Anda di halaman 1dari 9

Pekerja Perempuan dan Anak di Pabrik

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perlindungan Perempuan
dan Anak

Dosen Pengampu :
Dra, Hj, Siti Dalilah Candrawati, M. Ag

Disusun Oleh :

1. Anggi Marseliana (C01219009)


2. Muhammad Cholil Muzaki (C01219030)
3. Muhammad Dhiyaulhaq S R (C01219031)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan tentang perempuan dan anak tidak akan pernah ada habisnya sepanjang masa.
Karena, perempuan dan anak memiliki banyak persoalan yang masih belum terselesaikan,
selagi permasalahan tentang perempuan dan anak masih ada. Dimasa sekarang ini
pembahasan mengenai perempuan dan anak semakin bermunculan dan juga semakin
beragam. Mualai dari permasalah permasalahan yang umum hingga permasalahan yang
spesifik.
Dekade ini kia semakin banyak melihat perempuan perempuan yang tidak lagi menjadi
seorang ibu rumah tangga melainkan lebih memilih untuk bekerja mencukupi kebutuhan
rumah, entah itu menjadi guru,seorang pegawai negeri sipil, ada yang membuka usaha,
menjadi buruh dan masih banyak lagi yang lain. Para perempuan tersebut memiliki alas an
tersendiri Ketika ditanya mengapa lebih memilih bekerja, ada yang beralasan memang ingin
bekerja, ingin mandiri, ada yang karena sudah tidak memiliki sauami hingga desakan
kebutuhan ekonomi yang membuat mereka terpaksa bekareja. Apalagi masa sekarang untuk
mengahadapi masa pandemic ini yang mengaharuskan mereka bekerja untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi.
Dalam melakukan pekerjaan tersebut terkadang terdapat deskriminasi atau perbuatan yang
tidak adil ataupun kekerasan yang terjadi hanya karena mereka adlah perempuan. Maka dari
iitu dalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang perlindungan terhadap
perempuan yang bekerja.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pekerja atau buruh ?
2. Bagaiman perlindungan hukum terhadap perempuan pekerja ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian pekerja atau buruh.
2. Agar mengerti bagaimana perlindungan pemerintah terhadap perepuan pekrja.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pekerja atau Buruh


Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 3 Tentang
Ketenagakerjaan, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Menururt Maimun, Pekerja adalah setiap orang bekerja dengan
menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain.1 Dalam definisi tersebut terdapat dua unsur
yaitu orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan
mendapat upah. Sedangkan karyawan adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor,
perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji (upah).2 Sedangkan pengertian menurut
Abdul Rahmad Budiono, Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Dengan dipadankannya istilah pekerja dengan buruh merupakan
kompromi setelah dalam kurun waktu yang amat panjang dua istilah tersebut bertarung untuk
dapat diterima oleh masyarakat.3
Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk
diganti dengan istilah pekerja, karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa,
buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah
pihak lain yakni majikan. Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.4
Sedangkan pengertian anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1
angka 26 yang menyebutkan bahwa pengertian anak adalah setiap orang yang berumur di
bawah 18 (delapan belas) tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1
angka 1 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.5

