BAB MUNAKAHAT
Kelompok 2:
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya dengan rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan karya ilmiah ini
dengan baik tepat pada waktunya.
BAB II PEMBAHASAN
A. RUKUN DAN SYARAT NIKAH…………………………
B. PERWALIAN DALAM NIKAH…………………………..
C. AL MUHARRAMAT (ORANG-ORANG YANG TIDAK BOLEH
DINIKAHI)…………………………………………………
D. PUTUS PERKAWINAN DAN AKIBAT-AKIBATNYA….
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
LAMPIRAN……………………………………………………………..
BIODATA PENYUSUN………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bab tentang munakahat adalah bab mengenai perkawinan, syarat-
syarat, rukun serta tata cara yang baik dan benar menurut syariat agama
Islam sesuai dengan Qur’an dan Hadits.
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
fiqih serta untuk memberikan informasi kepada pembaca.
C. Manfaat Penulisan
Dapat menambah wawasan serta mengetahui bab tentang munakahat,
rukun, syarat serta penjelasan mendalam tentang bab tersebut.
D. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN :
A. LATAR BELAKANG MASALAH
B. TUJUAN PENULISAN
C. MANFAAT PENULISAN
D. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB II PEMBAHASAN :
A. RUKUN DAN SYARAT NIKAH
B. PERWALIAN DALAM NIKAH
C. AL MUHARRAMAT (ORANG-ORANG YANG TIDAK BOLEH
DINIKAHI)
D. PUTUS PERKAWINAN DAN AKIBAT-AKIBATNYA
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA PENYUSUN
BAB II
PEMBAHASAN
1
Wahbah Az-Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu (Jakarta, 2011), P 38.
diwakilkan. Sedangkan saksi adalah merupakan syarat dalam akad nikah.
Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah yang
beredar dikalangan sebagian ahli fiqih.2
2
Wahbah Az-Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), P 45.
3
Menurut mazhab syafi’i, tidak ada akad yang disyaratkan menggunakan lafazh tertentu selain
nikah dan transaksi salam (pesanan), ini bukan pengulangan pernyataan sebelumnya bahwa akad
nikah hanya bisa sah dengan ijab dan qabul. Mengingat pernyataan pertama adalah tentang
syarat shighat, sedang pernyataan ini mengenai ketentuan syighat.
4
Ad. Duhur al-mukhtaar. 2/ 361-372 al-badaai’; 2/ 229 dan setelahnya, al- lubaab, 3/ 3,
mawaahibul jaliil, 3/ 419-423, asy-syarhul kabiir; 2/ 221, asy-syarhush ahagiir; 2/ 334 dan
setelahnya, al-qawaaniin al-fiqhiyyah, hlm. 195, mughnil muhtajj; 3 / 139, al-muhadzdzab; 2/ 41,
bidayatul mujtahid; 2/ 4, kasysyaaful qinaa’; 5/ 36.
Seandainya seorang wali berkata, “ saya kawinkan kamu,”
lalu si peminang menjawab, “saya terima,” tanpa tambahan kata
lain, menurut mazhab Syafi’i, nikahnya tidak sah. Sebab, tidak ada
pengungkapan salah satu dari kata “nikah” atau “kawin” secara
tegas. Hanya niat dalam hati saja tidak cukup.
5
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 598.
memberi atau sejenisnya. Yang menunjukan akan pemberian hak
milik di waktu sekarang dan kelanggengan hak milik seumur
hidup.
1. Objek cabang
2. Mengekalkan shighat akad
3. Persaksian
4. Ridha dan ikhtiyar (memilih)
5. Menentukan pasangan
6. Tidak sedang ihram haji dan umroh
7. Harus dengan mahar
8. Tidak bersepakat untuk saling merahasiakan
9. Hendaknya salah satu atau keduanya sedang mengidap penyakit
yang mengkhawatirkan
10. Wali7
6
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 456.
7
Wahbah Zuhaili, fiqih islam wa adilatuhu, (Jakarta, 2011), P 67.
B. PERWALIAN DALAM NIKAH
Jenis perwalian
Keberadaan wali adalah syarat sahnya pernikahan, sebagaimana
keberadaan saksi, nikah tidak sah tanpa wali laki-laki, mukallaf, merdeka,
muslim, adil, dan berakal sempurna. Namun, perkawinan kafir dzimmi
tidak butuh keislaman wali, dan orang islam tidak bisa menjadi wali
baginya, kecuali pemerintah. Pemerintah boleh menikahkan wanita-wanita
kafir dzimmi jika mereka tidak mempunyai wali senasab, sesuai ketentuan
perwalian yang berlaku.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, meski
dengan izin walinya. Dia juga tidak boleh menikahkan wanita lainnya,
meski ditunjuk sebagai wakil atau diberi kuasa oleh wali wanita tersebut.
Dia juga tidak boleh menerima (atau membaca qabul) atas pernyataan ijab
seseorang, demi menjaga tradisi yang baik dan melestarikan sikap malu.
Allah SWT berfirman, “laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan
(istri),” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)8
Para fuqoha telah bersepakat syarat bagi sahnya perkawinan adalah
dilaksanakannya oleh wali yang memegang hak memeliharanya, baik dia
lakukan sendiri maupun orang lain. Jika terdapat perwalian yang seperti
ini, maka sah dan terlaksana akad perkawinannya. Jika tidak ada maka
akadnya batal menurut jumhur, dan menurut madzhab Hanafi adalah
mauqud (terkantung). Jika akad berlangsung dari seseorang laki-laki
dengan pelaksanaan dari dirinya sendiri, maka sah akadnya menurut
kesepakatan fuqaha.9
8
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 108.
