Anda di halaman 1dari 18

Makalah Kelompok 4

RIBA

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Fikih Muamalat

Dosen: Ramadhani Alfin Habibie, M.H

Disusun oleh:

Ahmidi
2212140022

Nadila Oktaviany
2212140028

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

TAHUN 2023 M/1444 H


KATA PENGANTAR

Bismillāḥirraḥmānirrahīm

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt.
Karena dengan Rahmat dan Ridha-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Riba’’. Tidak lupa Shalawat serta salam, kami sampaikan kepada
baginda Besar Nabi Muhammmad Saw., beserta keluarga, sahabat dan para
pengikut beliau hingga akhir zaman.

Kami selaku penulis dalam pembuatan makalah ini, menyadari betul bahwa
masih banyak kesalahan dan kekurangan didalamnya. Oleh karena itu, kami
memohon dengan ikhlas kepada pembaca makalah ini untuk berkenan memberikan
kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah yang lebih baik.

Akhir kata, kami ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada semua pihak
terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Fikih Muamalat yakni, bapak
Ramadhani Alfin Habibie, M.H serta kepada segenap teman-teman yang turut serta
memberikan dukungan dan semangat kepada kami. Dan kami harapkan semoga
makalah yang kami buat ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Palangka Raya, 19 Maret 2023

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ................................................................................ 1


B. Rumusan masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan penulisan ............................................................................ 2
D. Metode penulisan ........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba .............................................................................. 3


B. Dasar Hukum diHaramkannya Riba .............................................. 4

1. Tahap Pertama .................................................................... 4


2. Tahap Kedua ...................................................................... 5
3. Tahap Ketiga ...................................................................... 6
4. Tahap Terakhir ................................................................... 6

C. Macam-macam dan Contoh-contoh Riba....................................... 8

1. Riba Fadl ............................................................................ 8


2. Riba An-nasî-ah ................................................................. 9
3. Riba Yad ............................................................................. 11
4. Riba Qardhi........................................................................ 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 13
B. Saran............................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh
manusia unntuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau
moralitas dalam syariat Islam. Allah telah menurunkan rezeki ke dunia ini untuk
dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan
bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah “klasik” baik dalam
perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba
merupakan permasalahan yang perik dan sering terjadi dalam masyarakat, hal
ini disebabkan perbuatan riba sangat erat kaitannya dengan transaksi-transaksi
dibidang perekonomian (dalam Islam disebut muamalah) yang sering dilakukan
oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada dasarnya, transaksi riba dapat
terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut bisa
berupa qardh, buyu’ dan lain sebagainya.
Para ulama menetapkan dengan tegak dan jelas tentang pelanggaran
riba, disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya
merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta
Ijma’ para ulama. Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah
menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Bebrapa pemikir Islam berpendapat
bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral
melainkan sesuatu yang menghambat aktivitas perekonomian masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah yang berjudul “Riba” ini
adalah:
1. Apa Pengertian Dari Riba?
2. Bagaimana Dasar Hukum diHaramkannya Riba?
3. Sebutkan Macam-macam dan Contoh-contoh Dari Riba?

1
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, didapatkan tujuan penulisan
makalah ini yaitu:
1. Untuk dapat mengetahui pengertian dari Riba.
2. Untuk dapat mengetahui bagaimana dasar hukum sehingga riba itu
diharamkan.
3. Untuk dapat mengetahui macam-macam serta contoh-contoh dari riba.

D. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode LibraryResearch and
Internet Searching yang berhubungan dengan tema makalah yang dibuat guna
acuan bahan referensi.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Riba menurut bahasa berasal dari kata Rabaa'-yarbuu, riba-an yang
berarti Az Ziadah, tambahan, bertambah atau tumbuh, pertumbuhan (growth),
naik (rise), membengkak (swell), bertambah (increase), dan tambahan
(addition), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa), membesar (al-
'uluw). Lebih lanjut Musthtaq Ahmad menulis dalam Business Ethics in Islam;
some jurists have used this term in a rather general sense to include any
unlawful transaction Menurut istilah syara' ialah akad yang terjadi dengan
penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan
syara', atau terlambat menerimanya. Jadi, Riba ialah tambahan atas modal, baik
penambahan itu sedikit maupun banyak secara ilegal. Ahmad Salaim Mahfud
berpendapat adanya penambahan terhadap jumlah pokok utang sebagai imbalan
atas perpanjangan batas waktu pembayaran yang telah diberikan/imbalan atas
penangguhan utang. Abu Sura'i Abdul Hadi dalam pembahasannya mengenai
riba menjelaskan bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat dalam pendefinisian
riba. Sesuai dengan pengertian masing-masing menurut sebab
penetapan haramnya.1
Ulama golongan mazhab Hanafi mendefinisikan riba sebagai setiap
kelebihan tanpa adanya imbalan pembeli dan penjual di dalam tukar-menukar.
Menurut golongan imam Syafi'i, riba ialah transaksi dengan imbalan tertentu
yang tidak diketahui takaran kesamaannya maupun ukuran waktu dilakukan
transaksi atau dengan penundaan waktu penyerahan kedua barang yang
dipertukarkan atau salah satunya. Kesamaan takaran atau ukuran adalah pada
barang sejenis, sedang penundaan waktu penyerahan boleh jadi harga di salah
satu barang itu telah berubah sifat riba. Sebab larangan ini berlakunya pada
barang makanan sekalipun barang tersebut pengukurannya menggunakan

1 Abd Shomad, HUKUM ISLAM PENORMAAN PRINSIP SYARIAH DALAM HUKUM


ISLAM, ed. revisi. (Jakarta: Kencana, 20117), 94.

3
takaran atau timbangan dan dilakukan tidak secara tunai. Menurut golongan
Maliki definisinya hampir sama dengan definisi golongan Syafi'i hanya berbeda
pada illat- nya, yakni pada transaksi tidak kontan pada bahan makanan yang
tidak tahan lama. Sedang menurut golongan Hambali, riba adalah tambahan
yang diberikan pada barang tertentu, yakni barang yang ditukar atau ditunda
dengan jumlah yang berbeda. Ada pula definisi tentang riba ini pada golongan
Hambali, yaitu kelebihan pertukaran barang tertentu dan penyerahannya
bertempo pada barang-barang yang bisa ditimbang atau ditukar. Abu Sura'i
Abdul Hadi menyimpulkan yang dinamakan riba adalah tambahan yang
diberikan oleh debitur kepada kreditur atas pinjaman pokoknya, sebagai
imbalan tempo pembayaran yang tidak disyaratkan. Riba pada dasarnya adalah
bunga atas tambahan bagi pinjaman pokok.2
Istilah lain yang dibuat para ulama yang menunjuk kata riba adalah
bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berutang (debitur) kepada
orang yang berpiutang (kreditur), sebagai imbalan untuk menggunakan
sejumlah uang milik kreditur dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. 3

B. Dasar Hukum diHaramkannya Riba

Larangan melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat


dalam Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah SAW., Larangan riba dalam Al-Qur'an
diturunkan dalam empat tahap. 4

1. Tahap Pertama
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada
zhahir-nya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah.

2Ibid., 95.
3 Hariman Surya Siregar, Fikih Muamalah Teori Dan Implementasi, ed. Pipih Latifah
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2019), 65.
4 Shomad, HUKUM ISLAM PENORMAAN PRINSIP SYARIAH DALAM HUKUM ISLAM,

96–98.

4
ْ ‫ّللا ۚ َو َمْا ٰات َيتُمْ ِّم‬
‫ن‬ ْٰ ‫ل يَربُوا عنْ َْد‬ ْ َّ‫َو َماْ ٰات َيتُمْ ِّمنْ ِّربًْا لِّيَرب َُواْ فيْ اَم َوالْ الن‬
ْ َ َ‫اس ف‬
ٰٰۤ ُ
َْ ‫ول ِٕىكَْ هُ ُْم ال ُمضعفُو‬
‫ن‬ ْٰ َْ‫زَ ٰكوةْ تُريدُونَْ َوجه‬
‫ّللا فَا‬
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”. (QS. ar-Rum: 39).

Dalam ini tidak menunjukkan hukum riba secara jelas, dalam ayat
ini hanya dijelaskan bahwa Allah SWT. membenci riba dan di sisi Allah
tidak ada nilai pahalanya.

2. Tahap Kedua
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah
SWT. mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba.