1
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003), hlm 13
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia
3
Abdul Rahmad Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT.Indeks, Cetakan ke-I, 2009), hlm 5
4
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cetakan ke-II, 2001), hlm 22
5
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1
Dijelaskan dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatakan orang
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu
telah kawin. Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah.
Seandainya seorang anak telah menikah sebelum umur 21 tahun kemudian bercerai atau
ditinggal mati oleh suaminya sebelum genap umur 21 tahun, maka ia tetap dianggap sebagai
orang yang telah dewasa bukan anak-anak.6 Akan tetapi Pengertian tersebut berbeda dengan
pengertian yang terdapat pada UndangUndang Nomor 4 tahun 1979 dimana menyebutkan
bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin.7
Pengertian pekerja anak adalah anak-anak yang berusia 4 hingga 18 tahun yang bekerja
diberbagai bidang pekerjaan yang berkelanjutan dan menyita hampir seluruh waktu mereka
sebagai anak sehingga tidak dapat bersekolah seperti anak-anak lainnya secara normal. 8
Adapun definisi lain dari pekerja Anak adalah adalah anak yang bekerja pada semua jenis
pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu fisik, mental, intelektual dan moral
(menurut ILO/ IPEC). Konsep pekerja anak didasarkan pada Konvensi ILO Nomor 138
mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang menggambarkan definisi
internasional yang paling komprehensif tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja,
mengacu secara tidak langsung pada “kegiatan ekonomi”. Konvensi ILO menetapkan kisaran
usia minimum di bawah ini dimana anak-anak tidak boleh bekerja. Usia minimum menurut
Konvensi ILO Nomor 138 untuk negara-negara dimana perekonomian dan fasilitas
pendidikan kurang berkembang adalah semua anak berusia 5 – 11 tahun yang melakukan
kegiatan-kegiatan ekonomi adalah pekerja anak sehingga perlu dihapuskan. Anak-anak usia
12 – 14 tahun yang bekerja dianggap sebagai pekerja anak, kecuali jika mereka melakukan
tugas ringan.

