuf al-Qardhawi memberikan jawaban yang
sangat rinci, ringkasnya sebagai berkut:
1. Bahwa tidak semua harta hasil taklukan tentara
muslim bisa disebut dengan ghanimah. Ghanimah
adalah harta yang bisa dibawa, seperti kuda-kuda,
emas perak, pedang dan lain sebagainya. Sementa-
ra tanah rampasan tidak termasuk.
2. Tidak semua perintah Nabi Muhammad saw
menunjukkan makna wajib. Ia baru menjadi se-
buah kewajiban manakala ada indikator kewajiban.
3. Umumnya, prilaku Nabi Muhammad SAW adalah
sikap beliau sebagai kepala negara yang melihat se-
suatu berdasarkan pada maslahat bangsa dan ne­
gara.
4. Di Khaibar, Rasul membagi tanah kepada para ten-
tara. Pembagian ini lebih kepada kebutuhan masya­
rakat Madinah kala itu, ini pun tidak semua tanah
Khaibar dibagi.
5. Waktu terjadi Fathul Makkah, Rasulullah SAW sama
sekali tidak membagi tanah Mekah kepada tentara.
Ini artinya bahwa Nabi Muhammad tidak selalu
membagi tanah hasil pembukaan kepada tentara

180 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Islam.
6. Melakukan sesuatu, atau meninggalkan sesuatu
merupakan bagian dari sunnah Rasulullah SAW.
Keduanya bisa dilaksanakan sesuai dengan masla-
hat. Artinya, pembagian tanah atau tidak, akan dit-
injau dari sisi maslahat umat Islam.
Lagi pula yang mengusulkan tidak adanya pem-
bagian tanah tadi bukan hanya Umar, namun juga sa-
habat Ali bin Abi Thalib ra. dan para sahabat lainnya.
Di sini para sahabat sesungguh tidak mendahulukan
maslahat dari nas, namun menerapkan nas sesuai
dengan konteks dan kebutuhan umat.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 181


182 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Pembukuan Mushaf Pada Masa
Abu Bakar ash-Shidiq

Pada masa Rasulullah masih hidup, para sahabat


menuliskan al-Quran di berbagai tempat, batu, tulang,
pelepah kurma dan lain sebagainya. Ketika ayat al-Qu-
ran turun, sahabat segera menulisnya dengan media
yang ada di sekitanya. Al-Quran masih turun, dan be-
lum menjadi satu mushaf yang terbukukan secara rapi.
Hal ini berlanjut hingga Rasulullah wafat.
Pada masa awal khalifah Abu Bakar, pun belum
ada satu mushaf yang menjadi pegangan umat Islam.
Ada beberapa sahabat yang mempunyai mushaf sendi-
ri, namun sifatnya pribadi dan bukan menjadi mushaf
yang digunakan umat Islam secara umum. Al-Quran
masih menjadi ayat yang berada dalam dada para sa-
habat.
Pada masa Abu Bakar, pernah terjadi Perang Ya-
mamah, yaitu pertempuran yang dipimpin oleh Kha-
lid Bin Walid untuk menumpas pemberontak yang di­
pimpin oleh Musailamah Al-Kadzab. Musailamah ini,
mengaku sebagai nabi baru setelah Nabi Muhammad
saw wafat.
Pada pertempuran yamamah, sebanyak 70 peng-
hafal al-Quran syahid. Banyaknya korban dari pasukan
muslim yang merupakan para hufaz al-Quran, menim-
bulkan kekhawatiran di kalangan para sahabat khu-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 183


susnya Umar Bin al-Khattab. Umar khawatir al- Quran
jika akan hilang. Ia memikirkan generasi umat Islam
setelahnya, bagaimanakah jika semua hufaz banyak
yang syahid.
Melihat kondisi seperti ini, Umar Bin Khattab
datang menemui Abu Bakar ash-Shidiq. Umar me-
ngusulkan kepada Abu Bakar untuk menghimpun
surah-surah dan ayat-ayat yang masih tersebar ke
dalam satu mushaf. Usulan Umar bin Khatab tidak
serta merta diterima oleh khalifah Abu Bakar.
Alasannya adalah bahwa pembukuan mushaf al-
Quran belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.
Hanya saja, Umar melihat bahwa pembukuan
mushaf merupakan hal yangs sangat darurat. Pem-
bukuan mushaf akan memberikan banyak maslahat
bagi umat Islam. Jika saat itu umat Islam mengum-
pulkan surat dan ayat al-Quran menjadi satu mushaf,
dikhawatirkan kelak akan terjadi masalah bagi umat Is-
lam semuanya. Maka Umar meyakinkannya Abu Bakar
bahwa hal tersebut semata-mata menjaga al-Aquran.
Setelah diyakinkan Umar, Abu Bakar akhirnya
setuju. Karena mengumpulkan ayat al-Quran bukan
perkara mudah, maka Abu Bakar membentuk pani-
tia pengumpulan yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit.
Hal itu, karena Zaid adalah sekretaris nabi yang se­
ring menuliskan ayat-ayat al-Quran. Jadi zaid sangat
paham dengan berbagai ayat al-Quran. Panitia ber-
pegang pada berbagai tulisan yang ada dan tersimpan
184 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
‫‪oleh para sahabat, juga tulisan-tulisan yang tersimpan‬‬
‫‪di rumah Rasul. Panitia juga berpedoman pada hafalan‬‬
‫‪para sahabat nabi Muhammad SAW. Dengan penuh‬‬
‫‪ketekunan dan kehati-hatian, panitia bergerak. Hingga‬‬
‫‪akhirnya, ayat al-Quran dapat dibukukan menjadi satu‬‬
‫‪mushaf. Terkait hal ini terdapat riwayat sebagaimana‬‬
‫‪berikut:‬‬
‫اللُ َعْنهُ – َوَكا َن ِم َّْن‬ ‫ي َر ِض َي َّ‬ ‫صا ِر َّ‬ ‫ٍ‬
‫َن َزيْ َد بْ َن َثبِت األَنْ َ‬ ‫أ َّ‬
‫ل أَبُو بَ ْك ٍر َم ْقتَ َل أ َْه ِل اليَ َم َام ِة‬ ‫ال‪ :‬أ َْر َس َل إِ ََّ‬ ‫الو ْح َي – قَ َ‬ ‫ب َ‬ ‫يَ ْكتُ ُ‬
‫ال‪ :‬إِ َّن ال َقْت َل‬ ‫ال أَبُو بَ ْك ٍر‪ :‬إِ َّن عُ َمَر أ ََتِن‪ ،‬فـََق َ‬ ‫َو ِعْن َدهُ عُ َمُر‪ ،‬فـََق َ‬
‫َخ َشى أَ ْن يَ ْستَ ِحَّر ال َقْت ُل‬ ‫َّاس‪َ ،‬وإِِّن أ ْ‬ ‫استَ َحَّر يـَْوَم اليَ َم َام ِة ِبلن ِ‬ ‫قَ ْد ْ‬
‫آن إِلَّ أَ ْن َْت َمعُوهُ‪،‬‬ ‫اط ِن‪ ،‬فـي ْذهب َكثِري ِمن ال ُقر ِ‬ ‫ِبل ُقَّر ِاء ِف املو ِ‬
‫ََ َ َ ٌ َ ْ‬ ‫ََ‬
‫ت لِعُ َمَر‪:‬‬ ‫َوإِِّن َل ََرى أَ ْ ْ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ ُْ ُ‬
‫ل‬ ‫ـ‬ ‫ق‬ ‫‪:‬‬‫ر‬‫ٍ‬ ‫ك‬
‫ْ‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫َب‬‫أ‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫“‪،‬‬ ‫ن‬ ‫آ‬
‫ر‬ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ت‬
‫َ‬ ‫ن‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم؟»‬ ‫ول َِّ‬ ‫ف أَفـَْع ُل َشيـْئًا َلْ يـَْف َع ْلهُ َر ُس ُ‬
‫الل َ‬ ‫« َكْي َ‬
‫الل َخيـٌْر‪ ،‬فـَلَ ْم يـََزْل عُ َم ُر يـَُر ِاجعُ ِن فِ ِيه َح َّت‬ ‫ال عمر‪ :‬هو و َِّ‬
‫فـََق َ ُ َ ُ ُ َ َ‬
‫ال َزيْ ُد بْ ُن‬ ‫ت الَّ ِذي َرأَى عُ َم ُر‪ ،‬قَ َ‬ ‫ص ْد ِري‪َ ،‬وَرأَيْ ُ‬ ‫ك َ‬
‫شرح َّ ِ ِ‬
‫اللُ ل َذل َ‬ ‫ََ َ‬
‫ت‪ :‬وعمر ِعْن َده جالِ‬ ‫ٍِ‬
‫ك َر ُج ٌل‬ ‫ال أَبُو بَ ْك ٍر‪ :‬إِنَّ َ‬ ‫س الَ يـَتَ َكلَّ ُم‪ ،‬فـََق َ‬ ‫ٌ‬ ‫َثب َ ُ َ ُ ُ َ‬
‫ول َِّ‬
‫الل‬ ‫ك‪ُ « ،‬كْنت تَ ْكتُب الوحي لِرس ِ‬ ‫ش ٌّ ِ‬
‫اب َعاق ٌل‪َ ،‬والَ نـَتَّ ِه ُم َ‬ ‫َ‬
‫ُ َْ َ َُ‬ ‫َ‬
‫الل لَ ْو َكلَّ َف ِن‬ ‫ِ‬‫اجَ ْعهُ‪ ،‬فـََو َّ‬ ‫ِ‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم» ‪ ،‬فـَتـَتـَبَّ ِع ال ُق ْرآ َن فَ ْ‬ ‫َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫نـَْق َل َجبَ ٍل م َن اجلبَال َما َكا َن أَثـَْق َل َعلَ َّي مَّا أ ََمَرن به م ْن َجْ ِع‬ ‫ِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫صلَّى هللاُ‬ ‫َّب َ‬ ‫ف تـَْف َعالَن َشيـْئًا َلْ يـَْف َع ْلهُ النِ ُّ‬ ‫ت‪َ « :‬كْي َ‬ ‫ال ُق ْرآن‪ ،‬قـُْل ُ‬
‫ِ‬ ‫ال أَبو ب ْك ٍر‪ :‬هو و َِّ‬ ‫ِ‬
‫الل َخيـٌْر‪ ،‬فـَلَ ْم أ ََزْل أ َُراجعُهُ‬ ‫َعلَْيه َو َسلَّ َم؟» فـََق َ ُ َ ُ َ َ‬
‫ص ْد َر أَِب بَ ْك ٍر َوعُ َمَر‪،‬‬ ‫اللُ لَهُ َ‬ ‫ص ْد ِري لِلَّ ِذي َشَر َح َّ‬ ‫اللُ َ‬ ‫َح َّت َشَر َح َّ‬
‫‪Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih‬‬ ‫‪185‬‬
‫ب‬ ِ ‫ والعُس‬،‫اف‬ ِ ِ ِ ْ ‫ت ال ُق ْرآ َن أ‬
ُ َ َ‫َجَعُهُ م َن الّرقَ ِاع َواألَ ْكت‬ ُ ‫ت فـَتـَتـَبـَّْع‬
ُ ‫فـَُق ْم‬
َ‫ي َم َع ُخَزْيَة‬ ِ َْ‫ت ِم ْن ُسورِة التـَّوبَِة آيـَتـ‬ ُ ‫ َح َّت َو َج ْد‬،‫ص ُدوِر الِّر َج ِال‬ ُ ‫َو‬
ْ َ
ٌ ‫ {لََق ْد َجاءَ ُك ْم َر ُس‬،‫َح ٍد َغ ِْيِه‬
‫ول ِم ْن‬ ِ ِ ‫األَنْصا ِر‬
َ ‫ي َلْ أَج ْد ُهَا َم َع أ‬ ّ َ
ِ ِ ِ
]128 :‫يص َعلَْي ُك ْم} [التوبة‬ ٌ ‫أَنـُْفس ُك ْمِ َع ِز ٌيز َعلَْيه َما َعنت ُّْم َح ِر‬
‫ج َع فِ َيها ال ُق ْرآ ُن ِعْن َد أَِب بَ ْك ٍر‬ ُِ ‫الصحف الَِّت‬ ِ
ُ ُ ُّ ‫ َوَكانَت‬،‫إِ َل آخ ِرهَا‬
ِ
َ‫صة‬ ِ َّ ُ‫ ُثَّ ِعْن َد عُ َمَر َح َّت تـََوفَّاه‬،ُ‫الل‬
َّ ُ‫َح َّت تـََوفَّاه‬
َ ‫ ُثَّ عْن َد َح ْف‬،ُ‫الل‬
‫ت عُ َمر‬ ِ ‫بِْن‬.
Bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari ra -salah seo-
rang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As Shiddiq
datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika
itu Umar disampingnya. Abu Bakr berkata bahwasanya
Umar mendatangiku dan mengatakan; “Sesungguh­
nya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa)
para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para
penghafal Qur’an di negeri-negeri lainnya sehingga
banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau me-
merintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al
Qur`an.” Abu Bakar berkata kepada Umar; “Bagaima-
na aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah
dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
Umar menjawab; “Demi Allah hal itu adalah sesuatu
yang baik.” Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah
melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan
dada Umar dan aku sependapat dengannya.
Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu

186 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak
berkata apa-apa.- “Sesungguhnya kamu adalah pemu-
da yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu
juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alai-
hi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur’an (de­
ngan seksama).” Zaid berkata; “Demi Allah, seandai­
nya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung
dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih
berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendoku-
mentasian al Qur’an). kenapa kalian mengerjakan se-
suatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallal-
lahu ‘alaihi wasallam?” Abu Bakar menjawab; “Demi
Allah hal itu adalah baik.”
Aku pun terus mengulanginya, sehingga Allah
melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan
dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kum-
pulkan al Qur’an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kur-
ma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sa-
habat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat
Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temu-
kan pada sahabat mana pun. Yaitu ayat: Sungguh telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat meng-
inginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka
katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan
selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 187


adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (9: 128-
129). Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu bera-
da pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada
pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada
Hafshah putri Umar. (HR. Bukhari).
Pembukuan mushaf tersebut merupakan bagian
dari pemahaman para sahabat terhadap maqashid sya-
riah. Para sahabat melihat bahwa jika al-Quran tidak
dibukukan, maka akan berbahaya bagi kelangsungan
umat Islam. Pembukuan mushaf, merupakan bagian
dari upaya untuk melindungi agama. Dalam maqashid
syariah, disebut dengan hifzuddin min janibil adam,
yaitu menjaga eksistensi agama agar tidak punah.
Para sahabat mempunyai peran penting dalam
berbagai proses ijtihad. Para sahabat mewarisi ilmu
langsung dari Rasulullah saw. Mereka dapat memaha-
mi nas dengan baik, karena mereka hidup di te­ngah-
tengah Rasulullah saw. Para sahabat mengetahui di
mana, sebabnya apa dan kapan suatu ayat diturunkan.
Para sahabat juga melihat langsung Rasulullah saw se-
hingga memahami, mengapa Rasulullah saw bersab-
da. Mereka juga mempunyai pendalaman bahasa arab
secara natural yang mereka dapatkan dari lingkungan
hidup mereka. Tidak mengherankan jika mereka dapat
memahami persoalan umat dengan baik serta mampu
menggali berbagai ketentuan hukum secara langsung
dari nas dan sesuai dengan maslahat umat Islam. Me­
reka paham dengan spirit, maslahat dan maqashid
188 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
syariah.
Para sahabat menjadi teladan utama bagi para
ulama sesudah mereka. Para sahabat memberikan
banyak contoh mengenai sistematika ijtihad sesuai
dengan spirit nas. Metodologi ijtiihad sahabat ini, se-
sungguhnya yang menjadi landasan dan kemudian
dikembangkan oleh para ulama ushul pada masa-ma-
sa selanjutnya. Sahabat menjadi teladan yang baik da-
lam melakukan proses ijtihad.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 189


190 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Maqashid Syariah Pada Masa Tabiin

Tabiin adalah generasi awal yang hidup setelah


para sahabat dan sempat bertemu dengan sahabat.
Ulama generasi tabiin banyak mengambil ilmu penge-
tahuan dari para sahabat. Mereka mengambil hadits,
fikih, tafsir, fatwa dan berbagai keilmuan Islam lainnya
dari para sahabat. Mereka juga mengambil sistemati-
ka ijtihad yang sebelumnya dilakukan oleh para saha-
bat, termasuk di dalamnya adalah sistem ijtihad ma-
qashidi.
Dalam kitab “Ijtihad al-Maqashidi” karya Nurud-
din al-Khadimi, beliau mengatakan sebagai berikut,
"Dikisahkan dari para tabiin bahwa tatkala mereka
menemukan suatu perkara yang tidak ada dalam nas,
mereka akan memutuskan perkara yang mengandung
maslahat bagi hamba. Mereka menggunakan qiyas
dan ijtihad dengan akal”. Nuruddin al-Khadimi lantas
menukil pendapat ulama dari kalangan tabiin yaitu
Ibrahim Annakhi yang mengatakan "Semua hukum Al-
lah ada tujuan, hikmah dan maslahat yang akan kem-
bali kepada kita”.
Para ulama tabiin yang mendapatkan ilmu pe­
ngetahuan dari para sahabat, lantas berpencar ke
berbagai belahan dunia Islam. Mereka mengajarkan
berbagai cabang ilmu pengetahuan ke masyarakat. Se-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 191


bagian dari mereka ada yang ke Irak, Mesir, Syam, dan
lain sebagainya. Ilmu keislaman pun berkembang pe-
sat, bukan hanya berpusat di Madinah, namun meluas
ke banyak kota-kota Islam.
Generasi tabiin mempunyai andil yang sangat
besar dalam upaya penyebaran ilmu pengetahuan.
Terkait hal ini, Ibnul Qayyim berkata, “Agama, fikih dan
ilmu pengetahuan menyebar luas dikalangan umat Is-
lam melalui tangan Ibnu Masud, para santri dari Zaid
bin Tsabit, para santri Abdullah bin Umar, dan para
santri Abdullah bin Abas. Umat Islam secara umum
me­ngetahui berbagai urusan agama dari para santri
empat sahabat tadi. Para ulama generasi tabiin telah
mengambil ilmu dari para sahabat sesuai dengan ke-
mampuan mereka. Ulama Tabiin hafal hadits-hadits
Nabi Muhamad SAW. Mereka juga memahami mazhab
fikih para sahabat. Mereka berusaha keras untuk
mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan dari para
sahabat. Mereka lalu melakukan sistem tarjih dengan
memilih satu pendapat dari pendapat lainnya. Dari
sini, para tabiin membangun mazhab sendiri sesuai
dengan kecenderungan masing masing.1

1
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, I’lâmul Muwaqqî ‘An Rabbil âlmîn, Syirkah
Al-Fanniyyah Al-Muttahidah, 1968, jilid 1 hal. 21

192 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Sistem Ijtihad Maqashidi
Generasi Tabiin

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa


generasi tabiin juga telah melakukan banyak ijtihad
yang salah satunya ijtihad dengan melihat pada sisi
maslahat. Terkait sistem ijtihad generasi tabiin terse-
but, sesungguhnya dapat dilihat dari beberapa sisi
berikut, di antaranya adalah:
Pertama, para ulama tabiin, sebagaimana yang
didapat dari generasi sahabat, selalu mendahulukan
ijtihad dengan al-Qur’an dan sunnah. Dua pusaka tadi,
tidak sekadar dipahami secara tekstual, namun juga
melihat dari sisi-sisi lain yang kiranya dapat membawa
maslahat bagi umat Islam. ulama tabiin memahami
benar bahwa al-Qur’an dan sunnah nabi, diturunkan
tidak untuk memberatkan hamba, namun demi rah-
mat bagi semua alam. Ini artinya bahwa sisi-sisi masla-
hat yang terkandung di dalam al-Qu’ran dan sunnah,
betul-betul menjadi spirit mereka.
Kedua, generasi sahabat, terutama Umar Bin
Khattab ketika berijtihad banyak melihat sisi masla-
hat. Kenyataannya, ijtihad Umar tersebut banyak
mendapatkan sambutan dan diikuti oleh generasi ta-
biin. Pada masa tabiin ini, mulai muncul model ijtihad
dengan akal (ijtihad birra’yi) yang berkembang di bak-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 193


dad bahkan juga berkembang di Madinah. Ijtihad bi-
ra’yi ini, sesungguhnya adalah proses ijtihad dengan
melihat pada sisi-sisi maslahat dengan rasionalisasi
kitab suci dan sunnah nabi Muhammad saw. Memang
ada sedikit perbedaan antara ijtihad dengan akal yang
berkembang di madinah dengan di irak. Ijtihad dengan
akal bagi ulama Madinah, biasanya merupakan ijtihad
maslahat atau maslahah mursalah, sementara ijtihad
dengan akal bagi ulama Irak, maksudnya adalah ijti-
had dengan menggunakan qiyas. Baik ijtihad dengan
maslahat mursalah atau dengan sistem qiyas, sesung-
guhnya merupakan upaya untuk memberikan solusi
hukum yang sesuai dan memberikan maslahat bagi
masyarakat luas. Keduanya merupakan bukti ril men-
genai ijtihad maqashidi di tangan para generasi tabiin.
Mengapa antara ijtihad Madinah dengan Bag-
dad bisa berbeda, di mana madinah lebih mengede-
pankan sisi maslahah mursalah sementara Irak lebih
mengedepankan qiyas? Di antara penyebabnya tentu
saja perbedaan kecenderungan ijtihad para ulama. Hal
ini, karena setiap ulama mempunyai kapabilitas dan
tingkat intelektual yang berbeda. Ilmu pengetahuan
yang mereka dapatkan juga berbeda. Tentu saja, per-
bedaan kepakaran ini akan berimplikasi kepada perbe-
daan mereka dalam memandang dan mencari solusi
hukum terhadap suatu persoalan.
Selain itu, letak geografis dari para ulama juga
memberikan pengaruh terhadap sistem ijtihad. Di
194 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Madinah, banyak sahabat nabi Muhammad saw. Ma-
dinah juga tempat di mana Rasulullah SAW mendidik
gene­rasi sahabat. Dari sini, maka tradisi yang berkem-
bang di Madinah, bisa dikatakan merupakan tradisi
yang telah diamini oleh Nabi Muhammad SAW, maka
tidak heran jika Imam Malik, salah satu ulama generasi
tabiit tabiin mengatakan bahwa tradisi ahli Madinah
menjadi salah satu pertimbangan dalam berijtihad.
Sementara itu, Irak merupakan bekas tempat
kekuasaan Persia. Banyak budaya dan tradisi yang di-
warisi oleh bangsa Persia. Selain itu, Irak juga tempat
bertemunya para intleketual di zamannya, baik dari
kalangan para filsuf Yunan, Persia dan lain sebagainya.
Dari sana, maka berpengaruh terhadap sistem ijtihad.
Keberadaan sahabat nabi dan juga hadits nabi, tidak
semelimpah yang ada di masyarakat Madinah. Kondisi
sosial dan persoalan yang dihadapi, juga berbeda de­
ngan persoalan yang ada di Madinah. Irak.
Di Irak, banyak terdapat aliran kepercayaan ne-
nek moyang dan pergolakan politik yang cukup panas,
sehingga berimplikasi kepada karakter seseorang.
Tingkat kejujuran masyarakat Irak, berbeda dengan
tingkat kejujuran masyarakat Madinah. Hadis yang
sampai ke Irak, melalui proses lebih panjang, dan bisa
jadi ada pengaruh atas kondisi politik sehingga me­
mungkinkan adanya manipulasi hadis nabi demi untuk
mendapatkan kekuasaan politik. Untuk itu, kajian ter-
hadap hadits nabi harus lebih diperketat. Para ulama
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 195
harus jeli dan dalam ketika mengkaji tentang sistem
jarah dan ta’dil terhadap kualitas seorang perawi. Hal
ini, guna mendapatkan hadis yang benar-benar
shahih dan jauh dari hadis buatan yang tujuannya
sekadar untuk mendukung kelompoknya atau ambisi
politik kekuasaan tertentu. Oleh karena sebab inilah,
maka para ulama Irak, lebih mendahulukan qiyas
dibandingkan dengan hadits dhaif. Dikawatirkan,
daifnya hadits sangat jauh sehingga sampai pada titik
hadits maudhu atau hadits palsu. Untuk mem-
perjelas mengenai ijtihad maqashidi di era tabiin,
berikut kami sebutkan beberapa contoh model
ijtihad mereka.1

