Disusun oleh : Kelompok 7 Kronologi singkat: Tahun 2017 aset-aset berupa sertifikat tanah hilang. Tahun 2019 tepatnya tanggal 12 November pemilik aset tersebut meninggal. Tahun 2020 baru dilakukan penyidikan dan 2021 melayangkan laporan dengan tuduhan pemalsuan aset. Objek : 1. 6 sertifikat tanah yang hilang 2. Frozen food Subjek badan hukum : 1. BPN 2. Bank 3. Pihak-pihak terkait Subjek pelapor : Nirina Zubir dan Fadlan anak dari yang mempunyai 6 sertifikat tanah tersebut yakni Cut Indria Marzuki Subjek penyidik : 1. Kasubdit Harta dan Benda AKBP Petrus Silalahi 2. Deriskrimum Polda Etro Jaya Kombespol Tubagus Ade Hidayat 3. Kabid Humas Polda Metro Jaya Brigjen Yusri Yunus Subjek pelaku : 1. Pelaku 2. Notaris Pelaku : 1. Riri Kasmita mantan ART dan suaminya Endriyanto 2. Farida (Notaris Tangerang) 3. Ina Rosaina 4. Erwin Ridwan Analisa : Dalam kasus ini, 6 lembar sertifikat tanah tersebut hilang, Riri Khasmita atau mantan ART Nirina Zubir dipercaya untuk mengurus sertifikat tanah yang hilang tersebut. Namun kejanggalan terjadi karena pengurusan tersebut tak kunjung usai dan berlarut-larut. Riri mengatakan bahwa hal tersebut masih ditangani oleh notarisnya yakni Faridah. Namun semua itu hanyalah karangan Riri semata. Lama tidak ada kejelasan dari Riri soal sertifikat itu, Fadlan mendatangi kantor BPN Jakarta Barat pada November 2020. Di sana, dia mendapati enam sertifikat tanah ibunya sudah beralih kepemilikan atas nama Riri dan suaminya, Endrianto, dengan dasar Akta PJB dan Akta Kuasa Menjual yang dibuat dan ditandatangani oleh Faridah. Akta tersebut diduga ditulis, ditandatangani dan dipalsukan oleh notaris Faridah, karena Cut Indria tidak pernah memberikan kuasa jual. Selain itu, akta tersebut telah disahkan oleh dua Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Jakarta Barat, Ina Rosaina dan Erwin Ridwan. Setelah beralih nama, Riri menjual tiga sertifikat tanah milik keluarga Nirina Zubir. Sementara sertifikat lain yang belum dijual, diagunkan ke bank BCA dan BRI dengan nilai Rp 5 miliar, Rp 1,2 miliar, dan Rp 1,2 miliar lagi. Keluarga Nirina Zubir lantas melaporkan masalah ini ke Polda Metro Jaya. Riri, Endrianto, Faridah, Ina dan Erwin ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 263 dan atau Pasal 264 dan atau Pasal 266 dan atau Pasal 372 KUHP dan atau Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Dalam perkara ini jelas ada kaitannya dengan mafia tanah yang merupakan modus dari oknum yang ada di Kementerian ATR/BPN, yang juga bekerja sama dengan mafia tanah, beberapa modus operandi mafia tanah di Indonesia antara lain melakukan pemalsuan dokumen seperti kasus ini, pendudukan ilegal atau tanpa hak, mencari legalitas di pengendalian, rekayasa perkara, kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, kejahatan korporasi, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah, serta hilangnya warkah tanah. Dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yakni Pasal 37, di mana setiap pengurusan balik nama sertifikat tanah harus melalui PPAT. Agar transaksi jual beli tanah dilegalkan negara, harus terlebih dulu mengurus Akta Jual Beli atau AJB. Akta ini adalah dokumen resmi yang menjadi bukti sah telah terjadi peralihan hak atas tanah dari penjual ke pembeli. Kantor PPAT selanjutnya akan memeriksa kesesuaian data yuridis dan data teknis sertifikat tanah pemilik tanah lama dengan data pertanahan yang ada di buku tanah di Kantor Pertanahan (BPN). Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari sengketa lahan atau jual beli yang tidak sah. Beberapa dokumen lain yang harus dibawa penjual dan pembeli tanah antara lain KTP, Kartu Keluarga, NPWP, dan surat nikah. Namun dalam kasus ini terjadi penyelewengan hukum yang dilakukan notaris yakni terkait dengan pemalsuan dokumen. Dalam kode etik PPAT terdapat hak, kewajiban dan larangan-larangan yang dimiliki PPAT. Selain itu, terdapat berbagai sanksi yang ditetapkan bagi PPAT sesuai Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan PPAT yaitu teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Sesuai KUHAP dan UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris jelas diatur yakni APABILA PPAT bertentangan dengan UU tersebut dan merugikan masyarakat. Dalam UU No.2 Tahun 2014 Pasal 17 ayat 2 Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi berupa: a. peringatan tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian dengan hormat; atau d. pemberhentian dengan tidak hormat. Serta yang lain-lain tentang ketentuan pidana juga diatur dalam pasl 52 UUPA.