‫عن‬
َ ‫ص ِد ِه ْم‬ ْ َّ‫طيِ َٰبَت أ ُ ِحل‬
َ ِ‫ت لَ ُه ْم َوب‬ َ ‫فَبِظُ ْلم ِمنَ ٱلَّذِينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم‬
ً ِ‫ّلل َكث‬
‫يرا‬ ِ َّ ‫سبِي ِل ٱ‬
َ
‫اس ِبٱ ْل َٰ َب ِط ِل ۚ َوأ َ ْعتَدْنَا‬
ِ َّ‫ع ْنهُ َوأ َ ْك ِل ِه ْم أ َ ْم َٰ َو َل ٱلن‬
َ ‫َوأ َ ْخ ِذ ِه ُم ٱ ِلر َب َٰوا َوقَدْ نُ ُهوا‬
َ ‫ِل ْل َٰ َك ِف ِرينَ ِم ْن ُه ْم‬
‫عذَابًا أ َ ِلي ًما‬
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih (QS, an-Nisa: 160-161).

5
Ayat ini mengisahkan orang-orang Yahudi yang menghalalkan riba,
akibat tindakannya kemudian mereka mendapat laknat, kutukan, dan murka
dari Allah SWT. Ayat ini baru memberi isyarat tentang hukum haramnya
riba. Belum menunjukkan secara jelas dan tegas tentang hukum haramnya
riba.

3. Tahap Ketiga
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu
tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa
pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena
yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman:

‫ّللا لَعَلَّكُ ْم‬


َ ٰ ‫ضعَافًا ُّمضَٰ عَفَةً ۖ َّواتَّقُوا‬ ِ ‫َٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ َٰا َمنُ ْوا َل ت َأْكُلُوا‬
ْ َ ‫الر َٰب ٓوا ا‬
َ‫ت ُ ْف ِل ُح ْو ۚن‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipatganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan" (QS. Ali-Imran: 130).
Ayat ini secara jelas menunjukkan hukum haramnya riba, akan
tetapi hanya bersifat parsial tidak bersifat umum, yaitu mengharamkan riba
fakhisy (riba yang bunganya berlipat ganda), sehingga peminjam tidak
sanggup membayar utang dengan bunga yang memberatkan. Inilah yang
terjadi zaman jahiliyah.

4. Tahap Terakhir
Tahap terakhir, Allah SWT. dengan jelas dan tegas mengharamkan
apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir
yang diturunkan menyangkut riba.

6
َْ ‫الر ٰبوا انْ كُنتُمْ ُّمؤمني‬
‫ن‬ ِّ َْ‫ي من‬ َْٰ ‫ن ٰا َمنُوا اتَّقُوا‬
َْ ‫ّللا َوذَ ُروا َمْا بَق‬ َْ ‫ٰياَيُّ َهْا الَّذي‬
ُْ ‫ن تُبت ُْم فَلَكُمْ ُر ُءو‬
‫س‬ ْ ‫ّللا َو َرسُولهْ َوا‬
ْٰ ‫ن‬َْ ‫فَانْ لَّمْ ت َفعَلُوا فَأذَنُوا ب َحربْ ِّم‬
َْ ‫ل تُظلَ ُمو‬
‫ن‬ َْ ْ‫اَم َوالكُم‬
َْ ‫ل ت َظل ُمونَْ َو‬
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa (yang belum dipungut) riba jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa th maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangim Dan, jika kamu bertobat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pakak hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya." (QS, al Baqarah: 278-279).
Dalam ayat-ayat ini jelas dan tegas mennjukkan tentang hukum
haramnya riba, bahkan dalam ayat ini mengancam siapa-siapa yang masih
melakukannya akan diperangi oleh Akkah dan Rasul-Nya. Jadi Riba
diharamkan dalam Al-Qur’an secara bertahap. Mulanya diturunkan Ayat
QS. Ar-Ruum: 39 yang berisi pendahuluan untuk pengharaman. Selanjutnya
dalam QS.: 161 diberikan peringatan pengharaman. Selanjutnya dalam QS.
Ali-Imran: 130 dilarang riba yang keji, yang bertambah sehingga menjadi
berlipat ganda. Setelah itu datanglah ayat pengharaman secara pasti dari riba
yakni QS. Al-Baqarah: 278.
Pelarangan Riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Quran
melainkan juga Al-Hadis. Hal ini sebagaimana posisi umum hadis yang
berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan
melalui Al-Quran, pelarangan riba dalam hadis lebih terperinci. 5
Menurut Abdullah Saeed riba yang diharamkan adalah riba nasî’ah,
sedangkan dalam bentuk aktivitas transaksi jual beli (fadl) sebagaimana
yang dikatakan Rasyid Ridha yang dikutip Abdullah Saeed bahwa larangan
jual beli terhadap dua jenis mata uang (emas dan perak) dan bahkan
makanan pokok, kecuali kalau berdasarkan transaksi kontan yang tetap