1
Nuruddin bin Mukhtar al-Khadii, Al-Ijtihâd al-Maqâshidi, Qathar, 1998,
hal.

196 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Maqashid Era Tabiin;
Ibrahim An-Nakh’iy

Beliau adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais bin As-


wad bin Amru bin Rabiah bin Haris bin Saad bin Malik
an-Nakh’iy. Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 47
H. pendapat lain menyatakan bahwa beliau lahir ta-
hun 39 H. beliau dikenal sebagai ulama besar di era
Tabiin. Beliau banyak menimba ilmu sahabat Ibnu
Mas’ud. Pada masanya, beliau dianggap sebagai muft-
inya penduduk Kufah. Said bin Jubir, salah seorang sa-
habat Ibrahim an-Nakh’iy juga seorang ulama besar.
Ketika ada orang meminta fatwa kepada beliau, beliau
sering berkata, “Bagaimana bisa kalian meminta fatwa
kepadaku, sementara masih ada ulama besar seperti
Ibrahim an-Nakh’iy.
Dalam kitab al-Fikru Assamiy disebutkan bahwa
ulama besar era tabiin, Ibrahim an-Nakh’iy menya-
takan, hukum syariat secara makna bisa dinalar. Hal ini
karena semua hukum syariat selalu mengedepankan
maslahat umat bagi manusia. Ia mengandung hikmah
dan illat yang dapat diketahui dengan logika melalui
kajian al-Quran dan sunnah. Menurutnya bahwa hu-
kum syariat diturunkan demi kebaikan dan kemaslaha-
tan manusia. Posisi mujtahid sesungguhnya mencari
solusi alternatif dan memberikan ketetapan hukum

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 197


dengan melihat pada illat hukum agar dapat diketa-
hui secara pasti. Jika illat hukum telah nampak, maka
berbagai persoalan cabang dapat dikiyaskan kepada
hukum asli.
Menurut beliau bahwa hukum Allah selalu mem-
punyai tujuan berupa maslahat manusia. Menentukan
illat hukum yang terdapat pada nas menjadi penting,
karena ia terkait erat dengan berbagai persoalan furu
lainnya. Hukum pada persoalan cabang (furu), sa­
ngat ditentukan pada illat yang terletak pada hukum
asal. Jika suatu hukum mempunyai ilat tertentu, maka
ketetapan hukum ada padanya. Jika illat hilang, maka
ketetapan hukum awal menjadi hilang dan berubah
kepada hukum lain. Terkait hal ini, terdapat kaedah
ushul yang berbunyi:
‫احلكم يدور مع علته وجودا وعدما‬
Ada tidaknya suatu hukum bergantung kepada
ada dan tidaknya illat hukum.1
Untuk menentukan illat tadi, tentu butuh kajian
mendalam terkait spirit dan tujuan nas. Oleh karena
itu, Ibrahim an-Nakh’iy dalam melakukan proses ijti-
had tidak berpaku kepada zhahir nas saja. Beliau se-
lalu melihat apa yang berada di balik nas dengan me-
lihat pada tujuan sesungguhnya yang diinginkan oleh
1
Sulaiman bin Samhan bin Maslah bin Hamdan bin Masfar, Kasyful Awham
wal Iltibas An Tasyabuhi Ba’dhi al-Aghba, Darul Ashimah, Riyad, hal. 150
Muhammad Ali Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-Hakim, Tafsir al-Manar, Al-
Haiah Al-Mishriyyah Al-Ammah Lil Kitab, 1990, Jilid 7 hal. 66

198 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


nas. Spirit nas tersebut nantikan dapat dijadikan se-
bagai pegangan untuk melakukan ijtihad atas perso-
alan yang ada di masyarakat yang terkadang berbeda
dengan apa yang tertera secara zhahir nas. Ada mak-
na-makna tersirat di balik nas. Lafal-lafal seperti yang
tertera dalam nas itu, bukanlah makna akhir dan tidak
bersifat tertutup. Karena jika pemahamannya sekadar
melihat nas secara tekstual, maka yang terjadi ada-
lah sikap literal. Seorang mujtahid pada ahirnya tidak
dapat bersikap lentur dan bahkan akan kaku dalam
menyikapi persoalan. Ia akan melihat suatu perma­
salahan dari sudut benar salah, hitam putih.
Tentu ini mempunyai implikasi sosial. Hukum Is-
lam, jika diterapkan secara hitam putih, bisa jadi akan
menimbulkan beban berat bagi hamba, bukan seba­
liknya mempermudah persoalan hamba. Hukum Islam
menjadi kaku dan pada akhirnya banyak yang merasa
apriori. Apalagi jika apa yang kita pahami, dianggap
menjadi satu-satunya kebenaran, sementara yang lain
salah. Pada ahirnya, muncul sikap benar sendiri dan
mudah menghakimi orang lain yang berbeda. Pada-
hal bisa jadi, perbedaan itu muncul karena perbedaan
situasi dan kondisi.
Memang dalam berijtihad, harus memulai de-
ngan nas. Nas menjadi pijakan awal untuk melihat apa
yang terkandung dari spirit nas. Ini pula yang dilaku-
kan oleh Imam Ibrahim An-nakh’iy itu. Karena dari
nas, banyak persoalan yang bisa ditarik untuk dicari-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 199
kan solusi alternatifnya sesuai dengan kebutuhan ma­
syarakat dan tetap melihat pada sisi spirit serta makna
nas. Oleh karenanya, ijtihad beliau sangat realistis dan
kontekstual. Inilah ijtihad maqashidi itu.
Imam Ibrahim an-Nakh’iy, sebagaimana ulama
lainnya selalu berpegang pada kaedah berikut ini:
‫العربة للمعاين ال لاللفاظ واملباين‬
Prinsip yang dijadikan pegangan adalah makna,
bukan struktur lafal dan kalimat.
Sebelumnya telah kami sampaikan bahwa dalam
menentukan hukum, para imam madzhab selalu me-
lihat sisi maslahat. Kiyas, istihsan, maslahat mursalah,
istishab dan lain sebagainya, sesungguhnya bermuara
pada sisi maslahat. Para imam madzhab dalam berij-
tihad, terkadang terkesan menyalahi nas, namun se-
sungguhnya adalah tidak. Justru pemahaman mereka
yang mendalam atas substansi dari nasi itulah sehing-
ga mereka mampu menyelami maksud dan tujuan se-
sungguhnya dari suatu nas.

200 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Imam Malik dan Imam Syafii Pun
Berpegang Pada Maslahat

Para imam madzhab selalu melihat sisi maslahat.


qiyas, istihsan, maslahat mursalah, istishab dan lain
sebagainya, sesungguhnya bermuara pada sisi masla-
hat. Para imam madzhab dalam berijtihad, terkadang
terkesan menyalahi nas, namun sesungguhnya ada-
lah tidak. Justru pemahaman mereka yang mendalam
atas substansi dari nasi itulah sehingga mereka mam-
pu menyelami maksud dan tujuan sesungguhnya dari
suatu nas.
Imam Malik membolehkan negara turut campur
dalam urusan ekonomi umat. Jika di pasaran, ada ba-
rang kebutuhan yang mendesak dan merupakan hajat
hidup orang banyak, sementara para pedagang me-
manfaatkan situasi dengan memberikan harga tinggi
sehingga dapat menyengsarakan masyarakat, maka
menurut Imam Malik, pemerintah boleh turut campur
untuk menentukan harga barang. Padahal Rasulullah
saw bersabda:
ِِ ِ َّ ‫ط‬ ِ ‫إن هللا هو الْمسعِر الْ َقابِض الْب‬
‫ن َأل َْر ُج ْو أَ ْن‬
ّْ ‫الراز ُق َوإ‬ ُ ‫اس‬ َ ُ ُ ّ َ ُ َ ُ َ َّ
‫كم يَطْلُبُِن ِبَظْلَ َم ٍة ِم ْن َدٍم َوالَ َم ٍال‬ ِ ‫أَلْ َقى رِب ولَيس أ‬
ْ ‫َح ٌد مْن‬
َ َ ْ َ ّْ َ
Artinya: “Sesungguhnya Allah lah yang mene-
tapkan harga, yang menahan dan melepas serta yang

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 201


memberi rizki, dan aku berharap dapat berjumpa
dengan Rabb-ku dalam keadaan tidak seorang pun di
antara kalian yang menuntutku lantaran kezhaliman
(yang aku lakukan) pada jiwa dan harta (kalian).”) (HR.
At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Bukan bearti imam Malik menentang hadits, na-
mun mampu menempatkan hadis nabi Muhammad
saw sesuai dengan konteks yang berkembang di ma-
sanya. Jika konteks dan maslahat berubah, maka da-
lam menentukan keputusan hukum juga harus beru-
bah. Jika tidak, yang terjadi bukan rahmah, padahal
agama Islam adalah agama rahmat. Akibat pemaha-
man leterlek dan literal terhadap nas, yang akan terja-
di adalah menzhalimi sebagian masyarakat akibat.
Imam Malik tidak sendirian. Terkait bolehnya pe-
merintah menentukan harga barang di pasaran dalam
kondisi mendesak, juga dibolehkan oleh Imam Syafii.
Sebagaimana Imam Malik, Imam Syafii juga berpijak
pada sisi maslahat.
Dalam sebuah hadis, dari Abdullah bin Umar ra
dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersab-
da, “Jangan larang kaum perempuan kalian untuk pergi
ke masjid jika mereka meminta izin kalian”. Ibnu Umar
berkata, “Bilal bin Abdullah berkata, “Demi Allah, aku
akan melarang mereka”. Lalu Abdullah menemuinya
dan mengumpatnya dengan pedas. “Aku memberita-
humu tentang sabda Rasulullah saw, lalu kamu berkata
demi Allah aku akan melarang mereka?” (HR Muslim).
202 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Bilal bin Abdullah berani bersumpah untuk mela-
rang kaum perempuan agar tidak pergi ke masjid kare-
na ia melihat bahwa kondisi perempuan pada waktu
itu, sudah berbeda dengan generasi di masa Rasulul-
lah. Ada indikasi keburukan (mafsadah) jika perem-
puan pergi ke masjid. Maka ia berijtihad, demi melin­
dungi kaum hawa dan menjaga kehormatan mereka,
agar mereka tidak pergi ke masjid.
Jika kita bandingkan antara masa sahabat dan
tabiin, dapat kita ketahui bahwa persoalan yang
berkembang pada masa tabiin jauh lebih banyak dan
bervariasi. Ini dapat dimaklumi karena wilayah Islam
pada masa tabiin jauh lebih luas. Selain itu, umat islam
juga sudah banyak beriteraksi dengan peradaban lain.
Secara otomatis, berbagai persoalan baru tadi
menuntut para ulama untuk selalu berijtihad. Jika se-
cara zhahir nas tidak ada solusi hukum, maka para ula-
ma akan melihat pada sisi makna, spirit dan maqashid
dari nas tersebut.
Syaikh Ali khafif pernah berkata, “Sikap mereka
ketika berinteraksi dengan nas adalah dengan melaku-
kan ijtihad dengan akal. Para ulama melihat bahwa
hukum syariat tidak diturunkan secara sia-sia. Syari-
at tersebut diturunkan karena ada illat dan maqashid
tertentu yang harus diwujudkan. Untuk itu, mengeta-
hui illat dan maqashid hukum itu mutlak dibutuhkan”.
Masih menurut Syaikh Ali Khafif bahwa keteta-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 203


pan hukum syariat masih bisa berubah sesuai dengan
perubahan waktu dan perbedaan lingkungan. Peruba-
han tadi, mengikuti perubahan ilat yang melingkupi­
nya dan maqashid syariah yang terkandung di dalam-
nya. Jika suatu maslahat tidak dapat terwujud kecuali
dengan melakukan perubahan pada suatu kesimpul­
an hukum karena akibat dari perubahan waktu dan
kondisi suatu perkara, maka perubahan tadi sangat di-
mungkinkan. Oleh karena itu, pemahaman mendalam
terhadap kandungan nas dan maqashid syariah sangat
penting. Dalam realitas sejarah, kita sering mendapat­
kan suatu hukum secara zhahir bertentangan dengan
nas, namun pada dasarnya, ia sesuai dengan spirit di-
turunkannya hukum syariah.
Ibnul Qayyim sendiri secara tegas menyatakan
bahwa ijtihad maqashidi merupakan sarana penting
untuk menentukan kesimpulan hukum fikih. Dalam
buku karyanya yang berjudul I’lamul Muwaqiin, be­
liau mengatakan, “Pondasi dan landasan hukum syari-
at atas suatu ketetapan hukum berlandaskan pada
maslahat manusia baik di dunia dan akhirat. Hukum
syariat seluruhnya berkeadilan, rahmah, mengandung
maslahat dan hikmat. Semua persoalan yang keluar
dari keadilan menuju kezaliman, dari rahmah kepada
kekejaman, dari maslahat ke mafsadah, dari hikmah
kepada kesia-siaan, maka ia bukan bagian dari syariat,
meskipun sudah dilakukan takwil”.

204 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Imam Syafii dan Ilmu Maqashid

Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i


al-Muththalibi al-Qurasyi sering disingkat dengan
Imam Asy-Syafi’i. beliau dilahirkan di Gaza Palestina
pada tahun 150 H/767 M dan meninggal pada tahun
204 H/819 M) di Mesir. Sejak kecil, imam syafii terkenal
dengan orang yang sangat cerdas dan suka menuntut
ilmu. Saat usia 13 tahun, Imam Syafi’i dikirim ibunya
untuk pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
besar saat itu, yaitu imam Malik. Dua tahun kemudian,
ia pergi ke Irak dan berguru pada murid-murid Imam
Hanafi.
Beliau adalah ulama besar yang mempunyai ba­
nyak karya monumental. Beliau merupakan peletak
pertama bangunan ilmu ushul fikih dengan menu-
lis buku arrisalah. Sementara itu, dalam bidang fikih,
beliau menulis kitab al-Umm. Beliau mempunyai ba­
nyak murid dan murid-muridnya menyebarkan dan
mengembangkan sistem ijtihad serta fikih beliau. Pada
akhirnya, para pengikutnya disebut dengan istilah
Syafiiyah atau madzhab Syafii. Madzhab ini berkem-
bang pesat di berabagai Negara seperti Asia tenggara
dan afrika Timur.
Jika kita membuka kitab arrisalah sebagai kitab
ushul fikih pertama, atau melihat karya fikihnya dalam

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 205


kitab al-Umm, kita akan menemukan bahwa Imam
Syafii tidak pernah lepas dari sistem Ijtihad maqashidi.
Bahkan dalam kitab arrisalah, secara sharih beliau
menggunakan istilah al-Qasdd. Hal ini dapat dilihat
misalnya ketika beliau berbicara mengenai kewajiban
jihad. Menurutnya bahwa kewajiban jihad bagi umat
Islam, berbeda dengan kewajiban shalat limat waktu.
Jihad bisa dilakukan oleh sebagian orang, sementara
shalat harus dilakukan oleh setiap orang. Menurut be-
liau, bahwa jihad dalam kondisi tertentu merupakan
fardhu kifayah yang bisa dikerjakan oleh sebagian
orang, sementara sebagian lain boleh untuk tidak be-
rangkat berjihad. Tujuan jihad (qasd) adalah qasd al-ki-
fayah. (‫) قصد ابلفرض فیه ا قصد الكفایة‬. Berbeda dengan
shalat yang merupakan fardhu ain, yaitu kewajiban
yang harus dilakukan oleh setiap orang.
Dalam mengkaji soal maqashid, selalu akan ter-
kait dengan bahasan llat hukum. Hal ini, karena illat
menjadi pintu masuk untuk dapat mengetahui spirit
yang terkandung di dalam nas. Imam Syafii membe­
rikan perhatian khusus terkait illat hukum ini, khusus-
nya terkait bahasan tentang qiyas. qiyas sendiri di ka-
langan ulama ushul, termasuk di dalamnya madzhab
Syafii masuk dalam sumber hukum yang keempat
setelah al-Quran, sunnah, dan ijmak.
Selain illat, dalam sumber hukum yang mukhta-
laf fihi, Imam Syafii menggunakan kaedah maslahah
mursalah. Maslahat mursalah sesungguhnya adalah
206 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
mencari ketetapan hukum yang tidak disebutkan oleh
nas secara sharih, namun dalam realita sosial, ia me­
ngandung manfaat dan maslahat bagi orang banyak
sehingga berdasarkan maslahat tadi, ia dibolehkan.
Selain maslahah mursalah, Imam Syafii juga
mengkaji tentang sad adz-dzariah, yaitu menutup se-
gala persoalan yang kiranya dapat memberikan mu-
darat bagi hamba. Sad adz-dzariah dijadikan sebagai
upaya untuk menutup mudarat, sehingga seseorang
tidak terjatuh pada perbuatan dosa atau sesuatu yang
menimbulkan mafsadah, baik pada dirinya atau ma­
syarakat secara umum. Sad dzariah, merupakan baha-
san sangat penting dalam kajian ilmu maqashid.1
Dalam kitab al-Umm, Imam Syafii memberikan
contoh terkait pasukan yang mendapat kepungan mu-
suh. Menurut Imam Syafii, bahwa tentara yang sedang
dikepung tersebut, apakah ia harus melawan, atau leb-
ih baik mundur? Menurut Imam Syafii, hal itu dikem-
balikan kepada maslahat pasukan. Jika kemungkinan
akan kalah dan binasa, maka sebagai upaya untuk
menutup kemudaratan (sad dzariah), pasukan dipersi-
lahkan untuk mundur. Namun jika kemung­kinan dapat
meraih kemenangan, pasukan bisa memberikan per­
lawanan.2

1
Muhammad bin Idris Asy-Syafii, Arrisalah, tahkik Ahmad Muhammad Syakir,
Darul Kutub Al-Ilmiyyah.
2
Muhammad bin Idris Asy-Syafii, Al-Umm, Muassasah ar-Risalah, Cairo, jilid 3
hal. 404

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 207


208 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Imam Hakim at-Tirmizhi

Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Hasan –


Abu Husain-ibnu Basyar dan lebih dikenal dengan ju-
lukan al-Hakim at-Tirmidzi. Beliau dilahirkan di daerah
Termuz Asia Tengah, wafat pada tahun 285 H, dalam
riwayat lain beliau wafat tahun 320 H. Hakim Tirmidzi
bukanlah Imam Tirmidzi perawi hadis. Beliau adalah
seorang filsuf, sufi, fakih dan juga ushuli.
Dalam kajian ilmu maqashid, beliau menulis ki-
tab yang berjudul Ashalah wa Maqashiduha. Bisa dika-
takan bahwa buku ini merupakan buku pertama yang
ditulis secara independen terkait dengan ilmu maqa-
shid. Dalam buku ini, beliau banyak melihat sisi-sisi ilat
dan hikmah dari ibadah, terutama shalat.
Terkait hikmah ibadah misalnya, beliau mengutip
firman Allah berikut:
ِ ‫النْس إَِّل لِيـعب ُد‬
‫ون‬ ِْ ‫الِ َّن و‬
ُ َْ َ َ ْ ‫ت‬ ُ ‫َوَما َخلَ ْق‬
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepa-
da-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Menurut beliau, ibadah pada ayat diatas sifatnya
umum, sehingga mencakup banyak hal. Segala amal
baik yang diniatkan ibadah oleh seorang hamba, mer-
upakan bagian dari ibadah. Ibadah dalam Islam, sangat
bermacam-macam dan bervariatif. variasi dan macam
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 209
ragam ibadah tersebut, menurut beliau, agar manusia
tidak jenuh. Jika ibadah hanya satu macam, dan harus
dilaksanakan secara kontinyu, dikhawatirkan seorang
hamba akan bosan. Maka tujuan dan maksud ibadah
yang sesungguhnya untuk mengangungkan Allah,
menjadi terabaikan.
Tujuan dari ibadah shalat sesungguhnya untuk
menaikkan derajat manusia di hadapan Allah. Tujuan
dari puasa, sesungguhnya untuk menyucikan jiwa dan
harta benda seorang hamba. Tujuan dari berhaji, ada-
lah untuk mendapatkan ampunan dan rahmatnya.
Jadi, semua ibadah kepada Allah, termasuk di dalam-
nya ibadah mahdah, mempunyai hikmah dan tujuan
tertentu. tujuan tadi, dapat dilihat dari illat atas di­
syariatkannya suatu ibadah.
Imam Tirmidzi, memang tidak menuliskan buku
ushul fikih atau ilmu maqashid secara independen.
Hanya saja, kitab beliau, ashalah wa maqashiduha,
memberikan petunjuk bagi kita bahwa ilmu maqashid
sesungguhnya bukanlah ilmu baru. Para ulama gene­
rasi awal hijriyah, telah memberikan perhatian besar
terhadap kajian maqashid. Hanya saja memang belum
membukukan secara sistematis. Kajian mereka, selan-
jutnya dilanjutkan oleh para ulama lain pada generasi
selanjutnya.1

1
Al-Hakim at-Tirmidzi, Mukhtashar Ashalah Wa Maqashiduha lil Hakim at-Tir-
midzi, Tahkik Muhamamd Abdussalam Salatin, al-Maktabah al-Misriyyah, hal.
6-7

210 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Imam Haramain dan Maqashid Syariah

Nama lengkapnya adalah Abdul Malik bin Abdu­


llah bin Yusuf bin Muham¬mad bin Hayyawaih As-Sin-
bisi Al-Juwaini. Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Mu-
harram 419 Hijriyah atau bertepatan pada 1 Maret
1028 Masehi di Basitiskan salah satu wilayah Khu-
rasan. Beliau wafat pada hari malam Rabu, 25 Rabi’ul
Akhir 478 Hijriyah/ 1 September 1085 Masehi.
Beliau sendiri sering disebut dengan Imam Al-Ju-
waini, kata yang diambil dari nama kota Jumain atau
Juwain, yang terletak antara Bastam dan Naisabur. Se-
lain itu, beliau juga mendapat gelar “Al-Ma’ali”, karena
kemampuannya yang sangat mendalam terhadap ilmu
kalam. Beliau dikenal sebagai ulama ensiklopedis yang
menguasai banyak cabang keilmuan Islam.
Abu al-Ma’ali Abdul Mulk bin Abdullah al-Juwaini
dianggap sebagai pioner dalam kajian ilmu maqâshid.
Dalam kitab al-Burhan, beliau banyak berbicara seki-
tar ilmu maqashid. Dalam karyanya, beliau terkadang
menggunakan al-maqâshid, al-maqshud, al-qashd,
atau al-ghard wal aghrad. Berbagai kata-kata tersebut
bermakna sama, yaitu tujuan dasar diturunkannya hu-
kum syariat.
Imam juwaini sangat tegas dengan terma ma-
qashid syariah. Bahkan dalam kitab al-Burhan, beliau

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 211


mengatakan bahwa seseorang yang tidak mengerti
maqashdi syariah, seperti yang terletak pada setiap
perintah dan larangan Allah, maka dia dianggap belum
paham mengenai tujuan diturunkannya hukum syari-
at. Karena prinsip dan spirit hukum, sesungguhnya
dari maqashid itu.
Imam Juwaini sudah cukup rapi dan mendetail
ketika mengkaji ilmu maqashid. Beliau adalah ulama
pertama yang membagi maqashid syariah menjadi
tiga, yaitu dharuriyat, hajiat dan tahsiniat. Tiga istilah
ini, kemudian menjadi inspirasi dan dikembangkan
oleh para ulama generasi setelahnya.
Dalam kitab al-Burhân, Imam Juwaini membagi
ushul syariah menjadi lima sebagaimana berikut ini:
Pertama, daruriyat, yaitu kebutuhan primer dan
vital yang menjadi hak setiap manusia. Untuk itu, ia
harus dilindungi dan dijaga. Oleh karenanya, dalam
al-Quran, Allah akan memberikan hukuman berat bagi
para pelanggar addharuriyat tersebut. Imam Juwaini
mencontohkan hukuman qishash bagi pembunuh.
Qishash bertujuan untuk melindungi jiwa setiap ma-
nusia. Pembunuh dianggap telah menggar kebutuhan
vital dan primer bagi manusia. Hukuman yang dijatuh-
kan kepadanya adalah hukuman qishash atau huku-
man mati.
Kedua, hajiyat, yaitu kebutuhan sekunder bagi
setiap manusia. Ia penting, namun derajatnya tidak

