Anda di halaman 1dari 22

Makalah Kelompok V

ARIYAH DAN QARAD

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah: Fikih Muamalat
Dosen Pengampu: Ramadhani Alfin Habibie, M.H

Disusun Oleh:

Risna Wendy Wiraganti


2212140023
Lingga Abi Rahman
2212140027
Muhammad Sahdan Siregar
2212140079

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

TAHUN 2023 M/1444 H


KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan akan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan anugerah dan karunia-Nya kepada kita, sehingga masih diberikan
kesehatan, kekuatan, dan kemampuan untuk terus bersemangat dalam menuntut
ilmu yang insya Allah dapat bermanfaat bagi kita di hari kelak.

Kami ucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata


kuliah Fikih Muamalat yaitu bapak Ramadhani Alfin Habibie, M.H yang telah
menugaskan kepada kami untuk menulis ini, sehingga membuat saya melakukan
pemanasan yang sangat efektif pada pertemuan di semester II ini demi
kelangsungan belajar kami di Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya. Tidak
lupa juga kepada orang tua tercinta, tak cukup ucapan terima kasih yang dapat
dilisankan untuk menggambarkan betapa besarnya dukungan, dorongan positif,
juga hal-hal luar biasa lainnya yang mengantarkan kami sampai pada jenjang ini.

Penulis menyadari karya tulis ini masih belum dapat disebut sempurna.
Oleh karena itu, penulis sangat berbesar hati untuk menerima segala saran dan
kritik dari pembaca sebagai dorongan demi perbaikan makalah ini. Semoga
makalah sederhana ini dapat memberikan manfaat yang luar biasa bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca sekalian pada umumnya. Aamiin yaa
robbal’aalamiin. Wallahul muwafieq ilaa aqwamith tharieq...

Palangka Raya, 9 April 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...........................................................................................2

D. Metode Penulisan..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ariyah..........................................................................................3

B. Dasar Hukum Ariyah....................................................................................4

C. Rukun dan Syarat Ariyah..............................................................................5

D. Pembayaran Pinjaman dan Tanggung Jawab Peminjam...............................7

E. Pengertian Qarad...........................................................................................9

F. Dasar Hukum Qarad....................................................................................10

G. Syarat-syarat dan Rukun Qarad..................................................................13

H. Barang yang Sah Dijadikan Qarad..............................................................14

I. Berakhirnya Akad Qarad.............................................................................15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................17

B. Saran............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur


hubungan seseorang dan orang lain, baik secara pribadi maupun badan
hukum,selain itu hubungan sosial termasuk kegiatan bisnis dan interaksi
sosial dimasyarakat. Maksudnya, muamalah merupakan hukum syari’at
yang mengatur hubungan duniawi dengan selalu memandang kehidupan
seseorang kedepannya, seperti jual beli, utang piutang, beri memberi,
pinjam meminjam dan lain-lain.
Untuk menghindari kesewenangan dalam praktek muamalah maka
Islam mengatur sebaik-baiknya. Muamalah akan mengatur dan menahan
manusia dari keinginan untuk menghalalkan segala cara dalam mencari
rezeki muamalah mengajarkan manusia untuk memperoleh rezeki dengan
yang baik dan halal. Jadi, sangat jelas Islam mengajarkan bukan hanya
mengatur dalam hubungan manusia dengan tuhan saja melainkan
mengatur hubungan manusia dengan manusia, disamping diwajibkan
beribadah kepada tuhan, manusia juga diwajibkan berusaha untuk
memenuhi kebutuhan dengan cara yang baik. Kebutuhan manusia dengan
manusia dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain biasa dilakukan
dengan cara pinjam meminjam.

B. Rumusan Masalah

Rumusan dari penulisan makalah dengan judul “Ariyah dan Qarad”


ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari ariyah?
2. Apa dasar hukum ariyah?
3. Apa saja rukun dan syarat ariyah?
4. Bagaimana pembayaran pinjaman dan tanggung jawab peminjam?
5. Apa pengertian dari qarad?
6. Apa saja dasar hukum qarad?
7. Apa saja syarat-syarat dan rukun qarad?
8. Apa saja barang yang sah dijadikan qarad?
9. Bagaimana berakhirnya akad qarad?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah disampaikan diatas,


adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian ariyah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum ariyah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat ariyah.
4. Untuk mengetahui pembayaran pinjaman dan tanggung jawab
peminjam.
5. Untuk mengetahui pengertian qarad.
6. Untuk mengetahui dasar hukum qarad.
7. Untuk mengetahui syarat-syarat dan rukun qarad.
8. Untuk mengetahui barang yang sah dijadikan qarad.
9. Untuk mengetahui berakhirnya akad qarad.