5 Siregar, Fikih Muamalah Teori Dan Implementasi, 77.

7
terjaga nilai tukarnya maka ini tidak merupakan riba yang diharamkan di
dalam Al-Quran juga tidak termasuk riba dalam transaksi jual beli.6
“Dari Jabir ra., “Rasulullah saw., mengutuk pemakan riba, wakilnya,
dan penulisnya, serta dua orang saksinya. Mereka itu semuanya sama-sama
dikutuk.” (H.R. Muslimdan dan al-Bukhari meriwayatkan hadis seperti itu
dari Abu Juhaifah)”.7
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Wawasil bin Abdul
‘Abul A’la, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibn Fudail, dari
bapaknya, dari Ibn Abi Nu’man, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah
saw., bersabda: “Emas dengan emas sama timbangan dan ukurannya, perak
dengan perak sama timbangan dan ukurannya. Barang siapa meminta
tambah maka termasuk riba.” (HR. Muslim). 8

C. Macam-macam dan Contoh Riba


Pendapat ulama fikih, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sura’i Abdul
Hadi (1993) riba dibagi menjadi dua macam, yaitu ribâ fadl dan riba an-
nasî’ah.9

1. Riba fadl
adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh para
ulama fikih dengan ”kelebihan pada salah satu harta sejenis yang
diperjualbelikan dengan ukuran syara’, yang dimaksud dengan ukuran
syara’ adalah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya, satu kilogram
beras dijual dengan satu seperempat kilogram. Kelebihan ¼ kg tersebut
disebut ribâ fadl. Jual beli semacam ini disebut dengan barter.

6 Ibid.
7 Sulaemang L, “HUKUM RIBA DALAM PERSPEKTIF HADIS JABIR Ra.,” Jurnal Al-
’Adl Vol. 8 (2015): 158.
8 Ibid., 159.
9 Siregar, Fikih Muamalah Teori Dan Implementasi, 68.

8
Jenis ini lebih lazim terjadi pada perdagangan dalam bentuk barter.
Misalnya emas dengan emas maupun beras dengan beras.10

2. Riba an-nasî-ah
adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang berutang kepada
pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila waktu
tempo telah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup membayar
utang dan kelebihannya, maka waktu bisa diperpanjang dan utangnya
pun bertambah.
Misalnya, seseorang yang meminjam uang kepada orang lain
sebesar Rp 1.000.000,-, kemudian,dikembalikan sewaktu jatuh tempo
Rp 1.150.000,-, jika tidakdikembalikan juga sesuai waktu yang
disepakati untuk dikembalikan, maka dikenakan tambahan Rp
1.300.000,-, jumlah kenaikan/tambahan selain Rp 1.000.000,- itu adalah
riba. Riba ini diharamkan karena justru dapat menimbulkan kemelaratan
yang besar kepaada orang lain walaupun di awal tampak seolah-olah
suatu pertolongan.11

Sehubungan dengan dua macam jenis riba tersebut, para ulama fikih
berbeda pendapat. Menurut ulama mazhab Hanafi dalam salah satu riwayat
imam Ahmad bin Hanbal, ribâ fadl ini hanya berlaku dalam timbangan atau
takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta, maka kelebihan yang
terjadi tidak termasuk ribâ fadl.12
Sementara itu, mazhab Maliki dan Syafi’i berpendirian bahwa ‘illat
keharaman ribâ fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya
merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk. Intinya
apa pun bentuk emas dan perak apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan

10Nurhayati and Ali Imran Sinaga, FIQH DAN USHUL FIQH, ed. Habibie (Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP, 2018), 168.
11 Ibid.
12 Siregar, Fikih Muamalah Teori Dan Implementasi, 68–69.