212 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


sampai pada persoalan darurat. Beliau mencontohkan
akad persewaan yang umum dilakukan di masyarakat.
Sewa-menyewa adalah akad muamalah yang sering
terjadi dan merupakan kebutuhan bagi masyarakat.
Hanya saja, meski ia penting, derajatnya tidak sampai
kepada derajat darurat. Artinya bahwa seseorang ti-
dak akan sengsara hidupnya, jika ia tidak melakukan
akad sewa. Pun, seseorang bisa melakukan akad lain
yang sesuai dengan kebutuhan dirinya.
Ketiga, kebutuhan tersier yaitu kebutuhan manu-
sia yang terkait dengan kesempurnaan sesuatu. Jika ia
melakukan hal tersebut, berbagai aktivitas dan keper-
luan dirinya, menjadi lebih baik dan lebih indah. Be-
liau memberikan contoh seperti seseorang yang rajin
bersuci, mandi, menghilangkan bau badan, dan lain
sebagainya.
Keempat, Hampir mirip yang nomor tiga, namun
derajatnya lebih ringan lagi, yaitu terkait dengan per­
kara sunah, seperti menggunakan wewangian, memo-
tong kuku, bersilaturrahmi kepada rekan sejawat, dan
lain sebagainya. Perbuatan ini bagus dan menyangkut
perkara sunah, dam tidak terkait dengan perkara yang
sangat esensial bagi setiap manusia.
Kelima, Sesuatu perbuatan harus dikerjakan oleh
seorang hamba, namun tidak dimengerti mengenai
makna, tujuan dan illat hukumnya. Seperti melak-
sanakan shalat subuh yang hanya dua rekaat, zhuhur
empat rekaat, puasa wajib dilaksanakan pada bulan
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 213
Ramadhan, haji pada bulan-bulan tertentu dan sete­
rusnya..
Dari lima pembagian itu, lantas disederhanakan
lagi menjadi tiga, yaitu daruriyat, hajiyat dan tahsini-
yat. Tiga pembagian tersebut merupakan landasan
utama dan terpenting dalam kajian ilmu maqashid
syariah. Tiga pembagian ini lantas dilanjutkan oleh
para ulama generasi selanjutnya seperti Imam ghazali
dan Imam Syathibi. Ia lebih sederhana, namun men-
cakup banyak hal. Menurut Imam Juwaini, bahwa
lima hal diatas, dapat dipahami melalui logika dan qi-
yas. Hal ini, karena ia terkait erat dengan illat sehing-
ga tujuan dasar dari hukum syariat dapat diketahui.
Terkait dengan dharuriyat, beliau menyebut-
kan ada lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Menurut Imam Juwaini bahwa syariat Islam
terdiri dari perintah, larangan dan perkara yang sifat­
nya boleh. Perintah-perintah dalam syariat umumnya
terkait dengan urusan ibadah. Larangan, umumnya
dibarengi dengan hukuman bagi mereka yang melaku-
kan pelanggaran, seperti larangan membunuh. Bagi
yang melanggar dan membunuh seseorang, ia akan
dikenai hukuman mati (qishash). Larangan mencuri.
Pelaku pencuri akan dikenai hukuman potong tangan.
Larangan berzina. Pelaku zina akan dikenai hukuman
cambuk atau rajam.1
1
Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Gharnathi Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat,
Dar Ibnu Afan, jilid 2 hal. 32

214 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Imam al-Ghazali dan Maqashid Syariah

Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 Hi-


jrah/ 1058 Masehi di Thus, Khurasan (Iran). Beliau
dikenal dengan julukan Abu Hamid karena salah se­
orang anaknya bernama Hamid. Beliau kadang juga
disebut dengan al-Ghazali ath-Thusi karena berasal
dari daerah Thus. Sedangkan gelar asy-Syafi’i menun-
jukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i.
Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama besar,
pakar berbagai macam cabang ilmu keislaman, seperti
filsafat, kalam, ushul; fikih, fikih, tasawuf, mantik dan
lain sebagainya. Semua cabang ilmu tersebut beliau
kuasai dengan sangat matang dan mendalam.
Beliau pernah menjadi dosen pada Universitas
Nizhamiyah (Madrasah Nizhamiyah). Di sini, beliau
mengajar dan menulis banyak keilmuan Islam. Imam
Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir ta-
hun 505 Hijriah/ 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya
dikebumikan di tempat kelahirannya.
Imam Ghazali, memberikan perhatian besar ter-
hadap ilmu maqashid syariah. Dalam kitab al-Mustas­­
fa, beliau banyak mengkaji tentang illat dan hikmat.
Illat ini, yang yang menjadi pijakan utama untuk meng-
etahui tentang spirit teks. Terkait qiyas dan ilat, beliau
menulis buku khusus dengan judul, “Syifaul Ghalil Fi

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 215


al-Qiyas wa at-Ta’lil”. Dalam buku ini, beliau memberi­
kan bahasan yang sangat luas dan mencakup terkait
kiya dan illat.
Dalam kitab ini, imam ghazali banyak sekali
memberikan contoh praktis mengenai maslahat dan
mafsadah serta apa yang harus dilakukan ketika se­
orang hamba sedang dalam posisi sulit. Di antara con-
toh yang beliau sampaikan adalah, mengenai kasus
jika suatu kapal, kelebihan muatan manusia. Di tengah
samudra, kapal oleng dan akan tenggelam. Hanya ada
satu cara untuk menyelamatkan sebagian dari mer-
eka, yaitu melemparkan satu orang ke dalam samu­
dera. Menurut Ghazali, jika benar hal ini terjadi, maka
dibolehkan. Hal ini dengan memilih mudarat yang le­
bih ringan, dari pada menimbulkan mudarat yang jauh
lebih besar. Menyelamatkan sebagian besar penghuni
kapal, tentu lebih utama dibandingkan dengan men-
gorbankan satu jiwa.1
Di akhir bahasan terkait dengan berbagai con-
toh fikih praktis, beliau menutup bahasan dengan
mengatakan, Ini yang kami maksudkan untuk melihat
me­ngenai maqashid para ulama yang sering menggu-
nakan kata sebab, illat, dan syarat serta contoh praktis
atas beberapa terma di atas.2
Menurutnya, hukum syariat banyak yang me­
ngandung illat dengan tujuan untuk menggapai masla-
1
Abu Hamid al-Ghazali, Syifaul Ghalil Fi al-Qiyas wa at-Ta’lil, Darul Hadis,
Cairo, hal. 247
2
Ibid, hal. 599

216 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


hat dan menghindari mafsadah. Beliau berkata, “Mak-
na yang terdapat dalam suatu nas dapat diketahui dari
maslahat dan illatnya. Maslahat sendiri, tujuannya
adalah upaya untuk mendapatkan manfaat atau me-
nutup kemudaratan”. Daam Kitab Syifaul Ghalil, be­
liau juga mempunyai bab khusus terkait dengan kajian
maslahat mursalah. Ini menunjukkan bahwa beliau
sangat konsen dengan kajian maslahat dan maqashid
syariah.
Dalam kitab Syifaul Ghalil, Imam Ghazali sudah
menyinggung mengenai tingkatan kebutuhan manu-
sia, terkait dengan dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.
Dalam kitab al-Mustasfa, beliau memaknai masalat se-
bagai berikut, “Tujuan dari maslahat yaitu untuk me-
lindungi hukum syariat”. Imam Ghazali dalam kitabnya
al-Mustasfa membagi daruriyat menjadi lima. Dalam
hal ini, beliau mengatakan, “Tujuan diturunkannya
hukum syariat kepada manusia ada lima, yaitu untuk
melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta”.
Beliau membagi maslahat manusia secara rapi, yaitu
daruriyat, hajiyat, tahsiniyat, dan tazyinat. Bagian-ba-
gian tadi juga masih ada bahasan lain yang terkait de­
ngan penyempurnaan atau mukmilat. Pembagian ma-
qashid menjadi tiga, nampaknya merupakan pengaruh
dari gurunya Imam Juwaini dalam kitab al-Burhan.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 217


218 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 h)

Fakhruddin al-Razi nama lengkapnya adalah Mu-


hammad bin Umar bin Husin bin Hasan bin Ali al-Taimi
al-Bakri al-Tabari. Beliau lebih dikenal dengan julukan
Fakhruddin ar-Razi. Dilahirkan pada penghujung pe-
merintahan khalifah al-Abbasiyyah tanggal 25 Rama­
dhan 544 H, bertepatan dengan tahun 1148 M di kota
Rayy. Beliau lebih dikenal dengan sebutan ar-Razi yang
dinisbatkan kepada desa tempat kelahirannya. Beliau
merupakan putra dari Diya al-Din Umar, salah satu
ulama terkemuka di Rayy, murid dari Muhyi al-Sunnah
Abi Muhammad al-Baghawiy.
Imam Fakhruddin ar-Razi merupakan ulama ensi­
klopedis yang menguasai banyak cabang ilmu keisla-
man. Beliau menulis buku tafsir yang sangat ternama,
yatu tafsir Mafatikhul Ghaib. Tafsir ini terdiri dari 11
jilid, merupakan tafsir yang banyak berbicara tentang
ilmu kalam, filsafat, ushul dan lain sebagainya. Dalam
bidang ilmu ushul, beliau menulis kitab al-Mahshul.
Buku ini merupakan kitab ushul fikih kalam yang sa­
ngat penting. Buku ini menjadi ringkasan dari empat
kitab ushul pokok, yaitu al-mu’tamad karya Husain
al-Basri yang beraliran muktazilah, al-Ahd karya Qadhi
Abdul Jabbar yang beraliran Muktazilah, Al-Burhân
karya Imam Juwaini yang bermadzhab Ahli Sunnah

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 219


dan al-Mustasfa karya imam Ghazali yang bermadzhab
Ahli Sunnah.
Karena ia merupakan ringkasan dari empat kitab
sebelumnya, maka bahasan maqashid syariah yang se-
belumnya juga sudah disinggung oleh Imam Haramain
dan Ghazali, juga disinggung oleh beliau. Dari kitab
Mahsul ini, kelak akan bermunculan kitab-kitab lain
yang secara pemikiran merujuk dari kitab beliau ini.
Dalam kajian maqashid, Imam ar-Razi juga mem-
punyai sumbangan pemikiran yang luar biasa. Dalam
kitab al-Mahsul dan juga kitab tafsir Mafatikhul Ghaib,
kita akan menemukan ruh dan spirit maqashid yang
luar biasa. Beliau sering melihat sesuatu dari sisi illat
hukum. Kita bisa melihat dari tafsir beliau tentang ayat
berikut:
‫يل أَنَّهُ َم ْن قـَتَ َل نـَْف ًسا‬ ِ‫ك َكتـبـنَا علَى ب ِن إِسرائ‬ ِ‫ِمن أَج ِل َذل‬
َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ْ
ِ َّ‫األر ِ ن‬ ِ ٍ ٍ ‫بِغَ ِْي نـَْف‬
‫َّاس َج ًيعا َوَم ْن‬ َ ‫ض فَ َكأَ َا قـَتَ َل الن‬ ْ ‫س أ َْو فَ َساد ف‬
ِ َ‫جيعا ولََق ْد جاءتـهم رسلُنَا ِبلْبيِن‬
َّ‫ات ُث‬ ِ ‫أَحياها فَ َكأَنََّا أَحيا الن‬
َّ ُ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ً َ ‫َّاس‬ َ َْ َ َْ
ِ ِ ِ
ِ ِ
‫األرض لَ ُم ْسرفُو َن‬ ْ ‫كف‬ ِ َ ‫إِ َّن َكث ًريا منـْ ُه ْم بـَْع َد َذل‬
Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka

220 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterang­
an-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui ba-
tas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (Q.S Al-
Maidah : 32)
Menurut beliau, ayat ini menunjukkan hukum Al-
lah mempunyai illat dan tujuan tertentu. hal ini bisa
dilihat dari ungkapan ayat di atas dengan kata kata:
‫اَجل ذلك‬
Menurut beliau, kata ini sangat jelas dan ti-
dak dapat ditafsirkan lain selain dengan menyatakan
ilat atas hukum Allah. Beliau sendiri dalam tafsirnya
menga­mini pendapat muktazilah yang mengatakan
bahwa hukum Allah muallalah dengan mashalat ham-
ba. Untuk menguatkan pendapat beliau tentang hu-
kum Allah yang muallalah dan juga demi maslahat
umat manusia, beliau melanjutkan dengan menukil
ayat berikut:
‫يح ابْ ُن َم ْرَيَ قُ ْل فَ َم ْن‬ ِ َّ ‫ين قَالُوا إِ َّن‬ ِ َّ
ُ ‫اللَ ُه َو الْ َمس‬ َ ‫قَ ْد َك َفَر الذ‬
ِ َ ِ‫الل َشيـئا إِ ْن أَراد أَ ْن يـهل‬ ِ ِ ِ‫يَْل‬
ُ‫يح ابْ َن َم ْرَيَ َوأ َُّمه‬ َ ‫ك الْ َمس‬ ُْ َ َ ًْ َّ ‫ك م َن‬ ُ
‫ض َوَما بـَيـْنـَُه َما‬ ِ
ِ ‫الس َم َوات َو ْال َْر‬َّ ‫ك‬ ِ ِ ِ ِ ‫َوَم ْن ِف ْال َْر‬
ُ ‫ض َج ًيعا َو َّل ُم ْل‬
‫اللُ َعلَى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِدير‬َّ ‫خيْلُ ُق َما يَ َشاءُ َو‬
Artinya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-
orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 221


Masih putera Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah
(gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehen-
dak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih
putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-
orang yang berada di bumi semuanya?” Kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di
antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehen-
daki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(Al-Maidah: 17)
Menurut beliau, ayat ini juga sangat sharih da-
lam memberikan keterangan mengenai tujuan dan
spirit dari hukum Allah, yaitu demi maslahat hamba.1
Terkait maslahat hamba dan bahwa ayat al-Quran
mengan­dung illat tertentu, juga beliau sampaikan ke-
tika memberikan tafsirkan terhadap ayat berikut ini:
‫والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء مبا كسبا نكاال‬
‫ وهللا عزيز حكيم‬،‫من هللا‬
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan se-
bagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38)
Menurut beliau, huruf ba pada kata bima,
menunjukkan bahwa ayat tentang hukuman potong
tangan mengandung illat tertentu, yaitu sebagai huku-
1
Imam ar-Razhi, Mafatihul Ghaib, disunting oleh Hani al-Haj, tahkik dan
takhrij hadis oleh Imad Zaki al-Barudi, Maktabah Taufiqiyah, Cairo, 2013, jilid
11, hal. 182

222 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


man bagi pencuri. Jika ia tidak mencuri, maka hukum
potong tangan menjadi tidak ada. Jadi ayat ini mirip-
mirip dengan ayat qishas pada ayat sebelumnya.1
Dalam kitab al-Mahshul, beliau menyebutkan
mengenai daruriyat al-khamsah yaitu terkait de­ngan
melindungi jiwa, harta, keturunan, agama dan akal.
Namun berliau tidak memberikan urutan secara kon-
sisten atas lima hal pokok tersebut. Kadang beliau
membuat urutan seperti yang kami sebutkan tadi,
kadang mengawali dengan jiwa, lalu akal, agama, har-
ta dan terakhir nasab. Titik pokoknya adalah bahwa
menjaga lima hal primer tersebut merupakan sebuah
keharusan, terlepas manakah yang harus didahulukan.

1
Ibid. jilid 1 hal. 197

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 223


224 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Al Iz Ibnu Abdussakam 660 H

Beliau merupakan salah satu ulama syafiiyah


yang sangat perhatian terhadap ilmu maqashid. Ide
maqashid beliau terlihat jelas dalam karya monumen-
talnya qawaaidul ahkam fi mashaalihil anam. Dari
awal pembahasan beliau sudah banyak menyinggung
tentang maqashidul quran.
Dalam kitab tersebut beliau mengatakan “ma­
yoritas dari maqashid al quran adalah perintah untuk
melakukan sesuatu yang dapat membawa maslahat
atau mencari sebab yang dapat membawa maslahat
bagi manusia. Juga larangan melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan mafsadah atau mencari se-
bab yang dapat membawa mafsadah.
Beliau juga berpendapat bahwa seluruh ajaran
islam mengandung illat untuk maslahat dan meng­
hindari mafsadah. Menurutnya seluruh ajaran islam
mengandung maslahat bagi umat manusia. Kandung­
an syariat islam hanya berkisar pada dua perkara saja
yaitu demi kebaikan manusia atau perintah untuk
menghindari segala perbuatan yang hanya akan mem-
bawa mudharat bagi mereka.
Iz ibnu abdussalam juga menyinggung mengenai
maslahat dunia dan akhirat. Beliau berkata “masla-
hat akhirat tujuannya agar hamba mendapatkan pa-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 225


hala dan selamat dari siksaan allah. Mafsadahnya,
mendapatkan siksa allah dan tindak mendapatkan pa-
hala dari allah. Sementara itu terkait dengan manfaat.
dunia adalah dengan memenuhi kebutuhan daruriyat,
hajiyat, tahsiniyat dan mukmilat sementara mafsa-
dahnya adalah tidak terpenuhinya kebutuhan di atas.
Tatkala memberikan kesimpulan hukum fikih,
al-Qarrafi sering mengaitkan antara kesimpulan hu-
kum tersebut dengan maqashid asysyariah. Dalam
kitabnya al furuq beliau berkata “hukum potong ta-
ngan disyariatkan allah dengan tujuan untuk men-
jaga harta, disyariatkan hukum rajam dengan tujuan
untuk menjaga keturunan, dan disyariatkan hukuman
cambuk untuk menjaga kehormatan”. Tentunya da-
lam menerapkan hukum syariat harus dilihat sisi
prioritas dengan memandang realitas sosial dan kon-
disi masyarakat setempat. Terkait hal ini beliau ber-
kata, “dalam penerapan hukum, sesuatu yang lebih
penting harus didahulukan dari yang penting sesuai
dengan tingkatan hukum tersebut.

226 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Saifuddin al-Amidi (w 631 H.)

Beliau menulis buku ushul fikih dengan judul al


ihkam fi ushulil ahkam. Buku ini juga merupakan ring-
kasan dari tiga buku sebelumnya yaitu al mu’tamad,
al burhan dan al mustasfa. Jika imam razi tidak ber-
bicara mengenai pentingnya urutan maqashid syariah
dan mana yang lebih rajih jika terjadi benturan, maka
imam amidi dalam bab attarjihat menambahkan tema
ini.
Menurutnya daruriyat harus dirajihkan dari haji-
yat. Hajiyat didahulukan dari tahsiniyat. Masalih asli-
yah lebih didahulukan dari al mukmilat (pelengkap).
Al mukmilat untuk darriyat lebih didahulukan dari al-
mukmilat untuk hajiyat.
Untuk daruriyat sendiri menjaga agama lebih
didahulukan dari menjaga jiwa. Ini mengingat bahwa
kebutuhan untuk menjaga agama jauh lebih penting
daripada menjaga jiwa. Menjaga agama dapat mem-
bawa kesuksesan seseorang baik di dunia maupun di
akhirat. Ini juga sesuai dengan firman allah “dan tidak-
lah aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk
menyembah kepadaku (qs. Adzariyat 56)

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 227


Sulaiman at thufi w 716

Menurut at thufi bahwa maslahat dibangun di


atas empat pondasi:
1. Independensi akal dalam upaya mengetahui masla-
hat dan mafsadah yang terkait dengan perkara
muamalah dan bukan ibadah.
2. Maslahat adalah dalil syariy independen dari nas
3. Maslahat hanya berlaku di perkara yang terkait
dengan muamalah dan tradisi, bukan perkara yang
terkait dengan ibadah.
4. Maslahat merupakan dalil syariat yang paling kuat.
Ia lebih didahulukan dari nas sebagai takhsish dan
bayan, bukan sebagai penggugur nas atau mengha-
pus nas.

228 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Ibnu Taimiyah (728 H)

Ibnu Taimiyah sering sekali menyinggung tentang


ilmu maqashid. Dalam majmu fatawa beliau menga-
takan “syariat islam datang dengan membawa masla-
hat dan untuk menyempurnakan maslahat. Syariat
datang untuk menggugurkan dan meminimalisir maf-
sadah. Jika ada dua kebaikan maka syariat akan memi-
lih yang terbaik dari keduanya. Jika ada dua keburukan
maka dipilih yang paling ringan. Untuk mendapatkan
maslahat yang lebih besar boleh menanggalkan masla-
hat yang lebih kecil.
Untuk menghindari mafsadah yang lebih besar boleh
melakukan mafsadah yang lebih kecil.
Beliau juga menyinggung mengenai maqashid
syariah dalam sistem politik, termasuk juga wilayah
hisbah (pengawas sistem ekonomi) dan pengadilan.
Dalam majmu fatawa ibnu taimiyah berkata
“prinsip dari maqashid wilayah syariyyah, hisbah dan
qadha adakah bahwa seluruh tugas kepemimpinan da-
lam islam tujuan utamanya untuk menegakan agama
islam dan agar kalimat Allah selalu dijunjung tinggi.
Sesungguhnya untuk itulah Allah menciptakan manu-
sia. Untuk itu pula Allah menurunkan para utusannya
dan mengutus rasulnya. Untuk itu pula rasululah dan
para mujtahidin berjihad.
Dalam kesempatan lainnya beliau menyatakan
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 229
bahwa tujuan kepemimpinan adalah untuk menegak-
kan perkara kenabian. Beliau berkata:
Tujuan utamanya adalah agar agama hanya untuk
Allah dan hanya untuk menjunjung kalimat Allah. Yang
dimaksudkan dengan kalimat Allah adalah seluruh
kandungan kitab suci. Firman Allah (Al-Ĥadīd):25 -
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan nera-
ca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya ter-
dapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu)
dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha
Perkasa.
Jadi tujuan utama diutusnya rasul dan diturun­
kannya kitab suci adalah untuk menegakkan keadilan
baik terkait dengan hak Allah maupun hak hamba.
Tujuan utamanya adalah agar agama hanya untuk
Allah dan hanya untuk menjujung kalimat Allah. Yang
dimaksudkan dengan kalimat Allah adalah seluruh
kandungan kitab suci. Firman Allah
Besi (Al-Ĥadīd):25 - Sesungguhnya Kami telah
mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa buk-
ti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama

230 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi
yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan ber­
bagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mem-
pergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Jadi tujuan utama diutusnya rasul dan diturun­
kannya kitab suci adalah untuk menegakkan keadilan
baik terkait dengan hak Allah maupun hak hamba.
Sebagaimana ulama ushul sebelumnya, Ibnu
Taimiyah juga membagi maqashid syariah menjadi
lima, yaitu menjaga agama, jiwa, harta, keturunan
dan akal. Beliau juga banyak memberikan perhatian
terkait dengan illat hukum serta persesuaian antara
illat de­ngan ketentuan hukum. Illat hukum menurut-
nya dapat diketahui melalui indikator illat (al awshaf
al munaasabah) dan bahwa hukum syariah melalui al
munasabah dalam illat tadi, dapat diketahui mengenai
tujuan dasar penurunan hukum syariat yaitu demi ke-
maslahatan umat manusia. Illat tadi juga dapat dijadi­
kan sebagai indikasi mengenai perintah syariat kepada
umat manusia untuk menghindari segala sesuatu yang
kiranya dapat menimbulkan mudarat bagi dirinya.
Menurut beliau maslahat dapat dibagi menja-
di dua macam, 1)maslahat akhirat 2)maslahat dunia.
Maslahat akhirat sangat terkait dengan perintah atau
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 231
prilaku untuk mengatur jiwa dan menata akhlak.
Yang masuk dalam maslahat dunia menurut ibnu
taimiyah adalah menjaga jiwa, harta, keturunan, akal
dan agama.
Terkait maslahat dan bahwa nas al-Quran dan
sunnah diturunkan untuk maslahat manusia, su-
dah menjadi kesepakatan seluruh ulama dari semua
madzhab. Hanya saja, maslahat tersebut mempunyai
standar yang pasti. Ibnu Taimiyah sendiri, mempunyai
catatan terkait maslahat ini, seperti yang beliau tulis
dalam kitab Majmu Fatawanya sebagaimana berikut:
1. Agama selalu membawa kebaikan dan maslahat
bagi umat manusia. Ajaran agama juga selalu me-
nolak dan menghindari setiap keburukan dan maf-
sadah yang dapat menimpa mereka. Oleh karena
itu, Islam selalu memerintahkan kepada hambanya
untuk beramal shalih dan menghindari perbuatan
keji dan munkar. Karena perbuatan tersebut dipas-
tikan membawa mafsadah.
2. Ibadah dianggap batil, manakala ibadah tersebut
tidak sesuai dengan tujuan dasar diturunkannya
hukum syariat. Karena semua ibadah yang tercan-
tum dalam kitab suci, selalu membawa maslahat
dan kebaikan bagi hamba baik di dunia, maupun di
akhirat. Semua ibadah yang tercantum dan dipe­
rintahkan kepada hamba, akan membawa kebaha-
giaan, baik saat ini atau kelak di hari kiamat.
3. Syariat akan selalu mendukung dan memerintah-
232 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
kan kepada hamba untuk melaksanakan suatu per-
buatan yang membawa hamba kepada ketaatan
dan cinta Allah. Hal ini, karena cinta Allah akan
berimplikasi positif kepada hal lain, yaitu menjadi
dorongan bagi insan muslim untuk selalu men-
jalankan perbuatan baik (amal shalih) seperti yang
diperintahkan oleh syariat.
4. Syariat datang hanya untuk kemaslahatan manusia,
baik di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, syari-
at memerintahkan hamba untuk beramar makruf
dan nahi munkar. Akal dan fitrah selalu berjalan
beriring­an. Bagi Ibnu Taimiyah, tidak pernah terjadi
benturan antara akal dan syariat, atau antara akal
dan nas.
5. Semua manusia diperintahkan untuk melakukan
perbuatan yang dapat membawa maslahat dan
menghindari segala perbuatan yang dapat me-
nimbulkan mudarat. Menurutnya, sikap seperti ini
akan berimplikasi pada sistem keidupan yang baik
dan stabil.
6. Agama Islam sifatnya sempurna. Allah telah mem-
berikan fitrah yang baik kepada manusia. Allah juga
telah menurunkan nas yang sifatnya sempurna un-
tuk menata kehidupan umat manusia. Fitrah terse-
but selalu sesuai dengan kebutuhan dan maslahat
manusia.
7. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa segala perbuatan
yang dikerjakan tanpa tujuan yang jelas, perbuatan

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 233


tersebut sia-sia. Menurutnya, suatu kebodohan jika
seseorang melakukan perbuatan hanya demi me-
mentingkan kepentingan pribadi saja. Hukum syari-
at sendiri tidak pernah memerintahkan melakukan
suatu perbuatan yang mengandung kebodohan
yang dicela oleh syariat.
8. Semua perkara yang membawa manfaat dan
menambah kesempurnaan bagi manusia, merupa-
kan bagian dari ketaatan kepada Allah. Manfaat tadi
bisa didapat manakala manusia melakukan per-
buatan baik dan menjauhi segala perbuatan yang
dapat membawa mudarat bagi dirinya. Seseorang
diangap sukses dan mendapatkan maslahat yang
sebenarnya, jika semua aktivitas yang dilakukan,
hanya untuk menyembah Allah. Jadi Allah menjadi
tujuan akhir dari keinginan dan cinta seorang ham-
ba. Ia menjadi akhir dari target aktivitas hamba.
9. Syariat mengandung perintah dan larangan. Perin-
tah dan larangan tadi bukan tanpa tujuan, namun
demi kepentingan dan maslahat bagi manusia.
Jadi, apapun yang dihalalkan dan diperintahkan Al-
lah untuk dikerjakan oleh manusia, sudah bisa di-
pastikan mengandung maslahat. Sebaliknya semua
perkara yang diharamkan tadi, pasti membawa
mudarat.
10. Allah melarang hamba untuk mengikuti hawa
nafsunya agar manusia hanya tunduk dan taat ke-
pada Allah semata. Karena hawa nafsu manusia,

234 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


selalu membawa manusia kepada keburukan dan
mafsadah. Mengikuti hawa nafsu, hanya akan men-
jerumuskan manusia ke neraka.
11. Semua perkara yang diperintahkan Allah, tentu
karena posisi perkara tersebut lebih besar di sisi Al-
lah daripada perkara yang dilarangnya. Jadi, setiap
perintah Allah pasti baik. Setiap larangan Allah pas-
ti tidak baik.
Point di atas, merupakan point dan kaedah ter-
penting dalam pembahasan maqashid syariah. Na-
mun demikian, tetap harus digarisbawahi bahwa tidak
semua perkara dalam syariat Islam, bisa dilakukan
ijtihad maqashidi. Ada tsawabit dan mutaghayyirat
dalam syariat. Ada ruang teks yang sifatnya tetap dan
tidak dapat berubah serta tidak bisa dipengaruhi oleh
ruang waktu, namun ada juga persoalan yang bersifat
elastis dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Untuk menentukan mana persoalan yang tidak
dapat berubah dan mana perkara yang bisa berubah,
mana yang tsawabit dan mana yang mutaghayyirat,
para ulama mujtahidun melakukan kajian induktif ter-
hadap dalil dalil syariat serta melihat indikator (qarain)
dan pratanda dalam setiap hukum syariat. Ada perka-
ra-perkara yang tidak dapat berubah dengan perubah­
an ruang waktu, kondisi dan tradisi, namun ada pula
perkara-perkara yang dianggap sebagai persoalan
yang sudah pasti dan tidak bisa direvisi atau dilakukan
peninjauan ulang. Perkara tadi, oleh ulama ushul dise-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 235
but dengan masalah qat’iyat. Sementara perkara yang
masih ada kemungkinan berubah sesuai dengan ruang
waktu, kondisi dan tradisi, dan ijtihad seseorang masih
bisa ditinjau ulang demi kemaslahatan manusia, per­
kara tadi disebut dengan zhanniyat.
Di antara perkara qat’iyat yang tidak dapat beru-
bah, yaitu perkara yang terkait dengan urusan akidah,
ada sebagian terkait dengan ibadah yang kadarnya
sudah ditentukan oleh syariat, seperti pembagian
waris, masa idah seorang wanita, kafarat dan hudud,
prinsip-prinsip dasar muamalat, dan lain sebaganya.
Perka­ra yang bersifat qat’iy menjadi “ruang tertutup’.
Dengan kata lain bahwa mujtahid tidak dapat melaku-
kan tafsir ulang atas pemahaman terhadap nas tadi

236 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Ibnul Qayyim Aljauziyyah (751 H)

Beliau adalah murid dari Ibnu Taimiyah. Ibnul Qa-


yyim juga punya perhatian khusus terkait dengan ilmu
maqashid. Dalam hal ini beliau menulis buku dengan
judul “ilamul muwaqqiin an rabbil alamin”.
Dalam kitab ini, banyak dikaji mengenai ma-
qashid syariah. Beliau sendiri mengatakan bahwa
seluruh syariat bertujuan demi maslahat hamba. Bah-
kan menurutnya seluruh syariat adalah keadilan. Jika
sudah keluar dari keadilan dan maslahat berarti ia bu-
kan lagi syariat.
Dalam kitab tersebut, di antaranya beliau men-
ceritakan tentang prinsip jual beli, yaitu sikap adil.
Beliau mengutip al-Quran surat al-hadid: 25 sebagai
berikut:
Hukum syariat mengharamkan riba, karena riba
merupakan bagian dari sikap zhalim. Demikian juga
perjudian diharamkan karena bagian dari kezhaliman.
Sementara jual beli yang dihalalkan agama, merupa-
kan bagian dari sikap adil. Oleh karena itu ia diboleh-
kan.1
Dalam buku ini beliau juga berbicara mengenai
maqashid mukallaf dan banyak menyinggung menge-
nai illat hukum. Artinya bahwa setiap hukum syariat
selalu ada sebab yang dapat mempengaruhi kesimpul­
1
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqqiin, jilid 1, Muassasah ar-Risalah,
Cairo, hal. 304

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 237


an hukum fikih.
Terkait hukuman bagi pezina ghairul Muhsan,
beliau mengatakan bahwa hukumannya dicambuk dan
bukan dikebiri atau dipotong kemaluannya. Menurut-
nya bahwa hal ini demi maslahat bagi pelaku kejahat­
an. Pemotongan kemaluan mengandung mafsadah
yang lebih besar yaitu menghilangkan salah satu or-
gan tertenting dalam tubuh manusia. Jika ia menikah,
ia tidak dapat memberikan keturunan, padahal me-
langsungkan keturunan merupakan salah satu dari tu-
juan hukum syariah.1
Bagi pencuri, hukumannya adalah potong tan-
gan. Hal ini karena ia mengambil harta dengan cara
diam-diam, dan tangan merupakan sarana dia dalam
mengambil harta tersebut. Oleh karena itu, tangan
harus dipotong dengan harapan agar ia tidak dapat
melaksanakan pencuarian lagi.
Menurut Ibnul Qayyim bahwa setiap hukuman
sangat bergantung kepada besaran tindakan kriminal
yang dilakukan. Semakin seseorag melakukan tindakan
kriminal besar, maka hukuman yang akan dia terima
juga semakin besar. Seperti orang yang berzina secara
muhsan (telah menikah), maka hukumannya adalah di
rajam hingga meninggal dunia. Hal ini karena ia telah
memiliki pasangan yang halal sehingga tidak ada ala-
san bagi dirinya untuk mengkhianati pasanganya. Se-
lain itu, berzina dalam kondisi telah menikah, dapat
1
Ibid, Jilid 1 hal. 393

238 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


menimbulkan kekacauan keturunan, sementara ke-
jelasan keturunan merupakan salah satu tujuan syari-
at yang sangat penting. Oleh karenanya, syariat Islam
memberikan hukuman yang juga sangat berat agar
kriminal seperti itu tidak dilakukan oleh orang lain.
Hukuman sekaligus menjadi pelajaran bagi pelaku dan
masyarakat untuk tidak melakukan tindak kejahatan.
Imam Ibnu Qayyim dalam kitab i’lamul Muwaqiin
sering menyebutkan mengenai hikmah dibalik hukum
syariat. Beliau juga sering menyebutukan mengenai
tujuan dari hukum syariat yang bervariasi. Meski buku
ini tidak spesifik berbicara tentang maqashi syariat,
namun kajian maqashid dalam buku ini sangat kaya.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 239


Al-Muqirri (758)
Beliau juga sangat perhatian terhadap maqashid-
ul quran dan sunnah. Banyak hukum fikih hasil ijtihadn-
ya yang dilandaskan pada persoalan maqashid. Dalam
menentukan hukum fikih, beliau selalu meng­hindari
persoalan-persoalan yang hanya bersifat kha­yalan dan
belum terjadi. Beliau lebih suka memecahkan masalah
umat yang memang sudah menjadi realitas sosial.
Daripada memecahkan persoalan yang belum
terjadi, menurutnya lebih baik mendalami maqashid
al quran dan sunnah serta mempelajari mengenai pe-
mahaman ulama atas keduanya.
Jika ada suatu persoalan, yang harus dilakukan
pertama kali adalah mencari solusi hukum dari Al
Qur’an dan Sunnah. Jika tidak ditemukan maka baru
menggunakan kaedah yang memang dibangun untuk
memahami Qur’an Sunnah.

240 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Imam Syathibi (790 H)

Imam Syathibi sering dijuluki sebagai bapak­nya


ilmu maqashid. Memang sebelumnya banyak ulama
yang mengkaji mengenai ilmu ini. Hanya saja kajian
mereka terkait dengan ilmu maqashid tidak spesifik
dan selengkap seperti Imam Syatibi. Bahkan banyak
ulama yang menyebut kitab al-Muwafaqat sebagai ki-
tab monumental dan pondasi dari ilmu maqashid.
Jika kita buka kitab tersebut, kita akan melihat
dalam pengantar pengantar buku, beliau berbicara
tentang ta’lil ahkam. Menurut beliau bahwa ta’lil ah-
kam adalah hal yang sangat penting, karena dari sini
sesungguhnya ilmu maqashid dapat digali. Hanya da-
lam ta’lil ahkam tersebut, beliau menyampaikan dua
pendapat, pertama dari Imam Razi yang mengatakan
bahwa hukum syariat tidak muallalah. Artinya bahwa
ketika Allah menurunkan kitab suci, maka seorang
hamba tidak perlu bertanya, untuk apakah hukum
tersebut diturunkan. Hal ini karena Allah mempunyai
wewenang mutlak terhadap hukum yang diturunkan.
Sementara itu, menurut muktazilah, yang juga
disepakati oleh para fuqaha mutaakhirin dan beliau
sendiri, bahwa hukum syariat diturunkan mengan­
dung illat tertentu. Illat tersebut mengandung masla-
hat bagi hamba. Dari sinilah sesungguhnya hukum ma-
qashid itu berpijak.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 241


Awal bahasan dari maqashid mukallaf. Menurut-
nya bahwa seorang mukallaf tatkala melakukan suatu
amal perbuatan, akan sangat bergantung kepada niat.
Sesuatu yang baik, jika niatnya tidak baik maka akan
menjadi tidak baik. Perbuatan biasa (al adah) yang si-
fatnya mubah, namun jika diniatkan sebagai ibadah
kepada Allah, maka perbuatan itu akan bernilai iba-
dah.
Implikasi niat juga berpengaruh pada tindakan
dan hukuman bagi pelaku tindak kriminal. Hukum
syariat membedakan hukuman bagi pelaku kriminal
yang disengaja dan tidak disengaja. Orang yang mem-
bunuh secara tidak sengaja, hukumannya adalah den-
da dengan 100 ekor unta. Sebaliknya jika pembunuhan
dilakukan secara tidak sengaja, maka hukumannya
adalah qishash.
Tentang maqashid syariah sendiri, beliau mem-
bahasnya secara terperinci dan rapi. Bermula dari ma-
salah kuliyatul khamsah, yaitu masalah 5 yang masuk
dalam bab daruriyat, lalu mengkaji tentang hajiyat dan
tahsiniat. Beliau selalu menekankan bahwa tujuan di-
turunkan hukum syariat adalah demi maslahat bagi
hamba baik di dunia dan akhirat. Pernyataan beliau ini
terulang berkali-kali, yang menunjukkan bahwa beliau
memang konsentrasi menekankan kaedah maslahat
ini.1
1
Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, Al-Muwafaqat,
Daru Ibi Affan,jilid 2 hal. 199

242 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Hanya beliau membedakan antara ibadah dan
muammalah. Menurut beliau bahwa untuk ibadah
sifatnya adalah ta’abbudi. Artinya seorang hamba se-
cara mutlak mengikuti apa yang diperintahkan hukum
syariat tanpa melihat illat hukum. Berbeda dengan
muammalah yang dapat ditanyakan mengenai mak-
sud dan tujuan dari hukum tersebut. Hal ini, karena
akan berimplikasi pada sarana atau perbuatan lain se-
rupa sehingga hal-hal tersebut dapat diqiyaskan.1
Kitab al muwafaqat bisa diangap sebagai “pem-
baharuan monumental” dalam kajian ilmu ushul fikih.
Jika kitab kitab ushul fikih sebelumnya umumnya ban-
yak berkutat pada kajian Bahasa dengan mengambil
kaedah bahasa guna dijadikan sebagai pijakan dalam
kaedah ushul fikih, maka Imam Syathibi beranjak dari
kajian bahasa menuju kajian makna. Kaedah-kaedah
ilmu maqashid bukan berasal dari kajian semantik, na-
mun lebih pada konklusi dari spirit hukum syariat. Jika
sebelumnya umumnya ilmu maqashid hanya sebagai
pembahasan sampingan dan belum menjadi ilmu yang
independen, maka Imam Syathibi meletakkan cabang
ilmu baru sehingga kajian ilmu maqashid lebih dapat
independen.
Imam Syathibi banyak menjadi inspiratif terha-
dap kajian ilmu maqashid di era kontemporer. Imam
Ibnu Asyur, Syaikh Yusuf al-Qaradawhi, Syaih Ar-Rais-
uni, dan para ulama ushul kontemporer lainnya,
1
Ibid, hal. Jilid 2 hal. 305

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 243


umum­nya terpengaruh oleh pemikiran Imam Syathibi.
Oleh karena itu tidak heran jika Imam Syathibi sering
dijuluki sebagai bapaknya ilmu maqashid.

244 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Imam Syaukani (W. 1250 H)

Setelah Imam Syatibi, kajian ilmu maqashid men-


galami kekosongan selama 450-an tahun. Dalam rent-
ang waktu lebih dari empat abad itu, ilmu maqashid
mati suri. Tidak nampak ulama yang berkarya dan be-
rinovasi terkait ilmu ini. Bahkan ilmu maqashid hampir
terlupakan.
Setelah Imam Syathibi, baru muncul imam
Syaukani (w 1250 h) yang mencoba untuk membang-
kitkan kajian ilmu maqashid. Imam Syathibi sendiri
merupa-kan ulama yang bermadzhab Syiah Zaidiyah.
Awalnya beliau adalah muqallid, namun pada ahirnya
menjadi ulama besar yang banyak mengeluarkan
ijtihad independen. Sebagian kalangan menganggap
bahwa beliau merupakan seorang mujtahid mustaqil.
Beliau banyak menulis berbagai cabang ilmu keis-
laman, di antaranya terkait ilmu ushul fikih. Buku-buku
beliau banyak dijadikan rujukan oleh para ulama kon-
temporer, termasuk di kalangan ulama sunni. Beliau
sendiri dalam ijtihadnya juga menggunakan kitab-ki-
tab sunni, jadi tidak terpaku pada ulama ahli al-bait.
Kaitannya dengan ilmu ushul fikih, beliau menulis
buku dengan judul “irsyadul fuhul”. Dalam buku ini be-
liau banyak membahas mengenai masalah ta’lil al-ah-
kam. Sebagaimana Imam Syathibi, beliau berpendapat
bahwa hukum syariat itu muallal. Artinya bahwa Allah

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 245


menurunkan hukum syariat dengan tujuan tertentu.
Dari sanalah kita akan mengetahui mengenai masla-
hat mana yang Allah berikan kepada hambanya.
Beliau juga membahas tentang prinsip daruriyat
yang lima yaitu menjaga agama, jiwa, harta, akal dan
keturunan. Menurut beliau bahwa hukum syariat sela-
lu memberikan perhatian terhadap lima prinsip terse-
but. Karena ia terkait dengan kebutuhan fundamental
umat manusia. Bukan hanya dharuriyatul khamsah,
namun beliau menambahkan dengan menjaga kehor-
matan.
Terkait dengan urutan dari lima hal tadi, Imam
Syaukani tidak mempunyai urutan khusus. Terkadang
mendahulukan menjaga agama, namun terkadang
mendahulukan melindungi jiwa. Prinsipnya, lima hal
darurat tersebut harus dilindungi, karena ia menyang-
kut kebutuhan seluruh umat manusia.

246 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Thahir Ibnu Asyur (1393)

Syariat Islam yang ditujukan untuk seluruh ma-


nusia di muka bumi hingga waktu yang tak terbatas
mempunyai beberapa konsekuensi penting yang tidak
bisa dipungkiri lagi keharusannya. Salah satunya ada-
lah syariat harus sesuai dengan fitrah manusia. Secara
alami, jiwa manusia cenderung kepada segala bentuk
kemudahan, kelapangan, kenikmatan dan hal-hal lain
yang menyenangkan. Pada saat yang sama, jiwa-jiwa
itu akan menghindari bentuk-bentuk kesulitan, kesem-
pitan, kesengsaraan dan hal-hal lain yang membuat-
nya menderita. Pun demikian, manusia mempunyai
banyak keterbatasan, sehingga tidak bisa memastikan
apa yang baik dan buruk bagi dirinya. Dalam titik inilah
syariat Islam menarik untuk diposisikan. Kesesuaian-
nya dengan fitrah manusia, membuatnya mudah un-
tuk dipahami sekaligus diterapkan dalam kehidupan
umat manusia. Hanya saja pada gilirannya, banyaknya
cara pandang yang digunakan melahirkan perbedaan
pemahaman yang terkadang tidak cukup beralasan.
Dan tampaknya Ibnu ‘Asyur menjadi salah satu dari
mereka yang sangat menyesalkan itu. Baginya, diper-
lukan rambu-rambu khusus yang tidak diragukan lagi
kebenarannya untuk dijadikan pedoman umum dalam
rangka menghilangkan, atau paling tidak meminimal-
isir perselisihan yang tidak cukup beralasan. Tawaran
itu beliau namakan maqhâsid al-syarî‘ah.
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 247
Bagi Ibnu ‘Asyur, proyek besar ini bukan sekedar
pemenuhan hasrat intelektualnya saja. Lebih dari itu,
yang beliau inginkan adalah bagaimana membangun
sebuah cara pandang yang komprehensif terhadap
ajaran Islam agar menghasilkan kesepakatan-kesepa-
katan intelektual yang akan berkorelasi erat dengan
penyelesaian problematika kekinian yang sedang diha-
dapi umat Islam. Kesepakatan-kesepakatan itu pulalah
yang akan menunjukkan kepada dunia, bahwa ajaran
Islam memang ditujukan kepada seluruh manusia per-
sis seperti tujuan awal ketika diturunkan.
Bagi Ibnu ‘Asyur, salah satu penyebab terpenting
kemunduran fiqh Islam adalah kurangnya minat fuqa-
hâ’ untuk berinteraksi secara intens dengan kaidah-
kaidah pokok fiqh serta kecenderungan mereka ke-
pada pembahasan-pembahasan yang terbatas pada
masalah-masalah furû‘ (cabang) saja. Ditambah lagi
keengganan mereka untuk menggunakan disiplin ilmu-
ilmu lain sebagai alat bantu, menyebabkan kajian fiqh
terpinggirkan dari ilmu-ilmu tersebut yang sebenar­
nya punya pengaruh penting terhadap perkembangan
dan kemajuannya. Pada saat yang sama, hal itu juga
menyebabkan fiqh terasingkan dari realitas kehidupan
dan problematika masyarakat kekinian.
Karena kedudukan ushul fiqh sebagai landasan
teoritis fiqh, kemunduran dalam fiqh berarti kemun-
duran dalam ushul fiqh juga. Keengganan pengikut se-
tia madzhab untuk melakukan usaha-usaha ta‘lîl dan
248 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
tarjîh dengan alasan menjaga kesatuan madzhab dan
membatasi perselisihan di dalamnya, justru menja-
di kontraproduktif dengan tujuan itu sendiri. Mereka
seakan lupa bahwa produk-produk ijtihad para ulama
madzhab tersebut adalah hasil pembacaan maksimal
terhadap mashâlih dan mafâsid, maqâshid al-syarî‘ah,
prinsip-prinsip menghilangkan kesulitan (raf’u’l haraj)
serta kebutuhan umat dan tradisi mereka ketika itu.
Sebaliknya kata Ibnu ‘Asyur, justru karena keteledor-
an akan hal-hal itulah yang menyebabkan timbulnya
perselisihan, baik itu berupa al-khilâf al-‘âliy (perselisi-
han antar madzhab) maupun al-khilâf al-nâzil (perselisi-
han internal madzhab), juga menjadi penyebab utama
kejumudan fuqahâ’ dan penyia-nyiaan hukum-hukum
lain yang lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Ungkapan senada juga dilontarkan oleh Sya‘ban Mu-
hammad Ismail. Menurut beliau, banyak dari Ulama
Ushûl yang membuang energinya dengan membahas
hal-hal yang sebetulnya tidak perlu diperselisihkan
lagi. Sebagian dari mereka justru terjebak dalam per-
debatan-perdebatan di luar pembahasan ushul fiqh.
Ini tentu berbahaya bagi generasi muda umat Islam,
karena tujuan mereka sekedar untuk memenangkan
madzhab masing-masing
Untuk memperkokoh bangunan maqâshid al-
syarî‘ah, Ibnu ‘Asyur merasa penting untuk meletak-
kan prinsip-prinsip umum yang akan dijadikan sebagai
landasan utama. Dalam bahasa lain, pekerjaan besar­

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 249


nya ia mulai dengan menetapkan pokok-pokok yang
mencakup kaidah-kaidah umum ajaran Islam (tahdîd
ushûl jâmi‘ah li kulliyyâti’l Islâmiy). Al-kulliyyât yang
ia maksud di sini tidak hanya terbatas pada al-kulli-
yyât al-khams saja, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Meskipun kelimanya dianggap
sebagai prinsip penting dalam membangun ushûl
tersebut, namun membatasinya hanya pada lima hal
itu saja tentu dirasa masih kurang.
Kelimanya, masih dirasa kurang untuk membuat
sebuah pedoman berijtihad yang mampu menghasil-
kan sebuah pemahaman yang qath‘iy atau paling tidak
mendekatinya. Maka kalau dikatakan bahwa tujuan
utama dari syariat Islam adalah memelihara atur-
an-aturan umat manusia dan menciptakan kemasla-
hatan berkelanjutan yang di antaranya kemaslaha-
tan perbuatan dan kemaslahatan lingkungan dimana
mere­ka hidup di dalamnya, tak ayal lagi penetapan
ushûl tersebut merupakan pintu utama untuk menca-
pai kesamaan pandangan para mujtahid serta menjadi
titik temu bagi mereka yang berselisih pendapat.