D. Metode Penulisan

Penulisan makalah ini menggunakan metode Library Research and


Internet Searching yang berhubungan dengan tema makalah yang dibuat
guna acuan bahan referensi bagi penulis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ariyah

Menurut etimologi, ariyah adalah (‫اريَة‬


ِ ‫ )ال َع‬diambil dari kata (‫) َعا َر‬
yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal

ُ ‫ )التَّ َعا ُو‬yang sama artinya dengan ( ُ‫اَ ِوالتَّنَا ُوب‬


dari kata (‫ر‬ ‫( )التَّنَا ُو ُل‬saling
menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam-meminjam.1
Secara terminology syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam
mendefinisikan ariyah, antar lain:
1. Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ariyah adalah
kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap
zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh
Wahbah a-Juhaili, ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang
tanpa adanya imbalan. Adapun menurut al-Syafi’iyah dan al-
Hanabalah ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu
barang tanpa adanya imbalan.
3. Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ariyah adalah transaksi atas
manfaat suatu barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana ariyah
adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang
lain tanpa adanya imbalan.
Menurut Wahbah al-Juhaili akad ini berbeda dengan hibah, karena
ariyah dimaksudkan hanya untuk mengambil manfaat dari suatu barang,
sedangkan hibah mengambil zat dan manfaat sekaligus. Ariyah berbeda
pula dengan ijarah, sebab pada ijarah, barang yang dimanfaatkan itu harus
diganti dengan imbalan tertentu.

1
Rachmat Syafei, FIQIH Muamalah (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), 139.
Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ariyah dapat berlaku
pada seluruh jenis tingkat masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat
tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat
diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua, yaitu
sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.
Menurut Wahbah al-Juhaili tolong menolong dalam arti ariyah atau
pinjam meninjamkan sesuatu hukumnya sunah, sedangkan menurut Amir
Syarifuddin, transaksi dalam bentuk ini hukumnya boleh atau mubah
sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan syara.2

B. Dasar Hukum Ariyah

Adapun dasar hukum dibolehkannya bahkan disunahkannya ‘ariyah


adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut.

1. Al-Qur’an

‫اونُ ْوا َعلَى ْالبِرِّ َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُ ْوا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن‬
َ ‫َوتَ َع‬
Dan tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan
takwa, dan janganlah kamu tolong menolong untuk berbuat dosa dan
permusuhan. (QS. Al-Maidah: 2)

‫ت اِ ٰلٓى اَ ْهلِهَ ۙا‬ ‫هّٰللا‬


ِ ‫اِ َّن َ يَْأ ُم ُر ُك ْم اَ ْن تَُؤ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
Sesumgguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa: 58)

2. Al-Hadits

َ َّ‫اَ َّداَْأل َمانَةَِإ َل َم ْن إْئتَ َمن‬


َ َ‫ك َو اَل تَ ُخ ْن َم ْن َخا ن‬
)‫ك (رواه أبو داود‬

2
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, and Sapiudin Shidiq, FIQH MUAMALAT,
Pertama (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2010), 247–48.
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat kepadamu,
dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (HR.
Abu Dawud)

ِ ‫اَ ْل َع‬
)‫اريَّةُ ُمَؤ َذاةٌ (رواه ابو داود‬
“Barang pinjaman ialah barang yang wajib dikembalikan” (HR. Abu
Dawud)

‫اس ي ُِر ْي ُد اَ َدا َءهَا اَ َّدى هّٰللا ُ َع ْنهُ َو َم ْن اَ َخ َذ ي ُِر ْي ُد‬ َ ‫َم ْن َأ َخ َذ اَ ْم َو‬
ِ َّ‫ال الن‬
)‫ِإ ْتاَل فَهَا اَ ْتلَفَهُ هّٰللا ُ (رواه البخاري‬
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan
membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang
meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan
melenyapkan harta”. (HR. Al-Bukhari)