9
dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Pelarangan ribâ
an-nasîah mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan positif atas
uang yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena
menanti, pada dasarnya tidak diizinkan syariah, intinya penetapan keuntungan
positif di muka yang menurut syariah pembayaran kembali pinjaman tidak
dengan sendirinya menghasilkan justifikasi atas keuntungan positif dimaksud. 13
Hakikat larangan tersebut tegas, mutlak dan tidak mengandung
perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu sekadar
pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil, meskipun
kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman, sebagai tambahan
dari uang pokok. Meskipun demikian, jika pengembalian pinjaman pokok dapat
bersifat positif atau negatif bergantung pada hasil akhir suatu bisnis, yang tidak
diketahui terlebih dahulu. Ini diperbolehkan asal ditanggung bersama menurut
prinsip-prinsip keadilan yang ditetapkan dalam syariah.14
Larangan ribâ al-fadl dengan demikian dimaksudkan untuk
meyakinkan adanya keadilan dan menghilangkan semua bentuk eksploitasi
melalui tukar-menukar barang yang tidak adil serta menutup semua pintu
belakang bagi riba, karena dalam syariat Islam segala sesuatu yang menjadi
sarana bagi terjadinya pelanggaran juga termasuk pelanggaran itu sendiri. Nabi
Saw. menyamakan riba dengan menipu orang bodoh agar membeli barangnya
dan menerangkan sistem ijon secara sia-sia dengan bantuan agen. Hal ini
mengandung arti bahwa tambahan uang yang diperoleh dengan cara eksploitasi
dan penipuan seperti itu tidak lain kecuali riba al-fadl.15
Adapun yang dimaksud dengan jenis barang ribawi menurut para ahli
fikih Islam, meliputi:16
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk
lainnya;

13 Ibid., 69.
14 Ibid.
15 Ibid., 69–70.
16 Ibid., 70.

10
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan
makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Menurut M. Umer Chapra, istilah nasîah berasal dari akar kata nasa-a
yang artinya menunda, menangguhkan atau menunggu dan merujuk pada waktu
yang diberikan kepada peminjam dengan imbalan berupa tambahan atau
premium. Mengenai ribâ al-fadl menurut M. Umer Chapra diharamkan untuk
menghilangkan eksploitasi melalui pertukaran yang “tidak adil” dan menutup
semua pintu bagi riba. Khalifah Umar bin Khattab bahkan mengingatkan:
“bukan saja jauhkan riba, tetapi juga jauhkan riba (yang diragukan atau yang
dicurigai).17
Selanjutnya, Muhammad Syafi’i Antonio mengelompokkan riba
menjadi dua, yakni riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama
terbagi lagi menjadi riba qardh (suatu manfaat atau kelebihan tertentu yang
disyaratkan kepada yang berutang/muqtaridh) dan riba jahiliyah (utang dibayar
lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada
waktu yang ditetapkan). Adapun kelompok yang kedua, riba jual beli, terbagi
menjadi riba fadhl (pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang
ribawi) dan riba nasîah (penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya). Riba
diharamkan karena merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. 18

3. Riba Yad
Riba yad yaitu jual beli dengan menunda penyerahan kedua barang
atau menyerahkan salah satu barang tapi tanpa menyebutkan waktu
penangguhan. Maksudnya, akad jual beli dua barang tidak sejenis,
seperti gandum dengan jelai, tanpa penyerahan barang di majelis akad.
Jenis riba ini masuk dalam definisi riba nasiah.19

17Ibid.
18Ibid., 71.
19 Wahbah Az-Zuhaili, FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU, jilid 5. (Depok: GEMA

INSANI, 2007), 311.

11
Menurut ulama Syafi’iah, baik riba yad maupun riba nasiah tidak
munngkin terjadi kecuali pada dua barang yang berlainan jenis.
Perbedaannya adalah bahwa riba yad terjadi ketika terdapat penundaan
penyerahan. Sedangkan riba nasiah terjadi ketika terdapat penangguhan
penyerahan dalam batasan waktu tertentu yang disebutkan dalam akad
meskipun waktu tersebut tidak panjang. 20
Riba Yad; yaitu berpisah sebelum timbang terima. Orang yang
membeli sesuatu barang, sebelum ia menerima barang yang dibeli dari
si penjual, tidak boleh menjualnya kepada siapapun, sebab barang yang
dibeli dan belum diterima masih dalam ikatan jual beli yang pertama,
belum menjadi milik yang sebenarnya bagi pembeli/si pemilik.21