B. Perlindungan Hukum bagi Pekerja Perempuan


Perlindungan hukum tenaga kerja perempuan dan anak, dijelaskan dalam Pasal 330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan orang belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi, orang yang belum
6
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
2002), hlm 90
7
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1
8
Muhammad Saifur Rohman, Makalah Pekerja Anak, (Probolinggo: Universitas Panca Marga, 2013),
hlm 6
menikah dan belum berumur 21 tahun maka disebut dengan anak. tetapi, jika anak yang
sebelum umur 21 tahun sudah menikah dan ditinggal meninggal atau diceraikan oleh suami
nya sebelum umurnya genap 21 tahun, maka disebut sebagai orang yang telah dewasa dan
bukan anak-anak. menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 angka 7 Tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan bahwa eksploitasi adalah tindakan dengan
atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentrasplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Di Indonesia sendiri banyak terdapat kasus eksploitasi anak dan adapun macam-macam
tindak eksploitasi anak. Seperti eksploitasi fisik yang penyalahgunaan tenaga anak untuk
dipekerjakan dem keuntungan orang tuanya atau orang lain seperti menyuruh anak bekerja
dan menjuruskan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya belum dijalaninya. Dalam
hal ini, anak-anak dipaksa bekerja menggunakan segenap tenaganya dan juga mengancam
jiwanya. Karena itu banyak anak yang mengalami cedera fisik yang bisa diakibatkan oleh
pukulan, cambukan, luka bakar, lecet dan goresan, atau memar dengan berbagai tingkat
penyembuhan, fraktur, luka pada mulut, bibir, rahang, dan mata.
Sedangkan eksploitasi sosial ialah segala sesuatu yang dapat menyebabkan terhambatnya
perkembangan emosional anak. hal ini dapat berupa kata-kata yang mengancam atau menaku-
nakuti anak, penghinaan anak, penolakan anak, menarik diri atau menghindari anak, tidak
memperdulikan perasaan anak, perilaku negatif pada anak, mengeluarkan kata-kata yang tidak
baik untuk perkembangan emosi anak, memberikan hukuman yang ekstrim pada anak seperti
memasukkan anak pada kamar mandi, dan mengikat anak.
Ketentuan tenaga kerja anak diatur mulai dari Pasal 68 sampai Pasal 75 dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja, dimana dasar ketentuan perusahaan
dilarang mempekerjakan anak, tetapi terdapat pengecualiaan dalam UU Ketenagakerjaan yang
mengatur tentang hak-hak bagi pekerja anak.
Pekerjaan anak di perusahaan terdapat syarat, mendapat persetujuan wali anak, perjanjian
kerja yang disepakati oleh orang tua anak, dan waktu maksimal 3 jam per hari, pekerja anak
bekerja untuk oengembangan bakatnya, pekerjaan yang diberikan langsung diawasi oleh
orang tua, tidak mempengaruhi jam belajar dan waktu kerja paling lama 3 jam per hari, dan
lingkungan kerja tidak mengganggu pertumbuhan mental anak dan sosial, pekerja anak
dipekerjakan bersama buruh dewasa, menurut porsi kerjanya sangat berbeda dengan buruh
dewasa sehingga harus di pisahkan antara buruh anak dengan buruh dewasa, maksud dari
situasi terburuk adalah pekerjaan yang sangat berat bisa diartikan sebagai budak atau lain
sebagainya, hal ini sangat tidak boleh dilakukan, dengan kata lain anak yang merupakan
generasi penerus bangsa sudah sewajarnya tidak diperbolehkan untuk dipekerjakan sebagai
budak.9
Pekerja perempuan merupakan kelompok yang paling menderita dari kebijakan ekonomi
dan politik pemerintah. Banyak peraturan yang sering merugikan hak-hak perempuan di
tempat kerja, terlebih pada kaum perempuan yang bekerja di industri manufaktur (garmen,
tekstil, elektronik dan miniman) yang acapkali terkena PHK secara sepihak. Para pekerja
pabrik yang sebagian besar perempuan yang status kerjanya sebagai pekerja tidak tetap,
mereka merupakan kelompok yang sangat rentan menjadi korban PHK (pemutusan hubungan
kerja).
Kondisi pekerja perempuan yang miskin serta sempitnya lapangan pekerjaan telah
memaksa pekerja perempuan untuk masuk ke sektor industri maupun jasa, termasuk pula
melakukan kegiatan ekonomi pada sektor informal, seperti berdagang kecil-kecilan dan
menjadi pembantu rumah tangga. Profesi yang demikian ini tetaplah sangat rentan dari sisi
perlindungan dan tingkat penghasilan. Meski demikian, mereka tidak punya pilihan. Mereka
akan tetap menjalaninya, meski sebenarnya ini merupakan pilihan terakhir karena menjadi
pekerja pabrik bukanlah cita-cita awal mereka. Setelah memasuki dunia kerja, banyak pekerja
perempuan yang mengalokasikan penghasilannya untuk membiaya kebutuhan keluarga di
tempat asal, terutama untuk biaya makan, kesehatan, dan pendidikan anak-anaknya atau adik-
adiknya atau bahkan orang tuanya. Hal ini mencerminkan kontribusi hidup keluarganya
dibandingkan dengan laki-laki.
Strategi lain yang bisa merugikan pekerja perempuan yang biasa dilakukan oleh beberapa
perusahaan dalam menghadapi krisis ekonomi adalah memindahkan sebagian proses
pekerjaan keluar dari pabrik. Hal lain yang merugikan pekerja perempuan adalah perusahaan
cenderung merekrut pekerja perempuan yang masih muda untuk mengganti pekerja
perempuan yang sudah tua. Sebagai pekerjaan yang dikategorikan tidak membutuhkan tenaga
terampil, jenis pekerjaan juga sangat spesifik, sederhana, dan repetitif, serta dapat dikuasai
secara cepat tanpa membutuhkan pelatihan secara mendalam, maka upah yang diberikan juga
tidak perlu tinggi dan perempuan (dengan mitos jari jemarinya yang halus) yang masih hijau
ini merupakan tenaga yang sangat tepat untuk melakukannya. Sementara itu, fakta lain
9 Primahaditya Putra Bintang Adi Pradana, “Perlindungan Hukum Pekerja Wanita Dan Anak,” GOVERNMENT : Jurnal Ilmu Pemerintahan 11, no. 1 (2018): 48–