250 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Istiqra Dalam Kajian Ilmu Maqashid

Istiqra adalah kesimpulan atau rumusan teori


(kaedah) yang diambil setelah dilakukan penelitian
atas semua atau sebagian elemen. Jika penelitian
dilakukan terhadap semua sampel, disebut dengan
istiqra tam. Namun jika penelitian hanya dilakukan
sebagian dari sampel, disebut dengan istiqra naqis.
Istiqra, dalam teori riset modern bisa disebut dengan
istilah kajian induktif.
Kajian induktif umum digunakan dalam kajian
ilmu ushul fikih, termasuk dalam kajian ilmu maqa-
shid. Para mujtahidin akan melihat seluruh atau se-
bagian teks terkait persoalan tertentu, untuk kemu-
dian dilakukan penelitian, kemudian akan diambil
suatu kesimpulan. Hanya saja, ia baru menjadi sebuah
kaedah baku, manakala telah dilakukan beberapa kali
ekperimen dan ternyata menghadirkan satu kesimpul­
an yang sama. Dari sana lantas akan dibuat kaedah
ushuliyyah. Kaedah yang sudah dibentuk, bisa diterap-
kan ke berbagai macam kasus yang mempunya perso-
alan serupa.
Menurut Imam Syathibi bahwa istiqra merupa-
kan metode yang sangat penting sebagai sarana un-
tuk membuat kaidah ushul dalam ilmu maqashid.
Kesimpul­an kaedah ilmu maqashid syariah yang terb-
agi menjadi tiga bagian yaitu daruriyat, hajiyat dan

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 251


tahsiniyat, juga merupakan hasil dari penelitian Imam
Syathibi terdahap kajian teks secara induktif. Kesim-
pulan itu beliau tuangkan dalam kitab al-Muwafaqat.
Secara jelas, dalam kitab tersebut beliau menyatakan
sebagai berikut, “Tujuan dari diturunkannya hukum
syariat untuk mejaga tiga hal penting, yaitu terkait
dengan urusan yang bersifat daruriyat, hajiyat dan
tahsiniyat”.1 Tidak hanya Imam Syathibi, para ulama
lain yang mengkaji ilmu maqashid, seperti Imam Ibnu
Taimiyah juga selalu menyinggung sistem istiqra (ka-
jian induktif) sebagai bagian tak terpisahkan untuk
membuat rumusan ilmu maqashid.2
Pembagian Istiqra
Menurut Ibnu Asyur, istiqra dapat dibagi menjadi
dua macam:
Pertama, Istiqra hukum syariat. Istiqra seperti ini
dilakukan dengan meneliti teks al-Quran dan assunah
dengan melihat kepada illat hukum seperti yang su-
dah tertera secara sharih dalam nas. Meski illat telah
disebutkan oleh nas, namun penelitian terhadap illat
hukum demi mencapai pengetahuan terhadap tujuan
diturunkannya nas tersebut tetap diperlukan. Hal ini
selain sebagai upaya rumusan ilmu maqashid, juga un-
tuk meneliti validitas illat dalam nas tersebut.
Bagaimana kita dapat mengetahui illat tertentu
1
Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Gharnathi Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat,
Dar Ibnu Afan, jilid 2 hal. 41
2
Taquddin Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah, Majmu Fata-
wa, Tahqiq Anwar Albaz, Darul Wafa, 2005, Jilid 1 hal. 99

252 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


dalam suatu nas? Tentu saja dengan berbagai model
penelitian lapangan yang telah dirumuskan oleh para
ulama ushul sebelumnya, yaitu apa yang disebut de­
ngan istilah masalikul illat. Jika illat hukum telah dise-
buntukan secara jelas, maka dari illat tadi jadi titik
awal untuk dapat menyingkap mengenai maqashid
syariah yang terkandung dalam nas. Jika ada sekian
ketetapan hukum dan mempunyai satu illat, kita akan
dapat mengambil kesimpulan mengenai maqashid
syariahnya.
Dengan metode istiqra juziyat (partikular), akan
disimpulkan maqashid kullimya. Meski demikian perlu
digarisbawahi bahwa illat tersebut hanya sekadar se-
bagai titik tolak saja. Illat sendiri bukan maqashid sya-
riah, namun sarana menuju maqashid syariah.
Contoh: Khamar haram karena memabukkan.
Illat diharamkannya khamar adalah sifat memabuk-
kannya tadi. Maqashid syariahnya bukan pada illat
memabukkan, tapi dari pertanyaan lanjutannya, yai-
tu mengapa sesuatu yang memabukkan diharamkan?
Jawabnya adalah karena ia dapat menutup akal pikiran,
sementara akal merupakan tempat seorang hamba
mendapatkan hukum taklifi. Jika akal hilang, maka hu-
kum syariat yang dibebankan kepadanya, tidak akan
dapat terlaksana. Jika demikian, banyak hukum syari-
at yang akan dia tinggalkan. Tentu saja, meninggalkan
kewajiban yang telah dibebankan kepada hamba, me­
rupakan perbuatan terlarang yang harus dihindari.
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 253
Kedua, istiqra terhadap beberapa dalil dalam
hukum syariat yang mempunyai kesamaatn illat. Dari
kesamaan illat tadi lantas kita akan mengambil suatu
kesimpulan mengenai maqashid syariah., Contoh:
‫وال تقل هلما اف وال تنهر مها‬
Artinya: “Dan janganlah kalian mengatakan uff,
dan jangan membentak keduanya”
Di sini ada ungkapan sederhana, yaitu uff, kemu-
dian dilanjutkan dengan larangan bentakan. Baik ber-
kata uff, atau membentak kedua orang tua, mempu-
nyai illat yang sama yaitu menyakiti kedua orang tua.
Jadi di sini ada dua dalil meski konteksnya masih da-
lam satu ayat. Illat dari kedua ungkapan tadi sama, yai-
tu larangan menyakiti orang tua.
Dari illat yang sama tersebut, lantas seorang muj­
tahid dapat mengambil kesimpulan mengenai spirit
dari nas, yaitu larangan melakukan semua perbuatan,
bagaimanapun juga bentuknya yang kiranya dapat
menyinggung perasaan orang tua. Jadi, perbuat­an
apapun yang dapat menyakiti orang tua, baik dengan
perkataan, perbuatan, perlakuan kasar dan lain se-
bagainya, hukumnya haram.
Ibnu Asyur membagi istiqra menjadi dua:
1. Istiqra hukum syariat, di mana illat hukum terse-
but disebuntukan secara jelas oleh nas. Meski de-
mikian tetap harus dilakukan validitas untuk me-
mastikan mengenai illat hukum tersebut. Caranya,

254 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


dengan menggunakan masalikul illat seperti yang
makruf dalam kitab-kitab ushul.Jika illat hukumnya
sudah jelas, maka dari illat tadi jadi titik tolak untuk
mengetahui mengenai maqashid syariah yang ter-
kandung dalam nas.
Jika ada sekian ketetapan hukum dan mempunyai
satu illat, dengan mudah kita akan dapat mengam-
bil kesimpulan mengenai maqashid syariahnya.
Dengan metode istiqra juziyat (partikular) maka
kemudian akan disimpulkan maqashid kullimya.
Yang perlu digarisbawahi bahwa illat tadi hanya
sekadar sebagai titik tolak saja. Illat bukan maqa-
shid syariah.
Contoh:
Khamar haram karena memabukkan. Illat diharam-
kannya khamar adalah memabukkannya tadi.Ma-
qashid syariahnya bukan pada illat memabukkan,
tapi dari pertanyaan lanjutannya, “mengapa mem-
abukkan”. Jadi illat hanya sebagai titik start saja.
2. Istiqra beberapa dalil hukum syariat, di mana dalil-
dalil tadi mempunyai kesamaan illat. Dari kesa-
maan illat tadi lantas kita akan mengambil suatu
kesimpulan mengenai maqashid syariah yang ter-
kandung dalam nas.,
Contoh: “Dan janganlah kalian mengatakan uff, dan
jangan membentak keduanya”
Di sini ada uff, dan ada membentak. Keduanya
mempunyai illat yang sama yaitu menyakiti kedua

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 255


orang tuanya.
Dua dalil tadi, meskipun konteksnya masih dalam
satu ayat, jelas mempunyai illat yang sama. Darti sana
lantas kita menarik kesimpulan dibalik dari kesamaan
illat tadi. Mengapa uff dan membentak diharamkan?
Karena menyakiti kedua orang tua. Dari sini lantas kita
tarik kesimpulan bahwa bentuk apapun yang kiranya
dapat menyakiti orang tua, hukumnya diharamkan.

256 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Hujjah Istiqra

Sebelumnya pernah kami singgung terkait pem-


bagian istiqra, yaitu tam dan naqis. Istiqra tam adalah
meneliti semua komponen yang ada dalam obyek pe-
nelitian sementara istiqra naqis hanya meneliti seba-
gian komponen saja, lalu membuat.
Hasil dari penelitian yang menggunakan metode
istiqra tamm bersifat pasti (qat’iy). Hal ini karena pe-
neliti melakukan kajian secara mendetail dan terper-
inci terkait semua komponen tanpa terlewatkan. De­
ngan demikian kesimpulan yang dihasilkan merupakan
kesimpulan dari seluruh komponen.
Contoh: dalam suatu penelitian kelas 1, mereka
yang nilainya di bawah 60 diangap gagal. lalu dilaku-
kan penelitian ke seluruh siswa. Ternyata semua murid
nilainya dibawah 60. Berarti kesimpulannya mereka
semua gagal. Kesimpulan ini dianggap pasti benar.
Hasil penelitian dengan metode istiqra naqis
hasilnya zhanniy.
Contoh: dalam suatu poling pilpres dinyatakan
bahwa prabowo akan menang 52 persen. Setelah
dilaksanakannya pilpres ternyata prabowo kalah. Po­
ling dilakukan dengan mengambil sebagian sampel
saja.
Artinya poling ini, meski seakurat apapun tetap
ada margin error. Ada celah kemungkinan hasil akan
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 257
meleset. Inilah mengapa metode istiqra naqis ini di-
anggap zhani dan tidak pasti.
Menurut Imam Syathibi bahwa istiqra, baik yang
naqis atau tamm mempunyai hasil yang bersifat pas-
ti (yufidul qat’iy). Pendapat Imam Syathibi ini tentu
berbeda dengan pendapat para ulama ushul dan para
pakar mantiq yang mengatakan bahwa hanya istiqra
tamm saja yang mempunyai kesimpulan yang bersifat
pasti. Sementara istiqra naqis kesimpulannya tdk pasti
(zhan). Argumentasi asy syathibi adalah baik hasil is-
tiqra qa’ti atau tdk, tetap akan menghasilkan kesimpul­
an hukum yang harus diamalkan.
Jika kemudian kita beranggapan bahwa hanya
yang pasti saja (qat’iy) yang harus diamalkan, maka
akan banyak persoalan umat yang terabaikan. Imam
Syathibi ingin menjadikan hukum fikih mempunyai ke-
pastian hukum. Sebelumnya Ibnu Hazm juga mempu-
nyai pendapat yang mirip. Dengan nalar burhaninya,
Ibnu Hazm ingin menjadikan kesimpulan hujum fikih
bersifat pasti (qat’iy)
Menurut Nukmam Jaghim bahwa segala hal yang
terkait dengan urusan akidah maka harus berlandas-
kan pada kesimpulan yang qat’iy sementara terkait
amalan praktis yang tidak ada hubungannya dengan
akidah, boleh mengamalkan dalil zhanni.
Sebelumnya sudah saya singgung bahwa istiqra
tam menghasilkan nilai pasti (yaqin) sementara istiqra

258 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


naqis menghasilkan nilai yang tdk pasti (zhan). Kecuali
Imam Syathibi yang menganggap bahwa semua ha-
sil iatiqra menghasilkan nilai pasti. Hasil istiqra tam,
baik yang berkaitan dengan persoalan akidah ataupun
muamalat, karena hasilnya pasti maka ia bisa dijadi­
kan sandaran hukum dan bisa diamalkan. Sementara
untuk istiqra naqis, kebanyakan ulama kalam menya-
takan bahwa untuk urusan akidah tdk dapat diterima.
Berbeda jika berkaitan dengan persoalan muamalah,
maka ia bisa dijadikan hujah dan bisa diamalkan.
Dalam penelitian terkait maqashid syariah, ti-
dak harus menggunakan sistem istiqra tam. Bahkan
menurut Yusuf Ahmad Al badawi bahwa untuk me­
ngetahui maqashid syariah, cukup dengan meneliti
sebagian besar dalil yang ada. Hasil dari penlitian tadi
sudah dapat dijadikan sebagai kesimpulan. Ini mirip
dengan poling yang hanya mengambil sampel, lalu
dibuat kesimpulan secara menyeluruh.
Dr Yusuf Alim dalam kitabnya, Maqashid Asya-
riah menyatakan bahwa jika kita mekakukan istiqra
terhadap hukun syariat yangterdapat dalam al-Quran
dan sunnah, maka kita akan mendapati bahwa semua
hukum tersebut bertujuan untuk mewujudkan maqa-
shid asyariah. Contoh ayat berikut:
‫ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرَب َويـَنـَْهى‬ ِ ‫الحس‬ ِ ِ ِ
َ ْ ْ ‫اللَ َيْ ُمُر ِبلْ َع ْدل َو‬ َّ ‫إِ َّن‬
‫َع ِن الْ َف ْح َشاء َوالْ ُمْن َك ِر َوالْبـَ ْغ ِي يَعِظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن‬
Artinya: Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 259


(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari per-
buatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia mem-
beri pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengam-
bil pelajaran.” (QS An-Nahl [16] : 90).
Ayat di atas secara jelas memerintahkan kepada
kita untuk melakukan perbuatan yang sifatnya adil,
yaitu tidak terlalu berlebih atau terlalu menyelepe-
kan. Ini berlaku dalam setiap amal perbuatan. Arti­
nya, bersikap adil kepada umat manusia merupakan
sebuah tujuan dari syariat. Mafhum mukhalafah dari
ayat di atas adalah bahwa kita dilarang untuk melaku-
kan perbuatan keji, munkar dan permusuhan.
Contoh-contoh seperti ini banyak bertebaran da-
lam ayat-ayat al-Quran.
Kita juga bisa mengambil contoh istiqra dari sun-
nah Nabi Muhammad saw. Berikut salah satu hadis ri-
wayat Bukhari berikut bisa kita jadikan contoh:
‫اللُ َعلَْي ِه‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َ َ‫ ق‬، َ‫َع ْن أَِب ُهَريـَْرة‬
َ ‫الل‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬
ً‫ض ٌع َو ِستُّو َن ُش ْعبَة‬ ْ ِ‫ أ َْو ب‬، ً‫ض ٌع َو َسبـْعُو َن ُش ْعبَة‬ْ ِ‫ “ ا ِإلميَا ُن ب‬: ‫َو َسلَّ َم‬
‫ َوأ َْد َن َها إِ َماطَةُ األَ َذى َع ِن الطَّ ِر ِيق‬، ُ‫الل‬ َّ ‫ضلُ َها َل إِلَهَ إَِّل‬
َ ْ‫ أَف‬،
Artinya: Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulu­
llah saw besabda, iman itu ada tujuh puluh sekian,
atau enam puluh sekian cabang. Yang paling bagus
adalah kata tiada tuhan sellain Allah dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.

260 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Di hadits itu disebutkan mengenai tingkat ke­
imanan tertinggi yaitu iman kepada Allah. Kemudian
ada tingkatan terendah yaitu menyingkirkan duri dari
jalan. Hadits tadi menerangkan mengenai persoalan
terbesar bagi umat Islam terkait urusan tauhid, kemu-
dian menerangkan urusan paling minimal, yaitu ter-
kait dengan kemaslahatan umat manusia.
Jika kita ambil ujung hadis, terkait dengan me­
nyingkirkan duri tadi, tujuan utamanya adalah men-
jaga manusia dari segala sesuatu yang kiranya dapat
memberikan mudharat baginya. Juga selalu berbuat
agar insan muslim selalu melakukan perbuatan yang
selalu membawa maslahat bagi umat manusia. Ini ar­
tinya bahwa maqashid syariah tujuan utamanya ada-
lah maslahat.
Di sini disebutkan mengenai hakekat agama yang
terletak antara dua ujung yaitu yang pertama akidah
tauhid dan yang paling ujung adalah sesuatu yang pa­
ling sederhana yaitu menyingkirkan duri dari jalan.
Jadi kesimpulannya bahwa maqashud syaruah tujuan-
nya untuk maslahat manusia baik terkait dengan uru-
san yang besar atau yang kecil.
Dalam melakukan sistem istiqra tidak harus den-
gan meneliti semua komponen yang ada secara ter-
perinci. Cukup kita mengetahui mengenai makna dan
nilai yang terkandung di dalam nas dengan melihat
dari perintah atau larangan, itu sudah dapat dijadikan
sebagai indikasi awal untuk mengenai maqashid sya-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 261
riah. Upaya untuk mengungkap makna dan nilai yang
terkandung dalam nas tadi, meski tidak dilakukan de­
ngan sistem istiqra tam, disebut dengan istiqra mak-
nawi.
Nuaim Jaghim dalam bukunya Thuruqul Kasyfi an
Maqashid Asyari menerangkan bahwa istiqra maknawi
yang bertujuan untuk mengidentifikasi mengenai ma-
qashid syariah, tidak dilakukan dengan cara meneliti
setiap komponen. Artinya ia hanya menggunakan is-
tiqra naqis dan bukan tam. Ia berfungsi untuk proses
identifikasi mengenai maqshud yang terkandung da-
lam setiap hukum nas. Menurutnya bahwa penelitian
dengan sistem istiqra tam itu, terlampau berat dan
sulit dilakukan. Selama tujuan utamanya sudah dapat
tercapai, meski dengan istiqra naqis, maka itu sudah
dicukupkan.
Sebagaimana kami sampaikan bahwa istiqra tam
adalah meneliti semua sampel yang ada dalam obyek
penelitian, dari sini lantas dibuat suatu kesimpulan.
Sementara istiqra naqis hanya meneliti sebagian sam-
pel saja, lalu dibuat kesimpulan. Hasil penelitian yang
menggunakan metode istiqra tamm bersifat pasti
(qat’iy). Hal ini karena peneliti melakukan kajian se-
cara mendetail dan terperinci terkait seluruh sampel
yang dibutuhkan. Karena ia kajian menyeluruh, maka
kesimpulan yang diambil adalah kesimpulan berdasar-
kan pada seluruh sampel dari obyek penelitian. Con-
toh: Muhammad meneliti mengenai siswa yang lulus
262 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
di kelas satu SD. Standar yang digunakan adalah bah-
wa mereka yang nilainya di atas 60 dianggap lulus.
Jumlah sampel dalam kelas ada 50 orang. Setelah ia
melihat satu persatu siswa kelas 1 SD, ternyata semua
siswa nilainya di atas 60. Dari sini, Muhammad men-
gambil kesimpulan bahwa siswa kelas 1 SD semuanya
naik kelas. Kesimpulan yang diambil oleh Muhammad
ini bersifat pasti (qath’iy), karena meneliti seluruh per-
son yang ada dalam kelas.
Istiqra tam juga berlaku dalam hukum syariat. Da-
lam kitab al-Mustasfa, imam Ghazali memberikan ket-
erangan terkait istiqra ini dengan menyuguhkan con-
toh terkait fi’il amr. Menurut beliau bahwa setiap fi’il
amr yang digunakan dalam al-Quran dan tanpa adanya
qarinah, selalu menunjukkan makna wajib. Perintah
shalat, haji, zakat, menepati janji, dan lain sebagainya
menggunakan kata perintah. Karena kata perintah di
ayat-ayat tersebut tidak ada qarinah yang dapat me-
malingkan, maka ia menunjukkan makna wajib. Jadi,
kesimpulan wajib itu, bukan dari penelitian satu dua
ayat saja yang terkait dengan fiil amr dalam al-Quran,
namun seluruh fi’il amr. Dari sini, maka kesim­pulannya
bersifat qat’iy. Oleh ulama ushul, hal yang sifatnya
pasti ini dan tersebut dalam al-Quran namanya qat’I
tsubut dilalah, yaitu lafal yang jelas datangnya dari Al-
lah (al-Quran) dan secara dilalah hanya menunjukkan
satu makna saja.
Berbeda lagi dengan istiqra naqis, yaitu peneli-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 263
tian yang melibatkan sebagian dari sampel saja. Ka-
takanlah ada 100 sampel yang butuh penelitian, ia
hanya mengambil 50 sampel secara acak. Penelitian
seperti ini bisa dijadikan sebagai pegangan, hanya
saja hasilnya tidak pasti. Dengan kata lain, masih ada
kemungkinan terjadi kesalahan. Contoh: Peneliti LSI
Network Rully Akbar mengatakan pasangan Jokowi-JK
mendapat suara 51,74% dan Prabowo-Hatta dengan
48,25%. Dengan selisih 3,49%. Namun, menurutnya,
berdasarkan angka itu maka diasumsikan pasangan
nomor urut 2 meraih dukungan sebanyak 38,58%.
Sementara rivalnya, memperoleh 35,98%. Dari angka
ini terdapat 25,44% responden yang enggan mem-
beritahu pilihannya. “Jokowi-JK memperoleh 38,58%
dan untuk Prabowo-Hatta 35,98%. Sementara 25,44%
merahasiakan pilihannya,” ujarnya dalam Konferensi
Pers di Jakarta, Rabu (9/7/2014). Data itu diperoleh
dengan metode interval yaitu dengan mewawancarai
empat responden yang dipilih dari 2.000 tempat pe-
mungutan suara (TPS) secara acak dari 478.883 TPS.
Alhasil, total responden yaitu 8.000 responden dari to-
tal keseluruhan 188.246.645 pemilih. Sementara sam-
pling errornya +/-1,5%.
Penghitungan cepat di atas tidak melibatkan
semua sampel, namun hanya sebagian saja. Hasil dari
perhitungan di atas bias diterima dan mungkin benar.
Hanya saja, tetap ada margin error. Jadi masih ada ke-
mungkinan hasil tidak sesuai dengan penelitian. Pene-

264 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


litian model seperti ini juga berlaku dalam kajian ilmu
ushul fikih. Inilah yang disebut dengan istiqra naqis
itu. sebagai contoh: dalam kitab bahrul muhith karya
Zarkasyi disebutkan bahwa jika sahabat mengatakan
“Rasulullah saw bersabda”, ada kemungkinan besar
bahwa sahabat tersebut mendengar langsung dari
Rasulullah. Penelitian tidak dilakukan dengan melihat
semua hadits nabi namun berdasarkan sampel.
hasilnya masih belum pasti karena bisa saja dia men-
dengar dari sahabat lain. Meski demikian kesimpulan
tersebut sudah dapat dijadikan pegangan. Rata-rata
ulama ushul mengklaim bahwa istiqra naqis hasilnya
tidak pasti. Hanya Imam Syathibi seperti yang beliau
singgung dalam kitab al muwafaqat yang berpen-
dapat bahwa baik istiqra tam atau naqis hasilnya
bersifat pasti. Wallahu a’lam
Terkait istiqra ini, para ulama ushul juga meng-
gunakan dalil dari al-Quran, di antaranya adalah ayat
berikut ini:
ِ ِ
ً ‫ك َكا َن َسيِّئُهُ عْند َربّك َم ْك ُر‬
‫وها‬ َ ‫ُك ّل َذل‬
Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tu-
hanmu”. (QS. Al-Isra’ 17:38)
yang dimaksudkan semua kejahatan adalah ben-
tuk-bentuk kejahatan yang disebutkan sebelum ayat
tersebut, yaitu:
(31). ‫َوَل تـَْقتـُلُوا أ َْوَل َد ُك ْم َخ ْشيَةَ إِ ْم َل ٍق َْۖن ُن نـَْرُزقـُُه ْم‬
‫َوإِ َّي ُك ْم ۚإِ َّن قـَتـْلَ ُه ْم َكا َن ِخطْئًا َكبِ ًريا‬
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 265
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi
rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguh­
nya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.
ِ َ‫وَل تـ ْقربوا ال ِزَن ۖإِنَّه َكا َن ف‬
(32). ‫اح َشةً َو َساءَ َسبِ ًيل‬ ُ ّ َُ َ َ
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesung-
guhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk.
(33). ‫اللُ إِلَّ ِب ْلَ ِّق َۗوَم ْن‬
َّ ‫س الَِّت َحَّرَم‬ َ ‫َوَل تـَْقتـُلُوا النـَّْف‬
ِ
ُ‫ف ِف الْ َقْت ِل ۖإِنَّه‬ ً َ‫وما فـََق ْد َج َع ْلنَا لَِوليِّ ِه ُس ْلط‬
ْ ‫ان فَ َل يُ ْس ِر‬ ِ
ً ُ‫قُت َل َمظْل‬
‫ص ًورا‬
ُ ‫َكا َن َمْن‬
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang di-
haramkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh
secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli
waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesung-
guhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
ِ ِ َ ‫وَل تـ ْقربوا م‬
ْ ‫ال الْيَتي ِم إِلَّ ِبلَِّت ه َي أ‬
(34). ‫َح َس ُن َح َّ ٰت‬ َ َُ َ َ
‫َشدَّهُ َۚوأ َْوفُوا ِبلْ َع ْه ِد ۖإِ َّن الْ َع ْه َد َكا َن َم ْسئُ ًول‬
ُ ‫يـَبـْلُ َغ أ‬
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yat-
im, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfa`at)
sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.