9
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 459.
10
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 46.
artinya. Ini dipertegas lagi dengan sabda Nabi SAW, ‘tidak ada nikah
kecuali dengan wali.11
Akan tetapi, seandainya wali dan hakim tidak ada, lalu si wanita
dan peminangnya menyerahkan perwalian kepada seorang pria yang
mampu berijtihad untuk menikahkan mereka, perwaliannya sah. Sebab
pria tersebut berposisi sebagai muhakkam, dan muhakkam itu sama
dengan hakim. Begitu pula, seandainya si wanita beserta peminangnya
mengangkat sendiri yang adil, menurut pendapat yang mukhtar, perwalian
ini sah, meskipun wali itu tidak bisa berijtihad. Alasannya karena
mempelai dalam kondisi sangat membutuhkan wali.
11
Diriwayatkan al-khamsah ( imam ahmad dan empat imam lain penyusun kitab sunan ), kecuali
an-nasa’i, dari abu musa al-asy’ari.; juga di riwayatkan ibnu hibban dan al-hakim, keduanya
mushahikannya, al-hakim berkata,” riwayat ini shahih, di riwayatkan dari para istri rasulullah,
aisyah, ummu salamah, dan zainab binti jahsyi, kemudian menyebar ke tiga puluh sahabat.’’
12
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 461.
Menurut madzhab Syafi’i Ada dua jenis perwalian, yaitu perwalian
yang memiliki hak memaksa ( wali ijbar ) dan perwalian sukarela (
ikhtiyar ) dan perwalian ( ijbar ) hanya dimiliki ayah dan kakek
saja. Artinya, seorang ayah boleh mengawinkan putrinya yang
perawan, masih kecil maupun sudah besar, berakal penuh maupun
kurang, tanpa seizin wanita tersebut. Namun iya dianjurkan
meminta izin putrinya. Seorang ayah tidak boleh menikahkan
putrinya yang janda dan baligh tanpa seijinnya.
Dalil penetapan perwalian ijbar bagi ayah adalah hadist riwayat ad-
Daruquthni, “wanita janda lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya; sedangkan perawan di nikahkan oleh ayahnya,” juga
riwayat muslim, “wanita perawan di pinangkan oleh
ayahnya.”riwayat ini di arahkan pada pemahaman bahwa
meminangkan wanita itu hukumnya sunah, dengan pertimbangan
wanita perawan itu sangat pemalu.
Dalil tidak adanya perwalian ijbar untuk ayah atas janda adalah
hadist ad-Daruquthni di depan, selain juga hadist,”janganlah kalian
menikahkan para janda sebelum kalian meminta saran kepada
mereka.”13 Di samping itu, seorang janda telah mengetahui tujuan
perkawinan, jadi dia tidak perlu di paksa, beda halnya degan
perawan.
2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena
itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum
sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan
suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum
bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak
berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar
dilangsungkannya akad nikah.
4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan
sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
16
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), P 493.
17
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 105.
18
Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157,
’Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99). Hal.570.
1. Ibu susu (nenek)
4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)
َاعة
َض َّ ات يُْر ِض ْع َن أ َْواَل َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ لِ َم ْن أ ََر َاد أَ ْن يُتِ َّم
َ الر
ِ
ُ …… َوالْ َوال َد
“Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. al-Baqarah :233)22
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Tidak menjadi
haram karena penyusuan, kecuali yang bisa membelah usus-usus di payudara
dan ini terjadi sebelum disapih.”23
19
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta, 2010), P 495.
20
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul Ma’bud
VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).
21
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048,
Tirmidzi II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100).
22
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 47.
23
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu24
1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan
(dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari
ibunya.”26
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
24
Wahbah Zuhaili, fiqih imam syafi’I, (Jakarta,2010), P 498.
25
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 105.
26
(Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz
yang sema’na dan Nasa’i VI:98).
27
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 106.
miliki. ’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa
iddahnya.28
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain
dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman,
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak
halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali
masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha.
Allah menegaskan,
الْ ُم ْؤ ِمن
“Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali perempuan berzina atau
perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini
28
(Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i
54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud VI:190 no:2141).
29
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 46.
melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (An-Nuur : 3).30
1. Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan
alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan
pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang
biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian
tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya
daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini,
ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak pada suami, antara
lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari
pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
2. Khuluk
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan
suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan
30
Darussalam global leader Islamic book, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Riyadh, 2006) P 488.
tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang
dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
3. Syiqaq
4. Fasakh
5. Taklik Talak
7. Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti
zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya
sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti
suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar
sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran
surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
8. Li’an
9. Kematian
Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami setelah terjadi
perceraian diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya
adalah sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan bab munakahat diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Bab munakahat tidak hanya sekedar membahas perkawinan akan
tetapi membahas tentang rukun-rukun, syarat serta aturan-aturan lain
yang berkenaan dengan pernikahan secara mendetail dan jelas sesuai
dengan rujukan Qur’an dan Hadis.
B. SARAN
Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’i. Afifi, Muhammad,
Hafiz Abdul, Penerjemah. Fachruddin, Alif, Solihin, Editor. Jakarta:
Almahira.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam 9. Al-Kattanie, AH, dkk,
Penerjemah. Muhajir, Arif, Penyunting. Jakarta: Gema Insani.