50, https://journal.unhas.ac.id/index.php/government/article/view/8025.
menunjukkan bahwa pekerja perempuan cenderung lebih pasif dan lebih menerima keputusan
perusahaan yang terkait dengan pengurangan pegawai dan pengurangan jam kerja. Kasus
perlawanan pekerja umumnya dimotori oleh para pekerja pria.10
Adapun perlindungan hukum yang diterima oleh Pekerja Perempuan dengan hal sebagai
berikut: Hak untuk diperlakukan sama dengan pekerja laki-laki, hal ini terdapat pada Pasal 6
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan “Setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Ketentuan di
perjelas pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia
kerja; Hak untuk mendapatkan cuti hamil dan melahirkan Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 82 mengatur hak cuti hamil dan melahirkan bagi
perempuan. Pekerja perempuan berhak istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5
bulan setelah melahirkan. Namun untuk hak ini, keluarga pekerja yang bersangkutan wajib
memberi kabar ke perusahaan tentang kelahiran anaknya dalam tujuh hari setelah melahirkan
serta wajib memberikan bukti akta kelahiran kepada perusahaan dalam enam bulan setelah
melahirkan; Hak untuk menyusui, bahwa pekerja yang menyusui minimal diberi waktu untuk
menyusui atau memompa ASI pada waktu jam kerja, diterangkan pada Pasal 83 Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Hak cuti keguguran Pekerja yang
mengalami keguguran, dalam Hal ini diatur dalam pasal 82 ayat 2 UndangUndang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan memiliki hak cuti melahirkan selama 1,5 bulan
dengan disertai surat keterangan dokter kandungan.11

Kesimpulan

10 Nadiatus Salama, “Suara Sunyi Pekerja Pabrik Perempuan,” Sawwa: Jurnal Studi Gender 7, no. 2 (30 April 2012),

https://journal.walisongo.ac.id/index.php/sawwa/article/view/648.

11 Pradana, “Perlindungan Hukum Pekerja Wanita Dan Anak.”


1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 3 Tentang
Ketenagakerjaan, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Menururt Maimun, Pekerja adalah setiap orang
bekerja dengan menerima upah dan imbalan dalam bentuk lain. Dalam definisi
tersebut terdapat dua unsur yaitu orang yang bekerja dan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Buruh adalah orang yang
bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Sedangkan karyawan adalah orang
yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan
mendapat gaji (upah). Sedangkan pengertian menurut Abdul Rahmad Budiono, Buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Dengan dipadankannya istilah pekerja dengan buruh merupakan kompromi
setelah dalam kurun waktu yang amat panjang dua istilah tersebut bertarung untuk
dapat diterima oleh masyarakat.

2. Perlindungan hukum tenaga kerja perempuan dan anak, dijelaskan dalam Pasal 330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi,
orang yang belum menikah dan belum berumur 21 tahun maka disebut dengan anak.
tetapi, jika anak yang sebelum umur 21 tahun sudah menikah dan ditinggal meninggal
atau diceraikan oleh suami nya sebelum umurnya genap 21 tahun, maka disebut
sebagai orang yang telah dewasa dan bukan anak-anak. menurut Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 angka 7 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
menyebutkan bahwa eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban
yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan
fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentrasplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil.

Daftar Pustaka
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2003)
Abdul Rahmad Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT.Indeks, Cetakan ke-I, 2009)
Kamus besar Bahasa Indonesia
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cetakan ke-II, 2001)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1


Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita,
2002)
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1

Muhammad Saifur Rohman, Makalah Pekerja Anak, (Probolinggo: Universitas Panca Marga, 2013)
Primahaditya Putra Bintang Adi Pradana, “Perlindungan Hukum Pekerja Wanita Dan Anak,”
GOVERNMENT : Jurnal Ilmu Pemerintahan 11, no. 1 (2018): 48–50,
https://journal.unhas.ac.id/index.php/government/article/view/8025.
Nadiatus Salama, “Suara Sunyi Pekerja Pabrik Perempuan,” Sawwa: Jurnal Studi Gender 7,
no. 2 (30 April 2012), https://journal.walisongo.ac.id/index.php/sawwa/article/view/648.
Pradana, “Perlindungan Hukum Pekerja Wanita Dan Anak.”

Anda mungkin juga menyukai