266 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


(35). ‫اس الْ ُم ْستَ ِقي ِم‬
ِ َ‫َوأ َْوفُوا الْ َكْيل إِ َذا كِ ْلتُ ْم َوِزنُوا ِبلْ ِق ْسط‬
َ ِ
ِ ْ
‫َح َس ُن َتو ًيل‬ ْ ‫ك َخيـٌْر َوأ‬ َ ‫ۚ َٰذل‬
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu
menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar.
Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik aki-
batnya.
(36). ‫صَر‬ َّ ‫ك بِِه ِع ْل ٌم ۚإِ َّن‬
َ َ‫الس ْم َع َوالْب‬ َ َ‫س ل‬َ ِ ‫ف َما لَْي‬ ُ ‫َوَل تـَْق‬
‫ك َكا َن َعْنهُ َم ْسئُ ًول‬ َ ‫َوالْ ُف َؤ َاد ُك ُّل أُوٰلَئ‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesung-
guhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
َ َّ‫ض َمَر ًحا ۖإِن‬
َ ‫ك لَ ْن َتْ ِر َق ْال َْر‬
(37). ‫ض‬ ِ ‫ش ِف ْال َْر‬ ِ َْ‫َوَل ت‬
َ َ‫الِب‬
‫ال طُ ًول‬ ْ ‫َولَ ْن تـَبـْلُ َغ‬
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan sombong, karena sesungguhnya kamu seka-
li-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali
kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 267


268 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Kedua: Struktur Bahasa Arab

Sebelumnya pernah kami sampaikan mengenai


salah satu sarana untuk mengetahui ilmu maqashid,
yaitu dengan istiqra atau kajian induktif. Berikut kami
sampaikan mengenai cara kedua untuk mengetahui
ilmu maqashid, yaitu dengan melihat struktur bahasa
Arab.
Untuk dapat memahami bahasa Arab secara
mendalam, dibutuhkan pengetahuan mengenai struk-
tur bahasa Arab secara mendalam pula. Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad saw menggunakan bahasa
Arab. Secara otomatis untuk dapat memahami kedua­
nya juga harus paham bahasa yang digunakan oleh
dua sumber tadi. Ini artinya kita juga harus mendalami
secara baik mengenai struktur yang berlaku dalam ba-
hasa Arab. Kemampuan kebahasaan ini menjadi kunci
utama agar kita mampu menyelami kan­dungan ilmu
maqashid syariah. Jadi, paham saja belum cukup.
Bahasa pada prinsipnya merupakan sarana ma-
nusia untuk berkomunikasi dengan yang lain. Bahasa
juga wujud dari ekspresi manusia atas apa yang ada
dalam benak dan pikirannya. Istilah Ibnu Khaldun, ba-
hasa merupakan “cawan” pengetahuan. Ada makna
yang terkandung di balik bahasa. Makna-makna terse-
but harus diungkap melalui lafal yang digunakan oleh
suatu bahasa tertentu.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 269


Bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan
sebuah makna tidak hanya berlaku bagi bahasa yang
sumbernya dari akal manusia, namun juga bahasa
wahyu. Wahyu sendiri turun untuk manusia dan dipa-
hami umat manusia. oleh karena itu, wahyu menggu-
nakan bahawa manusia sebagai rahmat Allah untuk
hambanya.
ِ ‫ان قـوِم ِه لِيـبـِي َلم ۖ فـي‬ ِ ِِ ِ ٍ ِ
‫ض ُّل‬ َُ ُْ َ َُّ َْ ‫َوَما أ َْر َس ْلنَا م ْن َر ُسول إَّل بل َس‬
ْ ‫اللُ َم ْن يَ َشاءُ َويـَْه ِدي َم ْن يَ َشاءُ ۚ َوُه َو الْ َع ِز ُيز‬
‫الَ ِك ُيم‬ َّ
Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melain-
kan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat mem-
beri penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka
Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.
dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijak-
sana.” (Ibrahim: 4)
Karena lafal yang digunakan oleh bahasa wahyu
menggunakan bahasa manusia, maka untuk menge-
tahui makna-makna tadi secara otomatis juga ditun-
tut untuk memahami seluk beluk bahasa manusia itu.
Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muham-
mad SAW menggunakan bahasa Arab, karena Nabi
Muhammad orang Arab.
‫آن َعَربِيًّا لَ َعلَّ ُك ْم تـَْع ِقلُو َن‬
ً ‫إِ َّن أَنـَْزلْنَاهُ قـُْر‬
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa
Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu mema-
haminya. (QS: Yusuf: 2)
270 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
ِ ِ
َ ‫َوَك َٰذل‬
َ ‫ك أَنـَْزلْنَاهُ ُح ْك ًما َعَربِيًّا ۚ َولَئ ِن اتـَّبـَْع‬
‫ت أ َْه َواءَ ُه ْم بـَْع َد َما‬
‫ل َوَل َو ٍاق‬ ِ ِ َِّ ‫ك ِم َن‬ َ َ‫َجاءَ َك ِم َن الْعِْل ِم َما ل‬
ٍّ ‫الل م ْن َو‬
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qu-
ran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa
Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu
mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu
terhadap (siksa) Allah. (QS: Ar-Ra’d: 37)
‫َولََق ْد نـَْعلَ ُم أَنـَُّه ْم يـَُقولُو َن إَِّنَا يـَُعلِّ ُمهُ بَ َشٌر ۗ لِ َسا ُن الَّ ِذي‬
ٌ ِ‫ب ُمب‬
‫ني‬ ٌّ ِ‫يـُْل ِح ُدو َن إِلَْي ِه أ َْع َج ِم ٌّي َو َٰه َذا لِ َسا ٌن َعَر‬
Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa
mereka berkata: “Sesungguhnya Al Quran itu diajar-
kan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)“.
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa)
Muhammad belajar kepadanya bahasa ´Ajam, sedang
Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS:
An-Nahl: 103)
Oleh karena itu, untuk menyingkap makna-mak-
na nas tadi juga dituntut untuk menguasai benar me­
ngenai berbagai wicana yang terkandung dalam baha-
sa Arab. Jadi, bahasa Arab menjadi kunci utama untuk
memahami al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad
saw. Ia menjadi sarana tak terlepaskan untuk menye-
lami bahtera ilmu al-Quran dan sunnah nabi.
Untuk menguatkan pentingnya bahasa Arab,
Ibnu Taimiyah berkata, “Belajar bahasa Arab itu bagian

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 271


dari agama. Memahami bahasa Arab menjadi suatu
keharusan untuk dapat memahami maqashid al-Qu-
ran dan sunah Nabi. Dengan bahasa Arab juga dapat
dijadikan sebagai sarana untuk memahami tujuan di-
turunkannya syariat Islam. Paham terhadap al-Quran
dan sunnah Nabi hukumnya fardhu. Tidak mungkin
dapat memahami keduanya kecuali dengan kemam-
puan berbahasa Arab. Sesuatu kewajiban yang tidak
dapat dilaksanakan kecuali melalui sarana tertentu,
maka mengadakan sarana tadi hukumnya wajib”.1
Sederhananya, al-Quran dan Sunnah berbaha-
sa Arab. Untuk memamahi harus dimulai dengan pe­
nguasaan atas berbagai kaedah yang terdapat dalam
bahasa Arab. Tanpa itu, akan sangat sulit untuk dapat
mengerti mengenai kandungan al-Quran dan Sunnah.
Jika disederhanakan, pernyataan Ibnu Taimiyah itu
sebagai berikut: memahami perintah al-Quran hu­
kumnya wajib, maka memahami bahasa Arab menjadi
wajib.
Ibnu Taimiyah sering mengulang-ulang menge-
nai urgensi pendalaman bahasa Arab dalam berbagai
karyanya. Dalam kitab Iqtidha Ashirath al-Mustaqim,
beliau berkata, “Pemahaman terhadap kitab Allah sa­
ngat bergantung kepada kemampuan atas pemaha-
man mendalam terhadap bahasa Arab, baik terkait
dengan lafal maupun makna. Juga bergantung kepada
1
Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Taimiyah al-Harrani, Dar’u Ta’arudil Aqli Wan-
naqli, Tahkik Muhammad Rashad Salim, Darul Kunuz al-Adabiyyah, jilid hal.
134

272 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


pengetahuan mengenai nasih dan mansuh, perkara
yang terkait dengan kewajiban yang ada dalam kitab
al-Quran, baik yang berkenaan dengan budi pekerti,
perintah kebaikan dan sesuatu yang dibolehkan. Di
sini seseorang harus tau mengenai perbedaan kata
perintah yang mengandung arti sebagai sebuah ke-
wajiban dan kata perintah yang mempunyai indikator
tertentu sehingga makna yang terkandung didalamn-
ya dapat disimpulkan bukan merupakan bagian dari
kewajiban”.1

1
Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Taimiyah al-Harrani, Iqtidha Ash-Shirat
Al-Mustaqim, Tahkik Nashir Abdul Karim Al-Aql, Daru Alamil Kutub, Libanon,
jilid 11 hal. 53

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 273


274 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Sarana Mengetahui Ilmu Maqashid;
Paham Dengan Konteks Bahasa

Sebelumnya telah kami sampaikan mengenai


urgensi bahasa Arab sebagai salah satu sarana untuk
menggali maqashid syariah. Di sini, masih akan kita
lanjutkan terkait urgensi bahasa Arab tersebut se-
hingga kita bisa menguak tujuan diturunkanya hukum
syariah.
Pengetahuan terkait dengan struktur bahasa
Arab atau penguasaan bahasa secara leksikal saja ti-
dak cukup untuk mengetahui mengenai makna yang
terkandung dalam kitab suci. Banyak kata-kata yang
secara bahasa mempunyai makna tertentu, namun
oleh masyarakat Arab dialihkan kepada makna lain.
Ia menjadi sebuah istilah tertentu dalam ruang ling­
kup tradisi tertentu. Di sini, tradisi mempengaruhi atas
makna suatu bahasa.
Kenyataan seperti ini juga berlaku dalam al-Qu-
ran. Artinya, kita harus bisa menangkap makna bahasa
tatkala al-Quran itu diturunkan, bukan dengan melihat
makna bahasa Arab ketika digunakan saat ini. Menga-
pa demikian? Karena bahasa mengalami sejarah pan-
jang yang terkadang terjadi perubahan makna. Banyak
lafal yang sama yang waktu itu mempunyai makna ter-
tentu, namun saat ini dengan lafal yang sama mempu-
nyai pergeseran makna dan berubah menjadi makna

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 275


lain yang berbeda. Faktor sejarah dan kondisi sosio
masa lalu, berbeda dengan kondisi sosial saat ini. Jika
tidak hati-hati dan sekadar memahami bahasa Arab
dengan konteks sekarang saja, bisa saja akan salah da-
lam memahami teks al-Quran.
Contoh dalam al-Quran adalah firman Allah beri-
kut:
‫كتب عليكم الصيام‬
Artinya: Telah diwajibkan atas kalian untuk
berpuasa (ramadhan).
Perhatikan ayat tersebut. Awal ayat menggu-
nakan kata ‫ كتب‬yang artinya secara bahasa adalah
telah dituliskan. Jika kita sekadar hanya paham bahasa
Arab saja tanpa paham mengenai penggunaan baha-
sa tersebut di masa al-Quran turun, kemungkinan be-
sar kita akan mengartikan dengan “telah dituliskan”.
Jika kemudian dimaknai dengan “telah dituliskan”,
timbul pertanyaan, ditulis di mana? Mungkin akan
ada yang menjawab di lauhil mahfuz. Artinya, puasa
telah dituliskan di lauhil mahfuz. Ini sama sekali tidak
ada korelasinya dengan kewajiban ibadah puasa. Ayat
al-Quran tadi sekadar sebagai jumlah khabariyah yang
memberikan informasi mengenai puasa yang telah di-
tuliskan itu, tidak lebih dari itu.
Tentu ini akan berakibat sangat fatal. Puasa bu-
kan menjadi sebuah kewajiban. Puasa sekadar sebuah
cerita saja. Lantas dari mana kita mengentahui bahwa

276 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


puasa adalah kewajiban? Dengan melihat penggunaan
lafal tersebut saat al-Quran diturunkan. Lafal ‫ كتب‬da-
lam masyarakat Arab waktu itu, ternyata tidak hanya
mengandung makna “ditulis”, namun juga punya mak-
na lain, yaitu “diharuskan”.
Pengetahuan atas penggunaan bahasa Arab saat
al-Quran diturunkan menjadi salah satu pintu ma-
suk untuk membuka tabir maqashid syariat. Dengan
pendalaman atas penggunaan kata-kata tersebut se-
suai konteks zaman dulu, kita akan bisa menyingkap
mengenai kandungan hukum syariat. Sejarah bahasa
dan sosiokultural penggunaan bahasa al-Quran dalam
suatu masyarakat tertentu dan di masa tertentu, dapat
membuka mengenai makna dimaksud. Dari sini kemu-
dian bisa ditarik mengenai tujuan dasar ayat tersebut
diturunkan.
Contoh lain ayat berikut ini:
‫اهُرو َن ِمن ُكم ِّمن نِّ َسائِ ِهم َّما ُه َّن أ َُّم َهاتِِ ْم إِ ْن‬ ِ َ‫الَّ ِذين يظ‬
َُ
ِ ِ ِ
ً‫اللئي َولَ ْدنـَُه ْم َوإِنـَُّه ْم لَيـَُقولُو َن ُمن َكراً ّم َن الْ َق ْول َوُزورا‬ َّ ‫أ َُّم َهاتـُُه ْم إَِّل‬
‫ور‬ َّ ‫َوإِ َّن‬
ٌ ‫اللَ لَ َع ُف ٌّو َغ ُف‬
Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu
mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan
mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta.
Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pen-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 277
gampun. ( QS. Al-Mujadalah 58 : 2)
Apakah yang dimaksudkan dengan lafal ‫ن‬ ِ َ‫يظ‬
َ ‫اهُرو‬ ُ
di ayat tersebut? Jika sekadar melihat dari struktur
bahasa Arab atau memahami bahasa secara leksikal,
kita akan salah paham. ‫ن‬ ِ َ‫ ُيظ‬secara leksikan bearti
َ ‫اهُرو‬
menampakkan sesuatu. Dari sini ada kalimat ‫مظاهرات‬
yang artinya adalah melakukan demonstrasi, karena
demo berarti keluarnya masa ke ruang publik.
ِ َ‫ يظ‬di ayat tersebut, ternyata maksudnya
‫اه ُرو َن‬ ُ
adalah zhihar. Apa itu zhihar? Zhihar adalah seorang
suami yang berkata kepada istrinya:
‫انت علي كظهر أمي‬
Kamu itu seperti punggung ibuku
Apa maksudnya? Dulu zaman jahiliyah di kala
Quran diturunkan, terkadang orang mentalak istrinya
dengan menggunakan bahasa kiyasan. Di antara baha-
sa kiyasan yang dipakai itu adalah dengan melakukan
zhihar. Ungkapannya seperti di atas. Lalu datang Islam,
dan “meringankan” kondisi umat sehingga zhihar ti-
dak lagi dianggap talak. Namun suami harus memba-
yar kafarat.
Jika kita pergi ke masyarakat Arab saat ini, zhi-
har hampir-hampir sudah tidak digunakan lagi. Apala-
gi orang Arab bicaranya sudah menggunakan baha-
sa pasaran yang jauh berbeda dengan bahasa ketika
al-Quran diturunkan. Maka hukum zhihar ini seperti
sirna dan tidak berlaku lagi. Kecuali jika ada suami

278 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


yang berbicara dengan kalimat di atas dengan maksud
talak, dan ucapannya tersebut juga dipahami istri per-
sis saat Quran turun. Maka hukum zhihar bisa berlaku
kembali.
Kondisi seperti ini tentu tidak ada di masyarakat
selain Arab. Oleh karenanya, zhihar juga hampir tidak
mungkin terjadi di masyarakat selain arab. Ia tidak bisa
dikiyaskan dengan ungkapan lain, seperti “Kamu se­
perti punggung ibuku”. Ia sangat bias dengan budaya
bahasa yang digunakan oleh masyarakat Arab waktu
itu. Jadi, jika ada suami panggil istrinya dengan umi,
bunda, ibu dan lain sebagainya, ia bukan ungkapan
zhihar. Ia punya maksud tertentu dan dipahami oleh
masyarakat tempatan dengan makna tertentu. Pasti­
nya, makna yang dimaksudkan bukanlah talak.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 279


280 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Sarana Mengetahui Ilmu Maqashid;
Perubahan Terminologi Bahasa

Pada bab sebelumnya telah kami sampaikan


bahwa di antara sarana untuk mengetahui ilmu maqa-
shid adalah dengan memahami konteks bahasa. Ha-
nya saja, pengetahuan terhadap konteks bahasa saja
belum cukup. Acapkali lafal bahasa yang telah mem-
punyai makna tertentu, lantas dirubah oleh al-Quran
menjadi sebuah terminology tertentu. Dengan kata
lain bahwa sebelum al-Quran diturunkan, ada sebuah
lafal yang maknanya sudah jamak diketahui bersama.
Namun oleh syariat dijadikan sebagai sebuah termi-
nologi tertentu. Kata tadi masih mempunyai mak-
na leksikal. Bahkan makna lafal secara bahasa masih
terkait dengan makna secara syariat. Namun syariat
memberikan makna tambahan. Telah ada pergeseran
substansi dari makna bahasa menjadi makna secara
syariat.
Contoh lafal shalat. Makna shalat sendiri secara
bahasa adalah berdoa. Artinya, siapapun orangnya,
baik umat Islam atau non muslim ketika berdoa, maka
ia disebut sedang shalat. Di bahasa Arab kontempo­
rer, seperti yang sering kita baca di Koran-koran Arab,
biasa menggunakan lafal shalat dengan maksud doa
dan ibadah di Gereja bagi umat Kristiani atau Sinagog
bagi Yahudi.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 281


Hanya saja, dalam Islam istilah shalat mengala-
mi tambahan makna. Shalat oleh syariat dijadikan se-
bagai sebuah istilah tertentu, yaitu terkait dengan iba-
dah yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri
dengan salam dengan niat tertentu. Shalat adalah
ibadah umat Islam yang diwajibkan untuk dijalan­
kan sesuai dengan tata cara yang telah dituntunkan
oleh Rasulullah. Jadi tatkala ada perintah shalat da-
lam al-Quran, maknanya bukan saja sekadar berdoa,
atau ritual keagamaan seperti yang biasa dilakukan
oleh non muslim. Namun maksudnya adalah perintah
shalat secara spesifik.
Contoh lain kata shiyam (puasa). Makna secara
bahasa, shiyam adalah al-imsak (menahan). Kata shi-
yam, secara bahasa bermakna menahan saja, baik
menahan dari lapar dan haus, atau yang lainnya.
Kemudian shiyam oleh syariah diberi makna tamba-
han dan menjadi terminologi sendiri, yaitu menahan
dari lapar dan haus dan segala yang membatalkan dari
terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat
tertentu. Banyak sekali lafal-lafal dalam bahasa Arab
yang pada mulanya mempunyai makna bahasa saja,
namun kemudian oleh syariat diberi makna tambahan
dan menjadi sebuah terminologi syariat, seperti zakat
dan haji.
Jadi, pemahaman bahasa secara kontekstual
saja, belum dijadikan sebagai salah satu sarana ijti-
had. pemahaman bahasa secara kontekstual, belum
282 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
dapat dijadikan sebagai upaya untuk menggali hukum
dari Quran dan Sunnah. Butuh penguasaan atas pem-
bacaan kebahasaan secara menyeluruh baik dari sisi
makna leksikal, makna kontekstual dan juga perubah-
an terminology bahasa. Jadi, ia saling terkait dan ber-
hubungan satu sama lain.
Sarana Mengetahui Ilmu Maqashid; Pembacaan
Wah­yu Secara Komperhensif
Bahasa terkait dengan pembicara, orang yang
diajak bicara dan juga lingkungan yang melatarbe-
lakangi munculnya bahasa. Ketiga komponen tadi
mempunyai hubungan erat. Makna dari sebuah ung-
kapan kalimat, banyak ditentukan oleh tiga faktor tadi.
Oleh karena itu, tatkala kita bermaksud mema-
hami suatu kalimat, perlu kiranya melihat siapa yang
berbicara, siapa yang diajak bicara dan mengapa ia
bicara demikian. Dari sini kita akan tahu, mengapa ka-
limat yang digunakan bentuknya seperti itu. Kita lebih
akurat dan obyektif tatkala memberikan penilaian atas
makna-makna yang dimaksudkan oleh penutur baha-
sa.
Kaitan dengan ini, al-Badawui dalam kitabn-
ya “Maqashid Asyariah Inda Asyathibi” memberikan
uraian keterkaitan yang sangat erat antara maqashid
dengan ungkapan kalimat. Keduanya merupakan dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
menjadi sarana untuk mengetahui sumber dan makna

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 283


yang terkandung dalam suatu kalimat.
Selain itu, pemahaman terhadap sosiokultural
munculnya suatu wicana, dapat menjadi alat bantu
dalam rangka mengetahui makna bahasa secara be-
nar. Makna juga dapat diketahui dari model struktur
atau ungkapan kalimat yang digunakan.
Dalam membaca sebuah teks tidak bisa dipi­lah-
pilah dan dipotong-potong. Sering ada keterkaitan an-
tara ungkapan kalimat sebelum dan setelahnya. Maka
untuk memahami makna atas ungkapan kalimat tadi,
juga harus menelisik dan menganalisa ungkapan kali-
mat yang digunakan sebelum atau sesudah kalimat di-
maksud. Tentu tujuannya adalah menghindari pema-
haman sepotong-sepotong dan tidak utuh.
Pemahaman yang sifatnya parsial, seringkali
salah dan bahkan ada sebagian orang yang memotong
pendapat lawan, karena unsur kesengajaan. Biasanya
karena ia sedari awal sudah tidak suka dengan seseo-
rang tersebut. Potongan perkataan yang tidak melihat
konteks dan mengabaikan ungkapan kalimat setelah
dan sesudahnya, dia maksudkan untuk provokasi. Jadi,
pemahaman parsial itu menjadi salah dan tidak sesuai
dengan maksud sesungguhnya yang diinginkan oleh
pembicara. Kondisi seperti ini seringkali terjadi saat
ini, apalagi setelah perkembangan sosmed yang luar
biasa.
Dalam memahami kitab suci dan sunnah nabi