4. Riba Qardhi
Riba qardli; yaitu meminjam dengan syarat keuntungan bagi yang
mempiutangi (qardli = pinjam). Seperti seorang berutang Rp.1.000,
dengan perjanjian akan dibayar kelak Rp.1.100, 22

Dari beberapa macam riba tersebut diatas, mulai dari proses penukaran
barang dan sejenisnya, penjualan dengan cara mengukur, menimbang, meliter,
peminjaman, tukar menukar barang, kalau ada kelebihan harga dengan cara menipu
dan meminta tambahan yang mengakibatkan kerugian salah seorang diantaranya,
maka inilah riba sebaiknya dijauhi karena hukumnya seluruh agama mengharamkan
perbuatan tersebut, apa lagi Islam lebih-lebih mengharamkannya, demi untuk
keselamatan umatnya di dunia dan di akhirat.

20 Ibid., 312.
21 L, “HUKUM RIBA DALAM PERSPEKTIF HADIS JABIR Ra.,” 162.
22 Ibid.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Riba ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit maupun banyak
secara ilegal. Istilah lain yang dibuat para ulama yang menunjuk kata riba
adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berutang (debitur)
kepada orang yang berpiutang (kreditur), sebagai imbalan untuk menggunakan
sejumlah uang milik kreditur dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
2. Larangan melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surat dalam Al-
Qur'an dan Hadits Rasulullah SAW., Larangan riba dalam Al-Qur'an
diturunkan dalam empat tahap, tahap pertama QS. ar-Rum: 39, tahap kedua
QS, an-Nisa: 160-161, tahap ketiga QS. Ali-Imran: 130 dan tahap terakhir QS,
al Baqarah: 278-279. Pelarangan Riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada
Al-Quran melainkan juga Al-Hadis. Hal ini sebagaimana posisi umum hadis
yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan
melalui Al-Quran, pelarangan riba dalam hadis lebih terperinci.
3. Riba terbagi atas 4 macam yaitu:
a) Riba fadl
Adalah riba yang berlaku dalam jual beli yang didefinisikan oleh
para ulama fikih dengan ”kelebihan pada salah satu harta sejenis yang
diperjualbelikan dengan ukuran syara’, yang dimaksud dengan ukuran
syara’ adalah timbangan atau ukuran tertentu. Misalnya, satu kilogram
beras dijual dengan satu seperempat kilogram. Kelebihan ¼ kg tersebut
disebut ribâ fadl. Jual beli semacam ini disebut dengan barter.
b) Riba an-nasî-ah
adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang berutang kepada
pemilik modal ketika waktu yang disepakati jatuh tempo. Apabila
waktu tempo telah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup
membayar utang dan kelebihannya, maka waktu bisa diperpanjang dan
utangnya pun bertambah.

13
c) Riba yad
Riba yad yaitu jual beli dengan menunda penyerahan kedua barang
atau menyerahkan salah satu barang tapi tanpa menyebutkan waktu
penangguhan.
d) Riba qardhi
Riba qardli; yaitu meminjam dengan syarat keuntungan bagi yang
mempiutangi (qardli = pinjam). Seperti seorang berutang Rp.1.000,
dengan perjanjian akan dibayar kelak Rp.1.100
B. Saran
Demikianlah yang dapat kami paparkan dalam makalah Fikih
Muamalat yang berjudul “Riba” ini. Dengan makalah ini kami sangat berharap
agar kita semua dapat lebih menumbuhkan rasa ingin tahu mengenai Riba ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, maka kami dengan rendah hati meminta kritik dan saran yang
membangun untuk evaluasi kami. Semoga kedepannya makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.

14
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU. Jilid 5. Depok: GEMA


INSANI, 2007.

L, Sulaemang. “HUKUM RIBA DALAM PERSPEKTIF HADIS JABIR Ra.”


Jurnal Al-’Adl Vol. 8 (2015).

Nurhayati, and Ali Imran Sinaga. FIQH DAN USHUL FIQH. Edited by Habibie.
Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP, 2018.

Shomad, Abd. HUKUM ISLAM PENORMAAN PRINSIP SYARIAH DALAM


HUKUM ISLAM. Ed. revisi. Jakarta: Kencana, 20117.

Siregar, Hariman Surya. Fikih Muamalah Teori Dan Implementasi. Edited by Pipih
Latifah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2019.

15

Anda mungkin juga menyukai