)‫ُم ِطلُّ ْال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم (رواه البخاري و مسلم‬


“Orang kaya yang memperlambat kewajiban membayar
utang/pinjaman adalah dzalim atau berbuat aniaya”. (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).3

C. Rukun dan Syarat Ariyah

1. Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah
ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan
merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah diisyaratkan adanya
lafadz shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan
yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan
milik barang bergantung pada adanya izin.
3
Ghazaly, Ihsan, and Shidiq, 248–49.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun
ariyah ada empat, yaitu:
1. Mu’ir (peminjam)
2. Musta’ir (yang meminjamkan)
3. Mu’ar (barang yang dipinjam)
4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk
mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
2. Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a. Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal
tidak dapat meminjamkan berang. Ulama Hanafiyah tidak
menyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya
menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang
yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa,
bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang
sedang pailit (bangkrut).
b. Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap
sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam
hibah.
c. Barang (Musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya,
jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah di bolehkan terhadap
setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak
zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan lain-
lain.
Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh,
juga diharamkan meminjamkan Al-Qur’an atau yang berkaitan dengan
Al-Qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat
berburu kepada orang yang sedang ihram.4

D. Pembayaran Pinjaman dan Tanggung Jawab Peminjam

Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti


peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang Setiap utang wajib
dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang,
bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya.
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan,
asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal
ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang, Rasulullah SAW
pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan
lebih besar dan tua umumnya dari hewan yang belau pinjam. Dalam
hadits, "Orang yang paling baik di antara kamuialah orang yang dapat
membayar utangnya dengan lebih baik.” Jika penambahan dalam
peminjaman tersebut dikehendaki oleh orang yang dihutangi atau telah
menjadi perjanjian dalam akad perutangan, maka penambahan tersebut
adalah riba.
Selanjutnya sejauh mana tanggung jawab peminjam dalam masalah
ariyah ini. Para ulama fiqih bersepakat bahwa akad ariyah bersifat tolong
menolong akan tetapi mengenai masalah apakah akad ariyah itu bersifat
amanah di tangan peminjam, sehingga ia tidak boleh dituntut ganti rugi
apalagi barang itu rusak. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
Menurut Hanafiyah, ariyah di tangan peminjam bersifat amanah.
Oleh karena itu, peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan
barang yang bukan disebabkan oleh perbuatannya. Akan tetapi apabila
kerusakan tersebut disengaja maka ia dikenakan ganti rugi. Akan ariyah
yang semula bersifat amanah dapat berubah menjadi akad yang dikenakan
ganti rugi, dalam hal ini sebagai berikut:
a. Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.

4
Syafei, FIQIH Muamalah, 141–42.
b. Apabila barang itu tidak dipelihara sama sekali.
c. Apabila pemanfaatan barang pinjaman tidak sesuai dengan adat yang
berlaku.
d. Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan
syarat yang ditentukan sejak semula dalam akad.

Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa ariyah adalah akad


yang mempunyai risiko ganti rugi, baik disebabkan oleh peminjam atau
hal-hal lain. Oleh sebab itu, apabila barang tersebut rusak atau hilang baik
disebabkan pemanfaatan barang itu oleh peminjam maupun sebab-sebab
lainnya di luar jangkauan peminjam, maka menurut Hanabilah pihak
meminjam wajib membayar ganti rugi semenjak barang tersebut rusak.
Menurut ulama Syafi'iyah, apabila kerusakan barang disebabkan
oleh pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam
dikenai ganti rugi. Akan tetapi apabila kerusakan itu terjadi dalam batas
pemanfaatan yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam itu tidak
dikenakan ganti rugi.
"Orang yang mengambil barang orang lain bertanggung jawab atas
risikonya sampai ia mengembalikannya." (HR. Ahmad dan Hakim)
Pendapat lain datang dari ulama Malikiyah yang menyatakan bahwa
apabila barang yang dipinjamkan itu dapat disembunyikan seperti pakaian,
perhiasan, dan alat-alat lainya, lalu peminjam mengatakan bahwa barang
tersebut hilang atau rusak, sedangkan ia tidak dapat membuktikannya,
maka ia dikenakan ganti rugi. Akan tetapi apabila dapat membuktikannya,
ia tidak dikenakan ganti rugi. Selanjutnya, apabila barang yang dipinjam
itu termasuk jenis yang tidak dapat disembunyikan, seperti rumah, tanah,
dan kendaraan, kemudian barang tersebut rusak ketika dimanfaatkan, maka
ia tidak wajib mengganti rugi. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw.
Sebagai berikut:
"Pihak peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti
rugi." (Hadits Abu Dawud dan Hakim)
Untuk mempedomani nilai-nilai yang terkandung dalam ayat-ayat al-
Qur'an dan hadits, ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam ariyah
mengenai tata karma yang terkait di dalamnya, di antaranya:
1. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak,
disertai dengan niat dalam hati akan membayar mengembalikannya di
kala mempunyai uang.
2. Pihak peminjam berniat memberi pertolongan kepada pihak berhutang
3. Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar hendaknya
dipercepat dalam pembayaran.
4. Ketika mengembalikan pinjaman hendaknya mengembalikan sesuai
dengan kualitas dan kuantitas barang yang dipinjam.5

E. Pengertian Qarad

Dilihat dari maknanya, qarad identik dengan akad jual beli. Karena,
akad qarad mengandung makna pemindahan kepimilikan barang kepada
pihak lain.
Al-Qardh (utang) berasal dari kata qarada – yaqridhu – qardhan.6

Secara etimologi, qarad berarti ْ َ‫( اَ ْلق‬potongan). Harta yang dibayarkan


‫ط ُع‬
kepada muqtarid (yang diajak akad qarad) dinamakan qarad, sebab
merupakan potongan dari harta muqrid (orang yang membayar).7
Sedangkan secara istilah ialah harta yang diberikan seseorang
kepada orang lain untuk dikembalikan lagi ketika ia telah mampu.7
Pengertian lain dari utang-piutang atau qardh adalah harta yang diberikan
oleh muqridh (pemberi utang) kepada muqtaridh (orang yang berutang)
untuk dikembalikan kepadanya sama dengan yang diberikan pada saat
muqtaridh mampu mengembalikannya. Al-Qardh pada dasarnya adalah
pemberian pinjaman dari seseorang kepada pihak lain dengan tujuan untuk
menolongnya. Oleh karena itu, Syafi'i Antonio mempertegas bahwa aqd
5
Izzatul Ulya, “Fikih Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah),” Slideshare, 2017,
https://www.slideshare.net/ulyaizza/fiqh-muamalah-pinjam-meminjam-ariyah.
6
B A B Ii, “Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Fajar Media Press,
2014), 177. 9,” n.d., 9–36.
7
Syafei, FIQIH Muamalah, 151.
Al-Qardh bukan akad komersial, ia merupakan akad sosial (memberikan
pertolongan) yang bertujuan sebagai sikap ramah tamah sesama manusia,
membantu dan memudahkan segala urusan kehidupan mereka, dan bukan
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan berbisnis.8
Menurut Hanafiyah, qarad merupakan khusus pemberian harta
mitsli kepada orang lain dengan adanya kewajiban pengembalian
semisalnya. Qarad adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat
dipersamakan antara peminjam dan pihak yang memberikan pinjaman
yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu.9

F. Dasar Hukum Qarad

a. Al-Qur'an
Qarad sebagai suatu akad yang dibolehkan, merupakan sesuatu
yang harus diyakini dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam hal muamalah, sebagaimana yang dijelaskan Allah
agar meminjamkan sesuatu bagi agama Allah. Selaras dengan
meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru untuk meminjamkan
kepada manusia sebagi bagian dari hidup bermasyarakat (civil
society).