284 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


pun sama, yaitu dengan pemahaman komperhensif
dan tidak parsial. Tidak dengan memotong satu kata,
untuk kemudian mengambil kesimpulan hukum. Hal
ini, rawan terjadi kesalahpahaman terhadap maksud
sesungguhnya yang diinginkan oleh wahyu Allah terse-
but.
Pemahaman komperensif dan tidak parsial, da-
lam ilmu maqashid syariat menempati posisi yang
sangat penting. Dengan pemahaman komperhensif
dan tidak parsial, kita mampu menyingkap makna se-
benarnya dari sebuah ungkapan kalimat.
Sering terjadi suatu ungkapan kalimat menggu-
nakan bentuk metaphor, hiperbola atau lainnya. Ung-
kapan kadang sekadar sindiran, cercaan atau lainnya.
Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu ungkapan
adalah makna sesungguhnya, atau ternyata ia me­
rupakan ungkapan kiyasan saja? tentu dari pemaha-
man yang utuh atas struktur kalimat. Dari sana akan
terlihat indicator yang akan menjadi petunjuk atas
makna kalimat. Indikator ini banyak variannya dan
harus diketahui secara mendalam dengan melihat
berbagai konteks yang umum berlaku. Indikator juga
bisa dilihat dari tradisi yang berkembang di suatu ma­
syarakat sehingga muncul suatu ungkapan kata terse-
but.
Jadi, pemahaman atas ilmu maqashid syariah,
perlu juga untuk melihat secara jeli terkait bahasa
Arab, konteks dari bahasa Arab, uslub yang digunakan,
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 285
lingkungan kebahasaan, pembicara, dan audien. Ber­
bagai faktor tadi, menjadi satu kesatuan untuk dapat
memahami nas secara utuh. Dari sana, kaedah dasar
dari ilmu maqashid itu dirumuskan.
Untuk ayat al-Quran ini, tidak hanya melihat pada
struktur ayat al-Quran dari sesudah dan sebelum ayat.
Al-Quran harus dilihat sebagai kumpulan firman Allah
yang menyatu dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Se­
ringkali ada keterkaitan antara ayat satu dengan lain-
nya dan terdapat dalam berbagai surat yang berbeda.
Bisa saja dalam satu ayat masih bersifat umum, namun
di ayat lain sudah ada yang mengkhususkannya. Bisa
saja di satu ayat ungkapan yang digunakan masih mut-
lak, namun di ayat lainnya sudah muqayyad. Bisa jadi
di suatu ayat masih bersifat global (mujmal), namun
di ayat yang lain sudah diterangkan secara mendetail
(mufashal).
Contoh mutlak dan muqayyad:
Jika muthlaq dan muqayyad memiliki satu kesi-
mpulan hukum, dan juga sebab diturunkannya lafazh
tersebut juga sama, maka dalam kondisi seperti ini,
muthlaq dibawa kepada yang muqayyad.
‫الِن ِزي ِر َوَما أ ُِه َّل بِِه لِغَ ِْي‬ َ ‫إَِّنَا َحَّرَم َعلَْي ُك ُم الْ َميـْتَةَ َوالد‬
ْ ‫َّم َو َلْ َم‬
ِ
‫الل‬
ّ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengha-
ramkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan bi-
natang yang ketika disembelih disebut nama selain
286 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Allah”. (QS Al-Baqarah:173).
ِ َ‫ل ُمَّرما علَى ط‬
َّ‫اع ٍم يَطْ َع ُمهُ إِال‬ ِ ِ
َ ً َ ََّ ِ‫قُل الَّ أَج ُد ِف َما أ ُْوح َي إ‬
ِ ِ ٍِ ِ
‫س أ َْو‬ٌ ‫وحا أ َْو َلْ َم خنزير فَإنَّهُ ٍر ْج‬ً ‫أَن يَ ُكو َن َميـْتَةً أ َْو َد ًما َّم ْس ُف‬
ِ ‫فِس ًقا أ ُِه َّل لِغَ ِي‬
‫ك‬ ْ ‫الل بِِه فَ َم ِن‬
َ َّ‫اضطَُّر َغيـَْر َب ٍغ َوالَ َعاد فَِإ َّن َرب‬ ّ ْ ْ
ِ
‫ور َّرح ٌيم‬
ٌ ‫َغ ُف‬
Dalam ayat lain dikatakan: “Katakanlah, “Tiada-
lah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepa-
daku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hen-
dak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi”. (QS Al-
An’âm: 145).
Lafazh ‫( َد ًما‬darah) dalam ayat pertama berben-
tuk muthlaq sementara dalam ayat kedua berbentuk
muqayyad dengan ikatan‫وحا‬ ً ‫( َد ًما َّم ْس ُف‬darah yang me­
ngalir). Sementara kesimpulan hukum dari kedua ayat
tersebut adalah sama yaitu bahwa makan darah hu­
kumnya haram. Faktor yang melatarbelakangi pengha-
raman darah juga sama, yaitu madharat yang mung­
kin ditimbulkan darinya. Maka dalam kondisi seperti
ini muthlaq dibawa kepada yang muqayyad. Dengan
kata lain bahwa darah yang diharamkan adalah yang
mengalir saja. Sementara yang tidak mengalir seperti
jantung dan hati tidak diharamkan
Perhatikan, ayat yang berbentuk mutlak ada di
surat al-Baqarah, sementara ayat yang memberikan
qayyad (ikatan) berada di surat al-An’am. Jadi, dua ayat

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 287


tadi tidak berada di satu surat, tidak terangkai secara
beruntun baik sebelum atau sesudah ayat dimaksud.
Namun ia tetap menjadi qayyad dari ayat pertama.
Jika kita hanya memahami ayat secara parsial dengan
tidak memandang pada ayat-ayat lain, tentu kita tidak
dapat memahami makna dimaksud secara tepat. Qu-
ran adalah satu kesatuan yang saling melengkapi dan
memahaminya harus komperensif.
Tidak hanya melihat al-Quran secara indepen-
den, bahkan sangat penting untuk melihat hadis nabi
Muhammad saw. Hadits meski bukan firman Allah se-
cara langsung, namun pada hakekatnya ia adalah wah­
yu Allah melalui lisan Nabi Muhammad saw. Firman
Allah:
ِ ِ ِ
َ ُ‫) {إ ْن ُه َو إلَّ َو ْح ٌي ي‬3( }‫}وَما يَنط ُق َع ِن ا ْلََوى‬
{‫وحى‬ َ
Artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Uca-
pannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyu-
kan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53] : 3–4)
Banyak sekali, ayat yang masih global namun di­
terangkan secara mendetail oleh hadis Nabi Muham-
mad saw. Contoh firman Allah berikut ini:
ِ‫ٱلركِع‬ ۟ َّ ۟ ۟ ِ
‫ني‬
َ ٰ
َّ ‫ع‬‫م‬ ‫ا‬
‫و‬ ‫ع‬ ‫ك‬
‫ٱر‬
َ
ََ ُ ْ َ ‫و‬ ‫ة‬
َ‫و‬ٰ ‫ك‬
‫ٱلز‬
َ ‫ا‬
‫و‬ ‫ت‬
ُ ‫ا‬ ‫ء‬
ََ‫و‬ ‫ة‬
َ‫و‬ٰ ‫ل‬
َ ‫ٱلص‬
َّ ‫ا‬
‫و‬ ‫يم‬
ُ ‫َوأَق‬
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.
Ayat di atas memerintahkan umat Islam un-
tuk menunaikan shalat dan membayar zakat. Namun
288 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
bagaimana tata cara shalat? Ternyata tidak kita jumpai
dalam al-Quran. Keterangan rinci terkait shalat, han-
ya ada di hadits Nabi Muhammad SAW. Demikian juga
dengan zakat, detail-detail zakat yang wajib dikeluar-
kan, termasuk batasan nishab tidak diterangkan oleh
al-Quran. Keterangan rincinya ada dalam hadits Ra-
sulullah SAW. Demikian juga dengan puasa dan haji.
Keterangan rincinya tidak ada dalam Al-Quran, namun
akan kita jumpai dalam berbagai hadits Rasulullah
SAW.
Demikianlah peran pembacaan komperhensif
dan tidak parsial ini untuk memahami makna secara
benar. Dari pemahaman makna itu, lantas dijadikan
sebagai sarana perumusan ilmu maqashid. Sulit untuk
dapat memahami ilmu maqashid jika model pemba-
caanya parsial dan tidak komperhensif, karena dari
sana teori maqashid dirumuskan.
Sarana Mengetahui Ilmu Maqashid; Pemahaman
Atas Suatu Wacana
Sebagaimana pernah saya singgung sebelumnya
bahwa salah satu sarana untuk mengetahui mengenai
maqashid syariah adalah dengan melihat factor ke-
bahasaan secara keseluruhan. Kaitan dengan hal ini,
Imam Ghazali dalam kitab al-Mustasfa berkata, “Salah
satu cara memahami maksud dari teks adalah dengan
melihat pada struktur bahasa. Jika secara bahasa su-
dah dapat dipahami, berarti makna zhahir tersebut

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 289


yang dimaksudkan oleh teks. Jika teks masih ada ke-
mungkinan mempunyai makna lain, maka perlu dilihat
dari indikator yang terdapat dalam teks. Indikator tadi
bisa berupa indikator sharih dari teks, atau bisa jadi
sekadar petunjuk dengan makna implisit saja. Atau in-
dikator bisa juga berbentuk ungkapan-ungkapan yang
ada sebelum atau setelah ungkapan teks. Sederha­
nanya, semua ungkapan dalam nas yang belum dapat
dipahami secara sempurna, dapat dibantu dengan
melihat indikator yang ada”.
Struktur kalimat (iyaq kalam) dalam sebuah teks
punya peranan cukup penting untuk menyingkap mak-
na teks. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua sisi:
Pertama, dalam upaya memahami kandungan
kitab suci dan sunnah Nabi untuk menggali ketetapan
hukum dari keduanya.
Kedua, dalam upaya beristidlal dari nas baik
al-Quran maupun As-Sunnah, baik beristidlal dari nas
yang menggunakan bentuk insya’ (perintah dan lara­
ngan) atau yang berbentuk khabari (ungkapan prosa
atau berita).
Siyaq kalam dan wicana yang terkandung dalam
nas biasanya mempunyai beberapa model:
Pertama: Lughatul khithab (bahasa wicana).
Semakin mudah bahasa yang digunakan sebuah
wacana, semakin mudah kita memahami maksud yang
terkandung dalam teks. Ada dua cara untuk mengeta-
290 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
hui wacana model ini:
A. Pilihan kalimat dan kata-kata yang digunakan se-
buah wicana. Kaitan dengan ini, dalam bahasa Arab
dikenal dengan itilah fasih, yaitu bicara dengan sing-
kat, padat.
B. Tabiat bahasa. Kita harus jeli dalam melihat kata
kata yang digunakan. Terkadang sebuah kata mempu-
nyai satu makna, namun kadang suatu kata mempu-
nyai makna ganda.
Contoh lafal ‫عني‬
Artinya: mata, mata air, mata-mata, dan barang.
Jika dalam nash syarit terdapat lafazh musytarak,
maka ketetapan makna harus dilihat terlebih dahulu.
Jika makna ganda tersebut satu berasal dari makna
bahasa dan yang lain berasal dari makna syariat, maka
yang harus didahulukan adalah makna syariat. Contoh
lafazh shalat, zakat dan lain-lain.
Jika lafazh tersebut memiliki makna ganda, maka
yang harus dipakai adalah satu makna saja sesuai den-
gan indikator (qarînah) yang menunjukkan arah mak-
na yang dimaksud. Contoh ( ‫ )قـُروء‬yang berarti waktu
ُ
suci dan waktu haidh.
Umûmu’l musytarak adalah lafazh yang memi-
liki makna ganda, dan memungkinkan untuk dipakai
ha­nya satu makna saja. Dalam hal ini terdapat perbe-
daan pendapat di kalangan para ulama:
a. Makna yang terdapat dalam lafazh musytarak tidak
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 291
dapat dipakai secara utuh. Maka tidak diperkenankan
menggunakan seluruh makna ganda untuk memaha-
mi ungkapan kalimat, namun harus dipilih mana mak-
na yang sesuai dengan ungkapan kalimat tersebut. Di
sini yang dibutuhkan adalah sistem tarjih. Tarjih bisa
dilakukan dengan melihat siyaq kalam dari indikator
kalimat.
b. Boleh, jika memungkinkan untuk digunakan semua
makna. Lafazh musytarak, meskipun pada dasarnya
yang dimaksudkan adalah satu makna saja, namun di-
bolehkan lafazh tersebut memiliki semua makna da-
lam satu waktu.
Contoh:
‫ض‬ِ ‫ات َوَمن ِف ْال َْر‬ ِ ‫السماو‬ ِ َّ ‫أََلْ تـََر أ‬
َ َ َّ ‫اللَ يَ ْس ُج ُد لَهُ َمن ف‬ َّ ‫َن‬
‫اب َوَكثِريٌ ِّم َن‬
ُّ ‫َّو‬
َ ‫َّج ُر َوالد‬ ُ َ‫الِب‬
َ ‫ال َوالش‬ ْ ‫وم َو‬
ُ ‫ُّج‬
ُ ‫س َوالْ َق َمُر َوالن‬
ُ ‫َّم‬ْ ‫َوالش‬
ِ ‫الن‬
‫َّاس‬
Artinya: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa
kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang melata dan sebagian besar daripa-
da manusia”. (QS. Al-Hajj: 18).
Makna sujud (‫ج ُد‬ ُ ‫ )يَ ْس‬adalah meletakkan kepala
di atas tanah. Hal ini hanya mungkin dikerjakan manu-
sia saja. Namun lafazh tersebut bisa berarti taat dan
mengikuti kehendak Yang Maha Kuasa. Dan ini dilaku-
kan oleh makhluk selain manusia.

292 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


c. Boleh dengan catatan bahwa makna yang dimaksud
lafazh adalah seluruh maknanya jika lafazh tersebut
berada dalam ungkapan kalimat negatif, bukan positif
Untuk memahami makna sebuah wacana suatu
nas (wahyu) dibutuhkan pengetahuan terkait bahasa
Arab yang biasa dipakai oleh orang Arab pada wak-
tu turunnya nas. Ini penting karena seringkali baha-
sa mengalami pergeseran makna, perluasan atau
penyempitan makna. Jadi, makna yang kita cari bukan
makna kata yang biasa dipakai orang Arab saat ini, na-
mun lebih pada makna kata yang biasa dipakai Orang
Arab pada waktu nas diturunkan.
Pemahaman makna bahasa Arab seperti ini
akan sanagat membantu dalam memahami kalimat
yang masih berbentuk umum atau khusus, taqdim
dan ta’khir, idhmar dan hadzf, dan lain sebagainya.
Juga berfungsi untuk mempermudah ketika kita harus
melakukan proses tarjih makna dari sebuah kata yang
mempunyai makna ganda.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 293


294 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Sarana Mengetahui Ilmu Maqashid;
Pembicara

Pembicara merupakan unsur kedua untuk me-


mahami sebuah wicana. Pembicara sangat penting,
karena ia yang menjadi unsur utama munculnya suatu
wacana. Tanpa pembicara, wacana tidak akan pernah
ada. Oleh karenanya, perlu kiranya memberikan per-
hatian pada pembicara ini. Setidaknya ada beberapa
urgensi mengapa kita harus memperhatikan pembic-
ara untuk menangkap makna, di antaranya sebagai
berikut:
A) Kemampuan pembicara dalam mengungkapkan
sebuah wacana.
Tiap orang ingin berkomunikasi dengan ungkap­
an kata-kata untuk mengekspresikan apa yang ada
dalam benaknya. Hanya saja, dalam mengeluarkan
ungkapan kalimat, antara satu orang dengan lainnya
mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang
bisa menyampaikan dengan baik, namun ada juga
yang sukanya berbelit-belit. Makin baik ungkapannya,
makin bagus. Ungkapan yang baik adalah ungkapan
yang padat dan jelas serta mudah dimengerti. Dalam
bahasa Arab, ungkapan seperti ini sering disebut de­
ngan fashih atau baligh.
Semakin fasih seseorang, semakin mudah mak-
Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 295
na ditangkap. Al-Quran adalah kalam terfasih. Ia oleh
al-Quran disebut dengan istilah “Arabiyyin Mubin”,
atau menggunakan bahasa Arab yang jelas.
‫قـُْرءَ ًان َعَربِيًّا َغيـَْر ِذى ِع َو ٍج لَّ َعلَّ ُه ْم يـَتـَُّقو َن‬
(Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak
ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka ber-
takwa. (QS. Az-Zumar: 28)
ِ ِ
َ ‫َنزلْٰنَهُ ُح ْك ًما َعَربِيًّا ۚ َولَئ ِن ٱتـَّبـَْع‬
‫ت أ َْه َوآءَ ُهم بـَْع َد َما‬ َ‫كأ‬ َ ‫َوَك َٰذل‬
‫ل َوَل َو ٍاق‬ ٍِ ِ َِّ ‫ك ِم َن‬ َ َ‫َجآءَ َك ِم َن ٱلْعِْل ِم َما ل‬
ّ ‫ٱلل من َو‬
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Qu-
ran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa
Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu
mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu
terhadap (siksa) Allah. (QS. Ar-Ra’d: 37)
Keindahan bahasa Arab ini menjadi rahasia
al-Quran dan dianggap sebagai salah satu mukjizat
al-Quran. Allah sendiri menantang bangsa Arab untuk
dapat mengungguli bahasa al-Quran, namun mereka
lemah. Firman Allah:
‫الِ ُّن َعلَ ٰى أَ ْن َيْتُوا بِِثْ ِل َٰه َذا‬
ْ ‫س َو‬
ُ
ِْ ‫ت‬
ْ‫الن‬ ِ ‫قُل لَئِ ِن اجتَمع‬
ََ ْ ْ
‫ض ظَ ِه ًريا‬ ِ
ٍ ‫ض ُه ْم لبـَْع‬ ِ ِ ِِ ْ ِ
ُ َْ َ َ ْ َ َ ْ َ ُ َ َ ْ ‫الْ ُق‬
‫ع‬ ‫ـ‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ا‬‫ك‬ ‫و‬ ‫ل‬‫و‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ث‬‫ب‬ ‫ن‬‫و‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫آن‬ ‫ر‬
Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’ân ini,
niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang se-
rupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
296 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
pembantu bagi sebagian yang lain. [ al-Isrâ’/17:88]
‫ت‬ٍ ‫أَم يـ ُقولُو َن افـتـراه ۖ قُل فَأْتُوا بِع ْش ِر سوٍر ِمثْلِ ِه م ْفتـري‬
َ ََ ُ َُ َ ْ ُ ََ ْ َ ْ
َّْ‫﴾فَِإل‬١٣﴿‫ني‬ ِ‫الل إِ ْن ُكنـتم ص ِادق‬َِّ ‫ون‬ ِ ِ
َ َ ْ ُْ ‫استَطَ ْعتُ ْم م ْن ُد‬ْ ‫َو ْادعُوا َم ِن‬
َِّ ‫يست ِجيبوا لَ ُكم فَاعلَموا أََّنَا أُنْ ِزَل بِعِْل ِم‬
ۖ ‫الل َوأَ ْن َل إِٰلَهَ إَِّل ُه َو‬ ُ ْ ْ ُ َْ َ
‫فـََه ْل أَنـْتُ ْم ُم ْسلِ ُمو َن‬
Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah
membuat-buat al-Qur’ân itu!” Katakanlah, “(Kalau de-
mikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat
yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang
kamu sanggup (memanggilnya) selain Allâh, jika kamu
memang orang-orang yang benar”. Jika mereka (yang
kamu seru itu) tidak menerima seruanmu (ajakanmu)
itu, maka ketahuilah, sesungguhnya al-Qur’ân itu di-
turunkan dengan ilmu Allâh, dan bahwasanya tidak
ada Tuhan yang haq selain Dia, maka maukah kamu
berserah diri (kepada Allah)? [Hûd/11: 13-14]
‫ب ِمَّا نـََّزلْنَا َعلَ ٰى َعْب ِد َن فَأْتُوا بِ ُس َورٍة‬
ٍ ْ‫وإِ ْن ُكنـْتُم ِف ري‬
َ ْ َ
ِ
‫صادقني‬ِ ِ َِّ ‫ِم ْن مثْله َو ْادعُوا ُش َه َداءَ ُك ْم م ْن ُدون‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫الل إ ْن ُكنـْتُ ْم‬
‫َّاس‬ ُ ُ‫َّار الَِّت َوق‬ ِ
ُ ‫ود َها الن‬ َ ‫﴾فَإ ْن َلْ تـَْف َعلُوا َولَ ْن تـَْف َعلُوا فَاتـَُّقوا الن‬٢٣﴿
ِ ِ ‫الِجارةُ ۖ أ ُِعد‬
َ ‫َّت ل ْل َكاف ِر‬
‫ين‬ ْ َ َ ْ ‫َو‬
Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-
Qur’ân yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal
al-Qur’ân itu dan ajaklah penolong-penolongmu se-
lain Allâh, jika kamu orang-orang yang benar. Maka

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 297


jika kamu tidak dapat membuat(nya), dan pasti kamu
tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu
dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,
(neraka itu) telah disediakan bagi orang-orang kafir.
[al-Baqarah/2: 23-24]
Demikian juga dengan Nabi muhammad saw.
Beliau ketika bicara sangat fasih. Bahkan bahasa yang
biasa beliau sampaikan sering dianggap sebagai baha-
sa terfasih yang digunakan orang Arab. Rasulullah saw
bersabda:
‫العَرب َمْيد أين من قريش‬
َ ‫أفصح‬
َ ‫اان‬
Saya adalah orang Arab yang paling fasih karena
saya dari suku Qurais. (HR. Thabrani)
Fasih maksudnya, kemampuan seseorang memi-
lih kata dan ungkapan kalimat sehingga bahasa yang
digunakan baik dan benar. Fasih bearti bahasanya jelas
dan terang serta maknanya mudah dipahami. Makin
ringkas dan jelas sebuah ungkapan kalimat semakin
dianggap fasih. Semakin panjang dan bertele tele, se-
makin tidak fasih. Fasih terkadang juga mengandung
nilai sastra, tentu sesuai dengan kaedah kebahasaan.
Al-Quran adalah nas terfasih karena mempunyai ting-
katan bahasa yang baik dan benar. Tidak ada satu kata
pun dalam al-Quran yang menyalahi kaedah bahasa
Arab, asing atau bertele-tele. Bahasa al-Quran sangat
jelas dan tegas.
ِ ُّ ‫ني * نـََزَل بِِه‬ ِ
‫ني * َعلَى‬
ُ ‫وح ْالَم‬
ُ ‫الر‬ ِّ ‫يل َر‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬ ِ ِ
ُ ‫َوإنَّهُ لَتَنز‬
298 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
ٍ ِِ ‫نذ ِر‬
ٍ ِ‫ان َعرٍِب ُّمب‬
‫ني‬ ِ ِ ِ ِ‫قـ ْلب‬
ّ َ ‫ين * بل َس‬
َ ‫ك لتَ ُكو َن م َن الْ ُم‬
َ َ
(Al-Qur`an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh Al
Amin (Jibril ‘Alaihis Salam).َ Kedalam hatimu (Muham-
mad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) agar kamu menjadi
salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringat­an, ٍdengan bahasa Arab yang jelas.” [QS. Asy-
Syu’ara ayat 193-195].
Fasih berarti dia dapat menggunakan kata tepat.
Kata yang tidak tepat akan bermasalah. Maksud yang
baik, jika disampaikan dengan bahasa yang tidak se-
suai dapat disalah artikan oleh pembaca. Oleh kare-
nanya, penting memberikan perhatian terhadap ung-
kapan bahasa yang akan disampaikan. Semakin jelas
ungkapan kalimat yang dipakai, semakin dianggap
baik dan dianggap fasih. Maksud dari ungkapan kali-
mat tersebut juga semakin jelas dan mudah dipahami.
Kata yang tepat menjadi pintu awal memahami
maksud dari kata-kata tersebut. Karena makna selalu
melekat dengan kata. Ungkapan al-Quran dan sunnah
nabi, menggunakan kata-kata yang paling fasih. Jadi,
dengan memahami kata-kata yang digunakan dalam
ungkapan kalimat, akan menjadi pijakan awal kita un-
tuk mengetahui maqashid syariah.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 299


300 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Dilalah Maqashid Asliyyah
dan Tab’iyyah

