Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan
dan Anak
Dosen Pengampu :
Dra, Hj, Siti Dalilah Candrawati, M. Ag
Disusun Oleh :
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang perempuan dan anak tidak akan pernah ada habisnya sepanjang masa.
Karena, perempuan dan anak memiliki banyak persoalan yang masih belum terselesaikan,
selagi permasalahan tentang perempuan dan anak masih ada. Dimasa sekarang ini
pembahasan mengenai perempuan dan anak semakin bermunculan dan juga semakin
beragam. Mualai dari permasalah permasalahan yang umum hingga permasalahan yang
spesifik.
Dekade ini kia semakin banyak melihat perempuan perempuan yang tidak lagi menjadi
seorang ibu rumah tangga melainkan lebih memilih untuk bekerja mencukupi kebutuhan
rumah, entah itu menjadi guru,seorang pegawai negeri sipil, ada yang membuka usaha,
menjadi buruh dan masih banyak lagi yang lain. Para perempuan tersebut memiliki alas an
tersendiri Ketika ditanya mengapa lebih memilih bekerja, ada yang beralasan memang ingin
bekerja, ingin mandiri, ada yang karena sudah tidak memiliki sauami hingga desakan
kebutuhan ekonomi yang membuat mereka terpaksa bekareja. Apalagi masa sekarang untuk
mengahadapi masa pandemic ini yang mengaharuskan mereka bekerja untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi.
Dalam melakukan pekerjaan tersebut terkadang terdapat deskriminasi atau perbuatan yang
tidak adil ataupun kekerasan yang terjadi hanya karena mereka adlah perempuan. Maka dari
iitu dalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang perlindungan terhadap
perempuan yang bekerja.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pekerja atau buruh ?
2. Bagaiman perlindungan hukum terhadap perempuan pekerja ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian pekerja atau buruh.
2. Agar mengerti bagaimana perlindungan pemerintah terhadap perepuan pekrja.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003), hlm 13
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia
3
Abdul Rahmad Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT.Indeks, Cetakan ke-I, 2009), hlm 5
4
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cetakan ke-II, 2001), hlm 22
5
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1
Dijelaskan dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatakan orang
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu
telah kawin. Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah.
Seandainya seorang anak telah menikah sebelum umur 21 tahun kemudian bercerai atau
ditinggal mati oleh suaminya sebelum genap umur 21 tahun, maka ia tetap dianggap sebagai
orang yang telah dewasa bukan anak-anak.6 Akan tetapi Pengertian tersebut berbeda dengan
pengertian yang terdapat pada UndangUndang Nomor 4 tahun 1979 dimana menyebutkan
bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin.7
Pengertian pekerja anak adalah anak-anak yang berusia 4 hingga 18 tahun yang bekerja
diberbagai bidang pekerjaan yang berkelanjutan dan menyita hampir seluruh waktu mereka
sebagai anak sehingga tidak dapat bersekolah seperti anak-anak lainnya secara normal. 8
Adapun definisi lain dari pekerja Anak adalah adalah anak yang bekerja pada semua jenis
pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental, intelektual dan moral
(menurut ILO/ IPEC). Konsep pekerja anak didasarkan pada Konvensi ILO Nomor 138
mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang menggambarkan definisi
internasional yang paling komprehensif tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja,
mengacu secara tidak langsung pada “kegiatan ekonomi”. Konvensi ILO menetapkan kisaran
usia minimum di bawah ini dimana anak-anak tidak boleh bekerja. Usia minimum menurut
Konvensi ILO Nomor 138 untuk negara-negara dimana perekonomian dan fasilitas
pendidikan kurang berkembang adalah semua anak berusia 5 – 11 tahun yang melakukan
kegiatan-kegiatan ekonomi adalah pekerja anak sehingga perlu dihapuskan. Anak-anak usia
12 – 14 tahun yang bekerja dianggap sebagai pekerja anak, kecuali jika mereka melakukan
tugas ringan.
50, https://journal.unhas.ac.id/index.php/government/article/view/8025.
menunjukkan bahwa pekerja perempuan cenderung lebih pasif dan lebih menerima keputusan
perusahaan yang terkait dengan pengurangan pegawai dan pengurangan jam kerja. Kasus
perlawanan pekerja umumnya dimotori oleh para pekerja pria.10
Adapun perlindungan hukum yang diterima oleh Pekerja Perempuan dengan hal sebagai
berikut: Hak untuk diperlakukan sama dengan pekerja laki-laki, hal ini terdapat pada Pasal 6
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan “Setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Ketentuan di
perjelas pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia
kerja; Hak untuk mendapatkan cuti hamil dan melahirkan Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 82 mengatur hak cuti hamil dan melahirkan bagi
perempuan. Pekerja perempuan berhak istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5
bulan setelah melahirkan. Namun untuk hak ini, keluarga pekerja yang bersangkutan wajib
memberi kabar ke perusahaan tentang kelahiran anaknya dalam tujuh hari setelah melahirkan
serta wajib memberikan bukti akta kelahiran kepada perusahaan dalam enam bulan setelah
melahirkan; Hak untuk menyusui, bahwa pekerja yang menyusui minimal diberi waktu untuk
menyusui atau memompa ASI pada waktu jam kerja, diterangkan pada Pasal 83 Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Hak cuti keguguran Pekerja yang
mengalami keguguran, dalam Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 2 UndangUndang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan memiliki hak cuti melahirkan selama 1,5 bulan
dengan disertai surat keterangan dokter kandungan.11
Kesimpulan
10 Nadiatus Salama, “Suara Sunyi Pekerja Pabrik Perempuan,” Sawwa: Jurnal Studi Gender 7, no. 2 (30 April 2012),
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/sawwa/article/view/648.
2. Perlindungan hukum tenaga kerja perempuan dan anak, dijelaskan dalam Pasal 330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi,
orang yang belum menikah dan belum berumur 21 tahun maka disebut dengan anak.
tetapi, jika anak yang sebelum umur 21 tahun sudah menikah dan ditinggal meninggal
atau diceraikan oleh suami nya sebelum umurnya genap 21 tahun, maka disebut
sebagai orang yang telah dewasa dan bukan anak-anak. menurut Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 angka 7 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
menyebutkan bahwa eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban
yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan
fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentrasplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil.
Daftar Pustaka
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003)
Abdul Rahmad Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT.Indeks, Cetakan ke-I, 2009)
Kamus besar Bahasa Indonesia
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cetakan ke-II, 2001)
Muhammad Saifur Rohman, Makalah Pekerja Anak, (Probolinggo: Universitas Panca Marga, 2013)
Primahaditya Putra Bintang Adi Pradana, “Perlindungan Hukum Pekerja Wanita Dan Anak,”
GOVERNMENT : Jurnal Ilmu Pemerintahan 11, no. 1 (2018): 48–50,
https://journal.unhas.ac.id/index.php/government/article/view/8025.
Nadiatus Salama, “Suara Sunyi Pekerja Pabrik Perempuan,” Sawwa: Jurnal Studi Gender 7,
no. 2 (30 April 2012), https://journal.walisongo.ac.id/index.php/sawwa/article/view/648.
Pradana, “Perlindungan Hukum Pekerja Wanita Dan Anak.”