Yang dijadikan landasan syar'i tentang Qarad dalam Al-Qur'an


adalah:
1) Surat Al-Baqarah ayat 245

‫ُض ِعفَهٗ لَ ٗ ٓه اَضْ َعافًا‬ٰ ‫َم ْن َذا الَّ ِذيْ يُ ْق ِرضُ هّٰللا َ قَرْ ضًا َح َسنًا فَي‬
ۖ
ُۣ ‫َكثِ ْي َرةً ۗ َوهّٰللا ُ يَ ْقبِضُ َويَب‬
‫ْصطُ َواِلَ ْي ِه تُرْ َجع ُْو َن‬
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, maka Allah akan melipatgandakan pinjaman itu untuknya,

8
Ii, “Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Fajar Media
Press, 2014), 177. 9.”
9
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar FIQH MUAMALAH, ed. Saifuddin zuhri Qudsy
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008), 254.
‫‪dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-‬‬
‫)‪Baqarah:245‬‬
‫‪2) Surah Al-Baqarah 280‬‬

‫ان ُذ ْو ُع ْس َر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ اِ ٰلى َم ْي َس َر ٍة ۗ َواَ ْن تَ َ‬


‫ص َّدقُ ْوا َخ ْي ٌر‬ ‫َواِ ْن َك َ‬
‫لَّ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُم ْو َن‬
‫‪“Dan jika (orang yang berhutang) dalam kesukaran, Maka‬‬
‫‪berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan‬‬
‫‪(sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu‬‬
‫‪Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).‬‬
‫‪3) Surat Al-Baqarah ayat 282‬‬
‫ٓ‬
‫ٰيٓاَيُّهَ‪ªª‬ا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ‪ªْٓ ª‬وا اِ َذا تَ ‪َ ª‬دايَ ْنتُ ْم بِ ‪َ ª‬د ْي ٍن اِ ٰلى اَ َج‪ٍ ª‬‬
‫‪ª‬ل ُّم َس ‪ًّ ª‬مى فَ‪ªª‬ا ْكتُب ُْو ۗهُ‬
‫ب َك َم‪ªª‬ا َعلَّ َم‪ ª‬هُ‬ ‫ب َكاتِبٌ اَ ْن يَّ ْكتُ َ‬ ‫َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْال َع ْد ۖ ِل َواَل يَْأ َ‬
‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ َواَل يَب َْخسْ‬ ‫ق َو ْليَتَّ ِ‬ ‫هّٰللا ُ فَ ْليَ ْكتُ ۚبْ َو ْليُ ْملِ‪ِ ª‬ل الَّ ِذيْ َعلَ ْي‪ِ ª‬ه ْال َح‪ُّ ª‬‬
‫ض‪ِ ª‬ع ْيفًا اَ ْو اَل‬
‫ق َس‪ª‬فِ ْيهًا اَ ْو َ‬ ‫‪ª‬ان الَّ ِذيْ َعلَ ْي‪ِ ª‬ه ْال َح‪ُّ ª‬‬ ‫ِم ْن‪ª‬هُ َشئًْـ ۗا فَ‪ª‬اِ ْن َك‪َ ª‬‬
‫يَ ْستَ ِط ْي ُع اَ ْن ُّي ِم َّل هُ‪َ ª‬و فَ ْليُ ْملِ‪ªª‬لْ َولِيُّهٗ ِب ْال َع‪ْ ª‬د ۗ ِل َوا ْستَ ْش‪ِ ª‬ه ُد ْوا َش‪ِ ª‬ه ْي َدي ِْن‬
‫ض ْو َن‬ ‫ِم ْن ِّر َجالِ ُك ۚ ْم فَاِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َّوا ْم َراَ ٰت ِن ِم َّم ْن تَرْ َ‬
‫ض‪َّ ª‬ل اِحْ ‪ٰ ª‬دىهُ َما فَتُ‪َ ª‬ذ ِّك َر اِحْ‪ٰ ª‬دىهُ َما ااْل ُ ْخ‪ٰ ª‬ر ۗى َواَل‬ ‫الش‪ª‬هَ ۤ َدا ِء اَ ْن تَ ِ‬ ‫ِم َن ُّ‬
‫ص‪ِ ª‬غ ْيرًا اَ ْو‬ ‫‪ª‬وا ۗ َواَل تَسَْٔـ ُم ْٓوا اَ ْن تَ ْكتُبُ‪ªْ ª‬وهُ َ‬ ‫الش‪ª‬هَ ۤ َدا ُء اِ َذا َم‪ªª‬ا ُد ُع‪ْ ª‬‬‫ب ُّ‬ ‫يَْأ َ‬
‫َكبِ ْيرًا اِ ٰلٓى اَ َجلِ‪ªۗ ٖ ª‬ه ٰذلِ ُك ْم اَ ْق َس‪ª‬طُ ِع ْن‪َ ª‬د هّٰللا ِ َواَ ْق‪َ ª‬و ُم لِ َّ‬
‫لش‪ª‬هَا َد ِة َواَ ْد ٰن ٓى اَاَّل‬
‫ْس‬‫اض‪َ ªª‬رةً تُ‪ِ ªª‬د ْير ُْونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي َ‬ ‫‪ªª‬و َن تِ َج‪ ªª‬ا َرةً َح ِ‬ ‫تَرْ تَ‪ªª‬اب ُْٓوا آِاَّل اَ ْن تَ ُك ْ‬
‫ُض ۤا َّر َك‪ªª‬اتِبٌ‬ ‫َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح اَاَّل تَ ْكتُب ُْوهَ ۗا َواَ ْش ِه ُد ْٓوا اِ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم ۖ َواَل ي َ‬
‫ق ِب ُك ْم ۗ َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم هّٰللا ُ‬
‫َّواَل َش ِه ْي ٌد ەۗ َواِ ْن تَ ْف َعلُ ْوا فَاِنَّهٗ فُس ُْو ۢ ٌ‬
‫ۗ َوهّٰللا ُ ِب ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬
‫‪“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah‬‬
‫‪tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu‬‬
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu
mengimlakkan, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, dan hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-
orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai. Supaya jika seorang maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu
menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan
lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
keraguanmu, kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu jika
kamu tidak menulisnya. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pelajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)
b. Hadis
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi SAW, bersabda:

‫لِ ِم‬ª ‫ا ِم ْن ُم ْس‬ªª‫ َم‬:‫ال‬ªª‫ ق‬ª‫لم‬ªª‫عن أبي مسعود ان النبي صلى هّٰللا عليه وس‬
ً‫يُ ْق ِرضُ ُم ْسلِ ًم قَرْ ضًا َم َّر تَ ْي ِن اِالَّ اَ ْن َأصْ َد قَ ْتهَا َم َّرة‬
“Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim
(lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.”
(HR. Ibnu Majah)10
10
Ii, “Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Fajar Media
Press, 2014), 177. 9.”
G. Syarat-syarat dan Rukun Qarad

Dikutip dari buku karya Imam Mustofa, Wahbah al-Zuhaili


menjelaskan bahwa secara garis besar ada empat syarat yang harus
dipenuhi dalam akad Qarad, yaitu:
1. Akad qarad dilakukan dengan sighat ijab dan qabul atau bentuk lan
yang dapat menggantikanya, seperti muatah (akad dengan
tindakan/saling memberi dan saling mengerti)
2. Kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap hukum (berakal,
baligh dan tanpa paksaan). Berdasarkan syarat ini, maka qarad
sebagai akad tabrau’ (berderma/sosial), maka akad qarad yang
dilakukan anak kecil, orang gila, orang bodoh atau orang yang
dipaksa, maka hukumnya tidak sah.
3. Menurut kalangan hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta
yang ada padanannya di pasaran, atau padanan nilainya (mitsil),
sementara menurut jumhur ulama, harta yang dipinjamkan dalam
qarad dapat berupa harta apa saja yang dijadikan tanggungan.
4. Ukuran, jumlah, jenis dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas
agar mudah untuk dikembalikan. Hal ini untuk menghindari
perselisihan di antara para pihak yang melakukan akad qarad.

Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam akad qardh ini.
Apabila rukun tersebut tidak terpenuhi, maka akad qardh akan batal.
Rukun qardh tersebut adalah:
a. Pihak peminjam (muqtaridh)
Pihak peminjam yaitu orang yang meminjam dana atau uang kepada
pihak pemberi pinjaman.
b. Pihak pemberi pinjaman (muqridh)
Pihak pemberi pinjaman yaitu orang atau badan yang memberikan
pinjaman dana atau uang kepada pihak peminjam.
c. Dana (qardh) atau barang yang dipinjam (muqtaradh)
Dana atau barang disini yang dimaksud adalah sejumlah uang atau
barang yang dipinjamkan kepada pihak peminjam.
d. Ijab qabul (sighat)
Karena utang piutang sesungguhnya merupakan sebuah transaksi
(akad), maka harus dilaksanakan melalui ijab dan kabul yang jelas,
sebagaimana jual beli dengan menggunakan lafadz qarad.11

H. Barang yang Sah Dijadikan Qarad

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qarad dipandang sah pada


harta mitsil, yaitu sesuatu yang tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan
terjadinya perbedaan nilai. Di antara yang dibolehkan adalah benda-benda
yang ditimbang, ditakar atau dihitung. Qarad selain dari perkara di atas
dipandang tidak sah, seperti hewan, benda-benda yang menentap di tanah
dan lain-lain.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membolehkan qarad
pada setiap benda yang tidak dapat diserahkan, baik yang ditakar maupun
yang ditimbang, seperti emas dan perak atau yang bersifat nilai, seperti
barang dagangan, hewan, atau benda yang dihitung. Hal itu didasarkan
pada hadis dari Abu Rafi bahwa Nabi SAW. menukarkan (qarad) anak
unta. Dimaklumi bahwa anak bukan benda yang biasa ditakar, atau
ditimbang.
Jumhur ulama membolehkan, qarad pada setiap benda yang dapat
diperjualbelikan, kecuali manusia. Mereka juga melarang qarad manfaat,
seperti seseorang pada hari ini mendiami rumah temannya dan besoknya
teman tersebut mendiami rumahnya, tetapi Ibn Taimiyah
membolehkannya.12

11
Indra Krisna Kusuma, “DEFINISI, DASAR HUKUM, SYARAT DAN RUKUN
QARDH,” Acedemia.Edu, 2016,
https://www.academia.edu/30512598/DEFINISI_DASAR_HUKUM_SYARAT_DAN_RUKUN_
QARDH.
12
Syafei, FIQIH Muamalah, 154–55.
I. Berakhirnya Akad Qarad

Berakhirnya objek akad qarad terdapat pada pihak yang berhutang


(muqtarid), yaitu pada saat pengembalian kepada orang yang memberi
pinjaman (muqrid) yang sesuai dengan pokok pinjaman. Penyelesaian
hutang-piutang dilakukan di tempat akad berlangsung. Meskipun
dilakukan di tempat lain sepanjang pembayaran tersebut tidak
membutuhkan ongkos atau sama-sama disepakati tidak menjadikan sebuah
masalah. Pihak muqtaridhii (yang berhutang) wajib melunasi hutangnya
dengan barang yang yang sama jika barang dari hutang itu adalah barang
al-misliyyat, atau barang yang memiliki nilai yang sama. Jika dalam akad
ditetapkan waktu pelunasan hutang, maka pihak pemilik harta tidak boleh
menuntut pelunasan hutang sebelum jatuh tempo yang telah ditetapkan,
namun apabila tidak ditentukan tempo pelunasan boleh dilakukan
mengikuti adat yang berlaku. Ketika waktu pelunasan tiba, pihak yang
berhutang belum mampu melunasi hutangnya, Islam menganjurkan untuk
memberinya keringanan sampai ia mampu membayarnya. Di sisi lain
Islam juga menganjurkan untuk segera melunasi hutang piutang sesegera
mungkin, karena hutang adalah sebuah kepercayaan dan sekaligus
pertolongan, dengan begitu kebajikan harus dibalas dengan kebajikan juga,
yaitu dengan menyegerakan pelunasan hutang.
Akad hutang piutang (qarad) juga akan berakhir apabila dibatalkan
oleh pihak-pihak yang berakad karena alasan tertentu. Apabila orang yang
berhutang meninggal dunia maka pinjaman tersebut akan dilunasi oleh
orang yang menjadi ahli warisnya. Jadi ahli waris memiliki kewajiban
melunasi hutang tersebut. Hutang (qarad) tersebut dianggap lunas apabila
di pemberi pinjaman menghapus hutang tersebut dan menganggapnya
lunas.13