Imam Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat ba­


nyak menyinggung mengenai maqashid asliyah dan
tab’iyyah. Maqashid asliyah adalah ringkasan dari
tujuan dasar yang dikehendaki oleh syariah. Imam
Syathibi membagi maqashid syariah asliyyah menjadi
lima, yaitu:
1. Melindungi agama
2. Melindungi jiwa
3. Melindungi harta
4. Melindungi keturunan
5. Melindungi akal
Lima poin di atas dikenal dengan istilah adh-dha­
ruriyyah al-khamsah.
Maqashid tab’iyyah adalah tujuan dasar dari hu-
kum syariah yang merupakan turunan dari maqashid
syariah asliyah yang lima tadi. Karena ia sifatnya tab’iy,
maka keberadaannya sangat bergantung kepada ma-
qashid asli. Artinya bahwa maqasdih tab’I akan nada,
jika ada maqashid asli. Sebaliknya jika maqashid asli
tidak ada, maka maqashid tab’iy juga tidak akan ada.
Antara maqashid asliy dan tab’iy saling melengkapi
dan menguatkan. Maqashid asli sebagai pokok dan
maqashid tab’iy sebagai cabangnya.
Contoh: nikah merupakan maqashid asliy yang

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 301


tujuan utamanya untuk menjaga keturunan (hifzhun-
nasl). Ia dianggap sebagai pokok dari maqashid syari-
ah. Dengan akad nikah, akan muncul hukum turunan
seperti kewajiban memberi nafkah berupa sandang
dan pangan, mencari tempat tinggal yang layak, mem-
berikan didikan kepada anak-anak dan lain sebagai­
nya. Juga kewajiban saling kerjasama antar suami istri
untuk menjaga tatanan kehidupan berumah tangga
agar selalu berkah dan dalam naungan Allah. Hukum
turunan tadi tidak akan terwujud jika tidak ada hukum
pokok berupa pernikahan.
Contoh lain, seorang muslim yang masih diberi
kehidupan di dunia ini, mempunyai tanggung jawab
untuk menjalankan hukum syariat (hukum taklifi),
seperti shalat, puasa, zakat dan lain sebagainya. Ia
dituntut untuk menjalankan semua perintah Allah
dan menjauhi segala larangannya. Hukum taklifi yang
dibebankan kepadanya, merupakan turunan dari ke-
hidupan dia di dunia. Jika ia telah meninggal dunia,
maka seluruh hukum taklifi akan gugur. Jadi, hukum
taklifi tadi sangat bergantung atas kehidupan insan
muslim.
Kehidupan manusia, harus selalu dilindungi. Ruh
yang ada pada diri manusia, bukan menjadi milik ma-
nusia, namun sepenuhnya menjadi hak Tuhan. Oleh
karenanya, siapapun diharamkan untuk melakukan
pembunuhan kepada orang lain tanpa jalur hukum
yang telah ditentukan oleh syariat. Seseorang juga
302 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
dilarang untuk melakukan bunuh diri. Mengenai peng-
hidupan ini terkait erat dengan hifzhunnafs.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 303


304 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
Antara Hasanat dan Sayyiat

Kita selalu berdoa kepada Allah agar mendapat-


kan hasanah baik di dunia maupun di akhirat.
ِ ِ ُّ ‫َربـَّنَا أَتِنَا ِف‬
َ ‫الدنـْيَا َح َسنَةً َوِف اْألَخَرِة َح َسنَةً َوقنَا َع َذ‬
‫اب‬
‫النَّا ِر‬
Artinya: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan
hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat, dan ja-
galah kami dari siksa api neraka.
Hasanah di dunia, maksudnya adalah mendapat-
kan kebaikan bagi dirinya ketika masih hidup di dunia.
Hasanah di akhirat adalah mendapatkan rahmat Allah
kelak ketika ia telah meninggalkan dunia ini.
Hasanah dan sayyiah atau baik dan buruk, tentu
ditimbang dari kacamata syariat melalui akal pikiran
manusia. Jadi penentu hasanah seperti yang yang
dipahami oleh Asy’ariyah adalah syariat. Apa yang
dikatakan baik oleh syariat, maka ia baik bagi manu-
sia. Sebaliknya apa yang dikatakan buruk oleh syariat,
maka ia buruk bagi manusia.
Bagaimana cara mengetahui bahwa sesuatu per-
buatan dikatakan baik secara syariat? Menurut Ibnu
Taimiyah seperti yang beliau tuliskan dalam kitab
Majmu Fatawa, bahwa al-hasanat (kebaikan) dapat
diketahui dengan dua illat:
1. Membawa maslahat. Suatu perbuatan yang kiran-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 305


ya dapat memberikan maslahat bagi hamba maka per-
buatan tersebut dianggap baik. Segala perbuatan yang
membawa maslahat bagi hamba, maka ia dianjurkan
untuk dikerjakan. Contoh: seorang mahasiswa yang
sedang dalam tahap belajar untuk menuntut ilmu.
Proses belajar mengajar adalah perbuatan baik dan
mengandung maslahat baginya. Ia dianggap hasanah.
Ia dapat memberikan manfaat dan bekal ilmu sehing-
ga dapat menjadi sarana bagi dirinya untuk mengha-
dapi kehidupan di dunia dan akhirat.
Contoh lain, mentaati rambu-rambu lalu lintas
adalah perbuatan yang baik (hasanan). Dengan ini, ket-
ertiban di jalanan akan lebih tertata. Jika rambu-rambu
lalu lintas dilanggar, dapat menimbulkan mudarat bagi
hama dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu
lintas. Karena ia mengandung maslahat bagi hamba,
maka ia merupakan perbuatan baik
(hasanah) dan harus ditaati. Ia menjadi perbuat­
an yang dianjurkan oleh syariat.
2. Menutupi mudarat. Suatu perbuatan yang dapat
menutupi dan menjadi penghalang seseorang melaku-
kan perbuatan yang mengandung mudarat, maka
perbuatan tsb dianjurkan untuk dikerjakan. Contoh:
menghidupkan berbagai aktivitas positif bagi rema-
ja agar mereka tidak melakukan perbuatan maksiat,
seperti kepanduan, pengajian, perkumpulan jurnal-
istik, belajar tapak suci, dan lain sebagainya. Dengan
berbagai aktivitas tersebut, remaja tidak mempunyai
306 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih
waktu luang yang dapat menjerumuskan dirinya untuk
melakukan hal-hal negative. Tentu saja segala aktivi-
tas tadi berdampak posisif untuk membangun mental
bagi mereka serta mengalihkan pikiran negative yang
akan berdampak buruk baik bagi dirinya maupun ma­
syarakat. Aktivitas tadi merupakan sarana baik untuk
menutup mudarat. Oleh karena itu, ia dianjurkan oleh
syariah untuk dikerjakan.
Sebagaimana hasanat (kebaikan) dapat diketahui
dengan dua illat, demikian juga sayyiat (keburukan)
dapat diketahui dengan dua illat:
1. Kandungan mafsadah yang ada di dalamnya. Con-
toh: merokok dapat merusak kesehatan. Bagaimana
dapat diketahui bahwa rokok merusak kesehatan?
Tentu dari para dokter ahli. Karena ia mengandung
mudarat, bearti ia merupakan perbuatan buruk
(sayyiat). Artinya, ia dilarang untuk dikerjakan oleh
syariat.
2. Suatu perbuatan yang dapat menjadi penghalang
atas suatu maslahat. Contoh: merokok merupakan
pemborosan harta. Menghisap rokok tidak meber-
ikan efek positif bagi tubuhnya. Justru sebaliknya
membawa mudarat. Selain itu, merokok merupa-
kan bagian dari sikap tabdzir dengan mengham-
bur-hamburkan uang untuk perbuatan yang tidak
baik (sayyiat). Uang yang digunaka untuk mem-
beli rokok, bisa dialihkan untuk melakukan per-
buatan baik (hasanat) seperti dibelanjakan untuk

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 307


menafkahi dirinya, keluarga dan anak-anak. Atau
untuk membayar uang sekolah, berdakwah, ber-
wirausaha dan lain sebagainya.
Karena rokok dapat menghalangi dan menjadi sa-
rana seseorang untuk melakukan perbuatan baik,
maka ia adalah perbuatan buruk. Ia menjadi per-
buatan yang dilarang oleh syariat untuk dikerjakan.
Sebelumnya telah kami sampaikan mengenai
hasanat dan sayyiat. Hasanat adalah segala sesuatu
yang menurut syariat baik, sementara sayyiat ada-
lah segala sesuatu yang menurut syariat tidak baik.
Hasanat dan sayyiat dapat diketahui dari nas melalui
metodologi ijtihad yang telah diletakkan oleh ulama
ushul. Berikut kami lanjutkan contoh praktis terkait
hasanat dan sayyiat.
Allah berfirman:
‫الص َلةَ تـَنـَْهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمْن َك ِر‬
َّ ‫إِ َّن‬
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS.
Al-‘Ankabut: 45).
Ayat tadi punya dua sisi sekaligus:
1) Keterangan bahwa shalat dapat mencegah berbagai
tindakan negatif yang mengandung mudarat. Jika ses-
eorang terbiasa mengingat Allah dengan sering mendi-
rikan shalat secara baik dan khusyu, hatinya akan lem-
but. Ia semakin dengan dengan penguasa. Berbagai
aktivitas yang ia jalankan, selalu terkait dengan Allah.

308 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Ia menjadi manusia muslim yang merasa bahwa Allah
selalu mengawasi setiap insi perbuatannya. Ia akan
lebih hati-hati. Ia akan menjaga sikap dan perbuatan.
Di sini, shalat yang baik menjadi sarana efektif
seseorang untuk tidak melakukan berbagai perbua-
tan mudarat yang dapat membahayakan dirinya, baik
di dunia maupun di akhirat. Jika ada seseorang yang
shalat, namun di sisi lain masih rajin melakukan tindak­
an maksiat, korupsi, manipulasi dan lain sebagainya,
maka kualitas shalatnya perlu dipertanyakan. Shalat
belum merasuk ke dalam hatinya. Ia baru sebatas ge­
rakan tubuh tanpa ada penghayatan. Ia sekadar upaya
melepas dari kewajiban hukum taklifi dan pada akhirn-
ya tidak menjadi sarana untuk mencegak kemunkaran.
2). Keterangan mengenai shalat sebagai dzikir akbar
ini menunjukkan shalat yang mempunyai manfaat be-
sar baik untuk dirinya ketika masih berada di dunia
maupun kelak tatkala ia menghadap Yang Maha Kuasa.
Karena manfaat besar inilah, maka ia harus dikerjakan.
Suatu perbuatan yang diperintahkan oleh hukum
syariat, bisa dibagi menjadi dua:
1. Ketetapan hukum menjadi tujuan utama dari hu-
kum syariat
2. Sarana yang mengantarkan seseorang untuk dapat
menjalankan ketetapan hukum tersebut.
Hukum kedua, yaitu berupa sarana untuk men-
jalankan sesuatu dengan hukum asal, mempunyai ke­

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 309


terkaitan sangat erat. Jika maqashid mempunyai hu-
kum wajib, maka sarana sebagai maqashid tab’iy juga
mempunyai hukum wajib. Sebaliknya, jika maqashid
asliyahnya haram, maka maqashid tab’iyyahnya juga
haram. Ini sesuai dengan kaedah berikut ini:
‫ما ال يتم الواجب اال به فهو واجب‬
Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana
ke­cuali dengan mengadakan suatu sarana tertentu,
maka mewujudkan sarana tadi menjadi wajib.
Baik yang pertama maupun yang kedua mempu-
nyai ketetapan hukum yang sama. Jika yang pertama
hukumnya wajib, maka sarana menjadi wajib. Sebalik­
nya jika tujuannya haram, maka sarana menuju ke
sana menjadi haram. Oleh karena itu, sarana harus
ditutup akan seseorang tidak dapat sampai kepada tu-
juan dimaksud.
Contoh: menjaga jiwa hukumnya wajib. Salah
satu sarana untuk menjaga jiwa adalah dengan meng-
konsumsi makanan yang baik-baik (halal). Dari sini
maka mengkonsumsi makanan yang baik-baik (halal)
hukumnya wajib.
Bagaimana jika tidak ada makanan yang halal se-
mentara jiwa terancam? Jika kondisi darurat karena ti-
dak ada makanan yang halal sama sekali, semisal sese­
orang sedang dalam perjalanan jauh di padang pasir
lantas kehabisan bekal, sementara di hadapannya
hanya ada babi, maka ia boleh memakan daging babi.

310 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


Kebolehan memakan yang haram ini karena darurat
untuk menyelamatkan jiwa. Hal ini terkait dengan
kaedah:
‫الضرورات تبيح احملظورات‬
Darurat membolehkan untuk melakukan per-
buatan terlarang.
Hanya saja, konsumsi daging babi tadi tidak boleh
berlebih. Ia hanya boleh mengkonsumisi secukupnya
sesuai dengan kadar untuk menyambung hidup. Hal
ini sesuai dengan kaedah:
‫الضرورات تقدر بقدرها‬
Darurat itu diukur sesuai dengan kadarnya.
Prinsipnya, jiwa harus dijaga. Banyak jalan yang
dapat menjadi sarana untuk menyelamatkan jiwa. Sa-
rana itu harus didatangkan. Karena menjaga jiwa wa-
jib, maka semua sarana yang dapat menjaga eksistensi
jiwa menjadi wajib untuk didatangkan.
Contoh lain: khamar haram. Di antara sarana
yang dapat mengundang untuk meminum khamar
adalah karena pergaulan dengan teman-teman yang
suka meminum khamar serta pergi menuju tempat
penjualan khamar. Maka berteman dengan pemabuk
dan mengunjungi tempat-tempat penjual miras harus
dihindari. Terkecuali jika tujuanya adalah untuk mem-
berikan pencerahan dengan melakukan pendekatan
kepada mereka, itu hukumnya boleh.

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 311


Daftar Pustaka:
1. Abu Hamid al-Ghazali, Syifaul Ghalil Darul Kutub
al_ilmiyyah, Beirut, Tahqiq Muhammad Abdus-
salam Abdusyafi
2. Abu Hamid Al-Ghazali, Almustasfa Fi Ilmil Ushul,
Darul kutub al-Ilmiyyah, Beirut
3. Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Taimiyah al-Harra-
ni, Dar’u Ta’arudil Aqli Wannaqli, Tahkik Muham-
mad Rashad Salim, Darul Kunuz al-Arabiyyah, Jilid
2
4. Ala Fasi, Kuliyatusyariah, Darul Kalimah li An-Na-
syr wa At-Tauzi, Cairo
5. Muhammad bin Abdullah al-Andalusi Ibnu al-Ara-
biy, Ahlamul Quran, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Jilid
3
6. Abdul Wahab Khilaf, Ilmu Ushul Fikih, Maktabah
Dakwah
7. Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi
al-Khawathir, Mathabi Akhbaril Youm, Jilid 8
8. Al-Hakim at-Tirmidzi, Mukhtashar Ashalah Wa
Maqashiduha lil Hakim at-Tirmidzi, Tahkik Mu-
hamamd Abdussalam Salatin, al-Maktabah al-Mis-
riyyah
9. Al-Amidi, Ghayatul Maram fi Ilmil Kalam, Tahkik
Hasan Mahmud Abdul Lathif, Majelis Al-a’La Li
Syuun Al-Islamiyyah
10. Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm
al-Andalusi, Al-Faslu fi Al-Milal Wal Ahwa Wa

312 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


An-Nihal, Maktabah Al-Khanji, Cairo, jilid 5
11. Al-Imam Al-Allammah Tajuddin Abdul Wahab
bin Ali bin Abdul Kafi As-Subki, Al-Asybah wa An-
Nazhair, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, jilid 2
12. Abu al_mundzir Mahmud bin Muhammad Mustafa
bin Abdul Latif Al-Minyawi, Al-Jumu’ Al-Bahiyyah
Liaqidati assalafiyah Allati Szakaraha Al-Allamah
Ays-Syanqithi Fi Tafsiri Atwail Bayan, Maktabah
Ibnu Abbas, Mesir, jilid 2
13. Abu Hamid al-Ghazali, Syifaul Ghalil Fi al-Qiyas wa
at-Ta’lil, Darul Hadis, Cairo
14. Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Taimiyah al-Harrani,
Iqtidha Ash-Shirat Al-Mustaqim, Tahkik Nashir Ab-
dul Karim Al-Aql, Daru Alamil Kutub, Libanon jilid 1
15. Abu Hamid Al-Ghazali, Syifaul Ghalil, Matba’ah al-
Irsyad, Bagdad, hal. 190-195
16. Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Darul Ar-
qam, Beirut, jilid 1
17. Ahmad Ar-Raisuni, Naszhariyatul Maqashid Inda
Imam Syathibi
18. Abdul Aziz bin Shalih bin Ibrahim At-Taiyan, Juhudu
Asy-Syaih Muhammad Al-Amin Asyinqithi Fi Taqriri
Aqdatissalaf, Al-Maktabah Al-Abikan, Riyatd, Jilid 1
19. Abdul Karîm Zaidân, al Wajîz Fî ushûli’l Fikihi.
Mu’assasah al Risâlah
20. Bin Zaghîbah Izzudin, al maqashid al Ammah li al
Syarî’ah al Islâmiyah. Dâru al shofwah
21. Ibnu Taimiyah, Minhâjssunnah, Tahqiq Muham-

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 313


mad Rayad Salim, Muassasah Qurthubah, Mesir
1986 Jilid 1
22. Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, I’lmul Muwaqin An
Rabbil Alamin, Darul Jail, Beirut, jilid 4
23. Imam Ibnu Asyur, Maqashid Asyariah al-Islaiyyah,
Darul Kutub sl-Masri
24. Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Gharnathi
Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Ibnu Afan, jilid 2
25. Imam ar-Razi, Mafatihul Ghaib, disunting oleh
Hani al-Haj, tahkik dan takhrij hadis oleh Imad Zaki
al-Barudi, Maktabah Taufiqiyah, Cairo, 2013, jilid
11
26. Muhammad Asyarbini al-Khathib, Al-Iqna Fi Halli
Alfazhi Abi Suja, Darul Fikri, Beirut, jilid 2
27. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul
Muqtashid, Maktabah Mustafa Albab Alhalabi,
Mesirm Jilid 2
28. Nuruddin bin Mukhtar al-Khadii, Al-Ijtihâd al-Ma-
qâshidi, Qathar, 1998
29. Sulaiman bin Samhan bin Maslah bin Hamdan bin
Masfar, Kasyful Awham wal Iltibas An Tasyabuhi
Ba’dhi al-Aghba, Darul Ashimah, Riyad
30. Muhammad Ali Rasyid Ridha, Tafsir al-Quran al-
Hakim, Tafsir al-Manar, Al-Haiah Al-Mishriyyah
Al-Ammah Lil Kitab, 1990, Jilid 7
31. Muhammad bin Idris Asy-Syafii, Arrisalah, tahkik
Ahmad Muhammad Syakir, Darul Kutub Al-Ilmi-
yyah.

314 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


32. Muhammad bin Idris Asy-Syafii, Al-Umm, Muassa-
sah ar-Risalah, Cairo, jilid 3
33. Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ilmi Al-Ushul, Kairo, Al-Wa-
fa, Al-Manshura, jilid 2
34. Sya‘ban Muhammad Ismail, al-Tajdîd fî Ushûli’l
Fiqh; Dirâsah Washfiyyah Naqdiyyah
35. Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Taimiyah al-Harrani,
Dar’u Ta’arudil Aqli Wannaqli, Tahkik Muhammad
Rashad Salim, Darul Kunuz al-Adabiyyah
36. Hasan Muhammad Ibrahim Al-Basyadri, Al-Fiqhu
al-Maqashidi Inda Al-Imam Umar ibnil Khathab,
Darul Kutub al-Ilmiyyah.
37. Imam Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashid
Asy-Syariah al-Islamiyah, Dar Suhnun Linnasyr Wa
At-Tauzi, hal. 15
38. Nuruddin Al-Khadimi, Al-Ijtihad al-Maqashidi, Ki-
tabul Ummah, Qatar, jilid 1
39. Imam Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashid
Asy-Syariah al-Islamiyah, Dar Suhnun Linnasyr Wa
At-Tauzi
40. Jika kita membaca buku-buku karya Syaih Al-Qa-
radhawi, logika maqashid sangat kental untuk
mencari berbagai solusi hukum yang sedang
didapai umat Islam saat ini. Beliau juga menulis
buku khusus tentang ilmu maqashid, yang berjud-
ul Dirasah Fi Fiqhi al-Maqashid Asy-Syariah.
41. Muhammad az-Zuhaili, Maqashid asy-Syariah, Dar
Fikri Al-Arabiy, Beirut

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 315


42. Imam Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashid
Asy-Syariah al-Islamiyah, Dar Suhnun Linnasyr Wa
At-Tauzi
43. Ahmad Ar-Raisuni, Nazhariyatul Maqashid Inda
asy-Syathibi
44. Imam Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashid
Asy-Syariah al-Islamiyah, Dar Suhnun Linnasyr Wa
At-Tauzi
45. Lebih lengkapnya, lihat Abu al-Hasan Sayyidudin
Ali bin Abi Ali bin Muhammad bin Salim
46. Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, ,Bulaq, Beirut, jilid 3
47. Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, Mustafa al-Halabi
48. Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-Razi,
Al-Mahshul fi Ilmil Ushul, Jamiatul Imam Muham-
mad bin Suud Al-Islamiyah, Riyad, jilid 1
49. Ibnu Taimiyah, Minhajussunnah, tahkik Dr, Mu-
hammad Rasyad Salim, Muassasah Qurtubah, jilid
1
50. Muhammad bin Ismail Ash-Shan’aniy, Al-Iddah,
Al-Maktabah As-Salafiyah, Cairo, jilid 3
51. Mustafa alkhin, Dr. Mustafa al-Bugha dan Ali As-
yarbiji, Al-Fiqhu Al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam
Asy-syafii, Darul Qalam Littibaah wa At-tauzi, Dam-
askus, Jilid 6
52. Qadhi Iyadh, Tartibul Al-Madarik Wa Taqribul Ma-
salik Lima’rifati A’lami wa Madzhabi Malik, jilid 6
53. Sulaiman bin Umar bin Muhammad Albaijutim
Al-Maktabah Al-islamiyah, Turki, Jilid 1

316 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih


54. Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bajirumi,
Hasyiyatu Al-Hajirumi Ala Syarhi Minhaji at-Tullab
Attajrid Linaf’il Abid, Al-maktabah Al-Islamiyah,
Turki, jilid 3
55. Sami Abdul Wahab Al-Jundi, Ahamiyyatul Ma-
qâshid fi Asy-Syariâah al-Islamiyyah Wa Atsaruhâfi
Fahminnas Wa Istinbâthil Hukmi, Muasasah ar-Ri-
salah
56. Selengkapnya, lihat, Abu Muhammad Izzuud-
din Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abi Qasim bin
Hasan As-Sulami, Qawaidul Ahkam Fi Masalihil
Anam, Darul Maarif, Beirut.
57. Saifuddin al-Amidi, Al-Iihkam fi Ushulil Ahkam, Al-
maarif, jilid 4
58. Syarhu Mukhtashar Ibnu Hajib jilid 2
59. Taquddin Abu Abbas Ahmad bin Abdul Halim Ibnu
Taimiyyah, Majmu Fatawa, Tahqiq Anwar Albaz,
Darul Wafa, 2005, Jilid 1
60. Taqyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini
Ad-Dimsyaqi Asy-Syafi’i, Kifayatul Akhyar fi Halli
Ghayatil Ikhtishar, Darul Khair, Damaskus
61. Wahbah az-Zuhaili, Ushulul Fiqhi, Darul Fikr, Bei-
rut, jilid 2
62. Yusuf Hamid Alim, Al-Maqashid al-Ammah Li
Asy-Syariah Al-Islamiyyah, Ad-Dar Al-Alamiyyah Lil
Kitab Al-Islamiy
63. Yûsuf al Qardhâwî, Assiyâsah Assyar’iyah fî Dhou’i
Nushûshi al Ayarî’ati wa Maqashidihâ, Maktabah

Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih 317


Wahbah hal. 101 dan hal 230
64. Yûsuf al Qardhâwî, Taisîru’l Fikihi Lilmuslimi’l
Ma’âshir Fi Dhou’i’l Qur’ân Wassunnah. Maktabah
Wahbah

318 Ijtihad Maqashidi dalam Ushul Fikih

Anda mungkin juga menyukai