13
Anna Zahnira, “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK HUTANG
PIUTANG ( QARDH ) DENGAN SISTEM PEMBAYARAN BARANG ( Wilayah Hukum Di
Gampong Jangka Alue . U , Kecamatan Jangka ,” 2022.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh


Wahbah a-Juhaili, ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang
tanpa adanya imbalan. Adapun menurut al-Syafi’iyah dan al-
Hanabalah ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu
barang tanpa adanya imbalan.
2. Adapun dasar hukum dibolehkannya bahkan disunahkannya ‘ariyah
adalah ayat-ayat Al-Qur’an dalam QS. Al-Maidah: 2 dan QS. An-Nisa:
58. Sedangkan Hadisnya yaitu HR. Abu Dawud, HR. al-Bukhari, dan
Muslim.
3. Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah
ada empat, yaitu: Mu’ir (peminjam), Musta’ir (yang meminjamkan),
Mu’ar (barang yang dipinjam), dan Shighat. Sedangkan syaratnya
yaitu: Mu’ir berakal sehat, pemegangan barang oleh peminjam, dan
barang (Musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika
musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
4. Menurut Hanafiyah, ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Oleh
karena itu, peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan
barang yang bukan disebabkan oleh perbuatannya. Akan tetapi apabila
kerusakan tersebut disengaja maka ia dikenakan ganti rugi.
5. Menurut Hanafiyah, qarad merupakan khusus pemberian harta mitsli
kepada orang lain dengan adanya kewajiban pengembalian
semisalnya. Qarad adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat
dipersamakan antara peminjam dan pihak yang memberikan pinjaman
yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu
tertentu.
6. Yang dijadikan landasan syar'i tentang Qarad dalam Al-Qur'an
adalah: QS. Al-Baqarah ayat 245, 280, dan 282. Sedangkan hadisnya
yaitu HR. Ibnu Majah.
7. Secara garis besar ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad
Qarad, yaitu: dilakukan dengan sighat ijab dan qabul atau bentuk lan,
kedua belah pihak yang terlibat akad harus cakap hukum (berakal,
baligh dan tanpa paksaan), harta yang dipinjamkan haruslah harta
yang ada padanannya di pasaran (kalangan hanafiyah), dan Ukuran,
jumlah, jenis dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas agar
mudah untuk dikembalikan. Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi
dalam akad qardh, yaitu: Pihak peminjam (muqtaridh), Pihak pemberi
pinjaman (muqridh), Dana (qardh) atau barang yang dipinjam
(muqtaradh), Ijab qabul (sighat).
8. Jumhur ulama membolehkan, qarad pada setiap benda yang dapat
diperjualbelikan, kecuali manusia. Mereka juga melarang qarad
manfaat.
9. Berakhirnya objek akad qarad terdapat pada pihak yang berhutang
(muqtarid), yaitu pada saat pengembalian kepada orang yang memberi
pinjaman (muqrid) yang sesuai dengan pokok pinjaman. Penyelesaian
hutang-piutang dilakukan di tempat akad berlangsung.

B. Saran

Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang


menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan
kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau
referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini Penulis
banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik
saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus
pada penulis Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar FIQH MUAMALAH. Edited by Saifuddin


zuhri Qudsy. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2008.

Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, and Sapiudin Shidiq. FIQH


MUAMALAT. Pertama. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2010.

Syafei, Rachmat. FIQIH Muamalah. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001.


Ii, B A B. “Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta:
Fajar Media Press, 2014), 177. 9,” n.d., 9–36.

Kusuma, Indra Krisna. “DEFINISI, DASAR HUKUM, SYARAT DAN RUKUN


QARDH.” Acedemia.Edu, 2016.
https://www.academia.edu/30512598/DEFINISI_DASAR_HUKUM_SYAR
AT_DAN_RUKUN_QARDH.

Ulya, Izzatul. “Fikih Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah).” Slideshare, 2017.


https://www.slideshare.net/ulyaizza/fiqh-muamalah-pinjam-meminjam-
ariyah.

Zahnira, Anna. “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK


HUTANG PIUTANG ( QARDH ) DENGAN SISTEM PEMBAYARAN
BARANG ( Wilayah Hukum Di Gampong Jangka Alue . U , Kecamatan
Jangka ,” 2022.

Anda mungkin juga menyukai